Anda di halaman 1dari 17

TUGAS UTS

Mata Kuliah

TEORI SOSIAL MAKRO MIKRO (TSMM)

Dosen:
Dr. ROFINUS NGABUT, M.Si

OLEH:

A. JAKA TANDANG
19077000033

PROGRAM PASCA SARJANA


DOKTOR ILMU SOSIAL
UNIVERSITAS MERDEKA MALANG
2019
1

TUGAS : UTS S3 Ilmu Sosial


Mata Kuliah : Teori Sosial Makro Mikro (TSMM)
Dosen : Dr. ROFINUS NGABUT, M.Si
Mahasiswa : A. JAKA TANDANG
Nim : 19077000033

1. Empat Paradigma Ilmu Sosial

Istilah Paradigma ilmu sosial dipergunakan untuk menjelaskan


tentang cara pendang seseorang atau ahli dalam ilmu sosial di dalam
melihat fakta sosial, yang meliputi dinamika sosial, konflik sosial, interaksi
sosial, kelompok sosial, dan lain sebaginya.
Paradigma ialah apa yang dimiliki bersama oleh anggota-anggota
suatu masyarakat sains, dan sebaliknya, masyarakat sains terdiri atas
orang-orang yang memiliki suatu paradigma bersama (Kuhn, 1962; 171;
lihat juga Etzioni, 1992: 1). Hal senada juga dikemukakan oleh Maliki
(2003:15), bahwa paradigma pengetahuan merupakan perspektif
intelektual yang dalam kondisi normal memberikan pedoman kerja
terhadap ilmuan yang membentuk “masyarakat ilmiah” dalam disiplin
tertentu. Perspektif intelektual menurut Friedrichs (1970: 55) dalam Maliki
(2003:15) menentukan apa yang membentuk “ilmu pengetahuan normal”
dalam komunitas ilmiah pada waktu tertentu dan mendasari hampir semua
pembentukan teori serta penelitian yang dilakukan oleh praktisinya. Hal ini
dapat kita artikan bahwa paradigma adalah suatu cara pendekatan yang
digunakan dan diyakini oleh suatu kelompok tertentu dalam suatu
perspektif intelektual untuk mendapatkan suatu kebenaran (truth) atau
dalam membangun suatu teori (ilmu pengetahuan).
Paradigma diartikan sebagai anggapan-anggapan meta-teoretis
yang paling mendasar yang menentukan kerangka berpikir, cara
mengandaikan dan cara bekerjanya para penganut teori sosial yang
menggunakannya. Di dalamnya tersirat adanya kesamaan pandangan
yang mengikat sekelompok penganut teori dalam cara pandang dan cara
kerja yang sama dalam batas-batas pengertian yang sama pula. Jika
2

ilmuwan sosial telah menggunakan paradigma tertentu, maka berarti


memandang dunia dalam satu cara yang tertentu pula. Sehingga di sini
ada empat pandangan yang berbeda mengenai sifat ilmu pengetahuan
dan sifat masyarakat yang didasarkan pada anggapan-anggapan meta-
teoretis. Burnel dan Morgan (1979) membagi 4 paradigma ilmu sosial
yakni: fungsionalis, Interpretatif, humanis radikal dan strukturalis radikal.
Empat paradigma itu merupakan cara mengelompokkan cara berpikir
seseorang dalam suatu teori sosial dan merupakan alat untuk memahami
mengapa pandangan-pandangan dan teori-teori tertentu dapat lebih
menampilkan setuhan pribadi di banding yang lain. Demikian juga alat
untuk memetakan perjalanan pemikiran teori sosial seseorang terhadap
persoalan sosial. Perpindahan paradigma sangat dimungkinkan terjadi,
dan ini revolusi yang sama bobotnya dengan pindah agama. Hal ini
pernah terjadi pada Marx yang dikenal Marx tua dan Marx muda,
perpindahan dari humanis radikal ke strukturalis radikal. Ini disebut
“perpecahan epistemologi” (epistemological break). Juga terjadi pada diri
Silverman, dari fungsionalis ke interpretatif.

a) Paradigma Fungsionalis
Paling banyak dianut di dunia. Pandangannya berakar kuat pada
tradisi ilmu sosial keteraturan. Pendekatannya terhadap permasalahan
berakar dari pemikiran kaum obyektivis. Memusatkan perhatian pada
kemapanan, ketertiban sosial, kesepakatan, keterpaduan sosial,
kesetiakawanan, pemuasan kebutuhan dan hal-hal yang nyata
(empirik). Condong realis dalam pendekatannya, positivis, determinis
dan nomotetis. Rasionalitas diutamakan dalam menjelaskan peristiwa
sosial, berorientasi pragmatis artinya berusaha melahirkan
pengetahuan yang diterapkan, berorientasi pada pemecahan masalah
yakni langka-langkah praktis untuk pemecahan masalah praktis juga.
Mendasarkan pada filsafat rekayasa sosial untuk dasar bagi
perubahan sosial, menekankan pentingnya cara-cara memelihara dan
3

mengendalikan keteraturan sosial. Berusaha menerapkan metode ilmu


alam dalam pengkajian masalah kemanusiaan.
Paradigma ini mulai di Perancis pada dasawarsa pertama abad ke-
19 dibentuk karena pengaruh karya August Comte, Herbert Spencer,
Emile Durkheim dan Wilfredo Pareto. Aliran ini mengatakan: realitas
sosial terbentuk oleh sejumlah unsur empirik nyata yang hubungan
semua unsurnya dapat dikenali, dikaji, diukur dengan cara dan
menggunakan alat seperti dalam ilmu alam. Menggunakan kias ilmu
mekanikan dan biologi untuk menjelaskan realitas sosial sangan biasa
dalam aliran ini.
Sejak awal abad ke-20, mulai dipengaruhi oleh tradisi pemikiran
idealisme Jerman seperti karya Max Weber, George Smmel dan
George Herbert Mead. Banyak kaum fungsionalis mulai meninggalkan
rumusan teoretis dari kaum obyektivitas dan memulai persentuhan
dengan paradigma interpretatif. Kias mekanika dan biologi mulai
bergeser ke pandangan para pelaku langsung dalam proses kegiatan
sosial. Pada 1940-an, pemikiran ilmu sosial perubahan radikal mulai
menyusupi kubu kaum fungsionalis untuk meradikalisasi teori-teori
fungsionalis. Sungguh pun telah terjadi persentuhan dengan
paradigma lain, paradigma fungsionalis tetap saja secara mendasar
menekankan pemikiran obyektivitas tentang realitas sosial untuk
menjelaskan keteraturan sosial. Karena persentuhan dengan
paradigma lain itu maka sebenarnya telah lahir beragam pemikiran
yang berbeda dalam paham fungsionalis.
Paradigma ini telah menyediakan kerangka kerja yang dominan
untuk pelaksanaan di akademi ilmu sosial dan pendidikan di
organisasi. Ini melambangkan perspektif yang berakar pada ilmu sosial
regulasi dan mendekati materi pelajaran dari sudut pandang objektivis.
Teori fungsionalis berada di garis depan perdebatan order-konflik, dan
konsep-konsep yang telah kami gunakan untuk mengkategorikan ilmu
sosial regulasi yang berlaku dalam berbagai sekolah dalam cara
4

pandang paradigma tersebut. Hal ini ditandai dengan perhatian untuk


memberikan penjelasan tentang status quo, tatanan sosial, konsensus,
integration sosial, solidaritas, kebutuhan akan kepuasan dan keadaan
yang sebenarnya. Mendekati kekhawatiran ini umumnya ilmu sosial
berhubungan dengan sudut pandang yang cenderung realis, positivis,
determinis dan nomotetis.
Para fungsionalis paradigma menghasilkan ilmu sosial regulatif
dalam bentuk yang dapat dikembangkan sepenuhmya. Dalam
pendekatan secara keseluruhan itu berusaha untuk memberikan
penjelasan rasional yang perlu mengenai urusan sosial. Ini adalah
perspektif yang sangat pragmatis dalam orientasinya, peduli untuk
memahami masyarakat dengan cara menghasilkan pengetahuan yang
dapat dimanfaatkan. Hal ini sering menimbulkan masalah-berorientasi
dengan pendekatan, yang berhubungan denganmenetapkan solusi
praktis dalam masalah-masalah yang praktis. Hal ini biasanya tegas
berkomitmen untuk rekayasa filsafat sosial sebagai dasar perubahan
sosial dan menekankan pentingnya memahami ketertiban,
keseimbangan dan stabilitas dalam masyarakat dan cara bagaimana
ini dapat dipertahankan. Hal ini berkaitan dengan berlakunya ‘regulasi’
dan kontrol dalam kejadian sosial.

Contoh:
Paradigma fungsionalis selalu menekankan pada generalisasi
untuk memberikan kekuatan akumulasi pengetahuan atas fenomena
sebab akibat. Serta penjelasan keilmuannya selalu berdasarkan pada
angka yang mengandung kepastian sehingga tidak bisa ditolak. Bagi
pendukung paradigma ini penjelasan dan deskripsi adalah hubungan
antara logika, data dan hukum atau mungkin standart yang
diperoleh. Bukti yang dihasilkan adalah bukti yang didasarkan pada
pengamatan yang tepat dan dapat diulang kembali atau mungkin
digeneralisasi. Sedangkan nilai yang ada dalam paradigma positivist
5

selalu bersifat konvensional yaitu bersifat keras, menekan, memaksa


(reduksionis) karena kebenaran adalah segala sesuatu yang berada di
dalam maupun diluar yang harus bersifat obyektif sehingga bebas dari
nilai (value free), sehingga kedudukan peneliti dalam paradigma ini
bebas dari kepentingan.

b) Paradigma Interpretatif

Teoretisi terletak dalam konteks paradigma interpretif mengadopsi


pendekatan konsonan dengan prinsip-prinsip apa yang kita miliki
digambarkan sebagai ilmu sosial regulasi, meskipun subyektivis nya
pendekatan analisis dunia sosial membuat hubungan dengan ilmu
sosial ini sering tersirat ketimbang eksplisit. Penafsiran paradigma
diinformasikan oleh keprihatinan untuk memahami dunia sebagaimana
adanya, untuk memahami sifat dasar dari dunia sosial di tingkat
pengalaman subyektif. Ini berusaha penjelasan dalam ranah
kesadaran individu dan subjektivitas, dalam kerangka rujukan peserta
yang bertentangan dengan pengamat tindakan.

Kubu ini sebenarnya menganut ajaran-ajaran ilmu sosial


keteraturan, tetapi mereka menggunakan pendekatan subyektivitas
dalam analisa sosialnya, sehingga hubungan mereka dengan ilmu
sosial keteraturan bersifat tersirat. Mereka ingin memahami kenyataan
sosial menurut apa adanya, mencari sifat yang paling dasar dari
kenyataan sosial menurut pandangan subyektif dan kesadaran
seseorang yang langsung terlibat dalam peristiwa sosial bukan
menurut orang lain yang mengamati.

Pendekatannya cenderung nominalis, anti-positivis dan ideografis.


Kenyataan sosial muncul karena dibentuk oleh kesadaran dan
tindakan seseorang. Karenanya mereka berusaha menyelami jauh ke
dalam kesadaran dan subyektifitas pribadi manusia untuk menemukan
pengertian apa yang ada di balik kehidupan sosial. Sungguhpun
6

demikian, anggapan-anggapan dasar mereka masih tetap didasarkan


pada pandangan bahwa manusia hidup serba tertib, terpadu dan rapat,
kamapanan, kesepakatan, kesetiakawanan. Pertentangan,
penguasaan, benturan sama sekali tidak menjadi agenda kerja
mereka. Mereka ini terpengaruh langsung oleh pemikiran sosial kaum
idealis Jerman, yang berasal dari pemikiran Kant yang lebih
menekankan sifat hakekat rohaniah daripada kenyataan sosial.
Perumus teori ini antara lain Dilthey, Weber, Husserl, dan Schutz.

Contoh:

Paradigma ini memandang suatu fenomena alam atau social


dengan prinsip relativitas, sehingga penciptaan ilmu yang
diekspresikan dalam teori bersifat sementara, local dan spesifik. Dalam
sisi epistemology hubungan peneliti dengan obyek bersifat
interaktif melalui pengamatan langsung terhadap aktor sosial dalam
setting yang alamiah agar dapat memahami dan menfsirkan
bagaimana aktor sosial tersebut menciptakan dunia sosial dan
memeliharanya. Peneliti bebas melakukan segala tindakannya tanpa
harus takut pada hukum, standart, norma yang ada asalkan apa yang
dimaknai sesuai dengan realitas yang ada pada saat itu. Fenomena
yang ada dapat dirumuskan dalam ilmu pengetahuan dengan
memperhatikan gejala atau hubungan yang ada di antara keduanya
yang hasilnya akan sangat subyektif oleh sebab itu tidak bersifat bebas
nilai (Not Value Free).

c) Paradigma Humanis Radikal

Para penganutnya berminat mengembangkan ilmu sosial


perubahan radikal dari pandangan subyektifis. Pendekatan terhadap
ilmu sosial sama dengan kaum interpretatif yaitu nominalis, anti-
positivis, volunteris dan ideografis. Arahnya berbeda, yaitu cenderung
menekankan perlunya menghilangkan atau mengatasi berbagai
pembatasan tatanan sosial yang ada.
7

Paradigma humanis radikal didefinisikan oleh keprihatinan untuk


mengembangkan ilmu sosial perubahan radikal dari sudut pandang
subyektif. Pendekatan untuk ilmu sosial memiliki banyak kesamaan
dengan yang dari paradigma interpretatif, dalam hal ini memandang
dunia sosial dari perspektif yang cenderung nominalis, anti-positivis,
voluntaris dan ideografik. Namun, kerangka referensinya berkomitmen
untuk pandangan masyarakat yang menekankan pentingnya
menggulingkan atau melampaui keterbatasan pengaturan sosial yang
ada.

Salah satu pengertian paling dasar yang mendasari seluruh


paradigma ini adalah bahwa kesadaran manusia didominasi oleh
superstructures ideologi yang ia berinteraksi, dan ini mendorong irisan
kognitif antara dirinya dan kesadarannya yang benar.Wedge ini adalah
irisan ‘keterasingan’ atau ‘kesadaran palsu’, yang menghambat atau
menghalangi pemenuhan manusia sejati. Kepedulian utama terhadap
teori mendekati keadaan manusia dalam istilah adalah dengan rilis dari
kendala yang sosial yang ada pada pengaturan tempat pembangunan
manusia. Ini adalah merek teorisasi sosial yang dirancang untuk
memberikan kritik terhadap status quo. Hal ini cenderung melihat
masyarakat sebagai anti-manusia dan yang bersangkutan untuk
mengartikulasikan cara di mana manusia dapat melampaui ikatan
spiritual dan belenggu yang mengikat mereka dalam pola sosial yang
ada dan dengan demikian menyadari penuh potensi mereka.

Pandangan dasarnya yang penting adalah bahwa kesadaran


manusia telah dikuasai atau dibelenggu oleh suprastruktur ideologis
yang ada di luar dirinya yang menciptakan pemisah antara dirinya
dengan kesadarannya yang murni (aliensi), atau membuatnya dalam
kesadaran palsu (false consciousness) yang menghalanginya
mencapai pemenuhan dirinya sebagai manusia sejati. Karena itu
agenda utamanya adalah memahami kesulitan manusia dalam
8

membebaskan dirinya dari semua bentuk tatanan sosial yang


menghambat perkembangan manusia sebagai manusia. Penganutnya
mengecam kemapanan habis-habisan. Proses-proses sosial dilihat
sebagai tidak manusiawi. Untuk itu mereka ingin memecahkan
masalah bagaiman manusia bisa memutuskan belenggu-belenggu
yang mengikat mereka dalam pola-pola sosial yang mapan utnuk
mencapai harkat kemanusiaannya. Meskipun demikian masalah-
masalah pertentangan struktural belum menjadi perhatian mereka.

Contoh:

Paradigma ini perhatian utamanya adalah untuk membangun radikal


change ilmu sosial dari sudut pandang subjectivist. Pendekatannya
mempunyai banyak kesamaan dengan paradigma interpretive namun
paradigma radical bereferensi pada pandangan terhadap masyarakat
yang menekankan mengenai pentingnya menjatuhkan atau
melebihkan limit dari pengaturan sosial yang sudah ada.

d) Paradigma Strukturalis Radikal

Penganutnya juga memperjuangkan ilmu sosial perubahan radikal


tetapi dari sudut pandang obyektifitas. Pendekatan ilmiahnya memeiliki
beberapa persamaan dengan kaum fungsionalis, namun mempunyai
tujuan akhir yang saling berlawanan. Analisanya lebih menekankan
pada pertentangan struktural, bentuk-bentuk penguasaan dan
pemerosotan harkat kemanusiaan. Karenanya pendekatannya
cendserung realis, positivis, determinis dan nomotetis.

Kesadaran manusia dianggap tidak penting. Hal yang lebih penting


adalah hubungan-hubungan struktural yang terdapat dalam kenyataan
sosial yang nyata. Mereka menekuni dasar-dasar hubungan sosial
dalam rangka menciptakan tatanan sosial baru secara menyeluruh.
Penganu paradigma ini terpecah dalam dua perhatian, pertma lebih
tertarik untuk menjelaskan bahwa kekuatan sosial yang berbeda-beda
9

serta hubungan antar kekuatan sosial merupakan kunci untuk


menjelaskan perubahan sosial. Sebagian mereka lebihbtertarik padaa
keadaan penuh pertentangan dalam suatu masyarakat. Paradigma ini
diilhami oleh pemikiran Marx tua setelah terjadinya perpecahan
epistemologi dalam sejarah pemikiran Marx, selain pengaruh Weber.
Paradigma inilah yang menjadi bibit lahirnya teori ilmu sosial radikal.
Penganutnya antara lain Althusser, Polantzas, Colletti, dan beberapa
penganut kelompok kiri baru.

Contoh:

Paradigma ini perhatian utamanya adalah untuk membangun radikal


change ilmu sosial dari sudut pandang objektivist. Radical strukturalis
berkonsentrasi pada relasi structural di dalam dunia sosial realist

2. Fungsi Input dalam Imu Sosial

fungsi-fungsi yang terdapat pada ilmu sosial dapat dijelaskan pada


Ulasan berikut:

a. Fungsi Pada Perencanaan Sosial

Apa itu perencanaan sosial, merupakan upaya untuk


mempersiapkan masa depan seseorang yang terdapat di dalam
masyarakat. Salah satu tujuan dari perencanaan sosial adalah
untuk mengatasi kemungkinan-kemungkinan yang akan muncul
sebab masalah yang terjadi di dalam perubahan yang terjadi pada
masyarakat.

Perencanaan sosial itu lebih bersifat mencegah dan mengantisipasi


serta mempersiapkan untuk kedepannya pada sesuatu yang akan
terjadi. Maka fungsi dari ilmu sosial pada perencanaan sosial
merupakan alat yang digunakan sebagai mengetahui perubahan
pada lingkungan masyarakat.
10

Selain itu tujuan ilmu sosial pada perencanaan sosial adalah


sebagai alat yang digunakan untuk mengetahui perkembangan apa
yang terjadi di dalam masyarakat.

Karena ilmu sosial merupakan ilmu yang menjelaskan tentang


hubungan antara kelompok dengan kelompok serta individu
dengan kelompok, maka perencanaan yang dibuat harus sesuai
dengan fakta-fakta yang ada.

b. Fungsi input ilmu sosial pada penelitian

Tujuan ilmu ilmu sosial pada penelitian adalah untuk bisa


memberikan sebuah gambaran yang berkaitan dengan kehidupan
masyarakat dan juga kegiatan penelitiannya membahas tentang
gejala-gejala yang ada pada masyarakat.

Maka dengan adanya penelitian, berharap ada solusi-solusi yang


bisa digunakan untuk menyelesaikan masalah-masalah sosial yang
ada. Salah satu fungsi ilmu sosial dalam penelitian adalah untuk
mempertimbangkan gejala-gejala sosial yang terjadi di masyarakat.
Serta untuk memahami pola-pola dari tingkah laku manusia yang
ada dalam lingkungan masyarakat.

c. Fungsi input ilmu sosial pada Pembangunan

Selanjutnya fungsi ilmu sosial pada pembangunan adalah untuk


memberikan data-data sosial yang dibutuhkan untuk tahapan
perencanaan, pelaksanaan, dan penilaian pembangunan. Untuk
detailnya adalah tahap perencanaan hal yang diperhatikan adalah
hal apa saja yang termasuk dalam kebutuhan sosial.

Untuk tahapan pelaksanaan lebih pada kekuatan sosial yang ada


pada masyarakat serta proses-proses perubahan sosial yang
terjadi di dalamnya. Bagian penilaian adalah untuk menganalisis
terkait dengan dampak dari proses pembangunan yang telah
dilakukan.
11

d. Fungsi input ilmu sosial pada Pemecahan Masalah

Permasalahan merupakan sebuah dari kesulitan yang muncul dan


membutuhkan solusi sebagai alat pemecah masalah tersebut.
Namun masalah terkadang muncul karena adanya kesenjangan
yang terjadi diantara harapan dan kenyataan yang kita inginkan.

Untuk masalah-masalah sosial yang muncul pada masyarakat


biasanya saling berkaitan dengan nilai masyarakat dan lembaga
masyarakat. Oleh karena itu penting untuk mencarikan solusinya,
agar tercipta kedamaian serta keharmonisan di dalam masyarakat
tersebut. Maka dengan adanya ilmu sosial, kita bisa mempermudah
menemukan solusinya.

Untuk memecahkan masalah tersebut terdapat beberapa metode,


seperti metode antisisatif artinya metode bersifat mencegah dan
mempersiapkan sesuatu yang sewaktu-waktu bisa terjadi. Serta
memiliki kemungkinan yang bisa mengganggu keharmonisan pada
masyarakat.

Metode resitusif, merupakan metode untuk memberikan apresiasi


atau penghargaan untuk individu yang mematuhi norma dan aturan
yang berlaku. Dan metode repersif, digunakan untuk menimbulkan
efek jera kepada para pelaku-pelaku pelanggaran.

Demikian pengertian ilmu sosial secara umum dan menurut para


ahli serta fungsi-fungsi ilmu sosial. Semoga penjelasan yang ada di
atas bisa membantu anda dalam setiap ilmu pengetahuan dan juga
semoga bermanfaat. Bisa menjadi bahan referensi, namun setiap
ilmu pengetahuan mempunyai pembahasan yang berbeda-beda.
12

3. Fungsi Input dalam Formulasi Sistem Politik

Struktur harus dikaitkan dengan fungsi, sehingga kita dapat


memahami bagaimana fungsi berproses dalam menghasilkan
kebijakan dan kinerja. Fungsi proses terdiri dari urutan aktifitas yang
dibutuhkan dalam membuat formulasi untuk merumuskan kebijakan
dan implementasinya dalam tiap sistem politik, antara lain: artikulasi
kepentingan, agregasi kepentingan, pembuatan kebijakan, dan
implementasi dan penegakan kebijakan. Proses fungsi perlu dipelajari
karena mereka memainkan peranan dalam mengarahkan pembuatan
kebijakan. Sebelum kebijakan dirumuskan, beberapa individu ataupun
kelompok dalam pemerintahan atau masyarakat harus memutuskan
apa yang mereka butuhkan dan harapkan dari politik. Proses politik
dimulai ketika kepentingan tersebut diungkapkan atau diartikulasikan.
Fungsi sering diartikan sebagai perbuatan, kegiatan atau pengaruh.
Fungsi dapat bersifat nyata (manifest) dapat juga bersifat tidak nyata
(laten).

Fungsi-fungsi Input meliputi:

a. Fungsi Sosialisasi Politik

Sosialisasi Politik merupakan suatu cara untuk memperkenalkan


nilai-nilai politik, sikap-sikap dan etika politik yang berlaku atau
yang dianut oleh suatu negara.

Pembentukan sikap-sikap politik atau untuk membentuk suatu


sikap dan keyakinan politik dibutuhkan waktu yang panjang melalui
proses yang berlangsung tanpa henti. Menurut Gabriel Almound,
dalam Sosialisasi Politik, terdapat hal yang penting, yaitu :
Sosialisasi Politik berjalan terus menerus selama hidup seseorang.

Sikap-sikap dan nilai-nilai yang didapatkan dan terbentuk pada


masa kanak-kanak akan selalu disesuaikan atau akan diperkuat
sementara ia mengalami berbagai pengalaman sosial. Pendidikan
13

sekolah, pengalaman keluarga dan pengaruh pergaulan berperan


dalam memperkuat keyakinan tetapi dapat pula mengubahnya
secara drastis. Sosialisasi Politik dapat berwujud transmisi dan
pengajaran. Artinya dalam sosialisasi itu terjadi interaksi antara
suatu sikap dan keyakinan politik yang dimiliki oleh generasi tua
terhadap generasi muda yang cenderung masih flesibel menerima
pengaruh ajaran. Transmisi dan pengajaran tersebut dapat
berwujud :interaksi langsung yaitu berupa pengajaran formal
ataupun doktrinasi suatu ideologi.

Sosialisasi politik merujuk pada bagaimana suatu masyarakat


mewariskan nilai dan kepercayaan untuk generasi selanjutnya,
biasanya melibatkan keluarga, sekolah, media, perkumpulan
religius, dan aneka macam struktur politik yang membangun,
menegakan, dan mentransform pentingnya perilaku politik dalam
masyarakat. Dalam terminologi politik, sosialisasi politik merupakan
proses, dimana masyarakat menanamkan nilai-nilai kebajikan
bermasyarakat, atau prinsip kebiasaan menjadi warga negara yang
efektif. Rekrutmen mewakili proses dimana sistem politik
menghasilkan kepentingan, pertemuan, dan partisipasi dari warga
negara, untuk memilih atau menunjuk orang untuk melakukan
aktifitas politik dan duduk dalam kantor pemerintahan. Dan
komunikasi mengacu pada bagaimana suatu sistem
menyampaikan nilai-nilai dan informasi melalui berbagai struktur
yang menyusun sistem politik.

Sosialisasi dan rekrutmen politik meliputi rekrrument individu dari


aneka kelas masyarakat, etnik, kelompok, dan sejenisnya untuk
masuk kedalam partai politik, birokrasi dan sebagainya. Artikulasi
kepentingan merupakan eksperesi kepentingan politik dan tuntutan
untuk melakukan tindakan. Pengelompokan kepentingan
merupakan penyantunan tuntutan dan dukungan dari masyarakat
14

yang diartikulasikan oleh partai politik, kelompok kepentingan, dan


etnis politik lainnya. Komunikasi politik melayani proses komunikasi
di antara seluruh entitas politik yang berkepentingan oleh sebab
baik sosialiassi dan rekrutment politik, artikulasi kepentingan, dan
agregasi kepentingan semua disuarakan melalui proses komunikasi
politik.

b. Fungsi Artikulasi Kepentingan

Artikulasi Kepentingan adalah suatu proses penginputan berbagai


kebutuhan, tuntutan dan kepentingan melalui wakil-wakil kelompok
yang masuk dalam lembaga legislatif, agar kepentingan, tuntutan
dan kebutuhan kelompoknya dapat terwakili dan terlindungi dalam
kebijaksanaan pemerintah. Pemerintah dalam mengeluarkan suatu
keputusan dapat bersifat menolong masyarakat dan bisa pula
dinilai sebagai kebijaksanaan yang justru menyulitkan masyarakat.
Oleh karena itu warga negara atau setidak-tidaknya wakil dari
suatu kelompok harus berjuang untuk mengangkat kepentingan
dan tuntutan kelompoknya, agar dapat dimasukkan ke dalam
agenda kebijaksanaan negara. Wakil kelompok yang mungkin
gagal dalam melindungi kepentingan kelompoknya akan dianggap
menggabungkan kepentingan kelompok, dengan demikian
keputusan atau kebijaksanaan tersebut dianggap merugikan
kepentingan kelompoknya.

Bentuk artikulasi yang paling umum di semua sistem politik adalah


pengajuan permohonan secara individual kepada para anggota
dewan (legislatif), atau kepada Kepala Daerah, Kepala Desa, dan
seterusnya. Kelompok kepentingan yang ada untuk lebih
mengefektifkan tuntutan dan kepentingan kelompoknya,
mengelompokkan kepentingan, kebutuhan dan tuntutan kemudian
menyeleksi sampai di mana hal tersebut bersentuhan dengan
kelompok yang diwakilinya. Artikulasi kepentingan sudah ada
15

sepanjang sejarah dan kelompok kepentingan akan semakin


tumbuh seiring semakin bertambahnya kepentingan manusia, jadi
kelompok kepentingan hanya ingin mempengaruhi pembuatan
keputusan dari luar, sedangkan partai politik dari dalam.

c. Fungsi Agregasi Kepentingan

Agregasi kepentingan merupakan cara bagaimana tuntutan-


tuntutan yang dilancarkan oleh kelompok-kelompok yang berbeda,
digabungkan menjadi alternatif-alternatif kebijaksanaan pemerintah.
Agregasi kepentingan dijalankan dalam “sistem politik yang tidak
memperbolehkan persaingan partai secara terbuka, fungsi
organisasi itu terjadi di tingkat atas, mampu dalam birokrasi dan
berbagai jabatan militer sesuai kebutuhan dari rakyat dan
konsumen”. Dalam masyarakat demokratis, Partai menawarkan
program politik dan menyampaikan usul-usul pada badan legislatif,
dan calon-calon yang diajukan untuk jabatan-jabatan pemerintahan
mengadakan tawar-menawar (bargaining) pemenuhan kepentingan
mereka kalau kelompok kepentingan tersebut mendukung calon
yang diajukan.

Agregasi kepentingan dalam sistem politik di Indonesia


berlangsung dalam diskusi lembaga legislatif. DPR berupaya
merumuskan tuntutan dan kepentingan-kepentingan yang
diwakilinya. Semua tuntutan dan kepentingan seharusnya tercakup
dalam usulan kebijaksanaan untuk selanjutnya ditetapkan sebagai
Undang-Undang. Namum penetapan kebijaksanna (UU) bukanlah
hak semata-mata pihak legislatif. DPR bersama Presiden memiliki
hak untuk mengesahkan Undang-Undang. Kedudukan DPR dan
Presiden dalam fungsi agregasi kepentingan adalah sama, sebab
kedua lembaga ini berhak untuk menolak Rancangan Undang-
Undang (RUU). Tentu saja akan terjadi persaingan ketat untuk
mengangkat gagasan dan memenuhi tuntutan-tuntutan
16

kelompoknya, akan tetapi dengan adanya prinsip musyawarah dan


mufakat, sangat banyak membantu persaingan antara wakil partai
dalam agregasi kepentingan.

Referensi

Burrel, Gibson & Gareth Morgan. 1979. Sociological Analysis &


Organisational Analysis: Element of The Sociology of Corporate
Life. Heinemann Educational Books, London.
Chua, Wai Fong. 1986. Radical Developments in Accounting Thought.
The Accounting Review, Vol 61, No 4.
Kuhn, T.S. 1962, The Structure of Scientific Revolution. Peran
Paradigma Dalam Revolusi Sains. Edisi Terjemahan. Rosda Karya.
Bandung

Anda mungkin juga menyukai