Analisis KKP Berbasis Ekoregion PDF
Analisis KKP Berbasis Ekoregion PDF
©Andie Wibianto/MPAG
ANALISIS KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN BERBASIS EKOREGION:
UPAYA MEMPERSEMPIT KETIMPANGAN
Laut Indonesia yang merupakan pertemuan dua samudera, yakni Samudera Hindia
dan Samudra Pasifik dan berada di wilayah tropis dengan sinar matahari mencukupi
sepanjang tahun, menjadikan secara biologi kawasan ini memiliki tingkat
keanekaragaman hayati tinggi, yang kerap juga disebut megabiodiversity. Adalah
Alfred Wallace yang meletakan dasar biogeografi modern dengan menerbitkan hasil
kajiannya (1863) dengan mengidentifikasi distribusi fauna berdasarkan perbedaan
wilayah. Wallace menarik garis maya antara selat Bali dan Lombok melewati Selat
Makasar, di mana sebelah barat disebut kawasan “Indo-Malayan” dan sebelah timur
kawasan “Austro Malayan” (Veron dkk., 2009). Selanjutnya Huxley (1868) menarik
garis dari atas Sulawesi melingkar hingga Filipina. Belakangan Wallace pada 1910
memperbaiki lagi biogegrafinya dari selat Bali berbelok ke Laut Banda melewati
Maluku dan Laut Halmahera, seperti tampak pada Gambar 1 berikut.
Gambar 1: Sejarah demarkasi antara kawasan fauna Oriental dan Australia (Veron
dkk., 2009)
1
Pada era pasca perang dunia II, coral biogeography menjadi terdepan dalam
biogeografi kelautan setelah John Wells (1954) mempublikasi sebuah tabel plot coral
genera berdasarkan wilayah. Publikasi ini menjadikan kepulauan Indonesia dan
Filipina diakui sebagai pusat keanekaragaan hayati terumbu karang dunia.
Pada 2003 The Nature Conservancy melakukan workshop melibatkan 20 saintis dan
pakar GIS memetakan kawasan segitiga terumbu karang (coral triangle). Kawasan
tersebut belakangan seperti yang saat kini kita kenal, meliputi wilayah di sejumlah
Negara di antaranya Indonesia, Papua Nugini, Solomon, Malaysia, Filipina, dan
Timor Leste (Mous & Green, 2004). Basis delineasi ini kemudian ditindaklanjuti oleh
Indonesia dalam pertemuan para pemimpin Asia Pacific Economic Cooperation
(APEC) yang mengusulkan Coral Triangle Initiative (CTI) sebagai mekanisme
komponen utama untuk menjaga keberlanjutan pusat keanekaragaman hayati global
di kawasan ini (Veron dkk, 2009).
Lebih lanjut Spalding dkk (2007) memetakan ekoregion laut dunia (marine ecoregion
of the world – MEOW) dengan mereview lebih dari 230 jurnal, laporan dari NGO,
publikasi pemerintah dan sumber lainnya, membandingkan peta digital dari sekian
banyak unit biogeografi, dan melibatkan 40 pakar independen dalam workshop.
Spalding dkk. merumuskan bioregionalisasi antara lain 12 realm (kawasan kontinen
atau subkontinen dengan kesamaan geografi dan fauna/flora/vegetasi), 62 provinces
(kawasan luas dengan kehadiran biota tertentu termasuk geomorfologi,
hidrogeografi, atau pengaruh geokimia), dan 232 ekoregion (kawasan yang memiliki
komposisi spesies homogen, berbeda jelas dengan sistem tetangganya, ekosistem
tertentu dengan keunikan oseanografi dan topografi).
Indonesia dalam klasifikasi bioregion Spalding dkk termasuk dalam 2 realm (Western
Indo-Pacific dan Central Indo-Pacific), 5 provinces (Andaman, Paparan Sunda, Java
Transitional, Segitiga Karang Barat, Paparan Sahul), dan 12 ekoregion antara lain
Barat Sumatera (kode 111); Paparan Sunda/Laut Jawa (117); Selat Malaka (118),
Selatan Jawa (119); Palawan/Borneo Utara (126); Laut Sulawesi/Selat Makassar
(128); Halmahera (129); Papua (130); Laut Banda (131); Lesser Sunda (Nusa
Tenggara & Laut Timor) (132); Timurlaut Sulawesi/Teluk Tomini (133); Laut Arafura
(139), seperti pada Gambar 2 berikut.
2
Gambar 2: Kerangka biogeografi final, biogeografi dengan garis batas ekoregion
(Spalding dkk., 2007)
Berikutnya C.L. Huffard, M.V. Erdman dan T. Gunawan (2009) melalui program
Coral Triangle Support Partnership Indonesia (CTSP) melakukan assessment guna
penetapan prioritas atas ekoregion laut Indonesia tersebut yang melibatkan 16 pakar
keanekaragaman hayati laut Indonesia yang diakui secara global dan 4 pakar
internasional yang menyiapkan informasi pendamping penting. Kriteria yang
digunakan dalam prioritisasi yaitu irreplaceability (ketidaktergantikan), vulnerability
(kerentanan), dan representativeness (keterwakilan).
3
Gambar 3: Peta ekoregion laut Indonesia berdasarkan proiritisasi keanekaragaman
hayati (2009)
Dari hasil kajian prioritasi geografi kawasan konservasi peraian Indonesia oleh
Huffard dkk., setiap delineasi ekoregion dideskripsikan seperti tampak pada Tabel 1
berikut.
4
5 Halmahera Keanekaragaman hayati yang cukup tinggi dan habitat yang beragam.
Memiliki keterwakilan fauna Asia dan Australia dan berperan penting
sebagai penyambung antara Papua dan Sulawesi. Beberapa ahli
berpendapat bahwa Halmahera merupakan perluasan dari bentang
laut (seascape) Kepala Burung Papua.
5
Untuk keperluan pengelolaan perikanan, Kementerian Kelautan dan Perikanan juga
telah memiliki wilayah pengelolaan perikanan (WPP) yang merupakan basis
Organisasi Pangan Dunia (FAO) dan ditetapkan dalam Peraturan Menteri Kelautan
dan Perikanan: Permen KP No. 1 Tahun 2009 tentang WPP RI. Dengan adanya
WPP berisikan 11 bagian delineasi, jika dilakukan overlay data antara Wilayah
Pengelolaan Perikanan (WPP) yang berjumlah 11 wilayah, dengan ekoregion laut
Indonesia dari Kementerian Lingkungan Hidup (18 wilayah), dan ekoregion yang
dikeluarkan oleh MEOW (12 wilayah), maka diharapkan akan semakin memperjelas
pengelolaan ekoregion laut di masa mendatang.
Basis kajian ringkas ini memusatkan pada 12 ekoregion laut versi MEOW (Spalding
dkk.) dan prioritasi ekoregion laut Indonesia oleh Huffard dkk. Pilihan menggunakan
ini dikarenakan basis yang digunakan oleh Spalding dkk. mencerminkan karakteristik
klasifikasi yang tepat bagi pengembangan kawasan konservasi antara lain pada
perairan pesisir dan paparan (shelf), kombinasi biota benthic dan shelf pelagic
(neritic) yang merepresentasikan kawasan yang sebagian besar keanekaragaman
hayati laut terdelineasi. MEOW juga mengembangkan sistem hirarki berdasarkan
konfigurasi taksonomi, pengaruh sejarah evolusi, pola sebaran dan isolasi. Demikian
pula ekoregion MEOW telah ditindaklanjuti oleh kajian Huffard dkk. Dalam prioritasi
geografi kawasan konservasi laut di Indonesia.
Dari hasil kajian Huffard dkk dalam prioritisasi ekoregion laut Indonesia, dan
database kawasan konservasi perairan (laut) dari website DIrektorat Konservasi
Kawasan dan Jenis Ikan (KKJI) Kementerian Kelautan dan Perikanan, maka
diperoleh gambaran kawasan konservasi perairan sebagai berikut, seperti terlampir
pada Tabel 2 di bawah ini. Data ini telah memasukan KKP di bawah pengelolaan
Kementerian Kehutanan, KKP di bawah pengelolaan Kementerian Kelautan dan
Perikanan, serta KKP dikelola Pemerintah Daerah.
6
Tabel 2: Kawasan Konservasi Perairan Berdasarkan Ekoregion
Sebagai informasi tentang kondisi mangrove, terumbu karang, dan padang lamun
untuk masing-masing ekoregion seperti tertera pada Tabel 3 di bawah ini.
7
Tabel 3: Persentase tutupan mangrove, terumbu karang dan padang lamun
berdasarkan ekoregion
Dari data berbasis WCMC, luasan seluruh ekoregion Indonesia mencapai 7,08 juta
km2 atau mendekati luas laut territorial Indonesia yakni 7,7 juta km2. Ekoregion
terluas adalah Paparan Sunda (Sunda Shelf)/Laut Jawa (19%) diikuti oleh Laut
Banda (13%) dan Laut Sulawesi/Selat Makasar (11%), sedangkan luas terkecil
adalah Timurlaut Sulawesi/Teluk Tomini yakni 1%. Meski demikian, bila ekoregion
Papua dan Laut Arafura (pesisir selatan Papua) digabungkan sebagai keseluruhan
pesisir Pulau Papua, maka kawasan tersebut menempati terluas yang mencapai
14% dari seluruh ekoregion Indonesia.
Grafik 1: Luas kawasan ekoregion laut Indonesia (IUCN dan UNEP-WCMC, 2011)
Lebih luas lagi jika data ekoregion laut Indonesia dikelompokkan ke dalam konteks
kawasaan segitiga karang (coral triangle area -- CTA) dan bukan termasuk dalam
CTA, sebanyak delapan ekoregion atau 60% (4,2 juta km2) dari 12 ekoregion yang
termasuk dalam wilayah segitiga karang dunia, dan sisanya 40% (2,86 juta km2)
adalah wilayah barat yang tidak termasuk segitiga karang (Barat Sumatera, Paparan
Sunda/Laut Jawa, Selatan Jawa dan Selat Malaka).
8
Sebelum dihitung luasan kawan (laut) berdasarkan ekoregion maka dilakukan
pengelompokan KKP berdasar ekoregion seperti tampak pada Tabel 2 berikut.
Sebagai informasi, penggunaan ukuran luasan untuk keperluan ini selanjutnya
menggunakan km2 karena kemudahan bagi komparasi dengan data IUCN, dan data
luasan KKP menggunakan data terakhir dari Direktorat Kawasan Konservasi dan
Jenis (KKJI) seluas 16,1 juta ha.
Dari KKP berdasarkan pengelompok ekoregion tersebut diperoleh luasan KKP per
ekoregion seperti pada Tabel 4 di bawah ini, dan sebagai perbandingkan tampak
persentase KKP pada masing-masing ekoregion.
Dilihat dari persentase luas kawasan yang dikonservasi, data website KKJI
September 2013 menunjukkan kawasan konservasi perairan di ekoregion Papua
menempati teratas (6,55%) diikuti oleh Lesser Sunda (Nusa Tenggara & Laut Timor)
yakni 6,63%, Timurlaut Sulawesi/Teluk Tomini (5,19%), sisanya Laut Banda (2,65%),
Laut Sulawesi/Selat Makasar (2,13%), paparan Sunda/Laut Jawa (1,83%), serta di
bawah satu persen yakni Barat Sumatera (0,91%), Laut Arafura (0,70%) Selatan
Jawa (0,07%) Halmahera (0,02%), Selat Malaka (0,0075%) dan terkecil
Palawan/Borneo Utara (0,0005%). Gambaran seperti tampak pada Grafik 2 berikut.
9
Grafik 2: Luas KKP berdasarkan ekoregion
Dilihat dari pengelompokan KKP di kawasan coral triangle area (CTA) dan non-coral
triangle area, seluas 129,607 km2 (12,96 juta ha) KKP berada di CTA atau 80%,
sisanya 31,884 km2 (3,1 juta ha) atau 20% berada di non-CTA, seperti pada Grafik 3
di bawah ini.
Grafik 3: KKP berdasarkan wilayah segitiga karang (coral triangle area) dan bukan
wilayah segitiga karang dunia
10
Grafik 4: Perbandingan kumulatif luas ekoregion dan luas KKP
Berdasarkan urutan luasan KKP per ekoregion, maka ekoregion Lesser Sunda
(Nusa Tenggara & Laut Timor) memiliki peringkat terluas. Hal ini dapat dipahami
mengingat jumlah luas konservasi Laut Sawu (3,2 juta ha). Papua, kedua terluas,
didukung KKP Teluk Cenderawasih (1,45 juta ha) dan Raja Ampat (1,13 juta ha).
Berikutnya Paparan Sunda/Laut Jawa yang diperkuat oleh Anambas (1,3 juta ha),
diikuti Laut Banda ditopang oleh Wakatobi 1,4 juta ha, Laut Sulawesi/Selat Makasar
(Berau 1,3 juta ha), Barat Sumatera (ditopang oleh KKP Kep. Banyak dan eks
wilayah COREMAP a.l. Nias, Nias Selatan, Tapanuli Tengah, Mentawai dan sisa
sejumlah kecil lainnya), sisanya sejumlah kecil di Timurlaut Sulawesi/Teluk Tomini
dan Laut Arafura. Selanjutnya empat ekoregion terkecil keberadaan KKP adalah
Selatan Jawa, Halmahera, Selat Malaka, dan Palawan/Borneo Utara, seperti tampak
pada Tabel berikut.
11
Rencana Strategis Kementerian Kelautan dalam hal ini Direktorat Konservasi
Kawasan dan Jenis Ikan (KKJI) ditargetkan melakukan pengelolaan efektif kawasan
konservasi perairan mencapai seluas 4,5 juta hektar pada 2014 (Ruchimat dkk.
2012). Jika dilihat per kawasan ekoregion maka sebaran target capaian dan
persentasenya terhadap KKP per ekoregion dari sejumlah luas 4.801.482 ha dapat
dilihat seperti pada Tabel 6 berikut.
Tabel 6: Sebaran target pengelolaan efektif KKP 2014 berdasarkan ekoregion dan
persentase terhadap luas per ekoregion
Dari tabel tersebut tampak prioritas rencana pengelolaan efektif KKP belum tersebar
secara merata dan masih terpusat di ekoregion Lesser Sunda (Nusa Tenggara &
Laut Timor) yang mencapai 72% dari KKP yang telah dicadangkan, disusul Laut
Arafura (43%), Paparan Sunda/Laut Jawa (28%), Laut Sulawesi/Selat Makasar
(21%). Sebagian lainnya di Papua (14%), Selatan Jawa, Timur Laut Sulawesi/Teluk
Tomini (0,67%) dan Laut Banda (0,10%). Sementara rencana pengelolaan efektif di
ekoregion Halmahera, Palawan/Borneo Utara dan Selat Malaka masih belum
tampak.
Ketimpangan terjadi misalnya dilihat distribusi rencana pengelolaan efektif KKP yang
berada di ekoregion Lesser Sunda yang hanya ditopang dari KKP Laut Sawu dan
Alor serta sebagian Gili Matra; Laut Arafura oleh KKP Aru Tenggara, Paparan Sunda
agak tersebar didukung oleh KKP Batam, Bintan, Natuna, Indramayu dan Batang;
Laut Sulawesi oleh KKP Kapoposang dan Berau (Kaltim). Sementara itu rencana
efektivitas pengelolaan KKP di ekoregion yang menjadi prioritasi puncak yakni
Papua hanya didukung oleh KKP Daerah Raja Ampat, Padaido, Waigeo, dan hanya
sebagian kecil KKP Nasional Raja Ampat yang secara keseluruhan hanya mencakup
14% dari luas KKP di ekoregion Papua saat ini.
Kondisi lebih menyedihkan terjadi pada ekoregion Laut Banda di mana rencana
pengelolaan efektif hanya mencakup luasan 0,14% dari luas KKP di ekoregion ini
yang mencapai 2.416.686 ha. Lebih disayangkan lagi, KKP di ekoregion Halmahera
dan Palawan/Borneo Utara, selain jumlah luasan KKP di sana tergolong kecil,
masing-masing seluas 6.716 ha dan 274 ha, keduanya juga belum termasuk dalam
target rencana pengelolaan efektif, hal serupa terjadi pada ekoregion Selat Malaka.
12
Sementara itu sejumlah KKP yang memiliki luasan relatif besar dan telah lama
dicadangkan dan dikelola, namun diharapkan memiliki kontribusi signifikan dalam
target rencana pengelolaan efektif KKP 2014, seperti Wakatobi dan Takabone Rate
(ekoregion Laut Banda); demikian pula Teluk Cenderawasih, Suaka Margasatwa
Laut Raja Ampat, Kepulauan Panjang dan Padaido (ekoregion Papua) bahkan belum
tampak kontribusinya bagi peningkatan pengelolaan efektivitas KKP di wilayah ini.
Hal serupa pada KKP Kapoposang dan Bunaken (ekoregion Laut Sulawesi/Selat
Makasar). Secara kebetulan kesemuanya KKP tersebut termasuk yang dikelola oleh
Kementerian Kehutanan. Perlu ditelusuri apakah sebenarnya Kementerian
Kehutanan apakah telah memiliki rencana pengeloaan efektif hanya saja belum
diinformasikan kepada Kementerian Kelautan dan Perikanan, ataukah memang
belum merumuskan peningkatan pengelolaan efektif KKP yang berada di bawah
pengelolaannya. Aspek koordinasi antara instansi Direktorat Konservasi Kawasan
dan Jenis Ikan serta Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam
(PHKA) sangat penting dalam konteks ini.
5.00 Papua
Laut Banda
Palawan/Borneo
Utara
Barat Sumatera
Timurlaut Sulawesi/
Teluk Tomini
Paparan Sunda/Laut
Jawa
Laut Arafura
Selatan Jawa
-
1990 1995 2000 2005 2010 Selat Malaka
13
Kesimpulan dan Tahap Selanjutnya
Berdasarkan hasil kajian berbasis ekoregion bahwa sesuai prioritas kawasan, empat
kawasan terpenting dari segi keanekaragaman hayati yakni ekoregion Papua, Laut
Banda, Lesser Sunda dan Laut Sulawesi/Selat Makasar telah memiliki porsi yang di
atas rata-rata dan bahkan hampir tiga kali lipat dari rata-rata luas KKP pada
ekoregion lainnya (kecuali Laut Banda hanya sedikit di atas rata-rata 2,3% luasan
KKP per ekoregion dan Laut Sulawesi 2,13%). Kondisi ini mencukupi untuk
memenuhi kebutuhan prioritas utama sesuai prioritasi kawasan konservasi dengan
luasan KKP total mencapai seluas 18% dengan luasan ekoregion yang merupakan
45% dari seluruh prioritas teratas di empat ekoregion tersebut. Namun demikian
perlu diperhatikan sebagai catatan berikut.
Halmahera
Bersamaan dengan hal tersebut, arah kebijakan Direktorat Konservasi Kawasan dan
Jenis Ikan selanjutnya perlu ditujukan kepada pencadangan konservasi perairan di
ekoregion Barat Sumatera dan Selatan Selatan Jawa. Bagian Barat Sumatera
(hanya 0,91% luasan KKP di ekoregionnya) sementara menurut para pakar kawasan
ini adalah tempat pertumbuhan karang terbaik di dunia dan tipe habitat paling
beragam yang berbatasan dengan Samudera Hindia yang dari perspektif genetik
memiliki nilai penting kedua setelah Papua, tempat bersarang penyu hijau dan penyu
leatherback. Meskipun di kawasan ini memiliki banyak KKP (18 KKP) namun
sebagian besar berukuran kecil yang dikelola oleh pemerintah daerah dan warga
setempat, sehingga jika pun dijumlahkan KKP di kawasan ini belum memberikan
luasan KKP yang signifikan di ekoregion ini.
Sementara itu Selatan Jawa meski di kawasan ini tingkat biodiversitas lautnya
tergolong rendah seperti penjelasan prioritasi Huffard dkk, namun ancaman terhadap
sumberdaya laut relatif banyak terjadi di sini mengingat kawasan ini padat penduduk
dan terdapat banyak industri dan nelayan kecil (di bawah 30 GT) yang sangat
tergantung pada keberlangsungan sumberdaya laut termasuk perikanan (Ditjen
Perikanan Tangkap, 2011). Kawasan ini juga merupakan tempat bertelur penyu,
habitat perairan muara (misal Segara Anakan). Oleh karena itu konservasi perairan
14
dengan model yang memprioritaskan pemberdayaan masyarakat pesisir dan
pelibatan para pihak (stakeholders) perlu diutamakan di kawasan ini.
Riset Terpadu
Direktorat Konservasi Kawasan dan Jenis Ikan bersama mitra LSM (nasional dan
internasional) dan beserta kalangan perguruan tinggi setempat perlu
mengembangkan dan mengarahkan berbagai riset terpadu dan assessment
terhadap wilayah berbasis ekoregion dan wilayah pengelolaan perikanan (WPP),
mempertimbangkan tidak hanya keragaman spesies namun juga keragaman genetik
pada spesies penting kritis, dampak dan adaptasi perubahan iklim, faktor ancaman
ke depan termasuk dari intervensi kegiatan manusia pada zona inti. Sebagai misal,
Laut Sulawesi/Selat Makasar merupakan koridor penghubung utama antara
lingkungan Samudera Hindia dan Samudera Pasifik dengan aneka ragam fauna dan
genetik yang dapat diidentifikasi dan dikembangkan guna pemanfaatan berbagai
tujuan.
Melalui berbagai kajian itu selain dapat mengisi kekosongan data yang ada saat ini,
juga diharapkan hasil riset dapat diimplementasikan secara praktis di kawasan
konservasi perairan setempat. Data survey biodiversitas yang masih sangat terbatas
seperti dinyatakan Huffard dkk adalah Barat Sumatera, Natuna/Anambas,
Halmahera (terutama sektor selatan), Laut Banda, termasuk juga Alor-Wetar, Teluk
Cendrawasih, dan Laut Arafura.
Direktorat Konservasi Kawasan dan Jenis Ikan perlu melakukan kerjasama erat
dengan instansi terkait di Kementerian Kehutanan karena sebagian luasan KKP,
sejak mulai inisiasi pencadangan hingga pengelolaannya saat ini masih di bawah
kementerian tersebut. Hal ini dapat dilihat dari ketimpangan rencana pengelolaan
efektif 2014 yang dari data sebaran target 4,5 juta untuk 2014 tersebut tampak dari
angka sebarannya masih belum banyak melibatkan KKP di bawah pengelolaan
Kementerian Kehutanan. Upaya kolaborasi dalam perencanaan pengelolaan
pengelolaan efektif KKP terutama perlu dilakukan secara bersama dan kolaboratif
melalui koordinasi, integrasi dan sinkronisasi program dengan pihak Kementerian
Kehutanan sangat penting.
Di sisi lain KKJI bersama mitra LSM (nasional dan internasional) perlu menggalang
kerjasama para pihak (stakeholders) lainnya termasuk kalangan peneliti dan pihak
swasta untuk meningkatkan upaya pengelolaan efektif KKP, termasuk dalam hal ini
pengembangan dan pelaksanaan jejaring KKP. Jejaring KKP di ekoregion Lesser
Sunda (Nusa Tenggara & Laut Timor) antara lain yang diinisiasi The Nature
Conservancy (Wilson dkk., 2011) telah berkembang melakukan berbagai kajian dan
peningkatan efektivitas pengelolaan KKP. Demikian pula Laut Banda (bukan Laut
Banda dalam pengertian ekoregion) yang digagas sebagai World Heritage Site
selain karena keanekaragaman hayati tinggi, keunikan proses geologis dan aspek
situs sejarah dan budaya oleh UNESCO. Diharapkan kajian dan gagasan semacam
ini dapat dijadikan lessons learned untuk pengembangan yang dapat diterapkan
sebagai champion-champion dan best practices di jejaring KKP ekoregion lainnya.
Selat Malaka
15
(lessons learned) dalam peningkatan efektivitas pengelolaan KKP melalui
pendekatan ekoregion.
Perlu dijajaki dan dikembangkan kerjasama regional seperti SSME dan CTI tersebut
khususnya mengisi kekosongan kerjasama regional di wilayah Barat Indonesia,
dengan melihat aspek prioritas pemanfaatan dan jasa maritim serta memperhatikan
tingkat ancaman terhadap sumberdaya laut ke depan, semisal di ekoregion Selat
Malaka yang berbatasan dengan Malaysia dan Singapura. Hal ini mengingat
ekoregion ini merupakan pengelolaan KKP terendah (hanya 12 km2 dari luas
ekoregion Selat Malaka 165.179 km2).
Meski ekoregion Selat Malaka memiliki keanekaragaman hayati laut terendah dari
ekoregion lainnya, dan bukan prioritas dari aspek perlindungan habitat, namun aspek
menonjol di kawasan ini adalah pemanfaatan pariwisata, kerjasama regional dan
aspek budaya maritim, hal ini dapat menjadi basis pengembangan potensial
kawasan ini ke depan. Kerjasama regional sangat diperlukan mengingat kawasan ini
juga merupakan jalur laut internasional padat yang relatif sering terjadi kecelakaan
kapal dan tumpahan minyak di laut. Hal-hal seperti ini menjadikan perlunya forum
kerjasama reguler antar tiga negara terkait (Indonesia, Malaysia, Singapura) untuk
mencegah dan mengatasinya dari sisi perlindungan habitat.
Regulasi
Pada saat yang bersamaan, guna akselerasi penguatan pengelolaan efektif dan
kerjasama nasional antar instansi baik nasional maupun kerjasama regional, adalah
sangat relevan bagi KKJI untuk mempercepat finalisasi regulasi terkait dengan
pembentukan Komisi Konservasi Sumber Daya Ikan (sebagai kelanjutan dari
Komnasko Laut), Kerjasama Konservasi dan Pemanfaatan Konservasi. #
Referensi:
Beck, M.W., Ferdana, Z., dan Karr, K. (2003). “Marine Ecoregional Planning Advice.”
Marine Initiative.
Green, A., White, A., Tanzer, J. (2012) Integrating fisheries, biodiversity, and climate
change objectives into marine protected area network design in the Coral
Triangle. Laporan disiapkan oleh The Nature Conservancy untuk Coral
Triangle Support Partnership (CTSP).
Huffard, C.L., Erdmann, M.V., Gunawan, T. (2009). Defining Geographic Priorities for
Marine Biodiversity Conservation in Indonesia. Conservation International,
Jakarta.
16
Mangubhai S., dkk (2012). “Papuan Bird’s Head Seascape: Emerging threat and
challenges in the global center of marine biodiversity” dalam Marine Pollution
Bulletin 64 hal. 2279-2295.
Mous, P.J. & Green, A. (2004). “Delineating the Coral Triangle, its Ecoregion and
Functional Seascapes: Report on an expert for Marine Protected Areas,” The
Nature Conservancy, Bali, Indonesia.
Ruchimat, T., Basuki, R., Suraji (2012). Kawasan Konservasi Perairan Pesisir dan
Pulau-Pulau Kecil di Indonesia: Paradigma, Perkembangan dan
Pengelolaannya. DIrektorat Konservasi Kawasan dan Jenis Ikan, Direktorat
Jenderal Kelautan Pessir dan Pulau-Pulau Kecil, Kementerian Kelautan dan
Perikanan.
Spalding, M.D., Fox, H.E., Allen, G.R., Davidson, N., Ferdana, Z.A., Finlayson, M.,
Halpern, B.S. Miguel, A.J., Lombana, A.L., Lourie, S.A., Martin, K.D.,
Macmanus, E., Molnar, J., Recchia, C.A. dan Robertson, J. (2007). “Marine
Ecoregion of the World: A Bioregionalization of Coastal and Shelf Areas”
dalam Bioscience July/August 2007 Vol.57 No. 7, hal. 573-583.
Ecoregion, Coral Triangle. Asia Pacific Marine Program, Report 2/11.
The Indonesian Coral Reef Foundation (TERANGI) dan UNESCO (2010). “Banda
Islands Coastal Ecosystem: Collection and Analysis of Secondary Data.”
Jakarta, Indonesia.
Veron, J.E.N., Devantier, L.M., Turak, E., Green, A.L., Kinninmonth, S., Stafford-
Smith, M., Peterson, N. (2009). “Delineating the Coral Triangle” dalam
Galaxea, Journal of Coral Reef Studies 11, hal 91-100.
Wilson, J., Darmawan, A., Subijanto, J., Green, A., dan Shepard, A. (2011). Scientific
Design of a Resilient Network of Marine Protected Areas: Lesser Sunda.
17