Appendisitis
Disusun Oleh:
112017182
Pembimbing:
1
BAB I
PENDAHULUAN
LATAR BELAKANG
2
BAB II
ISI
Appendix merupakan derivat bagian dari midgut yang terdapat di antara Ileum
dan Colon ascendens. Caecum terlihat pada minggu ke-5 kehamilan dan
Appendix terlihat pada minggu ke-8 kehamilan sebagai suatu tonjolan pada
Caecum. Awalnya Appendix berada pada apeks Caecum, tetapi kemudian
berotasi dan terletak lebih medial dekat dengan Plica ileocaecalis. Dalam proses
perkembangannya, usus mengalami rotasi. Caecum berakhir pada kuadran kanan
bawah perut. Appendix selalu berhubungan dengan Taenia caecalis. Oleh karena
itu, lokasi akhir Appendix ditentukan oleh lokasi Caecum.1,2,3
3
Gambar 2. Potongan transversa Appendix 5
Panjang Appendix pada orang dewasa bervariasi antara 2-22 cm, dengan rata-
rata panjang 6-9 cm. Meskipun dasar Appendix berhubungan dengan Taenia caealis
pada dasar Caecum, ujung Appendix memiliki variasi lokasi seperti yang terlihat pada
gambar di bawah ini. Variasi lokasi ini yang akan mempengaruhi lokasi nyeri perut
yang terjadi apabila Appendix mengalami peradangan. 1,2
4
komponen integral dari sistem Gut Associated Lymphoid Tissue (GALT), fungsinya
tidak penting dan Appendectomy tidak akan menjadi suatu predisposisi sepsis atau
penyakit imunodefisiensi lainnya.2
5
Gambar 3.1. Appendicitis (dengan fecalith) 8
Obstruksi lumen akibat adanya sumbatan pada bagian proksimal dan sekresi
normal mukosa Appendix segera menyebabkan distensi. Kapasitas lumen pada
Appendix normal 0,1 mL. Sekresi sekitar 0,5 mL pada distal sumbatan meningkatkan
tekanan intraluminal sekitar 60 cmH2O. Distensi merangsang akhiran serabut saraf
aferen nyeri visceral, mengakibatkan nyeri yang samar-samar, nyeri difus pada perut
tengah atau di bawah epigastrium. 2
Distensi berlanjut tidak hanya dari sekresi mukosa, tetapi juga dari
pertumbuhan bakteri yang cepat di Appendix. Sejalan dengan peningkatan tekanan
organ melebihi tekanan vena, aliran kapiler dan vena terhambat menyebabkan
kongesti vaskular. Akan tetapi aliran arteriol tidak terhambat. Distensi biasanya
menimbulkan refleks mual, muntah, dan nyeri yang lebih nyata. Proses inflamasi
segera melibatkan serosa Appendix dan peritoneum parietal pada regio ini,
mengakibatkan perpindahan nyeri yang khas ke RLQ. 2,6,7
6
kesalahan pencernaan. Anoreksia berperan penting pada diagnosis Appendicitis, khususnya
pada anak-anak.6
7
lebih sering dijumpai pada bayi karena bayi tidak memiliki jaringan lemak omentum,
sehingga tidak ada jaringan yang melokalisir penyebaran infeksi akibat perforasi.
Perforasi yang terjadi pada anak yang lebih tua atau remaja, lebih memungkinkan
untuk terjadi abscess. Abscess tersebut dapat diketahui dari adanya massa pada
palpasi abdomen pada saat pemeriksaan fisik.6
Gejala Appendicitis acuta umumnya timbul kurang dari 36 jam, dimulai dengan nyeri
perut yang didahului anoreksia.12,13 Gejala utama Appendicitis acuta adalah nyeri perut.
Awalnya, nyeri dirasakan difus terpusat di epigastrium, lalu menetap, kadang disertai
kram yang hilang timbul. Durasi nyeri berkisar antara 1-12 jam, dengan rata-rata 4-6
jam. Nyeri yang menetap ini umumnya terlokalisasi di RLQ. Variasi dari lokasi
anatomi Appendix berpengaruh terhadap lokasi nyeri, sebagai contoh; Appendix yang
panjang dengan ujungnya yang inflamasi di LLQ menyebabkan nyeri di daerah
tersebut, Appendix di daerah pelvis menyebabkan nyeri suprapubis, retroileal Appendix
1,3
dapat menyebabkan nyeri testicular.
Umumnya, pasien mengalami demam saat terjadi inflamasi Appendix, biasanya suhu
naik hingga 38oC. Tetapi pada keadaan perforasi, suhu tubuh meningkat hingga > 39oC.
Anoreksia hampir selalu menyertai Appendicitis. Pada 75% pasien dijumpai muntah
yang umumnya hanya terjadi satu atau dua kali saja. Muntah disebabkan oleh stimulasi
saraf dan ileus. Umumnya, urutan munculnya gejala Appendicitis adalah anoreksia,
diikuti nyeri perut dan muntah. Bila muntah mendahului nyeri perut, maka diagnosis
Appendicitis diragukan. Muntah yang timbul sebelum nyeri abdomen mengarah pada
diagnosis gastroenteritis. 2 Sebagian besar pasien mengalami obstipasi pada awal nyeri
perut dan banyak pasien yang merasa nyeri berkurang setelah buang air besar. Diare
timbul pada beberapa pasien terutama anak-anak. Diare dapat timbul setelah terjadinya
perforasi Appendix. 2,3
8
Skor Alvarado
Semua penderita dengan suspek Appendicitis acuta dibuat skor Alvarado dan diklasifikasikan
menjadi 2 kelompok yaitu; skor <6 dan skor >6. Selanjutnya ditentukan apakah akan
dilakukan Appendectomy. Setelah Appendectomy, dilakukan pemeriksaan PA terhadap
jaringan Appendix dan hasil PA diklasifikasikan menjadi 2 kelompok yaitu radang akut dan
bukan radang akut.5
Anoreksia 1
Mual/muntah 1
Nyeri lepas 1
Febris 1
Lab Leukositosis 2
Total poin 10
Bila skor 5-6 dianjurkan untuk diobservasi di rumah sakit, bila skor >6 maka tindakan bedah
sebaiknya dilakukan.2
Pada pemeriksaan fisik, perubahan suara bising usus berhubungan dengan tingkat
inflamasi pada Appendix. Hampir semua pasien merasa nyeri pada nyeri lokal di titik Mc
Burney’s. Tetapi pasien dengan Appendix retrocaecal menunjukkan gejala lokal yang
minimal. Adanya psoas sign, obturator sign, dan Rovsing’s sign bersifat konfirmasi
dibanding diagnostik. Pemeriksaan rectal toucher juga bersifat konfirmasi dibanding
diagnostik, khususnya pada pasien dengan pelvis abscess karena ruptur Appendix.6
9
Diagnosis Appendicitis sulit dilakukan pada pasien yang terlalu muda atau terlalu tua.
Pada kedua kelompok tersebut, diagnosis biasanya sering terlambat sehingga Appendicitisnya
telah mengalami perforasi. Pada awal perjalanan penyakit pada bayi, hanya dijumpai gejala
letargi, irritabilitas, dan anoreksia. Selanjutnya, muncul gejala muntah, demam, dan nyeri.7
Appendix umumnya terletak di sekitar McBurney. Namun perlu diingat bahwa letak
anatomis Appendix sebenarnya dapat pada semua titik, 360o mengelilingi pangkal Caecum.
Appendicitis letak retrocaecal dapat diketahui dari adanya nyeri di antara costa 12 dan spina
iliaca posterior superior. Appendicitis letak pelvis dapat menyebabkan nyeri rectal.6
Secara teori, peradangan akut Appendix dapat dicurigai dengan adanya nyeri pada
pemeriksaan rektum (Rectal toucher). Namun, pemeriksaan ini tidak spesifik untuk
Appendicitis. Jika tanda-tanda Appendicitis lain telah positif, maka pemeriksaan rectal
toucher tidak diperlukan lagi.6
10
Rovsing’s sign
Jika LLQ ditekan, maka terasa nyeri di RLQ. Hal ini menggambarkan iritasi peritoneum.
Sering positif pada Appendicitis namun tidak spesifik.
Psoas sign
Pasien berbaring pada sisi kiri, tangan kanan pemeriksa memegang lutut pasien dan
tangan kiri menstabilkan panggulnya. Kemudian tungkai kanan pasien digerakkan dalam
arah anteroposterior. Nyeri pada manuver ini menggambarkan kekakuan musculus psoas
kanan akibat refleks atau iritasi langsung yang berasal dari peradangan Appendix.
Manuver ini tidak bermanfaat bila telah terjadi rigiditas abdomen.
Obturator sign
Pasien terlentang, tangan kanan pemeriksa berpegangan pada telapak kaki kanan pasien
sedangkan tangan kiri di sendi lututnya. Kemudian pemeriksa memposisikan sendi lutut
pasien dalam posisi fleksi dan articulatio coxae dalam posisi endorotasi kemudian
eksorotasi. Tes ini positif jika pasien merasa nyeri di hipogastrium saat eksorotasi. Nyeri
pada manuver ini menunjukkan adanya perforasi Appendix, abscess lokal, iritasi M.
Obturatorius oleh Appendicitis letak retrocaecal, atau adanya hernia obturatoria.
11
Gambar 7. Dasar anatomis Obturator sign7
2.3.1 Laboratorium2,3,6,7
12
Urethra atau Vesica urinaria seperti yang diakibatkan oleh inflamasi Appendix, pada
Appendicitis acuta dalam sample urine catheter tidak akan ditemukan bakteriuria.
2.3.2.Ultrasonografi1,2,6,7
13
Gambar 3.7.Ultrasonogram pada potongan longitudinal Appendicitis 6
2.3.3. Pemeriksaan radiologi1,2,6,7
Foto polos abdomen jarang membantu diagnosis Appendicitis acuta, tetapi
dapat sangat bermanfaat untuk menyingkirkan diagnosis banding. Pada pasien
Appendicitis acuta, kadang dapat terlihat gambaran abnormal udara dalam usus, hal
ini merupakan temuan yang tidak spesifik. Adanya fecalith jarang terlihat pada foto
polos, tapi bila ditemukan sangat mendukung diagnosis. Foto thorax kadang
disarankan untuk menyingkirkan adanya nyeri alih dari proses pneumoni lobus kanan
bawah.
Teknik radiografi tambahan meliputi CT Scan, barium enema, dan radioisotop
leukosit. Meskipun CT Scan telah dilaporkan sama atau lebih akurat daripada USG,
tapi jauh lebih mahal. Karena alasan biaya dan efek radiasinya, CT Scan diperiksa
terutama saat dicurigai adanya Abscess appendix untuk melakukan percutaneous
drainage secara tepat.
Diagnosis berdasarkan pemeriksaan barium enema tergantung pada penemuan
yang tidak spesifik akibat dari masa ekstrinsik pada Caecum dan Appendix yang
kosong dan dihubungkan dengan ketepatan yang berkisar antara 50-48 %.
Pemeriksaan radiografi dari pasien suspek Appendicitis harus dipersiapkan untuk
pasien yang diagnosisnya diragukan dan tidak boleh ditunda atau diganti, memerlukan
operasi segera saat ada indikasi klinis.
14
Gambar 3.8. Gambaran CT Scan abdomen: Appendicitis perforata dengan abscess dan kumpulan cairan di
pelvis1
Gambar 3.9. Gambaran CT Scan abdomen: Penebalan Appendix (panah) dengan appendicolith1
15
Lebih baik pada anak-anak
16
2. Diverticulitis Meckel
Penyakit ini menimbulkan gambaran klinis yang sangat mirip Appendicitis
acuta. Perbedaan preoperatif hanyalah secara teoritis dan tidak penting karena
Diverticulitis Meckel dihubungkan dengan komplikasi yang sama seperti
Appendicitis dan memerlukan terapi yang sama yaitu operasi segera.
3. Intususseption
Sangat berlawanan dengan Diverticulitis Meckel, sangat penting untuk membedakan
Intususseption dari Appendicitis acuta karena terapinya sangat berbeda. Umur pasien
sangat penting, Appendicitis sangat jarang dibawah umur 2 tahun, sedangkan
Intususseption idiopatik hampir semuanya terjadi di bawah umur 2 tahun. Pasien
biasanya mengeluarkan tinja yang berdarah dan berlendir. Massa berbentuk sosis
dapat teraba di RLQ. Terapi yang dipilih pada intususseption bila tidak ada tanda-
tanda peritonitis adalah barium enema, sedangkan terapi pemberian barium enema
pada pasien Appendicitis acuta sangat berbahaya.
2.5 KOMPLIKASI
2.5.1. Perforasi
Perforasi adalah pecahnya appendiks yang berisi pus sehingga bakteri
menyebar ke rongga perut. Perforasi jarang terjadi dalam 12 jam pertama sejak awal
sakit, tetapi meningkat tajam sesudah 24 jam. Perforasi dapat diketahui praoperatif pada
70% kasus dengan gambaran klinis yang timbul lebih dari 36 jam sejak sakit, panas
lebih dari 38,50C, tampak toksik, nyeri tekan seluruh perut, dan leukositosis terutama
polymorphonuclear (PMN). Perforasi, baik berupa perforasi bebas maupun
mikroperforasi dapat menyebabkan peritonitis.8
2.5.2. Peritonitis
Peritonitis adalah peradangan peritoneum, merupakan komplikasi berbahaya
yang dapat terjadi dalam bentuk akut maupun kronis. Bila infeksi tersebar luas pada
permukaan peritoneum menyebabkan timbulnya peritonitis umum. Aktivitas peristaltik
berkurang sampai timbul ileus paralitik, usus meregang, dan hilangnya cairan elektrolit
mengakibatkan dehidrasi, syok, gangguan sirkulasi, dan oligouria. Peritonitis disertai
rasa sakit perut yang semakin hebat, muntah, nyeri abdomen, demam, dan leukositosis.8
17
2.5.3. Appendicular infiltrat
2.5.3.1. Patofisiologi
Bila semua proses patofisiologi Appendicitis berjalan lambat, omentum dan usus yang
berdekatan akan bergerak kearah Appendix hingga timbul suatu massa lokal yang disebut
Appendicularis infiltrat. Peradangan Appendix tersebut dapat menjadi abses atau
menghilang.17
Appendicularis infiltrat merupakan tahap patologi Appendicitis yang dimulai dimukosa
dan melibatkan seluruh lapisan dinding Appendix dalam waktu 24-48 jam pertama, ini
merupakan usaha pertahanan tubuh dengan membatasi proses radang dengan menutup
Appendix dengan omentum, usus halus, atau Adnexa sehingga terbentuk massa
periappendikular. Didalamnya dapat terjadi nekrosis jaringan berupa abses yang dapat
mengalami perforasi. Jika tidak terbentuk abscess, Appendicitis akan sembuh dan massa
periappendikular akan menjadi tenang untuk selanjutnya akan mengurai diri secara lambat. 7
Pada anak-anak, karena omentum lebih pendek dan Appendix lebih panjang, dinding
Appendix lebih tipis. Keadaan tersebut ditambah dengan daya tahan tubuh yang masih
kurang memudahkan terjadinya perforasi. Sedangkan pada orang tua perforasi mudah terjadi
karena telah ada gangguan pembuluh darah.7
Kecepatan terjadinya peristiwa tersebut tergantung pada virulensi mikroorganisme, daya
tahan tubuh, fibrosis pada dinding Appendix, omentum, usus yang lain, peritoneum parietale
dan juga organ lain seperti Vesika urinaria, uterus tuba, mencoba membatasi dan melokalisir
proses peradangan ini. Bila proses melokalisir ini belum selesai dan sudah terjadi perforasi
maka akan timbul peritonitis. Walaupun proses melokalisir sudah selesai tetapi masih belum
cukup kuat menahan tahanan atau tegangan dalam cavum abdominalis, oleh karena itu
penderita harus benar-benar istirahat (bedrest).8
Appendix yang pernah meradang tidak akan sembuh sempurna, tetapi akan membentuk
jaringan parut yang menyebabkan perlengketan dengan jaringan sekitarnya. Perlengketan ini
18
dapat menimbulkan keluhan berulang diperut kanan bawah. Pada suatu ketika organ ini dapat
meradang akut lagi dan dinyatakan mengalami eksaserbasi akut. 8
19
Pada Appendicitis pelvika tanda perut sering meragukan, maka kunci diagnosis adalah
nyeri terbatas sewaktu dilakukan colok dubur. Colok dubur pada anak tidak dianjurkan.
Pemeriksaan uji psoas dan uji obturator merupakan pemeriksaan yang lebih ditujukan untuk
mengetahui letak Appendix.8
2.5.3.4. Diagnosis
Riwayat klasik Appendicitis akut, yang diikuti dengan adanya massa yang nyeri di region
iliaka kanan dan disertai demam, mengarahkan diagnosis ke massa atau abscess
Appendikuler. Penegakan diagnosis didukung dengan pemeriksaan fisik maupun penunjang.
Kadang keadaan ini sulit dibedakan dengan karsinoma Caecum, penyakit Crohn, amuboma
dan Lymphoma maligna intra abdomen. Perlu juga disingkirkan kemungkinan aktinomikosis
intestinal, enteritis tuberkulosa, dan kelainan ginekolog seperti Kehamilan Ektopik
Terganggu (KET), Adnexitis dan Kista Ovarium terpuntir . Kunci diagnosis biasanya terletak
pada anamnesis yang khas.7
Tumor Caecum, biasanya terjadi pada orang tua dengan tanda keadaan umum jelek,
anemia dan turunnya berat badan. Hal ini perlu dipastikan dengan colon in loop dan benzidin
test. Pada anak-anak tumor Caecum yang sering adalah sarcoma dari kelenjar mesenterium.
Pada Appendicitis tuberkulosa, klinisnya antara lain keluhan nyeri yang tidak begitu hebat
disebelah kanan perut, dengan atau tanpa muntah dan waktu serangan dapat timbul panas
badan, leukositosis sedang, biasanya terdapat nyeri tekan dan rigiditas pada kuadran lateral
bawah kanan, kadang-kadang teraba massa.7
Massa Appendix dengan proses radang yang masih aktif ditandai dengan:
1. keadaan umum pasien masih terlihat sakit, suhu tubuh masih tinggi;
2. pemeriksaan lokal pada abdomen kuadran kanan bawah masih jelas terdapat tanda-tanda
peritonitis;
3. laboratorium masih terdapat lekositosis dan pada hitung jenis terdapat pergeseran ke kiri.
Massa Appendix dengan proses radang yang telah mereda dengan ditandai dengan:
1. keadaan umum telah membaik dengan tidak terlihat sakit, suhu tubuh tidak tinggi lagi;
2. pemeriksaan lokal abdomen tenang, tidak terdapat tanda-tanda peritonitis dan hanya
teraba massa dengan batas jelas dengan nyeri tekan ringan
3. laboratorium hitung lekosit dan hitung jenis normal.6
20
2.5.3.5. Penatalaksanaan
Perjalanan patologis penyakit dimulai pada saat Appendix menjadi dilindungi oleh
omentum dan gulungan usus halus didekatnya. Mula-mula, massa yang terbentuk tersusun
atas campuran bangunan-bangunan ini dan jaringan granulasi dan biasanya dapat segera
dirasakan secara klinis. Jika peradangan pada Appendix tidak dapat mengatasi rintangan-
rintangan sehingga penderita terus mengalami peritonitis umum, massa tadi menjadi terisi
nanah, semula dalam jumlah sedikit, tetapi segera menjadi abscess yang jelas batasnya.7
Urutan patologis ini merupakan masalah bagi ahli bedah. Masalah ini adalah bilamana
penderita ditemui lewat sekitar 48 jam, ahli bedah akan mengoperasi untuk membuang
Appendix yang mungkin gangrene, dari dalam massa perlekatan ringan yang longgar dan
sangat berbahaya, dan karena massa ini telah menjadi lebih terfiksasi, sehingga membuat
operasi berbahaya maka harus menunggu pembentukan abscess yang dapat mudah
didrainase.7
Massa Appendix terjadi bila terjadi Appendicitis gangrenosa atau mikroperforasi ditutupi
atau dibungkus oleh omentum dan atau lekuk usus halus. Pada massa periappendikular yang
pendindingannya belum sempurna, dapat terjadi penyebaran pus keseluruh rongga
peritoneum jika perforasi diikuti peritonitis purulenta generalisata. Pada anak, dipersiapkan
untuk operasi dalam waktu 2-3 hari saja. Pasien dewasa dengan massa periappendikular yang
terpancang dengan pendindingan sempurna, dianjurkan untuk dirawat dahulu dan diberi
antibiotik sambil diawasi suhu tubuh, ukuran massa, serta luasnya peritonitis. Bila sudah
tidak ada demam, massa periapendikular hilang, dan leukosit normal, penderita boleh pulang
dan Appendectomy elektif dapat dikerjakan 2-3 bulan kemudian agar perdarahan akibat
perlengketan dapat ditekan sekecil mungkin. Bila terjadi perforasi, akan terbentuk abscess
Appendix. Hal ini ditandai dengan kenaikan suhu dan frekuensi nadi, bertambahnya nyeri,
dan teraba pembengkakan massa, serta bertambahnya angka leukosit. 7
Tatalaksana Appendicular infiltrat pada anak-anak sampai sekarang masih kontroversial.
Dari hasil penelitian kasus terapi Appendicular infiltrat pada anak-anak, kebanyakan adalah
konservatif yaitu dengan observasi ketat dan antibiotik, dengan cairan intravena, dan
pemasangan NGT bila diperlukan. Konservatif berlangsung selama ± 6 hari di rumah sakit,
lalu direncanakan untuk dilakukan Appendectomy elektif setelah 4-6 minggu kemudian untuk
mencegah kemungkinan risiko rekurensi dan perforasi yang lebih luas. Dari hasil penelitian
komplikasi setelah operasi dengan penanganan konservatif terlebih dahulu lebih sedikit bila
dibandingkan dengan terapi pembedahan segera seperti cedera pada ileum (Ileal injury),
abses intrabdominal, infeksi karena luka saat operasi. Sehingga terapi non-operatif pada
21
appendicular infiltrat yang diikuti dengan Appendectomy elektif merupakan metode yang
aman dan efektif. Terapi tersebut sama dengan pada orang dewasa yaitu dengan konservatif
terlebih dahulu yang diikuti dengan appendectomy elektif. Hal ini dikarenakan untuk
mencegah komplikasi post operasi dan risiko dari prosedur pembedahan yang besar
(extensive).2
Pada anak-anak, jika secara konservatif tidak membaik atau berkembang menjadi abscess,
dianjurkan untuk operasi secepatnya. Pada penderita dewasa, appendectomy direncanakan
pada Appendicular infiltrat tanpa pus yang telah ditenangkan. Sebelumnya pasien diberikan
antibiotik kombinasi yang aktif terhadap kuman aerob dan anaerob. Baru setelah keadaan
tenang, yaitu sekitar 6-8 minggu kemudian dilakukan Appendectomy.2
Akhir-akhir ini terdapat manajement terapi yang terbaru yaitu dengan PLD (Primary
Laparoscopic Drainage) yang dapat diikuti dengan LA (Laparoscopic Appendectomy). PLD
ini rata-rata memakan waktu operasi sekitar 80-100 menit, makanan oral dapat diberikan 2-3
hari setelah PLD, penurunan panas badan pasien menjadi afebril pada 4-7 hari setelah PLD,
antibiotik intravena dapat dilepas 4-5 hari setelahnya, perawatan di rumah sakit antara 7-15
hari. PLD ini tidak terbukti terdapat komplikasi selama intra maupun post operasi, sedangkan
bila dilanjutkan dengan LA, komplikasi yang dapat terjadi adalah adhesi obstruksi usus.2
Bila sudah terjadi abscess, dianjurkan untuk drainase saja dan Appendectomy dikerjakan
setelah 6-8 minggu kemudian. Jika ternyata tidak ditemukan keluhan atau gejala apapun, dan
pemeriksaan fisik dan laboratorium tidak menunjukkan tanda radang atau abses, dapat
dipertimbangkan membatalkan tindakan bedah.2
2.6 EPIDEMIOLOGI
Insidensi Appendicitis acuta di negara maju lebih tinggi daripada di negara berkembang,
tetapi beberapa tahun terakhir angka kejadiannya menurun secara bermakna. Hal ini
disebabkan oleh meningkatnya penggunaan makanan berserat dalam menu sehari-hari.
Apendisitis dapat ditemukan pada semua umur, hanya pada anak kurang dari satu tahun
jarang terjadi, karena apendiks pada bayi berbentuk kerucut, lebar pada pangkalnya dan
menyempit kearah ujungnya. Keadaan ini menyebabkan rendahnya insidens kasus apendisitis
pada usia tersebut. Insiden tertinggi pada kelompok umur 20-30 tahun, setelah itu menurun.
Insidens pada pria dengan perbandingan 1,4 lebih banyak dari pada wanita. Anak berumur 2
sampai 3 tahun terdapat 15%. Frekuensi mulai menanjak setelah usia 5 tahun dan mencapai
puncaknya berkisar pada umur 9 hingga 11 tahun. Menurut The Lancet perkembangan
22
mortalitas apendisitis terlihat dimana pada tahun 1990 tingkat mortalitas pada keseluruhan
umur adalah sebanyak 875.000 kematian sedangkan pada tahun 2013 mengalami penurunan
menjadi 719.000 kematian. Kasus appendisitis di RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou Manado
pada periode Oktober 2012 – September 2015 terdapat 650 pasien. Jumlah pasien terbanyak
ialah apendisitis akut yaitu 412 pasien (63%) sedangkan apendisitis kronik sebanyak 38
pasien (6%). Dari 650 pasien, yang mengalami komplikasi sebanyak 200 pasien yang terdiri
dari 193 pasien (30%) dengan komplikasi apendisitis perforasi dan 7 pasien (1%) dengan
periapendikuler infiltrat. Kelompok umur tersering yang menderita apendisitis ialah 20-29
tahun. Jumlah pasien laki-laki lebih banyak daripada perempuan. Massa apendiks adalah
hasil akhir dari walling-off perforasi apendiks dan merupakan spektrum patologis mulai dari
phlegmon ke abscess. Ini adalah entitas bedah umum, dihadapi dalam 2% -6% dari pasien
dengan appendicitis akut.9
2.7 PENATALAKSANAAN
1. Pre-operatif
Observasi ketat, tirah baring dan puasa. Pemeriksaan abdomen dan rektal serta
pemeriksaan darah dapat diulang secara periodic. Foto abdomen dan toraks dapat
dilakukan untuk mencari penyulit lain. antibiotic intravnea spectrum luas dan analgesic
dapat diberikan seperti Ceftriaxone 2x1gr IV, Ranitidin 2x1 dan Ketoroloac 2x 30 g. Pada
perforasi apendiks perlu diberikan resusitasi cairan sebelum operasi.8
2. Operatif
Apendektomi terbuka: dilakukan dengan insisi transversal pada kuadran kanan
bawah (Davis-Rockey) atau insisi oblik (McArthur- McBurney). Pada diagnosis
yang belum jelas dapat dilakukan insisi subumbilikal pada garis tengah.10
Laparoscopic Appendectomy
Laparoscopy dapat dipakai sebagai sarana diagnosis dan terapeutik untuk pasien
dengan nyeri akut abdomen dan suspek Appendicitis acuta. Laparoscopy sangat
berguna untuk pemeriksaan wanita dengan keluhan abdomen bagian bawah. Dengan
menggunakan laparoscope akan mudah membedakan penyakit akut ginekologi dari
Appendicitis acuta.1
23
3. Pasca-operatif
Perlu dilakukan observasi tanda vital untuk mengantisipasi adanya perdarahan dalam,
syok, hipertermia, atau gangguan pernapasan. Pasien dibaringkan dalam posisi Fowler
dan selama 12 jam dipuasakan terlebih dahulu. Pada operasi dengan perforasi atau
peritonitis umum, puasa dilakukan hingga fungsi usus kembali normal. Secara
bertahap pasien diberi minum, makanan saring, makanan lunak dan makanan biasa.8
2.8 PENCEGAHAN
Pencegahan Primer
Pencegahan primer bertujuan untuk menghilangkan faktor risiko terhadap kejadian
appendicitis. Upaya pencegahan primer dilakukan secara menyeluruh kepada
masyarakat. Upaya yang dilakukan antara lain:
a. Diet tinggi serat
Berbagai penelitian telah melaporkan hubungan antara konsumsi serat dan insidens
timbulnya berbagai macam penyakit. Hasil penelitian membuktikan bahwa diet tinggi
serat mempunyai efek proteksi untuk kejadian penyakit saluran pencernaan. Serat
dalam makanan mempunyai kemampuan mengikat air, selulosa, dan pektin yang
membantu mempercepat sisi-sisa makanan untuk diekskresikan keluar sehingga tidak
terjadi konstipasi yang mengakibatkan penekanan pada dinding kolon.
b. Defekasi yang teratur
Makanan adalah faktor utama yang mempengaruhi pengeluaran feces. Makanan yang
mengandung serat penting untuk memperbesar volume feces dan makan yang teratur
mempengaruhi defekasi. Individu yang makan pada waktu yang sama setiap hari
mempunyai suatu keteraturan waktu, respon fisiologi pada pemasukan makanan dan
keteraturan pola aktivitas peristaltik di kolon.
Frekuensi defekasi yang jarang akan mempengaruhi konsistensi feces yang lebih
padat sehingga terjadi konstipasi. Konstipasi menaikkan tekanan intracaecal sehingga
terjadi sumbatan fungsional appendiks dan meningkatnya pertumbuhan flora normal
kolon. Pengerasan feces memungkinkan adanya bagian yang terselip masuk ke
saluran appendiks dan menjadi media kuman/bakteri berkembang biak sebagai infeksi
yang menimbulkan peradangan pada appendiks.
24
Pencegahan Sekunder
Pencegahan sekunder meliputi diagnosa dini dan pengobatan yang tepat untuk
mencegah timbulnya komplikasi.10
2.9 Prognosis
Apendiktomi yang dilakukan sebelum perforasi prognosisnya baik. Kematian dapat
terjadi pada beberapa kasus. Setelah operasi masih dapat terjadi infeksi pada 30%
kasus apendiks perforasi atau apendiks gangrenosa
Ad Vitam : Dubia ad Bonam
Ad Fungtionam : Dubia ad Bonam
Ad Sanationam : Dubia ad Bonam
25
BAB III
KESIMPULAN
26
DAFTAR PUSTAKA
1. Lally KP, Cox CS, Andrassy RJ, Appendix. In: Sabiston Texbook of Surgery. 17th
edition. Ed:Townsend CM, Beauchamp RD, Evers BM, Mattox KL. Philadelphia:
Elsevier Saunders. 2009: 1381-93
2. Jaffe BM, Berger DH. The Appendix. In: Schwartz’s Principles of Surgery Volume 2. 8th
edition. Ed: Brunicardi FC, Andersen DK, Billiar TR, Dunn DL, Hunter JG, Pollock RE.
New York: McGraw Hill Companies Inc. 2008:1119-34
3. Way LW. Appendix. In: Current Surgical Diagnosis & Treatment. 11 edition. Ed:Way
LW. Doherty GM. Boston: McGraw Hill. 2006:668-72
4. Human Anatomy 205. Retrieved at October 20th 2011 From: http://www
.talkorigins.org/faqs/vestiges/vermiform_Appendix.jpg
5. http://www.med.unifi.it/didonline/annoV/clinchirI/Casiclinici/Caso10/Appendicitis1x.jpg
6. Ellis H, Nathanson LK. Appendix and Appendectomy. In : Maingot’s Abdominal
Operations Vol II. 10th edition. Ed: Zinner Mj, Schwartz SI, Ellis H, Ashley SW,
McFadden DW. Singapore: McGraw Hill Co. 2009: 1191-222.
7. Soybel DI. Appedix In: Surgery Basic Science and Clinical Evidence Vol 1. Ed: Norton
JA, Bollinger RR, Chang AE, Lowry SF, Mulvihill SJ, Pass HI, Thompson RW. New
York: Springer Verlag Inc. 2011: 647-62.
8. Tanto C. Liwang F. Hanifati S. Pradipta E A. Kapita selekta kedokteran edisi IV. Jakarta:
2014:h.213-214.
9. Thomas G.A, Lahunduitan I, Tangkilisan A. Angka kejadian apendisitis di RSUP Prof. Dr.
R. D. Kandou Manado periode Oktober 2012 – September 2015. Jurnal e-Clinic (eCl),
Volume 4, Nomor 1, Januari-Juni 2016.
10. Potter, P., Perry, A., 2015. Buku Ajar Fundamental Surgery, Konsep, Proses, dan Praktik.
Edisi 4. Volume 2. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta.
27