Anda di halaman 1dari 27

Referat

Appendisitis

Disusun Oleh:

Sari Budi Safitry

112017182

Pembimbing:

dr. Ade Sigit Mayangkoro, Sp. B

KEPANITERAAN KLINIK ILMU BEDAH

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA

RUMAH SAKIT BAYUKARTA KARAWANG


PERIODE 10 DESEMBER 2018 – 16 FEBRUARI 2019

1
BAB I
PENDAHULUAN

LATAR BELAKANG

Appendicitis adalah peradangan yang terjadi pada Appendix vermicularis.


Appendix merupakan organ tubular yang terletak pada pangkal usus besar yang berada
di perut kanan bawah dan organ ini mensekresikan IgA namun seringkali menimbulkan
masalah bagi kesehatan. Peradangan akut Appendix atau Appendicitis acuta
menyebabkan komplikasi yang berbahaya apabila tidak segera dilakukan tindakan
bedah. 1

Appendicitis merupakan kasus bedah akut abdomen yang paling sering


ditemukan. Appendicitis dapat mengenai semua kelompok usia, meskipun tidak umum
pada anak sebelum usia sekolah. Hampir ⅓ anak dengan Appendicitis acuta mengalami
perforasi setelah dilakukan operasi. Meskipun telah dilakukan peningkatan pemberian
resusitasi cairan dan antibiotik yang lebih baik, appendicitis pada anak-anak, terutama
pada anak usia prasekolah masih tetap memiliki angka morbiditas yang signifikan.
Diagnosis Appendicitis acut pada anak kadang-kadang sulit. Hanya 50-70% kasus yang
bisa didiagnosis dengan tepat pada saat penilaian awal. Angka appendectomy negatif
pada pasien anak berkisar 10-50%. Riwayat perjalanan penyakit pasien dan
pemeriksaan fisik merupakan hal yang paling penting dalam mendiagnosis
Appendicitis. 2

Semua kasus appendicitis memerlukan tindakan pengangkatan dari Appendix


yang terinflamasi, baik dengan laparotomy maupun dengan laparoscopy. Apabila tidak
dilakukan tindakan pengobatan, maka angka kematian akan tinggi, terutama disebabkan
karena peritonitis dan syok. Reginald Fitz pada tahun 1886 adalah orang pertama yang
menjelaskan bahwa Appendicitis acuta merupakan salah satu penyebab utama
terjadinya akut abdomen di seluruh dunia.3

Appendicular infiltrat merupakan komplikasi dari Appendicitis acuta yang


terjadi bila Appendicitis gangrenosa atau mikroperforasi dilokalisir atau dibungkus oleh
omentum dan/atau lekuk usus halus. 4

2
BAB II

ISI

2.1 ANATOMI, FISIOLOGI, DAN EMBRIOLOGI APPENDIX

Appendix merupakan derivat bagian dari midgut yang terdapat di antara Ileum
dan Colon ascendens. Caecum terlihat pada minggu ke-5 kehamilan dan
Appendix terlihat pada minggu ke-8 kehamilan sebagai suatu tonjolan pada
Caecum. Awalnya Appendix berada pada apeks Caecum, tetapi kemudian
berotasi dan terletak lebih medial dekat dengan Plica ileocaecalis. Dalam proses
perkembangannya, usus mengalami rotasi. Caecum berakhir pada kuadran kanan
bawah perut. Appendix selalu berhubungan dengan Taenia caecalis. Oleh karena
itu, lokasi akhir Appendix ditentukan oleh lokasi Caecum.1,2,3

Gambar 1. Appendix vermicularis4

Vaskularisasi Appendix berasal dari percabangan A. ileocolica. Gambaran


histologis Appendix menunjukkan adanya sejumlah folikel limfoid pada
submukosanya. Pada usia 15 tahun didapatkan sekitar 200 atau lebih nodul
limfoid. Lumen Appendix biasanya mengalami obliterasi pada orang dewasa. 1,3

3
Gambar 2. Potongan transversa Appendix 5

Panjang Appendix pada orang dewasa bervariasi antara 2-22 cm, dengan rata-
rata panjang 6-9 cm. Meskipun dasar Appendix berhubungan dengan Taenia caealis
pada dasar Caecum, ujung Appendix memiliki variasi lokasi seperti yang terlihat pada
gambar di bawah ini. Variasi lokasi ini yang akan mempengaruhi lokasi nyeri perut
yang terjadi apabila Appendix mengalami peradangan. 1,2

Gambar 3. Variasi lokasi Appendix vermicularis1

Awalnya, Appendix dianggap tidak memiliki fungsi. Namun akhir-akhir ini,


Appendix dikatakan sebagai organ imunologi yang secara aktif mensekresikan
Imunoglobulin terutama Imunoglobulin A (IgA). Walaupun Appendix merupakan

4
komponen integral dari sistem Gut Associated Lymphoid Tissue (GALT), fungsinya
tidak penting dan Appendectomy tidak akan menjadi suatu predisposisi sepsis atau
penyakit imunodefisiensi lainnya.2

ETIOLOGI DAN PATOFISIOLOGI

Obstruksi lumen adalah penyebab utama pada Appendicitis acuta. Fecalith


merupakan penyebab umum obstruksi Appendix, yaitu sekitar 20% pada anak dengan
Appendicitis akut dan 30-40% pada anak dengan perforasi Appendix. Penyebab yang
lebih jarang adalah hiperplasia jaringan limfoid di sub mukosa Appendix, barium
yang mengering pada pemeriksaan sinar X, biji-bijian, gallstone, cacing usus terutama
Oxyuris vermicularis. Reaksi jaringan limfatik, baik lokal maupun generalisata, dapat
disebabkan oleh infeksi Yersinia, Salmonella, dan Shigella; atau akibat invasi parasit
seperti Entamoeba, Strongyloides, Enterobius vermicularis, Schistosoma, atau
Ascaris. Appendicitis juga dapat diakibatkan oleh infeksi virus enterik atau sistemik,
seperti measles, chicken pox, dan cytomegalovirus. Insidensi Appendicitis juga
meningkat pada pasien dengan cystic fibrosis. Hal tersebut terjadi karena perubahan
pada kelenjar yang mensekresi mukus. Obstruksi Appendix juga dapat terjadi akibat
tumor carcinoid, khususnya jika tumor berlokasi di 1/3 proksimal. Selama lebih dari
200 tahun, corpus alienum seperti pin, biji sayuran, dan batu cherry dilibatkan dalam
terjadinya Appendicitis. Faktor lain yang mempengaruhi terjadinya Appendicitis
adalah trauma, stress psikologis, dan herediter.6

Frekuensi obstruksi meningkat sejalan dengan keparahan proses inflamasi.


Fecalith ditemukan pada 40% kasus Appendicitis acuta sederhana, sekitar 65% pada
kasus Appendicitis gangrenosa tanpa perforasi, dan 90% pada kasus Appendicitis
acuta gangrenosa dengan perforasi. 1,2,6,7

5
Gambar 3.1. Appendicitis (dengan fecalith) 8

Obstruksi lumen akibat adanya sumbatan pada bagian proksimal dan sekresi
normal mukosa Appendix segera menyebabkan distensi. Kapasitas lumen pada
Appendix normal 0,1 mL. Sekresi sekitar 0,5 mL pada distal sumbatan meningkatkan
tekanan intraluminal sekitar 60 cmH2O. Distensi merangsang akhiran serabut saraf
aferen nyeri visceral, mengakibatkan nyeri yang samar-samar, nyeri difus pada perut
tengah atau di bawah epigastrium. 2

Distensi berlanjut tidak hanya dari sekresi mukosa, tetapi juga dari
pertumbuhan bakteri yang cepat di Appendix. Sejalan dengan peningkatan tekanan
organ melebihi tekanan vena, aliran kapiler dan vena terhambat menyebabkan
kongesti vaskular. Akan tetapi aliran arteriol tidak terhambat. Distensi biasanya
menimbulkan refleks mual, muntah, dan nyeri yang lebih nyata. Proses inflamasi
segera melibatkan serosa Appendix dan peritoneum parietal pada regio ini,
mengakibatkan perpindahan nyeri yang khas ke RLQ. 2,6,7

Mukosa gastrointestinal termasuk Appendix, sangat rentan terhadap


kekurangan suplai darah. Dengan bertambahnya distensi yang melampaui tekanan
arteriol, daerah dengan suplai darah yang paling sedikit akan mengalami kerusakan
paling parah. Dengan adanya distensi, invasi bakteri, gangguan vaskuler, infark
jaringan, terjadi perforasi biasanya pada salah satu daerah infark di batas
antemesenterik. 1,2,6,7

Di awal proses peradangan Appendix, pasien akan mengalami gejala gangguan


gastrointestinal ringan seperti berkurangnya nafsu makan, perubahan kebiasaan BAB, dan

6
kesalahan pencernaan. Anoreksia berperan penting pada diagnosis Appendicitis, khususnya
pada anak-anak.6

Distensi Appendix menyebabkan perangsangan serabut saraf visceral yang


dipersepsikan sebagai nyeri di daerah periumbilical. Nyeri awal ini bersifat nyeri
tumpul di dermatom Th 10. Distensi yang semakin bertambah menyebabkan mual dan
muntah dalam beberapa jam setelah timbul nyeri perut. Jika mual muntah timbul
mendahului nyeri perut, dapat dipikirkan diagnosis lain.6

Appendix yang mengalami obstruksi merupakan tempat yang baik bagi


perkembangbiakan bakteri. Seiring dengan peningkatan tekanan intraluminal, terjadi
gangguan aliran limfatik sehingga terjadi oedem yang lebih hebat. Hal-hal tersebut
semakin meningkatan tekanan intraluminal Appendix. Akhirnya, peningkatan tekanan
ini menyebabkan gangguan aliran sistem vaskularisasi Appendix yang menyebabkan
iskhemia jaringan intraluminal Appendix, infark, dan gangren. Setelah itu, bakteri
melakukan invasi ke dinding Appendix; diikuti demam, takikardia, dan leukositosis
akibat pelepasan mediator inflamasi karena iskhemia jaringan. Ketika eksudat
inflamasi yang berasal dari dinding Appendix berhubungan dengan peritoneum
parietale, serabut saraf somatik akan teraktivasi dan nyeri akan dirasakan lokal pada
lokasi Appendix, khususnya di titik Mc Burney’s. Jarang terjadi nyeri somatik pada
kuadran kanan bawah tanpa didahului nyeri visceral sebelumnya. Pada Appendix
yang berlokasi di retrocaecal atau di pelvis, nyeri somatik biasanya tertunda karena
eksudat inflamasi tidak mengenai peritoneum parietale sebelum terjadi perforasi
Appendix dan penyebaran infeksi. Nyeri pada Appendix yang berlokasi di retrocaecal
dapat timbul di punggung atau pinggang. Appendix yang berlokasi di pelvis, yang
terletak dekat ureter atau pembuluh darah testis dapat menyebabkan peningkatan
frekuensi BAK, nyeri pada testis, atau keduanya. Inflamasi ureter atau Vesica urinaria
akibat penyebaran infeksi Appendicitis dapat menyebabkan nyeri saat berkemih, atau
nyeri seperti terjadi retensi urine.

Perforasi Appendix akan menyebabkan terjadinya abscess lokal atau


peritonitis difus. Proses ini tergantung pada kecepatan progresivitas ke arah perforasi
dan kemampuan tubuh pasien berespon terhadap perforasi tersebut. Tanda perforasi
Appendix mencakup peningkatan suhu melebihi 38.6oC, leukositosis > 14.000, dan
gejala peritonitis pada pemeriksaan fisik. Pasien dapat tidak bergejala sebelum terjadi
perforasi, dan gejala dapat menetap hingga > 48 jam tanpa perforasi. Peritonitis difus

7
lebih sering dijumpai pada bayi karena bayi tidak memiliki jaringan lemak omentum,
sehingga tidak ada jaringan yang melokalisir penyebaran infeksi akibat perforasi.
Perforasi yang terjadi pada anak yang lebih tua atau remaja, lebih memungkinkan
untuk terjadi abscess. Abscess tersebut dapat diketahui dari adanya massa pada
palpasi abdomen pada saat pemeriksaan fisik.6

Konstipasi jarang dijumpai. Tenesmus ad ani sering dijumpai. Diare sering


dijumpai pada anak-anak, yang terjadi dalam jangka waktu yang pendek, akibat iritasi
Ileum terminalis atau caecum. Adanya diare dapat mengindikasikan adanya abscess
pelvis.6

2.2 MANIFESTASI KLINIS

2.2.1 Gejala Klinis

Gejala Appendicitis acuta umumnya timbul kurang dari 36 jam, dimulai dengan nyeri
perut yang didahului anoreksia.12,13 Gejala utama Appendicitis acuta adalah nyeri perut.
Awalnya, nyeri dirasakan difus terpusat di epigastrium, lalu menetap, kadang disertai
kram yang hilang timbul. Durasi nyeri berkisar antara 1-12 jam, dengan rata-rata 4-6
jam. Nyeri yang menetap ini umumnya terlokalisasi di RLQ. Variasi dari lokasi
anatomi Appendix berpengaruh terhadap lokasi nyeri, sebagai contoh; Appendix yang
panjang dengan ujungnya yang inflamasi di LLQ menyebabkan nyeri di daerah
tersebut, Appendix di daerah pelvis menyebabkan nyeri suprapubis, retroileal Appendix
1,3
dapat menyebabkan nyeri testicular.

Umumnya, pasien mengalami demam saat terjadi inflamasi Appendix, biasanya suhu
naik hingga 38oC. Tetapi pada keadaan perforasi, suhu tubuh meningkat hingga > 39oC.
Anoreksia hampir selalu menyertai Appendicitis. Pada 75% pasien dijumpai muntah
yang umumnya hanya terjadi satu atau dua kali saja. Muntah disebabkan oleh stimulasi
saraf dan ileus. Umumnya, urutan munculnya gejala Appendicitis adalah anoreksia,
diikuti nyeri perut dan muntah. Bila muntah mendahului nyeri perut, maka diagnosis
Appendicitis diragukan. Muntah yang timbul sebelum nyeri abdomen mengarah pada
diagnosis gastroenteritis. 2 Sebagian besar pasien mengalami obstipasi pada awal nyeri
perut dan banyak pasien yang merasa nyeri berkurang setelah buang air besar. Diare
timbul pada beberapa pasien terutama anak-anak. Diare dapat timbul setelah terjadinya
perforasi Appendix. 2,3
8
Skor Alvarado

Semua penderita dengan suspek Appendicitis acuta dibuat skor Alvarado dan diklasifikasikan
menjadi 2 kelompok yaitu; skor <6 dan skor >6. Selanjutnya ditentukan apakah akan
dilakukan Appendectomy. Setelah Appendectomy, dilakukan pemeriksaan PA terhadap
jaringan Appendix dan hasil PA diklasifikasikan menjadi 2 kelompok yaitu radang akut dan
bukan radang akut.5

Tabel 2. Alvarado scale untuk membantu menegakkan diagnosis. 2

Gejala Klinik Value

Gejala Adanya migrasi nyeri 1

Anoreksia 1

Mual/muntah 1

Tanda Nyeri RLQ 2

Nyeri lepas 1

Febris 1

Lab Leukositosis 2

Shift to the left 1

Total poin 10

Bila skor 5-6 dianjurkan untuk diobservasi di rumah sakit, bila skor >6 maka tindakan bedah
sebaiknya dilakukan.2

Pada pemeriksaan fisik, perubahan suara bising usus berhubungan dengan tingkat
inflamasi pada Appendix. Hampir semua pasien merasa nyeri pada nyeri lokal di titik Mc
Burney’s. Tetapi pasien dengan Appendix retrocaecal menunjukkan gejala lokal yang
minimal. Adanya psoas sign, obturator sign, dan Rovsing’s sign bersifat konfirmasi
dibanding diagnostik. Pemeriksaan rectal toucher juga bersifat konfirmasi dibanding
diagnostik, khususnya pada pasien dengan pelvis abscess karena ruptur Appendix.6

9
Diagnosis Appendicitis sulit dilakukan pada pasien yang terlalu muda atau terlalu tua.
Pada kedua kelompok tersebut, diagnosis biasanya sering terlambat sehingga Appendicitisnya
telah mengalami perforasi. Pada awal perjalanan penyakit pada bayi, hanya dijumpai gejala
letargi, irritabilitas, dan anoreksia. Selanjutnya, muncul gejala muntah, demam, dan nyeri.7

2.2.2 Tanda Klinis


Anak-anak dengan Appendicitis biasanya lebih tenang jika berbaring dengan gerakan
yang minimal. Anak yang menggeliat dan berteriak-teriak, pada akhirnya jarang didiagnosis
sebagai Appendicitis, kecuali pada anak dengan Appendicitis letak retrocaecal. Pada
Appendicitis letak retrocaecal, terjadi perangsangan ureter sehingga nyeri yang timbul
menyerupai nyeri pada kolik renal.6
Penderita Appendicitis umumnya lebih menyukai sikap jongkok pada paha kanan, karena
pada sikap itu Caecum tertekan sehingga isi Caecum berkurang. Hal tersebut akan
mengurangi tekanan ke arah Appendix sehingga nyeri perut berkurang. 6

Gambar 4. Posisi yang dilakukan untuk mengurangi nyeri perut7

Appendix umumnya terletak di sekitar McBurney. Namun perlu diingat bahwa letak
anatomis Appendix sebenarnya dapat pada semua titik, 360o mengelilingi pangkal Caecum.
Appendicitis letak retrocaecal dapat diketahui dari adanya nyeri di antara costa 12 dan spina
iliaca posterior superior. Appendicitis letak pelvis dapat menyebabkan nyeri rectal.6

Secara teori, peradangan akut Appendix dapat dicurigai dengan adanya nyeri pada
pemeriksaan rektum (Rectal toucher). Namun, pemeriksaan ini tidak spesifik untuk
Appendicitis. Jika tanda-tanda Appendicitis lain telah positif, maka pemeriksaan rectal
toucher tidak diperlukan lagi.6

Secara klinis, dikenal beberapa manuver diagnostik:

10
 Rovsing’s sign
Jika LLQ ditekan, maka terasa nyeri di RLQ. Hal ini menggambarkan iritasi peritoneum.
Sering positif pada Appendicitis namun tidak spesifik.

 Psoas sign
Pasien berbaring pada sisi kiri, tangan kanan pemeriksa memegang lutut pasien dan
tangan kiri menstabilkan panggulnya. Kemudian tungkai kanan pasien digerakkan dalam
arah anteroposterior. Nyeri pada manuver ini menggambarkan kekakuan musculus psoas
kanan akibat refleks atau iritasi langsung yang berasal dari peradangan Appendix.
Manuver ini tidak bermanfaat bila telah terjadi rigiditas abdomen.

Gambar 5. Dasar anatomis terjadinya Psoas sign 7

 Obturator sign
Pasien terlentang, tangan kanan pemeriksa berpegangan pada telapak kaki kanan pasien
sedangkan tangan kiri di sendi lututnya. Kemudian pemeriksa memposisikan sendi lutut
pasien dalam posisi fleksi dan articulatio coxae dalam posisi endorotasi kemudian
eksorotasi. Tes ini positif jika pasien merasa nyeri di hipogastrium saat eksorotasi. Nyeri
pada manuver ini menunjukkan adanya perforasi Appendix, abscess lokal, iritasi M.
Obturatorius oleh Appendicitis letak retrocaecal, atau adanya hernia obturatoria.

Gambar 6. Cara melakukan Obturator sign7

11
Gambar 7. Dasar anatomis Obturator sign7

 Blumberg’s sign (nyeri lepas kontralateral)


Pemeriksa menekan di LLQ kemudian melepaskannya. Manuver ini dikatakan positif bila
pada saat dilepaskan, pasien merasakan nyeri di RLQ.

2.3 PEMERIKSAAN PENUNJANG

2.3.1 Laboratorium2,3,6,7

Leukositosis ringan berkisar antara 10.000-18.000/ mm3, biasanya didapatkan


pada keadaan akut, Appendicitis tanpa komplikasi dan sering disertai predominan
polimorfonuklear sedang. Jika hitung jenis sel darah putih normal tidak ditemukan shift
to the left pergeseran ke kiri, diagnosis Appendicitis acuta harus dipertimbangkan.
Jarang hitung jenis sel darah putih lebih dari 18.000/ mm3 pada Appendicitis tanpa
komplikasi. Hitung jenis sel darah putih di atas jumlah tersebut meningkatkan
kemungkinan terjadinya perforasi Appendix dengan atau tanpa abscess.
CRP (C-Reactive Protein) adalah suatu reaktan fase akut yang disintesis oleh
hati sebagai respon terhadap infeksi bakteri. Jumlah dalam serum mulai meningkat
antara 6-12 jam inflamasi jaringan.
Kombinasi 3 tes yaitu adanya peningkatan CRP ≥ 8 mcg/mL, hitung leukosit ≥
11000, dan persentase neutrofil ≥ 75% memiliki sensitivitas 86%, dan spesifisitas
90.7%
Pemeriksaan urine bermanfaat untuk menyingkirkan diagnosis infeksi dari
saluran kemih. Walaupun dapat ditemukan beberapa leukosit atau eritrosit dari iritasi

12
Urethra atau Vesica urinaria seperti yang diakibatkan oleh inflamasi Appendix, pada
Appendicitis acuta dalam sample urine catheter tidak akan ditemukan bakteriuria.
2.3.2.Ultrasonografi1,2,6,7

Ultrasonografi cukup bermanfaat dalam menegakkan diagnosis Appendicitis.


Appendix diidentifikasi/ dikenal sebagai suatu akhiran yang kabur, bagian usus yang
nonperistaltik yang berasal dari Caecum. Dengan penekanan yang maksimal, Appendix
diukur dalam diameter anterior-posterior. Penilaian dikatakan positif bila tanpa
kompresi ukuran anterior-posterior Appendix 6 mm atau lebih. Ditemukannya
appendicolith akan mendukung diagnosis. Gambaran USG dari Appendix normal, yang
dengan tekanan ringan merupakan struktur akhiran tubuler yang kabur berukuran 5 mm
atau kurang, akan menyingkirkan diagnosis Appendicitis acuta. Penilaian dikatakan
negatif bila Appendix tidak terlihat dan tidak tampak adanya cairan atau massa
pericaecal. Sewaktu diagnosis Appendicitis acuta tersingkir dengan USG, pengamatan
singkat dari organ lain dalam rongga abdomen harus dilakukan untuk mencari diagnosis
lain. Pada wanita-wanita usia reproduktif, organ-organ panggul harus dilihat baik
dengan pemeriksaan transabdominal maupun endovagina agar dapat menyingkirkan
penyakit ginekologi yang mungkin menyebabkan nyeri akut abdomen. Diagnosis
Appendicitis acuta dengan USG telah dilaporkan sensitifitasnya sebesar 78%-96% dan
spesifitasnya sebesar 85%-98%. USG sama efektifnya pada anak-anak dan wanita
hamil, walaupun penerapannya terbatas pada kehamilan lanjut.

USG memiliki batasan-batasan tertentu dan hasilnya tergantung pada pemakai.


Penilaian positif palsu dapat terjadi dengan ditemukannya periappendicitis dari
peradangan sekitarnya, dilatasi Tuba fallopi, benda asing (inspissated stool) yang dapat
menyerupai appendicolith, dan pasien obesitas Appendix mungkin tidak tertekan
karena proses inflamasi Appendix yang akut melainkan karena terlalu banyak lemak.
USG negatif palsu dapat terjadi bila Appendicitis terbatas hanya pada ujung Appendix,
letak retrocaecal, Appendix dinilai membesar dan dikelirukan oleh usus kecil, atau bila
Appendix mengalami perforasi oleh karena tekanan.

13
Gambar 3.7.Ultrasonogram pada potongan longitudinal Appendicitis 6
2.3.3. Pemeriksaan radiologi1,2,6,7
Foto polos abdomen jarang membantu diagnosis Appendicitis acuta, tetapi
dapat sangat bermanfaat untuk menyingkirkan diagnosis banding. Pada pasien
Appendicitis acuta, kadang dapat terlihat gambaran abnormal udara dalam usus, hal
ini merupakan temuan yang tidak spesifik. Adanya fecalith jarang terlihat pada foto
polos, tapi bila ditemukan sangat mendukung diagnosis. Foto thorax kadang
disarankan untuk menyingkirkan adanya nyeri alih dari proses pneumoni lobus kanan
bawah.
Teknik radiografi tambahan meliputi CT Scan, barium enema, dan radioisotop
leukosit. Meskipun CT Scan telah dilaporkan sama atau lebih akurat daripada USG,
tapi jauh lebih mahal. Karena alasan biaya dan efek radiasinya, CT Scan diperiksa
terutama saat dicurigai adanya Abscess appendix untuk melakukan percutaneous
drainage secara tepat.
Diagnosis berdasarkan pemeriksaan barium enema tergantung pada penemuan
yang tidak spesifik akibat dari masa ekstrinsik pada Caecum dan Appendix yang
kosong dan dihubungkan dengan ketepatan yang berkisar antara 50-48 %.
Pemeriksaan radiografi dari pasien suspek Appendicitis harus dipersiapkan untuk
pasien yang diagnosisnya diragukan dan tidak boleh ditunda atau diganti, memerlukan
operasi segera saat ada indikasi klinis.

14
Gambar 3.8. Gambaran CT Scan abdomen: Appendicitis perforata dengan abscess dan kumpulan cairan di
pelvis1

Gambar 3.9. Gambaran CT Scan abdomen: Penebalan Appendix (panah) dengan appendicolith1

Tabel 3. Perbandingan USG dan CT Scan Appendix pada Appendicitis5

USG CT Scan Appendix


Sensitivitas 85% 90-100%

Spesifitas 92% 95-97%

Penggunaan Evaluasi pasien pada pasien Evaluasi pasien pada pasien


Appendicitis Appendicitis

Keuntungan Aman Lebih akurat


Relatif murah Lebih baik dalam
mengidentifikasi Appendix
Dapat menyingkirkan
normal, phlegmon dan
penyakit pelvis pada wanita
abscess

15
Lebih baik pada anak-anak

Kerugian Tergantung operator Mahal


Secara teknik tidak adekuat Radiasi ionisasi
dalam menilai gas
Kontras
Nyeri

2.4 DIAGNOSIS BANDING

Apabila gejala-gejala gastrointestinal seperti mual dan muntah lebih dominan,


perlu dipertimbangkan gastroenteritis sebagai diagnosis banding, terutama apabila
gejala-gejala gastrointestinal tersebut mendahului gejala nyeri perut, namun nyeri perut
lebih ringan dan tidak berbatas tegas. Hiperperistaltik lebih sering ditemukan. Demam
dan leukositosis kurang menonjol dibandingkan apendisitis akut.2,6
Kasus-kasus keganasan juga harus menjadi bahan pertimbangan. Karsinoma
dengan perforasi ke dalam sekum maupun kolon ascendens akan memberikan gejala
nyeri yang akut disertai tanda-tanda perangsangan peritoneum. Pada kasus yang jarang
ditemui, dapat terjadi apendisitis sekunder akibat obstruksi lumen sekum oleh karena
karsinoma. Limfoma pada ileum terminal juga dapat memberikan gejala-gejala yang
menyerupai appendicitis. Secara umum pada kasus-kasus keganasan abdominal dapat
ditemukan tinja dengan test guaiac yang positif, anemia, riwayat penurunan berat badan,
perubahan kronis dari pola defekasi.2,6
Pada wanita usia muda , penyebab dari nyeri perut kanan bawah termasuk yang
telah disebutkan diatas dan ditambah dengan kelainan-kelainan seperti: kista ovarium
terpuntir, adneksitis dan kehamilan ektopik. Pada wanita usia premenopause,
endometriosis merupakan salah satu penyebab dari nyeri perut bawah kronik, yang pada
keadaan akut sering menyerupai apendisitis. Mengingat bahwa terdapat berbagai
kelainan ginekologis yang dapat menyerupai apendisitis maka perlu ditanyakan riwayat
ginekologis pasien dan pola siklus menstruasinya.2,6
1. Gastroenteritis akut
Penyakit ini sangat umum pada anak-anak tapi biasanya mudah dibedakan dengan
Appendicitis. Gastroentritis karena virus merupakan salah satu infeksi akut self
limited dari berbagai macam sebab, yang ditandai dengan adanya diare, mual, dan
muntah. Nyeri hiperperistaltik abdomen mendahului terjadinya diare. Hasil
pemeriksaan laboratorium biasanya normal.

16
2. Diverticulitis Meckel
Penyakit ini menimbulkan gambaran klinis yang sangat mirip Appendicitis
acuta. Perbedaan preoperatif hanyalah secara teoritis dan tidak penting karena
Diverticulitis Meckel dihubungkan dengan komplikasi yang sama seperti
Appendicitis dan memerlukan terapi yang sama yaitu operasi segera.
3. Intususseption
Sangat berlawanan dengan Diverticulitis Meckel, sangat penting untuk membedakan
Intususseption dari Appendicitis acuta karena terapinya sangat berbeda. Umur pasien
sangat penting, Appendicitis sangat jarang dibawah umur 2 tahun, sedangkan
Intususseption idiopatik hampir semuanya terjadi di bawah umur 2 tahun. Pasien
biasanya mengeluarkan tinja yang berdarah dan berlendir. Massa berbentuk sosis
dapat teraba di RLQ. Terapi yang dipilih pada intususseption bila tidak ada tanda-
tanda peritonitis adalah barium enema, sedangkan terapi pemberian barium enema
pada pasien Appendicitis acuta sangat berbahaya.

2.5 KOMPLIKASI

2.5.1. Perforasi
Perforasi adalah pecahnya appendiks yang berisi pus sehingga bakteri
menyebar ke rongga perut. Perforasi jarang terjadi dalam 12 jam pertama sejak awal
sakit, tetapi meningkat tajam sesudah 24 jam. Perforasi dapat diketahui praoperatif pada
70% kasus dengan gambaran klinis yang timbul lebih dari 36 jam sejak sakit, panas
lebih dari 38,50C, tampak toksik, nyeri tekan seluruh perut, dan leukositosis terutama
polymorphonuclear (PMN). Perforasi, baik berupa perforasi bebas maupun
mikroperforasi dapat menyebabkan peritonitis.8
2.5.2. Peritonitis
Peritonitis adalah peradangan peritoneum, merupakan komplikasi berbahaya
yang dapat terjadi dalam bentuk akut maupun kronis. Bila infeksi tersebar luas pada
permukaan peritoneum menyebabkan timbulnya peritonitis umum. Aktivitas peristaltik
berkurang sampai timbul ileus paralitik, usus meregang, dan hilangnya cairan elektrolit
mengakibatkan dehidrasi, syok, gangguan sirkulasi, dan oligouria. Peritonitis disertai
rasa sakit perut yang semakin hebat, muntah, nyeri abdomen, demam, dan leukositosis.8

17
2.5.3. Appendicular infiltrat

Appendicular infiltrat adalah Appendicular infiltrat adalah infiltrat/massa yang


terbentuk akibat mikro atau makro perforasi dari Appendix yang meradang yang
kemudian ditutupi oleh omentum, usus halus atau usus besar. Umumnya massa
Appendix terbentuk pada hari ke-4 sejak peradangan mulai apabila tidak terjadi
peritonitis umum. Massa Appendix lebih sering dijumpai pada pasien berumur lima
tahun atau lebih karena daya tahan tubuh telah berkembang dengan baik dan omentum
telah cukup panjang dan tebal untuk membungkus proses radang.6

2.5.3.1. Patofisiologi
Bila semua proses patofisiologi Appendicitis berjalan lambat, omentum dan usus yang
berdekatan akan bergerak kearah Appendix hingga timbul suatu massa lokal yang disebut
Appendicularis infiltrat. Peradangan Appendix tersebut dapat menjadi abses atau
menghilang.17
Appendicularis infiltrat merupakan tahap patologi Appendicitis yang dimulai dimukosa
dan melibatkan seluruh lapisan dinding Appendix dalam waktu 24-48 jam pertama, ini
merupakan usaha pertahanan tubuh dengan membatasi proses radang dengan menutup
Appendix dengan omentum, usus halus, atau Adnexa sehingga terbentuk massa
periappendikular. Didalamnya dapat terjadi nekrosis jaringan berupa abses yang dapat
mengalami perforasi. Jika tidak terbentuk abscess, Appendicitis akan sembuh dan massa
periappendikular akan menjadi tenang untuk selanjutnya akan mengurai diri secara lambat. 7
Pada anak-anak, karena omentum lebih pendek dan Appendix lebih panjang, dinding
Appendix lebih tipis. Keadaan tersebut ditambah dengan daya tahan tubuh yang masih
kurang memudahkan terjadinya perforasi. Sedangkan pada orang tua perforasi mudah terjadi
karena telah ada gangguan pembuluh darah.7
Kecepatan terjadinya peristiwa tersebut tergantung pada virulensi mikroorganisme, daya
tahan tubuh, fibrosis pada dinding Appendix, omentum, usus yang lain, peritoneum parietale
dan juga organ lain seperti Vesika urinaria, uterus tuba, mencoba membatasi dan melokalisir
proses peradangan ini. Bila proses melokalisir ini belum selesai dan sudah terjadi perforasi
maka akan timbul peritonitis. Walaupun proses melokalisir sudah selesai tetapi masih belum
cukup kuat menahan tahanan atau tegangan dalam cavum abdominalis, oleh karena itu
penderita harus benar-benar istirahat (bedrest).8
Appendix yang pernah meradang tidak akan sembuh sempurna, tetapi akan membentuk
jaringan parut yang menyebabkan perlengketan dengan jaringan sekitarnya. Perlengketan ini

18
dapat menimbulkan keluhan berulang diperut kanan bawah. Pada suatu ketika organ ini dapat
meradang akut lagi dan dinyatakan mengalami eksaserbasi akut. 8

2.5.3.2. Manifestasi Klinis


Appendisitis infiltrat didahului oleh keluhan appendisitis akut yang kemudian disertai
adanya massa periapendikular. Gejala klasik Appendicitis akut biasanya bermula dari nyeri di
daerah umbilikus atau periumbilikus yang berhubungan dengan muntah. Dalam 2-12 jam
nyeri beralih ke kuadran kanan, yang akan menetap dan diperberat bila berjalan atau batuk.
Terdapat juga keluhan anoreksia, malaise, dan demam yang tidak terlalu tinggi. Biasanya
juga terdapat konstipasi tetapi kadang-kadang terjadi diare, mual dan muntah. Pada
permulaan timbulnya penyakit belum ada keluhan abdomen yang menetap. Namun dalam
beberapa jam nyeri abdomen kanan bawah akan semakin progresif.7
2.5.3.3. Pemeriksaan Fisik
Demam biasanya ringan, dengan suhu sekitar 37,5-38,5C. Bila suhu lebih tinggi,
mungkin sudah terjadi perforasi. Bisa terdapat perbedaan suhu axillar dan rektal sampai 1C.
Pada inspeksi perut tidak ditemukan gambaran spesifik. Kembung sering terlihat pada
penderita dengan komplikasi perforasi. Appendicitis infiltrat atau adanya Appendicular
abscess terlihat dengan adanya penonjolan di perut kanan bawah.8
Pada palpasi didapatkan nyeri yang terbatas pada regio iliaka kanan, bisa disertai nyeri
lepas. Defence muscular menunjukkan adanya rangsangan peritoneum parietale. Nyeri tekan
perut kanan bawah ini merupakan kunci diagnosis. Pada penekanan perut kiri bawah akan
dirasakan nyeri di perut kanan bawah yang disebut tanda Rovsing. Pada Appendicitis
retrosekal atau retroileal diperlukan palpasi dalam untuk menentukan adanya rasa nyeri. 8
Jika sudah terbentuk abscess yaitu bila ada omentum atau usus lain yang dengan cepat
membendung daerah Appendix maka selain ada nyeri pada fossa iliaka kanan selama 3-4 hari
(waktu yang dibutuhkan untuk pembentukan abscess) juga pada palpasi akan teraba massa
yang fixed dengan nyeri tekan dan tepi atas massa dapat diraba. Jika Appendix intrapelvinal
maka massa dapat diraba pada RT(Rectal Toucher) sebagai massa yang hangat.7
Peristaltik usus sering normal, peristaltik dapat hilang karena ileus paralitik pada
peritonitis generalisata akibat Appendicitis perforata. Pemeriksaan colok dubur menyebabkan
nyeri bila daerah infeksi bisa dicapai dengan jari telunjuk, misalnya pada Appendicitis
pelvika. 8

19
Pada Appendicitis pelvika tanda perut sering meragukan, maka kunci diagnosis adalah
nyeri terbatas sewaktu dilakukan colok dubur. Colok dubur pada anak tidak dianjurkan.
Pemeriksaan uji psoas dan uji obturator merupakan pemeriksaan yang lebih ditujukan untuk
mengetahui letak Appendix.8

2.5.3.4. Diagnosis
Riwayat klasik Appendicitis akut, yang diikuti dengan adanya massa yang nyeri di region
iliaka kanan dan disertai demam, mengarahkan diagnosis ke massa atau abscess
Appendikuler. Penegakan diagnosis didukung dengan pemeriksaan fisik maupun penunjang.
Kadang keadaan ini sulit dibedakan dengan karsinoma Caecum, penyakit Crohn, amuboma
dan Lymphoma maligna intra abdomen. Perlu juga disingkirkan kemungkinan aktinomikosis
intestinal, enteritis tuberkulosa, dan kelainan ginekolog seperti Kehamilan Ektopik
Terganggu (KET), Adnexitis dan Kista Ovarium terpuntir . Kunci diagnosis biasanya terletak
pada anamnesis yang khas.7
Tumor Caecum, biasanya terjadi pada orang tua dengan tanda keadaan umum jelek,
anemia dan turunnya berat badan. Hal ini perlu dipastikan dengan colon in loop dan benzidin
test. Pada anak-anak tumor Caecum yang sering adalah sarcoma dari kelenjar mesenterium.
Pada Appendicitis tuberkulosa, klinisnya antara lain keluhan nyeri yang tidak begitu hebat
disebelah kanan perut, dengan atau tanpa muntah dan waktu serangan dapat timbul panas
badan, leukositosis sedang, biasanya terdapat nyeri tekan dan rigiditas pada kuadran lateral
bawah kanan, kadang-kadang teraba massa.7
Massa Appendix dengan proses radang yang masih aktif ditandai dengan:
1. keadaan umum pasien masih terlihat sakit, suhu tubuh masih tinggi;
2. pemeriksaan lokal pada abdomen kuadran kanan bawah masih jelas terdapat tanda-tanda
peritonitis;
3. laboratorium masih terdapat lekositosis dan pada hitung jenis terdapat pergeseran ke kiri.
Massa Appendix dengan proses radang yang telah mereda dengan ditandai dengan:
1. keadaan umum telah membaik dengan tidak terlihat sakit, suhu tubuh tidak tinggi lagi;
2. pemeriksaan lokal abdomen tenang, tidak terdapat tanda-tanda peritonitis dan hanya
teraba massa dengan batas jelas dengan nyeri tekan ringan
3. laboratorium hitung lekosit dan hitung jenis normal.6

20
2.5.3.5. Penatalaksanaan
Perjalanan patologis penyakit dimulai pada saat Appendix menjadi dilindungi oleh
omentum dan gulungan usus halus didekatnya. Mula-mula, massa yang terbentuk tersusun
atas campuran bangunan-bangunan ini dan jaringan granulasi dan biasanya dapat segera
dirasakan secara klinis. Jika peradangan pada Appendix tidak dapat mengatasi rintangan-
rintangan sehingga penderita terus mengalami peritonitis umum, massa tadi menjadi terisi
nanah, semula dalam jumlah sedikit, tetapi segera menjadi abscess yang jelas batasnya.7
Urutan patologis ini merupakan masalah bagi ahli bedah. Masalah ini adalah bilamana
penderita ditemui lewat sekitar 48 jam, ahli bedah akan mengoperasi untuk membuang
Appendix yang mungkin gangrene, dari dalam massa perlekatan ringan yang longgar dan
sangat berbahaya, dan karena massa ini telah menjadi lebih terfiksasi, sehingga membuat
operasi berbahaya maka harus menunggu pembentukan abscess yang dapat mudah
didrainase.7
Massa Appendix terjadi bila terjadi Appendicitis gangrenosa atau mikroperforasi ditutupi
atau dibungkus oleh omentum dan atau lekuk usus halus. Pada massa periappendikular yang
pendindingannya belum sempurna, dapat terjadi penyebaran pus keseluruh rongga
peritoneum jika perforasi diikuti peritonitis purulenta generalisata. Pada anak, dipersiapkan
untuk operasi dalam waktu 2-3 hari saja. Pasien dewasa dengan massa periappendikular yang
terpancang dengan pendindingan sempurna, dianjurkan untuk dirawat dahulu dan diberi
antibiotik sambil diawasi suhu tubuh, ukuran massa, serta luasnya peritonitis. Bila sudah
tidak ada demam, massa periapendikular hilang, dan leukosit normal, penderita boleh pulang
dan Appendectomy elektif dapat dikerjakan 2-3 bulan kemudian agar perdarahan akibat
perlengketan dapat ditekan sekecil mungkin. Bila terjadi perforasi, akan terbentuk abscess
Appendix. Hal ini ditandai dengan kenaikan suhu dan frekuensi nadi, bertambahnya nyeri,
dan teraba pembengkakan massa, serta bertambahnya angka leukosit. 7
Tatalaksana Appendicular infiltrat pada anak-anak sampai sekarang masih kontroversial.
Dari hasil penelitian kasus terapi Appendicular infiltrat pada anak-anak, kebanyakan adalah
konservatif yaitu dengan observasi ketat dan antibiotik, dengan cairan intravena, dan
pemasangan NGT bila diperlukan. Konservatif berlangsung selama ± 6 hari di rumah sakit,
lalu direncanakan untuk dilakukan Appendectomy elektif setelah 4-6 minggu kemudian untuk
mencegah kemungkinan risiko rekurensi dan perforasi yang lebih luas. Dari hasil penelitian
komplikasi setelah operasi dengan penanganan konservatif terlebih dahulu lebih sedikit bila
dibandingkan dengan terapi pembedahan segera seperti cedera pada ileum (Ileal injury),
abses intrabdominal, infeksi karena luka saat operasi. Sehingga terapi non-operatif pada

21
appendicular infiltrat yang diikuti dengan Appendectomy elektif merupakan metode yang
aman dan efektif. Terapi tersebut sama dengan pada orang dewasa yaitu dengan konservatif
terlebih dahulu yang diikuti dengan appendectomy elektif. Hal ini dikarenakan untuk
mencegah komplikasi post operasi dan risiko dari prosedur pembedahan yang besar
(extensive).2

Pada anak-anak, jika secara konservatif tidak membaik atau berkembang menjadi abscess,
dianjurkan untuk operasi secepatnya. Pada penderita dewasa, appendectomy direncanakan
pada Appendicular infiltrat tanpa pus yang telah ditenangkan. Sebelumnya pasien diberikan
antibiotik kombinasi yang aktif terhadap kuman aerob dan anaerob. Baru setelah keadaan
tenang, yaitu sekitar 6-8 minggu kemudian dilakukan Appendectomy.2

Akhir-akhir ini terdapat manajement terapi yang terbaru yaitu dengan PLD (Primary
Laparoscopic Drainage) yang dapat diikuti dengan LA (Laparoscopic Appendectomy). PLD
ini rata-rata memakan waktu operasi sekitar 80-100 menit, makanan oral dapat diberikan 2-3
hari setelah PLD, penurunan panas badan pasien menjadi afebril pada 4-7 hari setelah PLD,
antibiotik intravena dapat dilepas 4-5 hari setelahnya, perawatan di rumah sakit antara 7-15
hari. PLD ini tidak terbukti terdapat komplikasi selama intra maupun post operasi, sedangkan
bila dilanjutkan dengan LA, komplikasi yang dapat terjadi adalah adhesi obstruksi usus.2

Bila sudah terjadi abscess, dianjurkan untuk drainase saja dan Appendectomy dikerjakan
setelah 6-8 minggu kemudian. Jika ternyata tidak ditemukan keluhan atau gejala apapun, dan
pemeriksaan fisik dan laboratorium tidak menunjukkan tanda radang atau abses, dapat
dipertimbangkan membatalkan tindakan bedah.2

2.6 EPIDEMIOLOGI

Insidensi Appendicitis acuta di negara maju lebih tinggi daripada di negara berkembang,
tetapi beberapa tahun terakhir angka kejadiannya menurun secara bermakna. Hal ini
disebabkan oleh meningkatnya penggunaan makanan berserat dalam menu sehari-hari.
Apendisitis dapat ditemukan pada semua umur, hanya pada anak kurang dari satu tahun
jarang terjadi, karena apendiks pada bayi berbentuk kerucut, lebar pada pangkalnya dan
menyempit kearah ujungnya. Keadaan ini menyebabkan rendahnya insidens kasus apendisitis
pada usia tersebut. Insiden tertinggi pada kelompok umur 20-30 tahun, setelah itu menurun.
Insidens pada pria dengan perbandingan 1,4 lebih banyak dari pada wanita. Anak berumur 2
sampai 3 tahun terdapat 15%. Frekuensi mulai menanjak setelah usia 5 tahun dan mencapai
puncaknya berkisar pada umur 9 hingga 11 tahun. Menurut The Lancet perkembangan

22
mortalitas apendisitis terlihat dimana pada tahun 1990 tingkat mortalitas pada keseluruhan
umur adalah sebanyak 875.000 kematian sedangkan pada tahun 2013 mengalami penurunan
menjadi 719.000 kematian. Kasus appendisitis di RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou Manado
pada periode Oktober 2012 – September 2015 terdapat 650 pasien. Jumlah pasien terbanyak
ialah apendisitis akut yaitu 412 pasien (63%) sedangkan apendisitis kronik sebanyak 38
pasien (6%). Dari 650 pasien, yang mengalami komplikasi sebanyak 200 pasien yang terdiri
dari 193 pasien (30%) dengan komplikasi apendisitis perforasi dan 7 pasien (1%) dengan
periapendikuler infiltrat. Kelompok umur tersering yang menderita apendisitis ialah 20-29
tahun. Jumlah pasien laki-laki lebih banyak daripada perempuan. Massa apendiks adalah
hasil akhir dari walling-off perforasi apendiks dan merupakan spektrum patologis mulai dari
phlegmon ke abscess. Ini adalah entitas bedah umum, dihadapi dalam 2% -6% dari pasien
dengan appendicitis akut.9

2.7 PENATALAKSANAAN

1. Pre-operatif

Observasi ketat, tirah baring dan puasa. Pemeriksaan abdomen dan rektal serta
pemeriksaan darah dapat diulang secara periodic. Foto abdomen dan toraks dapat
dilakukan untuk mencari penyulit lain. antibiotic intravnea spectrum luas dan analgesic
dapat diberikan seperti Ceftriaxone 2x1gr IV, Ranitidin 2x1 dan Ketoroloac 2x 30 g. Pada
perforasi apendiks perlu diberikan resusitasi cairan sebelum operasi.8

2. Operatif
 Apendektomi terbuka: dilakukan dengan insisi transversal pada kuadran kanan
bawah (Davis-Rockey) atau insisi oblik (McArthur- McBurney). Pada diagnosis
yang belum jelas dapat dilakukan insisi subumbilikal pada garis tengah.10
 Laparoscopic Appendectomy

Laparoscopy dapat dipakai sebagai sarana diagnosis dan terapeutik untuk pasien
dengan nyeri akut abdomen dan suspek Appendicitis acuta. Laparoscopy sangat
berguna untuk pemeriksaan wanita dengan keluhan abdomen bagian bawah. Dengan
menggunakan laparoscope akan mudah membedakan penyakit akut ginekologi dari
Appendicitis acuta.1

23
3. Pasca-operatif
Perlu dilakukan observasi tanda vital untuk mengantisipasi adanya perdarahan dalam,
syok, hipertermia, atau gangguan pernapasan. Pasien dibaringkan dalam posisi Fowler
dan selama 12 jam dipuasakan terlebih dahulu. Pada operasi dengan perforasi atau
peritonitis umum, puasa dilakukan hingga fungsi usus kembali normal. Secara
bertahap pasien diberi minum, makanan saring, makanan lunak dan makanan biasa.8

2.8 PENCEGAHAN
Pencegahan Primer
Pencegahan primer bertujuan untuk menghilangkan faktor risiko terhadap kejadian
appendicitis. Upaya pencegahan primer dilakukan secara menyeluruh kepada
masyarakat. Upaya yang dilakukan antara lain:
a. Diet tinggi serat
Berbagai penelitian telah melaporkan hubungan antara konsumsi serat dan insidens
timbulnya berbagai macam penyakit. Hasil penelitian membuktikan bahwa diet tinggi
serat mempunyai efek proteksi untuk kejadian penyakit saluran pencernaan. Serat
dalam makanan mempunyai kemampuan mengikat air, selulosa, dan pektin yang
membantu mempercepat sisi-sisa makanan untuk diekskresikan keluar sehingga tidak
terjadi konstipasi yang mengakibatkan penekanan pada dinding kolon.
b. Defekasi yang teratur
Makanan adalah faktor utama yang mempengaruhi pengeluaran feces. Makanan yang
mengandung serat penting untuk memperbesar volume feces dan makan yang teratur
mempengaruhi defekasi. Individu yang makan pada waktu yang sama setiap hari
mempunyai suatu keteraturan waktu, respon fisiologi pada pemasukan makanan dan
keteraturan pola aktivitas peristaltik di kolon.
Frekuensi defekasi yang jarang akan mempengaruhi konsistensi feces yang lebih
padat sehingga terjadi konstipasi. Konstipasi menaikkan tekanan intracaecal sehingga
terjadi sumbatan fungsional appendiks dan meningkatnya pertumbuhan flora normal
kolon. Pengerasan feces memungkinkan adanya bagian yang terselip masuk ke
saluran appendiks dan menjadi media kuman/bakteri berkembang biak sebagai infeksi
yang menimbulkan peradangan pada appendiks.

24
Pencegahan Sekunder
Pencegahan sekunder meliputi diagnosa dini dan pengobatan yang tepat untuk
mencegah timbulnya komplikasi.10
2.9 Prognosis
Apendiktomi yang dilakukan sebelum perforasi prognosisnya baik. Kematian dapat
terjadi pada beberapa kasus. Setelah operasi masih dapat terjadi infeksi pada 30%
kasus apendiks perforasi atau apendiks gangrenosa
Ad Vitam : Dubia ad Bonam
Ad Fungtionam : Dubia ad Bonam
Ad Sanationam : Dubia ad Bonam

25
BAB III
KESIMPULAN

Appendicitis adalah peradangan pada Appendix vermicularis. Appendix merupakan


derivat bagian dari midgut, yang lokasi anatomisnya dapat berbeda tiap individu.
Appendicitis merupakan kasus bedah akut abdomen yang paling sering ditemukan. Faktor-
faktor yang menjadi etiologi dan predisposisi terjadinya Appendicitis meliputi faktor
obstruksi, bakteriologi, dan diet. Obstruksi lumen adalah penyebab utama pada Appendicitis
acuta. Pemeriksaan penunjang dalam diagnosis Appendicitis adalah pemeriksaan
laboratorium, Skor Alvarado, ultrasonografi, dan radiologi
Komplikasi yang dapat ditimbulkan oleh Appendicitis adalah perforasi, peritonitis,
Appendicular infiltrat, Appendicular abscess, shock Septic, mesenterial pyemia dengan
Abscess hepar, dan perdarahan GIT. Penatalaksanaan pasien Appendicitis acuta meliputi;
pemberian kristaloid untuk pasien dengan gejala klinis dehidrasi atau septikemia, puasakan
pasien, analgetika harus dengan konsultasi ahli bedah, pemberian antibiotika i.v. pada pasien
yang menjalani laparotomi.

26
DAFTAR PUSTAKA

1. Lally KP, Cox CS, Andrassy RJ, Appendix. In: Sabiston Texbook of Surgery. 17th
edition. Ed:Townsend CM, Beauchamp RD, Evers BM, Mattox KL. Philadelphia:
Elsevier Saunders. 2009: 1381-93

2. Jaffe BM, Berger DH. The Appendix. In: Schwartz’s Principles of Surgery Volume 2. 8th
edition. Ed: Brunicardi FC, Andersen DK, Billiar TR, Dunn DL, Hunter JG, Pollock RE.
New York: McGraw Hill Companies Inc. 2008:1119-34
3. Way LW. Appendix. In: Current Surgical Diagnosis & Treatment. 11 edition. Ed:Way
LW. Doherty GM. Boston: McGraw Hill. 2006:668-72
4. Human Anatomy 205. Retrieved at October 20th 2011 From: http://www
.talkorigins.org/faqs/vestiges/vermiform_Appendix.jpg
5. http://www.med.unifi.it/didonline/annoV/clinchirI/Casiclinici/Caso10/Appendicitis1x.jpg
6. Ellis H, Nathanson LK. Appendix and Appendectomy. In : Maingot’s Abdominal
Operations Vol II. 10th edition. Ed: Zinner Mj, Schwartz SI, Ellis H, Ashley SW,
McFadden DW. Singapore: McGraw Hill Co. 2009: 1191-222.
7. Soybel DI. Appedix In: Surgery Basic Science and Clinical Evidence Vol 1. Ed: Norton
JA, Bollinger RR, Chang AE, Lowry SF, Mulvihill SJ, Pass HI, Thompson RW. New
York: Springer Verlag Inc. 2011: 647-62.
8. Tanto C. Liwang F. Hanifati S. Pradipta E A. Kapita selekta kedokteran edisi IV. Jakarta:
2014:h.213-214.
9. Thomas G.A, Lahunduitan I, Tangkilisan A. Angka kejadian apendisitis di RSUP Prof. Dr.
R. D. Kandou Manado periode Oktober 2012 – September 2015. Jurnal e-Clinic (eCl),
Volume 4, Nomor 1, Januari-Juni 2016.
10. Potter, P., Perry, A., 2015. Buku Ajar Fundamental Surgery, Konsep, Proses, dan Praktik.
Edisi 4. Volume 2. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta.

27

Anda mungkin juga menyukai