Anda di halaman 1dari 7

JURUSAN POLITIK DAN PEMERINTAHAN

FISIPOL UGM

LEMBAR COVER TUGAS 2013


Nama Alan Griha Yunanto
NoMahasiswa
No. Mahasiswa 11/317917/SP/24800

Nama Matakuliah Manajemen Resiko

Dosen Miftah Adhi Iksanto, Haryanto


Judul Tugas Manajemen Resiko Terorisme
Jumlah Kata 1583

CHECKLIST
Saya telah:
Mengikuti gaya referensi tertentu secara konsisten ................................................................. 
Memberikan soft copy tugas .................................................................................................... 

Deklarasi
Pertama, saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa:
 Karya ini merupakan hasil karya saya pribadi.
 Karya ini sebagian besar mengekspresikan ide dan pemikiran saya yang disusun
menggunakan kata dan gaya bahasa saya sendiri.
 Apabila terdapat karya atau pemikiran orang lain atau sekelompok orang, karya, ide
dan pemikiran tersebut dikutip dengan benar, mencantumkan sumbernya serta disusun
sesuai dengan kaidah yang berlaku.
 Tidak ada bagian dari tugas ini yang pernah dikirimkan untuk dinilai, dipublikasikan
dan/atau digunakan untuk memenuhi tugas mata kuliah lain sebelumnya.
Kedua, saya menyatakan bahwa apabila satu atau lebih ketentuan di atas tidak ditepati, saya
sadar akan menerima sanksi minimal berupa kehilangan hak untuk menerima nilai untuk
mata kuliah ini.

_____________________________ ________________________________
Tanda Tangan Tanggal
JURUSAN POLITIK DAN PEMERINTAHAN
FISIPOL UGM

Pergantian tahun identik dengan kemeriahan dan pesta kembang api, namun pada
tahun 2013 menuju 2014 ini berbeda dengan sebelumnya. Terjadi kericuhan di Lembaga
Pemasyarakatan (LP) Batu di Pulau Nusakambangan, Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah pada
malam pergantian tahun, sebanyak 23 narapidana sebagian besar napi terorisme
ditempatlan di ruang isolasi. Mereka adalah provokator kericuhan dipenjara tersebut.
Kericuhan tersebut merusak sejumlah fasilitas dan melempari petugas dengan sejumlah
benda saat petugas hendak memindahkan Pepi Fernando bin Maman alias Muhamad Romi
alias Ahyar, terpidana 18 tahun dalam kasus “Bom Buku” Jakarta ke LP Besi.1
Hal ini mengindikasikan bahwa meskipun keamanan sudah sangat ketat, namun
manajemen risiko yang dilakukan masih kurang memadai. Manajemen risiko terorisme
merupakan suatu langkah yang mutlak perlu demi mengurangi dampak negatif. Untuk itu
dalam tulisan ini penulis akan membahas konsepsi tata kelola ruang publik di Indonesia
terhadap ancaman terorisme dan bagaimana managemen resiko terorisme atas kasus diatas
yang akan penulis tawarkan pada akhir tulisan ini.

Menyoal Kasus Terorisme


Terorisme adalah paham yang berpendapat bahwa penggunaan cara-cara
kekerasan dan menimbulkan ketakutan adalah cara yang sah untuk mencapai tujuan.2
Dengan demikian menurut Nasir Abas, bahwa teror merupakan reaksi jahat yang
dipandang “lebih jahat” oleh pelaku, sehingga bukan merupakan kejahatan yang berdiri
sendiri (interactionism) dan dapat dikelompokkan kedalam kejahatan balas dendam
(hate crimes).3 Lebih lanjut lagi Thornton (1964), mengatakan bahwa terorisme adalah
sebuah perilaku menggunakan terror sebagai perlakuan simbolik yang sengaja didesain
untuk mempengaruhi perilaku politik dengan tujuan tidak biasanya, menggunakan ancaman
kekerasan.4
Melihat dari definisi-definisi diatas, terorisme memang bercitra negatif terbukti
dengan penggunaan cara-cara kekerasan dan dianggap sah dalam mencapai tujuan yang

1
http://www.pikiran-rakyat.com/node/264911 diakses pada tanggal 07 Januari 2014.
2
Muchamad Ali Syafa’at, Tindak Pidana Teror Belenggu Baru bagi Kebebasan dalam “terrorism, definisi, aksi
dan regulasi”, Imparsial, 2003, hal. 59.
3
Nasir Abas, Kajian tentang Terorisme, Makalah disampaikan pada Diskusi Kajian tantang Terorisme di
Ditjenstarahan Kemhan tanggal 16 Januari 2012, hal. 1.
4
Lihat juga T.P. Thornton, 1964, Terror as A Weapon of Political Agitation in H. Eckstein (ed.), Internal War.
London: Collier-Macmillan.
JURUSAN POLITIK DAN PEMERINTAHAN
FISIPOL UGM

ingin dicapainya. Termasuk dalam kasus kericuhan yang ada di lapas Batu, terpidana
terorisme melakukan pengorganisasian dan radikalisasi narapidana biasa untuk melakukan
aksi-aksi anarkhis.
Ini menandakan bahwa sistem keamanan obyek vital maupun sistem keamanan
lingkungan dibanyak tempat belum memadai, dalam artian mudah disusupi dan belum dapat
menangkal kemungkinan terjadinya aksi terorisme.5 Permasalahan tersebut mungkin terkait
dengan prosedur, peralatan teknologi, infrastruktur, dan kualitas sumberdaya manusia.
Sementara kelompok radikal-terorisme semakin mahir menggunakan alat-alat teknologi.
Lemahnya sistem keamanan objek vital maupun keamanan lingkungan akan berdampak
buruk pada bidang-bidang lain seperti politik, ekonomi, sosial maupun budaya.
Data yang dirilis ini harus menjadi perhatian serius, karena serangan teror terhadap
obyek vital, transportasi publik, dan lingkungan membawa dampak yang sangat merugikan.
Termasuk apa yang dilakukan oleh terpidana kasus terorisme yang dapat melakukan
keleluasaan di dalam penjara. Hal ini juga memberikan efek yang meluas dan sangat
merugikan bagi kepentingan nasional, mulai dari runtuhnya kepercayaan dunia terhadap
keamanan dalam negeri, kerusakan fisik dan non fisik jika terjadi aksi teror, serta kerugian
ekonomi yang berdampak sistemik nantinya pasca adanya terror.
Dengan kondisi seperti ini juga akan berpengaruh terhadap suburnya jaringan
terorisme yang sebenarnya terdiri dari oknum-oknum yang merasa dirugikan oleh pihak-
pihak seperti pemerintah dan menganggap pemerintah adalah objek vital untuk
menyebarkan aksi terror. Tata kelola ruang publik di Indonesia sampai dengan saat ini
masih kurang peka terhadap ancaman-ancaman terorisme. Lihat saja kasus kericuhan di
lapas Batu Nusakambangan ini, terpidana terorisme justru dicampur dengan narapidana
biasa, dan dengan pengawasan yang sangat kurang. Sistem keamanan yang demikian inilah
yang dirasa sangat kurang di Indonesia, kelalaian yang dilakukan oleh sipir kerap kali
terjadi.
Selain tata kelola ruang publik yang kurang siap faktor-faktor dari dalam diri
masyarakat sendiri menanggapi aksi terror ini masih sangat menganggap sepele dan rasa
was-was satu dengan yang lain masih sangat rendah. Bagi sebagian besar masyarakat,

5
Kepala BNPT Irjen Pol (Purn) Drs Ansya’ad Mbai mengungkapkan, berdasakan kajian dan pengumpulan data
yang dilakukan BNPT dan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) ditemukan di depan puluhan
perwakilan pimpinan perusahaan pertambangan yang mengikuti Seminar Nasional Sistem Keamanan Obyek
Vital dalam Menghadapi Ancaman Terorisme, di Hotel Millenium, Jakarta, Rabu (20/11).
JURUSAN POLITIK DAN PEMERINTAHAN
FISIPOL UGM

terorisme bukanlah ancaman. Hal ini bisa disebabkan oleh empat kemungkinan. Pertama,
karena keberhasilan polisi. Ratusan teroris meringkuk di penjara dan dieksekusi mati. Jika
data statistik menjadi ukuran, Indonesia adalah juara dunia pemberantasan terorisme.
Oknum teroris kakap telah ditumpas habis, yang tersisa hanyalah teroris-teroris kelas teri
dengan aksi ecek-ecek. Kedua, karena tingginya kuantitas dan kualitas tindak kekerasan,
masyarakat begitu terbiasa, bahkan bersahabat dengan kriminalitas. Ketiga, melihat modus
dan aksinya, masyarakat semakin yakin bahwa mereka bukanlah target utama terorisme.
Kalaupun ada sebagian yang menjadi korban terorisme, semuanya itu hanyalah musibah
belaka. Keempat, masyarakat letih dan jenuh dengan berbagai impitan kehidupan, bertahan
untuk hidup jauh lebih penting. Secara psikologis, masyarakat bersikap masa bodoh, cuek,
tidak peduli (by stander apathy) terhadap terorisme. Pemberantasan terorisme adalah
urusan pemerintah dan polisi.
Kedua faktor yakni kurang memadainya objek vital dan ruang public dalam
menghadapi ancaman terorisme dan kondisi dari masyarakat sendiri yang memang sangat
yakin juga acuh terhadap aksi terorisme, terakumulasi menjadi satu. Hal ini menyebabkan
aksi-aksi terorisme akan terus subur terpupuk di Indonesia. Sementara itu penulis juga
pernah mengutarakan dari faktor masyarakat sendiri sebagai aktor yang berdinamika
terhadap ruang-ruang publik, karakternya sangat-sangat terbuka. Ini yang menjelaskan
oknum-oknum terorisme banyak tertangkap di daerah pedesaan, karena karakter
masyarakatnya yang juga sangat mendukung.

Manajemen Resiko yang Mungkin Diterapkan


Dengan kondisi yang sudah penulis paparkan diatas, sudah seharusnya pemerintah
saat ini mulai sadar dan melakukan identifikasi secara lebih mendalam untuk menelurkan
managemen resiko terorisme yang tepat. Langkah yang pertama kali perlu dilakukan adalah
melakukan identifikasi risiko sebanyak mungkin. Tujuan dari identifikasi risiko adalah
mengidentifikasi berbagai risiko terorisme yang mungkin terjadi. Identifikasi ulang ini mutlak
diperlukan, beberapa contoh identifikasi risiko terorisme misalnya tempat perakitan, target
ancaman teroris, jenis-jenis serangan teroris yang mungkin terjadi, (bom, kebakaran,
tabrakan dengan pesawat, nuklir, senjata kimia).
Perbaikan yang harus dilakukan dan mutlak diperlukan yakni dalam sistem
keamanan di lapas sendiri. Bisa jadi dengan kondisi keamanan yang kurang memadai
terorisme dapat dengan cerdik melakukan aksi-aksinya, termasuk didalam lapas. Kalau perlu
JURUSAN POLITIK DAN PEMERINTAHAN
FISIPOL UGM

buat lapas khusus terpidana terorisme, jangan biarkan mereka berinteraksi satu dengan
yang lainnya. Pencampuran dengan narapidana biasa termasuk hal yang sangat fatal.
Karena terpidana terorisme ini bukan berisi orang-orang yang bodoh, justru mereka
mendapatkan basis massa baru jika masih dilakukan pencampuran seperti di Lapas Batu
Nusakambangan.
Perketat juga pengamanan di front line lapas, terkadang pengamanan lapas dipintu
kunjungan pun sangat longgar. Puluhan pengnjung dalam waktu yang sama hanya diperiksa
empat bahkan satu orang petugas. Jadi pengunjung gelap pun juga bisa dengan leluasa
masuk. Pembangunan sarana fisik seperti CCTV disetiap lapas sangat dianjurkan untuk
meminimalisasi resiko yang dapat terjadi.
Selain itu hal yang juga krusial dilakukan adalah mengoreksi paradigma konservatif
yang mengaitkan terorisme dengan Wahabisme, Jihad, dan separatisme Islam. Banyak studi
ilmiah menunjukkan paradigma konservatif tersebut bermasalah baik secara teologis,
historis, dan politis. Program deradikalisasi yang melihat terorisme dari sisi teologis-ideologis
perlu dikaji ulang. Kedua, berbekal mandat konstitusi selama ini polisi berjuang sendiri.
Sebagai lembaga superbody, praktis polisi hanya bekerja dengan Badan Nasional
Pemberantasan Terorisme (BNPT). Berbagai kalangan bahkan meminta agar BNPT
dibubarkan karena kredibilitas dan akuntabilitas kinerjanya meragukan. Polisi dan BNPT
perlu membuka diri dan bekerja sama dengan merangkul semua pihak. Selama ini, kedua
lembaga tersebut hanya bermitra dengan lingkaran organisasi tertentu. Polisi dan BNPT
seperti gagap membangun komunikasi dengan organisasi keagamaan dan tokoh agama
secara luas, terutama kepada ormas yang kritis seperti Muhammadiyah dan lembaga hak
asasi manusia seperti Komnas HAM, dan lain-lain.
Hal Ini menjadi sangat perlu dalam merancang konsep manajemen resiko yang
menurut hemat penulis, nantinya jika diterapkan polisi dan BNPT tidak akan susah-susah
untuk grebek sana grebek sini. Apalagi dengan penggrebekan akan menimbulkan kesan
bahwa sebenarnya polisi dan BNPT ini adalah symbol perlawanan dan menjadi sasaran
utama saat ini bagi teroris. Terbukti sekarang ini banyak anggota polisi yang secara sengaja
ditembak oleh kawanan tidak dikenal yang diduga anggota teroris. Menggrebek bukan solusi
terbaik untuk mengurangi ancaman terorisme, sudah seharusnya polisi dan BNPT berpikiran
secara taktis bukan teknis. Ide semacam ini penulis dapatkan ketika, penulis sendiri
membayangkan menjadi seorang teroris dan merencanakan strategi penyerangan. Secara
JURUSAN POLITIK DAN PEMERINTAHAN
FISIPOL UGM

berulang-ulang dan penulis dapatkan lebih baik menyerang polisi dan BNPT sebagai
lembaga superbody yang bersinggungan langsung.
Ketiga, mengurangi pendekatan militeristik (military security approach) dengan
memperkuat pendekatan sosial (social security approach). Walaupun masih perlu dikaji lebih
lanjut, mengenai terorisme berkaitan dengan hilangnya rasa keadilan. Terorisme tumbuh
ditengah perasaan termiskinkan, terpinggirkan dan terabaikan. Karena itu, menciptakan
keadilan sosial, budaya, ekonomi, politik, dan hukum secara manusiawi bisa menjadi
alternatif mengurangi dan mencegah ancaman terorisme.
Selain itu dalam membuat suatu konsep managemen resiko terorisme ini perlu
dilakukan perbaikan terhadap kondisi masyarakat Indonesia pada saat ini. Kondisi seperti
yang sudah penulis ungkapkan diatas bukan masalah sepele, karena faktor dari masyarakat
sendiri yang akan menentukan besarnya keefektifan pengurangan resiko terhadap ancaman
terorisme. Jika masyarakat tetap acuh dan tidak peduli terhadap lingkungan sekitar, seolah
masalah ini bukan menjadi kewenangannya dan pemerintah tidak bisa menciptakan
engagement society, maka bukan tidak mungkin terorisme justru akan semakin subur di
Indonesia.
Hal yang penting dibenahi dalam masyarakat, menciptakan sistem penanggulangan
terorisme berbasis masyarakat. Tindakan kesiapsiagaan dari dalam diri masyarakat antara
lain dibutuhkan kewaspadaan seluruh pihak baik masyarakat, pemerintah maupun
perorangan. Misalkan dengan lebih menjaga keamanan lingkungan (siskamling, penjagaan
keamanan), melaporkan kepada aparat terdekat jika menemukan orang atau kelompok
orang atau sesuatu yang mencurigakan dan juga memperketat penjagaan keamanan
dengan melakukan pemeriksaan terhadap orang-orang yang mencurigakan, terkait identitas
diri jika memasuki desa harus sepengetahuan ketua RT setempat. Hal terakhir ini penting
bagi perorangan untuk melakukan mitigasi risiko, yakni berupa asuransi dalam rangka
meminimalisir kerugian finansial yang disebabkan akibat serangan teroris ini.
JURUSAN POLITIK DAN PEMERINTAHAN
FISIPOL UGM

Referensi:
Thornton, T.P., 1964. Terror as A Weapon of Political Agitation in H. Eckstein (ed.), Internal
War. London: Collier-Macmillan.

Wardlaw, Grant, 1982. Political Terrorism: Theory, Tactics, and Counter-Measures.


Cambridge: Cambridge University Press.

Abdul Mu’ti, Ancaman Terorisme: How Low Can You Go?, Koran Sindo 02 Januari 2014.

Muchamad Ali Syafa’at, Tindak Pidana Teror Belenggu Baru bagi Kebebasan dalam
“terrorism, definisi, aksi dan regulasi”, Imparsial, 2003, hal. 59.

Nasir Abas, Kajian tentang Terorisme, Makalah disampaikan pada Diskusi Kajian tantang
Terorisme di Ditjenstarahan Kemhan tanggal 16 Januari 2012, hal. 1.

Rinella Putri, 2009, Manajemen Risiko Terorisme, Mutlak Perlu dapat diakses melalui
<http://vibizmanagement.com/journal/index/category/risk_management/48/30> diakses
pada tanggal 07 Januari 2014.

Yayasan IDEP Untuk Penanggulangan Bencana Berbasis Masyarakat, Terorisme: Cerita


tentang Peran Masyarakat dalam Menghadapi Serangan Teroris. Dapat diakses melalui
<www.idepfoundation.org/pbbm> diakses pada tanggal 07 Januari 2014.

<http://www.pikiran-rakyat.com/node/264911> diakses pada tanggal 07 Januari 2014.

<http://www.sucofindo.co.id/berita-terkini/2888/bnpt:-perlindungan-obyek-vital-dari-
ancaman-terorisme-belum-memadai.html> diakses pada tanggal 07 Januari 2014.

Anda mungkin juga menyukai