Anda di halaman 1dari 21

A.

PEMERIKSAAN PENDENGARAN PADA ANAK


Ada tiga jenis gangguan pendengaran yang dapat dikenali dengan uji pendengaran
yaitu tuli konduktif, tuli saraf (sensorineural deafness) serta tuli campuran (mixed deafness).
Pada tuli konduktif terdapat gangguan hantaran suara, disebabkan oleh kelainan atau
penyakit di telinga luar atau di telinga tengah. Pada tuli saraf (perseptif, sensorineural)
kelainan terdapat pada koklea (telinga dalam), nervus VIII atau di pusat pendengaran,
sedangkan tuli campuran, disebabkan oleh kombinasi tuli konduktif dan tuli saraf. Tuli
campur dapat merupakan satu penyakit, misalnya radang telinga tengah dengan komplikasi
ke telinga dalam atau merupakan dua penyakit yang berlainan, misalnya tumor nervus VIII
(tuli saraf) dengan radang telinga tengah (tuli konduktif). Jadi jenis ketulian sesuai dengan
letak kelainan.13,14
Suara yang didengar dapat dibagi dalam bunyi, nada murni dan bising. Bunyi
(frekuensi 20Hz-18.000Hz) merupakan frekuensi nada murni yang dapat didengar oleh
telinga normal. Nada murni (pure tone), hanya satu frekuensi, misalnya dari garpu tala,
piano. Bising (noise) dibedakan antara NB (narrow band), terdiri atas beberapa frekuensi,
spektrumnya terbatas dan WN (white noise), yang terdiri dari banyak frekuensi.5,17
Pemeriksaan pendengaran dilakukan secara kualitatif dengan mempergunakan garpu tala dan
kuantitatif dengan menggunakan audiometer. Untuk pemeriksaan kuantitatif gangguan
pendengaran dilakukan pemeriksaan audiometri. Dari audiogram dapat dilihat apakah
pendengaran normal atau tuli, kemudian jenis dan derajat ketuliannya. Derajat ketulian
dihitung dengan index flechter, yaitu rata-rata ambang pendengaran pada frekuensi 500,
1.000, 2.000, 4.000 Hz.16,18
Pada prinsipnya tuli kongenital harus diketahui sedini mungkin. Walaupun derajat
ketulian yang dialami seorang anak hanya bersifat ringan, namun dalam perkembangan
selanjutnya akan mempengaruhi kemampuan berbicara dan berbahasa. Untuk menegakkan
diagnosis sedini mungkin maka diperlukan skrining pendengaran pada anak.13,14
Perubahan perilaku anak terhadap stimulus suara tergantung pada beberapa faktor antara lain faktor
usia, status mental yang mencakup kondisi mental anak, kemauan melakukan tes, rasa takut, status neurologik
yang berhubungan dengan perkembangan motorik dan persepsi.15,16
Selama ini masih ada yang beranggapan bahwa tes pendengaran tidak bisa dilakukan
saat masih bayi, harus menunggu hingga anak bisa berbicara (usia 5-6 tahun), padahal kini tes pendengaran
bahkan sudah bisa dilakukan saat beberapa jam setelah anak lahir. Bahkan 10 negara bagian di
Amerika Serikat telah mewajibkan tes pendengaran dilakukan pada bayi baru lahir.17,19
Beberapa pemeriksaan pendengaran yang dapat dilakukan adalah:
1. Behavioral Observation Audiometry (BOA)
2. Otoacoustic Emission (OAE)
3. Brainstem Evoked Response Audiometry (BERA)
4. Timpanometri
5. ASSR
6. PTA
1) Behavioural Observation Audiometry 19,20
Teknik BOA sudah lama dikembangkan untuk evaluasi pendengaran anak-anak usia <18
bulan, sejak belum tersedia alat-alat elektrofisiologik. Tes ini berdasarkan pada respon aktif
pasien terhadap stimulus bunyi dan merupakan respon yang disadari (voluntary respon). Metoda ini
dapat mengetahui seluruh sistem auditorik termasuk pusat kognitif yang lebih tinggi.
Behavioural Audiometry penting untuk mengetahui respons subyektif sistem auditorik pada bayi dan anak,
dan juga bermanfaat untuk penilaian habilitasi pendengaran yaitu pada pengukuran alat bantu dengar
(hearing aid fitting). Pemeriksaan ini dapat digunakan pada semua usia mulai bayi baru lahir dengan
mempertimbangkan usia dan status perkembangan anak secara umum.
Pemeriksaan dilakukan pada ruangan yang cukup tenang (bising lingkungan tidak lebih dari 60
dB), idealnya pada ruangan kedap suara. Sebagai sumber bunyi dapat digunakan tepukan tangan, tambur,
bola plastik berisi pasir, remasan kertas, minyak, bel, terompet karet, dan benda-benda lain yang telah dikalibrasi
frekuensi dan intensitasnya. Bila tersedia bisa digunakan alat noisemaker buatan pabrik yang frekuensi
dan intensitasnya bisa dipilih. Tes behaviour cukup dapat memberikan nilai ketepatan, efisiensi dan cukup
obyektif apabila dilakukan oleh klinikus yang berpengalaman. Selain itu tes BOA cukup relibel,
cukup menyenangkan bagi anak-anak, serta efisien dari segi waktu dan biaya.
Dinilai kemampuan bayi dalam memberikan respon terhadap sumber bunyi tersebut.
Pemeriksaan Behavioral Observation Audiometry dibedakan menjadi:5
1. Behavioral Reflex Audiometry
Dilakukan pengamatan respons behavioral yang bersifat reflex sebagai reaksi terhadap
stimulus bunyi. Respon behavioral yang dapat diamati antara lain: mengejapkan mata
(auropalpebral reflex), melebarkan mata (eye widening), mengerutkan wajah
(grimacing), berhenti menyusu (cessation reflex), denyut jantung meningkat, reflex
moro (paling konsisten). Refleks auropalpebral dan moro rentan terhadap efek
habituasi, maksudnya bila stimulus diberikan berulang-ulang bayi menjadi bosan
sehingga tidak memberi respon walaupun dapat mendengar. Bila kita mengharapkan
terjadinya Refleks Moro dengan stimulus bunyi keras sebaiknya dilakukan pada akhir
prosedur karena bayi akan terkejut, takut dan menangis, sehingga menyulitkan observasi
selanjutnya.
2. Behavioral Response Audiometry
Pada bayi normal sekitar usia 5- 6 bulan, stimulus akustik akan menghasilkan
pola respon khas berupa menoleh atau menggerakkan kepala kerah sumber bunyi diluar
lapangan pandang. Awalnya gerakan kepala hanya pada bidang horizontal, dan dengan
bertambahnya usia bayi dapat melokalisir sumber bunyi dari arah bawah. Selanjutnya
bayi mampu mencari sumber bunyi dari bagian atas. Pada bayi normal kemampuan
melokalisir sumber bunyi dari segala arah akan tercapai pada usia 13 – 16 bulan.
Teknik yang sering dipakai ada dua macam, yakni Tes Distraksi dan Visual
Reinforcement Audiometry (VRA).
Pada tes distraksi, pemeriksaan dilakukan pada ruang kedap suara, menggunakan
stimulus nada murni. Bayi dipangku oleh ibu atau pengasuh. Diperlukan 2 orang
pemeriksa, pemeriksa pertama bertugas untuk menjaga konsentrasi bayi, misalnya
dengan memperlihatkan mainan yang tidak terlalu menarik perhatian, selain
memperhatikan respon bayi. Pemeriksa kedua berperan memberikan stimulus bayi,
misalnya dengan audiometer yang terhubung dengan pengeras suara. Respon terhadap
bunyi adalah menggerakkan bola mata atau menoleh kearah sumber bunyi. Bila tidak
ada respon terhadap stimulasi bunyi, pemeriksaan diulangi sekali lagi. Kalau tetap
tidak berhasil, pemeriksaan ketiga dilakukan lagi 1 minggu kemudian. Seandainya
tetap tidak ada respon, harus dilakukan pemeriksaan audiologik lanjutan yang lebih
lengkap.
Teknik Visual Reinforcement Audiometry mulai dapat dilakukan pada bayi usia 4-
7 bulan dimana kontrol neuromotor berupa kemampuan mencari sumber bunyi sudah
berkembang. Pada masa ini, respon unconditioned beralih menjadi respon conditioned.
Stimulus bunyi diberikan bersamaan dengan stimulus visual, bayi akan memberi
respon orientasi atau melokalisir bunyi dengan cara menoleh kearah sumber bunyi.
2) Otoacoustic Emission (OAE)
Pemeriksaan tidak harus diruang kedap suara, cukup di ruangan yang tenang. Pada mesin
OAE generasi terakhir nilai OAE secara otomatis akan dikoreksi dengan noise yang terjadi
selama pemeriksaan. Artefak
yang terjadi akan diseleksi saat itu
juga (real time). Hal tersebut
menyebabkan nilai sensitifitas dan
spesifitas OAE yang tinggi.
Untuk memperoleh hasil
yang optimal diperlukan pemilihan
probe (sumbat liang telinga) sesuai
ukuran liang telinga. Sedatif tidak diperlukan bila bayi koperatif.Pemeriksaan OAE juga
dimanfaatkan untuk memonitor efek negatif dari obat ototoksik, diagnosis neuropati
audiotorik, membantu proses pemilihan alat bantu dengar, skrining pemaparan bising (noise
induced hearing loss) dan sebagai pemeriksaan penunjang pada kasus-kasus yang berkaitan
dengan gangguan koklea, seprti neuropati auditori.5,16 Prinsip pemeriksaan OAE adalah
mengukur emisi yang dikeluarkan oleh telinga saat suara menstimulasi koklea. Teknik ini
sensitif untuk mengetahui kerusakan pada OHC, dapat pula digunakan untuk memeriksa
telinga tengah dan dalam. Kriteria hasil pemeriksaan yaitu pass atau refer. Jika terdapat
gelombang OAE maka bayi dapat melewati tes OAE (pass), berarti bayi tersebut tidak
mengalami gangguan pendengaran. Jika tidak ditemukan gelombang OAE berarti ada
gangguan pendengaran (refer), maka harus dilakukan tes lanjutan.16
Gambar 6.Cara Kerja OAE

Cara kerja alat ini dengan memberikan stimulus bunyi yang masuk ke liang telinga
melalui insert probe, dengan bagian luarnya dilapisi karet lunak (probe tip) yang ukurannya
dapat dipilih sesuai besarnya liang telinga, menggetarkan gendang telinga, selanjutnya melalui
telinga tengah akan mencapai koklea. Saat stimulus bunyi mencapai OHC koklea yang sehat,
OHC akan memberikan respon dengan memancarkan emisi akustik yang akan dipantulkan ke
arah luar (echo) menuju telinga tengah dan liang telinga. Emisi akustik yang tiba di liang telinga
akan direkam oleh mikrofon mini yang juga berada dalam insert probe, selanjutnya diproses oleh
mesin OAE sehingga hasilnya dapat ditampilkan pada layar monitor mesin OAE. Kerusakan
pada OHC misalnya akibat virus, obat-obat ototoksik, kuranganya oksigenasi dan perfusi yang
menuju koklea menyebabkan OHC tidak dapat memproduksi gelombang OAE. OAE tidak
muncul pada hilangnya pendengaran lebih dari 30-40 dB. Pemeriksaan OAE dapat menentukan
penilaian klinik telinga perifer/jalur preneural, namun tidak dapat memeriksa adanya gangguan
saraf pendengaran atau respon otak/jalur neural terhadap suara. OAE dipengaruhi oleh verniks
kaseosa, debris, dan kondisi telinga tengah (cavum tympani). Neonatus usia kurang dari 24 jam
liang telinga terisi verniks kaseosa yang akan keluar dalam 24-48 jam setelah lahir, sehingga
hasil refer 5-20% bila skrining dilakukan 24 jam setelah lahir. Angka refer <3% dicapai bila
skrining dilakukan usia 24-48 jam Karena perjalanan stimulus bunyi menuju koklea maupun
emisi akustik yang dipancarkan oleh koklea ke liang telinga harus melewati telinga tengah; maka
sebelum pemeriksaan OAE harus dipastikan bahwa telinga tengah dalam kondisi normal dengan
pemeriksaan timpanometri. Kelainan pada telinga tengah akan memberikan hasil positif palsu. 1
Faktor lain yang mempengaruhi hasil tes OAE yaitu ukuran probe (harus sesuai dengan
ukuran liang telinga), posisi penempatan probe (tidak ada kebocoran atau celah udara dan posisi
probe harus lurus ke arah gendang telinga) serta kebisingan eksternal maupun internal1
Gambar 8 Hasil Tes Pemeriksaan OAE1

Pemeriksaan OAE sensitif untuk mengetahui adanya kerusakan pada disfungsi outer
haircell pada koklea. Pemeriksaan OAE juga cukup efektif sebagai alat screening karena selain
sensitif juga cukup murah. Minesota Newborn Hearing Screening Program memakai OAE
sebagai standar pemeriksaan awal, apabila didapatkan abnormalitas baru diperiksa dengan ABR.
Otoacoustic Emission atau OAE merupakan skrining pendengaran secara obyektif, namun tidak
dapat memberikan informasi tentang derajat gangguan pendengaran seorang bayi atau anak. 1
a. Jenis pemeriksaan OAE
Dikenal 2 jenis pemeriksaan OAE, yaitu Spontan dan Evoked OAE. Spontan OAE dapat timbul
tanpa adanya stimulus bunyi, namum tidak semua manusia memiliki Spontan OAE sehingga
manfaat klinisnya tidak diketahui. Evoked OAE adalah OAE yang terjadi pasca pemberian
stimulus, dibedakan menjadi Stimulus Frequency OAE (SFOAE), Transient Evoked OAE
(TEOAE) dan Distortion Product OAE (DPOAE).
1. SFOAE
Merupakan respon yang dibangkitkan oleh nada murni yang panjang dan terus menerus,
jenis ini tidak mempunyai arti klinis, dan jarang digunakan. 5
2. TEOAE
Untuk memperoleh emisi TEOAE digunakan stimulus bunyi click yang onsetnya sangat
cepat (milidetik) dengan intensitas sekitar 40 desibel. Secara otomatis akan diperiksa 4–6 jenis
frekuensi. Spektrum frekuensi yang dapat diperiksa TEOAE adalah 500 - 4500 Hz untuk orang
dewasa dan 5000–6000 Hz pada bayi. TEOAE tidak terdeteksi pada ketulian >40 dB. Bila
TEOAE pass berarti tidak ada ketulian kohlea, sebaliknya bila TEOAE reffer berarti ada ketulian
kohlea lebih dari 40 dB. Umumnya hanya digunakan untuk skrining pendengaran bayi/anak.5,22
3. DPOAE
Mempergunakan 2 buah stimulus bunyi nada murni sekaligus, yang berbeda frekuensi
maupun intensitasnya. Spektrum frekuensi yang dapat diperiksa lebih luas dibandingkan dengan
TEOAE, dapat mencapai frekuensi tinggi (10.000 Hz). DPOAE (+BERA) digunakan untuk
mendiagnosis auditori neuropati, monitoring pemakain obat ototoksik dan pemaparan
bising,menentukan prognosis tuli mendadak (sudden deafness) dan gangguan pendengaran
lainnya yang disebabkan oleh kelainan koklea.5
3) Brainstem Evoked Response Audiometry (BERA)
BERA merupakan pemeriksaan elektrofisiologik untuk menilai integritas sistem auditorik,
bersifat obyektif, tidak invasif. Dapat memeriksa bayi, anak, dewasa, penderita koma. BERA
merupakan cara pengukuran evoked potential (aktivitas listrik yang dihasilkan N.VIII, pusat-
pusat neural dan traktus didalam batang otak) sebagai respon terhadap stimulus auditorik.
Stimulus bunyi yang digunakan berupa bunyi click atau toneburst yang diberikan melalui
headphone, insert probe, bone vibrator. Respon terhadap stimulus auditorik berupa evoked
potential yang sinkron, direkam melalui elektroda permukaan (surface electrode) yang
ditempelkan pada kulit kepala (dahi dan prosesus mastoideus), kemudian diproses melalui
program komputer dan ditampilkan sebagai 5 gelombang defleksi positif (gelombang I sampai
V) yang terjadi sekitar 2 – 12 ms setelah stimulus diberikan. Analisis gelombang BERA
berdasarkan morfologi gelombang, masa laten, dan amplitude gelombang.5

Mekanisme Kerja Pemeriksaan BERA


BERA mengarah pada pembangkitan potensial yang ditimbulkan dengan suara singkat
atau nada khusus yang ditransmisikan oleh transduser akustik dengan menggunakan earphone
atau headphone (headset). Bentuk gelombang yang ditimbulkan dari respon tersebut dinilai
dengan menggunakan elektrode permukaan yang biasannya diletakkan pada bagian vertex kulit
kepala dan pada lobus telinga.1
Gambar 9 Newborn Hearing Screening with Brainstem Auditory Evoked Potentials1
Pencatatan rata-rata grafiknya diambil berdasarkan panjang gelombang atau amplitudo
(microvoltage) dalam waktu (millisecond). Puncak dari gelombang yang timbul ditandai dengan
I-VII. Bentuk gelombang tersebut normalnya muncul dalam periode waktu 10 millisecond
setelah rangsangan suara (click) pada intensitas tinggi (70-90 dB) tingkat pendengaran normal
atau normal hearing level [nHL]).18

Gambar 9. Method of recording brainstem evoked auditory potentials (BAEPs)5


Brainstem Evoke Response Audiometri (BERA) dilakukan dengan menggunakan
rangsangan suara klik yang menghasilkan respon dari regio basilar koklea. Setiap telinga dapat
dievaluasi secara terpisah, dengan intensitas rangsangan yang diberikan sebesar 35-40 dB nHL.
BERA yang dirangsang oleh suara klik sangat berhubungan dengan sensitivitas pendengaran
dalam kisaran frekuensi dari 1000-4000 Hz. Sinyalnya berjalan melalui jalur pendengaran atau
auditory pathway dari kompleks inti koklear, proksimal ke colliculus inferior. Sebuah elektroda
aktif ditempatkan pada titik kepala yang memungkinkan untuk pencatatan potensi pendengaran
yang ditimbulkan dari saraf pendengaran dan batang otak (potensi awal pada gelombang I-V),
dan struktur pendengaran yang lebih dalam yaitu pada thalamo-korteks. BERA memiliki latensi
yang pendek (<10 ms), saat ini digunakan secara klinis untuk menguji jalur pendengaran sampai
ke tingkat colliculus inferior.5,12

Gambar 10 Jalur pendengaran dan lokasi anatomi yang berkaitan dengan gelombang yang
ditimbulkan oleh BERA. Saraf pendengaran (gelombang I-inti koklea, gelombang II- nucleus
kokhlea, gelombang III-Superior olive, gelombang IV-Lateral lemniscus, gelombang V-
Colliculus inferior) Thalamus dan lobus temporal membentuk gelombang tengah dan akhir dari
BERA20

Gelombang BERA I dan II berkaitan dengan potensial aksi yang benar. Gelombang
selanjutnya mungkin menggambarkan aktivitas postsinaptik pada pusat auditori batang otak
utama yang secara bersamaan menimbulkan bentuk gelombang puncak dan palung. Puncak
positif dari bentuk gelombang menunjukkan aktivitas aferen kombinasi (dan kemungkinan juga
eferen) dari jalur axonal pada batang otak auditory.6
Gambar 11 Ambang audiometri didefinisikan sebagai intensitas minimum yang diperlukan
untuk mendapatkan gelombang V yang jelas, yaitu biasanya pada 20 dB. Pada 70 dB tercatat 5
gelombang yang jelas, respon latensi meningkat dan amplitudo gelombang berkurang20

Di Ameriksa Serikat, bentuk gelombang biasanya di plot dengan elektroda pada vertex
dengan amplifier tegangan input positif, sehingga menimbulkan gelombang puncak pada I, III,
dan V. Di negara-negara lainnya, gelombangnya di plot dengan tegangan negatif. 21
Reaksi yang timbul sepanjang jaras-jaras saraf pendengaran dapat dideteksi berdasarkan
waktu yang dibutuhkan (satuan milidetik) mulai dari saat pemberian impuls sampai
menimbulkan reaksi dalam bentuk gelombang. Gelombang yang terjadi sebenarnya ada 7 buah,
namun yang penting dicatat adalah gelombang I, III,dan V.18
Komponen Bentuk Gelombang
1. Gelombang I : Respon gelombang BERA I merupakan gambaran yang luas dari potensial aksi
saraf auditori gabungan pada bagian distal dari nervus kranialis VIII. Respon tersebut berasal
dari aktivitas aferen dari serabut saraf VIII (neuron urutan pertama) saat meninggalkan
koklea dan masuk ke kanalis auditori internal.
2. Gelombang II : gelombang BERA II ditimbulkan oleh nervus VIII proksimal saat memasuki
batang otak.
3. Gelombang III : gelombang BERA III ditimbulkan pada bagian caudal dari pons auditori.
Nukleus koklearis mengandung hampir 100.000 neuron, kebanyakan dipersarafi oleh
sembilan serabut saraf.
4. Gelombang IV : gelombang BERA IV, memiliki puncak yang sama dengan gelombang V,
muncul dari neuron urutan ketiga pontin yang kebanyakan terletak pada kompleks olivary
superior, tetapi kontribusi tambahan untuk terbentuknya gelombang IV dapat datang dari
nukleus koklearis dan nucleus dari lemniskus lateral.
5. Gelombang V : pembentukan gelombang V terbentuk dari aktivitas dari struktur auditori
anatomik multipel. Gelombang BERA V merupakan komponen yang paling sering di analisa
pada aplikasi klinis BERA. Meskipun terdapat beberapa data mengenai hal yang tepat dalam
pembentukan gelombang V, gelombang V berasal dari sekitar kollikulus inferior. Aktivitas
neuron urutan kedua mungkin secara sekunder mempengaruhi beberapa hal dalam
pembentukan gelombang V. Kollikulus inferior merupakan sebuah struktur yang kompleks,
dengan lebih dari 99% akson dari regio auditori batang otak bawah melewati lemniskus
lateral ke kollikulus inferior.
6. Gelombang VI dan VII : Gelombang VI dan VII dianggap berasal dari thalamus (medial
geniculate body), tetapi tempat pembentukan sebenarnya masih diragukan.
Evaluasi Pemeriksaan BERA
Gelombang I, yang ditimbulkan oleh ujung koklear CN VIII, memberikan informasi
yang berharga mengenai aliran darah ke koklea. Karena iskemik merupakan penyebab
kehilangan pendengaran yang berkaitan dengan pembedahan, gelombang I di monitor secara
seksama untuk melihat adanya perubahan pada latensi atau penurunan amplitudo.18
Interval puncak gelombang I-II dan I-III dapat memberikan informasi distal dan proksimal
selama pembedahan CN VIII. Gelombang V dan latensi interval puncak gelombang I-V di
monitor untuk melihat adanya perubahan pada latensi dan amplitudo. Latensi gelombang I-V
memberikan informasi mengenai integritas CN VIII terhadap batang otak auditori.18
Dalam hal patologi retrokoklear, banyak faktor-faktor yang dapat mempengaruhi hasil
pemeriksaan BERA, termasuk derajat kehilangan pendengaran sensorineural, kehilangan
pendengaran asimetris, batasan pengujian, dan faktor-faktor pasien lainnya. Pengaruh ini dapat
terjadi saat melakukan pemeriksaan maupun saat menganalisa hasil pemeriksaan BERA.18
Penemuan yang menandakan adanya patologi retrokoklear dapat meliputi satu atau lebih
dari tanda berikut ini: 18
1. Perbedaan latensi gelombang V interaural absolut (IT5) ± memanjang
2. Interval antar puncak gelombang I-V interaural-memanjang
3. Latensi absolut dari gelombang V ± memanjang dibandingkan dengan data normatif
4. Latensi absolut dan latensi interval antar puncak gelombang I-III, I-V, III-V ± memanjang
dibandingkan dengan data normatif
5. Tidak adanya respon auditori batang otak pada telinga yang dilakukan pemeriksaan.

4) Timpanometri
Pemeriksaan ini diperlukan untuk menilai kondisi telinga tengah. Gambaran
timpanometri yang abnormal (adanya cairan atau tekanan negative di telinga tengah)
merupakan pentunjuk adanya gangguan pendengaran konduktif.
Melalui probe tone (sumbat liang telinga) yang dipasang pada liang telinga dapat
diketahui besarnya tekanan di liang telinga berdasarkan energi suara yang dipantulkan
kembali (ke arah luar) oleh gendang telinga. Pada orang dewasa atau bayi berusia diatas 7
bulan digunakan probe tone frekuensi 226 Hz. Khusus untuk bayi dibawah usia 6 bulan tidak
digunakan probe tone 226 Hz karena akan terjadi resonansi pada liang telinga sehingga harus
digunakan probe tone frekuensi tinggi (668, 678, atau 1000 Hz).18

Gambar 11 Hasil Timpanometri


Liden (1969) dan Jerger (1970) mengembangkan suatu klasifikasi timpanogram. Tipe-
tipe klasifikasi yang diilustrasikan adalah sebagai berikut:5,6
1. Tipe A 16
a. terdapat pada fungsi telinga tengah yang normal.
b. mempunyai bentuk khas, dengan puncak imitans berada pada titik 0 daPa dan
penurunan imitans yang tajam dari titik 0 ke arah negatif atau positif. Kelenturan
maksimal terjadi pada atau dekat tekanan udara sekitar, memberi kesan tekanan
udara telinga tengah yang normal.

Gambar 12.Timpanogram Normal16


2. Tipe As. 5,6
a. Terdapat pada otosklerosis dan keadaan membran timpani yang berparut.
b. Timpanogram kelihatan seperti tipe A (normal), di mana puncak berada atau dekat
titik 0 daPa, tapi dengan ketinggian puncak yang secara signifikan berkurang.
Huruf s di belakang A berarti stiffness atau shallowness.
c. Kelenturan maksimal terjadi pada atau dekat tekanan udara sekitar, tapi
kelenturan lebih rendah daripada tipe A. Fiksasi atau kekauan sistem osikular
seringkali dihubungkan dengan tipe As.

3. Tipe Ad. 5,1


a. Terdapat pada keadaan membran timpani yang flaksid atau diskontinuitas
(kadang-kadang sebagian) dari tulang-tulang pendengaran.
b. Timpanogram kelihatan seperti tipe A (normal), tetapi dengan puncak lebih tinggi
secara signifikan dibandingkan normal. Huruf d di belakang A berarti deep atau
discontinuity.
c. Kelenturan maksimum yang sangat tinggi terjadi pada tekanan udara sekitar,
dengan peningkatan kelenturan yang amat cepat saat tekanan diturunkan
mencapai tekanan udara sekitar normal. Tipe Ad dikaitkan dengan diskontinuitas
sitem osikular atau suatu membrana timpani mono metrik.

Gambar 14.Timpanogram Tipe Ad1


4. Tipe B 5,6,1
a. Timpanogram tidak memiliki puncak melainkan pola cenderung mendatar, atau
sedikit membulat yang paling sering dikaitkan dengan cairan di telinga tengah
(kavum timpani), misalnya pada otitis media efusi. ECV dalam batas normal,
terdapat sedikit atau tidak ada mobilitas pada telinga tengah. Bila tidak ada puncak
tetapi ECV > normal, ini menunjukkan adanya perforasi pada membran timpani.

Gambar 15.Timpanogram Tipe B1


5. Tipe C
a. Terdapat pada keadaan membran timpani yang retraksi dan malfungsi dari tuba
Eustachius.
b. Tekanan telinga tengah dengan puncaknya di wilayah tekanan negatif di luar -150
mm H2O indikatif ventilasi telinga tengah miskin karena tabung estachius disfungsi.
Pola timpanometrik, dalam kombinasi dengan pola audiogram, ijin diferensiasi
antara dan klasifikasi gangguan telinga tengah.

Gambar 16.Timpanogram Tipe C1


Pada bayi kurang dari bulan ketentuan jenis timpanogram tidak mengikuti
ketentuan diatas. Timpanometri merupakan pemeriksaan pendahuluan sebelum tes OAE,
dan bila terdapat gangguan pada telinga tengah maka pemeriksaan OAE harus ditunda
sampai telinga tengah normal.
5) Auditory Steady-State Response (ASSR)
ASSR merupakan tes yang bersifat objektif untuk mengukur kemampuan mendengar anak
yang masih belum mampu menjalani prosedur tes subjektif seperti play audiometri atau
audiometri nada murni. Mayoritas anak anak baru lahir saat ini dirujuk untuk dilakukan tes
ASSR jika diidentifikasi mengalami gangguan pendengaran. Intervensi dini seperti alat bantu
dengar, cochlear implant sangat diperlukan untuk perkembangan bahasa dan bicara anak yang
mengalami gangguan pendengaran. Hasil pemeriksaan ASSR dapat digunakan sebagai
estimasi hasil dari pemeriksaan audiometri nada murni perilaku atau Behavioral Obervation
Audiometry.
Selama pemeriksaan, supaya hasil yang diperoleh akurat, pasien idealnya dalam kondisi
tidur. Tes ASSR bisanya memerlukan waktu lebih lama dari ABR kira-kira 60-90 menit.
ASSR adalah tes obyektif yang digunakan untuk evaluasi kemampuan mendengar pada
anak-anak terlalu muda untuk pengujian audiometri tradisional. Kebanyakan anak dirujuk
untuk ASSR setelah layar pendengaran bayi yang baru lahir di rumah sakit menunjukkan
kemungkinan gangguan pendengaran. Strategi intervensi dini, seperti alat dengar atau
implantasi koklea, diperlukan untuk perkembangan bicara dan kemampuan bahasa pada anak
tunarungu. Hasil yang diperoleh dari pengujian ASSR dapat digunakan untuk memperkirakan
audiogram murni-nada perilaku. Informasi ini sangat penting dalam pengelolaan anak-anak
dengan gangguan pendengaran.
Orang yang sedang diuji harus sangat tenang dan masih dalam rangka untuk mendapatkan
hasil ASSR handal. Seringkali, pengujian dilakukan dengan sedasi atau tidur alami jika
seseorang berada di bawah usia 6 bulan. Hasil yang diperoleh dengan mengukur aktivitas otak
saat orang mendengarkan nada frekuensi yang berbeda-beda (pitch) dan intensitas
(kenyaringan).
Aktivitas otak dicatat menggunakan elektroda ditempelkan pada dahi dan di belakang
telinga masing-masing. Penggunaan elektroda menghilangkan kebutuhan untuk partisipasi
aktif dari pasien (misalnya, menekan tombol respon setiap kali nada diaktifkan). Hasil
terdeteksi obyektif menggunakan formula statistik yang menentukan ada atau tidak adanya
respon yang benar. Mirip dengan pengujian audiometri tradisional, ambang batas ditentukan
sebagai tingkat terendah pada setiap frekuensi di mana respon hadir. ASSR memberikan,
akurat frekuensi-spesifik perkiraan audiogram murni-nada perilaku.8
6) Pure Tone Audiometry (PTA)
Adalah tes yang dilakukan untuk mengetahui ambang dengar dengan memberikan
stimulus suara berfrekuensi murni pada telinga yang dites. Frekuensi tes biasanya mulai dari
125Hz sampai dengan 8000Hz. Tes Audiometri Nada Murni bisa dilakukan melalui audiometer
yang otomatis ataupun manual, akan tetapi esensi proses pemeriksaannya sama.
Sebelum tes, pasien diminta untuk melepas perlengkapan yang mungkin menganggu
kenyamanan pemeriksaan misalnya kacamata, giwang dan semacamnya. Pemeriksa harus
memberikan instruksi kepada pasien berupa permintaan bahwa pasien harus berkonsentrasi dan
mendengarkan bunyi pada telinga yang sedang dites, jika pasien mendengar walaupun kecil
pasien diminta untuk menekan tombol tertentu yang mengindikasikan kepada pemeriksa bahwa
pasien mendengar. Headphone/Speaker dipasangkan pada kedua telinga dan kemudian
pemeriksaan segera di mulai pada masing-masing telinga, umumnya telinga yang lebih baik
mendengarnya akan diperiksa terlebih dahulu. Pemeriksaan dilakukan dengan pertama-tama
pemeriksa memberikan stimulus suara pada frekuensi 1kHz pada intensitas atau kekerasan
tertentu yang diukur dalam dB (decibell). Jika pasien tidak mendengar, maka intensitas dinaikan
secara berkala sampai pasien mampu mendengar suara. Namun, jika pasien sudah mendengar,
pemeriksa harus menurunkan intensitas suara dan terus diulang naik turun stimulus suara sampai
pasien memberikan respons mendengar yang konstan pada pada suara terkecil yang pasien
mampu mendengar. Prosedur diatas diulang untuk frekuensi berikutnya seperti 2kHz, 4KHz,
8kHz, 250Hz dan 500Hz.Setelah selesai dengan telinga satu, selanjutnya pemeriksaan audiometri
dilakukan untuk telinga sebelahnya dengan memakai prosedur yang sama seperti di atas.
Akurasi Pemeriksaan Audiometri Nada Murni tergantung kepada beberapa hal,
diantaranya adalah Audiometer atau alat pemeriksaan yang diapakai, Pemasangan
Headphone/Speaker yang tidak pas, Kondisi kekedapan ruang pemeriksaan, Pasien tidak dalam
kondisi tidak nyaman
Pemeriksaan Audiometri Nada Murni membutuhkan waktu kira-kira 20-40 menit.2
B. INTERPRETASI AUDIOGRAM
Terdapat ambang dengar menurut konduksi udara (AC) dan menurut konduksi tulang
(BC). Apabila ambang dengar ini dihubungkan dengan garis, baik AC maupun BC,
maka akan didapatkan didalam audiogram.
1. Audiogram Normal
Secara teoritis, bila pendengaran normal, ambang dengar untuk hantaran udara maupun
hantaran tulang tercatat sebesar 0 dB. Pada anakpun keadaan ideal seperti ini sulit
tercapai terutam pada frekuensi rendah bila terdapat bunyi lingkungan (ambient noise). Pada
keadaan tes yang baik, audiogram dengan ambang dengar 10 dB pada 250,500 Hz 0 dB
pada 1000, 2000,4000, 10000 Hz pada 8000 Hz dapat dianggap normal.
Gambar 16. Gambar audiogram pada orang normal17

2. Tuli Konduktif
Diagnosis gangguan dengar konduktif ditegakkan berdasarkan prinsip bahwa gangguan
konduktif (telinga tengah) menyebabkan gangguan hantaran udara yang lebih besar daripada
hantaran tulang. Pada keadaan tuli konduktif murni, keadaan koklea yang baik (intak)
menyebabkan hantaran tulang normal, yaitu 0 dB pada audiogram. 5,17
Pengecualian adalah pada tuli konduktif karena fiksasi tulang stapes (misalnya pada
otosklerosis). Disini terdapat ambang hantaran tulang turun menjadi 15 dB pada 2000Hz.
Diperkiran keadaan ini bukan karena ketulian sensorineural, tapi belum diketahui
sebabnya. Penyebab ketulian koduktif seperti penyumbatan liang telinga, contohnya
serumen, terjadinya OMA, OMSK, penyumbatan tuba eustachius. Setiap keadaan yang
menyebabkan gangguan pendengaran seperti fiksasi kongenitalm fiksasi karena trauma,
dislokasi rantai tulang pendengaran, juga akan menyebabkan peninggian amabang hantaran
udara dengan hantaran tulang normal. Gap antara hantran tulang dengan hantaran udara
menunjukkan beratnya ketulian konduktif. 17

Derajat ketulian yang disebabkan otitis media sering berfluktuasi. Eksarsebasi dan remisi
sering terjadi pada penyakit telinga tenga terutama otitis media serosa. Pada orang tua sering
mengeluhkan pendengaran anaknya bertambah bila sedang pilek, sesudah berenang atau
sedang tumbuh gigi. dapat juga saat perubahan pada musim tertentu karena alergi.Penurunan
Pendengaran akan menetap sekitar 55-60 dB pada pasien otitis media. Selama koklea normal,
gangguan pendengaran maksimum tidak melebihi 60 dB. Konfigurasi audiogram pada tuli
konduktif biasanya menunjukkan pendengaran lebih pada frekuensi rendah. Dapat pula
berbentuk audiogram yang datar. 17

Gambar 17. Audiogram tuli konduktif 11

3. Tuli Sensorineural (SNHL)


Tuli sensorineural terjadi bila didapatkan ambang pendengaran hantaran tulang dan
udara lebih dari 25 dB. Tuli sensorineural ini terjadi bila terdapat gangguan koklea,
N.auditorius (NVIII) sampai ke pusat pendengaran termasuk kelainan yang terdapat didalam
16
batang otak. Kelainan pada pusat pendengaaran saja (gangguan pendengaran sentral)
biasanya tidak menyeababkan gangguan dengar untuk nada murni, namun tetap terdapat
gangguan pendengaran tertentu. Gangguan pada koklea terjadi karena dua cara, pertama
sel rambut didalam koklea rusak, kedua karena stereosilia dapat hancur. Proses ini dapat
terjadi karenainfeksi virus, obat ototoxic, dan biasa terpapar bising yang lama, dapat pula
terjadi kongenital. Istilah retrokoklea digunakan untuk sistem pendengaran sesudah koklea,
tetapi tidak termasuk korteks serebri (pusat pendengaran), maka yang termasuk adalah N.VIII
dan batang otak. Berdasarkan hasil audiometrik saja tidak dapat membedakan jenis tuli
koklea atau retrokoklea. Maka perlu dilakukan pemeriksaan khusus. Pada ketulian Meniere,
pendengaran terutama berkurang pada frekuensi tinggi. Tuli sensorineural karena presbikusis
dan tuli suara keras biasanya terjadi pada nada dengan frekuensi tinggi. 16
Apabila tingkat konduksi udara normal, hantaran tulang harusnya normal pula. Bila
konduksi udara dan konduksi tulang keduaduannya abnormal dan pada level yang sama,
maka pastilahnya masalah terletak pada koklea atau N. VIII, sedangkan telinga tengah
normal. 13,18
Gambar 18. Audiogram tuli sensorineural 11

4. Tuli Campuran
Kemungkinan tarjadinya kerusakan koklea disertai sumbatan serumen yang padat dapat
terjadi. Level konduksi tulang menunjukkan gangguan fungsi koklea ditambah dengan
penurunan pendengaran karena sumbatan konduksi udara mengambarkan tingkat ketulian yang
disebabkan oleh komponen konduktif. 11
Perbedaan anatara level hantaran udara dan tulang dikenal sebagai “jarak udara-
tulang” atau “air-bone gap”. Jarak udara-tulang merupakan suatu ukuran dari komponen
konduktif dari suatu gangguan pendengaran. Level hantaran udara menunjukkan tingkat
patologi koklea, kadang disebut sebagai “cochlear reserve” atau cabang koklea.

Gambar 19. Audiogram tuli campuran11


C. KESIMPULAN
Gangguan pendengaran pada anak perlu dideteksi seawal mungkin mengingat
pentingnya peranan fungsi pendengaran dalam proses perkembangan bicara. Identifikasi
gangguan pendengaran pada anak secara awal dengan cara pengamatan reaksi anak terhadap
suara atau tes fungsi pendengaran dengan metode dan peralatan yang sederhana, perlu difahami
oleh semua profesi di bidang kesehatan yang banyak menghadapi bayi dan anak. Penilaian
fungsi pendengaran pada anak-anak memerlukan pemahaman, latihan dan pengalaman klinis
yang cukup luas. Hasil pemeriksaan berdasarkan pengamatan tingkah laku anak terhadap
stimulus suara sangat dipengaruhi oleh keterbatasan perkembangan dan kematangan bayi/
anak. Dengan demikian pemilihan jenis tes BOA perlu disesuaikan dengan situasi dan kondisi
masing-masing anak secara individu

Saat ini sudah banyak metode untuk menilai fungsi pendengaran anak baik secara
subyektif maupun obyektif Tes pendengaran secara obyektif dibidang audiologi dengan
peralatan elektrofisiologik saat ini sudah banyak dikembangkan di beberapa Rumah Sakit dan
klinik seperti ABR yang sangat berharga dalam diagnostik fungsi pendengaran . Keuntungan
pemeriksaan- pemeriksaan tersebut tidak tergantung usia , sehingga masalah gangguan
pendengaran dapat dideteksi secara dini. Tes pendengaran pada anak tidak bisa ditunda hanya
dengan alasan usia anak belum memungkinkan untuk dilakukan tes pendengaran.

Yang perlu dipertimbangkan adalah penilaian fungsi pendengaran pada anak-anak merupakan
proses yang dilakukan secara berkelanjutan dan harus dipandang sebagai bagian yang integral
dalam menangani gangguan pendengaran pada anak .

Anda mungkin juga menyukai

  • Gter
    Gter
    Dokumen1 halaman
    Gter
    Fatihul Ahmad
    Belum ada peringkat
  • Marwah
    Marwah
    Dokumen1 halaman
    Marwah
    Fatihul Ahmad
    Belum ada peringkat
  • An. Nurshakila
    An. Nurshakila
    Dokumen1 halaman
    An. Nurshakila
    Fatihul Ahmad
    Belum ada peringkat
  • Jugu
    Jugu
    Dokumen1 halaman
    Jugu
    Fatihul Ahmad
    Belum ada peringkat
  • Kolip
    Kolip
    Dokumen1 halaman
    Kolip
    Fatihul Ahmad
    Belum ada peringkat
  • Nada
    Nada
    Dokumen1 halaman
    Nada
    Fatihul Ahmad
    Belum ada peringkat
  • Kiju
    Kiju
    Dokumen1 halaman
    Kiju
    Fatihul Ahmad
    Belum ada peringkat
  • Jugu
    Jugu
    Dokumen1 halaman
    Jugu
    Fatihul Ahmad
    Belum ada peringkat
  • Jugu
    Jugu
    Dokumen1 halaman
    Jugu
    Fatihul Ahmad
    Belum ada peringkat
  • Sri Asriani
     Sri Asriani
    Dokumen1 halaman
    Sri Asriani
    Fatihul Ahmad
    Belum ada peringkat
  • Shanum
    Shanum
    Dokumen1 halaman
    Shanum
    Fatihul Ahmad
    Belum ada peringkat
  • Jugu
    Jugu
    Dokumen1 halaman
    Jugu
    Fatihul Ahmad
    Belum ada peringkat
  • Sri Asriani
     Sri Asriani
    Dokumen1 halaman
    Sri Asriani
    Fatihul Ahmad
    Belum ada peringkat
  • An. Arista
    An. Arista
    Dokumen1 halaman
    An. Arista
    Fatihul Ahmad
    Belum ada peringkat
  • Alkaf
    Alkaf
    Dokumen1 halaman
    Alkaf
    Fatihul Ahmad
    Belum ada peringkat
  • Shanum
    Shanum
    Dokumen1 halaman
    Shanum
    Fatihul Ahmad
    Belum ada peringkat
  • Peptic
    Peptic
    Dokumen12 halaman
    Peptic
    Fatihul Ahmad
    Belum ada peringkat
  • Lembar Observasi Apn Wira
    Lembar Observasi Apn Wira
    Dokumen3 halaman
    Lembar Observasi Apn Wira
    ikra agustina
    100% (1)
  • LKGKLFL
    LKGKLFL
    Dokumen38 halaman
    LKGKLFL
    Fatihul Ahmad
    Belum ada peringkat
  • Domperidone Alleviates Nocturnal Dyspepsia in FD
    Domperidone Alleviates Nocturnal Dyspepsia in FD
    Dokumen13 halaman
    Domperidone Alleviates Nocturnal Dyspepsia in FD
    Fatihul Ahmad
    Belum ada peringkat
  • Kiju
    Kiju
    Dokumen1 halaman
    Kiju
    Fatihul Ahmad
    Belum ada peringkat
  • J100050040 PDF
    J100050040 PDF
    Dokumen93 halaman
    J100050040 PDF
    ida ayu astiti
    Belum ada peringkat
  • Kjijo
    Kjijo
    Dokumen17 halaman
    Kjijo
    Fatihul Ahmad
    Belum ada peringkat
  • 8 Kadar Glukosa Darah PDF
    8 Kadar Glukosa Darah PDF
    Dokumen17 halaman
    8 Kadar Glukosa Darah PDF
    Dini Islami
    Belum ada peringkat
  • Jurnal Paru Azwar
    Jurnal Paru Azwar
    Dokumen17 halaman
    Jurnal Paru Azwar
    Fatihul Ahmad
    Belum ada peringkat
  • Juuuju
    Juuuju
    Dokumen17 halaman
    Juuuju
    Fatihul Ahmad
    Belum ada peringkat
  • KKJK
    KKJK
    Dokumen15 halaman
    KKJK
    Fatihul Ahmad
    Belum ada peringkat
  • Kista Ovarium
    Kista Ovarium
    Dokumen9 halaman
    Kista Ovarium
    Fatihul Ahmad
    Belum ada peringkat
  • Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi V
    Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi V
    Dokumen25 halaman
    Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi V
    Kasdianto Bantun
    42% (12)