Anda di halaman 1dari 29

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Diskriminasi merupakan hambatan terbesar dalam upaya pencegahan
dan penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia. Munculnya diskriminasi dapat
disebabkan karena kurangnya keterlibatan masyarakat dalam setiap upaya
pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS seperti penyuluhan kesehatan
tentang HIV/AIDS. Akibatnya, banyak masyarakat yang kurang mendapatkan
informasi yang tepat mengenai HIV/AIDS, khususnya dalam mekanisme
penularan HIV/AIDS. Perilaku diskriminatif pada ODHA tidak hanya
melanggar hak asasi manusia, melainkan juga sama sekali tidak membantu
upaya pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS.
Masalah-masalah sosial umum yang terjadi di masyarakat misalnya
kemiskinan, kejahatan, disorganisasi keluarga, masalah generasi muda dalam
masyarakat modern, kenakalan remaja, pelacuran, homoseksualitas dan
masalah lingkungan hidup. Masalah masalah sosial yang sedang marak terjadi
saat ini adalah pergaulan bebas remaja dan pelacuran yang berujung pada
terinfeksinya seseorang virus HIV. Kasus-kasus HIV tidak hanya terjadi di
kota-kota besar tetapi di desa-desa juga sudah ditemukan penderita
HIV/AIDS.
Dengan semakin banyak perempuan di Indonesia yang terinfeksi HIV,
maka semakin banyak pula anak terlahir dengan HIV. Penularan dapat terjadi
dalam kandungan, waktu melahirkan atau melalui menyusui. Bahwa setiap
hari sepuluh bayi terlahir dengan HIV. Kesehatan bayi tersebut paling rentan
pada tahun pertama kehidupannya, dan kemungkinan sepertiganya meninggal
dunia sebelum berusia satu tahun, umumnya tanpa didiagnosis HIV.
Kasus HIV/AIDS merupakan masalah sosial karena adanya perlakuan
diskriminasi terhadap ODHA (Orang Dengan HIV/AIDS). ODHA dianggap
orang-orang yang patut dikucilkan karena telah menyalahi norma-norma yang
berlaku di masyarakat, padahal mereka adalah orang-orang yang seharusnya

1
mendapatkan motivasi dan semangat hidup dari orang-orang di sekitarnya.
Anggapan orang tentang HIV/AIDS yang dapat menular dengan mudah
adalah salah karena sesungguhnya penularan HIV/AIDS dapat dicegah. Hal
inilah yang mendasari penulis dalam menyusun makalah ini.
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan HIV/AIDS?
2. Bagaimana diskriminasi HIV/AIDS?
3. Bagaimana sikap ODHA terhadap perilaku diskriminasi?
4. Apa dampak diskriminasi terhadap ODHA?
5. Bagaimana isu-Isu yang berkembang di masyarakat tentang HIV/AIDS?
6. Apa masalah-masalah yang dapat timbul oleh penyakit HIV/AIDS?
C. Tujuan
1. Mengetahui definisi HIV/AIDS
2. Mengetahui diskriminasi HIV/AIDS
3. Mengatahui sikap ODHA terhadap perilaku diskriminasi
4. Mengetahui dampak diskriminasi terhadap ODHA
5. Mengetahui isu-isu yang berkembang di masyarakat tentang HIV/AIDS
6. Mengetahui masalah-masalah yang dapat timbul oleh penyakit HIV/AIDS

2
BAB II

TINJAUAN TEORI

A. Definisi HIV/AIDS

WHO (Word Health Organization) mendefinisikan kasus AIDS


adalah keadaan dimana terdapat hasil tes positif untuk antibodi HIV, dengan
disertai munculnya satu atau lebih tanda-tanda atau gejala-gejala seperti yang
disampaikan Cock et al (2002) yaitu : berat badan menurun lebih dari 10%
disertai dengan diare kronis atau demam terus menerus lebih dari 1 bulan,
cryptococcal meningitis, pulmonary atau extra pulmonary tuberculosis,
sarkoma kaposi, kerusakan syaraf, candidiasis pada oesophagus, pneumonia
dengan episode sedang dan kanker serviks invasif.

Virus HIV adalah retrovirus yang termasuk golongan virus RNA yaitu
virus yang menggunakan RNA sebagai molekul pembawa informasi genetik.
Sebagai retrovirus HIV memiliki sifat khas karena memiliki ensim reverse
transcriptase yaitu ensim yang mampu mengubah informasi genetic yang
berada dalam RNA dalam bentuk DNA yang kemudian diintegrasikan ke
dalam informasi genetic sel limfosit yang diserang.

AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrome) yaitu sindrom


(kumpulan gejala) menurunnya kekebalan tubuh yang disebabkan oleh HIV.
Orang yang mengidap AIDS sangat mudah tertular oleh berbagai macam
penyakit karena sistem kekebalan tubuh penderita telah menurun. Semua
orang yang terinfeksi HIV adalah orang yang beresiko untuk sakit atau mati
akibat infeksi oportunistik dan komplikasi neoplastik sebagai suatu
konsekuensi yang tidak terelakkan dari AIDS.

Orang Dengan HIV&AIDS (ODHA) adalah orang yang telah


terinfeksi HIV atau yang telah mulai menampakkan satu atau lebih gejala
AIDS. Orang yang terinfeksi HIV tidak akan menyadari bahwa dirinya telah
terinfeksi virus ini karena tidak akan menunjukkan gejala apapun sampai

3
bersangkutan melakukan testing HIV. Rata-rata dibutuhkan waktu sekitar 8
sampai 10 tahun dari mulai masuknya HIV sampai muncul gejala AIDS
(window period) untuk orang dewasa, walaupun kadang AIDS muncul
kurang dari 2 tahun atau ada yang lebih dari 10 tahun. Sekitar 10 persen orang
yang terinfeksi HIV akan berkembang menjadi AIDS dalam jangka waktu 2
sampai 3 tahun, sementara terdapat sekitar 10 persen pengidap HIV yang
tidak berkembang menjadi AIDS bahkan setelah 10 tahun.

Mayoritas pengidap HIV ini tidak menyadari bahwa dirinya telah


terinfeksi, maka pengidap HIV ini akan terus melakukan aktifitas seperti
biasa tanpa menyadari bahwa dirinya setiap saat dapat menularkan HIV
kepada orang lain, seperti melakukan hubungan seksual baik dengan
pasangannya maupun berganti-ganti pasangan, menggunakan napza suntik
dengan jarum secara berganti-ganti dan sebagainya. ODHA baru akan
mengetahui bahwa dirinya telah terinfeksi HIV apabila telah melakukan
testing HIV. Hal inilah yang membuat penyebaran HIV terjadi dengan begitu
cepat dan meluas.

Seperti isu yang telah berkembang di masyarakat mengenai cara


penularan HIV sebenarnya terjadi kekeliruan pada pandangan masyarakat
tersebut. Sebenarnya HIV hanya dapat menular melalui 4 cairan tubuh yaitu
cairan sperma, cairan vagina, darah, dan yang terbaru ditemukan bahwa virus
HIV terdapat pada cairan sumsum tulang belakang. Penularan HIV itu sendiri
dapat terjadi melalui beberapa cara:

1. Melalui hubungan sex yang tidak terlindung (anal, oral, vaginal) dengan
pengidap HIV
2. Melalui transfuse darah atau menggunakan jarum suntik secara bergantian
3. Melalui ibu hamil pengidap HIV pada bayi yang dilahirkan dan dari ibu ke
anak selama menyusui.

HIV tidak ditularkan melalui pergaulan seperti berjabat tangan,


sentuhan, ciuman, pelukan, peralatan makan, gigitan nyamuk, penggunaan

4
jamban atau tinggal serumah, kontak dengan penderita yang betuk atau
bersin. Hal ini menjawab bahwa isu yang berkembang di masyarakat tidaklah
benar.

Siapapun bisa saja tertular HIV dan gejala yang diltimbulkan tidak
dapat di bedakan dengan orang sehat kebanyakan karena penampilan luar
seseorang tidak menjamin mereka bebas HIV. Orang dengan HIV positif
sering terlihat sehat dan merasa sehat sebelum melakukan tes darah. Apabila
melakukan tes HIV barulah seseorang mengetahui dan menyadari bahwa
dirinya tertular HIV. Tes HIV merupakan satu-satunya untuk mendapatkan
kepastian tertular HIV atau tidak. Pelayanan tes darah ini telah disediakan
oleh pemerintah di rumah sakit atau puskesmas dengan tidak dipungut
bayaran.

Setelah terinveksi HIV biasanya tidak ada gejala dalam waktu 5-10
tahun. Kemudian AIDS mulai berkembang dan menunjukkan gejala-gejala
sebagai berikut:

1. Kehilangan berat badan secara drastis


2. Diare yang berkelanjutan
3. Pembekakan di leher dan di ketiak
4. Batuk terus menerus

Setelah mengetahui apa itu HIV/AIDS pastilah muncul di pemikiran


kita bagaimana upaya untuk mencegah penularan HIV. Pencegahan HIV
sangat mudah, tergantung pada prilaku kita sendiri. Pencegahannya dapat
dilakukan dengan model pencegahan ABCDE yaitu:

1. Absen Seks yaitu tidak melakukan hubungan seks sama sekali


2. Befaithfull yaitu saling setia dengan pasangan dan tidak berganti-ganti
pasangan seks
3. Condom yaitu selalu menggunakan kondom jika melakukkan hubungan
seks beresiko baik lewat vagina, dubur, ataupum mulut
4. Don’t Inject yaitu tidak menggunakan alat-alat suntik atyau jarum bekas
apalagi menggunakan narkoba suntik

5
5. Education yaitu selalu mengikuti perkembangan informasi tentanng
HIV/AIDS melalui membaca, berbicara mengenai HIV/AIDS untuk
menambah pengetahuan.
ODHA (Orang Dengan HIV/AIDS) didefinisikan sebagai seseorang
yang telah terinfeksi oleh virus HIV atau yang telah mulai menampakkan satu
atau lebih gejala AIDS. Rentang waktu dari seseorang terinfeksi sampai
muncul gejala klinis bisa sangat bervariasi antara 8 sampai 10 tahun, yang
disebut sebagai masa inkubasi, yang dalam terminologi penyakit HIV/AIDS
biasa disebut juga sebagai window period (Klatt, 2006).
B. Diskriminasi HIV/AIDS
Maman et al (2009) mengartikan diskriminasi sebagai aksi-aksi
spesifik yang didasarkan pada berbagai stereotip negatif ini yakni aksi-aksi
yang dimaksudkan untuk mendiskredit dan merugikan orang. Pengertian lain
tentang diskriminasi dikemukakan oleh Busza (1999) bahwa diskriminasi
adalah perbuatan atau perlakuan berdasarkan stigma dan ditujukan kepada
pihak yang terstigmatisasi (Busza, 1999). Menurut UNAIDS, diskriminasi
terhadap penderita HIV digambarkan selalu mengikuti stigma dan merupakan
perlakuan yang tidak adil terhadap individu karena status HIV mereka, baik
itu status sebenarnya maupun hanya persepsi saja (UNAIDS, 2012).

Bentuk-Bentuk Diskriminasi

Beberapa bentuk diskriminasi antara lain :


1. Menjauhi ODHA atau tidak meginginkan untuk menggunakan peralatan
yang sama.
2. Penolakan oleh keluarga, teman atau masyarakat terhadap ODHA.
3. Peradilan moral berupa sikap yang menyalahkan ODHA karena
penyakitnya dan menganggapnya sebagai orang yang tidak bermoral.
4. Keengganan untuk melibatkan ODHA dalam suatu kelompok atau
organisasi.

6
5. Diskriminasi yaitu penghilangan kesempatan untuk ODHA seperti ditolak
bekerja, penolakan dalam pelayanan kesehatan bahkan perlakuan yang
berbeda pada ODHA oleh petugas kesehatan.
6. Pelecehan terhadap ODHA baik lisan maupun fisik.
7. Pengorbanan, misalnya anak-anak yang terinfeksi HIV atau anak-anak
yang orang tuanya meninggal karena AIDS.
8. Pelanggaran hak asasi manusia, seperti pembukaan status HIV seseorang
pada orang lain tanpa seijin penderita, dan melakukan tes HIV tanpa
adanya informed consent (Diaz et al, 2011).

Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Diskriminasi Kepada ODHA

Terjadinya diskriminasi kepada ODHA oleh petugas kesehatan,


dipengaruhi oleh beberapa hal, antara lain :

1. Pengetahuan tentang HIV/AIDS

Pengetahuan tentang HIV/AIDS sangat mempengaruhi bagaimana


individu tersebut akan bersikap terhadap penderita HIV/AIDS (Bradley,
2009). Diskriminasi terhadap ODHA muncul berkaitan dengan
ketidaktahuan tentang mekanisme penularan HIV, perkiraan risiko tertular
yang berlebihan melalui kontak biasa dan sikap negatif terhadap kelompok
sosial yang tidak proporsional yang dipengaruhi oleh epidemi HIV/AIDS
ini (Herek, 2002). Chase dan Aggleton (2001) mengatakan bahwa salah
satu penyebab terjadinya stigma adalah misinformasi mengenai bagaimana
HIV ditransmimisikan (Chase and Aggleton, 2001).

2. Persepsi tentang ODHA

Herek, dkk pada tahun 2002 mengungkapkan hasil penelitiannya di


Amerika Serikat bahwa sekitar 40 sampai 50% masyarakat percaya bahwa
HIV dapat ditularkan melalui percikan bersin atau batuk, minum dari gelas
yang sama, dan pemakaian toilet umum, sedangkan 20% percaya bahwa
ciuman pipi bisa menularkan HIV (Herek et al, 2002). Persepsi terhadap

7
pengidap HIV atau penderita AIDS akan sangat mempengaruhi bagaimana
orang tersebut akan bersikap dan berperilaku terhadap ODHA. Persepsi
terhadap ODHA berkaitan dengan nilai-nilai seperti rasa malu, sikap
menyalahkan dan menghakimi yang berhubungan dengan penyakit AIDS
tersebut. Cock, dkk tahun 2002 menyatakan bahwa diskriminasi terhadap
ODHA berhubungan dengan persepsi tentang rasa malu (shame) dan
menyalahkan (blame) yang berhubungan dengan penyakit AIDS tersebut
(Cock, 2002).

3. Tingkat Pendidikan

Pendidikan merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi


munculnya diskriminasi terhadap ODHA. Mahendra pada tahun 2006
menyatakan bahwa jenis tenaga kesehatan sesuai dengan latar belakang
pendidikannya mempengaruhi skor diskriminasi terhadap ODHA
(Mahendra et al, 2006).

4. Lama Bekerja

Lama kerja atau lama tugas seorang tenaga kesehatan untuk


melakukan jenis pekerjaan tertentu dinyatakan dalam lamanya waktu
dalam melaksanakan tugas tersebut. Pengembangan perilaku dan sikap
tenaga kesehatan dalam pengambilan keputusan dan perilaku pelayanan
kesehatan dibutuhkan pengalaman kerja sehingga dapat menimbulkan
kepercayaan diri yang tinggi (Suganda, 1997).

5. Umur

Umur secara alamiah mempunyai pengaruh terhadap kinerja fisik


dan perilaku seseorang. Bertambahnya umur seseorang mempengaruhi
proses terbentuknya motivasi sehingga faktor umur diperkirakan
berpengaruh terhadap kinerja dan perilaku seseorang (Suganda, 1997).

6. Pelatihan

Sebuah intervensi pelatihan yang diberikan kepada dokter gigi


menghasilkan peningkatan

8
pengetahuan tentang HIV/AIDS dan meningkatkan keinginan petugas
untuk memberikan pelayanan kesehatan (Gerbert, 1988). Pelatihan kepada
tenaga kesehatan tentang HIV/AIDS menghasilkan tidak hanya
peningkatan pengetahuan tentang HIV/AIDS tetapi juga peningkatan sikap
yang lebih baik terhadap ODHA (Wu Z et al, 2002).
7. Jenis Kelamin
Gibson menyatakan bahwa jenis kelamin merupakan salah satu
variabel individu yang dapat mempengaruhi kinerja (Gibson, 1996).
Penelitian tentang kinerja di rumah sakit dan klinik di Amerika Serikat
menemukan bahwa dokter wanita kurang melakukan konsultasi dan
menghabiskan waktu lebih sedikit dalam melakukan praktek dan kontak
langsung dengan pasien daripada dokter pria. Dokter wanita diketahui
bekerja lebih sedikit per minggu dibandingkan dokter pria, namun
demikian produktifitas total dalam melakukan pelayanan pasien secara
langsung tidak lebih sedikit dari dokter pria. Dokter wanita menghabiskan
total waktu bekerja mereka dalam melakukan pelayanan pasien secara
langsung dan melakukan pemeriksaan lebih banyak pasien dibandingkan
dari dokter pria (Herek et al, 2002).
8. Dukungan Institusi
Faktor kelembagaan atau institusi pelayanan kesehatan seperti
rumah sakit, puskesmas dan klinik mempengaruhi adanya stigma dan
diskriminasi terhadap ODHA, antara lain hal-hal yang terkait penetapan
kebijakan, SOP (Standart Operational Procedure), penyediaan sarana,
fasilitas, bahan dan alat-alat perlindungan diri dalam penanganan pasien
HIV/AIDS. Studi tentang pengaruh faktor lembaga atau institusi memang
masih jarang dilakukan padahal sebenarnya hal ini sangat penting untuk
mengintervensi secara legal terhadap adanya stigma dan diskriminasi
terhadap ODHA oleh petugas kesehatan (Li li et al, 2007). Sesuai dengan
protokol UNAIDS untuk Identification of Discrimination against People
Living with HIV dan hasil beberapa studi di Asia Pasifik mengungkapkan
bahwa masalah stigma dan diskriminasi lebih banyak nampak dalam

9
praktek-praktek yang tidak mempunyai kebijakan atau peraturan tertulis
dalam penangan pasien HIV/AIDS (UNAIDS, 2000).
9. Kepatuhan terhadap agama
Agama mempunyai peran dalam membentuk konsep seseorang
tentang sehat dan sakit. Konsep ini sangat dipengaruhi oleh keyakinannya
tentang peran Tuhan dalam menentukan nasib seseorang, termasuk
didalamnya adalah dalam hal sehat dan sakit (Chin, 2005). Peran agama
dalam semua aspek kehidupan manusia sudah ada sejak berabad-abad
yang lalu. Kepatuhan terhadap nilai-nilai agama para petugas kesehatan
dan para pemimpin agama mempunyai peran dalam pencegahan dan
pengurangan penularan HIV. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Diaz di
Puerto Rico tahun 2011 menyatakan adanya peran agama dalam
membentuk konsep tentang sehat dan sakit serta terkait dengan adanya
stigma terhadap penderita HIV/AIDS (Diazet al, 2011). Penelitian lain
juga menunjukkan hasil yang sama yang dilakukan oleh Aisha Andrewin
tahun 2008 bahwa kepatuhan petugas kesehatan berpengaruh terhadap
stigma dan diskriminasi kepada penderita HIV/AIDS (Andrewin et al,
2008).
Salah satu kendala dalam pengendalian penyakit HIV/AIDS adalah
diskriminasi terhadap penderita HIV/AIDS (ODHA). Herek & Capitiano
(1999) mengatakan bahwa timbulnya stigma dan diskriminasi terhadap
ODHA disebabkan oleh faktor risiko penyakit ini yang terkait dengan
perilaku seksual yang menyimpang dan penyalahgunaan narkotika dan obat
berbahaya atau narkoba. Wan Yanhai (2009) menyatakan bahwa orang-orang
dengan infeksi HIV (HIV positif) menerima perlakuan yang tidak adil
(diskriminasi) dan stigma karena penyakit yang dideritanya.
Diskriminasi tidak saja dilakukan oleh masyarakat awam yang tidak
mempunyai pengetahuan yang cukup tentang penyakit HIV/AIDS, tetapi
dapat juga dilakukan oleh petugas kesehatan. Hal ini sesuai dengan hasil
penelitian yang dilakukan oleh Andrewin et al (2008) di Belize, diketahui

10
bahwa petugas kesehatan (dokter dan perawat) mempunyai stigma dan
melakukan diskriminasi pada ODHA.
Diskriminasi terhadap ODHA dipengaruhi oleh tingkat pengetahuan
dan persepsi. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh
Mahendra et al (2007) dan oleh Pratikno (2008), yang menunjukkan hasil
bahwa adanya stigma dan diskriminasi pada ODHA oleh petugas kesehatan
dipengaruhi oleh pengetahuan dan persepsi petugas kesehatan tentang
HIV/AIDS. Hasil penelitian lain yang mendukung adalah dari Cock et al
(2002) yang menyatakan bahwa diskriminasi terhadap ODHA berhubungan
dengan persepsi tentang rasa malu (shame) dan menyalahkan (blame) yang
berhubungan dengan penyakit AIDS.
Faktor lain yang berpengaruh terhadap terjadinya diskriminasi adalah
tingkat pendidikan dan lama bekerja. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian
dari Mahendra et al (2006) yang menyatakan bahwa jenis tenaga kesehatan
sesuai dengan latar belakang pendidikannya mempengaruhi skor stigma dan
diskriminasi terhadap ODHA. Lamanya bekerja mempengaruhi terjadinya
stigma dan diskriminasi karena seseorang yang sudah lama bekerja cenderung
mempunyai wawasan yang lebih luas dan pengalaman yang lebih banyak,
dimana hal ini memegang peranan penting dalam perubahan perilaku seorang
petugas kesehatan (Suganda, 1997).
Faktor lain juga yang berpengaruh terhadap diskriminasi adalah faktor
kepatuhan terhadap agama. Kepatuhan terhadap nilai -nilai agama para
petugas kesehatan dan para pemimpin agama mempunyai peran dalam
pencegahan dan pengurangan penularan HIV. Hasil penelitian yang dilakukan
oleh Diaz di Puerto Rico tahun 2011 menyatakan adanya peran agama dalam
membentuk konsep tentang sehat dan sakit serta terkait dengan adanya stigma
terhadap penderita HIV/AIDS (Diaz et al, 2011). Penelitian lain juga
menunjukkan hasil yang sama yang dilakukan oleh Aisha Andrewin tahun
2008 bahwa kepatuhan beragama petugas kesehatan berpengaruh terhadap
stigma dan diskriminasi kepada penderita HIV/AIDS (Andrewin et al, 2008).

11
Diskriminasi terhadap ODHA tergambar dalam sikap sinis, perasaan
ketakutan yang berlebihan dan persepsi negatif tentang ODHA , dapat
mempengaruhi dan menurunkan kualitas hidup ODHA. Stigma dan
diskriminasi dalam pelayanan kesehatan yang dilakukan oleh petugas
kesehatan menjadi salah satu kendala kualitas pemberian pelayanan kesehatan
kepada ODHA yang pada akhirnya dapat menurunkan derajat kesehatan
ODHA.
Penelitian dari Zainul Ahwan tahun 2015 tentang diskriminasi
HIV/AIDS pada Orang dengan HIV/AIDS (ODHA) di masyarakat basis
anggota Nahdlatul Ulama’ (NU) Bangil (Studi kajian peran starategis Faith
Based Organization (FBO) dalam isu HIV15. Menjelaskan saat ini terdapat
33.2 juta (30.6 – 36.1 juta) orang hidup dengan status HIV/AIDS. Di
Indonesia sampai pada tahun 2012 terdapat 21.511 kasus HIV dan 5.686
AIDS dengan 5.484 kematian. (Data resmi kementrian kesehatan RI). Hampir
tidak ada provinsi yang dinyatakan bebas dari HIV/AIDS, bahkan
diperkirakan saat ini HIV dan AIDS sudah terdapat di lebih dari separuh
Kabupaten/Kota di seluruh Indonesia. HIV/AIDS sangat erat dengan
diskriminasi masyarakat terhadap orang dengan HIV/AIDS (ODHA).
Salah satu kendala dalam pengendalian penyakit HIV/AIDS adalah
diskriminasi terhadap penderita HIV/AIDS (ODHA). Diskriminasi terkait
HIV bertahan sebagai hambatan utama untuk HIV yang efektif respon di
semua bagian dunia , dengan survei nasional menemukan bahwa diskriminasi
pengobatan orang yang hidup dengan HIV terus terjadi dibeberapa aspek
kehidupan, termasuk akses ke perawatan kesehatan (UNAIDS, 2013).
Munculnya diskriminasi dapat disebabkan karena kurangnya
keterlibatan masyarakat dalam setiap upaya pencegahan dan penanggulangan
HIV/AIDS seperti penyuluhan kesehatan tentang HIV/AIDS. Akibatnya,
banyak masyarakat yang kurang mendapatkan informasi yang tepat mengenai
HIV/AIDS, khususnya dalam mekanisme penularan HIV/AIDS. Perilaku
diskriminatif pada ODHA tidak hanya melanggar hak asasi manusia,

12
melainkan juga sama sekali tidak membantu upaya pencegahan dan
penanggulangan HIV/AIDS (Wati dkk, 2017).
Kegagalan generasi sekarang menemukan metode untuk
menghilangkan sindrom tersebut akan merupakan beban bagi generasi yang
akan datang. Aspek lain yang tidak boleh diabaikan dari HIV&AIDS adalah
persoalan diskriminasi. Karena diskriminasi muncul dalam bentuk perlakuan
yang tidak adil berdasarkan prasangka negatif pada orang-orang deng
HIV&AIDS6. Misalnya diskriminasi ini yaitu penolakan fasilitas kesehatan
seperti rumah sakit, ataupun puskesmas dalam memberikan pelayanan
kesehatan kepada orang dengan HIV&AIDS, ataupun keluarga/masyarakat
yang menolak orang-orang yang terkena HIV&AIDS. Selain menimbulkan
masalah dalam akses layanan kesehatan, tindakan diskriminasi ini juga
menimbulkan efek psikologis yang pada akhirnya akan menimbulkan depresi
berlebihan oleh orang penyandang HIV&AIDS. ( Wisnu Ma’arif, A.2017)
Diskriminasi terhadap orang HIV khususnya ibu rumah tangga
biasanya berupa sikap sinis, cibiran, cemoohan, perasaan takut dan
pandangan negatif yang berlebihan. Sikap semacam ini akan mempengaruhi
dan mempengaruhi kualitas komunikasi di masyarakat.
Kurangnya penghargaan diri dan mudah putus asa. Dengan demikian
adanya tindakan diskriminasi justru akan mempersulit penanganan, dan
akhirnya membuka peluang bagi penyebaran yang meluas dan tidak
terkendali. Mengingat bahwa penangggulangan HIV&AIDS sangat penting,
maka dari itu perlu adanya kerjasama yang baik dari berbagai pihak yang
terkait seperti masyarakat, pemerintah dan NGO (Non-Government
Organizations).
Diketahui bersama bahwa peran keluarga sangat berperan penting
dalam hal proteksi anggota keluarga dari HIV&AIDS. Keluarga merupakan
inti dari proses kehidupan manusia berasal serta mempunyai visi dan misi
untuk menciptakan kenyamanan di zona tersebut7. Ayah, Ibu dan Anak
mempunnyai peran serta fungsi di setiap tugas dan pelayanan dalam keluarga.
Sebagai ayah mempunyai peran menjadi garda terdepan mengatur laju

13
perjalanan keluarga menuju tujuan hidup sebuah keluarga. Ibu berperan
penting mengenai penciptaan kaderisasi keluarga kepada anak-anaknya dari
proses regenerasi. Tentu peran ibu mempunyai peran strategis dalam hal
pengembangan anak. Begitu juga peran tersebut diartikan fleksibel yang
mempunyai konotasi terdampak positif bagi kelangsungan kesejahteraan
keluarga.
Warga Peduli AIDS (WPA) merupakan sebuah ikhtiar (usaha) dalam
pencegahan dan penanggulangan HIV dan AIDS di masyarakat, dan suatu
gerakan partisipasi masyarakat, sehingga target pencapaian tidak bias diukur
dengan waktu yang cepat, apa lagi ditarget dengan menggunakan sistem
program yang biasa dilakukan (KPAN, 2010). Kelompok masyarakat yang
tergabung dalam WPA terdiri dari masyarakat baik di tingkat Desa,
Kelurahan, Rukun Warga (RW), Dusun, Blok dan tingkatan sejenis.
Pembentukan WPA diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan Republik
Indonesia Nomor 21 Tahun 2013 tentang Penanggulangan HIV dan AIDS,
Bab XI pasal 51 ayat 1 (d) yang berbunyi “Masyarakat dapat berperan serta
dalam upayapenanggulangan HIV/AIDS dengan cara membentuk dan
mengembangkan WPA”. Tugas utama WPA adalah menggerakkan
masyarakat untuk ikut serta terlibat secara langsung dalam upaya pencegahan
dan penanggulangan HIV/AIDS (Demartoto, 2018) .
C. Sikap ODHA Terhadap Perilaku Diskriminasi
Untuk menganalisis bagaimana ODHA mensikapi perilaku
diskriminasi di lingkungan keluarga, lingkungan pekerjaan dan di
lingkkungan sosial, dapat merujuk dengan menggunakan teori resiliensi
sebagai pisau analisisnya. Sejumlah besar ahli psikologi menyadari bahwa
abad 21 penuh dengan perubahan-perubahan dan menimbulkan dampak yang
tidak menyenangkan bagi individu, sehingga individu membutuhkan
kemampuan resiliensi untuk membangun kekuatan dalam menghadapi
kondisi yang tidak menyenangkan (Ahcmad,2017).
Resiliensi merupakan kemampuan untuk bertahan dalam kondisi yang
disebabkan oleh perubahan-perubahan yang tidak menyenangkan yang

14
dialami oleh ODHA terhadap tindakan diskriminasi berpa penolakan dan
pemisahan oleh lingkungan keluarga, lingkungan kerja, dan lingkungan
sosialnya (Ahcmad,2017).
Grotberg (1994) (dikutip dari Ahcmad,2017)di dalam buku Desmita
menyebut tiga sumberrisiliensi (three sources of resilience) yaitu :
1. I Have (Aku Punya)
I have merupakan sumber resiliensi yang berhubungan dengan
pemaknaan terhadap besarnya dukungan yang diberikan oleh lingkungan
sosial terhadap dirinya. Sumber I have ini memiliki beberapa kualitas
yang memberikan sumbangan bagi pembetukan resiliensi diantaranya,
hubungan yang dilandasi oleh kepercayaan penuh diantaranya Struktur
dan peraturan di rumah, model-model peran, dorongan untuk mandiri
(otonomi) dan akses terhadap layanan kesehatan, pendidikan, keamanan
dan kesejahteraan.
2. I Am (Aku ini)
I am merupakan sumber resiliensi yang berkaitan dengan kekuatan
pribadi yang dimiliki, yang terdiri dar perasaan, sikap dan keyakinan
pribadi. Beberapa kualitas pribadi yang mempengaruhi I am ini adalah,
disayang dan disukai oleh banyak orang, mencintai, empati, kepedulian
pada orang lain, bangga dengan dirinya sendiri, bertanggung jawa
terhadap perilaku sendiri dan menerima konsekuensinya, percaya diri,
optimistik, dan penuh harap.
3. I Can (Aku dapat)
I can adalah sumber resiliensi yang berkaitan degan apa saja yang dapat
dilakukan sehubungan dengan keterampilan-keterampilan sosial dan
interpersonal. Yaitu keterampilan berupa komunikasi, memecah masalah,
menglola perasaan dan implus-implus mengukur termpersmen sendiri
dan orang lain serta menjalin hubungan-hubungan yang saling
mempercayai

15
D. Dampak Diskriminasi Terhadap ODHA
Orang dengan HIV akan berhubungan dengan stigma dan diskriminasi
dalam bentuk prasangka berlebihan, sikap yang negative, dan perlakkuan
salah secara langsung dari orang-orang sekitarnya. Konsekuensi dari stigma
dan diskriminasi, ODHA menjadi menarik diri dari lingkungan keluarga,
kompok pertemanan, dan komunitas sekitarnya. Selain itu mengalami
keterbatasan pelayanan kesehatan, pendidikan dan mengalami erosi
perlindungan hak asasi manusianya serta mengalami kerusakan psikologis.
Secara umum, ODHA menjadi terbatas dalam hal akses untuk pengujian HIV,
memperoleh treatment dan pelayanan HIV lainnnya. Faktor-faktor penyebab
munculnya stigma bagi ODHA, antara lain: hidup dengan HIV dan AIDS
berhubungan dengan kematian, perilaku seksual menyimpang (homoseksual,
korban NAPZA, pekerja seks), dihubungkan dengan penularan hubungan
seksual yang dianggap adanya perilaku tidak bermoral dan terkena infeksi
merupakan hukuman atas perbuatannya, merupakan bentuk tidak adanya
tanggung jawab pribadi dalam kehidupan bermasyarakat. Kesalahan persepsi
dari masyarakat tentang resiko-resiko bagi kehidupan ODHA, berakibat
ODHA termarjinal dari kehidupan bermasyarakat dan semakin terbatasnya
layanan yang dibutuhkan bagi ODHA (Ahcmad,2017).
Dampak kondisi tersebut memberikan kontribusi meluasnya epidemic
HIV dan kematian jumlah penderita AIDS secara global. Epidemik,
stigmatisasi dan diskriminasi merupakan factor yang menunjukkan
ketidakmampuan inidividu, keluarga dan masyarakt dalam melindungi
dirinya sendri dan merespons peningkatan ODHA (Ahcmad,2017).
Diskriminasi ODHA dapat menyebabkan konsekuensi sebagai berikut
(Ahcmad,2017).:
1. Kehilangan pendapat
2. Diputusnya pekerjaan
3. Kehilangan keluarga
4. Kegagaln dalam pernikahan
5. Terhentinya keinginan mempunyai anak

16
6. Miskin layanan kesehatan
7. Mundur dari layanan perawatan di rumah
8. Hilangnya harapan hidup
9. Perasaan yang sangat sedih
10. Kehilangan reputasi
E. Isu-Isu yang berkembang di masyarakat tentang HIV/AIDS
Bagi masyarakat awam keberadaan penyakit HIV dan AIDS dianggap
sebagai sesuatu yang berbahaya. Bagi masyarakat istilah HIV dan AIDS
biasanya tergambar sebagai masalah medis yang timbul akibat suatu perilaku
negative dalam pergaulannya. Penderitanya yang di sebut ODHA (Orang
Dengan HIV/AIDS) sering dijauhi dalam pergaulan karena dianggap perilaku
negatifnya dapat menimbulkan HIV dan AIDS.
Masyarakat sering mendengar nama penyakit tersebut dan merasa
takut akan hadirnya penyakit tersebut. Tetapi sebenarnya masyarakat belum
mengetahui secara jelas apa itu HIV dan apa itu AIDS. HIV (Human
Imunodeficiensi Virus) adalah virus penyebab AIDS. Terdapat dalam cairan
tubuh pengidapnya seperti darah, air mani atau cairan vagina. Pengidap HIV
akan tampak sehat sampai HIV menjadi AIDS dalam waktu 5-10 tahun
kemudian. Walaupun tampak sehat mereka dapat menularkan HIV pada
orang lain. AIDS (Aquired immune Deficiency Syndrome) atau sindroma
menurunnya kekebalan tubuh yang disebabkan HIV sehingga tubuh tidak
dapat memerangi penyakit.
Banyak masyarakat menganggap penularan HIV dapat terjadi dengan
mudah. Isu yang berkembang di masyarakat mengenai penularan HIV adalah
sebagai berikut:

1. Penularan HIV dapat terjadi karena bersalaman, berpelukan, atau


berciuman dengan penderita HIV dan AIDS
2. Kontak langsung seperti terpapar batuk atau bersin oleh penderita HIV dan
AIDS

17
3. Memakai fasilitas umum bersama-sama dengan penderita HIV dan AIDS
misalnya toilet
4. HIV dan AIDS dapat menular pada tempat pemandian umum misalnya
memakai kolam renang bersama-sama
5. Hidup bersama, berbagi makanan atau menggunakan alat makan secara
bersama dengan ODHA
6. HIV dan AIDS dapat menular akibat gigitan serangga misalnya nyamuk

Berdasarkan isu yang berkembang pada masyarat mengenai penularan


HIV kita akan cenderung mengganggap bahwa HIV itu adalah virus
mematikan yang dapat menular dengan mudahnya kapanpun, dimanapun, dan
kepada siapapun. Padahal dalam kenyataannya tidak seperti yang masyarakat
bayangkan.
Dalam realitas kehidupan masyarakat yang telah mengalami
perubahan, terutama fenomena pemenuhan kebutuhan keluarga dan upaya-
upaya untuk mempertahankan hidup keluarga, meningkatnya kebutuhan
terhadap pendidikan dan kesehatan, maka pencari nafkah tunggal
sesungguhnya bukan masalah jika telah mencukupi kebutuhan keluarga,
sehingga dapat menciptakan kehidupan sejahtera dan sakinah. Namun jika
pencari nafkah tunggal tidak mampu mencukupi kebutuhan keluarga, maka
dalam keluarga telah terjadi pergeseran dimana siap atau tidak siap, mampu
atau tidak mampu istri mengambil peran produktif di luar tugas
reproduksinya di wilayah domestik.
Pencegahan dan penanggulangan berupa melaporkan temuan kasus
HIV/AIDS, sangat penting dilakukan mengingat kejadian kasus HIV/AIDS
cukup tinggi. Persebaran HIV secara merata di berbagai negara dengan kasus
tertinggi berada pada benua Afrika, yang menduduki peringkat pertama
dengan jumlah 25,7 juta jiwa dan kasus tertinggi kedua pada negara di Asia
Tenggara dengan jumlah 3,5 juta jiwa. Sedangkan jumlah terendah orang
yang terinfeksi virus HIV terdapat di pasifik barat dengan berjumlah 1,9 juta
orang (WHO, 2017).

18
Indonesia menduduki peringkat pertama pada tahun 2017 yang
diestimasikan sebagai penyumbang ODHA (Orang Dengan HIV/AIDS)
terbanyak di Asia Tenggara yaitu sebesar 630.000 jiwa yang kemudian
disusul oleh Thailand sebesar 440.000 jiwa. Jumlah kasus HIV yang
dilaporkan dari tahun 2005 - 2017 mengalami kenaikan tiap tahunnya. Jumlah
kumulatif infeksi HIV yang dilaporkan sampai dengan Desember 2017
sebanyak 280.623 jiwa (Ditjen P2P kemenkes RI, 2018).
Provinsi Jawa Tengah saat ini menduduki peringkat ke-5 terbesar
terkait jumlah infeksi HIV di Indonesia yaitu sebesar 22.292kasus (7,9%)
setelah DKI Jakarta 51,981 kasus (18,5%), Jawa Timur sejumlah39.633 kasus
(14,1%), Papua 29.083kasus (10,36%)dan Jawa Barat 28.964 kasus
(10,32%).(Ditjen P2P Kemenkes RI, 2017).
F. Masalah-Masalah Yang Dapat Timbul Oleh Penyakit HIV/AIDS
1. Masalah Kejiwaan
Masalah kejiwaan pada penderita HIV positif berkisar pada
ketidakpastian dan penyelesaian. Ketidakpastian tentang kehidupan,
terutama kehidupan keluarga dan pekerjaan. Sebagai akibat ketidakpastian,
penderita harus melakukan penyesuaian-penyesuaian. Berbagai masalah
kejiwaan yang terjadi antara lain :
a. Ketakutan
Penderita HIV Positif dibayangi ketakutan : ketakutan mati dan
terutama mati sendiri dalam keadaan kesakitan. Ketakutan dapat terjadi
atas dasar pengalamannya melihat teman atau kekasihnya yang sakit
atau meninggal karena AIDS. Ketakutan dapat pula terjadi karena
kurangnya pengetahuan tentang cara pengendalian masalah-masalah
yang dihadapi. Ditinjau dari segi kejiwaan, ketakutan dapat
ditanggulangi dengan pemberian penjelasan yang terbuka tentang cara-
cara mengatasi kesulitan termasuk bantuan dari teman-teman, keluarga
dan konselor.
b. Kehilangan

19
Penderita HIV Positif merasa kehilangan hidupnya,
semangatnya, kegiatan fisiknya, hubungan seksual, kedudukan sosial,
kemantapan keuangan dan keterbatasan. Sejalan dengan meningkatnya
kebutuhan untuk perhatian, penderita juga mengalami perasaan
kehilangan “privacy” dan pengaturan terhadap hidupnya yang paling
sering hilang adalah penanaman kemandirian, merasa ketakutan akan
masa depan, ketidakmampuan menyayangi, pada pandangan yang
negatif atau “stigma” bagi yang lain. Pada sebagian besar penderita,
kesadaran terinfeksi HIV merupakan bencana kematian.
c. Duka Cita
Penderita HIV positif sering merasa sedih kehilangan
pengalaman dan harapannya. Mereka sering sedih atas kepribadian
yang ditunjukkan oleh saudara, kekasih, atau teman-teman, yang
merawat dan memperhatikan yang semakin menurun
d. Bersalah
Penderita HIV positif sering merasa bersalah tentang
kemungkinannya menulari orang lain atau tentang perilakunya yang
menyebabkannya terinfeksi. Juga merasa bersalah telah menyebabkan
keluarganya sakit, khususnya anaknya. Bila rasa bersalah ini tidak dapat
diatasi dapat mengakibatkan rasa bersalah yang makin mendalam
e. Depresi
Depresi dapat timbul karena berbagai penyebab. Belum adanya
pengobatan dan sebagai akibat perasaan kehilangan tenaga, kehilangan
dari kontrol pribadi yang terkait dengan seringnya pemeriksaan medis,
dan pengetahuan bahwa virus dapat membunuh, merupakan faktor yang
penting.
Demikian pula pengetahuan tentang orang-orang lain yang sakit
atau meninggal akibat infeksi HIV dan pengalaman mereka yang
kehilangan potensi untuk berprokreasi dan rencana jangka panjang
dapat mengakibatkan depresi.
f. Menolak

20
Sebagai masyarakat dapat memberikan reaksi menolak terhadap
pemberitahuan bahwa mereka menderita infeksi HIV untuk sebagian
orang, penolakan tersebut dapat merupakan cara positif untuk
menghindari shock terhadap diagnosis.
Bagaimanapun, apabila hal tersebut menetap, penolakan dapat
merugikan, karena masyarakat umum masih belum dapat menerima
tanggung jawab sosial kehidupan bersama penderita HIV positif.
g. Cemas
Kecemasan yang kemudian menjadi kesulitan dalam kehidupan
seseorang dengan HIV, menggambarkan ketidakpastian yang berkaitan
dengan infeksi.
Berbagai penyebab dari kecemasan meliputi hal-hal sebagai
berikut :
1) Prognosa jangka pendek dan jangka panjang.
2) Resiko infeksi dengan penyakit lain.
3) Resiko menularkan HIV pada orang lain.
4) Penolakan kehidupan sosial, kehidupan seksual dan pekerjaan.
5) Dikucilkan, diisolir dan ketakutan secara fisik.
6) Ketakutan akan mati dalam kesakitan dan tidak dihargai.
7) Ketidakmampuan merubah lingkungan dan tanggung jawab
terinfeksi.
8) Bagaimana memastikan pemeliharaan kesehatan terbaik dimasa
yang akan datang.
9) Kemampuan keluarga dan orang-orang yang dicintai untuk
menerima.
10) Kemampuan untuk mendapatkan pelayanan kesehatan dan
perawatan gigi.
11) Kehilangan hal-hal yang bersifat pribadi dan kemandirian.
12) Penolakan terhadap kehidupan sosial dan seksual dimasa
mendatang.

21
13) Penurunan kemampuan dan kehilangan kemandirian dibidang
keuangan.
h. Marah
Sebagai orang merasa sangat marah karena merasa “tidak
beruntung” mendapatkan infeksi HIV. mereka merasa bahwa berita
tentang mereka diberikan secara buruk. Kemarahan dapat merupakan
akibat dari rasa menyalahkan diri sendiri mendapatkan infeksi HIV atau
dapat pula merupakan perwujudan dari perilaku merusak diri sendiri /
bunuh diri.
i. Tindakan atau pemikiran untuk bunuh diri
Mereka yang menderita HIV positif, mempunyai kecenderungan
peningkatan pemikiran bunuh diri. Bunuh diri dianggap merupakan
jalan keluar dari kesakitan, ketidakmampuan, dan perasaan malu
terhadap orangorang yang dikasihi. Bunuh diri dapat dilakukan secara
aktif (menyakiti diri sendiri sampai mati) atau pasif (merahasiakan
komplikasi yang dapat berakibat fatal).
j. Kehilangan harga diri
Penolakan oleh teman, kekasih, kenalan, dapat mengakibatkan
perasaan kehilangan kemandirian dan identitas sosial, sehingga
menyebabkan perasaan kehilangan harga diri. Hal ini dapat pula
diikutkan dengan pengaruh infeksi HIV seperti kerusakan wajah,
penurunan kondisi fisik dan lain-lain.
k. Hypochondria dan Obsesi
Masalah kesehatan dan perubahan fisik atau perasaan dapat
mengakibatkan hypochondria. Hal ini dapat terjadi langsung setelah
didiagnose dan dapat menetap pada mereka yang memiliki kesulitan
untuk menerima penyakitnya (HIV)
l. Aspek Spiritual
Perasaan tentang kematian, kesepian dan kehilangan kontrol
dapat meningkatkan perhatian ke masalah spiritual dan agama. Perasaan

22
berdosa, bersalah, pemberian maaf, damai, dan penerimaan dapat
merupakan bagian dari diskusi keagamaan
2. Masalah Sosial
ODHA mendapat stigma (cap negatif) dan diskriminasi dari
masyarakat di sekitarnya.Ini nampak dari begitu banyak penderita
menerima perlakuan yang berbanding terbalik sebelum terdiagnosa HIV.
Pada rentang antara 10-12 tahun HIV memunculkan AIDS. Jadi, sang
penderita menghadapi stigma dan diskriminasi pada 10 tahun itu. Ini
muncul karena persepsi keliru atas HIV dan AIDS terutama media
penularan serta pandangan mengenai masalah ini adalah masalah medis.

Diskriminasi terhadap ODHA terlihat dalam kehidupan sehari-hari,


seperti contoh-contoh dibawah ini:

a. Pada saat masyarakat mengadakan upacara-upacara yang memerlukan


bantuan dari seluruh krama desa, ODHA tidak diperbolehkan untuk
membantu bekerja karena takut tertular. Tetapi sebenarnya ODHA bisa
saja membantu dalam pekerjaan yang tidak akan menimbulkan luka
atau sampai mengeluarkan darah.
b. Dalam dunia kerja, ODHA sering dikucilkan dari pergaulan rekan-
rekan kerjanya dan ada pula kejadian dimana ODHA harus di PHK
karena penyakit yang di deritanya itu. Untuk mencari lapangan
pekerjaan juga merupakan hal yang tidak mudah bagi mereka, banyak
perusahaan yang menolak orang-orang dengan HIV untuk bekerja
padahal kalau kita lihat pengidap penyakit ini ada pada tataran usia
produktif kerja. Tentunya pembatasan kerja yang dilakukan sebenarnya
akan mematikan berbagai sektor kerja yang ada.
c. Dalam keluarga, ODHA juga kadang-kadang diberikan perlakuan yang
tidak sama dengan keluarga lainnya, misalnya dikirim keluar kota,
dilarang bergaul dengan orang-orang di sekitarnya, dan dilarang pula
membuka statusnya sebagai pengidap HIV karena keluarga masih
menganggap hal itu sebagai aib yang harus disembunyikan selamanya.

23
d. Dalam dunia medis, perlakuan diskriminasi yang terjadi pada ODHA
misalnya ketika seorang penderita yang harus mendapat operasi karena
suatu penyakit atau kecelakaan mendadak harus dibatalkan karena
statusnya sebagai pengidap HIV.

Sebenarnya perlakuan diskriminasi seperti diatas tidak perlu terjadi


seandainya semua orang memiliki pengetahuan tentang HIV/AIDS dan
bagaimana proses infeksinya. Orang-orang dengan HIV sebenarny8a
adalah orang-orang yang patut diberikan dukungan agar di sisa hidupnya
yang tidak lama lagi bisa berbuat banyak untuk sesama baik untuk orang
yang belum terinfeksi maupun yang telah terlanjur terinfeksi.

3. Masalah Ekonomi
HIV dan AIDS memperlambat pertumbuhan ekonomi dengan
menghancurkan jumlah manusia dengan kemampuan produksi (human
capital).Tanpa nutrisi yang baik, fasilitas kesehatan dan obat yang ada di
negara-negara berkembang, orang di negara-negara tersebut menjadi
korban AIDS. Mereka tidak hanya tidak dapat bekerja, tetapi juga akan
membutuhkan fasilitas kesehatan yang memadai. Ramalan bahwa hal ini
akan menyebabkan runtuhnya ekonomi dan hubungan di daerah. Di daerah
yang terinfeksi berat, epidemik telah meninggalkan banyak anak yatim
piatu yang dirawat oleh kakek dan neneknya yang telah tua.

Semakin tingginya tingkat kematian (mortalitas) di suatu daerah


akan menyebabkan mengecilnya populasi pekerja dan mereka yang
berketerampilan. Para pekerja yang lebih sedikit ini akan didominasi anak
muda, dengan pengetahuan dan pengalaman kerja yang lebih sedikit
sehingga produktivitas akan berkurang. Meningkatnya cuti pekerja untuk
melihat anggota keluarga yang sakit atau cuti karena sakit juga akan
mengurangi produktivitas.

Mortalitas yang meningkat juga akan melemahkan mekanisme


produksi dan investasi sumberdaya manusia (human capital) pada
masyarakat, yaitu akibat hilangnya pendapatan dan meninggalnya para

24
orang tua. Karena AIDS menyebabkan meninggalnya banyak orang
dewasa muda, ia melemahkan populasi pembayar pajak, mengurangi dana
publik seperti pendidikan dan fasilitas kesehatan lain yang tidak
berhubungan dengan AIDS. Ini memberikan tekanan pada keuangan
negara dan memperlambat pertumbuhan ekonomi. Efek melambatnya
pertumbuhan jumlah wajib pajak akan semakin terasakan bila terjadi
peningkatan pengeluaran untuk penanganan orang sakit, pelatihan (untuk
menggantikan pekerja yang sakit), penggantian biaya sakit, serta
perawatan yatim piatu korban AIDS. Hal ini terutama mungkin sekali
terjadi jika peningkatan tajam mortalitas orang dewasa menyebabkan
berpindahnya tanggung-jawab dan penyalahan, dari keluarga kepada
pemerintah, untuk menangani para anak yatim piatu tersebut.

Pada tingkat rumah tangga, AIDS menyebabkan hilangnya


pendapatan dan meningkatkan pengeluaran kesehatan oleh suatu rumah
tangga. Berkurangnya pendapatan menyebabkan berkurangnya
pengeluaran, dan terdapat juga efek pengalihan dari pengeluaran
pendidikan menuju pengeluaran kesehatan dan penguburan. Penelitian
di Pantai Gading menunjukkan bahwa rumah tanggal dengan pasien
HIV/AIDS mengeluarkan biaya dua kali lebih banyak untuk perawatan
medis daripada untuk pengeluaran rumah tangga lainnya.

25
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Pengertian HIV sendiri adalah virus yang menyerang sistem
kekebalan tubuh manusia yang kemudan menyebabkan AIDS. AIDS adalah
kumpulan gejala penyakit akibat menurunnya sistem kekebalan tubuh
manusia yang didapat (bukan karena keturunan), tetapi disebabkan oleh virus
HIV.

Menurut UNAIDS, diskriminasi terhadap penderita HIV digambarkan


selalu mengikuti stigma dan merupakan perlakuan yang tidak adil terhadap
individu karena status HIV mereka, baik itu status sebenarnya maupun hanya
persepsi saja. Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya diskriminasi
ODHA diantaranya karena kurang pengetahuan tentang HIV/AIDS, persepsi
yang salah tentang ODHA, tingkat pendidikan yang rendah, umur, pelatihan
yang kurang pada petugas kesehatan, jenis kelamin, dukungan institusi, dan
kepatuhan terhadap agama.

Masalah- Masalah yang dapat timbul oleh penyakit HIV/AIDS

1. Masalah kejiwaan
2. Masalah social
3. Masalah ekonomi
B. Saran

1. Diharapkan masyarakat dapat meningkatkan pengetahuan tentang


HIV/AIDS sehingga tidak terjadi diskriminasi terhadap ODHA.
2. Diharapkan perawat dan tim kesehatan lainnya mampu mencegah atau
meminimalisir terjadinya diskriminasi ODHA oleh masyarakat termasuk
dengan cara meningkatkan pengetahuan masyarakat tentang HIV/AIDS
sehingga dapat membantu ODHA untuk kembali bersosialisasi dan
melanjutkan hidupnya.

26
3. Agar terhindar dari HIV/AIDS sebaiknya masyarakat berperilaku seks
yang sehat dan aman seperti tidak berganti-ganti pasangan dan
menggunakan kondom saat melakukan hubungan seksual.

27
DAFTAR PUSTAKA

Maryunani anik,ummu aeman,2009. Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke Bayi


Penatalaksanaan Dipelayanan bidan. Jakarta: Trans Info Media
Nasronudin, 2007. HIV dan AIDS Pendekatan Biologi Molekul Klinis dan social.
Surabaya :Airlangga University Press
Dan, S., Stigma, P., Terhadap, M., Rumah, I. B. U., Penderita, T., & Kharis, A.
(2016). STIGMA DAN PENYEBAB STIGMA MASYARAKAT
TERHADAP IBU RUMAH TANGGA PENDERITA HIV&AIDS
AHMAD KHARIS, 1–28.

Paryati, T., Raksanagara, A. S., & Afriandi, I. (2012). Faktor-faktor yang


Mempengaruhi Stigma dan Diskriminasi kepada ODHA ( Orang dengan
HIV / AIDS ) oleh petugas kesehatan : kajian literatur Factors Influencing
Stigmatization and Discrimination of PLHA ( People living with HIV /
AIDS ) among health workers , (38), 1–11.

Nathan, A. J., & Scobell, A. (2012, September). How China sees America.
Foreign Affairs. https://doi.org/10.1017/CBO9781107415324.004 di akses
pada tanggal 05 Nopember 2019

Wisnu Ma’arif, A. (2017). DISKRIMINASI ORANG DENGAN HIV/AIDS


(ODHA). Retrieved from http://digilib.uinsby.ac.id/11047/4/babii.pdf di
akses pada tanggal 05 Nopember 2019

Maharani, R. (2014). Stigma dan Diskriminasi Orang Dengan HIV/AIDS


(ODHA) pada Pelayanan Kesehatan di Kota Pekanbaru Tahun 2014. Jurnal
Kesehatan Komunitas, 2(5), 225–232.
https://doi.org/10.25311/jkk.vol2.iss5.79 di akses pada tanggal 05
Nopember 2019

http://AIDS-Wikipedia bahasa Indonesia,ensiklopedia bebas


di akses pada tanggal 05 Nopember 2019

28
http://Masalah Kejiwaan penderita HIV AIDS
di akses pada tanggal 05 Nopember 2019
http://PERAN PERAWAT DALAM MENANGANI MASALAH PSIKOSOSIAL
HIV AIDSperawatanonline.com
di akses pada tanggal 05 Nopember 2019

29

Anda mungkin juga menyukai