BAB 5 Ketetapan Pajak Dan Restitusi Pajak
BAB 5 Ketetapan Pajak Dan Restitusi Pajak
INDAH YULIANDARI
NPM: 1633122012
KELAS: F1/AKUNTANSI
Berdasarkan hasil pemeriksaan diketahui bahwa pajak terutang yang dilaporkan dan
dibayarkan tidak benar, misalkan pembebanan biaya tidak didukung dengan dokumen
pengeluaran yang sah sebesar Rp. 500.000.000,-, maka Fiskus menetapkan besarnya
pajak yang terutang sebagaimana mestinya sesuai dengan ketentuan perpajakan yaitu
dengan menerbitkan SKP.
Pajak terutang berdasarkan hasil pemeriksaan menjadi :
Peredaran Bruto Rp 58.000.000.000,-
Penghasilan Neto Rp. 6.500.000.000,-
PPh Terutang Rp. 1.625.000.000,-
Kredit Pajak Rp. 1.500.000.000,-
Kurang Bayar Rp. 125.000.000,-
Sanksi Adm Rp. 20.000.000,- (Rp. 125 Jt X 2% x 8 Bulan)
SKPKB 2013 Rp. 145.000.000,-
C. Jenis-Jenis Ketetapan
1. Surat Ketetapan Pajak
Ketentuan yang mengatur tetang kewenangan Direktorat Jenderal Pajak menerbitkan
Surat Ketetapan Pajak diatur dalam beberapa pasal dalam UU KUP yaitu :
1. Pasal 13, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB)
2. Pasal 13A, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB)
3. Pasal 15, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT)
4. Pasal 17, Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar (SKPLB)
5. Pasal 17A, Surat Ketetapan Pajak Nihil (SKPN)
dan Pasal 17 B, Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar (SKPLB)
Wajib Pajak yang sudah diterbitkan SKPKB tidak menutup kemungkinan diterbitkan
Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT) apabila ditemukan data baru
(novum) yang mengakibatkan penambahan jumlah pajak yang terutang setelah dilakukan
tindakan pemeriksaan dalam rangka penerbitan SKPKBT. Jumlah kekurangan pajak yang
terutang dalam SKPKBT ditambah sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 100%
dari jumlah kekurangan Pajak tersebut.
2. RESTITUSI PAJAK
A. Pengertian Restitusi Pajak
Menurut Kamus Bahasa Indonesia, restitusi (réstitusi) adalah ganti kerugian;
pembayaran kembali; penyerahan bagian pembayaran yang masih bersisa. Kaitannya
dengan pajak yang kita bayar kepada Negara, restitusi adalah pembayaran
kembali pajak yang telah dibayar oleh Wajib Pajak. Artinya, Negara membayar kembali
atau mengembalikan pajak yang telah dibayar. Undang-Undang KUP secara umum
menyebut restitusi sebagai pengembalian kelebihan pembayaran pajak.
Bagaimana cara meminta restitusi? Banyak orang mengira bahwa resitusi pajak
harus melalui "pintu" pemeriksaan. Pendapat ini tidak sepenuhnya salah karena sebelum
modernisasi, sepengetahuan saya semua restitusi memang harus diperiksa. Restitusi
diatur di Pasal 17 Undang-Undang KUP. Pasal itu memang mengatur tentang Surat
Ketetapan Pajak Lebih Bayar (SKPLB). Perkembangan selanjutnya, Pasal 17 Undang-
Undang KUP sudah "bertambah". Tetapi sejak sejak modernisasi dan berlakunya
Undang-Undang nomor 28 Tahun 2007 ada beberapa ketentuan baru yang
memungkinkan restitusi tanpa melalui "pintu" pemeriksaan. Ditambah lagi kebijakan DJP
sejak tahun 2014 ini yang memberikan target audit coverage ratio (ACR) tertentu.
Sebelumnya, fungsi pemeriksaan lebih fokus kepada "keamanan" restitusi dan
memastikan bahwa Wajib Pajak benar-benar berhak atas restitusi tersebut
Sejak berlakunya Undang-Undang nomor 28 Tahun 2007 dan Peraturan
Pemerintah nomor 74 Tahun 2011, untuk mendapatkan pengembalian kelebihan pajak
terdapat tiga pintu yaitu:
[1.] verifikasi
[2.] pemeriksaan, dan
[3.] penelitian.
RESTITUSI PASAL 17
Peraturan Menteri Keuangan nomor 145/PMK.03/2012 tentang Tata Cara Penerbitan
Surat Ketetapan Pajak menyebutkan bahwa Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar
ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak berdasarkan hasil pemeriksaan terhadap:
1. Surat Pemberitahuan terdapat jumlah kredit pajak atau jumlah pajak yang dibayar
lebih besar daripada jumlah pajak yang terutang sebagaimana dimaksud dalam
pasal 17 ayat (1) Undang-Undang KUP; atau
2. permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 17B Undang-Undang KUP terdapat jumlah kredit pajak atau jumlah
pajak yang dibayar lebih besar daripada jumlah pajak yang terutang.
terdapat pembayaran pajak oleh Wajib Pajak yang bukan merupakan objek pajak yang
terutang atau yang seharusnya tidak terutang . Pembayaran yang termasuk kelompok
ini dapat berupa: pembayaran pajak oleh Wajib Pajak yang lebih besar dari pajak yang
terutang, pembayaran pajak atas transaksi yang dibatalkan, pembayaran pajak yang
seharusnya tidak dibayar, pembayaran pajak oleh Wajib Pajak terkait dengan permintaan
penghentian penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 44B Undang-Undang KUP yang tidak disetujui.
contoh:
Terhadap permohonan resitusi karena pajak yang seharusnya tidak terutang ini, kantor
pajak akan melakukan verifikasi. Verifikasi ini adalah prosedur baru di DJP setelah
terbitnya Peraturan Pemerintah nomor 74 Tahun 2011. Menurut
definisinya, verifikasi adalah serangkaian kegiatan pengujian pemenuhan kewajiban
subjektif dan objektif atau penghitungan dan pembayaran pajak, berdasarkan permohonan
Wajib Pajak atau berdasarkan data dan informasi perpajakan yang dimiliki atau diperoleh
Direktur Jenderal Pajak, dalam rangka menerbitkan surat ketetapan pajak,
menerbitkan/menghapus Nomor Pokok Wajib Pajak dan/atau mengukuhkan/mencabut
pengukuhan Pengusaha Kena Pajak.
Dalam hal untuk melakukan verifikasi diperlukan tambahan dokumen pendukung lainnya
yang terkait dengan permohonan pengembalian atas kelebihan pembayaran pajak yang
seharusnya tidak terutang, DJP dapat meminta dokumen tersebut kepada Wajib Pajak.
Biasanya dokumen-dokumen yang perlu adalah bukti pembayaran pajak seperti Surat
Setoran Pajak (SSP). Bisa juga Surat Pemberitahuan Pajak baik SPT Badan jidak terkait
PPh maupun SPT Masa PPN. Jika semuanya sudah sesuai ketentuan yang berlaku,
maka akan diterbitkan SKPLB (surat ketetapan pajak lebih bayar).
Dalam rangka verifikasi, petugas akan memastikan bahwa pajak yang direstitusikan
sudah dibayar di bank persepsi dengan mengecek NTPN. Kemudian mengecek apakah
sudah dikreditkan di SPT. Kalau terkait PPh Pasal 22, apakah sudah dikreditkan di PPh
Badan atau belum. Kalau terkait PPN impor, apakah sudah dikreditkan sebagai pajak
masukan atau belum, atau apakah sudah dibiayakan atau belum.
Sebelum surat ketetapan pajak diterbitkan, maka akan diberikan SPHV (surat
pemberitahuan hasil verifikasi). Setelah itu Wajib Pajak dapat menanggapi SPHV. Jika
tidak setuju dapat memberikan bukti-bukti pendukung yang mungkin belum
diperhitungkan oleh petugas. Dan petugas harus memberikan undangan pembahasan
verifikasi. Jika tanpa undangan ini, maka atas ketetapan pajaknya dapat dibatalkan. Tata
cara verifikasi lebih lengkap dapat dilihat di Peraturan Menteri Keuangan
nomor 146/PMK.03/2012.
Surat permohonan yang dimaksud bisa surat terpisah dari SPT yang menyatakan lebih bayar
atau bisa hanya SPT saja. Ada bagian di SPT sebelum tanda tangan yang harus dipilih oleh
Wajib Pajak. Dengan mengisi pilihan tersebut berarti dianggap permohonan.
Dalam hal setelah menyampaikan Surat Pemberitahuan ke kantor pajak dan Wajib Pajak
sudah diberikan LPAD (Lembar Pengawasan Arus Dokumen) maka terhadap Surat
Pemberitahuan tersebut sudah dianggap lengkap. Tetapi jika belum diberikan LPAD maka
kantor pajak akan meminta kelengkapan yang diperlukan. Tetapi sebenarnya, walaupun
sudah diberikan LPAD, bisa saja kantor pajak menganggap masih belum lengkap sehingga
meminta kelengkapan lain yang belum atau terlupakan saat penyampaian SPT. Atau bisa
juga kantor pajak justru menyatakan bahwa Surat Pemberitahuannya dianggap bukan Surat
Pemberitahuan. Kewenangan ini diatur di Pasal 3 ayat (7) Undang-Undang KUP. Bagian
penjelasan ayat ini mengatakan, "Surat Pemberitahuan yang ditandatangani beserta
lampirannya adalah satu kesatuan yang merupakan unsur keabsahan Surat Pemberitahuan.
Oleh karena itu, Surat Pemberitahuan dari Wajib Pajak yang disampaikan, tetapi tidak
dilengkapi dengan lampiran yang dipersyaratkan, tidak dianggap sebagai Surat
Pemberitahuan dalam administrasi Direktorat Jenderal Pajak. Dalam hal demikian, Surat
Pemberitahuan tersebutdianggap sebagai data perpajakan."
Dalam hal kantor pajak menganggap tidak disampaikan, maka kantor pajak wajib
memberitahukan kepada Wajib Pajak. Nah, jika Wajib Pajak menerima surat pemberitahuan
seperti ini, Wajib Pajak wajib hukumnya menanyakan dan melengkapi kekurangannya. Jika
tidak, maka SPT yang menyatakan lebih bayar tersebut dianggp bukan SPT dan dianggap
bukan permohonan restitusi.
Penjelasan lebih renci terkait pemeriksaan dapat dilihat di laman sebelah. Silakan. Tetapi
secara singkat, tahapan restitusi dengan pemeriksaan didahului dengan penyampaian Surat
Pemberitahuan Pemeriksaan Lapangan atau Surat Panggilan Dalam Rangka Pemeriksaan
Kantor. Setelah itu, ada prosedur peminjaman dokumen, SPHP, Pembahasan, dan
penerbitkan surat ketetapan pajak.
Restitusi dengan kriteria tertentu yang dimaksud disini adalah restitusi untuk Wajib Pajak
Patuh. Peraturan Menteri Keuangan nomor 74/PMK.03/2012 telah menentukan kriteria-
kriteria agar Wajib Pajak bisa ditetapkan sebagai Wajib Pajak Patuh. Kriteria kepatuhan
disini lebih kepada kepatuhan formal yang dilakukan oleh Wajib Pajak. Berikut kriteria
Wajib Pajak Patuh:
[a.1.] penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan selama 3 (tiga) Tahun Pajak terakhir
yang wajib disampaikan sampai dengan akhir tahun sebelum tahun penetapan Wajib
Pajak Dengan Kriteria Tertentu dilakukan tepat waktu;
[a.2.] penyampaian Surat Pemberitahuan Masa yang terlambat dalam tahun terakhir
sebelum tahun penetapan Wajib Pajak Dengan Kriteria Tertentu untuk Masa Pajak Januari
sampai November tidak lebih dari 3 (tiga) Masa Pajak untuk setiap jenis pajak dan tidak
berturut-turut;
[a.3.] Surat Pemberitahuan Masa yang terlambat telah disampaikan tidak lewat dari batas
waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Masa Masa Pajak berikutnya; dan
[a.4.] seluruh Surat Pemberitahuan Masa dalam tahun terakhir sebelum tahun penetapan
Wajib Pajak Dengan Kriteria Tertentu untuk Masa Pajak Januari sampai November telah
disampaikan.
[b.] tidak mempunyai tunggakan pajak untuk semua jenis pajak, kecuali tunggakan pajak
yang telah memperoleh izin mengangsur atau menunda pembayaran pajak, yaitu keadaan
Wajib Pajak pada tanggal 31 Desember tahun sebelum penetapan sebagai Wajib Pajak
Dengan Kriteria Tertentu.
[c.] Laporan Keuangan diaudit oleh Akuntan Publik atau lembaga pengawasan keuangan
pemerintah dengan pendapat Wajar Tanpa Pengecualian selama 3 (tiga) tahun berturut-
turut, yaitu laporan keuangan yang dilampirkan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak
Penghasilan yang wajib disampaikan selama 3 (tiga) tahun berturut-turut sampai dengan
akhir tahun sebelum tahun penetapan Wajib Pajak Dengan Kriteria Tertentu.
[d.] tidak pernah dipidana karena melakukan tindak pidana di bidang perpajakan
berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dalam
jangka waktu 5 (lima) tahun terakhir.
Menurut bagian penjelasan Pasal 27 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2011
bahwa tujuan pemberian pengembalian ini untuk mendorong Wajib Pajak patuh
melaksanakan kewajiban perpajakan. Inilah bunyi lengkapnya, "Pemberian pengembalian
pendahuluan kelebihan pembayaran pajak merupakan bentuk kemudahan yang diberikan
kepada Wajib Pajak untuk mendorong agar Wajib Pajak menjadi patuh dalam
melaksanakan hak dan memenuhi kewajiban perpajakannya. Setelah Wajib Pajak
ditetapkan sebagai Wajib Pajak dengan kriteria tertentu yang sering dikenal sebagai
"Wajib Pajak Patuh" maka diharapkan Wajib Pajak tersebut selalu patuh dalam
melaksanakan hak dan memenuhi kewajiban perpajakannya."
Wajib Pajak dapat mengajukan diri untuk mendapatkan "status" Wajib Pajak Patuh. Batas
waktu pengajuan permohonan untuk menjadi Wajib Pajak Patuh paling lambat tanggal 10
Januari pada tahun penetapan Wajib Pajak Dengan Kriteria Tertentu. Paling lambat tanggal
20 Februari Direktorat Jenderal Pajak akan menerbitkan Keputusan mengenai penetapan
Wajib Pajak Dengan Kriteria Tertentu.
Peraturan Menteri Keuangan nomor 74/PMK.03/2012 mengatur Wajib Pajak Patuh dilihat dari
kepatuhan penyampaian SPT PPh. Sedangkan untuk kepatuhan penyampaian SPT Masa PPN
diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan nomor 71/PMK.03/2010 tentang Pengusaha Kena
Pajak Beresiko Rendah Yang Diberikan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak. Dasar
hukum Pengusaha Kena Pajak Beresiko Rendah adalah Pasal 9 ayat (4c) Undang-Undang PPN.
Penetapan sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP) beresiko rendah diberikan untuk PKP yang
tidak pernah dilakukan pemeriksaan bukti permulaan dan/atau penyidikan dalam jangka waktu
24 (dua puluh empat) bulan terakhir dan:
[a.] Perusahaan Terbuka yang paling sedikit 40% (empat puluh persen) dari keseluruhan saham
disetornya diperdagangkan di bursa efek di Indonesia;
[b.] perusahaan yang saham mayoritasnya dimiliki secara langsung oleh Pemerintah Pusat
dan/atau Pemerintah Daerah; atau
[c.] produsen selain Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada huruf a dan huruf b,
yang memenuhi persyaratan tertentu.
1. tepat waktu dalam penyampaian Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai
selama 12 (dua belas) bulan terakhir,
2. nilai Barang Kena Pajak yang dijual pada tahun sebelumnya paling sedikit 75% (tujuh
puluh lima persen) adalah produksi sendiri;
3. Laporan Keuangan untuk 2 (dua) tahun pajak sebelumnya diaudit oleh Akuntan Publik
dengan pendapat Wajar Tanpa Pengecualian atau Wajar Dengan Pengecualian.
Wajib Pajak yang telah ditetapkan sebagai Pengusaha Kena Pajak Beresiko Rendah dan
Wajib Pajak Patuh dapat meminta pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran pajak.
Restitusi pajak dilakukan dengan penelitian, bukan pemeriksaan. Dan setelah dilakukan
penelitian,kantor pajak akan menerbitkan Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan
Kelebihan Pajak (SKPPKP). Menurut Pasal 17C ayat (1) Undang-Undang KUP, bahwa SKPPKP
diterbitkan paling lama 3 (tiga) bulan sejak permohonan diterima secara lengkap untuk Pajak
Penghasilan, dan paling lama 1 (satu) bulan sejak permohonan diterima secara lengkap untuk
Pajak Pertambahan Nilai
Pada dasarnya kriteria tertentu sebagaimana dimaksud Pasal 17C adalah Wajib Pajak Patuh. Ya,
kriteria disini menunjukkan Wajib Pajak tersebut telah membuktikan secara konsisten,
setidaknya pada periode tertentu, memenuhi kepatuhan formal. Dilihat dari sisi manajemen
risiko, Pasal 17C dianggap memiliki risiko rendah.
Sebenarnya Pasal 17D juga memiliki anggapan yang sama, yaitu DJP memandang Wajib Pajak
yang memenuhi persyaratan tertentu ini memiliki risiko rendah. Hanya saja, perbedaannya antara
17C dengan 17D adalah dari sisi nominal restitusi. Pasal 17D dimaksudkan untuk restitusi
"recehan". Karena itu, Peraturan Menteri Keuangan nomor 178/PMK.03/2013 mengatur
persyaratan tertentu seperti ini:
1. Wajib Pajak orang pribadi yang tidak menjalankan usaha atau pekerjaan bebas yang
menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan lebih bayar restitusi;
2. Wajib Pajak orang pribadi yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas yang
menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan lebih bayar restitusi
dengan jumlah lebih bayar paling banyak Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah);
3. Wajib Pajak badan yang menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak
Penghasilan lebih bayar restitusi dengan jumlah lebih bayar paling banyak Rp
100.000.000,00 (seratus juta rupiah); atau
4. Pengusaha Kena Pajak yang menyampaikan Surat Pemberitahuan Masa Pajak
Pertambahan Nilai lebih bayar restitusi dengan jumlah lebih bayar paling banyak Rp
100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
Paradigma yang dibangun Peraturan Menteri Keuangan ini adalah mempermudah dan
pelayanan. Prosedur pelaksanaannya dipermudah dengan melalui penelitian saja!
Pelayanan dimaksud dengan mempercepat proses restitusi. Walaupun demikian,
pimpinan DJP tetap memberikan satu saringan agar tidak semua "recehan" tersebut
diperlakukan sebagai yang memiliki risiko rendah. Apa itu? Restitusi untuk Wajib Pajak
"recehan" ini tetap harus didasarkan pada analisis risiko yang pedomannya ditetapkan
oleh Direktur Jenderal Pajak. Analisis risiko yang ditetapkan Dirjen Pajak telah
dituangkan dalam Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak nomor SE-12/PJ/2014.
DAFTAR PUSTAKA
http://pajaktaxes.blogspot.co.id/p/resitusi.html
http://www.nusahati.com/2014/11/sekilas-tentang-penetapan-ketetapan-pajak/
http://www.pajak.go.id/content/seri-kup-penetapan-dan-ketetapan-pajak