Anda di halaman 1dari 12

NAMA: A.A.

INDAH YULIANDARI

NPM: 1633122012

KELAS: F1/AKUNTANSI

Ketetapan Pajak dan Restitusi Pajak


1. KETETAPAN PAJAK

A. Pengertian ketetapan pajak


ketetapan merupakan kewenangan yang dimiliki oleh Direktorat Jenderal Pajak dalam
“menghitung kembali” pajak yang sudah dibayar oleh wajib pajak apabila didapati cukup
bukti, yang dapat menjadi kurang bayar, nihil atau lebih bayar. Ketentuan Ketetapan
Dalam pasal 12 ayat (3) UU KUP yang menyebutkan “Apabila Direktur Jenderal Pajak
mendapatkan bukti jumlah pajak yang terutang menurut Surat Pemberitahuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak benar, Direktur Jenderal Pajak menetapkan
jumlah pajak yang terutang.” Hal ini menegaskan bahwa peranan fiskus adalah untuk
menguji kebenaran SPT yang disampaikan oleh Wajib Pajak melalui self
assessment tersebut. Proses pengujian dan pembuktian dilakukan melalui tindakan
pemeriksaan, dan apabila hasil dari pemeriksaan tersebut ternyata jumlah pajak yang
terutang menurut Wajib Pajak sebagaimana dilaporkan dalam SPT tidak benar, maka
Direktorat Jenderal Pajak menetapkan jumloah pajak yang terutang dengan menerbitkan
SKP.
Contoh :
PT. Nusahati melakukan kegiatan usaha “halal barokah” melaporkan seluruh
penghasilan yang diperoleh tahun 2013 dengan perincian sebagai berikut :
 Peredaran Bruto Rp 58.000.000.000,-
 Penghasilan Neto Rp. 6.000.000.000,-
 PPh Terutang Rp. 1.500.000.000,-
 Kredit Pajak Rp. 1.200.000.000,-
 PPh Pasal 29 Rp. 300.000.000,-

Berdasarkan hasil pemeriksaan diketahui bahwa pajak terutang yang dilaporkan dan
dibayarkan tidak benar, misalkan pembebanan biaya tidak didukung dengan dokumen
pengeluaran yang sah sebesar Rp. 500.000.000,-, maka Fiskus menetapkan besarnya
pajak yang terutang sebagaimana mestinya sesuai dengan ketentuan perpajakan yaitu
dengan menerbitkan SKP.
Pajak terutang berdasarkan hasil pemeriksaan menjadi :
 Peredaran Bruto Rp 58.000.000.000,-
 Penghasilan Neto Rp. 6.500.000.000,-
 PPh Terutang Rp. 1.625.000.000,-
 Kredit Pajak Rp. 1.500.000.000,-
 Kurang Bayar Rp. 125.000.000,-
 Sanksi Adm Rp. 20.000.000,- (Rp. 125 Jt X 2% x 8 Bulan)
 SKPKB 2013 Rp. 145.000.000,-

Berdasarkan hasil pemeriksaan, maka penghitungan perpajakan menjadi sebagaimana


contoh di atas, PT Nusahati diterbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Pajak
Penghasilan Tahun 2013 sebesar Rp. 145.000.000,-.

B. Fungsi Surat Ketetapan Pajak


Surat ketetapan pajak berfungsi sebagai :
1. Sarana untuk melakukan koreksi fiskal terhadap WP tertentu yang nyata-nyata
atau berdasarkan hasil pemeriksaan tidak memenuhi kewajiban formal dan atau
kewajiban materiil dalam memenuhi ketentuan perpajakan.
2. Sarana untuk mengenakan sanksi administrasi perpajakan.
3. Sarana administrasi untuk melakukan penagihan pajak.
4. Sarana untuk mengembalikan kelebihan pajak dalam hal lebih bayar.
5. Sarana untuk memberitahukan jumlah pajak yang terutang.

C. Jenis-Jenis Ketetapan
1. Surat Ketetapan Pajak
Ketentuan yang mengatur tetang kewenangan Direktorat Jenderal Pajak menerbitkan
Surat Ketetapan Pajak diatur dalam beberapa pasal dalam UU KUP yaitu :
1. Pasal 13, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB)
2. Pasal 13A, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB)
3. Pasal 15, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT)
4. Pasal 17, Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar (SKPLB)
5. Pasal 17A, Surat Ketetapan Pajak Nihil (SKPN)
dan Pasal 17 B, Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar (SKPLB)
Wajib Pajak yang sudah diterbitkan SKPKB tidak menutup kemungkinan diterbitkan
Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT) apabila ditemukan data baru
(novum) yang mengakibatkan penambahan jumlah pajak yang terutang setelah dilakukan
tindakan pemeriksaan dalam rangka penerbitan SKPKBT. Jumlah kekurangan pajak yang
terutang dalam SKPKBT ditambah sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 100%
dari jumlah kekurangan Pajak tersebut.

2. Surat Tagihan Pajak


Dalam Pasal 1 angka 20 UU KUP disebutkan bahwa “Surat Tagihan Pajak adalah surat
untuk melakukan tagihan pajak dan/atau sanksi administrasi berupa bunga dan/atau
denda.” Dengan demikian maka fungsi Surat Tagihan Pajak (STP) adalah untuk
melakukan hal-hal sebagai berikut :
 melakukan tagihan pajak dan/atau
 melakukan tagihan administrasi berupa bunga dan/atau denda
Direktorat Jenderal Pajak, dalam hal ini Kantor Pelayanan Pajak (oleh Account
Representative dan Pejabat Fungsional Pemeriksa) dapat menerbitkan Surat
Tagihan Pajak dalam hal :
1. Pajak Penghasilan (PPh) dalam tahun berjalan tidak atau kurang dibayar
(diterbitkan setelah lewat 1 (satu) bulan sejak masa pajak yang bersangkutan)
2. Berdasarkan hasil penelitian terdapat kekurangan pembayaran pajak sebagai
akibat salah tulis dan/ayau salah hitung;
3. Wajib Pajak dikenai sanksi administrasi berupa denda dan/atau bunga;
4. Pengusaha yang telah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak, tidak
membuat faktur pajak atau membuat faktur pajak tetapi tidak tepat waktu;
5. Pengusaha yang telah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak tidak
mengisi faktur pajak secara loengkap sebagaimana diatur dalam Pasal 13 ayat
(5) UU PPN, selain :
1. Identitas pembeli sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat
(5) huruf b UU PPN; atau
2. Identitas pembeli serta nama dan tandatangan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5) huruf b, dan huruf g UU
PPN, dalam hal penyerahan dilakukan oleh Pengusaha Kena
Pajak pedagang eceran;
6. Pengusaha Kena Pajak (PKP) melaporkan faktur pajak tidak sesuai dengan
masa penerbitan faktur pajak
7. Pengusaha Kena Pajak yang mengalami gagal berproduksi dan telah diberikan
pengembalian Pajak Masukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (6a)
UU PPN.
Pada umumnya STP diterbitkan setelah dilakukan penelitian administrasi perpajakan atau
berdasarkan hasil pemeriksaan pajak.

2. RESTITUSI PAJAK
A. Pengertian Restitusi Pajak
Menurut Kamus Bahasa Indonesia, restitusi (réstitusi) adalah ganti kerugian;
pembayaran kembali; penyerahan bagian pembayaran yang masih bersisa. Kaitannya
dengan pajak yang kita bayar kepada Negara, restitusi adalah pembayaran
kembali pajak yang telah dibayar oleh Wajib Pajak. Artinya, Negara membayar kembali
atau mengembalikan pajak yang telah dibayar. Undang-Undang KUP secara umum
menyebut restitusi sebagai pengembalian kelebihan pembayaran pajak.

Bagaimana cara meminta restitusi? Banyak orang mengira bahwa resitusi pajak
harus melalui "pintu" pemeriksaan. Pendapat ini tidak sepenuhnya salah karena sebelum
modernisasi, sepengetahuan saya semua restitusi memang harus diperiksa. Restitusi
diatur di Pasal 17 Undang-Undang KUP. Pasal itu memang mengatur tentang Surat
Ketetapan Pajak Lebih Bayar (SKPLB). Perkembangan selanjutnya, Pasal 17 Undang-
Undang KUP sudah "bertambah". Tetapi sejak sejak modernisasi dan berlakunya
Undang-Undang nomor 28 Tahun 2007 ada beberapa ketentuan baru yang
memungkinkan restitusi tanpa melalui "pintu" pemeriksaan. Ditambah lagi kebijakan DJP
sejak tahun 2014 ini yang memberikan target audit coverage ratio (ACR) tertentu.
Sebelumnya, fungsi pemeriksaan lebih fokus kepada "keamanan" restitusi dan
memastikan bahwa Wajib Pajak benar-benar berhak atas restitusi tersebut
Sejak berlakunya Undang-Undang nomor 28 Tahun 2007 dan Peraturan
Pemerintah nomor 74 Tahun 2011, untuk mendapatkan pengembalian kelebihan pajak
terdapat tiga pintu yaitu:
[1.] verifikasi
[2.] pemeriksaan, dan
[3.] penelitian.

B. Secara umum, restitusi pajak diatur dalam pasal-pasal sebagai berikut:

1. PASAL 17 ayat (1) Undang-Undang KUP


Direktur Jenderal Pajak, setelah melakukan pemeriksaan, menerbitkan Surat
Ketetapan Pajak Lebih Bayar apabila jumlah kredit pajak atau jumlah pajak yang
dibayar lebih besar daripada jumlah pajak yang terutang.

2. PASAL 17 ayat (2) Undang-Undang KUP


Berdasarkan permohonan Wajib Pajak, Direktur Jenderal Pajak, setelah meneliti
kebenaran pembayaran pajak, menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar apabila
terdapat pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang, yang ketentuannya diatur
dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.

3. PASAL 17B ayat (1) Undang-Undang KUP


Direktur Jenderal Pajak setelah melakukan pemeriksaan atas permohonan
pengembalian kelebihan pembayaran pajak, selain permohonan pengembalian
kelebihan pembayaran pajak dari Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17C
dan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17D, harus menerbitkan surat
ketetapan pajak paling lama 12 (dua belas) bulan sejak surat permohonan diterima
secara lengkap.

4. PASAL 17C ayat (1) Undang-Undang KUP


Direktur Jenderal Pajak setelah melakukan penelitian atas permohonan pengembalian
kelebihan pembayaran pajak dari Wajib Pajak dengan kriteria tertentu, menerbitkan
Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak paling lama 3 (tiga)
bulan sejak permohonan diterima secara lengkap untuk Pajak Penghasilan, dan paling
lama 1 (satu) bulan sejak permohonan diterima secara lengkap untuk Pajak
Pertambahan Nilai.

5 PASAL 9 ayat (4c) Undang-Undang PPN

Pengembalian kelebihan Pajak Masukan kepada Pengusaha Kena Pajak sebagaimana


dimaksud pada ayat (4b) huruf a sampai dengan huruf e, yang mempunyai kriteria
sebagai Pengusaha Kena Pajak berisiko rendah, dilakukan dengan pengembalian
pendahuluan kelebihan pajak sesuai ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
17C ayat (1) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan
Tata Cara Perpajakan dan perubahannya.

6. PASAL 17D ayat (1) Undang-Undang KUP

Direktur Jenderal Pajak setelah melakukan penelitian atas permohonan pengembalian


kelebihan pembayaran pajak dari Wajib Pajak yang memenuhi persyaratan tertentu,
menerbitkan Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak paling
lama 3 (tiga) bulan sejak permohonan diterima secara lengkap untuk Pajak
Penghasilan, dan paling lama 1 (satu) bulan sejak permohonan diterima secara lengkap
untuk Pajak Pertambahan Nilai.

7. PASAL 17E Undang-Undang KUP


Orang pribadi yang bukan subjek pajak dalam negeri yang melakukan pembelian
Barang Kena Pajak di dalam daerah pabean yang tidak dikonsumsi di daerah pabean
dapat diberikan pengembalian Pajak Pertambahan Nilai yang telah dibayar, yang
ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.

RESTITUSI PASAL 17
Peraturan Menteri Keuangan nomor 145/PMK.03/2012 tentang Tata Cara Penerbitan
Surat Ketetapan Pajak menyebutkan bahwa Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar
ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak berdasarkan hasil pemeriksaan terhadap:

1. Surat Pemberitahuan terdapat jumlah kredit pajak atau jumlah pajak yang dibayar
lebih besar daripada jumlah pajak yang terutang sebagaimana dimaksud dalam
pasal 17 ayat (1) Undang-Undang KUP; atau
2. permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 17B Undang-Undang KUP terdapat jumlah kredit pajak atau jumlah
pajak yang dibayar lebih besar daripada jumlah pajak yang terutang.

C. . PAJAK YANG SEHARUSNYA TIDAK TERUTANG


Restitusi pajak yang seharusnya tidak terutang diatur secara khusus dengan Peraturan
Menteri Keuangan nomor 10/PMK.03/2013 tentang Tata Cara Pengembalian Atas Kelebihan
Pembayaran Pajak Yang Seharusnya Tidak Terutang. Menurut peraturan ini, Wajib Pajak
dapat mengajukan permohonan pengembalian atas kelebihan pembayaran pajak yang
seharusnya tidak terutang kepada Direktur Jenderal Pajak dalam hal:

terdapat pembayaran pajak oleh Wajib Pajak yang bukan merupakan objek pajak yang
terutang atau yang seharusnya tidak terutang . Pembayaran yang termasuk kelompok
ini dapat berupa: pembayaran pajak oleh Wajib Pajak yang lebih besar dari pajak yang
terutang, pembayaran pajak atas transaksi yang dibatalkan, pembayaran pajak yang
seharusnya tidak dibayar, pembayaran pajak oleh Wajib Pajak terkait dengan permintaan
penghentian penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 44B Undang-Undang KUP yang tidak disetujui.

terdapat kesalahan pemotongan atau pemungutan yang mengakibatkan pajak yang


dipotong atau dipungut lebih besar daripada pajak yang seharusnya dipotong atau dipungut.
Kesalahan yang termasuk kelompok ini dapat berupa: pemotongan atau pemungutan Pajak
Penghasilan yang mengakibatkan Pajak Penghasilan yang dipotong atau dipungut lebih besar
daripada Pajak Penghasilan yang seharusnya dipotong atau dipungut, termasuk yang diatur
dalam P3B; pemotongan atau pemungutan Pajak Penghasilan atas penghasilan yang diterima
oleh bukan subjek pajak; pemungutan Pajak Pertambahan Nilai terhadap bukan Pengusaha
Kena Pajak yang lebih besar daripada pajak yang seharusnya dipungut; atau pemungutan
Pajak Penjualan atas Barang Mewah terhadap Pengusaha Kena Pajak atau bukan Pengusaha
Kena Pajak yang lebih besar daripada pajak yang seharusnya dipungut.

terdapat kesalahan pemotongan atau pemungutan yang bukan merupakan objek


pajak. Kesalahan yang termasuk kelompok ini dapat berupa: pemotongan atau pemungutan
Pajak Penghasilan yang seharusnya tidak dipotong atau tidak dipungut; pemungutan Pajak
Pertambahan Nilai yang seharusnya tidak dipungut; atau pemungutan Pajak Penjualan atas
Barang Mewah yang seharusnya tidak dipungut.
terdapat kelebihan pembayaran pajak oleh Wajib Pajak yang terkait dengan pajak-pajak
dalam rangka impor. Kelebihan pembayaran pajak yang terkait dengan pajak-pajak dalam
rangka impor meliputi Pajak Penghasilan Pasal 22 impor, Pajak Pertambahan Nilai
impor, dan/atau Pajak Penjualan Barang Mewah impor yang telah dibayar dan
menyebabkan terjadinya kelebihan pembayaran pajak. Pembayaran pajak yang terkait
dengan pajak-pajak dalam rangka impor tercantum dalam: SPTNP atau SPKTNP;
SPKPBM, SPTNP, atau SPP yang telah diterbitkan keputusan keberatan; SPKPBM,
SPTNP, atau SPP yang telah diterbitkan keputusan keberatan dan putusan banding;
SPKPBM, SPTNP, atau SPP yang telah diterbitkan keputusan keberatan, putusan
banding, dan putusan peninjauan kembali; SPKTNP yang telah diterbitkan putusan
banding; SPKTNP yang telah diterbitkan putusan banding dan putusan peninjauan
kembali; atau dokumen yang berisi pembatalan impor yang telah disetujui oleh pejabat
yang berwenang,

Permohonan untuk memperoleh pengembalian atas kelebihan pembayaran pajak diajukan


atas suatu bukti pembayaran, bukti pemotongan/pemungutan pajak, faktur pajak atau
dokumen lain yang dipersamakan dengan faktur pajak. Permohonan diajukan secara
tertulis dalam bahasa Indonesia dengan menggunakan format sesuai

contoh:
Terhadap permohonan resitusi karena pajak yang seharusnya tidak terutang ini, kantor
pajak akan melakukan verifikasi. Verifikasi ini adalah prosedur baru di DJP setelah
terbitnya Peraturan Pemerintah nomor 74 Tahun 2011. Menurut
definisinya, verifikasi adalah serangkaian kegiatan pengujian pemenuhan kewajiban
subjektif dan objektif atau penghitungan dan pembayaran pajak, berdasarkan permohonan
Wajib Pajak atau berdasarkan data dan informasi perpajakan yang dimiliki atau diperoleh
Direktur Jenderal Pajak, dalam rangka menerbitkan surat ketetapan pajak,
menerbitkan/menghapus Nomor Pokok Wajib Pajak dan/atau mengukuhkan/mencabut
pengukuhan Pengusaha Kena Pajak.

Dalam hal untuk melakukan verifikasi diperlukan tambahan dokumen pendukung lainnya
yang terkait dengan permohonan pengembalian atas kelebihan pembayaran pajak yang
seharusnya tidak terutang, DJP dapat meminta dokumen tersebut kepada Wajib Pajak.
Biasanya dokumen-dokumen yang perlu adalah bukti pembayaran pajak seperti Surat
Setoran Pajak (SSP). Bisa juga Surat Pemberitahuan Pajak baik SPT Badan jidak terkait
PPh maupun SPT Masa PPN. Jika semuanya sudah sesuai ketentuan yang berlaku,
maka akan diterbitkan SKPLB (surat ketetapan pajak lebih bayar).

Dalam rangka verifikasi, petugas akan memastikan bahwa pajak yang direstitusikan
sudah dibayar di bank persepsi dengan mengecek NTPN. Kemudian mengecek apakah
sudah dikreditkan di SPT. Kalau terkait PPh Pasal 22, apakah sudah dikreditkan di PPh
Badan atau belum. Kalau terkait PPN impor, apakah sudah dikreditkan sebagai pajak
masukan atau belum, atau apakah sudah dibiayakan atau belum.

Sebelum surat ketetapan pajak diterbitkan, maka akan diberikan SPHV (surat
pemberitahuan hasil verifikasi). Setelah itu Wajib Pajak dapat menanggapi SPHV. Jika
tidak setuju dapat memberikan bukti-bukti pendukung yang mungkin belum
diperhitungkan oleh petugas. Dan petugas harus memberikan undangan pembahasan
verifikasi. Jika tanpa undangan ini, maka atas ketetapan pajaknya dapat dibatalkan. Tata
cara verifikasi lebih lengkap dapat dilihat di Peraturan Menteri Keuangan
nomor 146/PMK.03/2012.

D. RESTITUSI DENGAN SKPLB


Restitusi dengan SKPLB yang dimaksud disini adalah restitusi dengan "pintu" Pasal 17B
Undang-Undang KUP. Seperti kutipan diatas, Pasal 17B mengharuskan Direktur Jenderal
Pajak setelah melakukan pemeriksaan atas permohonan pengembalian kelebihan pembayaran
pajak, menerbitkan surat ketetapan pajak paling lama 12 (dua belas) bulan sejak surat
permohonan diterima secara lengkap. Pada prakteknya tentu saja yang melakukan
pemeriksaan adalah pemeriksa pajak atas perintah Direktur Jenderal Pajak. Dan yang
memberikan surat perintah pemeriksaan bukan Direktur Jenderal Pajak langsung tetap
Kepala UP2 yang telah diberikan pendelegasian wewenang.

Surat permohonan yang dimaksud bisa surat terpisah dari SPT yang menyatakan lebih bayar
atau bisa hanya SPT saja. Ada bagian di SPT sebelum tanda tangan yang harus dipilih oleh
Wajib Pajak. Dengan mengisi pilihan tersebut berarti dianggap permohonan.

Dalam hal setelah menyampaikan Surat Pemberitahuan ke kantor pajak dan Wajib Pajak
sudah diberikan LPAD (Lembar Pengawasan Arus Dokumen) maka terhadap Surat
Pemberitahuan tersebut sudah dianggap lengkap. Tetapi jika belum diberikan LPAD maka
kantor pajak akan meminta kelengkapan yang diperlukan. Tetapi sebenarnya, walaupun
sudah diberikan LPAD, bisa saja kantor pajak menganggap masih belum lengkap sehingga
meminta kelengkapan lain yang belum atau terlupakan saat penyampaian SPT. Atau bisa
juga kantor pajak justru menyatakan bahwa Surat Pemberitahuannya dianggap bukan Surat
Pemberitahuan. Kewenangan ini diatur di Pasal 3 ayat (7) Undang-Undang KUP. Bagian
penjelasan ayat ini mengatakan, "Surat Pemberitahuan yang ditandatangani beserta
lampirannya adalah satu kesatuan yang merupakan unsur keabsahan Surat Pemberitahuan.
Oleh karena itu, Surat Pemberitahuan dari Wajib Pajak yang disampaikan, tetapi tidak
dilengkapi dengan lampiran yang dipersyaratkan, tidak dianggap sebagai Surat
Pemberitahuan dalam administrasi Direktorat Jenderal Pajak. Dalam hal demikian, Surat
Pemberitahuan tersebutdianggap sebagai data perpajakan."

Dalam hal kantor pajak menganggap tidak disampaikan, maka kantor pajak wajib
memberitahukan kepada Wajib Pajak. Nah, jika Wajib Pajak menerima surat pemberitahuan
seperti ini, Wajib Pajak wajib hukumnya menanyakan dan melengkapi kekurangannya. Jika
tidak, maka SPT yang menyatakan lebih bayar tersebut dianggp bukan SPT dan dianggap
bukan permohonan restitusi.
Penjelasan lebih renci terkait pemeriksaan dapat dilihat di laman sebelah. Silakan. Tetapi
secara singkat, tahapan restitusi dengan pemeriksaan didahului dengan penyampaian Surat
Pemberitahuan Pemeriksaan Lapangan atau Surat Panggilan Dalam Rangka Pemeriksaan
Kantor. Setelah itu, ada prosedur peminjaman dokumen, SPHP, Pembahasan, dan
penerbitkan surat ketetapan pajak.

E. RESTITUSI DENGAN KRITERIA TERTENTU

Restitusi dengan kriteria tertentu yang dimaksud disini adalah restitusi untuk Wajib Pajak
Patuh. Peraturan Menteri Keuangan nomor 74/PMK.03/2012 telah menentukan kriteria-
kriteria agar Wajib Pajak bisa ditetapkan sebagai Wajib Pajak Patuh. Kriteria kepatuhan
disini lebih kepada kepatuhan formal yang dilakukan oleh Wajib Pajak. Berikut kriteria
Wajib Pajak Patuh:

[a.] tepat waktu dalam menyampaikan Surat Pemberitahuan;

[a.1.] penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan selama 3 (tiga) Tahun Pajak terakhir
yang wajib disampaikan sampai dengan akhir tahun sebelum tahun penetapan Wajib
Pajak Dengan Kriteria Tertentu dilakukan tepat waktu;

[a.2.] penyampaian Surat Pemberitahuan Masa yang terlambat dalam tahun terakhir
sebelum tahun penetapan Wajib Pajak Dengan Kriteria Tertentu untuk Masa Pajak Januari
sampai November tidak lebih dari 3 (tiga) Masa Pajak untuk setiap jenis pajak dan tidak
berturut-turut;

[a.3.] Surat Pemberitahuan Masa yang terlambat telah disampaikan tidak lewat dari batas
waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Masa Masa Pajak berikutnya; dan

[a.4.] seluruh Surat Pemberitahuan Masa dalam tahun terakhir sebelum tahun penetapan
Wajib Pajak Dengan Kriteria Tertentu untuk Masa Pajak Januari sampai November telah
disampaikan.

[b.] tidak mempunyai tunggakan pajak untuk semua jenis pajak, kecuali tunggakan pajak
yang telah memperoleh izin mengangsur atau menunda pembayaran pajak, yaitu keadaan
Wajib Pajak pada tanggal 31 Desember tahun sebelum penetapan sebagai Wajib Pajak
Dengan Kriteria Tertentu.

[c.] Laporan Keuangan diaudit oleh Akuntan Publik atau lembaga pengawasan keuangan
pemerintah dengan pendapat Wajar Tanpa Pengecualian selama 3 (tiga) tahun berturut-
turut, yaitu laporan keuangan yang dilampirkan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak
Penghasilan yang wajib disampaikan selama 3 (tiga) tahun berturut-turut sampai dengan
akhir tahun sebelum tahun penetapan Wajib Pajak Dengan Kriteria Tertentu.

[d.] tidak pernah dipidana karena melakukan tindak pidana di bidang perpajakan
berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dalam
jangka waktu 5 (lima) tahun terakhir.

Menurut bagian penjelasan Pasal 27 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2011
bahwa tujuan pemberian pengembalian ini untuk mendorong Wajib Pajak patuh
melaksanakan kewajiban perpajakan. Inilah bunyi lengkapnya, "Pemberian pengembalian
pendahuluan kelebihan pembayaran pajak merupakan bentuk kemudahan yang diberikan
kepada Wajib Pajak untuk mendorong agar Wajib Pajak menjadi patuh dalam
melaksanakan hak dan memenuhi kewajiban perpajakannya. Setelah Wajib Pajak
ditetapkan sebagai Wajib Pajak dengan kriteria tertentu yang sering dikenal sebagai
"Wajib Pajak Patuh" maka diharapkan Wajib Pajak tersebut selalu patuh dalam
melaksanakan hak dan memenuhi kewajiban perpajakannya."

Wajib Pajak dapat mengajukan diri untuk mendapatkan "status" Wajib Pajak Patuh. Batas
waktu pengajuan permohonan untuk menjadi Wajib Pajak Patuh paling lambat tanggal 10
Januari pada tahun penetapan Wajib Pajak Dengan Kriteria Tertentu. Paling lambat tanggal
20 Februari Direktorat Jenderal Pajak akan menerbitkan Keputusan mengenai penetapan
Wajib Pajak Dengan Kriteria Tertentu.

Peraturan Menteri Keuangan nomor 74/PMK.03/2012 mengatur Wajib Pajak Patuh dilihat dari
kepatuhan penyampaian SPT PPh. Sedangkan untuk kepatuhan penyampaian SPT Masa PPN
diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan nomor 71/PMK.03/2010 tentang Pengusaha Kena
Pajak Beresiko Rendah Yang Diberikan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak. Dasar
hukum Pengusaha Kena Pajak Beresiko Rendah adalah Pasal 9 ayat (4c) Undang-Undang PPN.

Penetapan sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP) beresiko rendah diberikan untuk PKP yang
tidak pernah dilakukan pemeriksaan bukti permulaan dan/atau penyidikan dalam jangka waktu
24 (dua puluh empat) bulan terakhir dan:
[a.] Perusahaan Terbuka yang paling sedikit 40% (empat puluh persen) dari keseluruhan saham
disetornya diperdagangkan di bursa efek di Indonesia;
[b.] perusahaan yang saham mayoritasnya dimiliki secara langsung oleh Pemerintah Pusat
dan/atau Pemerintah Daerah; atau
[c.] produsen selain Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada huruf a dan huruf b,
yang memenuhi persyaratan tertentu.

PKP persyaratan tertentu untuk mendapatkan PKP beresiko rendah, yaitu:

1. tepat waktu dalam penyampaian Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai
selama 12 (dua belas) bulan terakhir,
2. nilai Barang Kena Pajak yang dijual pada tahun sebelumnya paling sedikit 75% (tujuh
puluh lima persen) adalah produksi sendiri;
3. Laporan Keuangan untuk 2 (dua) tahun pajak sebelumnya diaudit oleh Akuntan Publik
dengan pendapat Wajar Tanpa Pengecualian atau Wajar Dengan Pengecualian.
Wajib Pajak yang telah ditetapkan sebagai Pengusaha Kena Pajak Beresiko Rendah dan
Wajib Pajak Patuh dapat meminta pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran pajak.
Restitusi pajak dilakukan dengan penelitian, bukan pemeriksaan. Dan setelah dilakukan
penelitian,kantor pajak akan menerbitkan Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan
Kelebihan Pajak (SKPPKP). Menurut Pasal 17C ayat (1) Undang-Undang KUP, bahwa SKPPKP
diterbitkan paling lama 3 (tiga) bulan sejak permohonan diterima secara lengkap untuk Pajak
Penghasilan, dan paling lama 1 (satu) bulan sejak permohonan diterima secara lengkap untuk
Pajak Pertambahan Nilai

F. RESTITUSI DENGAN PERSYARATAN TERTENTU


Berdasarkan Pasal 17D ayat (1) Undang-Undang KUP bahwa Direktur Jenderal Pajak
berwenang menerbitkan SKPPKP setelah dilakukan penelitian. Pemberian SKPPKP yang
berdasarkan Pasal 17D adalah untuk Wajib Pajak yang memenuhi persyaratan tertentu. Apa
sebenarnya maksud persayaratan tertentu? Apa bedanya dengan kriteria tertentu?

Pada dasarnya kriteria tertentu sebagaimana dimaksud Pasal 17C adalah Wajib Pajak Patuh. Ya,
kriteria disini menunjukkan Wajib Pajak tersebut telah membuktikan secara konsisten,
setidaknya pada periode tertentu, memenuhi kepatuhan formal. Dilihat dari sisi manajemen
risiko, Pasal 17C dianggap memiliki risiko rendah.

Sebenarnya Pasal 17D juga memiliki anggapan yang sama, yaitu DJP memandang Wajib Pajak
yang memenuhi persyaratan tertentu ini memiliki risiko rendah. Hanya saja, perbedaannya antara
17C dengan 17D adalah dari sisi nominal restitusi. Pasal 17D dimaksudkan untuk restitusi
"recehan". Karena itu, Peraturan Menteri Keuangan nomor 178/PMK.03/2013 mengatur
persyaratan tertentu seperti ini:

1. Wajib Pajak orang pribadi yang tidak menjalankan usaha atau pekerjaan bebas yang
menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan lebih bayar restitusi;
2. Wajib Pajak orang pribadi yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas yang
menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan lebih bayar restitusi
dengan jumlah lebih bayar paling banyak Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah);
3. Wajib Pajak badan yang menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak
Penghasilan lebih bayar restitusi dengan jumlah lebih bayar paling banyak Rp
100.000.000,00 (seratus juta rupiah); atau
4. Pengusaha Kena Pajak yang menyampaikan Surat Pemberitahuan Masa Pajak
Pertambahan Nilai lebih bayar restitusi dengan jumlah lebih bayar paling banyak Rp
100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
Paradigma yang dibangun Peraturan Menteri Keuangan ini adalah mempermudah dan
pelayanan. Prosedur pelaksanaannya dipermudah dengan melalui penelitian saja!
Pelayanan dimaksud dengan mempercepat proses restitusi. Walaupun demikian,
pimpinan DJP tetap memberikan satu saringan agar tidak semua "recehan" tersebut
diperlakukan sebagai yang memiliki risiko rendah. Apa itu? Restitusi untuk Wajib Pajak
"recehan" ini tetap harus didasarkan pada analisis risiko yang pedomannya ditetapkan
oleh Direktur Jenderal Pajak. Analisis risiko yang ditetapkan Dirjen Pajak telah
dituangkan dalam Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak nomor SE-12/PJ/2014.
DAFTAR PUSTAKA
http://pajaktaxes.blogspot.co.id/p/resitusi.html
http://www.nusahati.com/2014/11/sekilas-tentang-penetapan-ketetapan-pajak/
http://www.pajak.go.id/content/seri-kup-penetapan-dan-ketetapan-pajak

Anda mungkin juga menyukai