Anda di halaman 1dari 41

1

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Adhesi intraperitoneum merupakan suatu kondisi patologis dimana terjadi
perlengketan antara omentum, usus dan dinding abdomen. Perlengketan tersebut
dapat berupa jaringan ikat tipis, jaringan fibrosis yang berisi pembuluh darah dan
jaringan saraf, atau kontak langsung antara dua permukaan organ.(1) Meskipun
adhesi dapat terjadi secara alami akibat inflamasi, sebagian besar adhesi
disebabkan oleh intervensi bedah, terutama pembedahan pada perut. (2)
Berdasarkan epidemiologi kejadian adhesi intraperitoneal kebanyakan
diinduksi oleh prosedur pembedahan dalam cavum peritoneum, dengan prevalensi
sebesar 63%-97% setelah prosedur operasi abdomen mayor dan mencapai 97%
pada operasi ginekologi. Adhesi antara luka dan omentum terjadi pada 80%
pasien dan sekitar 50% melibatkan usus. Adhesi yang menyebabkan terjadinya
obstruksi usus mekanik terutama pada usus halus sebesar 65-75%, infertilitas 15-
20% dan nyeri kronik daerah pelvis 20-50%.(3) Secara umum sepertiga pasien
yang menjalani operasi pembedahan berupa laparotomi atau operasi pada pelvik
akan memiliki faktor resiko yang lebih besar untuk menderita adhesi
intraperitoneal, rata-rata pasien akan kembali 2 kali dalam 10 tahun berikutnya
terkait dengan adhesi.(4)
Terjadinya adhesi intraperitoneum dapat menyebabkan komplikasi yang
dapat memperburuk atau menambah penyakit pasien. Obstruksi usus kecil/small
bowel obstruction (SBO) adalah komplikasi paling umum dari adhesi
intraperitoneum pasca laparotomi.(2) Adhesi akibat operasi menyebabkan
peningkatan lama rawat inap, durasi waktu operasi dan biaya akibat gangguan
obstruksi usus. Di Amerika Utara tahun 2011 terdapat 300.000 rumah sakit yang
merawat 850.000 pasien dengan adhesion small bowel obstruction (ASBO)
pertahun dengan biaya medis lebih dari USD 1.3 milyar, serta berkontribusi
terhadap 2000 kematian setiap tahunnya.(2) Berdasarkan laporan dari
Nieuwenhuijzen dkk menunjukkan bahwa risiko ASBO setelah appendektomi
adalah 1-10%, setelah kolesistektomi terbuka 6,4%, setelah operasi usus10-25%
dan setelah restorative proctocolectomy (IPAA)17-25%. Selain itu, juga

1
dilaporkan kejadian inflamasi akibat peritonitis dan penyakit Crohn adalah
komorbid yang meningkatkan komplikasi terkait adhesi.
Sebelum penutupan peritoneum pada akhir laparotomi, irigasi cuci kavum
abdomen biasa dilakukan dengan menggunakan normal salin (NaCl 0,9%) yang
bertujuan untuk membersihkan sisa-sisa darah dan jaringan guna menghindari
timbulnya adhesi setelah operasi.(5)(6)(7) Namun meskipun dipakai untuk
membersihkan jaringan, nyatanya beberapa penelitian menjelaskan bahwa normal
salin (NaCl 0,9%) akan menurunkan kapasitas fibrinolisis dan menyebabkan
terjadinya disfungsi sel mesothelial sehingga pembentukan adhesi intraperitoneum
masih dapat terjadi. Efek penggunaan nomal salin dijelaskan melalui bukti klinis
yang jelas sebagai bioincompatibility normal salin (NaCl 0,9%), dimana dalam
penelitian eksperimental tersebut membuktikan bahwa larutan normal salin (NaCl
0,9%) masih dapat memungkinkan terbentuknya fibrosis intraperitoneum.(6) Hasil
penelitian yang dilakukan oleh Park dkk. menunjukan 4,6% tingkat komplikasi
serius setelah operasi kolorektal. Namun, semua derajat keparahan pembentukan
adhesi akan tampak pada kisaran 90%. Hal ini menyebabkan banyak yang
mencoba mengembangkan teknik dan bahan untuk mencegah atau mengurangi
terjadinya perlengketan. Salah satu pendekatan utama adalah penggunaan (Bio)
material sebagai penghalang untuk pembentukan adhesi antara membran serosa
dan organ.(1)
Saat ini, banyak para ahli bedah yang memakai bahan anti adhesi, baik
dicampurkan dengan normal saline (NaCl 0,9%) maupun berdiri sendiri. Agen
anti perlengketan, memiliki dua mekanisme kerja, yaitu memodifikasi proses yang
bersinggungan dengan pembentukan adhesi (berupa agen farmakologi, seperti
GnRH atau fibrinolitik), dan membentuk suatu barrier/penghalang yang bersifat
inert sehingga penyembuhan luka dapat berjalan dengan normal dan baik. Agen
barrier, terdiri dari beberapa jenis atau bentuk sediaan, ada yang berbentuk padat
(lembaran), seperti Seprafilm dan membran anti air, kemudian berbentuk cair
(liquid dan gel) seperti asam hyaluronat, NaCl 0,9%, hydrogel dan N.O-
carboxymethyl chitosan. Agen barrier yang ideal harus dapat berfungsi sebagai
penghalang di area luka minimal 6-7 hari, mudah digunakan, dan dapat digunakan
(8)
untuk operasi laparotomi maupun laparoskopi. NaCl 0,9% dapat mengurangi

2
adhesi intraperitoneum dengan cara menyingkirkan sisa darah, sisa potongan
jaringan dan cairan laninya untuk mengindari komplikasi berupa adhesi pasca
operasi.(5)(6)(7) NaCl dapat mengurangi kapasitas fibrinolitik yang akan
menurunkan angka kejadian adhesi intraperitoneum pasca tindakan laparotomi.(5)
Asam hyaluronat kitosan gel merupakan salah satu agen adhesion barrier,
yang berisi campuran asam hyaluronat dan kitosan. Asam hyaluronat adalah
polisakarida alami yang menyusun jaringan ikat. Fungsi utama molekul ini adalah
untuk menstabilkan struktur interseluler dan membentuk matriks fluida untuk
tempat pengikatan kolagen dan serat elastik. Kitosan merupakan suatu
polisakarida yang berasal dari hewan crustacea seperti udang ataupun kepiting.
Kitosan memiliki khasiat anti-adhesi mengurangi pembentukan parut dengan
menghambat proliferasi fibroblast.(9)
Asam hyaluronat memiliki bentuk hidrogel yang dipakai sebagai
pencegahan adhesi karena dapat menutupi daerah luka dengan mengubah bentuk
gel menjadi barrier fisik dan mencegah kontak langsung dengan jaringan sekitar
dalam jangka waktu tertentu. Asam hyaluronat sering dipakai sebagai pencegahan
adhesi karena memiliki sifat non-toxic dan dapat meningkatkan proliferasi sel
mesotelial di peritoneal. Penggunaan chitosan dalam hal ini berfungsi
mempercepat penyembuhan luka dan merangsang migrasi dan proliferasi sel. (9)
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Retno Witantri dkk. membuktikan
penggunaan asam hyaluronat kitosan dengan perbandingan 30:20 mg/ml dan
30:30 mg/ml sangat efektif sebagai hidrogel untuk pencegahan adhesi.(9) Lebih
lanjut Yolanda membuktikan efek asam hyaluronat kitosan efektif sebagai
(10)
kandidat material yang dapat mencegah terjadinya adhesi pasca laparotomi,
namun sampai saat ini penelitian penggunaan asam hyaluronat kitosan setelah
irigasi dengan normal salin(NaCl 0,9%) pasca laparotomi terutama dalam
mencegah adhesi intraperitoneal secara in vivo belum pernah dilaporkan.
Berdasarkan latar belakang diatas maka peneliti tertarik untuk melakukan
suatu penelitian yang mengkaji tentang pengaruh penggunaan asam hyaluronat
kitosan setelah irigasi dengan larutan normal salin (NaCl 0,9%) untuk
pencegahan adhesi intraperitoneal pasca laparotomi melalui penilaian secara

3
makroskopik (derajat adhesi) dan mikroskopik (fibrin, kolagen dan sel inflamasi)
menggunakan hewan model tikus putih (Rattus norvegicus).

1.2 Rumusan Masalah


1. Apakah ada pengaruh penggunaan asam hyaluronat kitosan setelah irigasi
normal salin (NaCl 0,9%) terhadap penurunan derajat adhesi intraperitoneum
secara makroskopik pasca laparotomi tikus putih (Rattus norvegicus) ?
2. Apakah ada pengaruh penggunaan asam hyaluronat kitosan setelah irigasi
normal salin (NaCl 0,9%) terhadap gambaran histologis jumlah sel fibrin
pada adhesi intraperitoneum pasca laparotomi tikus putih (Rattus
norvegicus) ?
3. Apakah ada pengaruh penggunaan asam hyaluronat kitosan setelah irigasi
normal salin (NaCl 0,9%) terhadap gambaran susunan kolagen pada adhesi
intraperitoneum pasca laparotomi tikus putih (Rattus norvegicus) ?
4. Apakah ada pengaruh penggunaan asam hyaluronat kitosan setelah irigasi
normal salin (NaCl 0,9%) terhadap gambaran sel inflamasi pada adhesi
intraperitoneum pasca laparotomi tikus putih (Rattus norvegicus) ?

1.3 Tujuan Penelitian


1.3.1 Tujuan Umum
Mengetahui pengaruh penggunaan asam hyaluronat kitosan setelah irigasi
normal salin (NaCl 0,9%) terhadap pencegahan adhesi intraperitoneum pasca
laparotomi tikus putih (Rattus norvegicus).

1.3.2 Tujuan Khusus


1. Mengetahui pengaruh penggunaan asam hyaluronat kitosan setelah irigasi
normal salin (NaCl 0,9%) terhadap adhesi intraperitoneum secara
makroskopik pasca laparotomi tikus putih (Rattus norvegicus).
2. Mengetahui pengaruh penggunaan asam hyaluronat kitosan setelah irigasi
normal salin (NaCl 0,9%) terhadap gambaran histologis jumlah sel fibrin
pada adhesi intraperitoneum pasca laparotomi tikus putih (Rattus
norvegicus)

4
3. Mengetahui pengaruh penggunaan asam hyaluronat kitosan setelah irigasi
normal salin (NaCl 0,9%) terhadap gambaran susunan kolagen pada adhesi
intraperitoneum pasca laparotomi tikus putih (Rattus norvegicus)
4. Mengetahui pengaruh penggunaan asam hyaluronat kitosan setelah irigasi
normal salin (NaCl 0,9%) terhadap gambaran sel inflamasi pada adhesi
intraperitoneum pasca laparotomi tikus putih (Rattus norvegicus)

1.4 Manfaat Penelitian


1.4.1 Manfaat ilmiah
1. Sebagai sumber informasi ilmiah khususnya dalam bidang bedah digestif.
2. Sebagai sumber ilmiah mengenai mekanisme pencegahan terjadinya
adhesi intraperitoneum pasca bedah laparotomi menggunakan larutan
normal salin dan asam hyaluronat kitosan.

1.4.2 Manfaat praktis


1. Sebagai sumber ilmiah tambahan dalam pencegahan terjadinya adhesi
intraperitoneum pasca bedah laparotomi.
2. Sebagai bahan pertimbangan bagi dokter ahli bedah dalam tatalaksana
pencegahan adhesi intraperitoneum pasca bedah laparotomi.

5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Adhesi Intraperitoneum


Adhesi peritoneal adalah perlengketan abnormal antara jaringan dan organ,
biasanya antara omentum, lengkung usus, dan dinding abdomen. Perlengketan ini
bisa berupa lapisan tipis dari jaringan ikat, atau suatu jaringan fibrosa yang tebal
berisi pembuluh darah dan jaringan saraf, maupun kontak langsung antara dua
permukaan.(4) Meskipun adhesi dapat terjadi secara alami akibat inflamasi,
sebagian besar adhesi disebabkan oleh intervensi bedah, terutama pembedahan
perut. (1)
Obstruksi usus kecil/ small bowel obstruction (SBO) adalah komplikasi
paling umum dari adhesi peritoneum. Laporan di Inggris menyebutkan bahwa
obstruksi usus halus menyumbang 0,9% dari semua pasien, 3,3% dari laparotomi
dan 28,8% dari kasus obstruksi usus besar dan kecil dalam 24 tahun terakhir.(2)
Laporan studi oleh Barmparas dkk juga telah mempelajari kejadian dan faktor
risiko adhesi sehingga memicu obstruksi usus pasca laparotomi.(11) Secara
keseluruhan 4,6% adhesi dipengaruhi oleh jenis prosedur operasi, anastomosis
ileum dikaitkan dengan kejadian SBO tertinggi.(2) Berbagai penelitian juga telah
menjelaskan bahwa adhesi dan obstruksi usus adalah masalah kesehatan yang
signifikan baik di negara maju maupun berkembang. Namun, faktor risiko seperti
jenis prosedur pembedahan, lokasi adhesi, serta waktu dan tingkat kekambuhan
adhesi obstruksi tetap tidak dapat diprediksi.(4)

2.1.1 Klasifikasi Adhesi


Berdasarkan etiologinya, adhesi peritoneal dibagi menjadi adhesi kongenital
dan adhesi yang di dapat.(4)(12)(13) Adhesi kongenital ada sejak lahir karena
abnormalitas pembentukan peritoneum secara embriologis, biasanya jarang
mengakibatkan terjadinya obstruksi intestinal, kecuali pada kasus malrotasi. Adhesi
dapatan terjadi sebagai akibat respon terhadap trauma peritoneum, dibedakan menjadi
adhesi pasca inflamasi dan adhesi pasca pembedahan (paling sering terjadi),(4)(12)(13)
yang disebabkan oleh iskemia, paparan infeksi atau isi usus, gesekan, pengeringan,
panas, cahaya, kauter elektrik, penjahitan, dan bubuk dari sarung tangan.(12)(13)

6
Dalam adhesi pasca bedah, ada tiga proses yang membedakannya: adhesion
formation (terjadi adhesi di tempat operasi); de novo adhesion formation (terjadi
adhesi bukan di tempat operasi); dan adhesion reformation (terjadi adhesi setelah
adhesi yang terbentuk sebelumnya mengalami lisis).(4)
Diamond MP et al membedakan pembentukan adhesi pasca bedah menjadi
tipe 1 dan tipe 2, terdiri dari :(14)
1. Tipe 1 atau pembentukan adhesi de novo jika terjadi adhesi di tempat yang
sebelumnya tidak mengalami. Dibedakan menjadi:
- Tipe 1A : tidak ada prosedur operasi sebelumnya di tempat adhesi
- Tipe 1B : sebelumnya ada prosedur operasi di tempat adhesi.
2. Tipe 2 terkait dengan terjadinya reformasi adhesi, yang dibedakan menjadi
2 subtipe:
- Tipe 2A : tidak ada prosedur operasi sebelumnya di tempat adhesi
selain adhesioloisis
- Tipe 2B : ada prosedur operasi di tempat adhesi selain adhesiolisis.
Tergantung dari lokasi dan strukturnya, adhesi bisa tidak memberikan gejala
sama sekali, atau menyebabkan komplikasi patologis serius seperti nyeri kronis di
abdomen maupun pelvis dan infertilitas pada wanita.(14)

Gambar 2.1.Contoh adhesi peritoneal

7
2.1.2 Etiologi dan Patogenesis Adhesi Intraperitoneum Pasca Bedah Abdomen
Sampai saat ini patofisiologi pasti adhesi peritoneum masih sulit dijelaskan.
Meskipun banyak penelitian klinis dan eksperimental yang menjelaskan
patofisiologi adhesi peritoneum adalah proses regenerasi peritoneum menjadi
normal, adanya pembentukan adhesi peritoneum postoperatif dapat dianggap
sebagai bagian dari kondisi patologis penyembuhan setelah cedera peritoneum,
terutama karena operasi abdomen.(15) Terjadinya adhesi pasca operasi
berhubungan erat dengan beberapa faktor predisposisi. Faktor predisposisi
pertama adalah jenis organ yang dioperasi, setelah operasi rahim dan usus kecil,
kejadian pembentukan adhesi sekitar 60-100%, sedangkan setelah operasi pada
ovarium tuba falopi dan kolon, pembentukan adhesi masing-masing sekitar 25%
dan 15%. Penjelasan untuk perbedaan ini dikaitkan dengan jumlah integrin yang
berbeda yang ada pada jaringan serosa organ intraperitoneum dan peritoneum.
Integrin adalah molekul Ca2+ dependen yang memfasilitasi adhesi secara esensial,
namun tidak secara eksklusif memicu matriks ekstraselular.(4)(16)
Kapanpun ada komplikasi pembedahan (dehiscence, abses), kemungkinan
terjadinya pembentukan adhesi akan sangat tinggi. Jika terjadi peritonitis, reaksi
fibrin yang dihasilkan akan menimbulkan risiko pembentukan adhesi yang sangat
tinggi.(4)(5) Penggunaan selang drainase pasca operasi yang merupakan benda
asing dapat memicu respons inflamasi, oleh karena itu penggunaannya harus
dibatasi pada saat dibutuhkan. Sebisa mungkin, penggunaan saluran drainase
hanya untuk waktu yang singkat (tidak lebih dari 48 jam) dan harus fleksibel dan
berbahan silikon. Hal ini mungkin menjadi penyebab paling sering pembentukan
adhesi.(1)(18)

8
Gambar 2.2 Proses Adhesi Pasca Bedah.

Cedera peritoneum saat operasi, infeksi atau iritasi, memulai inflamasi


dengan menghasilkan eksudat fibrinous dan pembentukan fibrin. Fibrin terbentuk
dari aktivasi kaskade koagulasi yang diaktifkan di rongga peritoneum dan
menghasilkan pembentukan trombin sehingga memicu konversi fibrinogen
menjadi fibrin. Namun, karena aktivasi sistem fibrinolitik maka endapan fibrin
intra-abdomen menjadi lisis. Setelah operasi abdomen, keseimbangan antara
koagulasi dan fibrinolisis dapat terganggu, yang akhirnya mendukung sistem
koagulasi. Dengan demikian, fibrin membentuk endapan berupa matriks untuk
pertumbuhan jaringan fibrokolagen.(1)(4) Aktifitas matriks ekstraselular yang
diproduksi dan diendapkan dari fibrokolagen ini masih dapat sepenuhnya
terdegradasi oleh matriks metalloprotease proenzim (MMP), yang menyebabkan
penyembuhan normal. Namun, jika proses ini dihambat oleh inhibitor jaringan
MMPs, adhesi peritoneum dapat terbentuk. Umumnya, jika fibrinolisis tidak
terjadi dalam 5-7 hari pada cedera peritoneum, matriks fibrin sementara akan
menetap dan secara bertahap menjadi teratur dengan fibroblas yang
mensekresikan kolagen. Proses ini menyebabkan pembentukan adhesi peritoneum
dan pertumbuhan pembuluh darah baru yang dimediasi oleh faktor
angiogenik.(1)(4)(18)

9
Normalnya, penyembuhan peritoneum dimulai dengan permukaan
peritoneum yang disusun dari sel mesothelial yang tergantung pada jaringan
penunjang (helaian putih). Mikrosirkulasi yang kaya ditunjukkan oleh warna
merah. Bercak berserakan dalam jaringan penghubung adalah sel punca
mesothelial (hijau), yang mungkin merupakan progenitor dari sel mesothelial
matang. Setelah terjadi cedera pada peritoneum, terjadi deskuamasi pada sel
mesothelial yang terluka, meninggalkan area yang gundul. Batas dari tempat yang
rusak ini mengandung sel-sel yang hampir mati. Proses re-epitelisasi ini dipicu
oleh messenger kemotaktik yang muncul dari proses koagulasi.(4)Penyembuhan
peritoneum terjadi secara primer dengan cara reepitelisasi pada sisi yang rusak.
Sel-sel mesothelial baru tertarik menuju sisi luka oleh messeger kemotaktik yang
dilepaskan oleh platelet, bekuan darah, atau lekosit dalam jaringan yang terluka.
Hal ini berbeda dengan penyembuhan kulit. Di bawah pengaruh aktifitas
fibrinolitik yang normal, proliferasi sel-sel mesotelial menghasilkan epitelisasi di
sisi yang terluka. Permukaan peritoneum yang terluka mengalami re-epitelisasi
dalam 5-7 hari. Di bawah permukaan kulit, proses remodeling dari kolagen dan
jaringan peghubung masih tetap berlangsung dalam beberapa bulan.(4)(19)

Gambar 2.3 Proses penyembuhan peritoneum

10
Sebagai respon dari cedera, sel-sel pada peritoneum seperti makrofag dan
sel mesothel mengeluarkan mediator seluler. Sel-sel yang pertama kali muncul
pada peritoneum yang cedera terutama neutrofil polimorfo nuklear yang bertahan
1-2 hari. Kemudian diikuti dengan masuknya monosit yang nantinya akan
berdiferensiasi menjadi makrofag dan menempel pada permukaan luka. Pada hari
ke 3, sel mesothelial akan mulai menutupi makrofag peritoneal pada permukaan
luka, sehingga makrofag-makrofag ini akan semakin tertanam dalam luka.(1)(4)(18)
Pada hari ke 4 sampai ke 7, sel yang predominan pada permukaan
peritoneum adalah sel mesothel. Sedangkan pada cairan peritoneal, sejak hari ke
5, sel yang terbanyak adalah makrofag. Sel-sel mesothel ini kemudian akan
berproliferasi sepanjang dasar luka dan membentuk pulau-pulau sel.
Penggabungan sel-sel ini memungkinkan luka yang lebih lebar untuk sembuh
dengan waktu yang sama dengan luka yang lebih kecil.(4)(18)
Segera setelah peritoneum mengalami cedera, pada lapisan sel mesothel
akan mengakibatkan perdarahan dan peningkatan permeabilitas vaskuler disertai
keluarnya cairan dari permukaan luka, dan secara simultan terjadi pelepasan
berbagai sitokin dan mediator awal inflamasi oleh sel-sel mesothelium peritoneum
maupun endotel pembuluh darah yang terluka. Sitokin yang diproduksi adalah
sitokin-sitokin pro dan antiinflamasi, antara lain: IL-1, IL-6, IL-10, TNF-α, dan
IFN-γ. Akibat produksi sitokin-sitokin tersebut, maka selanjutnya akan
menstimulasi proses aktivitas sistem kaskade koagulasi darah dan menekan
aktivitas PA.(19)(20)
Bersamaan dengan produksi mediator-mediator tersebut, dirangsang pula
aktivasi sistem kinin, komplemen, jalur asam arakhidonat (termasuk
prostaglandin), pembentukan thrombin, dan konversi fibrinogen menjadi fibrin.
Sitokin-sitokin proinflamasi akan menurunkan ekspresi plasminogen aktivator
peritoneal dan sebaliknya meningkatkan ekspresi inihibitornya yaitu PAI-1, PAI-
2, PAI-3, Protease, Nexin. Hasil dari aktivitas ini melalui sistem kaskade
koagulasi akan menghasilkan fibrin pada rongga peritoneal. Adanya fibrin
tersebut akan merangsang pembentukan adhesi melalui peningkatan aktivitas
fibroblast yang distimulasi oleh growth factor yaitu PDGF (Platelet Derived
Growth Factor) dan TGF-β. Fibroblast dan juga sel-sel mesothel akan

11
mendeposisi serabut kolagen sehingga terbentuk fibrinous adhesion. Oleh karena
itu proses ini merupakan fase awal dari proses bioseluler penyembuhan pada
peritoneum.(1)(4)(18)
Proses histiogenesis adalah hasil dari tahapan atau fase-fase penyembuhan
peritoneum setelah integrasi jaringan peritoneum dapat dipulihkan. Pada
penyembuhan peritoneum terdapat hal khusus yang membedakannya dengan
proses penyembuhan pada kulit, yaitu apabila proses inflamasi dan trauma.
Pengaturan keseimbangan pada kedua proses tersebut dilakukan oleh peranan
sitokin. Setelah sitokin-sitokin proinflamasi bekerja dan etiologi penyebab
inflamasi dapat diatasi, maka sitokin-sitokin tersebut akan menurun
konsentrasinya di dalam peritoneum, karena tidak diproduksi kembali oleh sel-sel
yang terlibat dalam inflamasi. Selanjutnya yang berperanan adalah sitokin-sitokin
yang memiliki fungsi sebagai anti inflamasi.(20)(21)

Gambar 2.4 Histiogenesis adhesi dalam tahapan penyembuhan peritoneum.(21)

Sitokin-sitokin tersebut adalah IL-4 dan IL-10. Akibat peningkatan


konsentrasi dan aktivitas sitokin-sitokin tersebut, maka aktivitas plasminogen
aktivator akan meningkat, sedangkan plasminogen aktivator inhibitor akan

12
dihambat aktivitasnya. Hasil akhir proses tersebut adalah proses fibrinolisis,
sehingga fibrinous adhesion diuraikan kembali dan tidak terbentuk adhesi
permanen. Faktor–faktor yang mengakibatkan pengurangan aktivitas fibrinolitik
termasuk diantaranya iskemia jaringan, devaskularisasi, nekrosis, graft atau
penjahitan pada defek peritoneum. Darah di intraperitoneum serta pengeringan
serosa juga akan berpengaruh.(4)(7)
Iskemia jaringan adalah penentu dalam pembentukan adhesi
intraperitoneum. Respon jaringan terhadap cedera menentukan berat atau
ringannya adhesi yang terbentuk. Aktivitas aktivator plasminogen sebagai respon
terhadap cedera menentukan apakah fibrinous adhesion dapat diresorbsi atau
persisten. Adanya gangguan pada aktivitas fibrinolisis ini telah diketahui sebagai
penyebab terjadinya adhesi intraperitoneal dimana peranan Plasminogen Activator
Activity (PAA) dalam proses lisisnya adhesi yang efeknya secara berlawanan
dapat dihambat oleh Plasminogen Activator Inhibitor (PAI). Pengaruh sitokin
proinflamasi pada penekanan aktivitas PA yang dipengaruhi oleh meningkatnya
aktivitas PAI juga dibuktikan oleh hasil pemeriksaan aktivitas keduanya pada
cairan peritoneum para penderita setelah operasi laparotomi.(1)(4)(19)
Selama perbaikan normal, fibrin akan terdegradasi oleh protein plasma
fibrinolitik, yang berasal dari plasminogen tidak aktif melalui aksi dua aktivator
plasminogen (PA): aktivator plasminogen tipe jaringan (tPA) dan aktivator
plasminogen tipe urokinase (uPA). Aktivitas fibrinolitik dalam cairan peritoneum
berkurang setelah operasi abdomen karena penurunan awal pada tingkat tPA dan
kemudian meningkat dalam inhibitor aktivator plasminogen-1 (PAI-1), yang
diinduksi oleh berbagai sitokin, termasuk TNF-α, IL-1, dan interleukin-6 (IL-6).
Ada dua strategi utama untuk pencegahan atau pengurangan adhesi. Pertama,
trauma bedah diminimalkan dengan penanganan jaringan secara hati-hati. Kedua
adanya membran barrier, yang memisahkan dan menciptakan penghalang antara
permukaan mesothelial yang rusak, memungkinkan penyembuhan yang bebas
adhesi. Ada banyak penelitian yang meneliti molekul yang berbeda dengan
harapan dapat mencegah pembentukan adhesi, tetapi sebagian besar
keberhasilannya terbatas pada model hewan, dan hasil klinis yang signifikan pada
manusia belum dicapai.(22)

13
Adhesi terbentuk ketika permukaan peritoneum rusak karena operasi, cedera
termal atau iskemik, peradangan, atau reaksi benda asing. Cedera mengganggu
lapisan pelindung sel mesothelial yang melapisi rongga peritoneum dan jaringan
ikat yang mendasarinya. Cedera tersebut memunculkan respons inflamasi yang
terdiri dari hiperemia, eksudasi cairan, pelepasan dan aktivasi sel darah putih dan
trombosit dalam rongga peritoneum, aktivasi sitokin inflamasi, dan onset
koagulasi serta kaskade komplemen. Deposisi fibrin terjadi antara kerusakan
jaringan yang berlawanan dengan permukaan serosa yang rusak. Adhesi film ini
sering bersifat sementara dan terdegradasi oleh protease dari sistem fibrinolitik,
dengan pemulihan permukaan peritoneum yang normal. Jika aktivitas fibrinolitik
tidak cukup, adhesi fibrosa permanen akan terbentuk oleh deposisi kolagen dalam
1 minggu setelah cedera.(22)

Gambar 2.5 Formasi dan degradasi fibrin pada perbaikan jaringan


peritoneal22

2.2 Gejala Adhesi Intraperitoneum


Adhesi pasca bedah berpotensi mengganggu motilitas usus dan fungsi
fisiologis lainnya. Gejala yang disebabkan oleh adhesi terkadang tidak spesifik,

14
dengan kurangnya tes diagnostik sensitifitas, pasien seringkali tidak terdiagnosis.
Selain itu evaluasi adhesi di lokasi nyeri perut terkait dapat tidak berkorelasi
dengan daerah anatomis yang terlibat adhesi.(2)(18) Beberapa gejala yang mungkin
muncul terkait dengan adhesi intraabdomen yaitu berupa riwayat bedah abdomen
sebelumya, inflamasi kronis, kram perut dan borborygmic, buang air besar yang
terganggu, mual dengan atau tanpa keluhan cepat kenyang, obstruksi usus yang
mungkin bersifat sementara baik parsial atau total, infertilitas wanita dan
dyspareunia, pendarahan rektal dan dyschezia (yaitu buang air besar yang
menyakitkan) selama menstruasi yang biasanya mengindikasikan keterlibatan
kolorektal endometriosis. Selain itu, banyak pasien terutama jika gejalanya tidak
dapat diprediksi, tidak terdiagnosis dan atau tanpa pengobatan yang efektif, dapat
menyebabkan gangguan penyesuaian dan demoralisasi yang mungkin secara
keliru mengarah pada gangguan usus fungsional seperti irritable bowel sindrom.(2)

2.3 Pemeriksaan Penunjang pada Adhesi intraperitoneum


Garis lemak pre-peritoneal adalah parameter radiologis penting untuk
mendeteksi perlekatan enteroparietal anterior. Objektivitas garis lemak
preperitoneal pada CT atau MRI juga dapat dilihat di lokasi operasi tanpa adanya
adhesi. Ini membantu menunjukkan lokasi bekas luka pembedahan. Pada pasien
dengan perlekatan enteroparietal anterior di tempat operasi, obscuration focal dari
lemak preperitoneal cenderung disertai omentum yang ketat dan lumen usus
kecil.(23)
Deteksi adhesi peritoneum sering didasarkan pada tanda tidak langsung
pada CT dan MRI. Tanda tidak langsung adalah seperti lekukan ekstrinsik atau
kekakuan di bagian atas usus yang dapat menyebabkan distorsi lipatan mukosa
atau penyempitan lumen atau bahkan peningkatan peristaltik usus. Permukaan
serosa dari usus yang dikelilingi oleh lemak mesenterika omental atau mungkin
menempel di dinding dinding usus yang berdekatan. Jaringan lunak linier atau
curvalinear yang membentang seperti gambaran obliterasi usus atau permukaan
peritoneal lain dapat dicurigai sebagai adhesi peritoneal. Kontur eksternal organ
panggul harus dievaluasi secara hati-hati. Panjang rahim dan serviks uteri dapat
memberikan petunjuk yang berguna mengenai adanya adhesi. Gambaran pita
peritoneal atau struktur seperti lembaran bisa merupakan tanda langsung dari

15
adhesi. Bisa tampak gambaran serat atau vaskularisasi yang mungkin
menunjukkan peningkatan pada gambaran CT atau MRI dengan kontras. Fitur
lokal seperti "triangulasi" harus digunakan untuk memastikan adanya perlekatan
tipis.Pada pasien asites, letak cairan merupakan indikator penting adanya adhesi
intraperitoneal.(23)

Gambar 2.6 CT aksial dan coronal menunjukkan penebalan fokal dan retraksi
dinding usus dengan gambar laparoskopi yang sesuai (panah), yang menunjukkan
adhesi enteroparietal lateral.(23)

Gambar 2.7 CT Sagital menunjukkan obliterasi fokal garis lemak pre-peritoneal


(panah) dengan gambar laparoskopi yang sesuai, yang menunjukkan adhesi
enteroparietal.(23)

16
Gambar 2.8 CT Coronal (panel kiri) menunjukkan enhansmen peperitoneal yang
meningkatkan (panah panjang) yang menyebabkan kompresi fokal di atas usus
kecil dengan obstruksi proksimal ringan. Pasien lain (panel kanan) menunjukkan
adanya adhesi (panah pendek) di antara usus kecil.(23)

2.4 Pencegahan adhesi intraperitoneum


Saat ini, banyak para ahli bedah yang memakai bahan anti adhesi, baik
dicampurkan dengan normal saline (NaCl 0,9%) maupun berdiri sendiri. Agen
anti perlengketan, memiliki dua mekanisme kerja, yaitu memodifikasi proses yang
bersinggungan dengan pembentukan adhesi (berupa agen farmakologi, seperti
GnRH, progesteron/estrogen, antikoagulan atau fibrinolitik), dan membentuk
suatu barrier/penghalang yang bersifat inert sehingga penyembuhan luka dapat
berjalan dengan normal dan baik. Agen barrier, terdiri dari beberapa jenis atau
bentuk sediaan, ada yang berbentuk padat (lembaran) kemudian berbentuk cair
(liquid dan gel) seperti, asam hyaluronat, NaCl dan hidrogel. Agen barrier yang
ideal harus dapat berfungsi sebagai penghalang di area lukaminimal 6-7 hari,
mudah digunakan, dan dapat digunakan untukoperasi laparotomi maupun
laparoskopi. (8)(9)(10)

2.4.1 Progesteron / estrogen


Progesteron telah menunjukkan pengurangan pembentukan adhesi pada
model hewan coba. Namun, pada penelitian manusia menunjukkan peningkatan
pembentukan adhesi pada penggunaan medroksi progesteron asetat intramuskular
atau peritoneal. Sedangkan estrogen menyebabkan peningkatan pembentukan

17
adhesi pada model hewan. Pada penelitian hewan, terjadi degenerasi lemak dan
transformasi fibrotik pada subyek anestrogenik. Pada primata yang diobati dengan
agonis G-rh menunjukkan jumlah adhesi yang lebih sedikit dibandingkan dengan
yang tidak diobati. Estrogen bekerja dengan mempromosikan pembentukan adhesi
meskipun tidak diketahui bagaimana kondisi ipoestrogenik dapat menyebabkan
terbentuknya sejumlah kecil adhesi pada manusia.(4)(15)

2.4.2 Antikoagulan
Campuran kristaloid isotonik yang mengandung heparin sulfat mengurangi
pembentukan adhesi intraabdomen yang mungkin dengan menghambat koagulasi
fibrin. Namun penggunaan heparin telah dilaporkan terkait dengan pendarahan
dan penyembuhan luka yang tertunda. Irigasi dengan heparin rendah (2.500 /
5.000 U / l) tidak menunjukkan manfaat dalam mengurangi adhesi.(4)(16)

2.4.3 Fibrinolitik
Agen fibrinolitik dapat menyebabkan komplikasi perdarahan, namun bentuk
rekombinan t-PA bila dioleskan secara topikal, mengurangi adhesi pada model
hewan tanpa peningkatan komplikasi. Pendekatan tersebut cukup menjanjikan
dalam pencegahan perlengketan pascaoperasi. Efektivitas rt-PA yang diperoleh
dengan teknik DNA rekombinan, telah dipelajari dalam pencegahan adhesi primer
dan kekambuhan.(4)(18) Diperkirakan bahwa penurunan PAA dapat menjadi faktor
patogen yang mungkin terjadi dalam pengembangan adhesi. Pada model
eksperimen ini, aktivitas fibrinolitik berkurang dengan adanya trauma termal atau
mekanis, iskemia, dan faktor inflamasi yang diketahui menyebabkan
pembentukan adhesi.Tujuan penelitian yang ada saat ini adalah untuk menetapkan
tingkat keamanan dan efektivitas yang menyertai penggunaan rt-PA pada
manusia. Bukti keseluruhan dari uji klinis dan penelitian pada hewan
menunjukkan bahwa semua pendekatan ini memiliki keberhasilan minimal,
dibatasi oleh keamanan dan kemanjuran yang buruk, tanpa mengurangi adhesi
pascaoperasi secara lengkap.(4)(16)

2.4.4 Barrier mekanik


Barrier mekanik cair atau padat dapat mencegah pembentukan adhesi
peritoneal pascaoperasi dengan menjaga permukaan peritoneal terpisah selama 5-

18
7 hari selama epitelisasi peritoneal.Barrier tersebut mampu mencegah kontak
antara permukaan serosa yang rusak selama beberapa hari kritis awal. Barrier
yang ideal harus dapat terurai secara aman, tidak menyebabkan inflamasi, tidak
bersifat imunogenik, bertahan selama fase re-mesothelialisasi, tetap di tempat
tanpa jahitan atau bahan pokok, tetap aktif dengan adanya darah, dan dengan
cepat dan mudah ditempatkan.(1) Cairan seperti dekstran, asam hyaluronat, asam
hyaluronat cross-linked dan icodextrin telah digunakan untuk mencegah adhesi.
Bahan tersebut dapat memisahkan permukaan yang terluka dengan
"hydroflotation". Barrier cairan ini memiliki keuntungan dengan waktu tinggal
lebih lama di rongga perut, seperti asam hyaluronat , asam hyaluronat cross-
linked dan icodextrin telah menunjukkan hasil yang menjanjikan dalam penelitian
eksperimental dan klinis.(19)
Dalam laporan oleh Wallwiener dkk menjelaskan adanya barrier lain seperti
formula hidrolotasi dan hyalobarier gel untuk mencegah adhesi. Dalam
penelitiannya dijelaskan bahwa barrier padat dan cair signifikan dapat mencegah
adhesi. Formula hidroflotasi, seperti Adept dan Hyalobarrier Gel, menghindari
adhesi, mudah digunakan, dan efek perlindungannya merata. Bahan tersebut
cocok untuk pencegahan adhesi setelah trauma multifokal pada tikus, namun
memerlukan pengujian lebih lanjut dalam situasi klinis sehari-hari.(24)

2.5 Pengaruh penggunaan Normal Saline pada adhesi intraperitoneum


Sebelum penutupan peritoneum pada akhir laparotomi, irigasi cuci kavum
abdomen biasa dilakukan dengan menggunakan normal salin (NaCl 0,9%) yang
bertujuan untuk membersihkan sisa-sisa darah dan jaringan guna menghindari
timbulnya adhesi setelah operasi.(5)(6)(15) Namun meskipun dipakai untuk
membersihkan jaringan, nyatanya beberapa penelitian menjelaskan bahwa normal
salin (NaCl 0,9%) akan menurunkan kapasitas fibrinolisis dan menyebabkan
terjadinya disfungsi sel mesothelial sehingga pembentukan adhesi intraperitoneum
masih dapat terjadi. Efek penggunaan nomal salin dijelaskan melalui bukti klinis
yang jelas sebagai bioincompatibility normal salin (NaCl 0,9%), dimana dalam
penelitian eksperimental tersebut membuktikan bahwa larutan normal salin (NaCl
0,9%) masih dapat memungkinkan terbentuknya fibrosis intraperitoneum.(6)

19
Penelitian lain menunjukkan penggunaan normal saline menghasilkan
penurunan kapasitas fibrinolitik dan menunjukkan efek yang tidak
menguntungkan akibat pengaruh pada struktur sel mesothelial di metabolisme
peritoneal, ditemukan juga bahwa normal salin menyebabkan disfungsi sel
mesothelial yang dapat mempercepat pembentukan adhesi intraperitoneum.(21)
Efek penggunaan normal saline juga dijelaskan melalui bukti klinis yang jelas
untuk bioincompatibility normal saline, dimana dalam beberapa penelitian
eksperimental menyatakan bahwa larutan NaCl 0,9% dapat memulai fibrosis
peritoneum.(15)(24)

Tabel 2.1 Pengaruh Normal Salin dan Cairan Air Steril Signifikan terhadap
Derajat Adhesi Intraperitoneum.(15)
Perlakuan
Derajad p-value (Man
Steril Normal Total Sign
Adhesi Whitney)
Water Salin
Derajat 1 7 2 9
Derajat 2 5 5 10 0,047 S
Derajat 3 4 9 13
Total 16 16 32

Pada penelitian yang membandingkan antara penggunaan irigasi cairan


steril dan normal saline, dijelaskan bahwa terdapat efek yang signifikan terhadap
terjadinya adhesi. Irigasi intraperitoneal dengan 2 ml cairan air steril lebih baik
daripada penggunaan 2 ml normal saline dalam mencegah adhesi
peritoneum.(15)Selain itu juga terdapat laporan penelitian yang menjelaskan bahwa
penggunaan normal saline dapat menurunkan aktivitas dari tingkat t-PA pada
kultur sel dari peritoneum yang berfungsi dalam fibrinolisis guna mencegah
adhesi.(17)

2.6 Peran asam hyaluronat kitosan dalam menghambat Adhesi pasca


bedah
2.6.1 Asam Hyaluronat Kitosan sebagai Hidrogel Berbasis Polisakarida
Asam hyaluronat kitosan merupakan salah satu agen hidrogel berbasis
polisakarida, yang berisi campuran asam hyaluronat dan kitosan. Asam hyaluronat
adalah polisakarida linier dengan unit disakarida berulang yang terdiri dari D-

20
glucuronate dan N-acetyl-D-glucosamine. Asam hyaluronat adalah polisakarida
glikosaminoglikan linier yang terdiri dari N-asetil-D-glukosamin dan asam D-
glukuronat. Asam hyaluronat adalah komponen utama dari matriks ekstraseluler
(ECM), termasuk kulit, tulang rawan, dan jaringan ikat. Karena biokompatibilitas
yang baik dan biodegradabilitas, Asam hyaluronat memiliki aplikasi penting
dalam bidang pemberian obat, teknik jaringan, penyembuhan luka, dan
suplementasi visco. Selain itu, banyak biomaterial yang berasal dari asam
hyaluronat telah dievaluasi in vitro dan in vivo sebagai perangkat biomedis
potensial. Karena sifatnya yang sangat baik, asam hyaluronat juga telah digunakan
untuk pencegahan adhesi dan dikomersialkan.(25)
Pada PH fisiologik asam hyaluronat menjadi terhidratasikan akibat adanya
gugus fungsi karbohidrat anionik. Hal ini menghasilkan suatu gel atau cairan
kental tergantung pada ukuran model. Asam hyaluronat dalam jaringan biasanya
bertahan dengan bahan protein.(25)Asam hyaluronat mempunyai fungsi utama
untuk menstabilkan struktur interseluler dan membentuk matriks fluida untuk
tempat pengikatan kolagen dan serat elastik. Asam hyaluronat memiliki bentuk
hydrogel yang dipakai sebagai pencegahan adhesi karena dapat menutupi daerah
luka dengan mengubah bentuk gel menjadi barrier fisik dan mencegah kontak
langsung dengan jaringan sekitar dalam jangka waktu tertentu. Kitosan adalah
polisakarida alami yang banyak ditemukan di jenis hewan laut dan terestrial
invertebrata. Kitosan biasanya dapat diperoleh dari cangkang kepiting atau udang
oleh deasetilasi basa kitin zat initerkandung di dalam cangkang atau kulitnya.(9) Di
bidang aplikasi medis, kitosan telah diamati guna mempercepat luka
penyembuhan dan pembekuan darah. Implan berbasis kitosan juga
membangkitkan reaksi minimal terhadap benda asing dalam respon jaringan,
mengungkapkan bahwa biokompatibilitas kitosan yang baik. Selain itu, dalam
aplikasi medis dan farmasi, kitosan berpartisipasi sebagai komponen aman dan
berkhasiat sebagai penghalang anti-adhesi. (26)
2.6.2 Peran asam hyaluronat kitosan dalam menghambat adhesi
Asam hialuronat kitosan dapat mencegah adhesi melalui menutupi
permukaan luka dengan geometri kompleks, berubah bentuk menjadi gel untuk
membentuk penghalang fisik, dan mencegah langsung kontak dengan permukaan

21
lain dalam jangka waktu tertentu. Hal ini juga berfungsi dalam meminimalisir
terjadinya aposisi jaringan selama periode krisis pembentukan fibrin dan
regenerasi mesothelial setelah operasi, sehingga memberikan efek barrier dalam
pembentukan adhesi.(9)
Hidrogel yang terbuat dari asam hialuronat (HA) umumnya digunakan
sebagai penghalang untuk pencegahan adhesi karena sifatnya yang tidak beracun.
Selain itu, HA diketahui meningkatkan proliferasi sel mesotelial peritoneum.
Namun, hidrogel berbasis HA sering menunjukkan mekanisme lemah dengan
perilaku degradasi cepat yang mengurangi efektivitasnya untuk mencegah adhesi.
Penggunaan chitosan ditemukan untuk mempromosikan penyembuhan luka dan
menginduksi migrasi dan proliferasi sel.(9)
Berdasarkan penelitian yang dilakukan Himeda dkk, Semua film gel asam
hyaluronat diuji efektif dalam menghambat pembentukan adhesi dalam model
adhesi caecum tikus. Tidak ada komplikasi yang diamati dan tidak ada hewan
yang mati.Tidak ada film gel asam hyaluronat atau partikel gel asam hyaluronat
yang terdeteksi di dalam rongga tubuh hewan yang dievaluasi 7 hari setelah
operasi. Tidak ada perbedaan morfologis yang terlihat antara adhesi pada
kelompok kontrol dan yang memiliki adhesi yang kuat pada kelompok
perlakuan.(27)
Pada penelitian oleh Arnold dkk, dengan model defek dinding abdomen
pada cecum di tikus digunakan untuk menjelaskan efek anti-adhesi asam
hialuronat dengan berat molekul berbeda. Pada model ini menghasilkan
perlekatan yang signifikan antara kedua permukaan yang terluka jika tidak ada
perawatan yang diberikan, dengan 90% tikus pada kelompok kontrol
mengembangkan adhesi langsung dinding cecum peritoneal. Pengurangan adhesi
yang kecil, tetapi tidak signifikan formasi diamati dengan asam hyaluronat
dengan molekul 1,4 MDa. Namun, hewan diperlakukan dengan asam hyaluronat
dengan berat molekul 1,6 MDa, 2,4 - 3,6 MDa dan 7.2 MDa menunjukkan
pengurangan yang nyata dalam pembentukan adhesi dibandingkan dengan kontrol
kelompok tikus.(28)
Hasil ini jelas menunjukkan bahwa perawatan dengan asam hialuronat
dengan berat molekul tinggi mencegah pembentukan adhesi pasca bedah pada

22
tingkat yang lebih tinggi secara signifikan dibandingkan dengan pengobatan
dengan asam hyaluronat dengan berat molekul lebih rendah. Studi sebelumnya
mengevaluasi efek asam hyluronat dalam model tikus pada pembentukan adhesi
intraperitoneal dan melaporkan hasil variabel mulai dari tidak ada efek positif
hingga pengurangan bekas luka. Dibandingkan dengan komposisi yang diuji
sebelumnya, dalam penelitian ini berat molekul asam hialuronat digunakan
tergolong tinggi, yang diharapkan menghasilkan ketahanan yang lebih lama di
dalam rongga perut dan dapat meningkatkan efek penghalang.(28)
Pada penelian yang dilakukan oleh Retno Witantri, dkk pada model tikus
Sintesis hidrogel asam hialuronat-kitosan dibuat dalam 4 kelompok. Sampel A, B,
C, dan D adalah sampel dengan variasi konsentrasi asam hyaluronat : kitosan
30:0mg/ml, 30:20mg/ml, 30:30mg/ml, dan 30:40mg/ml (w/v weight/volume).
Semakin tinggi konsentrasi kitosan dalam hidrogel, semakin kecil persentase
pembengkakan. Hal ini disebabkan konsentrasi kitosan yang lebih tinggi yang
membuat jarak antar molekul dalam hidrogel menjadi lebih dekat. Akibatnya, sulit
bagi air untuk berdifusi ke dalam material, menyebabkan kemampuan penyebaran
yang kecil.(9) Semakin tinggi konsentrasi kitosan, semakin rendah tingkat
degradasinya, karena konsentrasi kitosan berkorelasi positif dengan kemungkinan
ikatan silang antara gugus amina kitosan dan gugus aldehid dari asam hyaluronat.
Akibatnya, kepadatan material yang dihasilkan akan semakin besar. Material
dengan kepadatan tinggi memiliki porositas rendah untuk menyusup ke dalam
pori-pori hidrogel dan memperlambat laju degradasi. Hasil dari uji degradasi
menunjukkan bahwa asam hyaluronat-kitosan hidrogel memiliki biodegradabilitas
yang baik, sehingga berpotensi digunakan untuk aplikasi pencegahan adhesi.(9)
Penelitian oleh Ling Li, dkk yang menilai efektivitas pencegahan adhesi
hidrogel NOCC / A-HA (Asam Hyaluronat) dievaluasi menggunakan model tikus
dari abrasi defek dinding caecum. Dua puluh empat tikus dibagi secara acak
menjadi tiga kelompok (delapan tikus per kelompok). Tikus dibius dengan chloral
hydrate (10%, 3 mL / kg melalui injeksi intraperitoneal). Perut kemudian dicukur
dan disiapkan dengan alkohol dan larutan yodium. Setelah itu, sayatan garis
tengah sepanjang 4 cm dibuat di sepanjang linea alba di dinding perut, dan
peritoneum dibuka. 2x2 cm defek di cecum dengan darah yang keluar dibersihkan

23
dengan kasa bedah.(25)Pada kelompok hidrogel NOCC / A-HA, larutan prekursor
gel (0,5 mL NOCC (20 mg / mL) dan 0,5 mL A-HA (30 mg / mL) w / v)
ditempatkan dalam tempat steril terpisah pada spuit 10 mL yang terhubung ke
aplikator katup ganda Baxter, diekstrusi bersama melalui jarum 15-gauge dan
diendapkan secara bebas ke permukaan cecum yang mengalami defek. (25)
Pada penelitian ini ditemukan bahwa defek cecum dan dinding perut yang
dirawat oleh hidrogel cross-link NOCC / A-HA telah sepenuhnya pulih 14 hari
setelah operasi. Hidrogel NOCC / A-HA sangat efektif dalam mengurangi
pembentukan adhesi pasca operasi intraperitoneal. Oleh karena itu, kemungkinan
mekanisme hidrogel NOCC / A-HA untuk mencegah pembentukan adhesi
mungkin merupakan kombinasi dari fungsi penghalang dan bioaktivitas NOCC
dan A -HA. (25)
Beberapa pendekatan telah dilaporkan untuk menggabungkan kitosan
dengan polimer sintetik / alami. masing-masing dipilih untuk mendapatkan
properti yang diinginkan. Secara umum, mereka meliputi: i) reaksi kimia kitosan
dengan pengikat silang, ii) modifikasi kimia rantai CS untuk mendapatkan
makromonomer (agen pengikat silang), iii) asosiasi hidrofobik, iv) interaksi
elektrostatik, dan v) ikatan hidrogen. Selanjutnya, gugus amina bisa berinteraksi
antara rantai polimer (dengan ikatan hidrogen) untuk menghasilkan hidrogel
kitosan. Keuntungan menggabungkan kitosan dengan polimer lain adalah untuk
mendapatkan bahan hibrida dengan properti baru.(29)

24
2.7 Kerangka Teoritis

Injury peritoneum

Inflamasi dan infeksi Kerusakan vaskular dan mesothel

Citokin dan protein


Proses radang Proses radang
Sel inflamasi

Pembentukan fibrin dan


Citokin dan protein kolagen

Sel inflamasi
Asam Hyaluronat-
Aktifasi tPA kitosan

MMP
Endogen tPA dihambat
dan uPA

Degradasi produk
MMP fibrin dan kolagen Peningkatan
produk fibrin dan
kolagen

Penyembuhan Adhesi Tanpa/Minimal


normal Adhesi

Keterangan: Variebel yang diteliti


Proses yang mendukung

Gambar 2.9 Kerangka teori

25
2.8 Hipotesis
1. Penggunaan asam hyaluronat kitosan setelah irigasi normal salin (NaCl
0,9%) mempengaruhi penurunan derajat adhesi intraperitoneum secara
makroskopik pasca laparotomi tikus putih (Rattus norvegicus).
2. Penggunaan asam hyaluronat kitosan setelah irigasi normal salin (NaCl
0,9%) mempengaruhi gambaran histologis sel fibrin pada adhesi
intraperitoneum pasca laparotomi tikus putih (Rattus norvegicus).
3. Penggunaan asam hyaluronat kitosan setelah irigasi normal salin (NaCl
0,9%) mempengaruhi gambaran histologis susunan kolagen pada adhesi
intraperitoneum pasca laparotomi tikus putih (Rattus norvegicus).
4. Penggunaan asam hyaluronat kitosan setelah irigasi normal salin (NaCl
0,9%) mempengaruhi gambaran histologis sel inflamasi pada adhesi
intraperitoneum pasca laparotomi tikus putih (Rattus norvegicus).

26
BAB III
MATERI DAN METODE PENELITIAN

3.1 Rancangan Penelitian


Penelitian ini merupakan penelitian eksperimen laboratorik The post-test
only kontrol group design menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) satu
arah, dimana terdapat tiga kelompok perlakuan yaitu kelompok 1 sebagai kontrol
(P0) tikus putih laparotomi dengan pemberian irigasi normal salin (NaCl 0,9%)
5,0 ml tanpa pemberian asam hialuronat kitosan, kelompok 2 sebagai perlakuan 1
(P1) tikus putih laparotomi dengan pemberian irigasi normal salin (NaCl 0,9%)
5,0 ml, kemudian dilanjutkan dengan pemberian asam hyaluronat kitosan dengan
perbandingan 30mg: 20mg /ml, dan kelompok 3 sebagai perlakuan 2 (P2) tikus
putih laparotomi dengan pemberian irigasi normal salin (NaCl 0,9%) 5,0 ml
kemudian dilanjutkan dengan pemberian asam hyaluronat kitosan dengan
perbandingan 30mg: 30mg/ml. Pengambilan sampel dilakukan secara random
(acak) dan hasil ke tiga kelompok perlakuan dinilai untuk mengetahui perbedaan
pengaruh perlakuan.

3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian


3.2.1 Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian dilakukan di Laboratorium hewan coba dan histologi
Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Syiah Kuala Banda Aceh.

3.2.2 Waktu Penelitian


Penelitian di lakukan selama 2 bulan mulai dari bulan Desember 2019
hingga Januari 2020.

3.3 Subjek dan Sampel Penelitian


Subjek penelitian ini adalah tikus putih (Rattus norvegicus) jenis kelamin
jantan, dewasa usia 3-4 bulan dengan berat badan 200-300 gram. Terdapat 3
kelompok dalam penelitian ini yang dipilih secara acak (random):
1. Kelompok 1 sebagai kontrol (P0) tikus putih laparotomi dengan pemberian
irigasi normal salin (NaCl 0,9%) 5,0 ml tanpa pemberian asam hyaluronat
kitosan,

27
2. Kelompok 2 sebagai perlakuan 1 (P1) tikus putih laparotomi dengan
pemberian irigasi normal salin (NaCl 0,9%) 5,0 ml kemudian dilanjutkan
dengan pemberian asam hyaluronat kitosan dengan perbandingan 30mg :
20mg/ ml,
3. Kelompok 3 sebagai perlakuan 2 (P2) tikus putih laparotomi dengan
pemberian irigasi normal salin (NaCl 0,9%) 5,0 ml kemudian dilanjutkan
dengan pemberian asam hyaluronat kitosan dengan perbandingan 30mg :
30mg / ml.

3.3.1 Kriteria Inklusi


1. Tikus (Rattus norvegicus) putih jantan
2. Berumur 3-4 bulan
3. Berat badan antara 200-300 gram
4. Tikus dalam keadaan sehat

3.3.2 Kriteria Eksklusi


1. Hewan coba terlihat sakit selama masa adaptasi (gerak tidak aktif)
2. Penurunan BB selama adaptasi > 10%
3. Hewan percobaan mati selama berlangsung percobaan

3.3.3 Jumlah Sampel Penelitian


Penentuan jumlah sampel tiap kelompok pada penelitian ini didasarkan
rumus Federer, yaitu:
(r – 1) (t – 1)  15
r = jumlah sampel
t = jumlah perlakuan
Pada penelitian ini terdapat 3 kelompok perlakuan, maka jumlah sampel yang
dibutuhkan pada setiap kelompok adalah:
(r – 1) (t – 1)  15
(r – 1) (3 – 1)  15
(2r – 2)  15
2r  15 + 2
r 8,5 = 9

28
Berdasarkan rumus tersebut, jumlah sampel minimum yang diperoleh
adalah 9 (sembilan) sampel, dengan jumlah kelompok adalah tiga (satu kelompok
kontrol (P0) dan dua kelompok perlakuan pemberian gel asam hyaluronat kitosan
berbagai tingkat dosis (P1 dan P2)). Untuk menghindari drop out sampel
(ketidaklengkapan data), maka dilakukan koreksi dengan rumus sebagai berikut:
n’ = n/1-f
n’ = 9/ 1-0,1
n = 9/0,9
n = 1,00
Keterangan :
n’ = besar sampel setelah dikoreksi
n = besar sampel berdasarkan estimasi sebelumnya
f = prediksi presentasi drop out (nilai f = 0,05-0,1)

Berdasarkan perhitungan tersebut, maka jumlah sampel minimal yang


diperlukan adalah 10 ekor tikus putih untuk setiap kelompok, sehingga total
keseluruhan sampel pada 3 kelompok perlakuan adalah sebanyak 30 ekor tikus
putih (Rattus norvegicus) strain Wistar.

3.4 Variabel Penelitian


Variabel dalam penelitian ini terdiri atas variabel inderpenden, dependen
dan variabel luar. Berikut penjabaran mengenai variabel penelitian ini:
1. Variabel independen atau variabel bebas yaitu berupa perlakuan
penggunaan asam hyaluronat kitosan dengan perbadingan (30mg:20mg/1ml
dan 30mg:30mg/1ml) setelah irigasi 5,0 ml larutan normal salin (NaCl
0,9%) intraperitoneum.
2. Variabel dependen atau variabel terikat yaitu berupa adhesi intraperitoneum
makroskopik dan mikroskopik pada hewan coba.
3. Variabel terkendali atau variabel kontrol yaitu makanan, minuman, genetik,
jenis kelamin, umur,berat badan, suhu udara, perlakuan insisi dan teknik
irigasi.

29
Intervensi Variabel Independen Variabel Dependen

 Derajat adhesi secara


Normal salin (NaCl makroskopis
Tikus putih 0,9%), dan pemberian  Derajat adhesi
yang asam hyaluronat-kitosan secaramikroskopik
dilaparotomi dengan perbandingan berdasarkan jumlah
(30mg:20mg/1ml dan sel fibrin, susunan
30mg:30mg/1ml) kolagen dan jumlah
sel inflamasi

Gambar 3.1 Kerangka Konsep dan Variabel Penelitian

3.5 Definisi operasional


1. Laparotomi merupakan tindakan bedah dengan melakukan insisi pada
midline abdomen untuk membuka kavum abdomen dan melakukan
eksplorasi pada organ intraabdomen. Insisi yang dilakukan menembus
jaringan lemak subkutan, otot abdomen dan peritoneum. Pada penelitian
ini laparotomi dilakukan dengan melakukan insisi midline 4cm pada
abdomen tikus untuk menemukan ileocecal junction dalam upaya
membuat iritasi perdarahan minimal dan inflamasi steril yang dapat
memicu proses adhesi intraperitoneum.
2. Irigasi normal salin (NaCl 0,9%) adalah perlakuan pemberian cairan
irigasi intraabdomen pasca dilakukan laparotomi. Pada penelitian ini
sebanyak 5,0ml cairan NaCl 0,9% dialirkan/diteteskan secara perlahan
menggunakan spuit ke kavum abdomen sebagai irigasi.
3. Asam hyaluronat kitosan merupakan salah satu agen adhesion barrier,
yang berisi campuran asam hyaluronat dan kitosan dengan perbandingan
(30mg:20mg/1ml dan 30mg:30mg/1ml). Asam hyaluronat adalah
polisakarida alami yang menyusun jaringan ikat. Fungsi utama molekul
ini adalah untuk menstabilkan struktur interseluler dan membentuk
matriks fluida untuk tempat pengikatan kolagen dan serat elastik.
Kitosan memiliki khasiat anti-adhesi dengan mengurangi pembentukan

30
parut dengan menghambat proliferasi fibroblast. Pemberian asam
hyaluronat kitosan dilakukan setelah irigasi dengan normal salin secara
intraperitoneum.
4. Adhesi intraperitoneum adalah suatu keadaan patologis perlengketan
(adhesi) antara omentum, usus dan/atau dinding abdomen. Perlengketan
tersebut dapat berupa ikatan dengan jaringan fibrin tipis, fibrosa tebal
yang berisi pembuluh darah dan jaringan saraf, atau kontak langsung
antara dua permukaan organ. Pada penelitian ini adhesi intraperitoneum
di lihat dengan temuan perlengketan disekitar ileocecal junction dengan
peritoneum atau dengan organ lain setelah dilakukan upaya manipulasi
melalui lesi perdarahan minimal secara steril. Penilaian adanya adhesi
dilakukan secara makroskopik dan mikroskopik.
5. Pencegahan pembentukan adhesi intraperitoneum secara makroskopik
adalah keadaan adhesi pada organ intrabdomen pasca laparotomi yang
dapat diamati langsung. Pada penelitian ini pencegahan pembentukan
adhesi intraperitoneum makroskopik di lakukan berdasarkan derajat
adhesi yang terbentuk dengan klasifikasi berdasarkan kriteria Nair
dkk(18), yang terdiri dari:
 Skor 0: Tidak adanya adhesi.
 Skor 1: Terdapat 1 perlengketan antara dindingVisera/ Abdomen.
 Skor 2: Terdapat 2 perlengketan dinding Visera / Abdomen.
 Skor 3: Terdapat >2 perlengketan dindingVisera / Abdomen.
 Skor 4: Terdapat perlengketan luas visceral abdomen.
Cara ukur dengan pembedahan, skala ukur numerik.
6. Evaluasi adhesi intraperitoneum secara mikroskopik adalah kondisi
adhesi yang dapat dinilai secara histopatologi. Pada penelitian ini
komponen yang dinilai adalah temuan jaringan fibrin, kolagen dan sel
inflammasi (polimorphoneutrofil) pada lokasi adhesi intra abdomen.
Cara ukur pewarnaan Hemaxtoxilin eosin histologi dan evaluasi
mikroskopik dengan pembesaran 400x oleh dokter ahli histopatologi.
a. Jaringan fibrin adalah jaringan benang protein yang terbentuk setelah
aktivasi fibrinogen dan trombin. Berfungsi sebagai koagulasi dalam

31
menstabilkan perdarahan saat terjadi adhesi, fibrin berperan
membentuk benang kaskade yang akan berubah menjadi jaringan
fibrosis serta menyebabkan perlengketan.
Fibrin pada jaringan adhesi intraperitoneum dinilai dengan kriteria
skor menurut Akinrinmade dkk(16)(20), yaitu:
 Skor 0: Tidak tampak akumulasi benang fibrin.
 Skor 1: Akumulasi fibrin ringan.
 Skor 2: Akumulasi fibrin sedang.
 Skor 3: Adhesi lengkap dengan temuan banyak fibrin.
Cara ukur pemeriksaan histopatologi mikroskopik, skala ukur
numerik.
b. Kolagen merupakan protein jaringan ikat berbentuk seperti benang
putih bergelombang dengan susunan serabut fibril dan myofibril.
Pada penelitian ini kolagen di nilai dengan pewarnaan HE dan
pemeriksaan histopatologi.
Susunan kolagen pada jaringan adhesi intraperitoneum dinilai
dengan kriteria skor menurut Calvi dkk(30), yaitu:
 Skor 0: Tidak ada susun kolagen.
 Skor 1: susunan kolagen minimal.
 Skor 2: Susunan kolagen sedang.
 Skor 3: Susunan kolagen melimpah/ banyak.
Cara ukur pemeriksaan histopatologi mikroskopik, Skala ukur
numerik.
c. Pembentukan sel inflamasi pada lokasi adhesi intraperitoneum di
nilai berdasarkan jumlah sel inflamasi dengan kriteria skor menurut
Woods dkk(7)(20), yaitu:
 Grade 1: Adanya infiltrasi seluler inflamasi dengan sedikit
bukti fibroplasia.
 Grade 2: Adanya sel inflamasi kurang dan bukti fibroplasia
awal.
 Grade 3: Adanya penurunan sel inflamasi dengan
kehadiran fibroplasia imatur.

32
 Grade 4: Adanya fibrosit aktif dan matang. Cara ukur
pemeriksaan histologi dan mikroskop cahaya, skala
ukur numerik.

3.6 Alat
1. Kandang sarana perlakuan tikus termasuk tempat minum dan pakan.
2. Alat bedah minor dan kassa steril.
3. Set pemeriksaan histologi pewarnaan.
4. Mikroskop cahaya.
5. Tabung inhalasi cloroform
6. Peralatan tulis lainnya

3.7 Bahan
1. Minum dan pakan
2. Normal salin (Nacl 0,9%), asam hyaluronat, kitosan, alcohol 70%,
povidone iodine, ketamine dan cloroform
3. Hematoksilin Eosin (HE).

3.8 Prosedur Penelitian


3.8.1 Persiapan hewan coba
Tikus putih (Rattus Novergicus), jantan, sehat, dewasa, berusia 3-4 bulan
diperoleh dari Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Syiah Kuala sebanyak 30
ekor. Sampel penelitian sebelum perlakuan, tikus ditimbang dan diadaptasi selama
1 minggu, dilakukan homogenisasi dalam kandang, suhu dalam kandang diatur
pada suhu kamar, setiap harinya tikus diberi makan berupa pelet sebanyak 20
gram dan air minum diberikan secara ad libitum.

3.8.2 Prosedur bedah laparotomi


1. Tikus yang menjadi subjek di bius dengan ketamine 30mg/kg melalui
femoral dan bernapas spontan selama prosedur.
2. Area abdomen dicukur, kemudian dilakukan teknik asepsis dengan
povidone iodin 10% dan alcohol 70%.

33
3. Dilakukan laparotomi dengan insisi midline abdomen 4cm. eksplorasi
dilakukan untuk menemukan ileocaecal junction. Cecum dan ileum
terminal (1cm dari ICJ) di eksoriasi dan di abrasi menggunakan kasa
untuk memicu bintik perdarahan minimal 1-2 cm.
4. Prosedur yang sama juga dilakukan pada dinding abdomen sisi yang
sama dengan posisi cecum dan ileum terminal seluas 1-2 cm hingga
bintik perdarahan terjadi.
5. Selanjutnya diirigasi dengan larutan normal salin (Na Cl 0,9%)
sebanyak 5,0 ml secara intraperitoneum. Cairan irigasi dibiarkan selama
5 menit lalu di keringkan seadanya dengan kassa steril (P0). Untuk
kelompok perlakuan setelah irigasi dengan NaCl 0,9% dilanjutkan
dengan pemberian asam hyaluronat kitosan dengan perbandingan
30mg:20mg/ml (P1) dan 30mg:30mg/ml (P2) secara intraperitoneal.
6. Kemudian luka insisi laparotomi di jahit primer dengan jahitan simpel
interupted menggunakan silk 5.0 dan ditutup. Tikus dipuasakan 24 jam.
7. Tikus diberikan antibiotik seftriaxon 50mg/kgBB IM (dosis manusia
70kg x 50mg/kgbb = 3500mg) sehingga dosis pemberian pada tikus
berat 200-300 gram adalah 3500mg x 0,018 = 63mg yang diberikan
Intramuskular melalui femur sebagai profilaksis infeksi pasca bedah.

3.8.3 Penilaian Adhesi intraperitoneum makroskopik


1. Penilaian adhesi intraperitoneum dilakukan pada hari ke 10 pasca
pemberian tindakan bedah dan irigasi cairan intraperitoneum.
2. Dilakukan terminasi eutanasia dengan kloroform dosis lethal dengan cara
inhalasi pada seluruh hewan coba
3. Insisi midline pada abdomen diperlebar ke kranial dan kaudal dilakukan
agar mempermudah akses kavum abdomen untuk menemukan lokasi
adhesi intraperitoneum.
4. Penilaian adhesi secara makroskopik menggunakan kriteria Nair dkk
yang terdiri atas :(18)

34
Tabel 3.1Nilai Skor Adhesi Makroskopik
Nilai/skor adhesi Hasil temuan
Skor 0 Tidak adanya adhesi
Skor 1 Terdapat 1 perlengketan antara dinding
visera/abdomen
Skor 2 Terdapat 2 perlengketan dinding visceral/abdomen
Skor 3 Terdapat >2 perlengketan dinding visceral/abdomen
atau seluruh usus tanpa massa pada dinding abdomen
Skor 4 Terdapat perlengketan luas visceral abdomen.

3.8.4 Penilaian Adhesi intraperitoneum mikroskopik


3.8.4.1 Pembuatan preparat histologi
a) Setelah penilaian makroskopik dilakukan penilaian mikroskopik.
Jaringan intraabdomen yang mengalami adhesi diambil untuk
pemeriksaan histologi.
b) Jaringan diambil 2 cm kemudian difiksasi dengan buffer 10%
formaldehid dan dibuat parafin blok untuk selanjutnya diwarnai dengan
pewarnaan HE.
c) Sampel dikeringkan dan diperiksaan dengan mikroskop cahaya
perbesaran 100x.

3.8.4.2 Evaluasi adhesi intraperitoneum mikroskopik


Evaluasi dilakukan dengan dokter ahli patologi anatomi untuk
menilaikondisi fibrin, kolagen dan sel inflammasi pada adhesi
intraperitoneum.
1. Fibrin pada jaringan adhesi intraperitoneum dinilai menggunakan
mikroskop pembesaran 100x dengan 4 kriteria skor oleh Akinrinmade
dkk yaitu :(16)(20)
Tabel 3.2 nilai skor fibrin
Nilai/skor fibrin Hasil temuan fibrin
Skor 0 Tidak tampak akumulasi benang fibrin
Skor 1 Akumulasi fibrin ringan
Skor 2 Akumulasi fibrin sedang
Skor 3 Adhesi lengkap dengan temuan banyak fibrin.

35
2. Susunan kolagen pada jaringan adhesi intraperitoneum dinilai
menggunakanmikroskop pembesaran 100x dengan 4 kriteria oleh Calvi
dkk,yaitu :(30)
Tabel 3.3 nilai skor kolagen
Nilai/skor Hasil temuan histologi kolagen
kolagen
Skor 0 Tidak ada susunan kolagen
Skor 1 Susunan kolagen minimal
Skor 2 Susunan kolagen sedang
Skor 3 Susunan kolagen melimpah/ banyak.

3. Gambaran mikroskopik respon inflamasi pada jaringan adhesi


intraperitoneum dinilai menggunakan mikroskop pembesaran 100x
dengan kriteria skor Woods dkk, yaitu :(7)(20)
Tabel 3.4 nilai sel inflammasi PMN
Tingkatan sel Hasil temuan mikroskopik sel inflamasi
inflamasi polimorfonuclear
Grade 1 Adanya infiltrasi seluler inflamasi dengan sedikit
bukti fibroplasias
Grade 2 Adanya sel inflamasi kurang dan bukti fibroplasia
awal.
Grade 3 Adanya penurunan sel inflamasi dengan kehadiran
fibroplasia imatur
Grade 4 Adanya fibrosit aktif dan matang

3.9 Analisa Data


Data adhesi makroskopik dan mikroskopik yang diperoleh pada semua
kelompok perlakuan penelitian dilakukan uji nomalitas dan uji homogenitas. Data
yang terdistribusi normal selanjutnya dianalisis dengan analisa beda dengan
ANOVA, nilai dianggap signifikan (P<0,05) dilanjutkan dengan uji LSD untuk
melihat perbedaan antar perlakuan. Analisis statistik dilakukan dengan bantuan
Sofware Statistical Product and Solutions (SPSS) Versi 17.0 for Windows. Hasil
pengolahan data akan ditampilkan dalam bentuk gambar, grafik dan tabel.

36
3.10 Etika Penelitian
Penelitian yang menggunakan hewan coba harus memperhatikan etika
medik dan perlakuan terhadap hewan coba secara layak dan manusiawi (Humane),
selain hal tersebut, kita juga harus menjamin kesejahteraan hewan coba hingga
akhir penelitian.Dalam hal penelitian yang menggunakan hewan coba, kita harus
memperhatikan animal walfare dimana semua hewan yang berinteraksi dengan
manusia yang diintervensi manusia sangat mempengaruhi kelangsungan hidup
hewan.Dalam hal ini adalah hewan liar dalam kurungan (lembaga konservasi,
entertainment, laboratorium), hewan ternak dan hewan potong (ternak
besar/kecil), hewan kerja dan hewan kesayangan.Cara untuk menilai
kesejahteraan hewan dikenal dengan konsep “Lima Kebebasan” (Five of
Freedom) yang dicetuskan oleh Inggris sejak tahun 1992. Lima unsur kebebasan
tersebut adalah bebas dari rasa lapar dan haus, bebas dari rasa tidak nyaman,
Bebas dari rasa sakit, luka dan penyakit, bebas mengekspresikan perilaku normal,
bebas dari rasa stress dan tertekan.(31)

37
3.11 Alur Penelitian

(Rattus norvegicus) 30 ekor

Pembiusan dan laparotomi (insisi


midline abdomen) 4cm

Kelompok P1 Kelompok P2
tikus dilakukan tikus dilakukan
Kelompok P0tikus laporotomi diirigasi laporotomi diirigasi
dilakukan laporotomi dengan 5,0 ml Nacl dengan 5,0 ml Nacl
diirigasi dengan 5,0 0,9% dilanjutkan 0,9% dilanjutkan
ml Nacl 0,9% pemberian asam pemberian asam
intraabdomen dan hyaluronat kitosan hyaluronat kitosan
dibiarkan kering dengan perbandingan dengan perbandingan
30mg:20mg/ml 30mg:30mg/ml
intraperitoneal intraperitoneal

10 hari perlakuan / terminasi

Penilaian derajat adhesi makroskopik dan gambaran


mikroskopik kolagen, fibrin dan sel inflammasi
intraperitoneum pasca laparotomi

Analisa Data

Gambar 3.2 Alur Penelitian

38
DAFTAR PUSTAKA

1. Godara P and Milthorpe B. Surgical Adhesion and Its Prevention:


Comprehensive Biomaterials II, Volume 7. Elsevier. University of
Technology, Sydney, NSW, Australia.2017

2. MacLean AR, Cohen Z, MacRae HM, O’Connor BI, Mukraj D, Kennedy


ED, et al. Risk of small bowel obstruction after the ileal pouch-anal
anastomosis. Ann Surg. 2002;235(2):200–6.

3. Nieuwenhuijzen M, Reijnen MMPJ, Kuijpers JHC, Van Goor H. Small


bowel obstruction after total or subtotal colectomy: A 10-year
retrospective review. Br J Surg. 1998;85(9):1242–5.

4. Arung W, Meurisse M, Detry O. Pathophysiology and prevention of


postoperative peritoneal adhesions. World J Gastroenterol.
2011;17(41):4545–53.

5. Rocca A, Aprea G, Surfaro G, Amato M, Giuliani A, Paccone M, et al.


Prevention and treatment of peritoneal adhesions in patients affected by
vascular diseases following surgery: a review of the literature. Open Med.
2016;11(1):106–14.

6. Winckiewicz M, Polubinska A, Staniszewski R, Breborowicz A. Effects of


saline and other peritoneal lavage solutions on the morphology and
function of in vitro mesothelial cells. Prz Chir. 2007;79(8):540–7.

7. Elyasi A, Soheili M, Setayeshi K, Honarmand S, Derakhshandeh K.


Adhesion prevention by peritoneal administration of herbal hidrogel.
Biomed Pharmacol J. 2017;10(1):179–89.

8. Kim, et al. Anti-adhesion polymer composition capable of supporting


growth factor. Rosenberg: US Patent No. US 9327049B2; 2016.

9. Retno W, Prihartini W, Jan A. Chitosan-Hyaluronat Acid Composite


Injectable Hidrogel as Open Postoperative Peritoneal Anti-adhesive Agent.
Airlangga University. 2018

10. Yolanda Citra Ayu Priskawati. Sintesis dan Karakteristik Hidrogel


Berbasis Asam Hyaluronat dan Kitosan untuk Aplikasi Antiadhesi
Intraperitoneal. Fakultas Sains dan Teknologi, Universitas Airlangga. 2018

11. Tabibian N, Swehli E, Boyd A, Umbreen A, Tabibian JH. Abdominal


adhesions: A practical review of an often overlooked entity. Ann Med
Surg. Elsevier Ltd; 2017;15:9–13.

39
12. Liakakos T, Thomakos N, Fine PM, Dervenis C, Young RL. Peritoneal
Adhesions: Etiology, Pathophysiology, and Clinical Significance. Dig
Surg 2001; 18:260-73.

13. Pados G, Venetis CA, Almaloglou K, Tarlatzis BC. Prevention of intra-


peritoneal adhesions in gynaecological surgery: theory and evidence.
Reproductive BioMedicine Online 2010; 21, 290 30

14. Diamond MP. Reduction of de novo postsurgical adhesions by


intraoperative precoating with Sepracoat (HAL-C) solution: a prospective,
randomized, blinded, placebo-controlled multicenter study. The Sepracoat
Adhesion Study Group. Fertil Steril. 1998;69:1067-1074.

15. Octaviani O, Rahardjo A, Alifianto U, Anton S. Differences in the Effect


of Using Sterile Water for Irrigation and Normal Saline Washing to
Peritoneal Adhesion Post-Laparotomy on White Rats. Indones Biomed J.
2017;9(1):43.

16. Fredriksson F. Outcome and prevention strategies in peritoneal adhesion


formation.2012. 1217

17. Cwalinski J, Staniszewski R, Baum E, Jasinski T, Mackowiak B,


Bręborowicz A. Normal saline may promote formation of peritoneal
adhesions. Int J Clin Exp Med. 2015;8(6):8820–34

18. June M, Buåureanu TAS. Pathophysiology of Adhesions. 2014;(3):293–8

19. Maciver AH, McCall M, James Shapiro AM. Intra-abdominal adhesions:


Cellular mechanisms and strategies for prevention. Int J Surg. Elsevier
Ltd; 2011;9(8):589–94.

20. Duron JJ. Postoperative intraperitoneal adhesion pathophysiology. Color


Dis. 2007;9(SUPPL. 2):14–24.

21. Adherencias D, Asociadas A. Gross and Histologic Evaluation of


Abdominal Adhesions Associated with Chromic Catgut and
Polypropylene Sutured Enteropexies in Dog. Int J Morphol.
2010;28(4):1221–5.

22. F.Charles Brunicardi, Dana K.Andersen, Timothy R.Billiar, et al.


Schwartz’s Principles of Surgery; 10th Edition. McGraw-Hill Education.
2015; 263-264.

23. Ghonge N, Ghonge S. Computed tomography and magnetic resonance


imaging in the evaluation of pelvic peritoneal adhesions: What radiologists
need to know? Indian J Radiol Imaging. 2014;24(2):149.

24. Wallwiener M, Brucker S, Hierlemann H, Brochhausen C, Solomayer E,

40
Wallwiener C. Innovative barriers for peritoneal adhesion prevention:
liquid or solid? A rat uterine horn model. Fertil Steril. 2006;86(4
SUPPL.):1266–76
25. Ling L, Ning W, Xun J, Rui D, Shihong N, et al. Biodegradable and
Injectable in situ cross-linking chitosan-hyaluronat acid based hidrogels
for postoperative adhesion prevention. West China Hospital, Sichuan
University. Elsevier Biomaterials 35(2014) 3903-3917

26. Elias Shahram, Seyed Homayoon Sadraie, Gholamreza Kaka, Hadi


Khoshmohabat, Mohammad Hosseinalipour, Farzad Panahi, Mohammad
Reza Naimi-Jamal. Evaluation Of Chitosan gelatin Films For Use As
Postoperative Adhesion Barrier In Rat Cecum Model. Elsevier
International Journal Of Surgery 11 (2013) 1097-1102

27. Himeda Y, Yanagi S, Kakema T, Fujita F, Umeda T, Miyoshi T. Adhesion


Preventive Effect of a Novel Hyaluronat Acid Gel Film in Rats. The
Journal of International Medical Research. 2003; 31:509-516
28. Arnold et al. Evaluation of resorbable barriers for preventing surgical
adhesions. Fertil Steril (2000) 73, 157-1 6 1

29. Jung-Jhih Changa, Yen-Hsien Leeb, Meng-Hsiu Wua, Ming-Chien Yanga,


Chiang-Ting Chienc.Electrospun anti-adhesion barrier made of kitosan
alginate for reducing peritoneal adhesions. Elsivier. 2012. 1304– 1312.

30. Calvi EN, Nahas FX. Immunohistochemical analysis of collagen content


and types in the rectus abdominis muscle of cadavers of different ages.
Acta Cir Bras. 2011;26:3–7.

31. Setiatin ET. Euthanasia : Tinjauan Etik Pada Hewan. 2004;1–12.

41

Anda mungkin juga menyukai