BAB I
PENDAHULUAN
1
dilaporkan kejadian inflamasi akibat peritonitis dan penyakit Crohn adalah
komorbid yang meningkatkan komplikasi terkait adhesi.
Sebelum penutupan peritoneum pada akhir laparotomi, irigasi cuci kavum
abdomen biasa dilakukan dengan menggunakan normal salin (NaCl 0,9%) yang
bertujuan untuk membersihkan sisa-sisa darah dan jaringan guna menghindari
timbulnya adhesi setelah operasi.(5)(6)(7) Namun meskipun dipakai untuk
membersihkan jaringan, nyatanya beberapa penelitian menjelaskan bahwa normal
salin (NaCl 0,9%) akan menurunkan kapasitas fibrinolisis dan menyebabkan
terjadinya disfungsi sel mesothelial sehingga pembentukan adhesi intraperitoneum
masih dapat terjadi. Efek penggunaan nomal salin dijelaskan melalui bukti klinis
yang jelas sebagai bioincompatibility normal salin (NaCl 0,9%), dimana dalam
penelitian eksperimental tersebut membuktikan bahwa larutan normal salin (NaCl
0,9%) masih dapat memungkinkan terbentuknya fibrosis intraperitoneum.(6) Hasil
penelitian yang dilakukan oleh Park dkk. menunjukan 4,6% tingkat komplikasi
serius setelah operasi kolorektal. Namun, semua derajat keparahan pembentukan
adhesi akan tampak pada kisaran 90%. Hal ini menyebabkan banyak yang
mencoba mengembangkan teknik dan bahan untuk mencegah atau mengurangi
terjadinya perlengketan. Salah satu pendekatan utama adalah penggunaan (Bio)
material sebagai penghalang untuk pembentukan adhesi antara membran serosa
dan organ.(1)
Saat ini, banyak para ahli bedah yang memakai bahan anti adhesi, baik
dicampurkan dengan normal saline (NaCl 0,9%) maupun berdiri sendiri. Agen
anti perlengketan, memiliki dua mekanisme kerja, yaitu memodifikasi proses yang
bersinggungan dengan pembentukan adhesi (berupa agen farmakologi, seperti
GnRH atau fibrinolitik), dan membentuk suatu barrier/penghalang yang bersifat
inert sehingga penyembuhan luka dapat berjalan dengan normal dan baik. Agen
barrier, terdiri dari beberapa jenis atau bentuk sediaan, ada yang berbentuk padat
(lembaran), seperti Seprafilm dan membran anti air, kemudian berbentuk cair
(liquid dan gel) seperti asam hyaluronat, NaCl 0,9%, hydrogel dan N.O-
carboxymethyl chitosan. Agen barrier yang ideal harus dapat berfungsi sebagai
penghalang di area luka minimal 6-7 hari, mudah digunakan, dan dapat digunakan
(8)
untuk operasi laparotomi maupun laparoskopi. NaCl 0,9% dapat mengurangi
2
adhesi intraperitoneum dengan cara menyingkirkan sisa darah, sisa potongan
jaringan dan cairan laninya untuk mengindari komplikasi berupa adhesi pasca
operasi.(5)(6)(7) NaCl dapat mengurangi kapasitas fibrinolitik yang akan
menurunkan angka kejadian adhesi intraperitoneum pasca tindakan laparotomi.(5)
Asam hyaluronat kitosan gel merupakan salah satu agen adhesion barrier,
yang berisi campuran asam hyaluronat dan kitosan. Asam hyaluronat adalah
polisakarida alami yang menyusun jaringan ikat. Fungsi utama molekul ini adalah
untuk menstabilkan struktur interseluler dan membentuk matriks fluida untuk
tempat pengikatan kolagen dan serat elastik. Kitosan merupakan suatu
polisakarida yang berasal dari hewan crustacea seperti udang ataupun kepiting.
Kitosan memiliki khasiat anti-adhesi mengurangi pembentukan parut dengan
menghambat proliferasi fibroblast.(9)
Asam hyaluronat memiliki bentuk hidrogel yang dipakai sebagai
pencegahan adhesi karena dapat menutupi daerah luka dengan mengubah bentuk
gel menjadi barrier fisik dan mencegah kontak langsung dengan jaringan sekitar
dalam jangka waktu tertentu. Asam hyaluronat sering dipakai sebagai pencegahan
adhesi karena memiliki sifat non-toxic dan dapat meningkatkan proliferasi sel
mesotelial di peritoneal. Penggunaan chitosan dalam hal ini berfungsi
mempercepat penyembuhan luka dan merangsang migrasi dan proliferasi sel. (9)
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Retno Witantri dkk. membuktikan
penggunaan asam hyaluronat kitosan dengan perbandingan 30:20 mg/ml dan
30:30 mg/ml sangat efektif sebagai hidrogel untuk pencegahan adhesi.(9) Lebih
lanjut Yolanda membuktikan efek asam hyaluronat kitosan efektif sebagai
(10)
kandidat material yang dapat mencegah terjadinya adhesi pasca laparotomi,
namun sampai saat ini penelitian penggunaan asam hyaluronat kitosan setelah
irigasi dengan normal salin(NaCl 0,9%) pasca laparotomi terutama dalam
mencegah adhesi intraperitoneal secara in vivo belum pernah dilaporkan.
Berdasarkan latar belakang diatas maka peneliti tertarik untuk melakukan
suatu penelitian yang mengkaji tentang pengaruh penggunaan asam hyaluronat
kitosan setelah irigasi dengan larutan normal salin (NaCl 0,9%) untuk
pencegahan adhesi intraperitoneal pasca laparotomi melalui penilaian secara
3
makroskopik (derajat adhesi) dan mikroskopik (fibrin, kolagen dan sel inflamasi)
menggunakan hewan model tikus putih (Rattus norvegicus).
4
3. Mengetahui pengaruh penggunaan asam hyaluronat kitosan setelah irigasi
normal salin (NaCl 0,9%) terhadap gambaran susunan kolagen pada adhesi
intraperitoneum pasca laparotomi tikus putih (Rattus norvegicus)
4. Mengetahui pengaruh penggunaan asam hyaluronat kitosan setelah irigasi
normal salin (NaCl 0,9%) terhadap gambaran sel inflamasi pada adhesi
intraperitoneum pasca laparotomi tikus putih (Rattus norvegicus)
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
6
Dalam adhesi pasca bedah, ada tiga proses yang membedakannya: adhesion
formation (terjadi adhesi di tempat operasi); de novo adhesion formation (terjadi
adhesi bukan di tempat operasi); dan adhesion reformation (terjadi adhesi setelah
adhesi yang terbentuk sebelumnya mengalami lisis).(4)
Diamond MP et al membedakan pembentukan adhesi pasca bedah menjadi
tipe 1 dan tipe 2, terdiri dari :(14)
1. Tipe 1 atau pembentukan adhesi de novo jika terjadi adhesi di tempat yang
sebelumnya tidak mengalami. Dibedakan menjadi:
- Tipe 1A : tidak ada prosedur operasi sebelumnya di tempat adhesi
- Tipe 1B : sebelumnya ada prosedur operasi di tempat adhesi.
2. Tipe 2 terkait dengan terjadinya reformasi adhesi, yang dibedakan menjadi
2 subtipe:
- Tipe 2A : tidak ada prosedur operasi sebelumnya di tempat adhesi
selain adhesioloisis
- Tipe 2B : ada prosedur operasi di tempat adhesi selain adhesiolisis.
Tergantung dari lokasi dan strukturnya, adhesi bisa tidak memberikan gejala
sama sekali, atau menyebabkan komplikasi patologis serius seperti nyeri kronis di
abdomen maupun pelvis dan infertilitas pada wanita.(14)
7
2.1.2 Etiologi dan Patogenesis Adhesi Intraperitoneum Pasca Bedah Abdomen
Sampai saat ini patofisiologi pasti adhesi peritoneum masih sulit dijelaskan.
Meskipun banyak penelitian klinis dan eksperimental yang menjelaskan
patofisiologi adhesi peritoneum adalah proses regenerasi peritoneum menjadi
normal, adanya pembentukan adhesi peritoneum postoperatif dapat dianggap
sebagai bagian dari kondisi patologis penyembuhan setelah cedera peritoneum,
terutama karena operasi abdomen.(15) Terjadinya adhesi pasca operasi
berhubungan erat dengan beberapa faktor predisposisi. Faktor predisposisi
pertama adalah jenis organ yang dioperasi, setelah operasi rahim dan usus kecil,
kejadian pembentukan adhesi sekitar 60-100%, sedangkan setelah operasi pada
ovarium tuba falopi dan kolon, pembentukan adhesi masing-masing sekitar 25%
dan 15%. Penjelasan untuk perbedaan ini dikaitkan dengan jumlah integrin yang
berbeda yang ada pada jaringan serosa organ intraperitoneum dan peritoneum.
Integrin adalah molekul Ca2+ dependen yang memfasilitasi adhesi secara esensial,
namun tidak secara eksklusif memicu matriks ekstraselular.(4)(16)
Kapanpun ada komplikasi pembedahan (dehiscence, abses), kemungkinan
terjadinya pembentukan adhesi akan sangat tinggi. Jika terjadi peritonitis, reaksi
fibrin yang dihasilkan akan menimbulkan risiko pembentukan adhesi yang sangat
tinggi.(4)(5) Penggunaan selang drainase pasca operasi yang merupakan benda
asing dapat memicu respons inflamasi, oleh karena itu penggunaannya harus
dibatasi pada saat dibutuhkan. Sebisa mungkin, penggunaan saluran drainase
hanya untuk waktu yang singkat (tidak lebih dari 48 jam) dan harus fleksibel dan
berbahan silikon. Hal ini mungkin menjadi penyebab paling sering pembentukan
adhesi.(1)(18)
8
Gambar 2.2 Proses Adhesi Pasca Bedah.
9
Normalnya, penyembuhan peritoneum dimulai dengan permukaan
peritoneum yang disusun dari sel mesothelial yang tergantung pada jaringan
penunjang (helaian putih). Mikrosirkulasi yang kaya ditunjukkan oleh warna
merah. Bercak berserakan dalam jaringan penghubung adalah sel punca
mesothelial (hijau), yang mungkin merupakan progenitor dari sel mesothelial
matang. Setelah terjadi cedera pada peritoneum, terjadi deskuamasi pada sel
mesothelial yang terluka, meninggalkan area yang gundul. Batas dari tempat yang
rusak ini mengandung sel-sel yang hampir mati. Proses re-epitelisasi ini dipicu
oleh messenger kemotaktik yang muncul dari proses koagulasi.(4)Penyembuhan
peritoneum terjadi secara primer dengan cara reepitelisasi pada sisi yang rusak.
Sel-sel mesothelial baru tertarik menuju sisi luka oleh messeger kemotaktik yang
dilepaskan oleh platelet, bekuan darah, atau lekosit dalam jaringan yang terluka.
Hal ini berbeda dengan penyembuhan kulit. Di bawah pengaruh aktifitas
fibrinolitik yang normal, proliferasi sel-sel mesotelial menghasilkan epitelisasi di
sisi yang terluka. Permukaan peritoneum yang terluka mengalami re-epitelisasi
dalam 5-7 hari. Di bawah permukaan kulit, proses remodeling dari kolagen dan
jaringan peghubung masih tetap berlangsung dalam beberapa bulan.(4)(19)
10
Sebagai respon dari cedera, sel-sel pada peritoneum seperti makrofag dan
sel mesothel mengeluarkan mediator seluler. Sel-sel yang pertama kali muncul
pada peritoneum yang cedera terutama neutrofil polimorfo nuklear yang bertahan
1-2 hari. Kemudian diikuti dengan masuknya monosit yang nantinya akan
berdiferensiasi menjadi makrofag dan menempel pada permukaan luka. Pada hari
ke 3, sel mesothelial akan mulai menutupi makrofag peritoneal pada permukaan
luka, sehingga makrofag-makrofag ini akan semakin tertanam dalam luka.(1)(4)(18)
Pada hari ke 4 sampai ke 7, sel yang predominan pada permukaan
peritoneum adalah sel mesothel. Sedangkan pada cairan peritoneal, sejak hari ke
5, sel yang terbanyak adalah makrofag. Sel-sel mesothel ini kemudian akan
berproliferasi sepanjang dasar luka dan membentuk pulau-pulau sel.
Penggabungan sel-sel ini memungkinkan luka yang lebih lebar untuk sembuh
dengan waktu yang sama dengan luka yang lebih kecil.(4)(18)
Segera setelah peritoneum mengalami cedera, pada lapisan sel mesothel
akan mengakibatkan perdarahan dan peningkatan permeabilitas vaskuler disertai
keluarnya cairan dari permukaan luka, dan secara simultan terjadi pelepasan
berbagai sitokin dan mediator awal inflamasi oleh sel-sel mesothelium peritoneum
maupun endotel pembuluh darah yang terluka. Sitokin yang diproduksi adalah
sitokin-sitokin pro dan antiinflamasi, antara lain: IL-1, IL-6, IL-10, TNF-α, dan
IFN-γ. Akibat produksi sitokin-sitokin tersebut, maka selanjutnya akan
menstimulasi proses aktivitas sistem kaskade koagulasi darah dan menekan
aktivitas PA.(19)(20)
Bersamaan dengan produksi mediator-mediator tersebut, dirangsang pula
aktivasi sistem kinin, komplemen, jalur asam arakhidonat (termasuk
prostaglandin), pembentukan thrombin, dan konversi fibrinogen menjadi fibrin.
Sitokin-sitokin proinflamasi akan menurunkan ekspresi plasminogen aktivator
peritoneal dan sebaliknya meningkatkan ekspresi inihibitornya yaitu PAI-1, PAI-
2, PAI-3, Protease, Nexin. Hasil dari aktivitas ini melalui sistem kaskade
koagulasi akan menghasilkan fibrin pada rongga peritoneal. Adanya fibrin
tersebut akan merangsang pembentukan adhesi melalui peningkatan aktivitas
fibroblast yang distimulasi oleh growth factor yaitu PDGF (Platelet Derived
Growth Factor) dan TGF-β. Fibroblast dan juga sel-sel mesothel akan
11
mendeposisi serabut kolagen sehingga terbentuk fibrinous adhesion. Oleh karena
itu proses ini merupakan fase awal dari proses bioseluler penyembuhan pada
peritoneum.(1)(4)(18)
Proses histiogenesis adalah hasil dari tahapan atau fase-fase penyembuhan
peritoneum setelah integrasi jaringan peritoneum dapat dipulihkan. Pada
penyembuhan peritoneum terdapat hal khusus yang membedakannya dengan
proses penyembuhan pada kulit, yaitu apabila proses inflamasi dan trauma.
Pengaturan keseimbangan pada kedua proses tersebut dilakukan oleh peranan
sitokin. Setelah sitokin-sitokin proinflamasi bekerja dan etiologi penyebab
inflamasi dapat diatasi, maka sitokin-sitokin tersebut akan menurun
konsentrasinya di dalam peritoneum, karena tidak diproduksi kembali oleh sel-sel
yang terlibat dalam inflamasi. Selanjutnya yang berperanan adalah sitokin-sitokin
yang memiliki fungsi sebagai anti inflamasi.(20)(21)
12
dihambat aktivitasnya. Hasil akhir proses tersebut adalah proses fibrinolisis,
sehingga fibrinous adhesion diuraikan kembali dan tidak terbentuk adhesi
permanen. Faktor–faktor yang mengakibatkan pengurangan aktivitas fibrinolitik
termasuk diantaranya iskemia jaringan, devaskularisasi, nekrosis, graft atau
penjahitan pada defek peritoneum. Darah di intraperitoneum serta pengeringan
serosa juga akan berpengaruh.(4)(7)
Iskemia jaringan adalah penentu dalam pembentukan adhesi
intraperitoneum. Respon jaringan terhadap cedera menentukan berat atau
ringannya adhesi yang terbentuk. Aktivitas aktivator plasminogen sebagai respon
terhadap cedera menentukan apakah fibrinous adhesion dapat diresorbsi atau
persisten. Adanya gangguan pada aktivitas fibrinolisis ini telah diketahui sebagai
penyebab terjadinya adhesi intraperitoneal dimana peranan Plasminogen Activator
Activity (PAA) dalam proses lisisnya adhesi yang efeknya secara berlawanan
dapat dihambat oleh Plasminogen Activator Inhibitor (PAI). Pengaruh sitokin
proinflamasi pada penekanan aktivitas PA yang dipengaruhi oleh meningkatnya
aktivitas PAI juga dibuktikan oleh hasil pemeriksaan aktivitas keduanya pada
cairan peritoneum para penderita setelah operasi laparotomi.(1)(4)(19)
Selama perbaikan normal, fibrin akan terdegradasi oleh protein plasma
fibrinolitik, yang berasal dari plasminogen tidak aktif melalui aksi dua aktivator
plasminogen (PA): aktivator plasminogen tipe jaringan (tPA) dan aktivator
plasminogen tipe urokinase (uPA). Aktivitas fibrinolitik dalam cairan peritoneum
berkurang setelah operasi abdomen karena penurunan awal pada tingkat tPA dan
kemudian meningkat dalam inhibitor aktivator plasminogen-1 (PAI-1), yang
diinduksi oleh berbagai sitokin, termasuk TNF-α, IL-1, dan interleukin-6 (IL-6).
Ada dua strategi utama untuk pencegahan atau pengurangan adhesi. Pertama,
trauma bedah diminimalkan dengan penanganan jaringan secara hati-hati. Kedua
adanya membran barrier, yang memisahkan dan menciptakan penghalang antara
permukaan mesothelial yang rusak, memungkinkan penyembuhan yang bebas
adhesi. Ada banyak penelitian yang meneliti molekul yang berbeda dengan
harapan dapat mencegah pembentukan adhesi, tetapi sebagian besar
keberhasilannya terbatas pada model hewan, dan hasil klinis yang signifikan pada
manusia belum dicapai.(22)
13
Adhesi terbentuk ketika permukaan peritoneum rusak karena operasi, cedera
termal atau iskemik, peradangan, atau reaksi benda asing. Cedera mengganggu
lapisan pelindung sel mesothelial yang melapisi rongga peritoneum dan jaringan
ikat yang mendasarinya. Cedera tersebut memunculkan respons inflamasi yang
terdiri dari hiperemia, eksudasi cairan, pelepasan dan aktivasi sel darah putih dan
trombosit dalam rongga peritoneum, aktivasi sitokin inflamasi, dan onset
koagulasi serta kaskade komplemen. Deposisi fibrin terjadi antara kerusakan
jaringan yang berlawanan dengan permukaan serosa yang rusak. Adhesi film ini
sering bersifat sementara dan terdegradasi oleh protease dari sistem fibrinolitik,
dengan pemulihan permukaan peritoneum yang normal. Jika aktivitas fibrinolitik
tidak cukup, adhesi fibrosa permanen akan terbentuk oleh deposisi kolagen dalam
1 minggu setelah cedera.(22)
14
dengan kurangnya tes diagnostik sensitifitas, pasien seringkali tidak terdiagnosis.
Selain itu evaluasi adhesi di lokasi nyeri perut terkait dapat tidak berkorelasi
dengan daerah anatomis yang terlibat adhesi.(2)(18) Beberapa gejala yang mungkin
muncul terkait dengan adhesi intraabdomen yaitu berupa riwayat bedah abdomen
sebelumya, inflamasi kronis, kram perut dan borborygmic, buang air besar yang
terganggu, mual dengan atau tanpa keluhan cepat kenyang, obstruksi usus yang
mungkin bersifat sementara baik parsial atau total, infertilitas wanita dan
dyspareunia, pendarahan rektal dan dyschezia (yaitu buang air besar yang
menyakitkan) selama menstruasi yang biasanya mengindikasikan keterlibatan
kolorektal endometriosis. Selain itu, banyak pasien terutama jika gejalanya tidak
dapat diprediksi, tidak terdiagnosis dan atau tanpa pengobatan yang efektif, dapat
menyebabkan gangguan penyesuaian dan demoralisasi yang mungkin secara
keliru mengarah pada gangguan usus fungsional seperti irritable bowel sindrom.(2)
15
adhesi. Bisa tampak gambaran serat atau vaskularisasi yang mungkin
menunjukkan peningkatan pada gambaran CT atau MRI dengan kontras. Fitur
lokal seperti "triangulasi" harus digunakan untuk memastikan adanya perlekatan
tipis.Pada pasien asites, letak cairan merupakan indikator penting adanya adhesi
intraperitoneal.(23)
Gambar 2.6 CT aksial dan coronal menunjukkan penebalan fokal dan retraksi
dinding usus dengan gambar laparoskopi yang sesuai (panah), yang menunjukkan
adhesi enteroparietal lateral.(23)
16
Gambar 2.8 CT Coronal (panel kiri) menunjukkan enhansmen peperitoneal yang
meningkatkan (panah panjang) yang menyebabkan kompresi fokal di atas usus
kecil dengan obstruksi proksimal ringan. Pasien lain (panel kanan) menunjukkan
adanya adhesi (panah pendek) di antara usus kecil.(23)
17
adhesi pada model hewan. Pada penelitian hewan, terjadi degenerasi lemak dan
transformasi fibrotik pada subyek anestrogenik. Pada primata yang diobati dengan
agonis G-rh menunjukkan jumlah adhesi yang lebih sedikit dibandingkan dengan
yang tidak diobati. Estrogen bekerja dengan mempromosikan pembentukan adhesi
meskipun tidak diketahui bagaimana kondisi ipoestrogenik dapat menyebabkan
terbentuknya sejumlah kecil adhesi pada manusia.(4)(15)
2.4.2 Antikoagulan
Campuran kristaloid isotonik yang mengandung heparin sulfat mengurangi
pembentukan adhesi intraabdomen yang mungkin dengan menghambat koagulasi
fibrin. Namun penggunaan heparin telah dilaporkan terkait dengan pendarahan
dan penyembuhan luka yang tertunda. Irigasi dengan heparin rendah (2.500 /
5.000 U / l) tidak menunjukkan manfaat dalam mengurangi adhesi.(4)(16)
2.4.3 Fibrinolitik
Agen fibrinolitik dapat menyebabkan komplikasi perdarahan, namun bentuk
rekombinan t-PA bila dioleskan secara topikal, mengurangi adhesi pada model
hewan tanpa peningkatan komplikasi. Pendekatan tersebut cukup menjanjikan
dalam pencegahan perlengketan pascaoperasi. Efektivitas rt-PA yang diperoleh
dengan teknik DNA rekombinan, telah dipelajari dalam pencegahan adhesi primer
dan kekambuhan.(4)(18) Diperkirakan bahwa penurunan PAA dapat menjadi faktor
patogen yang mungkin terjadi dalam pengembangan adhesi. Pada model
eksperimen ini, aktivitas fibrinolitik berkurang dengan adanya trauma termal atau
mekanis, iskemia, dan faktor inflamasi yang diketahui menyebabkan
pembentukan adhesi.Tujuan penelitian yang ada saat ini adalah untuk menetapkan
tingkat keamanan dan efektivitas yang menyertai penggunaan rt-PA pada
manusia. Bukti keseluruhan dari uji klinis dan penelitian pada hewan
menunjukkan bahwa semua pendekatan ini memiliki keberhasilan minimal,
dibatasi oleh keamanan dan kemanjuran yang buruk, tanpa mengurangi adhesi
pascaoperasi secara lengkap.(4)(16)
18
7 hari selama epitelisasi peritoneal.Barrier tersebut mampu mencegah kontak
antara permukaan serosa yang rusak selama beberapa hari kritis awal. Barrier
yang ideal harus dapat terurai secara aman, tidak menyebabkan inflamasi, tidak
bersifat imunogenik, bertahan selama fase re-mesothelialisasi, tetap di tempat
tanpa jahitan atau bahan pokok, tetap aktif dengan adanya darah, dan dengan
cepat dan mudah ditempatkan.(1) Cairan seperti dekstran, asam hyaluronat, asam
hyaluronat cross-linked dan icodextrin telah digunakan untuk mencegah adhesi.
Bahan tersebut dapat memisahkan permukaan yang terluka dengan
"hydroflotation". Barrier cairan ini memiliki keuntungan dengan waktu tinggal
lebih lama di rongga perut, seperti asam hyaluronat , asam hyaluronat cross-
linked dan icodextrin telah menunjukkan hasil yang menjanjikan dalam penelitian
eksperimental dan klinis.(19)
Dalam laporan oleh Wallwiener dkk menjelaskan adanya barrier lain seperti
formula hidrolotasi dan hyalobarier gel untuk mencegah adhesi. Dalam
penelitiannya dijelaskan bahwa barrier padat dan cair signifikan dapat mencegah
adhesi. Formula hidroflotasi, seperti Adept dan Hyalobarrier Gel, menghindari
adhesi, mudah digunakan, dan efek perlindungannya merata. Bahan tersebut
cocok untuk pencegahan adhesi setelah trauma multifokal pada tikus, namun
memerlukan pengujian lebih lanjut dalam situasi klinis sehari-hari.(24)
19
Penelitian lain menunjukkan penggunaan normal saline menghasilkan
penurunan kapasitas fibrinolitik dan menunjukkan efek yang tidak
menguntungkan akibat pengaruh pada struktur sel mesothelial di metabolisme
peritoneal, ditemukan juga bahwa normal salin menyebabkan disfungsi sel
mesothelial yang dapat mempercepat pembentukan adhesi intraperitoneum.(21)
Efek penggunaan normal saline juga dijelaskan melalui bukti klinis yang jelas
untuk bioincompatibility normal saline, dimana dalam beberapa penelitian
eksperimental menyatakan bahwa larutan NaCl 0,9% dapat memulai fibrosis
peritoneum.(15)(24)
Tabel 2.1 Pengaruh Normal Salin dan Cairan Air Steril Signifikan terhadap
Derajat Adhesi Intraperitoneum.(15)
Perlakuan
Derajad p-value (Man
Steril Normal Total Sign
Adhesi Whitney)
Water Salin
Derajat 1 7 2 9
Derajat 2 5 5 10 0,047 S
Derajat 3 4 9 13
Total 16 16 32
20
glucuronate dan N-acetyl-D-glucosamine. Asam hyaluronat adalah polisakarida
glikosaminoglikan linier yang terdiri dari N-asetil-D-glukosamin dan asam D-
glukuronat. Asam hyaluronat adalah komponen utama dari matriks ekstraseluler
(ECM), termasuk kulit, tulang rawan, dan jaringan ikat. Karena biokompatibilitas
yang baik dan biodegradabilitas, Asam hyaluronat memiliki aplikasi penting
dalam bidang pemberian obat, teknik jaringan, penyembuhan luka, dan
suplementasi visco. Selain itu, banyak biomaterial yang berasal dari asam
hyaluronat telah dievaluasi in vitro dan in vivo sebagai perangkat biomedis
potensial. Karena sifatnya yang sangat baik, asam hyaluronat juga telah digunakan
untuk pencegahan adhesi dan dikomersialkan.(25)
Pada PH fisiologik asam hyaluronat menjadi terhidratasikan akibat adanya
gugus fungsi karbohidrat anionik. Hal ini menghasilkan suatu gel atau cairan
kental tergantung pada ukuran model. Asam hyaluronat dalam jaringan biasanya
bertahan dengan bahan protein.(25)Asam hyaluronat mempunyai fungsi utama
untuk menstabilkan struktur interseluler dan membentuk matriks fluida untuk
tempat pengikatan kolagen dan serat elastik. Asam hyaluronat memiliki bentuk
hydrogel yang dipakai sebagai pencegahan adhesi karena dapat menutupi daerah
luka dengan mengubah bentuk gel menjadi barrier fisik dan mencegah kontak
langsung dengan jaringan sekitar dalam jangka waktu tertentu. Kitosan adalah
polisakarida alami yang banyak ditemukan di jenis hewan laut dan terestrial
invertebrata. Kitosan biasanya dapat diperoleh dari cangkang kepiting atau udang
oleh deasetilasi basa kitin zat initerkandung di dalam cangkang atau kulitnya.(9) Di
bidang aplikasi medis, kitosan telah diamati guna mempercepat luka
penyembuhan dan pembekuan darah. Implan berbasis kitosan juga
membangkitkan reaksi minimal terhadap benda asing dalam respon jaringan,
mengungkapkan bahwa biokompatibilitas kitosan yang baik. Selain itu, dalam
aplikasi medis dan farmasi, kitosan berpartisipasi sebagai komponen aman dan
berkhasiat sebagai penghalang anti-adhesi. (26)
2.6.2 Peran asam hyaluronat kitosan dalam menghambat adhesi
Asam hialuronat kitosan dapat mencegah adhesi melalui menutupi
permukaan luka dengan geometri kompleks, berubah bentuk menjadi gel untuk
membentuk penghalang fisik, dan mencegah langsung kontak dengan permukaan
21
lain dalam jangka waktu tertentu. Hal ini juga berfungsi dalam meminimalisir
terjadinya aposisi jaringan selama periode krisis pembentukan fibrin dan
regenerasi mesothelial setelah operasi, sehingga memberikan efek barrier dalam
pembentukan adhesi.(9)
Hidrogel yang terbuat dari asam hialuronat (HA) umumnya digunakan
sebagai penghalang untuk pencegahan adhesi karena sifatnya yang tidak beracun.
Selain itu, HA diketahui meningkatkan proliferasi sel mesotelial peritoneum.
Namun, hidrogel berbasis HA sering menunjukkan mekanisme lemah dengan
perilaku degradasi cepat yang mengurangi efektivitasnya untuk mencegah adhesi.
Penggunaan chitosan ditemukan untuk mempromosikan penyembuhan luka dan
menginduksi migrasi dan proliferasi sel.(9)
Berdasarkan penelitian yang dilakukan Himeda dkk, Semua film gel asam
hyaluronat diuji efektif dalam menghambat pembentukan adhesi dalam model
adhesi caecum tikus. Tidak ada komplikasi yang diamati dan tidak ada hewan
yang mati.Tidak ada film gel asam hyaluronat atau partikel gel asam hyaluronat
yang terdeteksi di dalam rongga tubuh hewan yang dievaluasi 7 hari setelah
operasi. Tidak ada perbedaan morfologis yang terlihat antara adhesi pada
kelompok kontrol dan yang memiliki adhesi yang kuat pada kelompok
perlakuan.(27)
Pada penelitian oleh Arnold dkk, dengan model defek dinding abdomen
pada cecum di tikus digunakan untuk menjelaskan efek anti-adhesi asam
hialuronat dengan berat molekul berbeda. Pada model ini menghasilkan
perlekatan yang signifikan antara kedua permukaan yang terluka jika tidak ada
perawatan yang diberikan, dengan 90% tikus pada kelompok kontrol
mengembangkan adhesi langsung dinding cecum peritoneal. Pengurangan adhesi
yang kecil, tetapi tidak signifikan formasi diamati dengan asam hyaluronat
dengan molekul 1,4 MDa. Namun, hewan diperlakukan dengan asam hyaluronat
dengan berat molekul 1,6 MDa, 2,4 - 3,6 MDa dan 7.2 MDa menunjukkan
pengurangan yang nyata dalam pembentukan adhesi dibandingkan dengan kontrol
kelompok tikus.(28)
Hasil ini jelas menunjukkan bahwa perawatan dengan asam hialuronat
dengan berat molekul tinggi mencegah pembentukan adhesi pasca bedah pada
22
tingkat yang lebih tinggi secara signifikan dibandingkan dengan pengobatan
dengan asam hyaluronat dengan berat molekul lebih rendah. Studi sebelumnya
mengevaluasi efek asam hyluronat dalam model tikus pada pembentukan adhesi
intraperitoneal dan melaporkan hasil variabel mulai dari tidak ada efek positif
hingga pengurangan bekas luka. Dibandingkan dengan komposisi yang diuji
sebelumnya, dalam penelitian ini berat molekul asam hialuronat digunakan
tergolong tinggi, yang diharapkan menghasilkan ketahanan yang lebih lama di
dalam rongga perut dan dapat meningkatkan efek penghalang.(28)
Pada penelian yang dilakukan oleh Retno Witantri, dkk pada model tikus
Sintesis hidrogel asam hialuronat-kitosan dibuat dalam 4 kelompok. Sampel A, B,
C, dan D adalah sampel dengan variasi konsentrasi asam hyaluronat : kitosan
30:0mg/ml, 30:20mg/ml, 30:30mg/ml, dan 30:40mg/ml (w/v weight/volume).
Semakin tinggi konsentrasi kitosan dalam hidrogel, semakin kecil persentase
pembengkakan. Hal ini disebabkan konsentrasi kitosan yang lebih tinggi yang
membuat jarak antar molekul dalam hidrogel menjadi lebih dekat. Akibatnya, sulit
bagi air untuk berdifusi ke dalam material, menyebabkan kemampuan penyebaran
yang kecil.(9) Semakin tinggi konsentrasi kitosan, semakin rendah tingkat
degradasinya, karena konsentrasi kitosan berkorelasi positif dengan kemungkinan
ikatan silang antara gugus amina kitosan dan gugus aldehid dari asam hyaluronat.
Akibatnya, kepadatan material yang dihasilkan akan semakin besar. Material
dengan kepadatan tinggi memiliki porositas rendah untuk menyusup ke dalam
pori-pori hidrogel dan memperlambat laju degradasi. Hasil dari uji degradasi
menunjukkan bahwa asam hyaluronat-kitosan hidrogel memiliki biodegradabilitas
yang baik, sehingga berpotensi digunakan untuk aplikasi pencegahan adhesi.(9)
Penelitian oleh Ling Li, dkk yang menilai efektivitas pencegahan adhesi
hidrogel NOCC / A-HA (Asam Hyaluronat) dievaluasi menggunakan model tikus
dari abrasi defek dinding caecum. Dua puluh empat tikus dibagi secara acak
menjadi tiga kelompok (delapan tikus per kelompok). Tikus dibius dengan chloral
hydrate (10%, 3 mL / kg melalui injeksi intraperitoneal). Perut kemudian dicukur
dan disiapkan dengan alkohol dan larutan yodium. Setelah itu, sayatan garis
tengah sepanjang 4 cm dibuat di sepanjang linea alba di dinding perut, dan
peritoneum dibuka. 2x2 cm defek di cecum dengan darah yang keluar dibersihkan
23
dengan kasa bedah.(25)Pada kelompok hidrogel NOCC / A-HA, larutan prekursor
gel (0,5 mL NOCC (20 mg / mL) dan 0,5 mL A-HA (30 mg / mL) w / v)
ditempatkan dalam tempat steril terpisah pada spuit 10 mL yang terhubung ke
aplikator katup ganda Baxter, diekstrusi bersama melalui jarum 15-gauge dan
diendapkan secara bebas ke permukaan cecum yang mengalami defek. (25)
Pada penelitian ini ditemukan bahwa defek cecum dan dinding perut yang
dirawat oleh hidrogel cross-link NOCC / A-HA telah sepenuhnya pulih 14 hari
setelah operasi. Hidrogel NOCC / A-HA sangat efektif dalam mengurangi
pembentukan adhesi pasca operasi intraperitoneal. Oleh karena itu, kemungkinan
mekanisme hidrogel NOCC / A-HA untuk mencegah pembentukan adhesi
mungkin merupakan kombinasi dari fungsi penghalang dan bioaktivitas NOCC
dan A -HA. (25)
Beberapa pendekatan telah dilaporkan untuk menggabungkan kitosan
dengan polimer sintetik / alami. masing-masing dipilih untuk mendapatkan
properti yang diinginkan. Secara umum, mereka meliputi: i) reaksi kimia kitosan
dengan pengikat silang, ii) modifikasi kimia rantai CS untuk mendapatkan
makromonomer (agen pengikat silang), iii) asosiasi hidrofobik, iv) interaksi
elektrostatik, dan v) ikatan hidrogen. Selanjutnya, gugus amina bisa berinteraksi
antara rantai polimer (dengan ikatan hidrogen) untuk menghasilkan hidrogel
kitosan. Keuntungan menggabungkan kitosan dengan polimer lain adalah untuk
mendapatkan bahan hibrida dengan properti baru.(29)
24
2.7 Kerangka Teoritis
Injury peritoneum
Sel inflamasi
Asam Hyaluronat-
Aktifasi tPA kitosan
MMP
Endogen tPA dihambat
dan uPA
Degradasi produk
MMP fibrin dan kolagen Peningkatan
produk fibrin dan
kolagen
25
2.8 Hipotesis
1. Penggunaan asam hyaluronat kitosan setelah irigasi normal salin (NaCl
0,9%) mempengaruhi penurunan derajat adhesi intraperitoneum secara
makroskopik pasca laparotomi tikus putih (Rattus norvegicus).
2. Penggunaan asam hyaluronat kitosan setelah irigasi normal salin (NaCl
0,9%) mempengaruhi gambaran histologis sel fibrin pada adhesi
intraperitoneum pasca laparotomi tikus putih (Rattus norvegicus).
3. Penggunaan asam hyaluronat kitosan setelah irigasi normal salin (NaCl
0,9%) mempengaruhi gambaran histologis susunan kolagen pada adhesi
intraperitoneum pasca laparotomi tikus putih (Rattus norvegicus).
4. Penggunaan asam hyaluronat kitosan setelah irigasi normal salin (NaCl
0,9%) mempengaruhi gambaran histologis sel inflamasi pada adhesi
intraperitoneum pasca laparotomi tikus putih (Rattus norvegicus).
26
BAB III
MATERI DAN METODE PENELITIAN
27
2. Kelompok 2 sebagai perlakuan 1 (P1) tikus putih laparotomi dengan
pemberian irigasi normal salin (NaCl 0,9%) 5,0 ml kemudian dilanjutkan
dengan pemberian asam hyaluronat kitosan dengan perbandingan 30mg :
20mg/ ml,
3. Kelompok 3 sebagai perlakuan 2 (P2) tikus putih laparotomi dengan
pemberian irigasi normal salin (NaCl 0,9%) 5,0 ml kemudian dilanjutkan
dengan pemberian asam hyaluronat kitosan dengan perbandingan 30mg :
30mg / ml.
28
Berdasarkan rumus tersebut, jumlah sampel minimum yang diperoleh
adalah 9 (sembilan) sampel, dengan jumlah kelompok adalah tiga (satu kelompok
kontrol (P0) dan dua kelompok perlakuan pemberian gel asam hyaluronat kitosan
berbagai tingkat dosis (P1 dan P2)). Untuk menghindari drop out sampel
(ketidaklengkapan data), maka dilakukan koreksi dengan rumus sebagai berikut:
n’ = n/1-f
n’ = 9/ 1-0,1
n = 9/0,9
n = 1,00
Keterangan :
n’ = besar sampel setelah dikoreksi
n = besar sampel berdasarkan estimasi sebelumnya
f = prediksi presentasi drop out (nilai f = 0,05-0,1)
29
Intervensi Variabel Independen Variabel Dependen
30
parut dengan menghambat proliferasi fibroblast. Pemberian asam
hyaluronat kitosan dilakukan setelah irigasi dengan normal salin secara
intraperitoneum.
4. Adhesi intraperitoneum adalah suatu keadaan patologis perlengketan
(adhesi) antara omentum, usus dan/atau dinding abdomen. Perlengketan
tersebut dapat berupa ikatan dengan jaringan fibrin tipis, fibrosa tebal
yang berisi pembuluh darah dan jaringan saraf, atau kontak langsung
antara dua permukaan organ. Pada penelitian ini adhesi intraperitoneum
di lihat dengan temuan perlengketan disekitar ileocecal junction dengan
peritoneum atau dengan organ lain setelah dilakukan upaya manipulasi
melalui lesi perdarahan minimal secara steril. Penilaian adanya adhesi
dilakukan secara makroskopik dan mikroskopik.
5. Pencegahan pembentukan adhesi intraperitoneum secara makroskopik
adalah keadaan adhesi pada organ intrabdomen pasca laparotomi yang
dapat diamati langsung. Pada penelitian ini pencegahan pembentukan
adhesi intraperitoneum makroskopik di lakukan berdasarkan derajat
adhesi yang terbentuk dengan klasifikasi berdasarkan kriteria Nair
dkk(18), yang terdiri dari:
Skor 0: Tidak adanya adhesi.
Skor 1: Terdapat 1 perlengketan antara dindingVisera/ Abdomen.
Skor 2: Terdapat 2 perlengketan dinding Visera / Abdomen.
Skor 3: Terdapat >2 perlengketan dindingVisera / Abdomen.
Skor 4: Terdapat perlengketan luas visceral abdomen.
Cara ukur dengan pembedahan, skala ukur numerik.
6. Evaluasi adhesi intraperitoneum secara mikroskopik adalah kondisi
adhesi yang dapat dinilai secara histopatologi. Pada penelitian ini
komponen yang dinilai adalah temuan jaringan fibrin, kolagen dan sel
inflammasi (polimorphoneutrofil) pada lokasi adhesi intra abdomen.
Cara ukur pewarnaan Hemaxtoxilin eosin histologi dan evaluasi
mikroskopik dengan pembesaran 400x oleh dokter ahli histopatologi.
a. Jaringan fibrin adalah jaringan benang protein yang terbentuk setelah
aktivasi fibrinogen dan trombin. Berfungsi sebagai koagulasi dalam
31
menstabilkan perdarahan saat terjadi adhesi, fibrin berperan
membentuk benang kaskade yang akan berubah menjadi jaringan
fibrosis serta menyebabkan perlengketan.
Fibrin pada jaringan adhesi intraperitoneum dinilai dengan kriteria
skor menurut Akinrinmade dkk(16)(20), yaitu:
Skor 0: Tidak tampak akumulasi benang fibrin.
Skor 1: Akumulasi fibrin ringan.
Skor 2: Akumulasi fibrin sedang.
Skor 3: Adhesi lengkap dengan temuan banyak fibrin.
Cara ukur pemeriksaan histopatologi mikroskopik, skala ukur
numerik.
b. Kolagen merupakan protein jaringan ikat berbentuk seperti benang
putih bergelombang dengan susunan serabut fibril dan myofibril.
Pada penelitian ini kolagen di nilai dengan pewarnaan HE dan
pemeriksaan histopatologi.
Susunan kolagen pada jaringan adhesi intraperitoneum dinilai
dengan kriteria skor menurut Calvi dkk(30), yaitu:
Skor 0: Tidak ada susun kolagen.
Skor 1: susunan kolagen minimal.
Skor 2: Susunan kolagen sedang.
Skor 3: Susunan kolagen melimpah/ banyak.
Cara ukur pemeriksaan histopatologi mikroskopik, Skala ukur
numerik.
c. Pembentukan sel inflamasi pada lokasi adhesi intraperitoneum di
nilai berdasarkan jumlah sel inflamasi dengan kriteria skor menurut
Woods dkk(7)(20), yaitu:
Grade 1: Adanya infiltrasi seluler inflamasi dengan sedikit
bukti fibroplasia.
Grade 2: Adanya sel inflamasi kurang dan bukti fibroplasia
awal.
Grade 3: Adanya penurunan sel inflamasi dengan
kehadiran fibroplasia imatur.
32
Grade 4: Adanya fibrosit aktif dan matang. Cara ukur
pemeriksaan histologi dan mikroskop cahaya, skala
ukur numerik.
3.6 Alat
1. Kandang sarana perlakuan tikus termasuk tempat minum dan pakan.
2. Alat bedah minor dan kassa steril.
3. Set pemeriksaan histologi pewarnaan.
4. Mikroskop cahaya.
5. Tabung inhalasi cloroform
6. Peralatan tulis lainnya
3.7 Bahan
1. Minum dan pakan
2. Normal salin (Nacl 0,9%), asam hyaluronat, kitosan, alcohol 70%,
povidone iodine, ketamine dan cloroform
3. Hematoksilin Eosin (HE).
33
3. Dilakukan laparotomi dengan insisi midline abdomen 4cm. eksplorasi
dilakukan untuk menemukan ileocaecal junction. Cecum dan ileum
terminal (1cm dari ICJ) di eksoriasi dan di abrasi menggunakan kasa
untuk memicu bintik perdarahan minimal 1-2 cm.
4. Prosedur yang sama juga dilakukan pada dinding abdomen sisi yang
sama dengan posisi cecum dan ileum terminal seluas 1-2 cm hingga
bintik perdarahan terjadi.
5. Selanjutnya diirigasi dengan larutan normal salin (Na Cl 0,9%)
sebanyak 5,0 ml secara intraperitoneum. Cairan irigasi dibiarkan selama
5 menit lalu di keringkan seadanya dengan kassa steril (P0). Untuk
kelompok perlakuan setelah irigasi dengan NaCl 0,9% dilanjutkan
dengan pemberian asam hyaluronat kitosan dengan perbandingan
30mg:20mg/ml (P1) dan 30mg:30mg/ml (P2) secara intraperitoneal.
6. Kemudian luka insisi laparotomi di jahit primer dengan jahitan simpel
interupted menggunakan silk 5.0 dan ditutup. Tikus dipuasakan 24 jam.
7. Tikus diberikan antibiotik seftriaxon 50mg/kgBB IM (dosis manusia
70kg x 50mg/kgbb = 3500mg) sehingga dosis pemberian pada tikus
berat 200-300 gram adalah 3500mg x 0,018 = 63mg yang diberikan
Intramuskular melalui femur sebagai profilaksis infeksi pasca bedah.
34
Tabel 3.1Nilai Skor Adhesi Makroskopik
Nilai/skor adhesi Hasil temuan
Skor 0 Tidak adanya adhesi
Skor 1 Terdapat 1 perlengketan antara dinding
visera/abdomen
Skor 2 Terdapat 2 perlengketan dinding visceral/abdomen
Skor 3 Terdapat >2 perlengketan dinding visceral/abdomen
atau seluruh usus tanpa massa pada dinding abdomen
Skor 4 Terdapat perlengketan luas visceral abdomen.
35
2. Susunan kolagen pada jaringan adhesi intraperitoneum dinilai
menggunakanmikroskop pembesaran 100x dengan 4 kriteria oleh Calvi
dkk,yaitu :(30)
Tabel 3.3 nilai skor kolagen
Nilai/skor Hasil temuan histologi kolagen
kolagen
Skor 0 Tidak ada susunan kolagen
Skor 1 Susunan kolagen minimal
Skor 2 Susunan kolagen sedang
Skor 3 Susunan kolagen melimpah/ banyak.
36
3.10 Etika Penelitian
Penelitian yang menggunakan hewan coba harus memperhatikan etika
medik dan perlakuan terhadap hewan coba secara layak dan manusiawi (Humane),
selain hal tersebut, kita juga harus menjamin kesejahteraan hewan coba hingga
akhir penelitian.Dalam hal penelitian yang menggunakan hewan coba, kita harus
memperhatikan animal walfare dimana semua hewan yang berinteraksi dengan
manusia yang diintervensi manusia sangat mempengaruhi kelangsungan hidup
hewan.Dalam hal ini adalah hewan liar dalam kurungan (lembaga konservasi,
entertainment, laboratorium), hewan ternak dan hewan potong (ternak
besar/kecil), hewan kerja dan hewan kesayangan.Cara untuk menilai
kesejahteraan hewan dikenal dengan konsep “Lima Kebebasan” (Five of
Freedom) yang dicetuskan oleh Inggris sejak tahun 1992. Lima unsur kebebasan
tersebut adalah bebas dari rasa lapar dan haus, bebas dari rasa tidak nyaman,
Bebas dari rasa sakit, luka dan penyakit, bebas mengekspresikan perilaku normal,
bebas dari rasa stress dan tertekan.(31)
37
3.11 Alur Penelitian
Kelompok P1 Kelompok P2
tikus dilakukan tikus dilakukan
Kelompok P0tikus laporotomi diirigasi laporotomi diirigasi
dilakukan laporotomi dengan 5,0 ml Nacl dengan 5,0 ml Nacl
diirigasi dengan 5,0 0,9% dilanjutkan 0,9% dilanjutkan
ml Nacl 0,9% pemberian asam pemberian asam
intraabdomen dan hyaluronat kitosan hyaluronat kitosan
dibiarkan kering dengan perbandingan dengan perbandingan
30mg:20mg/ml 30mg:30mg/ml
intraperitoneal intraperitoneal
Analisa Data
38
DAFTAR PUSTAKA
39
12. Liakakos T, Thomakos N, Fine PM, Dervenis C, Young RL. Peritoneal
Adhesions: Etiology, Pathophysiology, and Clinical Significance. Dig
Surg 2001; 18:260-73.
40
Wallwiener C. Innovative barriers for peritoneal adhesion prevention:
liquid or solid? A rat uterine horn model. Fertil Steril. 2006;86(4
SUPPL.):1266–76
25. Ling L, Ning W, Xun J, Rui D, Shihong N, et al. Biodegradable and
Injectable in situ cross-linking chitosan-hyaluronat acid based hidrogels
for postoperative adhesion prevention. West China Hospital, Sichuan
University. Elsevier Biomaterials 35(2014) 3903-3917
41