Anda di halaman 1dari 22

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

II.1. ANTIDIURETIC HORMONE (ADH)

Antidiuretic hormone (ADH) dikenal juga dengan sebutan arginin vasopresin (AVP).2
Antidiuretic hormone merupakan suatu oktapeptida yang mempunyai struktur yang sama
dengan oksitosin. Antidiuretic hormone disintesa oleh sel neuron tubuh yaitu intu-supraoptik
dan periventrikuler pada hipothalamus dan berjalan di sepanjang traktus supraoptikhipofiseal
menuju kelenjar pituitari posterior.1
Kelenjar pituitari dikenal juga dengan nama lain hipofisis.5 Kelenjar pitutari
(hipofisis) tersebut memiliki dua komponen, yaitu lobus anterior (adeno hipofisis) dan lobus
posterior (neurohipofisis). Hipothalamus mengontrol masing – masing bagian secara
berbeda.6

McGregor, R. et. al. (2011). Highly Specific Role of Hypocretin (Orexin) Neurons: Differential Activation as a
Function of Diurnal Phase, Operant Reinforcement versus Operant Avoidance and Light Level. The Journal of
Neuroscience, 31(43): 15455-15467.

Gambar 1. Gambar kelenjar pituitari dan hipothalamus7

1
Lobus anterior berkembang dari evaginasi atap Rathke’s pouch, sedangkan lobus
posterior berkembang dari evaginasi dasar diensefalon. Lobus anterior (adeno hipofisis)
merupakan kelenjar endokrin dan lobus posterior merupakan bagian dari otak yang terdiri
dari serabut saraf, pembuluh darah serta sel-sel glia. Kedua bagian tersebut saling
berhubungan satu dengan yang lainnya sehingga menyebabkan adanya saling keterlibatan
antara sistem saraf dengan sistem endokrin.5

Gambar 2. Anatomi Kelenjar Pituitari 8

Neurohipofisis memperoleh suplai darah dari dua arteri hipofisial inferior dan
beberapa cabang dari regio intermedial. Sedangkan adeno hipofisis mendapatkan suplai dari
pembuluh darah portal, bukan berasal dari suplai arteri secara langsung.5

2
Gambar 3. Gambar neurohipofisis 6

Stimulus mayor sekresi ADH ini adalah keadaan hiperosmolalitas dan volume
sirkulasi melalui osmoreseptor dan baroreseptor. Osmoreseptor merupakan sel khusus di
hipothalamus yang sensitif terhadap perubahan osmolalitas cairan ekstraseluler. Baroreseptor
yang berada pada sinus karotid dan atrium kiri, berperan terhadap kontrol non osmolar
pelepasan ADH, sebagai respon terhadap perubahan volume sirkulasi.1
Secara normal ADH disekresikan apabila osmolalitas plasma < 275 mOsm/kg.
Apabila osmolalitas plasma meningkat, ADH disekresikan, sehingga terjadi peningkatan
reabsorpsi air dan peningkatan osmolalitas urin. Apabila terjadi penurunan volume sirkulasi
sekitar 8 – 10%, secara signifikan mengakibatkan peningkatan pelepasan ADH. Antidiuretic
hormone yang dilepaskan dimetabolisme secara cepat pada hepar dan ginjal dengan waktu
paruh sekitar 15 – 20 menit.1

3
II.2. SISTEM NEUROENDOKRIN
Mekanisme kerja kelenjar pituitari berada di bawah kendali dari hipotalamus. Serabut
tidak bermielin dari hipotalamus berjalan dalam tangkai hipofisis dan lobus posterior
hipofisis. Neuron pada hipotalamus menghasilkan zat yang bermigrasi ke dalam akson
hipofisis dan masuk ke dalam aliran darah. Fungsi dari neuron inilah yang disebut sebagai
neurosekresi.5

Sistem saraf bersama sistem endokrin mengkoordinasikan seluruh sistem di dalam


tubuh. Sistem saraf dan sistem endokrin ini merupakan suatu sistem yang saling berhubungan
sehingga dinamakan sistem neuroendokrin. Hormon bekerja atas perintah dari sistem
sarafdan sistem yang mengatur kerjasama antara saraf dan hormon terdapat pada daerah
hipotalamus. Daerah hipotalamus sering disebut daerah kendali saraf endokrin
(neuroendocrine control). Hormon berfungsi dalam mengatur homeostasis, metabolisme,
reproduksi dan tingkah laku.5

II.3. SYNDROME of INAPPROPRIATE ANTIDIURETIC HORMONE SECRETION

II.3.1. Definisi

SIADH merupakan kumpulan gejala akibat gangguan hormon antidiuretik atau yang
lebih dikenal dengan inappropriate ADH syndrome, Schwartz-Bartter syndrome. SIADH
yang didefenisikan sebagai gangguan produksi hormon antidiuretik ini menyebabkan retensi
garam atau hiponatremia.1

SIADH adalah suatu karakteristik atau ciri dan tanda yang disebabkan oleh
ketidakmampuan ginjal mengabsorpsi atau menyerap air dalam bentuk ADH yang berasal
dari hipofisis posterior. SIADH adalah gangguan pada hipofisis posterior yang menyebabkan
peningkatan pengeluaran ADH sebagai respon terhadap peningkatan osmolaritas darah dalam
tingkat yang lebih ringan.1

Syndrome inappropiate antidiuretic hormone secretion biasanya disebabkan


hipersekresi ADH yang tidak sesuai baik itu akibat dari hipothalamus yang tidak normal
maupun produksi ektopik. Penyebab dari SIADH ini dibagi atas 4 kategori besar yaitu
gangguan sistem saraf, neoplasma, penyakit paru, dan drug induced.1

4
Gangguan sistem saraf yang dapat menyebabkan terjadinya SIADH antara lain :
meningitis, ensefalitis, pendarahan subarakhnoid, abses otak, trombosis sinus kavernosus,
atropi serebral ataupun serebellar, multiple sklerosis dan lain sebagainya.1

Syndrome inappropiate antidiuretic hormone secretion dikarakteristikkan dengan


ditemukannya keadaan hiponatremia, peningkatan konsentrasi natirum di urine dengan
volume intravaskular yang normal atau sedikit meningkat.13

Disebut hiponatremia apabila kadar natrium serum < 135 mEq/L. Hiponatremia
sangat sering ditemukan pada pasien – pasien dengan gangguan neurologis dibandingkan
pasien – pasien lainnya. Dilaporkan bahwa keadaan hiponatremia ini ditemukan lebih dari
70% pada kasus meningitis dan sekitar 34% pada kasus pendarahan subaraknoid.2

Hiponatremia yang terjadi akan mengakibatkan hipoosmolalitas yang akhirnya


mengakibatkan edema serebral. Kemudian akan terjadi perbaikan volume otak melalui
mekanisme adaptasi dari sel otak yang dikenal dengan osmoregulasi, dengan mengeluarkan
elektrolit dan organik – organik yang memepengaruhi osmolalitas tersebut. Oleh karena itu
pasien dengan gangguan neurologis lebih rentan terhadap edema serebral dihubungkan
dengan adanya gangguan osmoregulasi pada pasien dengan lesi patologis di otak. Sehingga
serebral edema pada pasien dengan gangguan neurologi ditemukan lebih agresif
dibandingkan dengan pasien tanpa gangguan neurologis. Sehingga dapat disimpulkan bahwa
keadaan hiponatremia yang disertai gangguan neurologis akan meningkatkan resiko iskemia
serebral dan meningkatkan angka kematian.2

Gambar 7. Gambar ADH dalam regulasi keseimbangan cairan2

5
Tabel 1: Penyebab Hiponatremia10

II.3.2. Epidemiologi

Hampir dari dua pertiga pasien dengan SIADH mengalami neoplasma. Keganasan
yang paling sering berhubungan dengan sindrom ini adalah kanker paru, kanker duodenum
dan pankreas, limfoma, timoma, dan mesotelioma. Beberapa zat kemoterapi, seperti sisplatin,
siklofosfamid, vinblastin, dan vinkristin telah menunjukkan adanya pelepasan hormon ADH
yang tidak mencukupi.10

Pasien usia lanjut dengan hiponatremia yang sedang direhabilitasi cenderung


memiliki gejala SIADH. Hal ini terbukti pada studi di kelompok usia lanjut dengan
hiponatremi idiopatik kronik yang mendasari hubungan antara SIADH dan usia.
Hiponatremia sendiri sering dengan korelasi medis yang kurang signifikan. Walau
bagaimanapun resiko kejadian SIADH meningkat bila pasien menderita hiponatremia.10

Insiden SIADH terjadi pada satu per tiga anak yang rawat inap dengan pneunomia,
yang berkorelasi dengan perburukan penyakit dan kesembuhannya. Mungkin restriksi cairan
pada pasien ini sangat diperlukan untuk meningkatkan kesembuhannya.10

6
II.3.3. Etiologi

SIADH sering terjadi pada pasien gagal jantung atau pasien dengan gangguan
hipotalamus (bagian dari otak yang berkoordinasi langsung dengan kelenjar hipofisa dalam
memproduksi hormon). Pada kasus lainnya, misal: beberapa keganasan (di tempat lain dari
tubuh) bisa merangsang produksi hormon anti diuretik, terutama keganasan di paru dan
kasus-kasus lainnya seperti dibawah ini:10

1. Kelebihan vasopressin
2. Peningkatan tekanan intrakranial baik pada proses infeksi, tumor, maupun trauma
pada otak
3. Obat yang dapat merangsang atau melepaskan vasopressin, seperti: vincristin,
cisplatin, dan ocytocin
4. Penyakit endokrin seperti insufislensi adrenal dan insufisiensi pituitary anterior
5. Tumor pituitary terutama karsinoma bronkogenik / karsinoma pankreatik yang dapat
mensekresi ADH secara ektopik
6. Cedera kepala
7. Pembedahan (dapat memunculkan SIADH sesaat)
8. Obat- obatan, seperti:
a. Chlorpropamid (obat yang menurunkan gula darah)
b. Carbamazepine (obat anti kejang)
c. Tricilyc antidepresan
d. Vasopressin dan oxytocin (hormon antidiuretik buatan)

Faktor Pencetus :10

 Trauma Kepala
 Meningitis
 Ensefalitis
 Neoplasma
 Cedera Serebrovaskuler
 Pembedahan
 Penyakit Endokrin

7
Tabel 2: Penyebab SIADH10

II.3.4. Klasifikasi

SIADH terjadi saat sekresi AVP tidak ditekan saat konsentrasi natrium plasma jatuh
dibawah ambang osmotik untuk sekresi AVP fisiologis. Namun, Zerbe et al. mampu
memanfaatkan pengukuran plasma AVP dengan RIA awal untuk menggambarkan empat
jenis SIADH yang dikategorikankan oleh pola sekresi AVP di berbagai osmolalities
plasma:10

1. Tipe A, adalah bentuk paling umum dari SIADH. Beberapa laporan menunjukkan
bahwa tipe A terjadi pada 40% SIADH, meskipun pada beberapa sumber menunjukkan
bahwa tipe A bertanggung jawab untuk proporsi yang lebih tinggi dari SIADH, yaitu

8
sekitar 60-70%. Ditandai dengan ketika pasien tipe A menunjukkan sekresi AVP yang
berlebihan, acak dengan hilangnya hubungan antara osmolalitas plasma dan plasma
AVP. Tipe A umum dijumpai pada kanker paru-paru. Penelitian in vitro telah
menunjukkan bahwa beberapa tumor paru mensintesis AVP, dan dengan pewarnaan
jaringan yang positif bagi AVPmRNA. Konsentrasi AVP plasma dalam tipe A SIADH
tidak ditekan secara fisiologis dengan minum, hal ini membuat pasien rentan terhadap
terjadinya hiponatremia berat. Studi juga telah menunjukkan ambang osmotik rendah
untuk rasa haus. Jenis ini juga merupakan karakteristik tumor nasofaring, yang juga
menghasilkan pewarnaan positif bagi AVPmRNA.10
2. Tipe B juga merupakan tipe yang umum ( 20-40 % ). Ambang batas osmotik untuk
sekresi AVP diturunkan oleh sebuah 'reset osmostat ' sehingga sekresi AVP terjadi pada
osmolalities plasma yang lebih rendah dari normal. Karena AVP ditekan di bawah
osmolalities plasma yang lebih rendah, ambang reset, overhydration lanjut
menyebabkan penekanan sekresi AVP, yang melindungi terhadap kejadian
hiponatremia berat. Meskipun sebagian besar tumor memanifestasikan satu jenis
SIADH, beberapa tumor juga dapat muncul dengan tipe B SIADH, sehingga pola
sekresi AVP normal tidak bisa digunakan untuk memprediksi penyebab dari SIADH.10
3. Tipe C adalah suatu kondisi langka yang ditandai dengan kegagalan untuk menekan
sekresi AVP pada osmolalities plasma dibawah ambang batas osmotik. Konsentrasi
plasma AVP tidak tinggi pada osmolalities plasma yang rendah, tapi ada hubungan
yang normal antara osmolalitas plasma dan AVP plasma pada osmolalities plasma yang
fisiologis. Varian ini mungkin karena adanya disfungsi penghambatan neuron di
hipotalamus, yang menyebabkan tingkat sekresi rendah dari AVP basal.10
4. Tipe D merupakan tipe SIADH yang langka SIADH dengan tingkat AVP rendah yang
tidak terdeteksi dan tidak ada kelainan yang terdeteksi dalam respon sirkulasi AVP.
Diperkirakan bahwa SIADH nephrogenic (NSIAD) mungkin berperan pada tipe ini.
Peningkatan mutasi pada reseptor V2 mengarah ke SIADH, dengan tingkat AVP tidak
terdeteksi, telah dijelaskan. Mutasi yang diidentifikasikan memiliki substitusi
nukleotida yang berbeda menyebabkan tingkat aktivasi reseptor V2 yang berbeda.
Sindrom ini tampaknya diwariskan secara X-linked. Karena variabel ekspresivitas dari
gen yang terlibat, NSIAD mungkin secara klinis dapat tidak terdeteksi selama bertahun-
tahun, sampai kontribusi faktor lainnya di kemudian hari yang menyebabkan klinis
hiponatremia signifikan.10

9
Gambar 8: Tipe SIADH10

II.3.5. Patofisiologi

Hormon antidiuretik (ADH) bekerja pada sel-sel duktus koligentes ginjal untuk
meningkatkan permeabilitas terhadap air. Ini mengakibatkan peningkatan reabsorbsi air tanpa
disertai reabsorbsi elektrolit. Air yang direabsorbsi ini meningkatkan volume dan
menurunkan osmolaritas cairan ekstraseluler (CES). Pada saat yang sama keadaan ini
menurunkan volume dan meningkatkan konsentrasi urine yang diekskresi.9,10

Pengeluaran berlebih dari ADH menyebabkan retensi air dari tubulus ginjal dan
duktus. Volume cairan ekstra seluler meningkat dengan hiponatremi delusional. Dimana akan
terjadi penurunan konsentrasi air dalam urin sedangkan kandungan natrium dalam urin tetap,
akibatnya urin menjadi pekat.10

10
Dalam keadaan normal, ADH mengatur osmolaritas serum. Bila osmolaritas serum
menurun, mekanisme feedback akan menyebabkan inhibisi ADH. Hal ini akan
mengembalikan dan meningkatkan ekskresi cairan oleh ginjal untuk meningkatkan
osmolaritas serum menjadi normal.10

Terdapat berapa keadaan yang dapat mengganggu regulasi cairan tubuh dan dapat
menyebabkan sekresi ADH yang abnormal. Tiga mekanisme patofisiologi yang bertanggung
jawab pada SIADH, yaitu:10

1. Sekresi ADH yang abnormal dari sistem hipofisis. Mekanisme ini disebabkan oleh
kelainan system saraf pusat, tumor, ensafalitis , sindrom Guillain Barre. Pasien yang
mengalami syok, status asmatikus, nyeri hebat atau stress tingkat tinggi, atau tidak
adanya tekanan positif pernafasan juga akan mengalami SIADH.
2. ADH atau substansi ADH dihasilkan oleh sel-sel diluar sistem supraoptik – hipofisis,
yang disebut sebagai sekresi ektopik ( misalnya pada infeksi).
3. Kerja ADH pada tubulus ginjal bagian distal mengalami peningkatan. Bermacam-
macam obat dapat menstimulasi atau mempotensiasi pelepasan ADH. Obat-obat
tersebut termasuk nikotin, transquilizer, barbiturate, anestesi umum, suplemen kalium,
diuretic tiazid, obat-obat hipoglikemia, asetominofen, isoproterenol, dan empat anti
neoplastik, seperti : sisplatin, siklofosfamid, vinblastine dan vinkristin.

II.3.6. Manifestasi Klinis

Gejala yang sering muncul adalah:9,10

 Hiponatremia
 Mual, muntah, diare
 Takipnea
 Retensi air yang berlebihan
 Letargi
 Penurunan kesadaran
 Osmolalitas urine melebihi osmolalitas plasma, menyebabkan produksi urine yang
kurang terlarut.
 Ekskresi natrium melalui urine yang berkelanjutan
 Penurunan osmolalitas serum dan cairan ekstraselular

11
Menurut Sylvia (2005), tanda dan gejala yang dialami pasien dengan SIADH tergantung
pada derajat lamanya retensi air dan hiponatremia. Perlu dilakukan pemeriksaan tingkat
osmolalitas serum, kadar BUN, kreatinin, natrium, kalium, klorida, dan tes kapasitas
pengisian cairan:9,10

 Na serum >125 mEq/L


o Anoreksia
o Gangguan penyerapan
o Kram otot
 Na serum = 115 – 120 mEq/L
o Sakit kepala, perubahan kepribadian
o Kelemahan dan letargia
o Mual dan muntah
o Kram abdomen
 Na serum < 115 mEq/L
o Kejang dan koma
o Reflek tidak ada atau terbatas
o Tanda babinski
o Papiledema
o Edema di atas sternum

12
II.3.7. Diagnostik

Diagnosis SIADH biasanya berdasarkan anamnesa, pemeriksaan fisik dan


pemeriksaan laboratorium yang sesuai. Kriteria diagnosis untuk SIADH ini dapat dilihat pada
tabel di bawah ini :

Tabel 3. Kriteria diagnostik SIADH 2

13
II.3.8. Penatalaksanaan

Penatalaksaan SIADH tergantung pada manifestasi klinis yang dijumpai,


kadar konsentrasi natrium serum, onset hiponatremia, dan penyakit yang mendasari.10,13

Walaupun pengobatan penyakit yang mendasari penting terhadap managemen


SIADH, tetapi terkadang hal ini sulit dilakukan. 10,13

Restriksi cairan merupakan ‘first-line treatment’ pada hiponatremia ringan yang


asimtomatik (konsentrasi natrium serum > 125 mEq/L), hal ini secara umum terbukti
bermanfaat dengan disertai kombinasi dengan pengobatan terhadap penyakit dasar. Restriksi
dilakukan dari intake cairan sebesar 800 dan 1000 mL/hari. Jika tidak dijumpai respon, cairan
dapat direstriksi dengan tambahan sebesar 500-600 mL/hari, tetapi biasanya compliance
pasien terhadap hal ini sulit dijaga. Untuk meningkatkan compliance, harus dilakukan
penjelasan pada pasien bahwa makanan biasa telah mengandung 700-1000 air. 10,13

Pada hiponatremia ringan yang simtomatik, obat loop diuretics (bukan golongan
thiazides) dapat diberikan sebagai tambahan pada restriksi cairan. Loop diuretics berpengaruh
pada efek ADH di collecting tubule dengan cara menghambat reasorbsi cairan, dan dapat
mengakibatkan keseimbangan cairan yang negatif. Perhatian khusus harus diberikan saat
menggunakan obat-obatan loop diuretics untuk mencegah hilangnya elektrolit. 10,13

Jika infus saline digunakan untuk mengobati hiponatremia pada SIADH, osmolalitas
infus saline secara umum akan mempengaruhi osmolalitas urine pasien. Karena itu, infus
saline isotonik (osmolalitas: 308 mOsm/L) tidak direkomendasikan untuk pasien SIADH
dengan osmolalitas urine 308 mOsm/L, karena malah dapat memperberat keadaan
hiponatremia. Pada kasus seperti ini, ginjal akan mengekskresikan zat pelarut dari saline pada
urine, dimana volume yang tidak diekskresikan merupakan cairan, sehingga akan terjadi
peningkatan cairan yang memperburuk hiponatremia. 10,13

Bagaimanapun juga, sebuah penelitian telah mendemonstrasikan bahwa saline


isotonik terbukti memperbaiki kadar natrium serum pada restriksi cairan pada pasien
SIADH, sepanjang konsentrasi natrium dan kalium urine tidak meningkatkan konsentrasi
natrium saline isotonik (154 mEq/L). 10,13

14
Pasien dengan hiponatremia berat (konsentrasi natrium serum < 125 meq/L) mungkin
memerlukan saline hipertonik sebagai tambahan terapi restriksi cairan. Saline hipertonik
dapat diberikan melalui pump dengan monitoring, dan kadar osmolalitas urine tetap dipantau.

Saline hipertonik dapat diganti dengan saline isotonik, saat osmolalitas urine kurang
dari 300 mOsm/L. Kewaspadaan tetap harus ada saat mengoreksi hiponatremia, karena
koreksi yang terlalu agresif dan terlalu ceat dapat memicu central pontine myelinosis, yaitu
suatu keadaan demyelinating pada neuron pontin dan extrapontine, yang dapat menyebabkan
quadriplegia, pseudobulbar palsy, seizure, koma, atau bahkan kematian. Pasien dengan resiko
tinggi terhadap central pontine myelinosis adalah pasien-pasien dengan hipokalemia atau luka
bakar, pasien dengan pengobatan thiazide, alkoholik, dan pasien usia tua. Untuk menghindari
komplikasi ini, level natrium serum harus dinaikkan dengan kecepatan tidak melebihi 1-2
mEq per jam, dan tidak lebih tinggi dari 8-12 mEq per hari. Saat natrium serum meningkat
diatas 125 mEq/L, resiko seizure dan kematian berkurang dan koreksi per hari harus
diperlambat hingga 5 sampai 6 mEq per hari. 10,13

Pasien dengan SIADH kronik (misalnya: pasien dengan reset osmostat syndrome atau
kanker) dapat diobati dengan diet tinggi natrium yang dikombinasi dengan loop diuretics.

Pada kasus-kasus SIADH karena obat-obatan, resectable tumors, atau penyakit paru,
kadar natrium serum akan mencapai normal setelah penghentian atau pengangkatan penyakit
dasar. 10,13

Pada pasien dengan SIADH berat karena tumor yang tidak dapat dioperasi, atau pada
penyakit kronis lainnya, pemberian demeclocyline 600 sampai 1200 mg per hari dengan dosis
terbagi dapat bermanfaat. Obat ini terbukti dapat mengobati SIADH dengan cara
menghambat respon ginjal terhadap ADH di collecting tubule. Walaupun obat ini mahal,
tetapi terbukti bermanfaat. Obat lain yang dapat digunakan sebagai obat jangka panjang
adalah urea dan diuretik. Lithium harus dihindari karena dapat memicu efek samping
hiponatremia pada sistem saraf pusat. 10,13

Saat ini, vasopressin receptor antagonist, conivaptan terbukti dapat mengobati


dilutional hyponatremia (SIADH). Conivaptan dapat mengakibatkan hilangnya cairan tubuh
tanpa hilangnya elektrolit. Obat ini diberikan secara intravena. Beberapa obat vasopressin
receptor antagonists lainnya juga telah banyak diteliti untuk pengobatan SIADH. 10,13

15
Hiponatremia kronik, ringan-sedang, asimtomatik, yang penyebabnya diketahui tetapi
sulit dihilangkan, dapat diterapi tanpa restriksi cairan ataupun obat-obatan. 10,13

Pasien dengan kadar natrium serum kronik dan stabil diatas 125 mEq/L dan
asimtomatik, mungkin tidak mendapat banyak manfaat dengan pengobatan menggunakan
demeclocycline dan terapi restriksi cairan. 10,13

Penatalaksanaan SIADH terbagi menjadi 3 kategori yaitu:10

1. Pengobatan penyakit yang mendasari, yaitu pengobatan yang ditunjukkan untuk


mengatasi penyakit yang menyebabkan SIADH, misalnya berasal dari tumor ektopik,
maka terapi yang ditunjukkan adalah untuk mengatasi tumor tersebut.

Penyebab dari sistem saraf pusat seperti:

 Infeksi, contoh: meningitis


Secara umum, penatalaksanaan meningitis bakterialis 12:
a. Terapi antibiotika sesuai dengan hasil kultur yang didapatkan.
b. Deksamethason diberikan sebelum atau bersamaan dengan dosis pertama
antibiotika. Dosis yang dianjurkan adalh 0,15 mg/kgBB setiap 6 jam selama 2-
4 hari.
c. Pertimbangkan merawat pasien di ruang isolasi, terutama jika diperkirakan
penyebabnya adalah H. Influenza atau N.meningitidis.
d. Pada kecurigaan infeksi N.meningitidis berikan kemoprofilaksis kepada :
(i) Orang yang tinggal serumah.
(ii) Orang yang makan dan tidur di tempat yang sama dengan pasien.
(iii) Orang yang menggunakan sarana umum bersama dengan pasien dalam
7 hari terakhir.
(iv) Murid sekolah yang sekelas dengan pasien.
(v) Petugas kesehatan yang ada kontak langsung dengan sekret mulut dan
hidung pasien dalam 7 hari terakhir.

Penatalaksanaan meningitis tuberkulosis 12 :

a. Isoniazid (INH) diberikan dengan dosis 10 – 20 mg/kgBB hari (pada anak)


dan dewasa 400 mg/hari.

16
b. Rifampisin diberikan dengan dosis 10 – 20 mg/kgBB hari, pada orang
dewasa dapat diberikan dengan dosis 600 mg.hari dengan dosis tunggal.
c. Etambutol diberikan dengan dosis 25 mg/kgBB/hari – 150 mg/kg BB/hari.
d. PAS atau Para Amino Salicilyc Acid diberikan dengan dosis
200mg/kgBB/hari dibagi dalam 3 dosis dapat diberikan sampai 12
gram/hari
e. Streptomisin diberikan intramuskuler selama lebih kurang 3 bulan.
Dosisnya 30 -50 mg/kgBB/hari.
f. Kortikosteroid biasanya dipergunakan prednison dengan dosis 2 – 3
mg/kgBB/hari dibagi dalam 3 dosis selama 2 – 4 minggu kemudian
diteruskan dengan dosis 1 mg/kgBB/hari selama 1 – 2 minggu. Pemberian
kortikosteroid seluruhnya adalah lebih kurang 3 bulan, apabila digunakan
deksamethason maka diberikan dengan dosis 10 mg setiap 4 – 6 jam
secara intravena. Pemberian kortikosteroid parentral ini untuk mengurangi
eksudat di bagian basal dan mencegah terjadi nya nekrosis atau
perlengketan.
 Trauma Kepala 9,11
Penatalaksanaan peninggian tekanan intrakranial (TIK)
Peninggian TIK terjadi akibat edema serebri, vasodilatasi, hematom intrakranial
atau hidrosefalus. Untuk mengukur turun naiknya TIK sebaiknya dipasang
monitor TIK. TIK yang normal adalah berkisar 0-15 mmHg, diatas 20 mmHg
sudah harus diturunkan dengan urutan sebagai berikut:
a. Hiperventilasi
b. Drainase
c. Terapi diuretik
 Diuretik osmotik (manitol 20%)
Cara pemberiannya :
Bolus 0,5-1 gram/kgBB dalam 20 menit dilanjutkan 0,25-0,5
gram/kgBB, setiap 6 jam selama 24-48 jam. Monitor osmolalitas tidak
melebihi 310 mOSm
 Loop diuretik (Furosemid)
d. Terapi barbiturat (Fenobarbital)

17
Terapi ini diberikan pada kasus-ksus yang tidak responsif terhadap semua
jenis terapi yang tersebut diatas.
Cara pemberiannya: Bolus 10 mg/kgBB/iv selama 0,5 jam dilanjutkan 2-3
mg/kgBB/jam selama 3 jam, lalu pertahankan pada kadar serum 3-4 mg%,
dengan dosis sekitar 1 mg/KgBB/jam. Setelah TIK terkontrol, 20 mmHg
selama 24-48 jam, dosis diturunkan bertahap selama 3 hari.
e. Steroid
f. Posisi Tidur
Penderita cedera kepala berat dimana TIK tinggi posisi tidurnya
ditinggikan bagian kepala sekitar 20-30, dengan kepala dan dada pada satu
bidang, jangan posisi fleksi atau leterofleksi, supaya pembuluh vena
daerah leher tidak terjepit sehingga drainase vena otak menjadi lancar.
Menjaga keseimbangan cairan elektrolit
Terapi nutrisi
Terapi kejang
Terapi operatif
 Tumor Otak 9,11
Tumor pada lobus posterior hipofisis atau neurohipofisis jarang terjadi.
Penatalaksanaannya dapat berupa:
o Operasi
o Radiasi
o Obat-obatan
o Evaluasi

2. Mengurangi retensi cairan yang berlebihan.


Pada kasus ringan retensi cairan dapat dikurangi dengan membatasi masukan cairan.
Pedoman umum penanganan SIADH adalah bahwa sampai konsenntrasi natrium
serum dapat dinormalkan dan gejala-gejala dapat diatasi. Pada kasus yang berat,
pemberian larutan normal cairan hipertonik dan furosemid adalah terapi pilihan.10
3. Semua penatalaksanaan yang diperlukan saat pasien mengalami penurunan tingkat
kesadaran (kejang, koma, dan kematian) seperti pemantauan yang cermat masukan
dan keluaran urine. Kebutuhan nutrisi terpenuhi dan dukungan emosional.10

18
Terapi non-farmakologi:10,13

 Pembatasan cairan (pantau kemungkinan kelebihan cairan)


 Pembatasan sodium

Terapi farmakologi:10,13

 Penggunaan diuretik untuk osmolaritas plasma rendah


 Penggunaan obat demeloculine, untuk menekan vosopresin
 Hiperosmolaritas, menurunkan volume edema
Ketidakseimbangan sistem metabolik, kandungan dari hipertonik saline 3% secara
perlahan-lahan mengatasi hiponatremi dan peningkatan osmolaritas serum dengan
peningkatan overload cairan

Prosedur pembedahan

Pengangkatan jaringan yang mensekresikan ADH, apabila ADH berasal dari produksi
tumor ektopik, maka terapi ditujukan untuk menghilangkan tumor tersebut.

Penyuluhan yang dilakukan bagi penderita SIADH, antara lain : 10,13

 Pentingnya memenuhi batasan cairan untuk periode yang diprogramkan untuk


membantu pasien merencanakan pemasukan cairan yang dianjurkan (menghemat
cairan untuk situasi sosial dan rekreasi).
 Perkaya diet dengan garam Na dan K dengan aman. Jika perlu, gunakan diuretik
secara berkelanjutan.
 Timbang berat badan pasien sebagai indikator dehidrasi.
 Indikator intoksikasi air dan hiponatremia: sakit kepala, mual, muntah, anoreksia,
untuk segera melapor ke dokter.
 Obat-obatan yang meliputi nama obat, tujuan, dosis, jadwal, potensial efek samping.
 Pentingnya penjelasn tindak lanjut medis; tanggal dan waktu.
 Untuk kasus ringan, restriksi cairan cukup dengan mengontrol gejala sampai sindrom
secara spontan lenyap. Apabila penyakit lebih parah, maka diberikan diuretik dan obat
yang menghambat kerja ADH di tubulus. Kadang-kadang digunakan larutan natrium
klorida hipertonik untuk meningkatkan konsentrasi natrium plasma.

19
Gambar 9: Algoritma Penanganan Hiponatremia SIADH10

II.3.9. Komplikasi

Komplikasi yang dapat muncul dapat berupa gejala-gejala neurologis dapat berkisar
dari nyeri kepala hingga penurunan kesadaran (koma) dan juga dapat terjadi intoksikasi
air.10,13

20
II.3.10. Prognosis

Kecepatan dan durasi respon terapi sangat bergantung pada penyebabnya. SIADH
biasanya berkurang dengan regresi tumor, tetapi dapat menetap walaupun tumor primer telah
terkontrol. Gangguan neurologis akibat intoksikasi air biasanya bersifat reversibel dan tidak
memerlukan rehabilitas jangka panjang.10,13

SIADH yang disertai hiponatremia, apalagi dengan derajat yang makin berat dan
ditambah terlambatnya penanganan akan sangat berkontribusi terhadap berat ringannya angka
mortalitas dan morbiditas pasien. 10,13

Angka mortalitas pasien disertai hyponatremia 12.5% lebih tinggi dibandingkan


pasien tanpa hiponatremi. Angka mortalitas bertambah 2 x lipat (25%) bila pasien konsentrasi
serum Na < 120 mmol/L dibanding pasien degan hiponatremia ringan. 10,13

Angka mortalitas pasien dewasa berkisar 5-50% bila terdapat penurunan drastis serum
Na secara akut, tergantung derajatnya. Sementara pasien anak angka mortalitas hanya 8%.
Bayi dalam kandungan akan merespon edema yang terjadi diotak dengan lebih baik, karena
lebih luasnya volum kranium. Hiponatremi paskaoperasi bisa menyebabkan angka mortalitas
dan mormeningkat pada kedua jenis kelamin, karena tidak adekuatnya adaptasi otak dengan
volum luas dan lambatnya berobat. 10,13

21
DAFTAR PUSTAKA

1. Thomas C.P. Syndrome of Inappropriate Antidiuretic Hormone Secretion. Medscape


Reference. 2013
2. Kim D.K., Joo K.W. Hyponatremia in Patients with Neurologic Disorders.
Departement of Internal Medicine, Seoul National University College of Medicine.
Electrolytes Blood Press; 2009. p:51-7.
3. Momi J., Tang C.M., Abcar A.C., Kujubu D.A., Sim J.J. Hyponatrema-What is
Cerebral Salt Wasting. Perm J. Summer 2010; 14(2) : 62-5.
4. Hannon M.J., Thompson C.J. The syndrome of inappropriate antidiuretic hormone :
prevalence, causes and consequences. European Journal of Endocrinology 2010; 162 :
s5-12.
5. Kahle, W., Frotscher, M. Color Atlas of Human Anatomy. 5th edition. New York:
Thieme; 2003.p.102- 39.
6. Baehr M., Frotscher M. Duus’s Topical Diagnosis in Neurology. 4th ed : Thieme
Stuttgart ; 2005 . p. 244 - 52
7. McGregor R. Highly Spesific Role of Hypocretin (Orexin) Neurons : Diffrential
Activation as a Function of Diurnal Phase, Operant Reinforcement versus Opeant
Avoidanceand Light Level. The Journal of Neuroscience, 31(43) : 15455-67.
8. Campbell N.A., Reece J.B., Simon E.J., Mitchell L. Essential Biology 2 nd edition.
2006.
9. Adams R.D., Victor M., Ropper A.H. Principles of Neurology. 7th edition. New York :
McGraw-Hill ; 1997.
10. Ellison D.H, Berl T. The Syndrome of Inappropriate Antidiuresis. N Engl J Med
2007;356:2064-72.
11. Gilroy J. Basic Neurology. 3rd ed : McGraw-Hill ; 2000 .
12. Ganiem A.R., Frida M. Kelompok Studi Neuro Infeksi. Meningitis. Infeksi Pada
Sistem Saraf. Airlangga University Press. 2011 ; 1-20
13. Palmer B.F. Hyponatremia in patients with central nervous system disease : SIADH
versus CSW. Trends in Endrocrinology and Metabolism. Vol.14. 2003.

22

Anda mungkin juga menyukai