Anda di halaman 1dari 31

LAPORAN PENDAHULUAN

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN


DENGAN TETANUS DI RUANG 12 (HCU)
RSUD dr. SAIFUL ANWAR MALANG

oleh
Dhanang Budi Raharjo, S.Kep
NIM 192311101056

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI NERS


FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS JEMBER
2020
LEMBAR PENGESAHAN
Asuhan Keperawatan berikut disusun oleh:
Nama : Dhanang Budi Raharjo
NIM : 192311101056
Judul : Asuhan Keperawatan Pada Pasien dengan Tetanus
di Ruang 12 (HCU) Rumah Sakit dr. Saiful Anwar Malang.
telah diperiksan dan disahkan oleh pembimbing pada:

Hari, Tanggal :
Tempat :
Malang, Januari 2020
TIM PEMBIMBING

Pembimbing Akademik Pembimbing Klinik


Stase Keperawatan Bedah Ruang 12 (HCU)
FKEP Universitas Jember Rumah Sakit dr. Saiful Anwar Malang

NIP. NIP.

Kepala Ruangan
Ruang 12 (HCU)
Rumah Sakit dr Saiful Anwar Malang

NIP.

ii
LAPORAN PENDAHULUAN

A. Anatomi Fisiologi

Sistem saraf adalah serangkaian organ yang kompleks dan bersambungan


sertaterdiri terutama dari jaringan saraf. Dalam mekanisme sistem saraf,
lingkungan internal dan stimulus eksternal dipantau dan diatur. Sel saraf atau
neuron merupakan satuan kerja utama dari sistem saraf yang berfungsi
menghantarkan impuls listrik yang terbentuk akibat adanya suatu stimulus
(rangsang) (RICE, 2013).
Setiap neuron terdiri dari satu badan sel yang di dalamnya
terdapat sitoplasma dan inti sel. Dari badan sel keluar dua macam serabut saraf,
yaitu dendrit dan akson. Dendrit berfungsi mengirimkan impuls ke badan sel
saraf, sedangkan akson berfungsi mengirimkan impuls dari badan sel ke sel saraf
yang lain atau ke jaringan lain. Serabut saraf atau akson membentuk substansi
putih. Perbedaan warna ini terjadi karena akson atau serabut penghantar diselimuti
sejenis sarung yang terbentuk dari bahan seperti lemak, yang mempunyai fungsi
melindungi, memberi makan, dan memisahkan serabut-serabut saraf yang satu
dari yang lainnya (Pearce, 2009). Setiap neuron hanya mempunyai satu akson dan
minimal satu dendrit. Kedua serabut saraf ini berisi plasma sel. Pada bagian luar
akson terdapat lapisan lemak disebut myelin yang dibentuk oleh sel
Schwann yang menempel pada akson. Sel Schwann merupakan sel glia utama
pada sistem saraf perifer yang berfungsi membentuk selubung myelin. Fungsi

3
myelin adalah melindungi akson dan memberi nutrisi. Bagian dari akson yang
tidak terbungkus mielin disebut nodus ranvier, yang dapat mempercepat
penghantaran impuls.
Berdasarkan fungsinya, sel saraf dapat dibagi menjadi 3 kelompok, yaitu sel
saraf sensoris, sel saraf motorik, dan sel saraf intermediet (asosiasi) (RICE, 2013).
1. Sel saraf sensorik
Fungsi sel saraf sensorik merupakan menghantar impuls dari reseptor ke
sistem saraf pusat, yaitu otak (ensefalon) dan sumsum belakang (medula spinalis).
Ujung akson dari saraf sensori berhubungan dengan saraf asosiasi (intermediet).
2. Sel saraf motorik
Fungsi sel saraf motorik yaitu untuk mengirim impuls dari sistem saraf
pusat ke otot atau kelenjar yang hasilnya berupa tanggapan tubuh terhadap
rangsangan. Badan sel saraf motor berada di sistem saraf pusat. Dendritnya sangat
pendek berhubungan dengan akson saraf asosiasi, sedangkan aksonnya dapat
sangat panjang.
3. Sel saraf penghubung
Sel saraf penghubung disebut juga sel saraf asosiasi. Sel ini dapat ditemukan
di dalam sistem saraf pusat dan berfungsi menghubungkan sel saraf motorik
dengan sel saraf sensorik atau berhubungan dengan sel saraf lainnya yang ada di
dalam sistem saraf pusat. Sel saraf penghubung menerima impuls dari reseptor
sensorik atau sel saraf asosiasi lainnya. Kelompok-kelompok serabut saraf, akson
dan dendrit bergabung dalam satu selubung dan membentuk urat saraf. Sedangkan
badan sel saraf berkumpul membentuk ganglion atau simpul saraf.

4
Sistem saraf pusat merupakan organ utama sistem saraf yang terdiri dari
otak dan sumsum tulang belakang. Otak terdiri dari lima bagian utama yaitu otak
besar (cerebrum), thalamus, hypothalamus, batang otak, dan otak kecil
(cerebellum). Sedangkan sumsum tulang belakang merupakan struktur tunggal.
Bagian-bagian otak menurut RICE (2013) terdiri dari
1. Otak besar (Cerebrum)
Cerebrum atau otak besar membentuk sebagian besar massa otak. Bagian yang
keriput adalah korteks serebral, dan sisa struktur berada di bawah lapisan luar
itu. Pemisah antara kedua sisi serebrum disebut fisura longitudinal. Ini
memisahkan otak menjadi dua bagian yang berbeda, belahan otak kanan dan
kiri. Fungsi neurologis pada cerebrum yaitu ingatan, emosi, dan kesadaran.
Serebrum terdiri dari materi abu-abu luar (korteks) dan beberapa nukleus
dalam yang termasuk dalam tiga kelompok fungsional penting. Nukleus ini
berfungsi dalam fungsi kognitif dan pengaturan gerak. Otak basal berfungsi
dalam pembelajaran dan memori. Korteks limbik adalah wilayah korteks
serebral yang merupakan bagian dari sistem limbik, kumpulan struktur yang
terlibat dalam emosi, memori, dan perilaku. Pada otak besar, terdapat beberapa
bagian yang mempunyai tugas yang berbeda terhadap informasi yang diterima.
Bagian-bagian tersebut diantaranya:
a. Lobus Temporal
Lobus Temporal berperan dalam mengolah informasi suara. Lobus
temporal dikaitkan dengan sensasi pendengaran primer, yang dikenal
sebagai daerah Brodmann 41 dan 42 di lobus temporal superior. Lobus
temporal adalah bagian dari sistem limbik dan memori adalah fungsi
penting yang terkait dengan lobus tersebut. Memori pada dasarnya adalah
fungsi sensorik; kenangan adalah sensasi yang teringat dan ingatan tentang
gerakan. Struktur di lobus temporal bertanggung jawab untuk membangun
ingatan jangka panjang.
b. Lobus Oksipital
Lobus Oksipital berhubungan dengan pengolahan impuls cahaya dari
penglihatan. Lobus oksipital bertanggung jawab atas persepsi visual primer

5
yang terletak di bagian belakang dan mengaitkan informasi tersebut pada
memori yang ada dalam otak.
c. Lobus Parietal
Lobus parietal merupakan pusat pengaturan impuls dari kulit serta
berhubungan dengan pengenalan posisi tubuh. Sensasi utama yang terkait
dengan lobus parietal adalah somatosensasi, yaitu sensasi umum yang
terkait dengan tubuh. Area ini diidentifikasi sebagai area Brodmann 1, 2,
dan 3. Rangsangan sentuhan akan diproses di area ini, termasuk sentuhan,
tekanan, gelitik, nyeri, gatal, dan getaran, serta indera tubuh yang lebih
umum seperti propriosepsi dan kinesthesia.
d. Lobus Frontal
Lobus frontal merupakan bagian yang penting dalam proses ingatan dan
perencanaan kegiatan manusia. Lobus frontal dikaitkan dengan fungsi
motorik. Gyrus precentral adalah korteks motorik primer. Sel-sel dari
daerah korteks serebral ini adalah neuron motorik atas yang
menginstruksikan sel-sel di sumsum tulang belakang untuk menggerakkan
otot rangka. Anterior ke wilayah ini adalah beberapa area yang
berhubungan dengan gerakan yang direncanakan. Area premotor
bertanggung jawab untuk memikirkan gerakan yang akan dibuat. Bidang
mata frontal penting dalam memunculkan gerakan mata dan dalam
memperhatikan rangsangan visual. Area Broca bertanggung jawab untuk
produksi bahasa, atau mengendalikan gerakan yang bertanggung jawab
untuk berbicara. Bagian anterior adalah lobus prefrontal, yang melayani
fungsi kognitif yang dapat menjadi dasar kepribadian, memori jangka
pendek, dan kesadaran.
2. Thalamus
Thalamus merupakan kumpulan nuklei yang menyampaikan informasi antara
korteks serebral dan pinggiran, sumsum tulang belakang, atau batang otak.
Semua informasi sensorik, kecuali indra penciuman, melewati thalamus
sebelum diproses oleh korteks. Thalamus tidak hanya meneruskan informasi,
tetapi juga memproses informasi tersebut. Otak besar juga mengirimkan

6
informasi ke thalamus berupa perintah motorik. Ini melibatkan interaksi
dengan otak kecil dan inti lainnya di batang otak. Cerebrum berinteraksi
dengan nukleus basal, yang melibatkan koneksi dengan thalamus.
3. Hypothalamus
Hipotalamus adalah kumpulan nuklei yang sebagian besar terlibat dalam
regulasi homeostasis. Hipotalamus adalah yang bertanggung jawab pada sistem
saraf otonom dan sistem endokrin melalui regulasi kelenjar hipofisis anterior.
Bagian lain dari hipotalamus terlibat dalam memori dan emosi sebagai bagian
dari sistem limbik.
4. Batang otak
Otak tengah dan otak belakang (terdiri dari pons dan medula) disebut sebagai
batang otak. Struktur muncul dari permukaan ventral otak depan sebagai
kerucut tapering yang menghubungkan otak ke sumsum tulang belakang. Otak
tengah mengoordinasikan representasi sensorik dari ruang persepsi visual,
pendengaran, dan somatosensor. Pons adalah koneksi utama dengan otak kecil.
Pons dan medula mengatur beberapa fungsi penting, termasuk sistem dan laju
kardiovaskular dan pernapasan. Saraf kranial terhubung melalui batang otak
dan memberikan input sensorik dan output motorik yang terkait dengan kepala
dan leher.
5. Otak kecil (Cerebellum)
Massa cerebellum sekitar 10 persen dari massa otak. Cerebellum merupakan
bagian otak yang mengendalikan koordinasi anggota tubuh dengan menerima
informasi dari otak besar dan panca indera, melalui saraf tulang belakang.
Selain mempengaruhi gerakan anggota tubuh, otak kecil juga menjaga
keseimbangan pada kemampuan berjalan.

B. Definisi
Tetanus merupakan penyakit dengan tanda utama kekakuan otot (spasme)
tanpa disertai gangguan kesadaran. Gejala ini bukan disebabkan oleh kuman
langsung, tetapi akibat toksin (tetanospasmin) yang dihasilkan kuman Clostridium
tetani dan bekerja secara perifer pada presinaps ganglion yang tersambung dengan

7
sumsum tulang belakang, yang tersambung dengan neuromuscular dan saraf
otonom (Soegijanto, 2016).

C. Epidemiologi
Secara global selama tahun 2011-2016 laporan kasus tetanus selalu kurang
dari 20.000 kasus per tahun (WHO, 2017). Di Inggris kasus tetanus yang
ditemukan antara bulan Januari sampai Desember 2017 berjumlah 5 kasus. Dari 5
kasus tersebut usia pasien berkisar antara 26 hingga 81 tahun. Semua pasien
memiliki riwayat luka baru, yang didapat dari tempat yang bervariasi (rumah,
kebun, di jalan, pantai) (Public Health England, 2017). Di Amerika Serikat pada
tahun 2015, sebanyak 29 kasus tetanus dilaporkan melalui sistem National
Notifiable Diseases Surveillance System (NNDSS). Dari 29 kasus tersebut, 2
pasien meninggal akibat tetanus. Dari tahun 2009 hingga 2015, di Amerika
Serikat terdapat 197 kasus dan 16 kematian akibat tetanus yang dilaporkan.
Sejumlah 49 kasus (25%) merupakan pasien berusia ≥ 65 tahun, 124 pasien (63%)
berusia 20-64 tahun, dan 24 kasus (12%) terjadi pada pasien dengan usia <20
tahun, dimana 2 diantaranya merupakan kasus tetanus neonatorum. Empat puluh
sembilan pasien dari 197 kasus tersebut diketahui riwayat vaksinasinya dan hanya
10 pasien yang pernah mendapatkan vaksin tetanus toxoid sebanyak 3 dosis atau
lebih (CDC, 2016).

Penemuan kasus tetanus mengikuti kejadian bencana gempa di Yogyakarta


pada tahun 2006 melaporkan adanya 26 kasus tetanus yang ditemukan dari data 8
rumah sakit setempat. Delapan dari 26 pasien tersebut meninggal (30,8%) dengan
rata-rata usia 74,62 ± 13,43 tahun (Sutiono, dkk, 2009). WHO memperkirakan
pada 2008 (angka estimasi tahun terakhir yang ada), 59.000 bayi baru lahir
meninggal akibat TN, terdapat penurunan 92% dari situasi pada akhir 1980-an.
Pada 2008 terdapat 46 negara yang masih belum eliminasi TMN di seluruh
kabupaten, salah satunya adalah Indonesia. Sebelum pengenalan upaya eliminasi
TN, Indonesia merupakan salah satu negara dengan kasus tertinggi di Asia. Survei
berbasis komunitas untuk kematian TN dilakukan pada awal 1980 di Jakarta dan

8
daerah pedesaan di Bali, Jawa, Kalimantan, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara
Timur, Sumatera dan Sulawesi mengungkapkan angka kematian berkisar 6-23
kematian TN per 1000 kelahiran hidup. Berdasarkan data survei ini dan survei
lainnya, jumlah kematian tahunan TN di Indonesia secara keseluruhan
diperkirakan 71.000 selama awal tahun 1980.5 Angka kematian bayi (AKB) di
Indonesia menurut SDKI tahun 2007 adalah 34 kematian per 1000 kelahiran
hidup, dan kematian yang tertinggi terjadi pada periode neonatal. Angka kematian
neonatal di Indonesiaadalah 19 per 1000 kelahiran (Kemenkes RI, 2012). Di tahun
2017, WHO melaporkan insidensi tetanus neonatorum di Indonesia sebanyak 25
kasus, dan insidensi tetanus secara keseluruhan adalah 506 kasus (WHO, 2017).

D. Etiologi
Menurut Soedarmo (2010), penyakit tetanus disebabkan oleh kuman
Clostridridium tetani, karakteristik kuman ini berbentuk batang dengan ukuran
panjang 2–5 um dan lebar 0,3–0,5 um serta kuman ini memiliki beberapa sifat,
antara lain:
a. Basil Gram-positif dengan spora pada pada salah satu ujungnya sehingga
membentuk gambaran tongkat penabuh drum atau raket tenis.
b. Obligat anaerob (berbentuk vegetatif apabila berada dalam lingkungan
anaerob) dan dapat bergerak dengan menggunakan flagella.
c. Mampu membentuk spora (terminal spore) yang mampu bertahan dalam suhu
tinggi (dalam autoklaf pada suhu 121°C selama 10–15 menit), kekeringan
dan desinfektans (fenol dan lainnya). Spora dapat menyebar mencemari
lingkungan secara fisik dan biologik. Spora mampu bertahan dalam keadaan
yang tidak menguntungkan selama bertahun-tahun.
d. Kuman hidup di tanah, debu, dan di dalam usus binatang, terutama pada tanah
di daerah pertanian/peternakan. Umumnya, spora bakteri ini terdistribusi pada
tanah dan saluran pencernaan serta feses dari kuda, domba, anjing, kucing,
tikus, babi, dan ayam.
e. Clostridium tetani menghasilkan 2 eksotosin yaitu tetanospamin dan
tetanolisin. Fungsi dari tetanolisin tidak diketahui dengan pasti, namun dapat

9
menyebabkan lisis dari sel-sel darah merah. Tetanospamin yang
menyebabkan penyakit tetanus, merupakan toksin yang neurotropik yang
dapat menyebabkan ketegangan dan spasme otot. Tetanospasmin merupakan
protein dengan berat molekul 150.000 Dalton, larut dalam air, labil pada
panas dan cahaya, rusak dengan enzim proteolitik. Perkiraan dosis mematikan
minimal dari kadar toksin (tetanospamin) adalah 2,5 ng/kgBB atau 175 ng
untuk 70 kilogram (154lb) manusia.
f. Clostridium tetani tidak menghasilkan lipase maupun lesitinase, tidak
memecah protein dan tidak memfermentasi sakarosa dan glukosa juga tidak
menghasilkan gas H2S dan menghasilkan gelatinase dan indol positif.

E. Klasifikasi
Klasifikasi tetanus menurut Ismanoe (2009) adalah sebagai berikut:
1. Tetanus Generalisata
Tetanus generalisata merupakan bentuk yang paling umum dari tetanus yang
ditandai dengan meningkatnya tonus otot dan spasme generalisata. Masa
inkubasi bervariasi, tergantung pada lokasi luka dan lebih singkat pada tetanus
berat, median onset setelah trauma adalah 7 hari, 15% kasus terjadi dalam 3
hari dan 10% kasus terjadi setelah 14 hari. Terdapat trias klinis berupa
rigiditas, spasme otot, dan apabila berat disfungsi otonomik.
2. Tetanus Neonatorum
Tetanus neonatorum biasanya terjadi dalam bentuk generalisata dan biasanya
fatal apabila tidak di terapi. Tetanus neonatorum terjadi pada anak-anak yang
dilahirkan dari ibu yang tidak diimunisasi secara adekuat, terutama setelah
perawatan bekas potongan tali pusat yang tidak steril. Resiko infeksi
tergantung pada panjang tali pusat, kebersihan lingkungan dan kebersihan saat
mengikat dan memotong umbilikus. Onset biasanya dalam 2 minggu pertama
kehidupan. Gambaran khas tetanus neonatorum yaitu rigiditas, sulit menelan
ASI, iritabilitas dan spasme. Diantara neonatonus yang terinfeksi, 90%
meninggal dan retardasi mental terjadi pada bayi yang bertahan hidup.

10
3. Tetanus Lokal
Tetanus lokal jarang ditemukan, dimana manifestasi klinisnya terbatas hanya
pada otot-otot disekitar luka. Kelemahan otot dapat terjadi akibat peran toksin
pada tempat hubungan neuromuskuler. Gejala-gejalanya bersifat ringan dan
dapat bertahan sampai berbulan-bulan. Progresif ke tetanus generalisata dapat
terjadi tetapi prognosisnya baik.
4. Tetanus Sefalik
Tetanus sefalik merupakan tetanus yang terjadi setelah trauma kepala atau
infeksi telinga. Masa inkubasinya 1-2 hari. Dijumpai trismus dan disfungsi satu
atau lebih saraf kranial, yang tersering adalah saraf ke-7 (saraf facialis).
Disfagia dan paralisis otot ekstraokular dapat terjadi. Tetanus ini dapat
menyebabkan mortalitas yang tinggi.

11
Gejala dan tanda dari epilepsi dibagi berdasarkan klasifikasi dari epilepsi,
yaitu :
1. Kejang parsial
Lesi yang terdapat pada kejang parsial berasal dari sebagian kecil dari otak
atau satu hemisfer serebrum. Kejang terjadi pada satu sisi atau satu bagian
tubuh dan kesadaran penderita umumnya masih baik.
a. Kejang parsial sederhana
Gejala yang timbul berupa kejang motorik fokal, femnomena
halusinatorik, psikoilusi, atau emosional kompleks. Pada kejang parsial
sederhana, kesadaran penderita masih baik.
b. Kejang parsial kompleks
Gejala bervariasi dan hampir sama dengan kejang parsial sederhana,
tetapi yang paling khas terjadi adalah penurunan kesadaran dan
otomatisme.
2. Kejang umum
Lesi yang terdapat pada kejang umum berasal dari sebagian besar dari otak
atau kedua hemisfer serebrum. Kejang terjadi pada seluruh bagian tubuh
dan kesadaran penderita umumnya menurun
a. Kejang Absans
Hilangnya kesadaran sessat (beberapa detik) dan mendadak disertai
amnesia. Serangan tersebut tanpa disertai peringatan seperti aura atau
halusinasi, sehingga sering tidak terdeteksi.
b. Kejang Atonik
Hilangnya tonus mendadak dan biasanya total pada otot anggota
badan, leher, dan badan. Durasi kejang bisa sangat singkat atau lebih
lama.
c. Kejang Mioklonik
Ditandai dengan kontraksi otot bilateral simetris yang cepat dan
singkat. Kejang yang terjadi dapat tunggal atau berulang.

12
d. Kejang Tonik-Klonik
Sering disebut dengan kejang grand mal. Kesadaran hilang dengan
cepat dan total disertai kontraksi menetap dan masif di seluruh otot.
Mata mengalami deviasi ke atas. Fase tonik berlangsung 10 - 20 detik
dan diikuti oleh fase klonik yang berlangsung sekitar 30 detik. Selama
fase tonik, tampak jelas fenomena otonom yang terjadi seperti dilatasi
pupil, pengeluaran air liur, dan peningkatan denyut jantung.
e. Kejang Klonik
Gejala yang terjadi hampir sama dengan kejang mioklonik, tetapi
kejang yang terjadi berlangsung lebih lama, biasanya sampai 2 menit.
f. Kejang Tonik
Ditandai dengan kaku dan tegang pada otot. Penderita sering
mengalami jatuh akibat hilangnya keseimbangan.

Berdasarkan berat gejala dapat dibedakan menjadi 3 stadium :


1. Trismus (3cm) tanpa kejang torik umum meskipun dirangsang
2. Trismus (3cm atau lebih kecil) dengan kejang torik umum bila dirangsang
3. Trismus (1cm) dengan kejang torik umum spontan

13
F. Patofisiologi/Patologi
Toksin tetanus dibawa ke saraf neuron terminal motorik bawah, sel-sel
saraf yang mengaktifkan otot volunteer. Toksin tetanus adalah metalloproteinase
yang bergantung pada yang menargetkan protein membran yang berhubungan
dengan synaptobrevin/ vesikel dan VAMP) yang diperlukan untuk pelepasan
neurotransmitter dari ujung saraf melalui fusi vesikel sinaptik dengan membran
plasma neuron. Gejala awal infeksi tetanus lokal dapat berupa kelumpuhan ringan,
yang disebabkan oleh gangguan dengan pelepasan asetilkolin vesikular di
neuromuskuler, seperti yang terjadi dengan toksin botulinum. Namun, tidak
seperti toksin botulinum, toksin tetanus mengalami transpor retrograde yang luas
di akson neuron motorik bawah dan dengan demikian mencapai sumsum tulang
belakang atau batang otak. Kemudian toksin diangkut melintasi sinapsis dan
diambil oleh ujung saraf neuron penghambat GABAergik dan glikinergik yang
mengontrol aktivitas neuron motorik bawah. Ketika masuk ke dalam saraf
terminal penghambat, toksin tetanus membelah VAMP, sehingga menghambat
pelepasan GABA dan glisin. Fungsional denervasi neuron motorik bawah, yang
mengarah ke hiperaktif dan peningkatan aktivitas otot yang ditandai dengan
kekakuan otot dan kejang (Maniloba, 2017).

14
G. Manifestasi Klinis
Masa inkubasi bervariasi antara 3 sampai 21 hari, biasanya sekitar 8 hari.
Pada umumnya tergantung pada lokasi dan jarak antara luka dengan sistem saraf
pusat, sehingga lokasi luka yang jauh dapat menyebabkan masa inkubasi yang
lebih lama. Masa inkubasi yang pendek mempunyai angka kematian yang cukup
tinggi. Toksin tetanus menyebabkan hiperaktifitas otot sukarela dalam bentuk
kekakuan dan kejang. Kekakuan adalah tonik, kontraksi otot tak disengaja,
sementara kejang berlangsung lebih singkat. Kontraksi otot dapat disebabkan oleh
peregangan otot atau oleh stimulasi sensorik yang disebut refleks kejang.
Misalnya, kekakuan otot temporal dan masseter menyebabkan trismus (lockjaw),
kemampuan yang sangat berkurang untuk membuka mulut. Upaya membuka
mulut untuk pemeriksaan, dapat menyebabkan kejang yang menyebabkan rahang
mengepal sepenuhnya (Hassel, 2013)
Tanda dan gejala tetanus yang sering muncul yaitu:
1. Demam
2. Pusing atau sakit kepala
3. Berkeringat berlebihan
4. Jantung berdebar
5. Tegang dan kaku pada otot rahang (trismus)
6. Otot leher atau otot perut terasa kaku
7. Sulit menelan dan bernafas
Tanda dan gejala tetanus tergantung dengan klasifikasi keparahan tetanus menurut
Ablett, diantaranya :
a. Grade 1 (Ringan)
Trismus ringan, kaku , tidak ada gangguan pernafasan, tidak ada spasme, tidak
ada disfagia
b. Grade 2 (Sedang)
Trismus sedang, rigiditas, spasme dengan durasi singkat, disfagia ringan,
keterlibatan sistem pernafasan, RR >30 x/menit

15
c. Grade 3 (Berat)
Trismus berat, rigiditas seluruh tubuh, Spasme berkepanjangan, disfagia berat,
gejala apnea, denyut nadi >120 x/menit , RR >40 x/menit
d. Grade 4 (Sangat berat)
Grade 3 dengan instabilitas sistem saraf otonom

H. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk tetanus antara lain:
1. Glukosa darah: hipoglikemia merupakan predisposisi kejang.
2. EKG: Interval CT memanjang karena segmen ST. Bentuk takikardi ventrikuler
(Torsaderde pointers)
3. Sinar X: Tulang tampak mengalami peningkatan denitas pada jaringan
subkutan atau basas ganglia otak.
4. Fungsi ginjal: peningkatan BUN mempunyai potensi kejang dan merupakan
indikasi nepro toksik akibat dari pemberian obat.
5. Elektrolit: ketidakseimbangan K dan Na merupakan predisposisi kejang kalium
(normal 3,80-5,00 meq/dl).
6. Radiologi, skull Ray: untuk mengidentifikasi adanya proses desak ruang dan
adanya lesi.
7. Kadar serum 5-6 mg/al atau 1,2-1,5 mmol/L atau lebih rendah.

I. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan medis pada pasien tetanus menurut Utama (2011) adalah
sebagai berikut:
1. Pemberian Antitoksin Tetanus
Pemberian serum dalam dosis terapetik untuk ATS bagi orang dewasa adalah
sebesar 10.000 – 20.000 IU IM dan untuk anak – anak sebesar 10.000 IU IM,
untuk hypertet bagi orang dewasa adalah sebesar 300 IU – 6000 IU IM dan
bagi anak – anak sebesar 3000 IU IM. Pemberian antitoksin dosis terapetik
selama 2 – 5 hari berturut – turut.
2. Penatalaksanaan Luka

16
Eksisi dan debridemen luka yang dicurigai harus segera dikerjakan 1 jam
setelah terapi sera (pemberian antitoksin tetanus). Jika memungkinkan dicuci
dengan perhydrol. Luka dibiarkan terbuka untuk mencegah keadaan anaerob.
Bila perlu di sekitar luka dapat disuntikan ATS.
3. Pemberian Antibiotik
Obat pilihannya adalah Penicilin, dosis yang diberikan untuk orang dewasa
adalah sebesar 1,2 juta IU/8 jam IM, selama 5 hari, sedang untuk anak – anak
adalah sebesar 50.000 IU/kg BB/hari, dilanjutkan hingga 3 hari bebas panas.
Apabila penderita alergi terhadap penisilin, dapat diberikan tetrasiklin. Dosis
pemberian tetrasiklin pada orang dewasa adalah 4 x 500 mg/hari, dibagi dalam
4 dosis. ATS atau HTIG ditujukan untuk mencegah eksotoksin berikatan
dengan susunan saraf pusat (eksotoksin yang berikatan dengan susunan saraf
pusat akan menyebabkan kejang, dan sekali melekat maka ATS / HTIG tak
dapat menetralkannya. Untuk mencegah terbentuknya eksotoksin baru maka
sumbernya yaitu kuman Clostridium tetani harus dilumpuhkan, dengan
antibiotik.
4. Penanggulangan Kejang
Pemberian obat anti kejang seperti fenobarbital, klorpromazin, diazepam, dan
klorhidrat. Bila kejang belum juga teratasi, dapat digunakan pelemas otot
(muscle relaxant) ditambah alat bantu pernapasan (ventilator). Cara ini hanya
dilakukan di ruang perawatan khusus (ICU = Intesive Care Unit) dan di bawah
pengawasan seorang ahli anestesi.
5. Perawatan Penunjang
Perawatan penunjang yang dapat dilakukan yaitu denga tirah baring, diet per
sonde, dengan asupan sebesar 200 kalori / hari untuk orang dewasa, dan
sebesar 100 kalori/kg BB/hari untuk anak – anak, bersihkan jalan nafas secara
teratur, berikan cairan infus dan oksigen, awasi dengan seksama tanda – tanda
vital (seperti kesadaran, keadaan umum, tekanan darah, denyut nadi,
kecepatan pernapasan), trisnus (diukur dengan cm setiap hari), asupan /
keluaran (pemasukan dan pengeluaran cairan), temperatur, elektrolit.

17
CLINICAL PATHWAY

Luka kotor,belum imunisasi, luka Chlostridium tetani


kecelakaan, luka tusuk, perawatan tali berproliferase dan Eksotoksin
pusat tidak baik memproduksi toksin

Menyebar ke saraf motorik


secara sistematik
Risiko Cedera

Tonus otot  Ganglion sumsum Saraf otonom Otak


tulang belakang

Gangguan pada
Otot Kaku Mengenai Saraf
Anggota gerak neurotransmitter
Simpatis

Mulut Kesulitan
Tidak bisa
bicara Hambatan Keringat berlebihan, mengontrol eliminasi
mobilisasi hipotermi, hipertermi,
fisik aritmia, takikardia
tidak bisa menelan
makanan Hambatan
komunikasi Gangguan eliminasi:
verbal urine, defekasi
Gangguan menelan  O2 di otak
Hambatan
Kesulitan religiusitas Respon batuk
Nutrisi tidak adekuat berinteraksi Kesadaran  menurun

Risiko ketidakefektifan Tidak bisa


Hambatan perfusi jaringan otak mengeluarkan
interaksi sekret
Ketidakseimbangan
sosial
nutrisi kurang dari
kebutuhan tubuh
Penumpukan
sekret

Ketidakefektifan
bersihan jalan napas

18
ASUHAN KEPERAWATAN

A. Pengkajian
1. Anamnesa
a. Identitas pasien
a) Nama : Nama pasien
b) Usia : usia mulai dari bayi- dewasa, penderita muda ditemukan riwayat
mengalami kecelakaan, tertusuk paku atau pecahan kaca yang
dapat menyebabkan luka tusuk kecil yang dalam, tetanus pada
bayi terjadi karena infeksi pada tali pusat
b. Keluhan utama
Keluhan yang sering menjadi alasan klien untuk meminta pertolongan
kesehatan adalah panas badan tinggi, kejang, dan penurunan kesadaran
c. Riwayat penyakit sekarang
Pengkajian RPS sangat penting diketahui untuk mengetahui predisposisi
penyebab luka. Kaji dengan jelas tentang gejala yang timbul seperti waktu
dimulainya serangan, sembuh, dan bertambah buruk. Keluhan kejang perlu
untuk dialkukan pengkajian lebih mendalam terkait sifat timbulnya kejang,
stimulus apa yang sering menimbulkan kejang, dan tindakan apa yang telah
diberikan dalam upaya menurunkan keluhan kejang tersebut.
Adanya penurunan kesadaran atau perubahan pada tingkat kesadaran
dihubungkan dengan toksin tetanus yang menginflamasi jaringan otak.
Keluhan perubahan perubahan perilaku juga terjadi. sesuai perkembangan
penyakit dapat terjadi letargi, tidak responsif, dan koma.
d. Riwayat penyakit terdahulu
Pengkajian penyakit yang pernah dialami klien yang memungkinkan adanya
hubungan atau menjadi predisposisi keluhan sekarang meliputi klien
mengalami tubuh terluka dan luka tusuk yang dalam misalnya tertusuk paku,
pecahan kaca, terkena kaleng, atau luka yang menajdi kotor kerana terjatuh di
tempat kotor dan terbuka atau kecelakaan dan timbul luka yang tertutup
debu/kotoran juga luka bakar dan patah tulang terbuka, serta port de entrie

19
lainnya seperti luka gores yang ringan kemudian menjadi bernanah dan gigi
berlubang dikorek dengan benda yang kotor
2. Pengkajian psiko sosio kultural
Pengkajian mekanisme koping klien untuk menilai respon atau pengaruh dalam
kehidupan sehari-hari baik dalam keluarga dan masyarakat. Pengkajian psiko
sosial digunakan untuk menilai dampak yang timbul pada klien, yaitu timbul
kecacatan, rasa cemas, rasa ketidakmampuan melakukan sesuatu aktivitas
secara optimal, dan pandangan terhadap dirinya yanga salah (gangguan citra
tubuh). Karena klien harus menjalani rawat inap maka keadaan ini memberi
dampak pada status ekonomi klien, keena biaya perawatan dan pengobatan
emerlukan dana yang tidak sedikit.
3. Genogram
4. Pengkajian Keperawatan
a. Persepsi Kesehatan & Pemeliharaan Kesehatan
Menjelaskan tentang bagaimana pendapat klien maupun keluarga
mengenai apakah kesehatan itu dan bagaimana klien dan keluarga
mempertahankan kesehatannya.
b. Pola Nutrisi/Metabolik
Antropometri yang dapat dilihat melalui lingkar lengan atau nilai IMT,
biomedical sign merupakan data yang diperoleh dari hasil laboratorium
yang menunjang, clinical sign merupakan tanda-tanda yang diperoleh dari
keadaan fisik klien yang menunjang, diet pattern merupakan pola diet atau
intake makanan dan minuman yang dikonsumsi.
c. Pola Eliminasi: BAB dan BAK (frekuensi, jumlah, warna, konsistensi,
bau, karakter)
d. pola aktivitas & latihan: Activity Daily Living ,status oksigenasi, fungsi
kardiovaskuler, terapi oksigen
e. Pola tidur & istirahat : durasi, gangguan tidur, keadaan bangun tidur
f. Pola kognitif & perceptual : fungsi kognitif dan memori, fungsi dan
keadaan indera

20
g. Pola persepsi diri : gambaran diri, identitas diri, harga diri, ideal diri, dan
peran diri
h. Pola seksualitas & reproduksi : pola seksual dan fungsi reproduksi
i. Pola peran & hubungan
j. Pola manajemen & koping stres
k. Sistem nilai dan keyakinan : oleh pasien maupun masyarakat
5. Pemeriksaan fisik
a. Keadaan umum (Kesadaran secara kualitatif maupun kuantitatif), tanda-
tanda vital seperti tekanan darah, pernafasan, nadi dan suhu
b. Pengkajian Fisik (inspeksi, palpasi, perkusi, auskultasi):
1) Kepala
a) Rambut, Dimulai warna, kelebatan, distribusi serta karakteristik
lain rambut. Pasien dengan malnutrisi energi protein mempunyai
rambut yang jarang, kemerahan seperti rambut jagung dan mudah
dicabut tanpa menyebabkan rasa sakit pada pasien.
b) Muka/ Wajah. Terdapat tanda rhisus sardonicus, opistotonus,
trimus, ada gangguan nervus cranial
c) Mata, Saat serangan kejang terjadi dilatasi pupil, untuk itu periksa
pupil dan ketajaman penglihatan. Apakah keadaan sklera,
konjungtiva?
d) Telinga, Periksa fungsi telinga, kebersihan telinga serta tanda-tanda
adanya infeksi seperti pembengkakan dan nyeri di daerah belakang
telinga, keluar cairan dari telinga, melihat serumen telinga
berkurangnya pendengaran.
e) Hidung, Apakah ada pernapasan cuping hidung? Polip
yang menyumbat jalan napas? Apakah keluar sekret, bagaimana
konsistensinya, jumlahnya?
f) Mulut, Adakah tanda-tanda sardonicus? Adakah cynosis?
Bagaimana keadaan lidah? Adakah stomatitis? Berapa jumlah gigi
yang tumbuh? Apakah ada caries gigi?

21
g) Tenggorokan, Adakah tanda-tanda peradangan tonsil? Adakah
tanda-tanda infeksi faring, cairan eksudat?
2) Leher
Adakah tanda-tanda kaku kuduk, pembesaran kelenjar tiroid? Adakah
pembesaran vena jugularis?
3) Thorax
Pada infeksi, amati bentuk dada klien, bagaimana gerak pernapasan,
frekwensinya, irama, kedalaman, adakah retraksi Intercostale? Pada
auskultasi, adakah suara napas tambahan?
4) Jantung
Bagaimana keadaan dan frekuensi jantung serta iramanya? Adakah
bunyi tambahan? Adakah bradicardi atau tachycardia?
5) Abdomen
Adakah distensia abdomen serta kekakuan otot pada abdomen?
Bagaimana turgor kulit dan peristaltik usus? Adakah tanda
meteorismus? Adakah pembesaran lien dan hepar?
6) Kulit
7) Bagaimana keadaan kulit baik kebersihan maupun warnanya? Apakah
terdapat oedema, hemangioma? Bagaimana keadaan turgor kulit?
8) Ekstremitas
Apakah terdapat oedema, atau paralise terutama setelah terjadi kejang?
Bagaimana suhunya pada daerah akral?
9) Genetalia
Adakah kelainan bentuk oedema, tanda-tanda infeksi?
6. Pengkajian khusus/fisik:
a. Sistem pernafasan: dyspnea, asfiksia dan sianosis akibat kontraksi otot
pernafasan, AGD abnormal.
b. Sistem kardiovaskular: disritmia, takikardi, hipertensi dan perdarahan,
suhu tubuh awalnya 38 - 40°C atau febris sampai ke terminal 43 - 44°C.
c. Sistem neurologis: irritability (awal), kelemahan, konvulsi (akhir),
kelumpuhan satu atau beberapa saraf otak.

22
d. Sistem perkemihan: retensi urine (distensi kandung kemih dan urine
output tidak ada/oliguria)
e. Sistem pencernaan: konstipasi akibat tidak ada pergerakan usus.
f. Sistem integument dan muskuloskeletal: nyeri kesemutan pada tempat
luka, berkeringatan (hiperhidrasi), pada awalnya didahului trismus,
spasme otot muka dengan peningkatan kontraksi alis mata, risus
sardonicus, otot kaku dan kesulitan menelan. Apabila hal ini berlanjut
terus maka akan terjadi status konvulsi dan kejang umum.

B. Diagnosa Keperawatan
1. Ketidakefektifan perfusi jaringan otak berhubungan dengan penurunan
oksigen di otak
2. Ketidakefektifan pola napas berhubungan dengan penurunan kontraksi paru
3. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan akumulasi sekret di
dalam trakea, kemampuan batuk menurun
4. Nyeri akut berhubungan dengan spasme otot, dan kejang
5. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan kejang umum
6. Defisit perawatan diri berhubungan dengan adanya kejang umum dan
kelemahan fisik
7. Risiko cedera yang berhubungan dengan adanya kejang umum
8. Hipertemi yang berhubungan dengan proses inflamasi dan efketoksin di
jaringan otak
9. Gangguan eliminasi urine berhubungan dengan spasme abdomen
10. Gangguan eliminasi defekasi berhubungan dengan spasme abdomen
11. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
asupan nutrisi kurang adekuat, ktidakmampuan menelan, keadaan kejang
abdomen, trismus
12. Ansietas berhubungan dengan prognosis penyakit, kemungkinan kejang
berulang

23
C. Intervensi Keperawatan

Diagnosa
No Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi keperawatan
keperawatan
1. Ketidakefektifan Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama 3x 24 jam, Monitor Tekanan Intra Kranial (TIK)
perfusi jaringan otak masalah ketidakefektifan perfusi jaringan cerebral teratasi (2590)
dengan kriteria hasil: 1. Rekam pembacaan tekanan TIK
No. Indikator Awal Tujuan 2. Monitor tekana aliran darah otak
1 2 3 4 5 3. Letakkan kepala dan leher pasien
1. Tekanan darah dalam posisi netral, hindari fleksi
2. Komunikasi pinggang yang berlebihan
3. Konsentrasi 4. Monitor kualitas dan karakteristik
4. Aktivitas kejang TIK
5. Nyeri kepala 5. Monitor status neurologis
6. Monitor jumlah, nilai, dan
Keterangan: karakteristik pengeluaran cairan
1. Sangat terganggu serebrospinal (CSF)
2. Banyak terganggu 7. Monitor intake dan output
3. Cukup terganggu 8. Monitor suhu dan julah WBC
4. Sedikit terganggu 9. Periksa klien untuk adanya gejala
5. Tidak terganggu kaku kuduk
10. Monitor efek rangsangan lingkungan
pada TIK
11. Beritahu kepada dokter adanya
peningkatan TIK

24
Monitor Neurologi (2620)
1. Monitor tingkat kesadaran
2. Monitor tingkat orientasi
3. Monitor kecenderungan Skala Koma
Gasglow
4. Monitor reflek batuk dan muntah
5. Monitor bentuk otot, gerakan motorik,
gaya berjalan, dan proprioception
6. Monitor respon terhadap obat

2. Ketidakefektifan pola Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama 3x 24 jam, Bantuan Ventilasi (3390)
napas masalah ketidakefektifan pola napas teratasi dengan kriteria 1. Pertahankan kepatenan jalan nafas
hasil: 2. Posisikan pasien untuk mengurangi
dyspnea
No. Indikator Awal Tujuan
3. Monitor efek-efek perubahan posisi
1 2 3 4 5
1. RR pada oksigenasi
2. Sesak napas 4. Mulai dan pertahankan oksigen
3. Sianosis tambahan
4. Pernapasaan 5. Ambulasi tiga sampai empat kali
cuping hidung sehari
5. Retraksi dada 6. Monitor pernafasan dan status
Keterangan: oksigenasi
1. Sangat terganggu
7. Ajarkan teknik pernafasan dengan
2. Banyak terganggu
3. Cukup terganggu mengerucutkan bibir
4. Sedikit terganggu
5. Tidak terganggu

25
Monitor Pernafasan (3350)
1. Monitor kecepatan, irama, kedalaman
dan kesulitan bernafas
2. Catat pergerakan dada dan
penggunaan otot-otot bantu nafas
3. Monitor suara nafas tambahan
4. Monitor pola nafas
5. Auskultasi suara nafas, catat area
dimana terjadi penurunan atau tidak
adanya ventilasi
6. Monitor peningkatan kelelahan,
kecemasan dan kekurangan udara
pada pasien
7. Monitor keluhan sesak nafas pasien
8. Berikan bantuan terapi nafas jika
diperlukan

3. Ketidakefektifan Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama 3x 24 jam, Manajemen Jalan Nafas (3140)
bersihan jalan napas masalah ketidakefektifan bersihan jalan napas teratasi
1. Posisikan pasien untuk
dengan kriteria hasil:
No. Indikator Awal Tujuan memaksimalkan ventilasi
1 2 3 4 5 2. Identifikasi kebutuhan
1. Tekanan darah aktual/potensial pasien untuk
2. RR memasukkan alat pembuka jalan nafas
3. Batuk 3. Motivasi pasien untuk bernafas pelan,

26
4. Ronkhi dalam, dan batuk
5. Otot bantu napas 4. Instruksikan dan ajarkan cara batuk
efektif
5. Posisikan pasien untuk meringankan
atau mengurangi sesak nafas
Keterangan:
1. Sangat terganggu 6. Monitor status pernafasan dan
2. Banyak terganggu oksigenasi
3. Cukup terganggu 7. Regulasi asupan cairan untuk
4. Sedikit terganggu mengoptimalkan keseimbangan cairan
5. Tidak terganggu
Monitor Pernafasan (3350)
1. Monitor kecepatan, irama, kedalaman
dan kesulitan bernafas
2. Catat pergerakan dada dan
penggunaan otot-otot bantu nafas
3. Monitor suara nafas tambahan
4. Monitor pola nafas
5. Auskultasi suara nafas, catat area
dimana terjadi penurunan atau tidak
adanya ventilasi
6. Monitor peningkatan kelelahan,
kecemasan dan kekurangan udara
pada pasien
7. Monitor keluhan sesak nafas pasien

27
8. Berikan bantuan terapi nafas jika
diperlukan

4. Nyeri akut Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama 3x 24 jam, Manajemen Nyeri (1400)
masalah nyeri akut teratasi dengan kriteria hasil: 1. Kaji karakteristik nyeri dari
No. Indikator Awal Tujuan precipitating, quality, region,
1 2 3 4 5 severity, dan time (PQRST), skala
1. Tekanan darah nyeri
2. Kontrol nyeri 2. Berikan penjelasan mengenai
3. Mengenali nyeri penyebab nyeri
4. Menyatakan 3. Observasi respon non-verbal pasien
nyaman 4. Ajarkan teknik relaksasi nyeri :
kompres hangat
Keterangan: 5. Kolaborasi pemberian analgesik
1. Sangat terganggu
2. Banyak terganggu
3. Cukup terganggu
4. Sedikit terganggu
5. Tidak terganggu

5. Hambatan mobilitas Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama 3x 24 jam, Peningkatan Mekanika Tubuh (0140)
fisik masalah hambatan mobilitas fisik teratasi dengan kriteria 1. Kaji komitmen pasien untuk belajar
hasil: dan menggunakan postur tubuh yang
benar
2. Kaji pemahaman pasien mengenai
No. Indikator Awal Tujuan mekanika tubuh dan latihan
1 2 3 4 5 (misalnya: mendemonstrasikan
kembali teknik melakukan aktivitas/

28
1. Tekanan darah latihan yang benar)
2. Kekuatan otot 3. Edukasi pasien tentang pentingnya
3. Aktivitas sehari- postur (ubtubuh) yang benar
hari 4. Instruksikan pasien untuk
4. Menyatakan menggerakkan kaki terlebih dahulu
nyamana. kemudian badan untuk memulai
berdiri
Keterangan: 5. Kolaborasikan dengan fisioterapis
1. Sangat terganggu dalam mengembangkan peningkatan
2. Banyak terganggu mekanika tubuh, sesuai indikasi
3. Cukup terganggu
4. Sedikit terganggu Terapi Latihan : Kontrol Otot (0226)
5. Tidak terganggu 1. Tentukan kesiapan pasien untuk
terlibat dalam aktivitas atau latihan
2. Evaluasi fungsi sensori (penglihatan,
pendengaran , danperabaan)
3. Bantu menjaga stabilitas sendi tubuh
dan atau proksimal selama latihan
4. Bantu pasien untuk dalam berada pada
posisi duduk/berdiri untuk melakukan
protokol latihan
5. Berikan petunjuk langkah demi
langkah untuk setiap aktivitas motorik
selama latihan
6. Sediakan lingkungan yang baik

29
D. Evaluasi
Evaluasi keperawatan dilakukan secara sistematis dan periodik setelah
pasien diberikan intervensi dengan berdasarkan pada berdasarkan pengkajian,
diagnosa keperawatan, intervensi keperawatan, dan implementasi keperawatan.
Evaluasi keperawatan ditulis dengan format SOAP, yaitu:
1. S (subjektif) yaitu respon pasien setelah dilakukan tindakan keperawatan.
2. O (objektif) yaitu data pasien yang diperoleh oleh perawat setelah dilakukan
tindakan keperawatan.
3. A (analisis) yaitu masalah keperawatan pada pasien apakah sudah teratasi,
teratasi sebagian, belum teratasi, atau timbul masalah keperawatan baru
4. P (planning) yaitu rencana intervensi dihentikan, dilanjutkan, ditambah, atau
dimodifikasi

E. Discharge Planning
1. Ajarkan dan motivasi untuk merawat luka secara adekuat.
2. Cegah terjadinya luka baru.
3. Apabila terjadi perlukaan segera ke pelayanan kesehatan.
4. Menjaga lingkungan dari benda-benda yang dapat melukai.
5. Hindari stress, jauhi penggunaan alat yang tidak steril (jarum suntik bekas,
pemotongan dan perawatan tali pusat).
6. Bila kejang pasien dijauhkan dari benda-benda yang berbahaya, dan cegah
agar lidah tidak tergigit (beri handuk untuk digigit).

30
DAFTAR PUSTAKA

Bulechek, G. M., Butcher, H. K., Dochterman, J. M., & Wagner, C. M. 2013.


Nursing Interventions Classification (NIC). Edisi Keenam. Indonesia:
Mocomedia.
CDC. 2016. Final 2015 Reports of Nationally Notifiable Infectious Diseases and
Conditions. MMWR Morbility Mortality Weekly.
Hermand, T. H., & Kamitsuru, S. 2018. NANDA International Nursing Diagnosis,
Definition and Clasification 2018-2020. Edisi 11. Jakarta: EGC.
Ismanoe, G. 2009. Tetanus dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III. Edisi
VI. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Kemenkes RI. 2012. Data dan Informasi Kesehatan Eliminasi Tetanus.
Moorhead, S., Johnson, M., Maas, M. L., & Swanson, E. 2013. Nursing Outcomes
Classification (NOC). Edisi Kelima. Indonesia: Mocomedia.
Pearce, E. C. 2009. Anatomi dan Fisiologi untuk Paramedis. Jakarta: PT
Gramedia Pustaka Utama.
Public Health England. 2017. Tetanus in England.
RICE. 2013. Anatomy & Physiology. Edisi 2. Texas: Rice University.
Soedarmo, dkk. 2010. Tetanus: Buku Ajar Infeksi & Pediatri Tropis. Edisi Kedua.
Jakarta: Badan Penerbit IDAI.
Soegijanto, S. 2016. Kumpulan Makalah Penyakit Tropis dan Infeksi di Indonesia.
Surabaya: Airlangga University Press.
Sutiono, A. B., Qiantori, A., Suwa, H., & Ohta, T. 2009. Characteristic Tetanus
Infection in Disaster-affected Areas: Case Study of The Yogyakarta
Earthquakes in Indonesia. BMC Research Notes.
Utama, H. S. Y. 2011. Penyakit Pembuluh Darah Perifer Tromboangitis
Obliterans.

31

Anda mungkin juga menyukai