Anda di halaman 1dari 24

MAKALAH

HUBUNGAN FOKAL INFEKSI DENGAN


CHRON’S DISEASE

Disusun Oleh:
Erlyn Merika
G991905021

Periode: 30 Desember – 12 Januari 2020

Pembimbing:
drg VITA NIRMALA ARDANARI, Sp.Pros, Sp.KG

KEPANITERAAN KLINIK/ PROGRAM STUDI PROFESI DOKTER


BAGIAN ILMU PENYAKIT GIGI DAN MULUT
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH DR. MOEWARDI SURAKARTA
2020
BAB I
PENDAHULUAN

Rongga mulut merupakan tempat hidup bakteri aerob dan anaerob.


Organisme ini merupakan flora normal dalam mulut yang terdapat dalam plak
gigi, cairan sulkus ginggiva, mucus membran, dorsum lidah, saliva dan mukosa
mulut. Penyakit gigi merupakan jenis penyakit diurutan pertama yang dikeluhkan
masyarakat. Berdasarkan hasil survey dinas kesehatan tahun 2001, penyakit gigi
dikeluhkan 60 persen penduduk Indonesia. Selain itu tanpa disadari keluhan
penyakit gigi juga berdampak pada merosotnya produktivitas penderita,
kebanyakan berhenti beraktivitas antara 2.5 hari sampai 5 hari. Lubang pada gigi
merupakan tempat jutaan bakteri. Jika bakteri masuk ke dalam pembuluh darah
bisa menyebar ke organ tubuh lainnya dan menimbulkan infeksi (Grossman,
2010).
Fokal infeksi merupakan pusat atau suatu daerah di dalam tubuh, dimana
kuman atau basil kuman tersebut dapat menyebar jauh ke tempat lain dalam tubuh
dan dapat menyebabkan penyakit sumber infeksi dari salah satu organ tubuh
berasal dari gigi, salah satu penjalaran kuman dari pusat infeksi sampai ke organ
tubuh tersebut, dibawa melalui aliran darah/limfe atau dapat pula terkontaminasi.
Penyebaran infeksi dari fokus primer ke tempat lain dapat berlangsung melalui
beberapa cara, yaitu transmisi melalui sirkulasi darah (hematogen), transmisi
melalui aliran limfatik (limfogen), perluasan infeksi dalam jaringan, dan
penyebaran dari traktus gastrointestinal dan pernapasan akibat tertelannya atau
teraspirasinya materi infektif (Sigurdsson, 2003).
Ulkus oral adalah salah satu keluhan paling umum dari mukosa mulut.
Ulkus oral ditetukan oleh kondisi sistemik yang mendasari seperti sifat, lokasi,
durasi dan frekuensi. Sebagai tambahan, pemeriksaan histopatologi biasanya
menghasilkan diagnosis definitif untuk sebagian besar kondisi yang dijelaskan
dalam makalah ini. Ulkus oral dapat disebabkan oleh berbagai agen etiologi
seperti trauma mekanis, kimia, termal, atau trauma akibat induksi radiasi, infeksi
virus seperti herpes simplex dan herpes zoster, infeksi bakteri seperti gingivitis
nekrosis akut dan tuberkulosis, infeksi jamur seperti histoplasmosi dan
mukomikosis, kondisi alergi seperti stomatitis veneta dan medikamentosa, kondisi
neoplastik seperti karsinoma sel skuamosa dan melanoma maligna serta gangguan
sistemik yang berasal dari hematologi, imunologi atau gastrointestinal. Ulkus oral
juga dapat timbul dari etiologi yang tidak diketahui seperti stomatitis aphtous
rekuren, eritema multiforme, pemfigus, pemfigoid membran mukosa, lichen
planus erosif dan ulkus eosinofilik mukosa oral. banyak proses penyakit yang
mempengaruhi saluran cerna dapat menyebabkan perubahan yang dapat diamati
pada rongga mulut.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. DEFINISI
Fokal infeksi adalah suatu infeksi lokal yang biasanya dalam jangka
waktu cukup lama (kronis), dimana hanya melibatkan bagian kecil dari tubuh,
yang kemudian dapat menyebabkan suatu infeksi atau kumpulan gejala klinis
pada bagian tubuh yang lain. Contohnya, tetanus yang disebabkan oleh
pelepasan dari eksotoksin yang berasal dari infeksi lokal. Teori tentang fokal
infeksi sangat erat hubungannya dengan bagian gigi, dimana akan
memengaruhi fungsi sistemik seseorang seperti sistem sirkulasi, skeletal dan
sistem saraf. Hal ini disebabkan oleh penyebaran mikroorganisme atau toksin
yang dapat berasal dari gigi, akar gigi, atau gusi yang terinfeksi (Walton,
2010). Bakteri dapat masuk ke dalam pembuluh darah bisa menyebar ke
organ tubuh lainnya dan menimbulkan infeksi (Grossman, 2010).
B. ETIOLOGI

Focus infeksi merupakan asal mula dan penyebab berkembangnya


penyakit berkembangnya penyakit sistemik, terutama penyakit periodontal di
permukaan marginal maupun apikal, jumlah bakteri pada infeksi jaringan
periodontal apikal mencapai 200 macam dan pada infeksi jaringan
periodontal marginal mencapai 500 macam atau lebih dan umumnya bakteri
gram negatif.

C. PATOGENESIS
Penyebab utama infeksi pada gusi serta jaringan pendukung gigi
lainnya adalah mikroorganisme yang berkumpul dipermukaan gigi (plak
bakteri). Plak bakteri yang telah lama melekat pada gigi dan jaringan gusi
dapat mengalami kalsifikasi (mengeras) sehingga menjadi kalkulus (karang
gigi) yang biasanya tertutup lapisan lunak bakteri. Bila sudah mengalami
kalsifikasi (karang gigi) maka pembersihannya sudah tidak dapat
menggunakan sikat gigi tetapi harus melalui pembersihan mekanis oleh
dokter gigi (Sigurdsson, 2003).
Teori tentang fokal infeksi sangat erat hubungannya dengan bagian gigi,
dimana akan memengaruhi fungsi sistemik seseorang seperti sistem sirkulasi,
skeletal, dan sistem saraf. Hal ini disebabkan oleh penyebaran
mikroorganisme atau toksin yang dapat berasal dari gigi, akar gigi, atau gusi
yang terinfeksi. Menurut hasil penelitian Genco (1996) menyebutkan bahwa
ada beberapa macam penyakit sistemik yang memiliki hubungan langsung
dengan kelainan gigi dan jaringan penyangga gigi, seperti penyakit
kardiovaskuler, alergi, penyakit asthma, hay fever, anemia, diabetes mellitus,
arthritis, kanker kandung kemih, dan sebagainya (Sigurdsson, 2003).
Tiga mekanisme yang berkaitan antara infeksi rongga mulut dengan
efek sistemik sekunder adalah metastasis infeksi pada rongga mulut sebagai
hasil bakteremia sementara, metastasis cedera sebagai hasil toksin microbial
mulut yang beredar, dan metastasis inflamasi sebagai hasil cedera imunologi
yang diinduksi oleh mikroorganisme rongga mulut

Metastasis Infeksi
Infeksi rongga mulut dan prosedur dental dapat menyebabkan
terjadinya bakteremia sementara. Mikroorganisme yang mendapatkan jalan
masuk ke dalam darah dan beredar di seluruh tubuh biasanya akan dieliminasi
oleh sistem retikuloendotelial dalam hitungan menit (bakteremia sementara)
dan sebagai penyebab utama tidak adanya gejala klinis selain sedikit
meningkatnya suhu tubuh. Namun, jika mikroorganisme yang beredar
menemukan kondisi yang tepat, mikroorganisme tersebut dapat berkoloni di
tempat tertentu dan, setelah beberapa saat, dan mulai bermultiplikasi.

Metastasis Cedera/Injury
Beberapa bakteri gram positif dan gram negatif memiliki kemampuan
untuk menghasilkan eksotoksin, termasuk di dalamnya adalah enzim sitolitik
dan toksin dimerik dengan subunit A dan B. Eksotoksin memiliki tindakan
farmakologikal tertentu dan dianggap sebagai racun yang paling kuat dan
mematikan. Sebaliknya, endotoksin adalah bagian dari membran luar yang
dilepaskan setelah sel mati. Endotoksin ibentuk oleh lipopolisakarida (LPS)
yang, ketika dilepaskan dalam inang, memberikan sejumlah besar manifestasi
patologis. LPS terus-menerus dilepaskan dari bakteri batang gram negatif di
jaringan periodontal pada saat perkembangannya dalam tubuh.

Metastasis Peradangan/Inflamasi
Antigen terlarut dapat memasuki aliran darah, bereaksi dengan antibodi
spesifik yang beredar, dan membentuk kompleks makromolekular.
Imunokompleks ini dapat menghasilkan berbagai macam reaksi peradangan
akut dan kronis pada tempat deposisinya.

STOMATITIS

Stomatitis aftosa adalah suatu peradangan yang terjadi pada mukosa


mulut, biasanya berupa ulser putih kekuningan. Ulser ini dapat berupa ulser
tunggal maupun lebih dari satu. SA dapat menyerang mukosa mulut yang
tidak berkeratin yaitu mukosa bukal, labial, lateral dan ventral lidah, dasar
mulut, palatum lunak dan mukosa orofaring.

A. Definisi
SA merupakan ulser oval rekuren pada mukosa mulut tanpa tanda-
tanda. Adanya penyakit lain dan salah satu kondisi ulseratif mukosa mulut
yang paling menyakitkan terutama sewaktu makan, menelan dan berbicara.
Penyakit ini relatif ringan karena tidak bersifat membahayakan jiwa dan tidak
menular. Tetapi bagi orang – orang yang menderita SAR dengan frekuensi
yang sangat tinggi akan merasa sangat terganggu. Beberapa ahli menyatakan
bahwa SAR bukan merupakan penyakit yang berdiri sendiri, tetapi lebih
merupakan gambaran beberapa keadaan patologis dengan gejala klinis yang
sama.

B. Epidemiologi
Prevalensi SAR bervariasi tergantung pada daerah populasi yang di
teliti. Angka prevalensi SAR berkisar 15-25% dari populasi penduduk di
seluruh dunia.
Penelitian telah menemukan terjadinya SAR pada dewasa sekitar 2% di
Swedia (1985), 1,9% di Spanyol (2002) dan 0,5% di Malaysia (2000). SAR
tampaknya jarang terjadi di Bedouins Kuwaiti yaitu sekitar 5% dan
ditemukan 0,1% pada masyarakat India di Malaysia. Namun, SAR sangat
sering terjadi di Amerika Utara.9 Di Indonesia belum diketahui berapa
prevalensi SAR di masyarakat, tetapi dari data klinik penyakit mulut di rumah
sakit Ciptomangun Kusumo tahun 1988 sampai dengan 1990 dijumpai kasus
SAR sebanyak 26,6%, periode 2003-2004 didapatkan prevalensi SAR dari
101 pasien terdapat kasus SAR 17,3%. SAR lebih sering dijumpai pada
wanita daripada pria, pada orang dibawah 40 tahun, orang kulit putih, tidak
merokok, dan pada anak-anak.
Menurut Smith dan Wray (1999), SAR dapat terjadi pada semua
kelompok umur tetapi lebih sering ditemukan pada masa dewasa muda. SAR
paling sering dimulai selama dekade kedua dari kehidupan seseorang. Pada
sebagian besar keadaan, ulser akan makin jarang terjadi pada pasien yang
memasuki dekade keempat dan tidak pernah terjadi pada pasien yang
memasuki dekade kelima dan keenam.

C. Faktor Predisposisi
Sampai saat ini, etiologi SAR masih belum diketahui dengan pasti.
Ulser pada SAR bukan karena satu faktor saja tetapi multifaktorial yang
memungkinkannya berkembang menjadi ulser.
1. Pasta Gigi dan Obat Kumur SLS
Penelitian menunjukkan bahwa produk yang mengandungi SLS yaitu
agen berbusa paling banyak ditemukan dalam formulasi pasta gigi dan
obat kumur, yang dapat berhubungan dengan peningkatan resiko terjadinya
ulser, disebabkan karena efek dari SLS yang dapat menyebabkan epitel
pada jaringan oral menjadi kering dan lebih rentan terhadap iritasi.
Beberapa penelitian telah melaporkan bahwa peserta yang menggunakan
pasta gigi yang bebas SLS mengalami sariawan yang lebih sedikit.
Penurunan ini ditemukan setinggi 81% dalam satu penelitian.
2. Trauma
Ulser dapat terbentuk pada daerah bekas terjadinya luka penetrasi
akibat trauma. Umumnya ulser terjadi karena tergigit saat berbicara,
kebiasaan buruk, atau saat mengunyah, akibat perawatan gigi, makanan
atau minuman terlalu panas, dan sikat gigi.
3. Genetik
Faktor ini dianggap mempunyai peranan yang sangat besar pada
pasien yang menderita SAR. Faktor genetik SAR diduga berhubungan
dengan peningkatan jumlah human leucocyte antigen (HLA), namun
beberapa ahli masih menolak hal tersebut. HLA menyerang sel-sel melalui
mekanisme sitotoksik dengan jalan mengaktifkan sel mononukleus ke
epitelium.
4. Gangguan Immunologi
Tidak ada teori yang seragam tentang adanya imunopatogenesis dari
SAR, adanya disregulasi imun dapat memegang peranan terjadinya SAR.
Salah satu penelitian mungungkapkan bahwa adanya respon imun yang
berlebihan pada pasien SAR sehingga menyebabkan ulserasi lokal pada
mukosa. Respon imun itu berupa aksi sitotoksin dari limfosit dan monosit
pada mukosa mulut dimana pemicunya tidak diketahui. Menurut
Bazrafshani dkk, terdapat pengaruh dari IL-1B dan IL-6 terhadap resiko
terjadinya SAR. Menurut Martinez dkk, pada SAR terdapat adanya
hubungan dengan pengeluaran IgA, total protein, dan aliran saliva.
Sedangkan 10 menurut Albanidou-Farmaki dkk, terdapat karakteristik sel
T tipe 1 dan tipe 2 pada penderita SAR.
5. Stres
Stres merupakan respon tubuh dalam menyesuaikan diri terhadap
perubahan lingkungan yang terjadi terus menerus yang berpengaruh
terhadap fisik dan emosi. Stres dinyatakan merupakan
6. Defisiensi Nutrisi
Wray (1975) meneliti pada 330 pasien SAR dengan hasil 47 pasien
menderita defisiensi nutrisi yaitu terdiri dari 57% defisiensi zat besi, 15%
defisiensi asam folat, 13% defisiensi vitamin B12, 21% mengalami
defisiensi kombinasi terutama asam folat dan zat besi dan 2% defisiensi
ketiganya. Penderita SAR dengan defisiensi zat besi, vitamin B12 dan
asam folat diberikan terapi subtitusi vitamin tersebut hasilnya 90% dari
pasien tersebut mengalami perbaikan. Faktor nutrisi lain yang berpengaruh
pada timbulnya SAR adalah vitamin B1, B2 dan B6. Dari 60 pasien SAR
yang diteliti, ditemukan 28,2% mengalami penurunan kadar vitamin-
vitamin tersebut. Penurunan vitamin B1 terdapat 8,3%, B2 6,7%, B6
10% dan 33% kombinasi ketiganya. Terapi dengan pemberian vitamin
tersebut selama 3 bulan memberikan hasil yang cukup baik, yaitu ulserasi
sembuh dan rekuren berkurang.
Dilaporkan adanya defisiensi Zink pada penderita SAR, pasien
tersebut diterapi dengan 50 mg Zink Sulfat peroral tiga kali sehari selama
tiga bulan. Lesi SAR yang persisten sembuh dan tidak pernah kambuh
dalam waktu satu tahun. Beberapa peneliti lain juga mengatakan adanya
kemungkinan defisiensi Zink pada pasien SAR karena pemberian preparat
Zink pada pasien SAR menunjukkan adanya perbaikan, walaupun kadar
serum Zink pada pasien SAR pada umumnya normal
7. Hormonal
Pada wanita, sering terjadinya SAR di masa pra menstruasi bahkan
banyak yang mengalaminya berulang kali. Keadaan ini diduga
berhubungan dengan faktor hormonal. Hormon yang dianggap berperan
penting adalah estrogen danprogesteron.
8. Infeksi Bakteri
9. Alergi dan Sensitifitas
Alergi adalah suatu respon imun spesifik yang tidak diinginkan
(hipersensitifitas) terhadap alergen tertentu. Alergi merupakan suatu reaksi
antigen dan antibodi. Antigen ini dinamakan alergen, merupakan substansi
protein yang dapat bereaksi dengan antibodi, tetapi tidak dapat membentuk
antibodinya sendiri.
SAR dapat terjadi karena sensitifitas jaringan mulut terhadap beberapa
bahan pokok yang ada dalam pasta gigi, obat kumur, lipstik atau permen
karet dan bahan gigi palsu atau bahan tambalan serta bahan makanan.
Setelah berkontak dengan beberapa bahan yang sensitif, mukosa akan
meradang dan edematous. Gejala ini disertai rasa panas, kadang-kadang
timbul gatal-gatal, dapat juga berbentuk vesikel kecil, tetapi sifatnya
sementara dan akan pecah membentuk daerah erosi kecil dan ulser yang
kemudian berkembang menjadi SA.
10. Obat-obatan
Penggunaan obat nonsteroidal anti-inflamatori (NSAID), beta
blockers, agen kemoterapi dan nicorandil telah dinyatakan
berkemungkinan menempatkan seseorang pada resiko yang lebih
11. Penyakit Sistemik
Beberapa kondisi medis yang berbeda dapat dikaitkan dengan
kehadiran SAR. Bagi pasien yang sering mengalami kesulitan terus-
menerus dengan SAR harus dipertimbangkan adanya penyakit sistemik
yang diderita dan perlu dilakukan evaluasi serta pengujian oleh dokter.
Beberapa kondisi medis yang dikaitkan dengan keberadaan ulser di rongga
mulut adalah penyakit Behcet’s, penyakit disfungsi neutrofil, penyakit
gastrointestinal, HIV-AIDS, dan sindroma Sweet’s.
12. Merokok

D. Gambaran Klinis
Gambaran klinis SAR penting untuk diketahui karena tidak ada
metode diagnosa laboratorium spesifik yang dapat dilakukan untuk
menegakkan diagnosa SAR. SAR diawali gejala prodormal yang
digambarkan dengan rasa sakit dan terbakar selama 24-48 jam sebelum
terjadi ulser. Ulser ini menyakitkan, berbatas jelas, dangkal, bulat atau oval,
tertutup selaput pseudomembran kuning keabu-abuan, dan dikelilingi
pinggiran yang eritematus dan dapat bertahan untuk beberapa hari atau bulan.
Tahap perkembangan SAR dibagi kepada 4 tahap yaitu:
1. Tahap premonitori, terjadi pada 24 jam pertama perkembangan lesi SAR.
Pada waktu prodromal, pasien akan merasakan sensasi mulut terbakar
pada tempat dimana lesi akan muncul. Secara mikroskopis sel-sel
mononuklear akan menginfeksi epitelium, dan edema akan mulai
berkembang.
2. Tahap pre-ulserasi, terjadi pada 18-72 jam pertama perkembangan
lesiSAR. Pada tahap ini, makula dan papula akan berkembang dengan tepi
eritematus. Intensitas rasa nyeri akan meningkat sewaktu tahap pre-
ulserasi ini.
3. Tahap ulseratif akan berlanjut selama beberapa hari hingga 2 minggu. Pada
tahap ini papula-papula akan berulserasi dan ulser itu akan diselaputi oleh
lapisan fibromembranous yang akan diikuti oleh intensitas nyeri yang
berkurang.
4. Tahap penyembuhan, terjadi pada hari ke - 4 hingga 35. Ulser tersebut
akan ditutupi oleh epitelium. Penyembuhan luka terjadi dan sering tidak
meninggalkan jaringan parut dimana lesi SAR pernah muncul. Semua lesi
SAR menyembuh dan lesi baru berkembang.
Berdasarkan hal tersebut SAR dibagi menjadi tiga tipe yaitu stomatitis
aftosa rekuren tipe minor, stomatitis aftosa rekuren tipe mayor, dan
stomatitis aftosa rekuren tipe herpetiformis.

1. SAR Tipe Minor


Tipe minor mengenai sebagian besar pasien SAR yaitu 75% sampai
dengan 85% dari keseluruhan SAR, yang ditandai dengan adanya ulser
berbentuk bulat dan oval, dangkal, dengan diameter 1-10 mm, dan
dikelilingi oleh pinggiran yang 15 eritematous. Ulserasi dari tipe minor
cenderung mengenai daerah-daerah non-keratin, seperti mukosa labial,
mukosa bukal dan dasar mulut. Ulserasi biasa tunggal atau merupakan
kelompok yang terdiri atas 4-5 ulser dan akan sembuh dalam waktu 10-14
hari tanpa meninggalkan bekas jaringan parut.

2. SAR Tipe Mayor


Tipe mayor diderita 10%-15% dari penderita SAR dan lebih parah dari
tipe minor. Ulser biasanya tunggal, berbentuk oval dan berdiameter sekitar
1-3 cm, berlangsung selama 2 minggu atau lebih dan dapat terjadi pada
bagian mana saja dari mukosa mulut, termasuk daerah-daerah
berkeratin.Ulser yang besar, dalam serta bertumbuh dengan lambat
biasanya terbentuk

Dengan bagian tepi yang menonjol serta eritematous dan mengkilat,


yang menunjukkan bahwa terjadi edema. Selalu meninggalkan jaringan
parut setelah sembuh dan jaringan parut tersebut terjadi karena keparahan
dan lamanya ulser.

3. SAR Tipe Herpetiformis


Istilah herpetiformis pada tipe ini dipakai karena bentuk klinisnya
(yang dapat terdiri dari 100 ulser kecil-kecil pada satu waktu) mirip
dengan gingivostomatitis herpetik primer, tetapi virus-virus herpes tidak
mempunyai peran etiologi pada SAR tipe herpetiformis. SAR tipe
herpetiformis jarang terjadi yaitu sekitar 5%-10% dari kasus SAR. Setiap
ulser berbentuk bulat atau oval, mempunyai diameter 0,5- 3,0 mm dan bila
ulser bergabung bentuknya tidak teratur. Setiap ulser berlangsung selama
satu hingga dua minggu dan tidak akan meninggalkan jaringan parut ketika
sembuh.

E. Diagnosa
Diagnosis SAR didasarkan pada anamnesa dan gambaran klinis
dari ulser. Biasanya pada anamnesa, pasien akan merasakan sakit dan terbakar
pada mulutnya, lokasi ulser berpindah-pindah dan sering berulang. Harus
ditanyakan sejak dari umur berapa terjadi, lama (durasi), serta frekuensi ulser.
Setiap hubungan dengan faktor predisposisi juga harus dicatat.
Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan ulser pada bagian mukosa
mulut dengan bentuk yang oval dengan lesi ±1 cm yang jumlahnya sekitar 2-
6. Pemeriksaan tambahan diperlukan seperti pemeriksaan sitologi, biopsi, dan
kultur bila ulser tidak kunjung sembuh.

CHRON’S DISEASE

DEFINISI

Crohn’s Disease merupakan salah satu Inflammatory Bowel


Diseases (IBD), yang ditandai dengan peradangan granulomatosa transmural
yang dapat mengenai setiap bagian dari saluran pencernaan paling sering yaitu
mengenai ileum, usus besar atau keduanya (Thia et al., 2010). Peradangan ini
mencakup seluruh bagian dinding usus dari superficial hingga profundal.

ETIOLOGI
Penyebab Crohn’s belum pasti, namun banyak teori yang diajukan:

a. Infeksi

Faktor ini diduga karena adanya sisa-sisa asiler disentri, atau karena
ileosoekal tuberculosis.

b. Reaksi alergik

Hal ini dapat dibuktikan dengan menyuntikkan “crystal line silica”


yang disusul dengan menyuntik bakteri koli i.v., maka terjadi oedema
dari lapisan submukosal dan mukosa yang disertai penebalan diniding
intestine. Kemungkinan pula bahan beberapa solid partikel tersebut
dapat diserap melalui mukosa intestine kedalam limfatik yang dapat
menyebabkan timbulnya proliferasi dan terjadi granuloma.

c. Faktor psikhosomatik

Oleh karena penyakit ini sampai saat sekarang belum diketahui dengan
jelas penyebabnya, maka dipikirkan factor psikis sebagai penyebabnya.

d. Terdapat faktor-faktor auto-imun. Mungkin juga disebabkan oleh suatu


RNA Virus kecil, tetapi mengenai ini belum ada kepastian.Tidak jelas
apakah faktor genetik mempunyai peranan.

e. Makanan yang tidak atau kurang mengandung serat yang biasanya


digemari di Negara Barat mempunyai peranan yang penting. Mungkin
ini pula yang menyebabkan bahwa penyakit Crohn tidak begitu banyak
ditemukan di Negara Asia dan Afrika di mana makanan lebih banyak
mengandung serat seperti sayur-mayur dan buah-buahan dan lain-lain.

EPIDEMIOLOGI
Penyebaran penyakit ini sama dengan kolitis ulserosa. Banyak
ditemukan di Negara Barat dan sedikit di Negara Asia dan Afrika. Akan
tetapi akhir-akhir ini lebih banyak kasus Crohn ditemukan di Indonesia,
mungkin juga karena lebih banyak orang berobat ke dokter dan adanya
kemajuan di bidang teknik untuk diagnosa.

Crohn’s disease dapat dijumpai pada semua umur. Biasanya dimulai


pada usia dewasa. Lebih dari separoh penderita sekitar umur 10 tahun, 90
% dari penderita terdapat sekitar 10-40 tahun dan yang terbanyak dijumpai
pada umur 30 tahun, dan pernah ditemukan seorang penderita berumur 19
tahun. Kaum pria lebih banyak menderita penyakit ini jika dibandingkan
dengan kaum wanita

PATOGENESIS

Berbagai penelitian mendukung teori berlebihnya sel Th1 dan Th17


serta sitokin yang berhubungan dengannya memiliki peran penting dalam
perkembangan penyakit ini. Model hewan dan manusia menunjukkan
peningkatan faktor transkripsi sel T berperan penting dalam respon sitokin.
Bukti terkini dari peran penting sel Th1 dan Th17 menyebabkan CD
adalah efektivitas terapi biologis yang ditujukan pada interferon gamma,
IL-2 dan IL-23 dalam terapi CD. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa
TNF merupakan mediator sentral dari CD yang diturunkan dari Th1, dan
merupakan target terapi yang penting. Berbagai terapi yang ditujukan pada
TNF menunjukkan hasil yang baik seperti pemberian infliximab,
adalimumab dan certolizumab pegol.

Manifestasi Klinis

Manifestasi klinis yang paling umum yaitu diare kronis atau


penurunan konsistensi feses selama lebih dari 4 minggu, nyeri perut
(70%), penurunan berat badan (60%), adanya darah, lendir atau keduanya
di dalam BAB. Manifestasi ekstraintestinal juga dapat terjadi diantaranya
arthritis perifer (33%), stomatitis aftosa, uveitis, eritema nodosum dan
ankylosing spondylitis (Ho and Khalil, 2015).

Gambar 1. Fenotip Crohn’s Disease dan manifestasi ekstraintestinal


Sumber: (Ho and Khalil, 2015)

Gejala sistemik yang dapat terjadi adalah demam, berkeringat,


merasa lemas, dan nyeri sendi. Demam ringan merupakan tanda pertama
yang harus diwaspadai, kemudian pasien dapat merasa kelelahan yang
berhubungan dengan nyeri, inflamasi, dan anemia. Pada anak-anak dapat
terjadi keterlambatan tumbuh dan maturasi seksualnya tertunda atau
gagal. Pada 10-20% kasus terdapat manifestasi ekstraintestinal seperti
arthritis, uveitis, dan penyakit liver (Danastri, 2013).

Pemeriksaan diagnostik

a. Pemeriksaan Histologi
Pada chron disease, yang terlibat adalah seluruh dinding intestinal
tidak hanya mukosa dan submukosa seperti yang terjadi pada
Ulserative Colitis. Pada biopsi biasanya terlihat adanya granuloma,
yang biasanya dapat membantu untuk menegakkan diagnosis.Karena
spesimen biopsi biasanya hanya diambil pada jaringan mukosa
superficial, sehingga sering sulit menegakkan diagnosis hanya dengan
pemeriksaan histologi saja. Namun, penyebab lain dari inflamasi dapat
diperkirakan dengan pemeriksaan ini (Danastri, 2013).
b. Pemeriksaan Darah Lengkap
Komponen darah lengkap yang diperiksa berguna sebagai indikator
aktivitas daripada penyakit dan adanya defisiensi vitamin maupun zat
besi. Peningkatan jumlah sel darah putih umum pada pasien dengan
penyakit inflamasi yang aktif, dan bukan selalu mengindikasikan
terjadinya infeksi. Umumnya jumlah platelet normal, dapat sedikit
meningkat jika terjadi inflamasi aktif, khususnya jika terjadi
perdarahan pada saluran pencernaan. Laju endap darah (LED)
merupakan penanda terjadinya inflamasi, dimana jika terdapat
inflamasi akan terjadi peningkatan nilai LED di atas normal. LED
dapat digunakan untuk menentukan apakah crohn’s disease aktif
sedang berlangsung atau tidak. Pasien dengan striktur cicatrix tidak
mengalami peningkatan LED (Danastri, 2013).
c. Pemeriksaan Feses
Pemeriksaan kultur feses dilakukan untuk mengevaluasi adanya
leukosit, ova atau telur cacing maupun parasit kemudian kultur bakteri
patogen, dan titer Clostridium difficile (Danastri, 2013).
d. Pemeriksaan Serologi
anti-Saccharomyces cerevisiae antibodies (ASCA) dapat ditemukan
pada pasien chron disease. Namun saat ini, marker tersebut sudah tidak
cukup sensitive lagi untuk digunakan sebagai screening test dan
menegakkan diagnosis berdasarkan pemeriksaan serologi saja tidak
dibenarkan (Danastri, 2013).
e. Endoskopi
Standar emas untuk semua pasien dengan penyakit Crohn adalah
ileocolonoscopy lengkap dengan biopsi. Endoskopi kapsul mungkin
lebih sensitif dibandingkan dengan enterografi atau enteroclysis yang
dikombinasikan dengan CT (CTE) dan MRI (MRE) pada pasien tanpa
endoskopi atau gambaran klinis stenosis (Dionisio et al., 2010).
f. CT dan MRI Enterografi atau enteroklyisis

CTE menawarkan resolusi spasial tertinggi dan telah menggantikan


floroskopi pada usus kecil. CTE sangat sensitive dapat menunjukkan
inflamasi yang terlewatkan oleh teknik lain, dapat mendeteksi
komplikasi seperti obstruksi, fistula, dan abses. CTE juga lebih efektif
biaya. Kerugian pemeriksaan diagnostic CTE ini adalah paparan
radiasi yang tinggi. MRE adalah alternatif berbasis CTE non-radiasi,
non-yodium kontras. Dengan protokol yang tepat dapat memberikan
film untuk menilai motilitas dan pencitraan terperinci dari dinding usus
ke tingkat mukosa. Ini adalah pilihan yang lebih disukai untuk
pencitraan berulang, follow-up jangka panjang dan work-up perianal fi
stula dan komplikasi abses (Panés et al., 2011).

g. Ultrasound (sonography)

Ultrasonografi abdominal (gas atau shell microbubble) yang


ditingkatkan kontras adalah teknik pencitraan non-invasif yang
tersedia dengan sensitivitas dan spesifisitas keseluruhan yang hampir
sama dengan MRI dan CT (Panés et al., 2011). Studi prospektif telah
menunjukkan kegunaan untuk diagnosis awal, penilaian aktivitas
penyakit, deteksi fistula, stenosis dan abses, dan korelasi signifikan
dengan histopatologi, temuan laboratorium, indeks aktivitas penyakit
yang divalidasi, dan endoskopi. Ultrasonografi trans rectal dan
endoskopi dapat membantu komplikasi perianal (Dionisio et al., 2010).

h. Biomarkers

Prosedur pencitraan berbasis sinar-X merupakan sumber paparan


radiasi pengion yang penting dan dapat menghasilkan dosis efektif
kumulatif yang tinggi. Pasien dengan penyakit Crohn memiliki dosis
efektif total 2·5 kali lebih tinggi daripada mereka yang menderita
kolitis ulserativa dalam satu penelitian (Ho and Khalil, 2015).

HUBUNGAN FOKAL INFEKSI DENGAN CHRON’S DISEASE

CD disebabkan karena faktor genetik yaitu mutasi gen CARD15 (NOD2)


pada kromosom 16 telah ditemukan pada sekitar 1/3 pasien dengan CD dan
terutama terkait dengan penyakit ileum, merokok, infeksi mycobacterium
paratuberculosis dan diet yang mengandung asupan tinggi gula rafinasi dan
sedikit serat. Predileksi yang tinggi didapatkan pada laki-laki dan usia muda.
Tingkat prevalensinya diperkirakan antara 20% hingga 50%. Pasien-pasien ini
seringkali memiliki gejala pada anal dan esofagus seperti nyeri perut, diare, gejala
obstruktif, massa pada fossa iliaka kanan dan gejala ekstra intestinal seperti
radang sendi akut, konjungtivitis dan uveitis. Ulkus oral muncul pada sekitar 9%
pasien CD yang tidak terdiagnosis dan bisa menjadi gejala klinis yang pertama
muncul atau bahkan hanya satu-satunya gejala klinis pada penyakit ini.
Dalam pemeriksaan oral didapatkan lesi multifokal, linear, nodular,
indurasi, polypoid atau penebalan mukosa difus, dengan predileksi di mukosa
labial dan bukal, lipatan mukobukal, bibir, gingiva, dan daerah retromolar. Pada
lesi ini cobblestone terlihat pada mukosa buccal posterior dan mungkin
berhubungan dengan lipatan mukosa yang sehat dimana didapatkan epitel yang
normal. Lesi tersebut biasanya terdiri dari papul yang berwarna sama dengan
mukosa yang menghasilkan plak berbatas tegas pada mukosa buccal dan palatum.
Pada palpasi lesi oral tersebut didapatkan karakteristik lesi berbatas tegas, merah
muda dan tanpa rasa sakit kecuali jika terdapat ulserasi yang menimbulkan rasa
sakit saat disentuh, atau saat makan makanan asam, pedas, atau panas. Ulkus ini,
yang mana biasanya persisten, linear dan dalam, dapat teraba granular di bawah
epitelium, yang mencerminkan temuan histologis.
Pada tahun 1969, manifestasi oral penyakit Chron’s digambarkan identik
dengan yang terjadi di mukosa intestinal. Secara histologi, lesi ini mempunyai
gambaran granuloma non-necrotik di submucosa, yang terdiri dari sel raksasa
Langerhan multinuklear, sel epiteloid, limfosit, dan sel plasma. Granuloma-
granulom ini dapat bervariasi dalam ukuran dan kedalamannya di submukosa, dan
insidensinya bervariasi dari 10-99%. Kadang-kadang granuloma ini menonjol ke
dalam lumen limfatik, suatu keadaan yang disebut ”limfangitis granulomatosa
endovasal” (“endovasal granulomatous lymphangitis”).
Secara klinik, pasien tersebut memiliki gejala pembengkakan difus pada
satu atau kedua bibir, dengan angular cheilitis, dan ”cobblestone” pada mukosa
buccal dengan mukosa yang rigid dan hiperplastik. Dapat juga terjadi nyeri
ulserasi pada vestibulum bukal, pembengkakan terlokalisir yang tidak nyeri pada
bibir atau wajah, fissure pada garis tengah bibir bawah, dan edema erythematos
gingiva. Limfonodi servik dapat menjadi keras dan terpalpasi. Tidak ada
hubungan waktu yang langsung antara intestinal dan lesi rongga mulut. Lesi
rongga mulut telah terbukti mendahului lesi intestinal selama bertahun-tahun, dan
pada beberapa kasus dapat menjadi satu-satunya manifestasi penyakit Chron’s.
Lesi rongga mulut hanya dapat berefek dengan steroid sistemik.

Gambar 2. Ulkus superfisial irregular pada ventral lidah pada penyakit Chron

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Fokal infeksi merupakan suatu infeksi local yang biasanya sudah
berlangsung dalam waktu yang lama pada suatu bagian tubuh yang kemudian
dapat menyebabkan infeksi pada bagian lain (Grossman, 2010). Teori tentang
fokal infeksi sangat erat hubungannya dengan bagian gigi, dimana akan
memengaruhi fungsi sistemik seseorang seperti sistem sirkulasi, skeletal, dan
sistem saraf. Bakteri yang masuk ke sirkulasi darah akan beredar hingga
menemukn kondisi yang tepat untuk berkoloni dan bermultiplikasi.
Pada pasien dengan focal infeksi dan akan dilakukan pembedahan
memiliki risiko terjadi infeksi lebih besar. Hal ini mengakibatkan proses
penyembuhan membutuhkan waktu dan usaha yang lebih. Selain itu pada
pasien yang dilakukan tindakan operasi dengan memiliki riwayat DM dan HT
disertai focal infeksi memiliki risiko lebih besar pada saat jalannya operasi
hingga penyembuhannya.
Oleh karena itu, pentingnya dilakukan screening dan tatalaksana
mengenai focal infeksi pada pasien yang akan dilakukan pembedahan.
Pemberian profilaksis sangat dianjurkan pada pasien dengan focal infeksi
walaupun utamanya adalah menyingkirkan focal infeksi tersebut.
B. Saran

Screening adaanya focal infeksi perlu dilakukan seorang dokter sebelum


melakukan tindakan operasi guna mengurasi risiko terjadinya infeksi pada
tempat operasi yang disebabkan karena focal infeksi.

Perlu perawatan gigi secara berkala. Cara pencegahan terbentuknya


karang gigi dengan rajin dan teliti membersihkan gigi secara baik dan benar.
Penggosokan pada lidah selama 30 detik juga terbukti mengurangi jumlah
bakteri di dalam mulut.
DAFTAR PUSTAKA

Central for Disease Control and Prevention


(CDC). 2017. [pdf] London : Central for
Disease Control and Prevention. 9 Surgical
Site Infection (SSI) Event.
https://www.cdc.gov/nhsn/pdfs/pscmanual/9
pscssicurrent.pdf

Grossman LI. Grossman’s Endodontic Practice. 12th ed. (Chandra BS, Krishna
VG, eds.). New Delhi: Wolters Kluwer Health; 2010.

Leong, X. F., Ng, C. Y., Badiah, B., & Das, S. (2014). Association between
hypertension and periodontitis: Possible mechanisms. The Scientific
World Journal, 2014. https://doi.org/10.1155/2014/768237

Potter, P.A., Perry, A.G. 2005. Buku Ajar


Fundamental Keperawatan: Konsep, Proses
dan Praktek Edisi 4. Jakarta: EGC

Preshaw PM, Alba AL, Herrera D, Jepsen S, Konstantindis A, et al.


Periodontitis and diabetes: a two-way relationship. Diabetologia 2012;
55:21-31

Sigurdsson, A. (2003). Pulpal diagnosis. Endodontic Topics, 5(1), 12–25

Swastini, I Gusti Ayu Putu. (2013). Kerusakan Gigi Merupakan Fokal Infeksi
Penyebab Timbulnya Penyakit Sistemik. Jurnal Kesehatan Gigi; Vol. 1

Walton RE, Torabinejad M. prinsip dan praktik ilmu endodonsia edisi 3.


Jakarta: EGC; 2008, hal.36-45

Anda mungkin juga menyukai