Anda di halaman 1dari 37

22

BAB II
BIOGRAFI DAN PEMIKIRAN IMAM ABU HANIFAH
DAN IMAM ASY-SYAFI’I

A. BIOGRAFI IMAM ABU HANIFAH


1. Silsilah Imam Abu Hanifah
Nama lengkap Abu Hanifah ialah Abu Hanifah al-Nu‟man bin
Tsabit Ibn Zutha al-Taimy. Lebih dikenal denagn sebutan Abu Hanifah. Ia
berasal dari Arsi, lahir di Kufah tahun 80 H / 699 M dan wafat di
Baghdad tahun 150 H /767 M. ia menjalani hidup di dua lingkungan sosial
politik yakni di masa akhir dinasti Umayah dan masa awal dinasti
Abbasiyah.23
Abu Hanifah adalah putra Tsabit bin Zuthi seorang keturunan
Persia, ayah Abu Hanifah seorang pedagang besar, bahkan ayahnya pernah
berjumpa dengan Ali bin Abi Thalib24. Karenanya Abu Hanifah sebelum
memusatkan perhatiannya kepada ilmu, turut berdagang di pasar menjual
kain sutra. Disamping berniaga, beliau tekun juga menghafal al-Qur‟an
dan amat gemar membacanya. Daya intelektual Imam Abu Hanifah
menarik perhatian orang-orang yang mengenalnya, oleh karena itu asy-
Sya‟bi menganjurkan supaya Abu Hanifah mencurahkan perhatiannya
pada ilmu, dengan anjuran seperti itu Imam Abu Hanifah mulai terjun ke
lapangan ilmu, tetapi walaupun begitu, beliau tidak melepas perniagaanya
sebagai pedagang sama sekali.
Kufah di masa itu suatu kota besar, tempat tumbuhnya rupa-rupa
ilmu, tempat berkembangnya kebudayaan, masalah-masalah politik, dasar-
dasar aqidah di kufah tumbuhnya, dan juga beberapa golongan yang ikut
mewarnai, yaitu golongan Syiah, Khawarij, Mu‟tazilah, sehingga lahirlah
ahli-ahli ijtihad terkenal.

23
Huzaimah Tahido Yangdo, Pengantar Perbandingan Mazhab, (Jakarta: Logos Wacana
Ilmu, 1997), h. 95
24
M. Hasbi Asshidiqi. Pokok-Pokok Pegangan Ilmu Mazhab. Cet. Ke-I, (Semarang: PT.
Pustaka Rizki Putra, 1997), h. 442

22
23

Di kufah kala itu terdapat tiga halaqoh ulama;


1. Halaqoh untuk mengkaji bidang aqidah
2. Halaqoh untuk mengkaji bidang hadis
3. Halaqoh untuk mengkaji bidang fiqih25
Imam Abu Hanifah berkonsentrasi dalam bidang fiqih, sungguhpun
demikian Imam Abu Hanifah tidak menjauhi lapangan lapangan lain.
Beliau menguasai bidang qiroat, bidang arobiah dan ilmu kalam. Beliau
turut berdiskusi dalam bidang kalam dan menghadapi partai-partai
keagamaan yang tumbuh pada masa itu. Pada akhirnya beliau menghadapi
fiqih dan menggunakan daya akalnya untuk fiqih dan perkembangannya.
Untuk mendalami ilmu yang digelutinya, yakni ilmu fiqih, Imam
Abu Hanifah mendatangi para Tabi‟in yang berguru pada sahabat-sahabat
besar dan sahabat-sahabat terkemuka, di antaranya yaitu; Umar Bin
Khatab, Ali Bin Abi Talib, Ibnu Masud, dan Ibnu Abbas.
Walaupun beliau sibuk dalam belajar dan mendalami ilmu syari‟at,
tetapi beliau tetap tidak melepaskan kegiatan rutinitasnya, yaitu sebagai
pedagang dalam kehidupan sehari-harinya. Abu Hanifah adalah seorang
yang berkecukupan dalam kehidupan sehari-harinya, beliau tidak tamak,
tidak takut kehabisan harta, sangat memelihara amanah orang yang di
titipkan Padanya, murah hati dan baik dalam segala hal. Beliau juga
terkenal jujur dalam bermuamalah dan menghindari tawar menawar. Ja‟far
bin Robi berkata; saya tinggal bersama Abu Hanifah selama lima puluh
tahun, dan saya tidak melihat orang yang lebih lama diamnya dari
padanya, apabila ia ditanya tentang fiqih maka ia terbuka dan mengalir
seperti lembah,, dan saya mendengar pembicaraannya bergema dan keras
ia seorang Imam dan tokoh dalam qiyas26
Abu Hanifah memiliki sifat-sifat yang menundukan kepuncak ilmu
di antara para ulama. Beliau mempunyai sifat yang sama dengan sifat-sifat
yang harus ada pada seseorang alim al‟alamah yaitu sifatnya adalah:

25
M. Hasbi Asshidiqi. Pokok-Pokok Pegangan Ilmu.,, h. 442
26
Hudhori Bik. Tarikh Tasyri al-Islam, alih bahasa, Mohammad Zuhri, (Darul Ihya,
Indonesia), h. 409
24

a. Abu Hanifah memiliki perawakan sedang, tidak terlalu tinggi dan


tidak terlalu pendek, kulitnya kecoklat-coklatan, memiliki postur
tubuh yang bagus, suaranya bagus dan enek didengar.
b. Seorang yang teguh pendiriannya, yang tidak dapat diombang ambing
pengaruh-pengaruh luar.
c. Berani mengatakn salah pada yang salah, walau yang disalahkan itu
seorang yang berpengaruh besar, dengan kata lain konsekwensi
hukum.
d. Mempunyai jiwa merdeka, tidak mudah larut dalam pribadi orang
lain.
e. Suka meneliti segala yang dihadapi, tak berhenti pada dasarnya sajah
tetapii terus mendalami isinya, karena beliau selalu mencari ilat-ilat
hukumnya.
f. Mempunyai daya tangkap yang luar biasa untuk memecahkan hujjah
lawan27

2. Pengalaman Imam Abu Hanifah dalam belajar


Pengaruh dan pengalaman yang dialami oleh Imam Abu Hanifah
memberi kesan dalam perkembangan ilmu dan pengaruhnya pada
perluasan fikiran. Kehidupan Imam Abu Hanifah dan pengalaman-
pengalamannya menuju pada pembukaan fiqih Iraq, yaitu fiqih yang
disesuaikan situasi, kondisi, dan keadaan di Negara Iraq.
Karena Imam Abu Hanifah seorang pedagang maka beliau banyak
bergaul dengan masyarakat ramai, sehingga Abu Hanifah sangat pandai
mempergunakan istihsan yang dipakai di waktu tak dapat digunakn qias
dan urf, beliau langsung menghubungi masyarakat dan mempelajari
muamalah mereka.
Salah satu pengalamannya juga, Abu Hanifah banyak melawat,
kurang lebih lima puluh lima kali beliau berhaji. Dalam pelawatannya

27
Hasbi Assidiqy, Pokok-Pokok Peganagn Imam Mazhab, Cet. Ke-I, (Semarang: PT.
Pustaka Karya Putra. 1997), h. 448
25

sering berjumpa dengan Imam Malik di Madinah dan menjumpai al-


Auza‟i, dan berdiskusi dengan mereka.28
Untuk mempertahankan Islam, Imam Abu Hanifah sering
bermusyawaroh dalam bidang aq‟aid dan fiqih di setiap tempat yang di
kunjunginya, antara lain; Makkah, Madinah maupun kota-kota lainya,
ketika Imam Abu Hanifah pindah kekota Basrah, beliau sering berdebat
dengan tokoh-tokoh fiqih dengan perdebatan dan diskusi-diskusi itu Imam
Abu Hanifah dapat menyelam lebih dalam dan jauh jalan-jalan qiyas yang
belum di sadarinya dan fatwa-fatwa sahabat yang belum di ketahuinya.
Imam Abu Hanifah dalam memberikan kuliahnya tidak menempuh
jalan dikte ataupun ceramah, melainkan beliau mengemukakan masalah-
masalah pada murid-muridnya lalu dibahas bersama-sama. Cara seperti ini
dapat menambahkan ilmu dan wawasan bagi kedua belah pihak. Dengan
metode musyawaroh dan diskusi, Imam Abu Hanifah mengharapkan agar
murid-muridnya ahli debat bukan ahli catat. Setiap murid-muridnya yang
sudah dianggap mampu untuk berdiri sendiri, Imam Abu Hanifah
menganjurkan agar mendirikan majlis, dan beliau selalu menasehati setiap
murid yang akan mendapat pekerjaan yang dianggap penting.
Dalam pengalamannya, Imam Abu Hanifah pernah ditunjuk oleh
Imam Hubairoh (salah satu wali Iraq) untuk menjadi hakim pada masa
kekuasaan Daulah Ammawiyah, namun tawaran yang diberikan oleh
Hubairoh ditolaknya, sehingga Imam Abu Hanifah dipenjara dan di
siksanya29. Tawaran semacam itu pula dialami oleh Imam Abu Hanifah
pada masa Abbasiyah, namun sama tawaran itu ditolaknya, sehingga Abu
Hanifah dipenjara sampai meninggal pada tahun 150 H (767 M).
Ada yang mengartikan bahwa penolakan itu menurut kabar yang
tersiar dari Imam Abu Hanifah sendiri, ialah karena ketidaksetujuan
dengan politik yang dilakukan oleh penguasa negara pada waktu itu. Akan
tetapi ada pula yang mengatakan kepercayaan beliau seperti sementara

28
Hasbi Assidiqy. Pokok-Pokok Peganagn Imam.,, h. 450
29
Hudhori Bik. Tarikh Tasyri al-Islam.., h. 408
26

orang lain juga, bahwa pemangkuan jabatan dalam pemerintahan akan


mendorong pada kecacatan dan akan merugikan agama dan kehormatan.30

3. Imam Abu Hanifah di bidang Politik, Sosial dan Kebudayaan


a. Politik
Imam Abu Hanifah mengalami masa kejayaan Bani Umayah,
dan masa kejatuhannya. Beliau hidup dalam masa pertumbuhan cita-
cita Abbasiyah yang mula-mula tumbuh di tengah-tengah pengawasan
ketat mata-mata bani umayah. Imam Abu Hanifah mengalami semua
itu dan terpengaruh jiwanya.
Imam Abu Hanifah cenderung pada keturunan Ali dan jihat
Fatimah. Pada masa itu Imam Abu Hanifah tidak ke medan
pertempuran secara fisik, ia mencukupinya dengan ifta dan
sebagainya. Abu Hanifah juga tetap menempatkan Abu Bakar dan
Umar di tempat teratas, namun Imam Abu Hanifah tidak
mendahulukan Utsman atas Ali, walaupun tidak mencela Utsman.31
Pendapat Imam Abu Hanifah bahwasanya Ali berada di pihak
yang benar dalam segala pertempuran, maka dengan sendirinya Imam
Abu Hanifah tidak simpati kepada khalifah Ammawiyah.
Di ketika Yazid bin Umar Ibn Hubairoh menjadi gubernur
Iraq, dia meminta Abu Hanifah mengendalikan pengadilan, atau
menjadi bendaharawan negara, penawaran ini hanya untuk menguji
sampai dimana partisipasi Imam Abu Hanifah kepada pemerintah Bani
Umayah. Abu Hanifah menolak demikian pula al-Mansyur menyuruh
Abu Hanifah jadi hakim, ia tetap menolak. Kemudian Imam Abu
Hanifah dapat meloloskan diri dari penjara dengan pertolongan tukang
cambuknya. Ia melarikan diri ke Makah pada tahun 130 H dan
bermukim di sana. Barulah pada tahun 136 H di masa al-Mansyur,
Imam Abu Hanifah kembali ke kuffah.32

30
Subhi Mahmasni, Filsaftut Tasyri Fil Islam, alih bahasa, Ahmad Sudjono, Cet. Ke- I
(Bandung: PT. al-Ma‟arif, 1976), h. 456
31
Hasbi Asshidiqi, Pokok-Pokok Pegangan Imam.,, h. 456
32
Hasbi Asshidiqi, Pokok-Pokok Pegangan Imam.,, h. 445
27

Pada mulanya Imam Abu Hanifah menghadapi Bani Abbas


penuh dengan kegembiraan, beliau sangat simpati terhadap
pemerintahan Bani Abbas, karena pemerintahan ini dibangun
berdasarkan kepada wasiat salah seorang cucu Ali bin Abi Thalib,
namun setelah adanya persengketaan antara khalifah-khalifah Bani
Abas dengan keturunan Ali, Imam Abu Hanifah mulai berpaling dari
Bani Abbas. Imam Abu Hanifah mengkritik khalifah abbasiyah
terhadap tindakan-tindakan mereka terhadap keturunan Ali.
Abu Hanifah juga mengkritik keras putusan-putusan hakim dan
fatwa-fatwa ulama pemerintah. Karena itu Abu Hanifah di penjara dan
di cambuk, akhirnya Abu Hanifah wafat sebagai akibat dari
penderitaan-penderitaan dalam tahanan rumah.33

b. Sosial
Dalam kehidupan bermasyarakat Imam Abu Hanifah terkenal
dengan sabar dan pemaaf. Selama itu juga beliau memiliki kepedulian
sosial yang tinggi. Walid bin Qosim berkata: “Abu Hanifah adalah
seorang yang memiliki kepedulian sosial yang tinggi terhadap para
sahabatnya selalu bertanya kondisi mereka, ketika beliau mengetahui
ada diantara mereka yang mempunyai kebutuhan, maka beliau selalu
memberikan bantuan. Kalau ada diantara mereka atau sanak saudara
mereka yang sakit maka beliau membesuknya, kalau ada diantara
mereka atau sanak saudara mereka yang meninggal maka beliau selalu
mengiringi jenazahnya. Beliau selalu memberikan bantuan pada para
sahabatnya atau sanak sudaranya yang ditimpa musibah, beliau
memiliki watak pemurah dan tidak ada seseorangpun yang
mengutarakan kebutuhannya yang tidak pernah dipenuhi oleh beliau”.
Beliau mempunyai tetangga kafir dan pemabuk, yang selalu
begadang dan selalu berteriak-teriak ketika terkena musibah. Pada
suatu saat ditangkap oleh polisi dan di penjara. Seiring dengan Abu
Hanifah mengetahuinya lalu beliau mendatangi hakim guna untuk
33
Hasbi Asshidiqi, Pokok-Pokok Pegangan Imam.,, h. 445-446
28

melepaskan pemuda itu dari penjara. Tidak lama kemudian pemuda itu
dibebaskan.
Abu Hanifah mengeluarkan 10 dinar dan mengeluarkanya pada
pemuda itu. Seraya berkata: “cukuplah dengan harta ini, kekurangan
pemasukanmu di waktu berada dalam penjara, kalau dalam suatu hari
nanti kamu butuh sesuatu, sampaikanlah padaku. Jangan sampai ada
jarak antara kamu dengan kami dan bergabunglah bersama istrimu
untuk membahagiakannya atas kedatanganmu”.

c. Kebudayaan
Kejeniusan daya intelektual yang dimiliki oleh Imam Abu
Hanifah mampu menggali ilmu sebanyak-banyaknya. Beliau memiliki
kelebihan di bidang teori, analogi dan logika sehingga beliau dikatakan
tokoh rasionalis.
Dalam disiplin ilmu syari‟at, bahasa, sastra serta filsafat, beliau
bagaikan lautan yang tak terbendung dan tidak ada mengungguli,
sehingga beliau mampu mengimbangi perkembangan budaya yang
berkembang di kuffah. Pada waktu itu perkembangan budaya di kuffah
berkembang sangat pesat dan kuffahpun menjadi pusat kebudayaan
Islam.
Seiring dengan perkembangan budaya beliau memberikan
kontribusi pemikiran dari segala bidang ilmu terutama ilmu ushul dan
ilmu fiqih. Pemikiran yang dilahirkan oleh pemikiran Imam Abu
Hanifah menimbulkan terbentuknya Madzhab Hanafi.

4. Pemikiran Fiqih Imam Abu Hanifah


Imam Abu Hanifah adalah seorang faqih yang cukup besar dan luas
pengaruhnya dalam pemikiran hukum Islam. Sebagaimana diceritakan
oleh Muhammad Abu Zahroh, bahwa Abu Hanifah adalah seorang faqih
dan ulama yang lebih banyak menggunakan ra‟yu, atau setidak-tidaknya
29

lebih cenderung rasional dalam pemikiran ijtihadnya34. Kecenderungan


rasionalis dalam fiqihnya Imam Abu Hanifah banyak di pengaruhi sosio-
kultural dan kebudayaan yang berkembang di Iraq, karena pada waku itu
Iraq sebagai kota tempat berkembangnya cabang-canbang ilmu, sehingga
banyak diskusi-diskusi keilmuan yang dilakukan oleh para ulama termasuk
Imam Abu Hanifah.
Toha Jabir Riadl al-Ulwani, membagi pemikiran Imam Abu
Hanifah menjadi dua bagian, yaitu:
a. Pemikiran pokok (primer)
Sebagaimana pernyataan Iamam Abu Hanifah sendiri;

‫ فمامل اجد فىه اخد ت بسنة رسول اهلل صلى اهلل‬,‫اين اخذ ت بكتب اهلل اذاوجد ته‬
‫عليه وسلم واالثارفاذا مل اجد ىف كتاب اهلل والسنة رسول اهلل صلى اهلل عليه وسلم‬
‫اخذت بقول اصحا به من سنة الاخرج من قو ذلم ا ى قول يهرمم فاذا اتتىى‬
‫االمرا ى ابر اميم الشاء بنىب احلسن وابن سهرين وسعيد ابن على ان اجتىد كما‬
‫اجتىدوا‬
“saya berpegang pada kitab allah apabila menemukannya,
jika saya tidak menemukannya saya berpegang pada sunah, saya
berpegang pada atsar, jika saya tidak menemukan dalam kitab dan
sunah saya berpegang pada pendapat para sahabat dan mengambil
mana yang saya sukai dan meninggalkan yang lain, saya tidak keluar
dari pendapat mereka kepada yang lainnya, maka jika persoalan
sampai pada Ibrahim al-Sya‟bini, al-Hasan, Ibnu Sirin, Said Ibnu
Musayyab, maka saya harus berijtihad sebagaimana mereka telah
berijtihad.35

Kutipan di atas menunjukan bahwa Imam Abu Hanifah


dalam melakukan istinbath hukum berpegang kepada sumber dalail
yang sistematis namun dalam penggunaan qiyas sepanjang dapat
diterapkan jika memenuhi persyaratan. Jika qiyas tidak mungkin
dilakukan terhadap kasus-kasus yang dihadapi maka pilihan
alternatifnya adalah menggunakan istihsan.

34
Romli SA, Muqoronah Madzahib Fil Ushul, Cet. Ke-I. (Jakarta: Gaya Media Pertama,
1999), h.47
35
Romli SA, Muqoronah Madzahib Fil Ushulh, h. 48
30

Melalui pernyataannya itu sudah jelas bahwa ia dalam


mengistinbatkan hukum tunduk pada al-Qur‟an dan as-Sunnah,
membandingkan pendapat sahabat dan memilih pendapat yang
memuaskannya. Adapaun tentang tabi‟in, ia berpandapat bahwa
dirinya berhak menyapakati mereka atau menyelisihinya menurut
hasil ijtihadnya, sebab ia sama dengan mereka, ia memiliki pendapat
dan ijtihad seperti mereka, dia adalah orang yang memiliki
kemampuan, karena itu dia berhak meneliti dan berpendapat sesuai
dengan ijtihadnya. Kemudian jika tidak menemukan dari ketiga
sumber itu, barulah ia melakukan ijtihad sesuai metode ijtihad yang ia
yakini kebenarannya.
Hasby asy-Syiddieqi, menguraikan dasar-dasar pegangan
Imam Hanafi, dan dapat disimpulkan bahwa dasar-dasar pegangan
Madzhab Hanafi adalah:
1) Kitab Allah (al-Qur‟an)
Suatu hal yang menjadi permasalahn al-Kitab dalam
pandangan Madzhab Hanafi adalah apakah yang dinamakan al-
Qur‟an itu hanya maknanya atau lafaznya sajah atau kedua-
duanya. Menurut As-Sarkasi, al-Qur‟an dalam pandangan
Hanafi hanya maknanya sajah, bukan lafazh dan makna. Adapun
menurut al-Badzdawi, Abu Hanifah menetapkan al-Qur‟an
adalah lafazh dan maknanya.
Jika diambil pendapat as-Sarkhasi, Abu Hanifah
membolehkan kita shalat dengan membaca terjemahan al-
Fatihah dan dapat dipandang bahwa terjemhan al-Qur‟an sama
dengan al-Qur‟an itu sendiri.
Perbedaan pendapat itu disebabkan oleh tidak adanya
pendapat yang jelas dari Abu Hanifah. Akan tetapi, “ia
membolehkan membaca terjemahan al-Qur‟an dalam shalat,
baik kita membaca ataupun tidak. pendapat tersebut dibantah
Abu Yusuf dan Muhammad al-Hasan, yang tidak membolehkan
31

hal tersebut, kecuali apabila tidak sanggup membaca al-Qur‟an


dengan lafazh Arabnya”.36
Ulama Mazhab Hanafi berpandangan bahwa pesan al-
Qur‟an tidak semuanya qath‟i dalalah. Ada beberapa hal yang
memerlukan interpretasi terhadap hukum yang ditunjukan oleh
al-Qur‟an tersebut, terutama ayat-ayat yang menerangkan
muamalah umum manusia.
Dalam ayat-ayat yang berhubungan dengan muamalah
tersebut, porsi penggunaan akal dalam mencari hukum suatu
masalh lebih besar. Hal itu telah dibuktikan, baik oleh Imam
Hanafi, maupun oleh murid-muridnya, dan arena ini juga
Mazhab Hanafi dijuluki mazhab yang paling umari dan mazhab
liberalis dan rasyonalis.37
Dalam memahami al-Qur‟an, ulama Mazhab Hanafi tidak
hanya melakuakan interpretasi terhadap ayat-ayat yang masih
mujmal, tetapi mereka juga melakukan penelaahan terhadap
„amm dan khas ayat al-Qur‟an tersebut. Dan inilah yang
tampaknya menjadi ciri khas ulama-ulama Irak yang dipelopori
oleh Imam Hanafi dan ulama-ulama Hijaz yang semazhab
dengan mereka.
Menurut ulama Hanafiah, hukum khas mencapai yang
makhsus adalah qathi‟ tanpa perlu adanya bayan, khasasul
Qur‟an, qhati‟ di dalamnya, dan segala nash yang mengubah
hukumnya dipandang nasikh, dan nasikh harus sama kuatnya
dari segala tsubut-nya. Pendapat ulama Hanafiah tersebut
merupakan hasil takhrij dari hukum-hukum furu yang ditetapkan
oleh Abu Hanifah sendiri.
Ammul Qur‟an sama dengan khas, qath‟i dalalahnya
selama ia bukan muawwal. Ammul Qur‟an mempunyai dua

36
Hasbi Ash-Shiddieqi, Poko-Poko Pegangan Imam Mazhab Dalam Membina Hukum
Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1993), h. 137.
37
Dedi Supriadi, Perbandingan Mazhab Dengan Pendekatan Baru, (Bandung: CV
Pustaka Setia, 2008), h. 159.
32

sifat, qath‟iyyu al-dalalah dan yang kedua qath‟iyyu al-subut.


Oleh karena itu, hadis-hadis ahad tak dapat menentangnya.
Hadis-hadis ahad meskipun di khas, dhanni wurud-nya.
Hal inilah yang menjadikan salah satu titik yang
membedakan fuqaha ra‟yi dan fuqaha hadis. Fuqaha ra‟yi
mengumumkan al-Qur‟an, tidak mengkhususkan dengan Hadis
ahad. Fuqaha Hadis, sebagai mana yang dikemukakan oleh asy-
Syafi‟i dalam ar-Risalah dan al-Umm, mengkhususkan amm al-
Qur‟an dengan Hadis Ahad.
Ayat-ayat al-Qur‟an yang berpautan dengan hukum, selain
diteliti dari segi amm dan khas nya juga harus ada usaha bayan,
karena sifatnya mujmal atau agak tersembunyi maknanya,
memerlukan tafsir, takwil, atau sifat-sifatnya mutlaq
memerlukan taqyid. Oleh karena itu, ulama Hanafiah
berpendapat bahwa as-Sunah bisa menjadi bayan bagi al-
Qur‟an.38
Bayan al-Qur‟an menurut Hanafi terbagi tiga bagian:
a) Bayan taqrir, seperti sabda nabi, “berpuasalah kamu
setelah melihat bulan dan berbukalah kamu sesudah
melihatnya”
b) Bayan tafsir, seperti hadis yang menerangkan kaifiat
shalat, kaifiat haji, zakat, cara memotong tangan pencuri
dan menerangkan hukum-hukum yang berkenaan dengan
riba.
c) Bayan tabdin atau yang disebut juga bayan naskh. al-
Qur‟an boleh dinsakhkan dengan as-Sunah dengan syarat
bahwa as-Sunah tersebut adalah mutawatir atau
musyhurah dan mustafidhah
2) Sunnah Rasulullah dan atsar-atsar yang sahih serta telah
masyhur diantara para ulama yang ahlu

38
Dedi Supriadi, Perbandingan Mazhab Dengan.,, h. 160-161
33

Dasar kedua yang digunakan oleh Mazhab Imam Hanafi


adalah as-Sunah. Martabat as-Sunah terletak dibawah al-Qur‟an.
Imam Abu Yusuf berkata, “aku belum pernah melihat seorang
yang lebih alim tentang menafsirkan hadis daripada Abu
Hanifah. Ia adalah seorang yang mengerti tentang penyakit-
penyakit hadis dan men-tadil dan men-tarjih hadis.39
Tentang dasar yang kedua ini, Mazhab Hanafi sepakat
mengamalkan as-Sunah yang mutawatir, mashur, dan shahih,
hanya sajah, Imam Hanafi sebgai mana ulama Hanafiah, agak
ketat menetapkan syarat-syarat yang dipergunakan untuk
menerima Hadis ahad.
Abu hanifah menolak Hadis ahad apabila berlawanan
dengan ma‟na al-Qur‟an, baik ma‟na yang ditarik dari nash,
atau yang diambil dari ilat hukum. Ali Hasan Abd. al-Qadir
mengatakan “musuh-musuh Abu Hanifah (orang yang tidak
senang dengan Abu Hanifah) menuduhnya tidak memberikan
perhatian yang besar terhadap hadis. Ia memperioritaskan ra‟yu.
Abu Shalih al-Fura menuturkan, “aku mendengar Ibn Asbath
berkata,” Abu Hanifah menolak 400 Hadis atau lebih.”
Abu Hanifah menerima hadis ahad, jika tidak berlawanan
dengan qiyas. Tapi jika berlawanan Hadis ahad denagn qiyas
yang ilatnya mustanbath dari suatu ashal yang dhani, walaupun
dari ashal yang qath‟i, atau diistinbahkan dari ashal yang qath‟i,
tetapi penerapan kepada furu adalah dhanni, maka Hadis ahad
didahulukan atas qiyas.40

3) Fatwa-fatwa dari Sahabat dan


4) Ijma

39
Moenawar Cholil, Empat Biografi Imam Mazhab, (Jakarta: Bulan Bintang, 1995), h.
57.
40
Dedi Supriadi, Perbandingan Mazhab Dengan.,, h. 161-162.
34

Imam Abu Hanifah sangat menghargai pendapat para


sahabat. Dia menerima, mengambil, serta mengharuskan umat
Islam mengikutinya. Jika ada suatu masalah berbeda pendapat
sahabat, maka ia mengambil salah satunya. Dan jika tidak ada
pendapat-pendapat sahabat pada suatu masalah, ia berijtihad dan
tidak mengikuti pendapat tabiin. Menurut Abu Hanifah, ijma
sahabt ialah: “kesepakatan para mujtahidin dari umat Islam di
suatu masa sesudah Nabi, atas suatu urusan.”
Ta‟rif itulah yang disepakati ulama Ahlu al-Ushul. Ulama
Hanafiah menetapkan bahwa ijma itu dijadikan sebgai hujah.
Mereka menerima ijma qauli dan ijma sukuti. Mereka
menetapkan bahwa tidak boleh ada hukum baru terhadap suatu
urusan yang telah disepakati oleh para ulama, karena membuat
hukum baru adalah menyalahi ijma. Paling tidak, ada tiga alasan
yang dikemukakan oleh ulama Hanafiah dalam menerima ijma‟
sebagai hujjah:
a) Para sahabat berijtihad dalam menghadapi masalah yang
timbul. Umar bin Khaththab dalam nrnghadapi suatu
masalah, sering memanggil para sahabat untuk diajak
bermusyawarah dan bertukar pikiran. Apabila dalam
musyawarah tersebut diambil kesepakatan, maka Umar
pun melaksanakannya.
b) Para Imam selalu menyesuaikan pahamnya dengan paham
yang telah diambil oleh ulama-ulama di negerinya, agar
tidak dipandang ganjil, dan tidak dipandang menyalahi
umum. Dan difatwakan oleh ulama-ulama Kufah.
c) Hadis-hadis yang menunjukan keharusan menghargai ijma
seperti:

‫مارأمادلسلمون حسنافىوعنداهلل حسن‬


“sesuatu yang dianggap baik oleh kaum muslimin,
dianggap baik pula di sisi Allah.”
35

Dengan demikian, jelas bahwa ulama Hanafiah


menetapkan bahwa ijma merupakan salah satu hujah dalam
agama, yang merupakan hujah qath‟iyyah. Mereka tidak
membedakan antara macam-macam ijma. Oleh karena itu,
apapun bentuk kesepakatan yang datangnya dari kesepakatan
para ulama/masyarakat, itu berkat atas penerapan suatu hukum
dan sekaligus menjadi hujah hukum. 41

5) Al-Qiyas
Qiyas adalah “penjelasan dan penetapn suatu hukum
tertentu yang tidak ada nashnya dengan melihat masalah lain
yang jelas hukumnya dalam kitabullah atau as-Sunah atau ijma‟
karena kesamaan ilatnya”. Yang menjadi pegangan dalam
menjalankan qiyas adalah bahwa segalanya hukum syara‟
ditetapkan untuk menghasilkan kemaslahatan manusia, baik di
dunia maupun diakhirat. Hukum-hukum itu mengandung
pengertian-pengertian dan hikmah-hikmah yang menghasilkan
kemaslahatan, baik yang diperintahkan maupun yang dilarang,
atau yang dibolehkan ataupun yang dimakruhkan. Semuanya
demi kemaslahatn umat.
Walaupun demikian, tidak berarti bahwa semua masalah
yang baru timbul dan tidak ada hukumnya dalam al-Qur‟an dan
As-Sunah serta ijma‟, boleh diqiyaskan begitu sajah, atas dalih
kemaslahatan umum. Ada bebrapa syarat dan rukun yang harus
dipenuhi tatakala hendak mengqiyaskan suatu permaslahan
kepada hukum lama, diantara rukun yang harus dipenuhi dalam
qiyas adalah:
a) Ashal, yaitu sesuatu yang dinaskan hukumnya yang
menjadi tempat mengqiyaskan, dalam istilah ushul fiqih
disebut al-ashlu atau al-maqis alaih atau al- musyabbah
bihh;
41
Dedi Supriadi, Perbandingan Mazhab Dengan.,, h. 163.
36

b) Cabang (al-far‟u), yaitu sesuatu yang tidak dinashkan


hukumnya. Dalam istilah ushul fiqih disebut al-far‟u,
almaqis atau al-musyabbah;
c) Hukum ashal, yaitu hukum syara yang dinashkan pada
pokok yang kemudian akan menjadi hukum pada cabang;
d) Illat hukum, yaitu sifat yang nyata dan tertentu yang
berkaitan atau yang munasabab dengan ada dan tidak
adanya hukum dan illat inilah yang akan menjadi titik
tolak serta pijakan dalam melaksanakan qiyas.42

6) Al-Istihsan
Istihsan yang diartikan sebagai “kontruksi yang
menguntungakn” (favourable construction), atau juga sering
dikatakan sebagai pilihan hukum (juristic preference) dijadikan
hujjah oleh fuqaha Mazhab Hanafi (Abdullah Ahmed An-
Na‟im, 1994: 50). Daripada menggunakan dan mengikuti qiyas
secara kaku, seorang fuqaha Hanafi lebih suka memilih
(yahtasin) jalan keluar yang lain, yaitu meninggalkan qiyas yang
tersembunyi atau halus (qiyas khafi), sebuah divergensi qiyas
yang jelas (jail) dan bersifat exsternal dengan model
pengambilan keputusan dari dalam diri yang terkondisi.43

7) Al-„urf
„Urf (adat kebiasaan), dalam batas-batas tertentu diterima
sebagai sumber syariah oleh Mazhab Hanafi. Menurut Mazhab
Hanafi, „urf dapat melampui qiyas, namun tidak dapat melampui
nas al-Qur‟an dan as-Sunnah. Sahal Ibn Muzahim berkata,
“pendirian Abu Hanifah adalah mengambil yang terpercaya dan
lari dari keburukan serta memerhatikan muamalah manusia dan
apa yang mendatangkan maslahat bagi mereka. Ia melakukan
segala urusan atas qiyas. Apabila tidak baik dilakukan qiyas, ia
42
Nazar Bakri, Fiqh Dan Ushul Fiqh, (Bandung: Rajawali Press, 1993), h. 47.
43
Dedi Supriadi, Perbandingan Mazhab Dengan.,, h. 165.
37

melakukannya atas istihsan selama dapat dilakukannya. Apabila


tidak dapat dilakukan istihsan, kembalilah ia kepada „urf
manusia” (Abdullah Ahmad an-Na‟im, 1994: 53)
Dari berbagai uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa
karakteristik metode Abu Hanifah adalah:
a) Abu Hanifah menggunakan qiyas atau istihsan yang tidaka
ada nash. Abu Hanifah hanya mengambil yang lebih tepat
daiantara qiyas dan istihsan
b) Apabila tidak dapat dijalnkan qiyas atau istihsan, Abu
Hanifah mengambil „urf, apabila tidak ada nash al-Qur‟an,
as-Sunnah, ijma, dan istihsan, baik istihsan qiyasi maupun
istihsan istisna‟i (atsar, istihsan, ijma, dan istihsan
darurat).

b. Pemikiran Skunder
Dalam ini Abu Hanifah berpijak pada :
1) Bahwa dalam „am adalah qot‟i
2) Pendapat sahabat yang tidak sejalan dengan pendapat umum adalah
bersifat khusus
3) Banyaknya yang meriwayatkan bukan berarti yang lebih kuat
4) Adanya penolakan mafhum syarat dan sifat
5) Berpegang pada perbuatan rowi, bukan riwayatnya, jika
perbuatanya menyalahi riwayatnya
6) Mendahulukan qiyas atas hadis ahad yang dipertentangkan
7) Menggunakan istihsan dan meninggalkan qiyas jika diperlukan44
Imam Abu Hanifah dalam pemikiran fiqihnya banyak
mengambil fiqih Makkah dan Madinah, dan meriwayatkannya hadis
Rasulullah. Selain itu juga Imam Abu Hanifah banyak mempersoalkan
cabang-cabang dari satu pokok, banyak mempergunakan qiyas,
membuat masalah-masalah yang belum terjadi untuk diberikan hukum

44
Jaih Mubaroq, Sejarah Dan Perkembangan Hukum Islam. Cet. Ke-III, (Bandung: PT
Remaja Rosdakarya, 2003), h. 75
38

atau yang dinamakan hukum taqdiri. Usaha Imam Abu Hanifah


mengembangkan fiqih taqdiri.
Atas dasar inilah Imam Abu Hanifah melakukan istinbath
hukum dan cara ini menjadi dasar penggunaan dalam menentukan dan
membina hukum Islam.

5. Karya Imam Abu Hanifah


Abu Hanifah Nu‟man ibn Tsabit Al-kufi, adalah pendiri Mazhab
Hanafi salah satu mazhab ahlu sunnah yang empat. Dia sering
menggunakan ijtihad dan dalil akalnya. Tidak pernah diketahui bahwa dia
mengarang buku fiqih. Akan tetapi, dia sering berdiskusi dengan murid-
muridnya, mendiktekan pendapat-pendapatnya kepada mereka. Pada
akhirnya karangn murid-muridnyalah yang dijadikan rujukan utama dalam
mazhab fiqih yang di dirikannya.45
Jalan yang ditempuh oleh Imam Abu Hanifah dalam menyikapi al-
Qur‟an adalah sama dengan jalan para Imam madzhab yang lain. Jika
mereka berbeda pendapat tentang sesuatu yang berkenaan dengan al-
Qur‟an, maka perselisihan itu hanyalah terbatas pada kandungan
maknanya, dan cara pengambilan hukumnya. Adapaun dalam hal
penerimaan Hadis, Imam Abu Hanifah sangat berhati-hati. Dia meneliti
semua rijal Hadis sampai yakin betul bahwa Hadis itu shahih.
Disamping itu, Imam Abu Hanifah juga mempelajari fiqih dengan
teori-teori kajiannya dari Hammad bin Abu Sulaiman salah seorang ulama
fiqih dari aliran rasionalis di kufah. Dia belajar dengan Hammad dalam
tempo yang tidak kurang dari delapan belas tahun, sampai gurunya itu
meninggal tahun 120 H. namun sebagaimana Abu Zahran katakana, dia
tidak mengkhususkan diri untuk belajar di seluruh waktunya. Sebagai
pedagang pada waktu-waktu tertentu dia mengurus dagangannya, dan
diwaktu-waktu lain dia belajar.46

45
Husayn Ahmad Amin, Seratus Tokoh Dama Sejarah Islam, (Bandung: Remaja
Rosdakarya, 1995), h. 45
46
Dede Rosadah, Hukum Islam dan Pranata Sosial, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,
1996), h. 110
39

Kemudia dia juga belajar dengan para ulama lain lewat dialog-
dialog dan tukar pandangan, baik pada saat menunaikan ibadah haji,
ataupun dalam kesempatan-kesempatan lainnya. Dan bahkan pada tahun
130 H, Imam Abu Hanifah sempat mukim dikota makkah untuk beberapa
tahun, dan mempelajari hadis-hadis nabi, serta ilmu-ilmu keagamaan
lainya dari tokoh-tokoh yang sampai ia jumpai.
Akan tetapai, pengalaman-pengalaman dia dari luar kufah hanya
sekedar memperkaya koleksi hadis-hadisnya, sementara metodologi kajian
fiqihnya lebih mencerminkan aliran madrasah ra‟yu yang dia pelajari dari
Hammad, dengan al-Qur‟an dan al-Sunah sebagai sumber hukum kesatu
dan kedua. Kemudian kalau keduanya tidak secara tegas menyatakan
ketentuan-ketentuan hukum persoalan yang sedang di kajinya, dia
mempelajarinya dari perkataan sahabat, baik dalam bentuk ijma‟ maupun
fatwa. Kalau ketiganya tidak menyatakn secara eksplisit ketentuan hukum
persoalan-persoalannya itu dia mengkajinya denagn akal lweat qiyas dan
istihsan, atau melihat tradisi-tradisi yang berkembang dalam masyrakat
yang ditaatinya secara bersama-sama.
Dengan kemampuannya merumuskan pedoman serta kaidah-kaidah
dalam ijtihadnya ini, Imam Abu Hanifah dinilai oleh para ulama fiqih
sebagai seorang mujtahid mustaqil, yang mampu melakukan kajian-kajian
fiqih secara mandiri, dan tercipta madzhab fiqih yang dinisbatkan pada
dirinya. Imam Abu Hanifah tidak menulis kitab secara langsung.47
Dalam sejarah tidak ditemukan satu kitabpun dalam bidang fiqih
yang telah diterbitkan atau ditulis oleh Imam Abu Hanifah sendiri, hal ini
wajar, karena dimasa Imam Abu Hanifah belum berkembang usaha
pembukuan. Diwaktu usaha pembukuan telah mulai berkembang beliau
telah berusia lanjut, murid-muridnyalah yang membukukan pendapatnya.
Salah satu murid terbesarnya adalah Muhammad Ibnu Hasan.
Kitab-kitab yang diusahakan oleh Muhammad Ibnu Hasan ialah hasil
catatan-catatannya dari Abu Yusuf dari Imam Abu Hanifah.

47
Jaih Mubarak, Sejarah dan Perkembngan.,, h. 77
40

Akan tetapi walaupun Imam Abu Hanifah tidak mempunyai kitab


yang tidak dikatakan hasil karyanya sendiri, namun sebagian para ulama
mengatakan bahwa Imam Abu Hanifah mempunyai kitab musnad yang
mengandung hadis yang diriwayatkan olehnya.48
Muhammad Ibnu Zahrah menjelaskan, bahwa Imam Abu Hanifah
tidak menulis kitab secara langsung kecuali beberapa rislah kecil yang
dinisbatkan kepadanya, seperti risalah yang diberi nama al-Fiqih al-Akbar,
al-asghar dan al-„alim wal muta‟allim,Risalah ila Utsman al-biti (w. 132
H) Risalah ar-Ra‟du ala al-Qodariah.49
Kita hanya menerima fiqih Hanafi melalui murid-muridnya dan
sahabat-sahabatnya yang berjumlah tiga puluh enam. Dua puluh delapan
orang menjadi hakim, enam orang menjadi mufti dan dua orang lagi yakni
Abu Yusuf dan Zufar merupakan tenaga pokok mazhab hanafi.50 Mereka
berdua ini merupakan pembentuk kader-kader hakim dan kader-kader
mufti. Kemudian ilmu-ilmu Imam Abu Hanifah dan tokoh-tokoh itu,
dikembangkan oleh Ibnu Hasan.
Masalah-masalah fiqih yang terdapat dalam mazhab hanafi
dibedakan menjadi tiga:
1. Al-Ushul
2. An-Nawadir dan
3. Al-Fatawa
Al-Ushul, adalah masalah-masalah termasuk Zhahir al-Riwayah,
yaitu pendapat yang diriwayatkan dari Abu Hanifah dan sahabatnya,
seperti Abu Yusuf, Muhammad ibn Hasan Al-Syaibani, dan Zufar.
Muhammad ibn Hasan al-Syaibani telah mengumpulkan pendapat-
pendapat tersebut yang kemudian disususn dalam kitab yang bernilai
tinggi, Zhahir al-Riwayah. Kitab-kitab yang ternasuk zhahir Riwayah ada
enam buah, yaitu,
1) Al-Mabsuth atau al-Ashl,

48
Hasbi Asshidiqi, Pokok-Pokok Pegangan Imam.,, h. 456
49
Jaih Mubaroq, Sejarah Dan Perkembangan.,, h. 75
50
Jaih Mubaroq. Sejarah Dan Perkembangan.,, h. 457
41

2) Al-Jami‟ al-Kabir,
3) Al-Jami‟ al-Shaghir,
4) Al-Atsar al-Kabir,
5) Al-Atsar al-Shaghir, dan
6) Al-Ziyadat.
Dinamakan kitab zhahir Riwayah karena kitab ini diriwayatkan
oleh Muhammad bin Hasan dengan riwayat yang tsiqoh dan mutawatir.
Tentang keenam kitab ini pada masa permulaan abad ke-empat hijrah telah
disusun dan di himpun menjadi satu oleh Abdul Fadhil Muhammad bin
Ahmad al-Marwazi yang terkenal dengan nama al-Halim al-syahid dalam
satu kitab yang diberi nama al-Kafi. Kitab ini dikomentari atau debri
syarah oleh Syam al-Din al-Syarkhasi dan dikenal dengan nama al-
Mabsuth (30 jilid)51
An-nawadir adalah kitab yang berisikan pendapat-pendapat yang
diriwayatkan dari Abu Hanifah dan sahabatnya yang tidak termasuk zhahir
ar-riwayah. Kitab-kitab yang termasuk an-nawadir yang terkenal adalah
1) Al-Kaisaniyyat,
2) Al-Ruqayyat,
3) Al-Haruniyyat,
4) Al-Jurjaniyyat,
Murid dari murid Abu Hanifah yang menyusun kitab fiqih, seperti
Ala‟Ad-Din, Abi Bakr ibn Mas‟ud al-Kasani al-Hanafi (w. 587 H) yang
menyusun kitab Bada‟i ash-Shana‟i dan fi tartib asy-Syara‟i
Al-Fatwa adalah pendapat-pendapat para pengikut Abu Hanifah
yang tidak diriwayatkan dari Abu Hanifah seperti kitab an-Nawazil karya
Abi al-Laits as-Samarkandi. Kitab-kitab Fatwa Hanafiah yang terkenal
adalah:
1) Al-Fatwa Al-khaniyyat oleh Kadri Khan,
2) Al-Fatwa Al-Hindiyyah,
3) Al-Fatwa Al-Khairiyyah,

51
Dedi Supriadi, Perbandingan Mazhab Dengan.,, h. 227.
42

4) Al-Fatwa Al-Bazziyah,
5) Al-Fatwa Al-hamidiyyah52
Kitab-kitab ushul Al-Fiqih dalam aliran Hanafi adalah
1) Ushul Al-Fiqih karya Abu Zaid Ad-Duyusi (w. 430 H)
2) Ushul Al-Fiqih karya Fakhr Al-Islam Al-Bazdawi (w. 430 H)
3) Al-Manar karya an-Nasafi (w. 790 H) dan syarahnya Misykat al-
Anwar
Selain kitab fiqih dan ushul al-fiqih, ulama Hanafiah juga
membangun kaidah-kaidah fiqih yang kemudian disusun dam suatu kitab
tersendiri. Diantara kiatab qawaid al-fiqih aliran Hanafi adalah:
1) Ushul Al-Karkhi karya Al-Karkhi (260-340 H).
2) Ta‟sis An-Nazhar karya Abu Zaid Ad-Dabusi (w. 430 H).
3) Al-Asybab wa An-Nazha‟ir karya Ibn Nujaim (w. 970 H).
4) Majami‟ Al-Haqa‟iq karya Ibn Sa‟id Al-Khadimi (w. 1176 H).
5) Majallah Al-Ahkam Al-„Adliyyah (turki utsmani, (w.1292 H)
6) Al-Fawa‟id Al-Bahiyah fi Al-Qawa‟id wa Al-Fawa‟id karya Ibn
Hamzah (w. 1305 H).
7) Qawa‟id Al-Fiqih, karya Mujaddidi.53

B. BIOGRAFI IMAM ASY-SYAFI’I


1. Silsilah Imam asy-Syafi‟i
Nama beliau adalah Abu Abdillah Muhammad bin Idris Asy-
Syafi'i al-Quraisy. yang merupakan pendiri madzhab Syafi'i. Beliau
termasuk golongan suku Quraisy, seorang Hasyimi yang merupakan
keluarga jauh Nabi SAW. Imam Syafi‟i dilahirkan pada bulan rojab di
Ghaza pada tahun 150 H/767 M. yang letaknya di dekat pantai lautan
putih (laut mati) sebelah tengah Palestina (syam).
Adapun silsilah Imam Syafi‟i dari jalur ayahnya ialah bin Idris bin
Abbas bin Utsman bin Syafi‟i bin Saib bin Abu Yazid bin Hasyim bin
Abdul Mutalib bin Abdul Manaf.

52
Dedi Supriadi, Perbandingan Mazhab Dengan.,, h. 228.
53
Dedi Supriadi, Perbandingan Mazhab Dengan.,, h. 229.
43

Adapun silsilah dari jalur ibunya, ialah binti Fatimah binti


Abdullah bin Al-hasan bin Husain bin Ali bin Abi Thalib (paman Nabi
SAW).54 Ia ditinggal mati oleh ayahnya ketika masih kanak-kanak dan
dibesarkan oleh ibunya dalam kemiskinan.55
Beliau menghafal al-Qur‟an di Makkah. Di samping mempunyai
pengetahuan luas tentang syair-syair Arab. Beliau belajar Hadis dan fiqih
dari Muslim Abu Khalid dan Sufyan ibn Uyainah. Beliau telah hafal
Muwatta pada usia 12 tahun.
Ketika usia 20th, ia menemui Imam Malik ibn anas di madinah dan
membaca langsung kitab Imam Malik yaitu al-Muwatta dengan
ingatannya dan ini sangat dihargai oleh sang Imam. Beliau tinggal
bersama Imam Malik sampai pada akhir hayat Imam tersebut, tahun
204H/795M.
Dan pada usia 30 tahun, Imam Syafi‟i menikah dengan seorang
wanita dari yaman bernama Hamidah binti Nafi‟ seorang putri dari
keturunan Khalifah Utsman bin Affan (sahabat dan khalifah yang kedua).
Dari pernikahanya, ia mendapat tiga orang anak; 1 orang anak lak-laki
dan 2 orang anak perempuan. Anak yang laki-laki bernama Muhammad
bin Syafi‟i yang menjadi qadhi di jazirah Arab (w. 240 H).56

2. Pendidikan Imam Asy-Syafi‟i


Imam Syafi‟i berasal dari keturunan bangsawan yang paling tinggi
di masanya. Walaupun hidup dalam keadaan sangat sederhana, namun
kedudukannya sebagai putra bangsawan, menyebabkan ia terpelihara dari
perang-perangi buruk, tidak mau merendahkan diri dari berjiwa besar. Ia
bergaul rapat dalam masyarakat dan merasakan penderitaan-penderitaan
mereka.

54
Dari sisi nasab, bertemu dengan nasab Rasulullah. Karena itu pula, beliau sering
dijuluki dengan “al-Imam al-Muththalib al-Hasyimi al-Qurasyi”. Lihat dalam bulletin an-nur liat
juga dalam www.alsofwah.or.id
55
Muhammad Jawad Mugniyah, Fiqih Lima Mazhab, (Jakarta: Basrie Pers, 1991), h. 27.
56
Siradjuddin Abbas, Sejarah Dan Keagungan Imam Syafi‟i, Cet. Ke-V, (Jakarta: Pustaka
Tarbiah, , 1991), h. 26.
44

Meski dibesarkan dalam keadaan yatim dan dalam satu keluarga


yang miskin, tidak menjadikan beliau merasa rendah diri apalagi malas.
Sebaliknya, beliau bahkan giat mempelajari Hadis dari ulama-ulama
Hadis yang banyak terdapat di makkah. Pada usianya yang masih kecil,
beliau juga telah hafal al-Qur‟an.57 Kemudian beliau dengan tekad yang
bulat pergi dari kota makkah menuju kesuatu dusun bangsa Bawdy Banu
Hudzail untuk mempelajari bahasa Arab yang asli dan fasih. Di dusun
itulah beliau dengan rajin mempelajari bahasa Arab dan kesusastraannya
serta syi‟ir-syi‟irnya kepada para pemuka orang di dusun itu.
Beliau di kota Makkah belajar ilmu fiqih kepada Imam Muslim bin
Khalid Az-Zanniy, seorang guru besar dan mufti di kota Makkah pada
masa itu. Agak lama beliu belajar kepada guru itu, sehingga mendapat
ijazah dan diberi hak boleh mengajar dan memberi fatwa tentang hukum-
hukum yang bersangkutan dengan keagamaan. Tentang ilmu Hadis,
beliau belajar kepada Imam Sufyan bin Uyainah, seorang alim besr ahli
Hadis di kota Makkah di masa itu. Dan tentang ilmu al-Qur‟an, beliau
kepada Imam Isma‟il bin Qasthtautin, seorang alim besar ahli Qur‟an di
kota mekah di masa itu, selanjutnya kepada para ulama lainya lagi di
masjid al-Haram, beliau belajar berbagi ilmu pengetahuan, sehingga baru
berusia 15 tahun, beliau menduduki kursi mufti di kota Makkah.58
Setelah Imam Syafi‟i berada di kota Madinah, maka beliau belajar
kepada Imam Malik, dan setiap hari beliau datang kerumah Imam Malik
untuk belajar dan membacakan Kitab al-Muwaththa‟ dihadapannya, dan
karena Imam Syafi‟i sebelumnya sudah hafal kitab tersebut, maka
sebentar sajah selsailah Kitab al-Muwaththa‟ itu dibacakan didepan
gurunya. Akhirnya Imam Syafi‟i diminta oleh gurunya agar beliau
bertempat tinggal serumah dengan Imam Malik, dan selama delapan
bulan beliau tinggal dengan gurunya dan jika Imam Malik telah
membacakan al-Muaththa‟ kepada banyak orang, maka diserahkan
kepada Imam Syafi‟i untuk mendiktekan kepada mereka, dan mereka

57
Muhammad Jawad Mugniyah, Fiqih Lima Mazhab, h. 27.
58
Munawar chalil, Biografi Empat Serangkai Imam Mazhab. Cet. Ke-IV, (Jakarta: Bulan
Bintang, 1983), h. 152-153
45

menulisnya sehingga Imam Syafi‟i memperoleh kesempatan untuk


memperlancar pelajarannya. Dan dengan demikian maka orang banyak
mengenal kepada Imam Syafi‟i.59 Imam Syafi‟i mengadakan mudarasah
dengan Imam Malik dalam masalah-masalah yang difatwakan oleh Imam
Malik. Diwaktu Imam Malik meninggal tahun 179 H, Imam Syafi‟i telah
mencapai usia dewasa dan matang.60
Ketika Imam Syafi‟i di Iraq, beliau bertemu dengan Imam Abu
Yusuf dan Imam Muhammad bin Hasan, selama di Iraq beliau tetap
bertempat tinggal di rumah Imam Muhammad bin Hasan sebagai tamu
agung. Dan selama beliau ada di Iraq. Beliau dapat pula menambah
pengetahuan tentang cara-cara Qadhy (hakim) memeriksa perkara dan
memutuskan urusan. Beliau tinggal di Iraq hampir dua tahun lamanya.61
Diantara hal-hal yang secara serius mendapat perhatian Imam
Syafi‟i adalah tentang metode pemahaman al-Qur‟an dan Sunnah atau
metode istinbath (ushul fiqih). Meskipun para Imam mujtahid
sebelumnya dalam berijtihad terkait dengan kaidah-kaidahnya, namun
belum ada kaidah-kaidah yang tersusun dalam sebuah buku sebagai satun
disiplin ilmu yang dapat di pedomani oleh para peminat hukum Islam.
dalam kondisi demikian Imam Syafi‟i tampil berperan menyusun sebuah
buku ushul fiqih. Idenya didukung pula dengan adanya permintaan dari
seorang ahli hadis yang bernama Abdurrahman bin Mahdi di Baghdad
agar Imam Syafi‟i menyusun metode istinbath.62
Imam Muhammad Abu Zahrah (ahli hukum Islam berkebngsaan
Mesir) menyatakan buku itu (al-Risalah) disusun ketika Imam Syafi‟i
berada di Baghdad, sedangkan Abdurrahman bin Mahdi ketika itu berada
di Makkah. Imam Syafi‟i memberi judul bukunya dengan “al-Kitab”
(kitab atau buku) atau “kitabi” (kitabku), kemudian lebih dikenal dengan
al-Risalah yang berarti sepucuk surat. Dinamakan demikian, karena buku

59
Munawar Khalil, Biografi Empat Serangkai.,, h. 163-164
60
TM. Hasbi Ash Shidieqy, Pokok-pokok Pegangan Imam Madzhab, (Semarang: PT. Pustaka
Rizki Putra. 1997), h. 481
61
Munawar Chalil, Biografi Empat Serangkai.,, h. 169
62
Jaih Mubarak, Modifikasi hukum Islam Studi Tentang Qaul Qadim dan Qaul Jadid,
(Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002), h. 29
46

itu merupakan surat Imam Syafi‟i kepada Abdurrahman bin Mahdi. Kitab
al-Risalah yang pertama ialah susun dikenal dengan al-Risalah al-
Qadimah (risalah lama).63
Dinamakan demikian, karena di dalamnya termuat buah pikiran
Imam Syafi‟i sebelum pindah ke mesir. Setelah sampai di mesir isinya
diisusun kembali dalam rangka penyempurnaan bahkan ada yang
diubahnya, sehingga kemudian dikenal dengan sebutan al-Risalah al-
Jadidah (risalah baru). Jumhur ulama ushul fiqih sepakat menyatakan
bahwa kitab al-Risalah karya Imam Syafi‟i ini merupakan kitab pertama
yang memuat masalah-masalah ushul fiqih secara lebih sempurna dan
sistematis. Oleh sebab itu, ia dikenal sebagai penyusun pertama ushul
fiqih sebagai satu disiplin ilmu.64

3. Situsai Politik dan Sosial Keagamaan


Imam Syafi‟i lahir dimasa dinasti abbasiyah. Seluruh
kehidupannya berlangsung pada saat penguasa bani abbas memerintah
wilayah-wilayah negeri Islam. saat itu adalah saat dimana masyarakat
Islam sedang berada dipuncak keemasannya. Kekuasaan bani abbas
semakin terbentang luas dan kehidupan umat Islam semakin maju dan
jaya. Masa itu memiliki berbagai macam keistimewaan yang memiliki
pengaruh besar bagi perkembangan ilmu pengetahuan dan kebangkitan
pemikiran Islam. Transformasi ilmu dari filsafat yunani dan sastra persia
serta ilmu bangsa India ke masyarakat muslim juga sedang semarak.
Mengingat pentingnya pembahasan ini, maka penulis akan memberikan
gambaran singkat tentang kondisi pemikiran dan sosial kemasyarakatan
pada masa itu.65
Kota-kota di negeri Islam saat itu sedikit demi sedikit mulai
dimasuki unsur-unsur yang beraneka ragam, mulai dari Persia, Romawi,
India dan Nabath. Dahulu, kota Baghdad adalah pusat pemerintahan

63
Syaikh Amad Farid, Min A‟lam As-Salaf, terj Masaturi Irham, dengan judul Biografi Ulama
Salaf”, (Jakarta: Pustaka al-Kausar, 2006), h. 361
64
Syaikh Amad Farid, Biografi Ulama Salaf.,, h. 362.
65
Abdul Syukur dan Ahmad Rifai. Asy-Syafi‟i Biografi dan Pemikiranya Dalam Masalah
Akidah, Politik dan Fiqih, (Jakarta: PT. Lintera Basritama, 2005), h. 84
47

sekaligus pusat peradaban Islam. Kota tersebut dipenuhi oleh masyarakat


yang terdiri dari berbagai jenis bangsa. Kaum muslimin dari berbagai
penjuru dunia berduyun-duyun berdatangan ke Baghdad dari berbagai
pelosok negeri Islam. Tentunya, kedatagan mereka sekaligus membawa
kebudayaan bangsanya dalam jiwa dan perasaanya yang dalam. Dengan
kondisi masyarakat yang beragam ini tentunya akan banyak timbul aneka
problema sosial. Oleh karena itu, di masyarakat Baghdad banyak muncul
fenomena-fenomena yang beraneka ragam yang disebabkan oleh
interaksi sosial antara sesama anggota masyarakatnya dimana masing-
masing ras mempunyai kehususan ras-ras tersebut. Setiap permasalahan
yang timbul dari interaksi antar masyarakat tersebut tentunya akan di
ambil ketentuan hukum dari syariat. Sebab, syariat Islam adalah syariat
yang bersifat umum.66
Syariat tersebut akan memberi muatan hukum bagi setiap
permasalahan yang terjadi. Baik permasalahan itu masuk dalam kategori
permasalahan ringan ataupun berat. Pengamatan terhadap permasalahan
yang terjadi akan memperluas cakrawala pemikiran seorang ahli fiqih
sehingga ia dapat menemukan penyelesaian (solusi hukum) bagi
masalah-masalah yang terjadi. Selain itu, seorang ahli fikih akan dapat
memperluas medan pembahasan dengan menghadirkan permasalahan
yang mungkin terjadi, kemudian memberikan kaidah-kaidah umum untuk
masalah furu‟ yang berbeda.67

4. Pemikiran Fiqih Imam Syafi‟i


Pemikiran fiqih Imam Syafi‟i, secara garis besar dapat dilihat dari
kitab al-Umm, yang menguraikan sebagai berikut:68

‫الْعِْل ُم طبقات شىت األو ى الكتاب والسنة إذا ثبتت مثّ الثاتية اإلمجاع‬
‫فيما ليس فيه كتاب وال سنة والثاتية أن يقول بعض أصحاب رسول اهلل‬

66
A. Syukur dan Ahmad Rifai. Asy-Syafi‟i Biografi dan Pemikiranya.,, h. 85
67
A. Syukur dan Ahmad Rifai. Asy-Syafi‟i Biografi dan Pemikiranya.,, h. 86
68
Dedi Supriadi, Perbandingan Mazhab Dengan.,, h. 173
48

‫م قوال وال تعلم له خمالفة منىم والرابعة اختالف أصحاب النيب‬.‫ص‬


‫م يف ذلك واخلامسة القياس وال يصار إ ى شيئ يهر الكتاب والسنة‬.‫ص‬
‫ومها موجودان وإّّنا يؤخذ العلم من أعلى‬
Ilmu itu bertingkat secara berurutan; pertama-tama adalah al-
Quran dan as-Sunnah apabila telah tetap, kemudian kedua, ijma ketika
tidak ada dalam al-Qur‟an dan as-Sunnah; ketiga sahabat Nabi SAW
(fatwa sahabi) dan kami tidak tau dalam fatwa tersebut tidak ada ikhtilaf
di antara mereka, keempat, ikhtilaf sahabt Nabi SAW, kelima, qiyas yang
tidak diqiyaskan selain kepada al-Qur‟an dan as-Sunnah karena hal itu
telah ada dalam kedua sumber, sesungguhnya mengambil ilmu dari yang
teratas”

Selanjutnya istidlal Imam Syafi‟i, semuanya terangkum dalam


kitab al-Risalah sekaligus merupakan buku metodologinya yang pertama,
terutama ushul fiqihnya.
Thaha Jabir, dalam bukunya, Adab al-Ikhtilaf Fi al-Islam,
menjelaskan metode istinbath al-Ahkam Imam Syafi‟i sebagai berikut,
“pertama (ashal), yakni al-Qur‟an dan al-Hadis, dan apabila tidak
ditemukan dalam keduanya, Qiyas berlaku kepadanya, dan apabila hadis
itu sampai sanadnya kepada Rasulullah SAW, itulah yang dituju ijma
sebab lebih baik daripada hadis ahad. Jika zhahir hadis mencakup
beberapa pengertian, zhahir dari pernyataan yang menyerupainya harus
lebih diutamakan. Kemudian, tatakala beberapa hadis saling mendukung,
untuk menentukan tingkat kesahihanya ditinjau dari segi sanad-sanad
hadis tersebut. Satu hadis yang dipandang hadis munqathi misalnya bukan
hanya yang bersumber dari ibnu Musayyab. Selanjutnya, bahwa ashal
(dalam artian lawan dari furu‟ pada lapangan qiyas) itu tidak bisa
diqiyaskan denagn ashal yang lain. Juga bahwa tidak ada kata “kenapa”
dan “bagaimana” untuk ashal. Kata “kenapa” hanya dipakai untuk furu‟.
Dengan demikian, jika qiyasnya benar dan berdasar pada “ashal” yang
benar, benarlah dengan argumen tersebut.69
Dari kutipan di atas, tampaknya al-Qur‟an, hadis, ijma, dan qiyas
menjadi factor utama dalam landasan mazhab Imam Syafi‟i. Sementara

69
Dedi Supriadi, Perbandingan Mazhab Dengan.,, h.174
49

metode lainya seperti: istinbath, istihsan, sadu dzariah dan lainya


hanyalah merupakan satu metode dalam merumuskan dan menyimpulkan
hukum-hukum dari sumber utamanya al-Qur‟an dan al-Hadis.
Untuk memperjelas tentang metode istinbath hukum Imam Syafi‟i,
Mustofa Muhammad asy-Syak‟ah, dalam kitabnya Islamu Bila Madzahib
menjelaskan sebagai berikut:70
a. Imam asy-Syafi‟i mendasari al-Quran, as-Sunnah, Ijma, dan Qiyas.
Itulah unsur-unsur dasar yang saling terkait dan disebutkanya
dalam kitab yang ditulisnya. Keterkaitan unsur-unsur tersebut
merupakan hal yang baru dalam pemahaman para ahlu fiqih pada
umumnya. Dan salah seorang ahlu fiqih, al-Karabisi menyatakan,
“sebelumnya kami tidak pernah tau apa yang dimaksud kitabullah,
as-Sunnah, dan ijma, hingga datang Syafi‟i, sehingga datang
Syafi‟i yang memaparkanya secara rinci”.
b. Fiqih Syafi‟i merupakan campuran antara fiqih ahlu ar-Ra‟yi
dengan fiqih ahlu al-Hadis. Kedua metode tersebut memiliki cara
tersendiri dalam mengambil istinbath. Ahlu ar-Ra‟yu adalah para
cendikiawan yang memiliki pandangan yang luas. Akan tetapai,
kemampuan mereka untuk menerima atsar dan as-Sunnah sangat
terbatas. Sementara itu ahlu al-Hadis sangat gigih dalam
mengumpulkan hadis, atsar dan beberapa hal yang lainya yang
berkaitan dengan perbuatan para sahabat. Namun, mereka bukan
ahlu munaqasyah dan istinbath. Jadi, ahlu fiqih hendaknya
menggunakan ra‟yi dan hadis sekaligus. Dan Syafi‟i adalah
seorang ahlu dalam metode tersebut. Kecerdasanya yang sangat
tinggi menjadikanya seorang yang ahlu dalam ra‟yi dan
munaqasyah. Pada saat yang sama, ia juga seorang yang alim
dalam ilmu hadis lainya sehingga oleh para ulama lainya ia dijuluki
“penolong as-Sunah”.
c. Dalam pandangan Syafi‟i pendekatah ahlu al-Hadis lebih jelas
dalam masalah ushul. Oleh karena itu, ia menggunakan al-Qur‟an

70
Dedi Supriadi, Perbandingan Mazhab Dengan.,, h.175-178
50

sebagai sumber hukum dan poko-poko syariat. Setelah itu, ia


merujuk kepada hadis, jika dalam penggunaan hadis telah dianggap
cukup dalam menetapkan hukum, ia tidak menggunakan ra‟yi.
Prinsip yang digunakan adalah seperti yang diucapkanya, “apapun
pendapat yang telah aku kemukakan, bila kemudian ada hadis yang
berlawanan dengan penapatku itu, pernyataan rasulullah itulah
pendapatku”.
d. Fiqih Syafi‟i menggunakan ijma‟ sebagai dasar penetapan hukum.
Hal ini karena pernyataan secara syar‟i mengarahkanya untuk
menjadikanya sebagai hujjah yang wajib untuk diamalkan. Lalu, ia
membuat rumusan untuk pengaturan syarat penggunaanya. Syafi‟i
menempatkan ijma pada urutan ketiga setelah al-Qur‟an dan as-
Sunnah (sekalipun hadis ahad atau satu sanad).
e. Syafi‟i juga menggunakan qiyas sebagai dasar mazhab. Dapat
dikatakan bahwa Syafi‟i adalah orang pertama yang menguraikan
masalh qiyas secara terinci. Pada waktu itu para ahlu fiqih belum
membuat pembahasan antara ra‟yu yang shahih dan ra‟yu yang
tidak shahih. Syafi‟i kemudian memaparkan kaidah ra‟yu yang
dianggapnya shahih dan istinbath yang tidak shahih. Ia jelaskan
pula perbedaan besar antara bermacam-macam istinbath dan qiyas,
menurut kadar yang ditentukanya dalam kaidah itu.
f. Syafi‟i menolak penggunaan kaidah istihsan, sebagai mana
dinyatakan dalam kitabnya, ibtahalul istihsan, metode ini adalah
metode yang biasa digunakan Abu Hanifah. Menurut Syafi‟i,
dalam penerapan metode ini, seorang ahlu fiqih setelah merujuk
kepada al-Quran, as-Sunnah, Ijma, dan Qiyas, ia menetapkan
hukum yang dipandangnya baik, bukan hanya berpegang pada dalil
al-Qur‟an dan as-Sunnah. Lebih lanjut, Imam Syafi‟menyatakan,
bila ijtihad digunakan dengan metode istihsan, tanpa sepenuhnya
bersandar pada pokok syariat atau nash dan as-Sunnah, ijtihad yang
menggunakan metode ini, batil pula hukumnya.”
51

5. Guru dan Murid Imam asy-Safi‟i


Sama halnya dengan Mazhab Hanafi dan Maliki, pengembangan
Mazhab Syafi‟i tidak terlepas dari ketiga faktor, faktor murid, politik dan
karya ilmiah. Secara silsilah, masa Imam Syafi‟i merupakan masa
“kulminasi” para fuqaha, muhaddis, mu‟arikh dan para ulama dibidang
lainya. Oleh karena itu, Imam Syafi‟i dikenal sebagai “mazhab moderat”
(penggabung antara ahl ra‟yu dan ahl hadis).71
Secara silsilah, guru-guru Imam Syafi‟i dapat dipilah menjadi
empat kelompok, sebagai mana sirojudin abbas menghimpunnya, sebagai
berikut:
a. Di makah Imam Syafi‟i berguru kepada
1. Sufyan Ibn „Uyainah
2. Muslim Ibn Khalid al-Zunji
3. Sa‟id Ibn Salim al-Qadah
4. Daud ibn „Abd ar-Rahman al-„Athar, dan
5. „Abd ar-Rahman ibn „Abd al-„Aziz Ibn Abi Daud
6. Abdul Hamid bin Abdul Aziz

b. Guru-guru Imam Syafi‟i dari kalangan ulama madinah adalah


1. Malik Ibn Anas (Imam mazhab maliki)
2. Ibrahim Ibn Sa‟d al-Anshari
3. „Abd al-„Aziz Muhammad ad-Durawardi
4. Ibrahim Ibn Abi Yahya al-Aslami
5. Muhammad Ibn Sa‟id Ibn Abi Faudaik, dan
6. „Abdullah Ibn Nafi‟.

c. Ulama yaman yang dijadikan guru oleh Imam asy-syafi‟i adalah


1. Mutharraf Ibn Mazim
2. Hisyam Ibn Yusuf
3. „Umar Ibn Abi Salamah (pembangun Mazhab Auza‟i)
4. Yahya Ibn Hasan (pembangun Mazhab Laits)

71
Dedi Supriadi, Perbandingan Mazhab Dengan.,, h. 235
52

d. Guru-guru Imam asy-syafi‟i dari kalangan ulama irak, adalah


1. Waki‟ bin Jarrah
2. Muhammad bin Usamah
3. Ismail bin Ulyah
4. Abdul Wahab bin Abdul Madjid
5. Muhammad bin Hasan
6. Qadhi bin Yusuf
Pengembang Mazhab Syafi‟i dari murid-murid Imam Syafi‟i, dapat
dibagai menjdi dua; murid-murid Imam Syafi,i yang mengembangkan
Mazhab Syafi‟i di Baghdad dan di Mesir. Yang mengembangkan mazhab
di Baghdad yaitu:
1. Abu Ali al-Hasan ash-Shabah al-Za‟farani (w. 260 H);
2. Husein bin „Ali al-Kurabisyi (w. 240 H);
3. Imam Ahmad bin Hanbal (Imam Mazhab Hanbali) (w. 240 H);
4. Abu Tsaur al-Kalabi (w. 240 H);
5. Ishak bin Rahuyah (w. 277 H);
6. Al-Rabi‟ bin Sulaiman al-Muradi (w. 270 H);
7. Abdullah bin Zubair al-Humaidi (w. 219 H);
8. Ibn Hanbal al-Buthi
9. Al-Muzani,
10. Abu „Ubaid al-Qasim Ibn Salam al-Luqawi72
Murid-murid Imam Syafi‟i yang berada di mesir, terutama para
murid yang mendengar dan menuliskanya ajaran dan membantu Imam
Syafi‟i dalam menyusun kitab , diantaranya:
1. Al-Buaithi (w. 232 H)
2. Yahya al-Muzani (w. 264 H)
3. Ar-Rabi bin Sulaiman al-Ziji (w. 256 H)
4. Harmalah bin Yahya at-Tujibi (w.243 H)
5. Yunus bin Abdil A‟ala (w. 264 H)
6. Muhamad bin Abdullah bin Abdul Hakam (w. 268 H)
72
Siradjuddin Abbas, Sejarah Dan Keagungan Mazhab Syafi‟i. Cet. Ke-V (Jakarta:
Pustaka Tarbiyah, 1991), h. 138-139
53

7. Abdurrahman bin Abdullah bin Abdul Hakam (w. 268 H)


8. Abu Bakar al-Humaidi (w. 129 H)
9. Abdul Aziz bin Umar (w. 234 H)
10. Abu Utsman, Muhammad bin Syafi‟i (anak kandung Imam Syafi‟i)
(w. 232 H)
11. Abu Hanifah al-Aswani (w. 271 H)73
Secara garis besar, dalam menguasai fiqih madinah, Imam Syafi‟i
berguru langsung kepada Imam Malik sedangkan dalam menguasai fiqih
irak, ia berguru kepada Muhammad ibn al-Hasan asy-Syaibani yang
merupakan pelanjut fiqih hanafi. Disamping itu Imam Syafi‟i mempelajari
fiqih al-Auza‟i dari „Umar ibn Abi Salamah dan mempelajari fiqih al-Laits
kepada Yahya Ibn Hasan.74 Dengan modal penguasaan terhadap dua aliran
ini, Imam Syafi‟i benar-benar menguasai kelemahan dan kekuatan mazhab
sebelumnya. Konsekuensinya, rasa hormat dan kagum terhadap Imam
Syafi‟i tidak bisa terhindari oleh para murid dan pengikutnya. Oleh karena
itu, hampir sebgaian mazhab sunni bermazhab Syafi‟i.

6. Karya-Karya Imam Syafi‟i


Karya para Imam mazhab pada dasarnya ditulis dengan tangan dan
disalin dari satu naskah ke naskah yang lain karna belum ada percetakan.
Begitu pula, karya Imam Syafi‟i, yang menurut Imam Abu Muhamad bin
Husein bin Muhammad al-Marudzi (salah seorang murid Imam Syafi‟i),
Imam Syafi‟i telah mengarang 113 kitab dalam ushul, tafsir, fiqih, adab
dan lain-lain.75
Fiqih, Ushul
No Nama Kitab Pengarang Fiqih Dan
Kaidah Fiqih
Al-Umm, yang meliputi kitab: Asy-Syafi‟i Ushul Fiqih
1.
a. Ikhtilaf Abu Hanifah wa Ibn Abi

73
Siradjuddin Abbas, Sejarah Dan Keagungan Mazhab.,, h. 141
74
Hasbi ash-Shiddieqi, Pokok-Pokok Pegangan Imam Mazhab Dalam Membina Hukum
Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1973), h. 241
75
Siradjuddin Abbas, Sejarah Dan Keagungan Mazhab.,, h. 140
54

Laila
b. Khilaf Ali wa Ibn Mas‟ud
c. Ikhtilaf Malik wa Asy-Syafi‟i
d. Jama‟il al-Ilmi
e. Syiyas al-„Auzai
f. Ikhtilaf al-Hadis
g. Ibthalul Ikhtihsan
h. Ar-rad ala Muhammad Ibn Hasan
i. Bayan Faraid Allah
j. Sifat Nahy Rasulullah
2. Al-Risalah Sda Sda
3. Al-Imla Sda Sda
4. Al-Hujjah Sda Sda
5. Al-Buaithi Sda Sda
6. Al-Qiyas Sda Sda
7. Al-Musnad Sda Sda
8. Al-Amali Sda Sda
9. Al-Qassamah Sda Sda
10. Al-Jizyah Sda Sda
11. Mukhtar Al-Muzani Sda Sda
12. Ahkamul Qur‟an Sda Sda
13. Mukhtasar Al-Buaithi Sda Sda
14. Harmalah Sda Sda
15. Jami‟i Muzani Al-Kabir Sda Sda
16. Jami‟i Muzani Ash-Shagir Sda Sda
17. Istikbalul Qiblatain Sda Sda
18. Qital Ahli Bagyi Sda Sda
al-Muzani
19. Al-Watsaiq Sda
(w. 264 H)
20. Masalah Al-Mu‟tabarah Sda Sda
21. Al-Muharrah Fin Nazhar Ath-Thabari
55

(w. 305 H)
22. Al-Ifshah Sda Fiqih
Abi Hurairah
23. Sarah Mukhtasar Sda
(w. 245 H)
Ibnul Qashi
24. Talkhisah Ushul fiqih
(w. 335 H)
25. Al-Miftah Sda Sda
26. Adabul Qadhi Sda Fiqih
27. Al-Mawaqit Sda Sda
28. Al-Waqi‟at Sda Sda
29. Adabul Qadha Sda Sda
al-Jarjani
30. Al-Wakalah Sda
(w. 392 H)
Muhamili
31. Al-Majmu‟ Ushul fiqih
(w. 360 H)
32. Al-Muqra Sda Fiqih
33. Al-Lubab Sda Ushul fiqih
Abu Ishaq asy-
34. Al-Muhadzab Syirazi Fiqih
(w. 476 H)
35. Tanbih Sda Sda
Ushul
36. Al-Luma‟ Sda
fiqih/fiqih
37. At-Tabshirah Sda Fiqih
38 Al-Mulkhishi Sda Sda
39. Al-Ma‟na Sda Ushul fiqih
al-Mawardi
40. Al-Hawi Fiqih
(w. 450 H)
41. Al-Iqna Sda Sda
Al-Ahkam
42. Sda Sda
As-Sulthoniyah
56

al-Haramain
43. Al-Nihayah Sda
(w. 505 H)
al-Ghazali
44. Al-Khulashah Fiqih
(w. 505 H)
45. Al-Wajiz Sda Sda
46. Al-Wasith Sda Sda
47. Al-Basith Sda Sda
Abu Syuja
48. Al-Gayah Wa At-Tagrib Sda
(w. 593 H)
Ar-Rafi‟i
49. Fathul Aziz Sda
(w. 676 H)
50. Al-Muharrar Sda Sda
51. Minhajut Thalibin an-Nawawi Sda
52. Ar-Raudah Sda Sda
53. Al-Umdah Sda Ushul Fiqih
54. Tanqih Sda Fiqih
55. Manasik Sda Fiqih
56. Al-Fatawi Sda Fiqih
57. Al-Majmu Sda Ushul Fiqih
58. Al-Irsyad Ibnu Makri Sda
59. Ar-Raudah Sda
Izudin bin
60. Al-Amali Abdisalam Fiqih
(w. 660 H)
Qawaid Al-Ahkam Fi Mashalih Al-
61. Sda Qaidah Fiqih
Anam
62. Al-Qawaidul Kubra Sda Sda
63. Fatawi Al-Mishriyah Sda Fiqih
Ibnu Wakil
64. Al-Asyab Wa An-Naza‟ir Qaidah Fiqih
(w. 716 H)
65. Takmilah Al-Majmu Taqiyudin Ushul Fiqih
57

Subki (w. 756


H)
Fiqih/ushul
66. Sarah Kitabul Minhaj Sda
Fiqih
67. Tahbirul Mazhab Sda Sda
68. Ibtihaj Fi Sarhil Minhaj Sda Sda
69. Nurul Mishbah Fi Shalati Tarawih Sda Fiqih
Taj ad-Din as-
70. Al-Asyab Wa An-Nazha‟ir Subki (w. 771 Qaidah Fiqih
H)
zarkasy
71. Fathul Aziz Fiqih
(w. 794 H)
72. Takmilah Sarah Minhaj Sda Ushul Fiqih
73. Khadimur Rafi‟ Sda Sda
74. Khabaya Zawaya Sda Sda
75. Al-Dibaji Fi Taudhihil Minhaj Sda Sda
76. Sarah Tanbih Sda fiqih
Ibn al-
77. Al-Asyabahwa An-Nazha‟ir Mulaqqin (w. Qaidah fiqih
804 H)
Taqiyudin al-
78. Kifayatul Akhyar Husaini Fiqih
(w. 829 H)
Ibnu Ruslan
79. Matan Zubad Fiqih
(w. 844 H)
j. al-Mahalli
80. Al-Mahalli Sarah Minhaj Sda
(w.864 H)
Qasim al-
Fathul Qarib Sarah Al-Gayah Wa
81. Ghazi (w.892 Sda
Taqrib
H)
Jalal ad-Din
82. Al-Asbah Wa An-Naza‟ir Qaidah Fiqih
as-Suyuthi
58

(w.911 H)
Zakaria al-
83. Minhaju Al-Thulab Anshari Fiqih
(w.926 H)
84. Tharir sda Fiqih
85. Fathul Wahab sda Sda
86. Asnal Mathalib sda Sda
Syarbani
87. Mughni Al-Muhtaj Sarah Minhaj Ushul Fiqih
(w.946 H)
88. Al-Iqna Sda fiqih
Al-Haitami
89. Tuhfatul Muhtaj Lisyarhil Minhaj Sda
(w.974 H)
90. Fathul Jawad sda Sda
91. Al-I‟ab Syarah Al-„Ubab sda Ushul Fiqih
92. Al-Imdad sda Sda
93. Al-Fatawi sda Fiqih
al-Ramli
94. Nihayatul Muhtaj Sda
(w.1004 H)
al-Syarqawi
95. Sarqawi At-Tahrir Sda
(w.1227 H)
al-Bajuri
96. Hasyiyah Al-Bajuri Sda
(w.1276 H)
Syeikh
97. Al-Ibab Sda
Mazdad
98. Al-Hawi al-Quzuami Sda
Zainudin al-
99. Fathul Mu‟in Sda
Malibari
Abi Bakar
100 I‟anatul Thalibin Sda
Syatha
Nawawi
101 Nihayatuzzain Sda
Banten

Anda mungkin juga menyukai