PENDAHULUAN
1
Gatot Supramono. 2012. Hukum Pertambangan Mineral dan Batu Bara di Indonesia.
Jakarta: Rineka Cipta. Hlm. 1.
1
2
batubara yang utama dan berlaku yaitu Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009
tentang Pertambangan Mineral dan Batubara yang selanjutnya disebut dengan UU
Minerba.2 Pasal 36 UU Minerba mengatur 2 tahapan perizinan, yaitu : a. IUP
Eksplorasi meliputi kegiatan penyelidikan umum, eksplorasi, dan studi kelayakan;
b. IUP Operasi Produksi meliputi kegiatan konstruksi, penambangan, pengolahan
dan pemurnian, serta pengangkutan dan penjualan.Adapun pengertian IUP adalah
izin untuk melaksanakan usaha pertambangan, sebagaimana diatur Pasal 1 angka
7 UU Minerba. Sehingga perseorangan atau Badan Hukum harus memiliki Izin
Usaha Pertambangan (yang selanjutnya disebut IUPertambangan) terlebih dahulu,
dan sebagai pemegang IUPertambangan baru dapat melaksanakan proses
pertambangan.
Selain sektor pertambangan, sektor perkebunan diharapkan dapat
memberikan kontribusi bagi peningkatan kesejahteraan rakyat. Sektor perkebunan
merupakan suatu andalan komoditas unggulan dalam menopang pembangunan
perekonomian nasional Indonesia, baik dari sudut pandang peningkatan
kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan dengan cara membuka lapangan
kerja yang terbuka luas.3 Sektor perkebunan diatur dalam Undang-Undang Nomor
39 Tahun 2014 tentang Perkebunan (selanjutnya disebut UU Perkebunan) diatur
dalam Pasal 3 huruf a, yang menyatakan bahwa “Penyelenggaraan Perkebunan
bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat”. Maka
sektor perkebunan perlu ditingkatkan fungsi dan peranannya, dan dikelola secara
terencana, terpadu, profesional, dan bertanggung jawab. Usaha perkebunan diatur
dalam Pasal 7 Peraturan Menteri Pertanian Republik Indonesia Nomor 98 Tahun
2013tentang Pedoman Perizinan Usaha Perkebunan (yang selanjutnya disebut
Permentan Nomor 98 Tahun 2013) menyatakan bahwa “Perizinan Usaha
Perkebunan terdiri atas Izin Usaha Perkebunan untuk Budidaya (IUP-B), Izin
Usaha Perkebunan untuk Pengolahan (IUP-P), dan Izin Usaha Perkebunan (IUP)”.
2
Salim HS. 2014. Hukum Pertambangan Mineral dan Batubara. Jakarta: Sinar Grafika.
Hlm. 25-26.
3
Supriadi. 2011. Hukum Kehutanan dan Hukum Perkebunan di Indonesia. Jakarta: Sinar
Grafika. Hlm. 544.
3
4
Boedi Harsono. 2008. Hukum Agraria Indonesia Sejarah Pembentukan Undang-Undang
Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya Jilid 1. Jakarta: Djambatan, Edisi Revisi 2005. Hlm. 18.
4
tetapi bersumber pada perjanjian dengan pemilik tanah. Hak atas tanah yang
Primer terdiri dari Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak
Pakai. Sedangkan Hak atas tanah yang sekunder, terdiri dari Hak Sewa, Hak
Usaha Bagi Hasil, Hak Gadai atas Tanah dan Hak Menumpang.
Pemegang hak hanya diperbolehkan menggunakan dan itupun ada batasnya
sebagaimana yang telah diatur dalam Pasal 4 ayat (2) UUPA yaitu “sekedar
diperlukan untuk kepentingan yang langsung berhubungan dengan penggunaan
tanah itu, dalam batas-batas menurut UUPA dan peraturan lain yang lebih
tinggi”.5 Hak atas tanah tidak meliputi pemilikan kekayaan alam yang terkandung
didalam tubuh bumi. Hal tersebut sebagaimana diatur pula dalam Pasal 8 UUPA,
yaitu “atas dasar hak menguasai Negara sebagai yang dimaksud dalam Pasal 2
diatur pengambilan kekayaan alam yang terkandung dalam bumi, air dan ruang
angkasa”.
Hak atas Tanah diberikan atau diperoleh dari negara untuk diusahakan atau
dikelola dalam usaha pertambangan dan perkebunan yang bertujuan untuk
kesejahteraan rakyat. Meskipun dalam pemberian hak atas tanah berupa Hak Guna
Usaha (HGU) dalam melakukan usaha pertambangan maupun perkebunan
tersebut juga menimbulkan permasalahan/sengketa. Permasalahan/sengketa yang
terjadi adalah tumpang tindih lahan pertambangan dan perkebunan, spesifikasi
dari permasalahan/sengketa dalam pemberian izin usaha pada perkebunan atau
pertambangan yang dalam hal ini berkaitan dengan hak penguasaan atas lahan.
Praktik pemberian izin usaha pada satu areal bidang tanah, tidak menutup
kemungkinan terjadinya tumpang tindih lahan baik dalam bidang pertambangan
maupun bidang perkebunan yang menyebabkan sengketa. Seharusnya sebelum
memberikan izin usaha, harus menghargai Hak Guna Usaha (HGU) atau Hak
Pakai atau Hak Pengelolaan atau Hak keperdataan lainnya atas penguasaan hak
atas tanah sebelumnya. Sehingga atas terbitnya izin tersebut, ada Hak
Keperdataan seseorang atau badan hukum yang terlanggar. Kasus-kasus yang
diangkat oleh penulis adalah kasus tumpang tindih lahan pertambangan dengan
lahan perkebunan. Kasus pertama terjadi antara PT. Sajang Heulang (Penggugat)
5
Boedi Harsono. Ibid., Hlm. 18.
5
dengan PT. Anzawara Satria (Tergugat I), Kepala Desa Bunati (Tergugat II),
Kepala Desa Angsana (Tergugat III), dan Ketua BPD Bunati (Tergugat IV).
Bahwa Penggugat adalah pemilik sah atas tanah Sertifikat Hak Guna Usaha
No. 35, seluas 2.128 Ha, Surat Ukur No. 01/SBR/2002, tanggal 23 Maret 2002,
tertulis atas nama PT. Sajang Heulang. Terletak di Desa : Sumber Baru, Angsana,
Karang Indah, Bunati, dan Sebamban, Kecamatan Satui dan Sungai Loban,
Kabupaten Kota Baru(kini dikenal Kabupaten Tanah Bumbu), Propinsi
Kalimantan Selatan. Bahwa Penggugat telah mendapatkan izin lokasi untuk
keperluan Perkebunan dari Kantor Pertanahan Kabupaten Kota Baru melalui surat
Keputusan Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Kota Baru No.
SK.01/PL/460/1993/KP-KTB tertanggal 15 Desember 1993 Tentang Pemberian
Izin Lokasi untuk keperluan Perkebunan.
Bahwa Tergugat I yang diwakili oleh Jack Mulyana H, yang dalam
kapasitasnya selaku Direktur utama PT. Anzawara, Tergugat II yang dalam hal ini
diwakili oteh H. Muslimin selaku Kepala Desa Bunati dan Tergugat III yang
dalam hal ini diwakili oleh Sayid Umar Idrus selaku Kepala Desa Angsana telah
menandatangani Perjanjian dibawah tangan pada tanggal 28 september 2002
(selanjutnya disebut “Perjanjian”) yang pada intinya mengatur hal-hal mengenai :
bahwa Tergugat II dan Tergugat III mewakili kepentingan dan mengatasnamakan
masyarakat di wilayah Desa Bunati dan Desa Angsana, bahwa Tergugat II dan
Tergugat III secara sepihak menunjuk dan/atau perusahaan lain yang
direkomendasikan Tergugat I untuk menanamkan modal guna kegiatan usaha
pertambangan batu bara, bahwa Tergugat II dan Tergugat III wajib menyediakan
dan mencarikan lahan-lahan tanah untuk dikelora Tergugat I terutama tanah
negara bebas/garapan pemerintah.
Berdasarkan Perjanjian yang dibuat oleh para pihak Tergugat I, II, III, dan IV.
Perjanjian tersebut dibuat dibawah tangan, dan tidak memiliki kekuatan hukum
yang mengikat karena Perjanjian yang memiliki kekuatan hukum yang mengikat
adalah perjanjian yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT).
Berdasarkan Perjanjian tersebut, Tergugat I melakukan kegiatan pertambangan di
sebagian wilayah SHGU Penggugat. Sehingga menimbulkan kerugian yang
6
diderita oleh Penggugat baik kerugian secara materiil maupun immateriil. Kasus
diatas merupakan kasus yang diambil dari Putusan Nomor 26/Pdt.G/2012/PN.Btl.
Kasus kedua terjadi antara PT. Sawit Kaltim Lestari (Penggugat) dengan
Bupati Kutai Kartanegara (Tergugat I) dan PT. Sedulang Raya (Tergugat II).
Bahwa Penggugat adalah pemegang izin lokasi untuk keperluan perkebunan
kelapa sawit, dan pemohon pengajuan permohonan Hak Guna Usaha atas lahan
dimaksud kepada Badan Pertanahan Nasional yang pada intinya Kanwil Kaltim
mengusulkan kepada BPN RI untuk mengabulkan permohonan HGU yang
diajukan oleh Penggugat. Tergugat yang dalam hal ini secara nyata melakukan
tindakan sewenang-wenang dalam menerbitkan Keputusan Bupati Kutai
Kartanegara No. 540/131/2008. Kesewenangan tersebut antara lain karena
Tergugat telah menerbitkan kuasa pertambangan di atas areal lahan perkebunan
kelapa sawit Penggugat, sehingga menyebabkan kerugian materiil maupun
immateriil yang diderita oleh Penggugat atas terbitnya Keputusan Bupati Kutai
Kartanegara. Kasus diatas merupakan kasus yang diambil dari Putusan Nomor
06/G/2009/PTUN.Smd.
Kasus ketiga terjadi antara PT. Sawit Kaltim Lestari (Penggugat) dengan
Bupati Kutai Kartanegara (Tergugat I) dan PT. Tri Agatona (Tergugat II). Bahwa
Penggugat adalah pemegang izin lokasi untuk keperluan perkebunan kelapa sawit,
dan telah mengajukan permohonan Hak Guna Usaha atas lahan dimaksud kepada
Badan Pertanahan Nasional yang pada intinya Kanwil Kaltim mengusulkan
kepada BPN RI untuk mengabulkan permohonan HGU yang diajukan oleh
Penggugat. Tergugat yang dalam hal ini secara nyata melakukan tindakan
sewenang-wenang dalam menerbitkan Keputusan Bupati Kutai Kartanegara No.
540/135/2007. Kesewenangan tersebut antara lain karena Tergugat telah
menerbitkan kuasa pertambangan di atas areal lahan perkebunan kelapa sawit
Penggugat, sehingga menyebabkan kerugian materiil maupun immateriil yang
diderita oleh Penggugat atas terbitnya Keputusan Bupati Kutai Kartanegara.
Kasus diatas merupakan kasus yang diambil dari Putusan Nomor
89/PK/TUN/2012.-
7
2. Sebagai salah satu sarana untuk mengembangkan dan usaha penerapan ilmu
pengetahuan yang diperoleh di perkuliahan dengan praktek yang terjadi
didalam kehidupan bermasyarakat;
3. Untuk memberikan sumbangan pemikiran dan wawasan yang berguna bagi
pemerintah, masyarakat, dan almamater mahasiswa Fakultas Hukum
Universitas Jember.
1.3.2 Tujuan Khusus
Tujuan khusus dari penulisan skripsi ini adalah :
1. Untuk mengetahui dan memahami prosedur dasar pengaturannya dan
kewenangannya dalam pemberian izin untuk melakukan usaha pertambangan
dan perkebunan;
2. Untuk mengetahui, memahami, dan menemukan penyelesaian sengketa pada
kasus tumpang tindih lahan pertambangan dengan lahan perkebunan
berdasarkan Peraturan Perundang-Undangan yang berlaku, teori-teori yang
ada, dan fakta-fakta yang terjadi dalam kasus tersebut;
3. Untuk mengkonstruksi ulang peraturan-peraturan yang terkait, berkaitan
dengan penyelesaian sengketa tumpang tindih lahan pertambangan dengan
lahan perkebunan .
6
Peter Mahmud Marzuki. 2014. Penelitian Hukum. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
Hlm. 55.
9
7
Peter Mahmud Marzuki. Ibid. Hlm. 131.
10
8
Peter Mahmud Marzuki. Ibid. Hlm 195-196
11
9
Peter Mahmud Marzuki. Ibid. Hlm 191
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
10
Bhakti Yudha, Ardhiwisastra. 2012. Penafsiran dan Konstruksi Hukum. Bandung: PT.
Alumni. Hlm. 13
11
Source : http://hermansh.blogspot.co.id/2012/02/penafsiran-dan-konstruksi-hukum.html
diakses pada hari kamis tanggal 10 September 2015 jam 15.00
12
13
pertanian, perkebunan, perikanan dan atau peternakan”. Hak Guna Usaha yang
didaftarkan kepada kantor Badan Pertanahan Nasional, setelah mendapatkan Surat
Keputusan dari Menteri Agraria. Kepala Kantor Badan Pertanahan Nasional akan
menerbitkan Sertipikat Hak Guna Usaha (SHGU). Setelah mendapatkan Sertipikat
Hak Guna Usaha, barulah pemohon mendapatkan Izin Usaha Perkebunan. Atas
dasar Izin Usaha Perkebunan itulah, barulah pemohon dapat melakukan kegiatan
usaha perkebunan.
Perusahaan pertambangan setelah melakukan kegiatan pertambangan
sebagaimana diatur didalam Pasal 27 Peraturan Menteri ESDM Nomor 32 Tahun
2013 Tentang Tata Cara Pemberian Izin Khusus di Bidang Pertambangan Mineral
dan Batubara harus melaporkan Renca Kerja Anggaran Biaya (RKAB) kepada
Bupati/Walikota, Gubernur, atau Menteri yang berisikan, rencana kerja, hasil
galian, dan anggaran biaya yang dikeluarkan selama proses penambangan. Jangka
waktu pelaporan paling lambat 45 hari kalender sebelum berakhirnya tutup tahun
takwim, dan wajib menyampaikan laporan kegiatan yang meliputi laporan
bulanan, triwulan, dan tahunan kegiatan operasi produksi khusus untuk
pengangkutan dan penjualan.
12
Poerwadarminta. 1976. Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Cetakan V. Jakarta: Balai
Pustaka. Hlm. 916.
19
Kita dapat mengetahui pengertian sengketa menurut para ahli dan Kamus
Besar Bahasa Indonesia (KBBI) bahwa pengertian sengketa adalah perilaku
pertentangan antara dua orang atau lebih yang dapat menimbulkan suatu akibat
hukum dan karenanya dapat diberi sangsi hukum bagi salah satu diantara
keduanya.
13
Winardi. 2000.Buku Bahasa Indonesia.Surabaya: PT. Citra Jaya Murti.Hlm. 20.
14
Rachmadi Usman. 2012. Mediasi di Pengadilan. Jakarta: Sinar Grafika. Hlm. 1-2.
20
konflik biasanya berada dalam status quo sehingga ruang atas tanah yang
bersangkutan tidak dapat dimanfaatkan. Akibatnya adalah terjadinya
penurunan kualitas sumber daya lingkungan yang dapat merugikan
kepentingan banyak pihak.15
Selain itu, kekurangan penyelesaian sengketa melalui jalur pengadilan,
yaitumenyita waktu yang cukup lama, dan melelahkan, dimulai dari
Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi, bahkan mungkin sampai pada
tingkat Mahkamah Agung. Hal ini sudah tentu juga membutuhkan biaya
yang cukup besar serta dapat mengganggu hubungan pihak-pihak yang
bersengketa.16
2. Penyelesaian sengketa diluar pengadilan (non-litigasi)
Selain melalui pengadilan (litigasi), penyelesaian sengketa juga dapat
diselesaikan diluar pengadilan (non-litigasi), yang lazim dinamakan dengan
Alternative Dispute Resolution (ADR) (Alternatif Penyelesaian Sengketa).
ADR itu adalah suatu pranata penyelesaian sengketa diluar pengadilan, yang
mekanismenya berdasarkan sebuah kesepakatan para pihak dengan
mengesampingkan penyelesaian sengketa secara litigasi di pengadilan, baik
itu dilakukan melalui cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, atau
penilaian ahli. ADR ini merupakan suatu penyelesaian sengketa yang
dilakukan sendiri oleh para pihak yang bersengketa dengan atau tanpa
bantuan orang lain yang akan membantu menyelesaikan sengketa atau beda
pendapat diantara para pihak yang bersengketa. Berbeda dengan litigasi,
penyelesaian sengketa melalui ADR ini berada di tangan para pihak yang
bersengketa. ADR ini hanya dapat ditempuh bilamana para pihak
menyepakati penyelesaiannya melalui pranata pilihan penyelesaian
sengketa. Dari uraian tersebut, dapat diketahui bentuk-bentuk penyelesaian
sengketa diluar pengadilan, yaitu melalui lembaga penyelesaian sengketa
atau beda pendapat melalui prosedur yang disepakati para pihak, yaitu :17
1. Konsultasi (consultation);
15
Maria S.WSumardjono. 2008. Mediasi Sengketa Tanah. Jakarta: Kompas. Hlm. 3.
16
Rachmadi Usman. Op.Cit. Hlm. 14.
17
Rachmadi Usman. Ibid. Hlm 8-10
21
2. Negosiasi (negotiation);
3. Mediasi (mediation);
4. Konsiliasi (conciliation);
5. Penilai
2.3.3 Pengertian Tumpang Tindih
Pemberian Hak atas Tanah pada suatu lahan atau tanah yang diberikan
kepada subyek hukum tidak menutup kemungkinan terjadinya tumpang tindih,
Tumpang Tindih adalah overlapping, yaitu suatu keadaan yang menunjukkan
bahwa satu pekerjaan yang sama dilakukan oleh beberapa orang atau kelompok
sehingga menghasilkan pekerjaan kembar atau ganda.18 Sehingga pengertian
tumpang tindih lahan adalah suatu keadaan dimana didalam satu lahan terdapat 2
(dua) hak atas tanah yang dikuasai oleh 2 (dua) subyek hukum atau lebih.
18
http://www.mediabpr.com/kamus-bisnis-bank/tumpang_tindih.aspx. Diakses pada hari
Selasa tanggal 13 Oktober 2015 Pukul 17.00 WIB.
19
Boedi Harsono. Op.Cit. Hlm. 18.
22
Hak Milik mempunyai sifat yang khusus. Kekhususan hak milik karena
wewenang pemegang hak atas tanah bukan hanya untuk memakai suatu
bidang tanah tertentu yang dihaki, tetapi juga mengandung hubungan
psikologi emosional antara pemegang hak dengan tanah yang
bersangkutan. Tanah yang bersangkutan dirasa sebagai kepunyaannya.20
Sehingga adanya Pasal 6 UUPA merupakan pembatasan terhadap
wewenang pemegang hak dimana Pasal 6 UUPA tersebut menetapkan
bahwa “semua hak atas tanah mempunyai unsur sosial”. Ini berarti tidak
hanya Hak milik yang mempunyai unsur sosial tetapi semua hak atas
tanah mempunyai unsur sosial, sehingga hak atas apapun yang ada pada
seseorang tidaklah dapat dibenarkan, bahwa tanahnya itu dapat
dipergunakan (atau tidak dipergunakan) semata-mata untuk kepentingan
pribadinya, apalagi kalau hal itu menimbulkan kerugian bagi
masyarakat. Penggunaan tanah harus disesuaikan dengan keadaannya
dan sifat dari pada haknya, hingga bermanfaat baik bagi kesejahteraan
dan kebahagiaan yang mempunyainya maupun bermanfaat pula bagi
masyarakat dan Negara. Tetapi tidak berarti bahwa kepentingan
perseorangan akan terdesak sama sekali oleh kepentingan umum.
Kepentingan masyarakat dan kepentingan perseorangan haruslah saling
mengimbangi, hingga pada akhirnya akan tercapai tujuan pokok, yaitu
kemakmuran, keadilan dan kebahagiaan bagi rakyat seluruhnya,
demikianlah yang disebutkan dalam Penjelasan Umum UUPA.21Subyek
dari Hak Milik dimuat dalam Pasal 21 UUPA yaitu :
1. Hanya Warga Negara Indonesia
2. Oleh Pemerintah ditetapkan badan-badan hukum yang dapat
mempunyai hak milik dan syarat-syaratnya yang diatur dalam PP
No. 38 Tahun 1963 tentang Penunjukan Badan-Badan Hukum yang
dapat mempunyai hak milik atas tanah.
20
Boedi Harsono. Ibid. Hlm. 288-289.
21
Boedi Harsono. Ibid. Hlm. 299-300.
24
(Tanah Negara) dan pemberian Hak Guna Usaha ditentukan batas luas
minimum tanah yaitu 5 hektar.22
3. Hak Guna Bangunan (Pasal 35-40 UUPA)
Dalam UUPA, Hak Guna Bangunan adalah hak untuk mendirikan dan
mempunyai bangunan di atas tanah yang bukan miliknya sendiri. Hak
Guna Bangunan yang dalam praktek disebut HGB ini diberikan kepada
pemegang haknya untuk jangka waktu 30 tahun dan dapat diperpanjang
hingga jangka waktu 20 tahun. Pengaturan lebih lanjut mengenai Hak
Guna Bangunan terdapat dalam Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun
1996. Hak Guna Bangunan diberikan kepada perseorangan yang
berstatuskewarganegaran Indonesia atau Badan Hukum yang didirikan
menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia. Hak Guna
Bangunan dapat diberikan di atas tanah negara, tanah Hak Milik atau
tanah Hak pengelolaan. Ketentuan ini berbeda dengan Hak Milik yang
hanya dapat diberikan di atas tanah Negara atau tanah Hak Pengelolaan
walaupun sampai saat ini pemberian Hak Milik di atas tanah Hak
Pengelolaan belum ada ketentuan yang mengaturnya. Pemberian Hak
Guna Bangunan di atas tanah Negara diberikan berdasarkan surat
keputusan pemberian hak oleh pejabat yang berwenang. Sedangkan
pemberian Hak Guna Bangunan di atas tanah Hak Milik atau tanah Hak
Pengelolaan dilakukan atas persetujuan dan usul terlebih dahulu dari
pemegang Hak Milik atau pemegang Hak Pengelolaan atas tanah yang
bersangkutan.23
4. Hak Pakai (Pasal 41-43 UUPA)
Hak Pakai adalah hak untuk menggunakan dan/atau memungut hasil dari
tanah yang dikuasai langsung oleh Negara atau tanah hak milik atau
diatas tanah Hak Pengelolaan. Hak Pakai memberi wewenang dan juga
kewajiban yang ditentukan dalam keputusan pemberian haknya oleh
pejabat yang berwenang atau dalam perjanjian dengan pemilik tanah
22
Irawan Soerodjo. 2013. Hukum Pertanahan Hak Pengelolaan atas Tanah (HPL).Surabaya:
LaksBang Mediatama. Hlm. 65.
23
Irawan Soerodjo. Ibid. Hlm. 62.
26
24
Irawan Soerodjo. Ibid. Hlm. 66.
25
Boedi Harsono. Ibid. Hlm. 235-236.
27
Kantor Pertanahan dan dapat diberikan sertipikat sebagai tanda bukti haknya.
Selain hak-hak atas tanah yang disebut dalam Pasal 16 UUPA, dijumpai juga
lembaga-lembaga hak atas tanha yang keberadaannya dalam Hukum Tanah
Nasional diberi sifat “sementara”, artinya pada suatu waktu hak-hak tersebut
sebagai lembaga hukum tidak ada lagi. Hak-hak atas tanah yang sekunder
lainnya disebutkan dalam Pasal 53 UUPA merupakan hak atas tanah yang
sifatnya sementara, yaitu :
1. Hak Sewa atas Tanah Pertanian;
2. Hak Usaha Bagi Hasil;
3. Hak Gadai atas Tanah Pertanian;
4. Hak Menumpang.
Hak-hak tersebut diberi sifat sementara, karena dianggap tidak sesuai dengan
asas-asas Hukum Tanah Nasional. Salah satu asas penting dalam Hukum
Tanah Nasional ialah dalam usaha-usaha dibidang pertanian tidak boleh ada
pemerasan, tidak boleh terjadi apa yang disebut “exploitation de I’homme par
I’homme” sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 11 ayat (1) UUPA. Dalam
hubungan itu Pasal 10 UUPA menetapkan bahwa tanah pertanian pada
asasnya harus dikerjakan atau diusahakan sendiri secara aktif oleh yang
memiliki tanah tersebut. Hak-hak atas tanah yang memungkinkan terjadinya
pemerasan orang atau golongan salah satu orang atau golongan lain, tidak
boleh ada dalam Hukum Tanah Nasional. Hak Gadai, Hak Usaha Bagi Hasil,
dan Hak Sewa untuk usaha pertanian adalah hak-hal yang memberi
kewenangan untuk menguasai dan mengusahakan tanah pertanian kepunyaan
orang lain. Maka hak-hak tersebut merupakan lembaga-lembaga hukum yang
dapat menimbulkan keadaan penguasaan tanah bertentangan dengan asas
yang tercantum dalam Pasal 10 UUPA.
2.5. Pertambangan
2.5.1 Pengertian Pertambangan
Pertambangan dapat diberi pengertian, adalah suatu kegiatan yang dilakukan
dengan penggalian ke dalam tanah (bumi) untuk mendapatkan sesuatu yang
28
berupa hasil tambang (mineral, minyak, gas bumi, dan batu bara). Adapun
pengertian pertambangan dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 4 Tahun
2009 UU Minerba adalah sebagian atau seluruh tahapan kegiatan dalam rangka
penelitian, pengelolaan, dan pengusahaan mineral atau batu bara yang meliputi
penyelidikan umum, eksplorasi, studi kelayakan, konstruksi, penambangan,
pengolahan dan pemurnian, pengangkutan dan penjualan, serta kegiatan pasca
tambang. Pengertian tersebut dalam arti luas karena meliputi berbagai kegiatan
pertambangan yang ruang lingkupnya dapat dilakukan sebelum penambangan,
proses penambangan, dan sesudah proses penambangan.26
26
Gatot Supramono. Op.Cit. Hlm. 6.
29
27
Gatot Supramono. Op.Cit. Hlm. 19.
28
Gatot Supramono. Ibid. Hlm. 19-20.
30
29
Ibid. Hlm. 23.
30
Ibid.
31
31
Gatot Supramono. Ibid. Hlm. 24.
32
32
Gatot Supramono. Ibid. Hlm. 25.
33
Ibid.
34
Ibid. Hlm. 29
35
Gatot Supramono. Ibid. Hlm. 29-30
33
2.6 Perkebunan
2.6.1 Pengertian Perkebunan
Pasal 1 angka 1 UU Perkebunan, mendefinisikan Perkebunan adalah segala
kegiatan yang mengusahakan tanaman tertentu pada tanah dan/atau media tumbuh
lainnya dalam ekosistem yang sesuai, mengolah dan memasarkan barang dan jasa
hasil tanaman tersebut, dengan bantuan ilmu pengetahuan dan teknologi,
permodalan serta manajemen untuk mewujudkan kesejahteraan bagi pelaku usaha
perkebunan dan masyarakat.
36
Supriadi. Op.Cit. Hlm. 552
34
35
36
(dua puluh lima) tahun atas permintaan pemegang hak dan mengingat keadaan
perusahaannya. Peraturan yang lebih khusus mengatur tentang Hak Guna Usaha,
yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak
Guna Bangunan, dan Hak Pakai Atas Tanah (yang selanjutnya disebut PP Nomor
40 Tahun 1996). Sebagaimana diatur dalam Pasal 4 Ayat (1) PP Nomor 40 Tahun
1996 menyatakan bahwa “tanah yang dapat diberikan dengan Hak Guna Usaha
adalah tanah negara”. PP Nomor 40 Tahun 1996 juga mengatur mengenai luas dan
jangka waktu Hak Guna Usaha, sebagaimana diatur dalam Pasal 5 Ayat (1) dan
(2) yang menyatakan bahwa “luas minimum tanah yang dapat diberikan Hak
Guna Usaha adalah lima hektar, dan luas maksimum yang diberikan kepada
perorangan adalah 25 (dua puluh lima) hektar. Begitu juga dengan jangka waktu
Hak Guna Usaha, sebagaimana diatur dalam Pasal 8 Ayat (1) dan (2) PP Nomor
40 Tahun 1996, menyatakan bahwa “Hak Guna Usaha diberikan untuk jangka
waktu paling lama 35 (tiga puluh lima) tahun dan dapat diperpanjang untuk
jangka waktu paling lama 25 (dua puluh lima) tahun.
39
Gatot Supramono. Ibid. Hlm. 11.
37
40
Gatot Supramono. Ibid. Hlm. 12.
41
Gatot Supramono. Ibid.
38
42
Salim Hs. Ibid. Hlm. 107.
42
diberikan Hak atas tanah berupa Hak Guna Usaha, Hak Pakai, dan Hak
Pengelolaan. Setelah mendapatkan atau mendaftarkan Hak atas tanahnya barulah
Perusahaan pertambangan dapat melakukan kegiatan pertambangan sebagaimana
diatur dalam Pasal 135 UU Minerba yang menyatakan bahwa “Pemegang IUP
Eksplorasi dan IUPK Eksplorasi hanya dapat melaksanakan kegiatannya setelah
mendapat persetujuan dari pemegang hak atas tanah”. Sehingga setelah
mendapatkan persetujuan dari pemegang hak atas tanah, barulah usaha
pertambangan dapat dilakukan. Dengan demikian dari segi peraturan tentang
pertambangan tidak berpotensi terjadinya konflik didalam penormaannya,
dikarenakan penormaan dalam usaha pertambangan sudah jelas dan mencakup
segala aspek. Namun didalam prakteknya, terjadi sengketa tumpang tindih lahan
pertambangan dengan lahan perkebunan karena kurangnya koordinasi antara
Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, dan Kepala Badan Pertanahan Nasional.
43
Eko Yulian Isnur. 2012. Tata Cara Mengurus Segala Macam Surat dan Tanah.
Yogyakarta: Pustaka Yustisia. Hlm. 9.
49
44
Solih Mu’adi. 2010. Penyelesaian Sengketa Hak Atas Tanah Perkebunan dengan cara
Litigasi dan Non Litigasi. Jakarta: Prestasi Pustakaraya. Hlm. 54.
45
Mukti Arto, A. 2001. Mencari Keadilan, Kritik, dan Solusi Terhadap Praktik Peradilan
Perdata di Indonesia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Hlm. 12-13.
50
adanya putusan yang mempunyai kekuatan hukum tetap harus menunggu cukup
lama. Sehingga untuk menyelesaikan kasus tumpang tindih lahan pertambangan
dengan lahan perkebunan, penyelesaian sengketa melalui lembaga peradilan
kurang efektif karena memakan waktu yang lama, biaya yang tinggi, dan kurang
adanya keadilan bagi masing-masing pihak.
Alternatif penyelesaian sengketa (Alternative Dispute Responsibility) atau
penyelesaian sengketa dengan cara non litigasi merupakan ekspresi responsif atas
ketidakpuasan penyelesaian sengketa melalui proses litigasi yang konfrontatif dan
rumit. Dalam penyelesaian sengketa tumpang tindih lahan pertambangan dengan
lahan perkebunan, penulis menawarkan penyelesaian sengketa dengan cara non
litigasi atau alternatif penyelesai sengketa yang lebih memakan biaya yang murah,
waktu yang lebih cepat, dan tidak rumit.
Alternatif penyelesaian sengketa dengan cara non litigasi mempunyai
berbagai macam cara, antara lain :
1. Negosiasi
Negosiasi adalah penyelesaian sengketa melalui perundingan langsung antara
para pihak yang bersengketa guna mencari atau menemukan bentuk-bentuk
penyelesaian yang dapat diterima pihak-pihak yang bersangkutan.46 Dalam
negosiasi para pihak yang bersengketa berunding secara langsung (dengan
didampingi pengacaranya masing-masing) tanpa perantaraan pihak ketiga dalam
menentukan kata akhir penyelesaian sengketa. Penyelesaian sepenuhnya dikontrol
oleh para pihak sendiri atas dasar prinsip “win-win”. Negosiasi bersifat informal
dan tidak terstruktur serta waktunya pun tidak terbatas. Efisiensi dan efektifitas
kelangsungan negosiasi tergantung sepenuhnya kepada para pihak.
Sedangkan Gulliver berpandangan bahwa :
“negosiasi merupakan bagian penting penyelesaian sengketa yang
terus menerus dengan tahapan-tahapan sebagaimana yang ada dalam
bagan tersebut yakni mulai dari perbedaan pendapat sampai dengan
munculnya sengketa dan penyelesaian yang dilakukan dengan cara
negosiasi”.47
46
Sholiah Mu’adi. Ibid. Hlm. 74
47
Sholiah Mu’adi. Ibid. Hlm. 76
51
Penyelesaian sengketa dalam kasus ini jika menggunakan cara negosiasi, para
pihak dari pertambangan maupun perkebunan berkumpul dalam suatu waktu dan
tempat dengan didampingi masing-masing pengacaranya menyelesaikan sengketa
tumpang tindih. Penyelesaiannya dapat berupa ganti rugi atas lahan yang
ditumpangi oleh lahan lain, dan ganti rugi tersebut harus berdasarkan kesepakatan
kedua belah pihak dan masing-masing pihak saling diuntungkan dan tidak ada
yang dirugikan. Penyelesaian sengketa melalui media negosiasi tidak hanya
terbatas mempertimbangkan aspek-aspek hukum semata, melainkan juga faktor-
faktor non hukum. Pada tataran negosiasi sengketa, dapat saja unsur-unsur hukum
tidak terlalu dipersoalkan asalkan sengketa tersebut mampu diselesaikan dengan
baik tanpa merugikan para pihak. Secara yuridis, hasil negosiasi tidak mengikat.
Pemenuhan hasil negosiasi bergantung pada itikad baik masing-masing pihak.
2. Mediasi
Mediasi merupakan upaya penyelesaian sengketa melalui perundingan
dengan bantuan pihak ketiga netral (mediator) guna mencari penyelesaian yang
dapat disepakati para pihak. Peran mediator dalam mediasi adalah memberikan
bantuan substansif dan prosedural kepada para pihak yang bersengketa.48 Namun,
dalam hal ini mediator tidak mempunyai kewenangan untuk memutus atau
menerapkan suatu bentuk penyelesaian. Mediator hanya memfalisitasi proses
penyelesaian sengketa melalui mediasi. Pada prinsipnya, mediasi adalah negosiasi
yang melibatkan pihak penengah (mediator) yang netral dan tidak memihak serta
dapat membantu para pihak untuk melakukan tawar-menawar secara seimbang.
Menurut Christopher W. Moore, terdapat 12 (dua belas) faktor yang
menyebabkan proses mediasi menjadi efektif. 12 (dua belas) faktor itu antara lain
:49
1. Para pihak yang bersengketa memiliki sejarah pernah bekerjasama dan
berhasil dalam menyelesaikan masalah mengenai beberapa hal.
2. Para pihak tidak memiliki sejarah panjang saling menggugat di pengadilan
sebelum melakukan proses mediasi.
48
Sholih Mu’adi. Ibid. Hlm. 77.
49
Sholih Mu’adi. Ibid. Hlm. 78.
52
3. Jumlah pihak yang terlibat dalam sengketa tidak meluas sampai pada pihak-
pihak yang berada diluar masalah.
4. Pihak-pihak yang terlibat dalam sengketa telah sepakat untuk membatasi
permasalahan yang akan dibahas.
5. Para pihak mempunyai keinginan besar untuk menyelesaikan masalah
mereka.
6. Para pihak telah mempunyai atau akan mempunyai hubungan lebih lanjut di
masa yang akan datang.
7. Tingkat kemarahan dari para pihak masih dalam batas normal.
8. Para pihak bersedia menerima bantuan dari pihak ketiga.
9. Terdapat alasan-alasan yang kuat untuk menyelesaikan sengketa.
10. Para pihak tidak memiliki persoalan psikologis yang benar-benar
mengganggu hubungan mereka.
11. Terdapat sumberdaya untuk tercapainya sebuah kompromi.
12. Para pihak memiliki kemauan untuk saling menghargai.
Telah dikemukakan diatas bahwa proses mediasi lebih banyak kelebihan
dibandingkan dengan berperkara melalui proses peradilan. Ada berbagai
keuntungan lain mediasi yang dikemukakan oleh Ketua Mahkamah Agung
diantaranya adalah :50
1. Ada dua azas penting dalam mediasi. Pertama, menghindari “menang kalah”
melainkan “sama-sama menang” (win-win solution). Sama-sama menang
tidak saja dalam arti ekonomi atau keuangan semata, melainkan termasuk
juga kemenangan moril dan reputasi (nama baik dan kepercayaan). Kedua,
putusan tidak mengutamakan pertimbangan dan alasan hukum. Melainkan
atas dasar kesejajaran kepatutan dan rasa keadilan.
2. Telah pula dikemukakan, penyelesaian melalui mediasi mempersingkat waktu
penyelesaian dibandingkan berperkara di pengadilan. Perpanjang-panjang
waktu dalam berperkara tidak semata-mata beban ekonomi keuangan semata.
Tidak kalah pentingnya adalah beban psikologis yang akan mempengaruhi
berbagai sikap dan kegiatan pihak yang berperkara.
50
Sholih Mu’adi. Ibid. Hlm. 79.
53
Kedua, pada tingkat kepercayaan sosial yang rendah terhadap reputasi hakum,
mediasi merupakan salah satu alat penangkal karena penyelesaian mediasi
ditentukan oleh pihak-pihak yang bersengketa bukan oleh hakim. Ketiga,
secara berangsur-angsur berperkara di pengadilan dapat lebih diarahkan pada
persoalan-persoalan hukum (bukan nilai perkara) yang kompleks dan
mendasar yang akan mempengaruhi perkembangan hukum bahkan ilmu
hukum.
Meskipun demikian, mediasi mengandung pula beberapa kelemahan. Seperti:
pertama, kemungkinan terjadinya kolusi diantara salah satu pihak yang
bersengketa karena sifat mediasi yang sukarela dan bukan wajib untuk dilakukan.
Kedua, terhadap kesepakatan yang dicapai dalam mediasi mungkin tidak dapat
dilaksanakan sebab tidak adanya kekuatan. Ketiga, kesepakatan mediasi bisa
disalahgunakan sehingga sebagai bagian dari alternatif penyelesaian sengketa bisa
mengalami penyalahgunaan.
Penyelesaian sengketa tumpang tindih lahan pertambangan dengan lahan
perkebunan jika menggunakan penyelesaian sengketa secara mediasi dapat
digunakan dengan efektif. Karena dalam proses media, orang ketiga yang netral
atau seorang mediator berperan aktif dalam memberikan gagasan-gagasan guna
menyelesaikan sengketa tumpang tindih lahan tersebut. Gagasan-gagasan tersebut
dapat berupa penggantian kerugian atas lahan yang ditumpangi dengan lahan lain,
penggantian kerugian berdasarkan kesepakatan masing-masing pihak. Asal
kesepakatan tersebut tidak merugikan para pihak.
3. Konsiliasi
Konsiliasi merupakan upaya penyelesaikan sengketa melalui perundingan
dengan melibatkan pihak ketiga yang netral untuk membantu para pihak yang
bersengketa dalam menemukan bentuk-bentuk penyelesaian yang dapat disepakati
para pihak.51 Pihak ketiga yang dimaksud adalah seorang konsiliator, kedudukan
seorang konsiliator dalam proses konsiliasi hanyalah memainkan peran pasif.
Sama halnya dengan proses mediasi, sedangkan mediator memainkan peran aktif
dalam membantu para pihak untuk menyelesaikan sengketa. Dalam praktik, antara
51
Sholih Mu’adi. Ibid. Hlm. 83.
55
konsiliasi dan mediasi tidak terdapat perbedaan yang principal. Bahkan keduanya
cenderung saling dipertukarkan.
Penyelesaian sengketa tumpang tindih lahan pertambangan dengan lahan
perkebuna jika menggunakan penyelesaian sengketa secara konsiliasi terkesan
kurang efektif karena pihak ketiga yang netral atau seorang konsiliator hanya
bersifat pasif, pasif yang artinya menyerahkan seluruhnya penyelesaian kepada
para pihak. Seorang konsiliator tidak memberikan gagasan-gagasan atau ide-ide
guna menyelesaikan sengketa tersebut.
4. Arbitrasi
Penyelesaian sengketa melalu arbitrasi berarti dengan cara menyerahkan
kepada pihak ketiga yang netral yang mempunyai wewenang untuk memutuskan,
pihak ketiga yang netral tersebut adalah seorang arbitrator.52 Dengan memilih
penyelesaian sengketa secara arbitrasi, para pihak yang bersengketa memberikan
kewenangan sepenuhnya kepada seorang arbitrator guna menyelesaikan sengketa.
Secara umum, penyelesaian sengketa secara arbitrasi sebagaimana pula mediasi
merupakan metode alternatif penyelesaian sengketa yang sangat menguntungkan.
Sebab penyelesaian sengketa secara arbitrasi memakan biaya yang murah dan
tidak memakan waktu yang banyak serta pengaturan mengenai jalannya proses
arbitrasi, tempat, dan waktunya ditentukan oleh para pihak yang bersengketa.
Namun penyelesaian sengketa dengan cara arbitrasi juga memiliki
kelemahan, antara lain :53
1. Keputusan atas pengadilan arbitrasi tidak mempunyai kekuatan hukum yang
mengikat, yang untuk beberapa kasus penting akan kekuatan hukumnya.
2. Prosedur peradilan arbitrasi yang menghilangkan perlindungan terhadap
pihak yang mendapatkan pertanyaan-pertanyaan yang tidak adil. Artinya,
pertanyaan-pertanyaan yang bersifat pribadi.
Terhadap berbagai bentuk alternatif penyelesaian sengketa yang sudah dijelaskan
diatas, yang terdiri dari negosiasi, mediasi, konsiliasi, dan arbitrasi. Dapat ditarik
perbedaan-perbedaan sebagai berikut ini :54
52
Sholih Mu’adi. Ibid. Hlm. 84.
53
Sholih Mu’adi. Ibid. Hlm. 85.
56
54
Sholih Mu’adi. Ibid. Hlm. 86.
57
pihak tidak memilih penyelesaian secara non litigasi karena masing-masing pihak
masih mempertahankan egonya, tidak adanya kesadaran ingin menyelesaikan
sengketa, dan hasil dari alternatif penyelesaian sengketa tidak memiliki kekuatan
hukum yang mengikat para pihak sehingga para pihak bisa untuk tidak
melaksanakan hasil dari alternatif penyelesaian sengketa tersebut.
57
Supriadi. 2006. Hukum Agraria. Jakarta: Sinar Grafika. Hlm. 84.
65
58
Supriadi. Ibid. Hlm. 85
66
4.1 Kesimpulan
Dari hasil pembahasan yang telah diuraikan diatas tentang Konstruksi Hukum
Penyelesaian Sengketa Tumpang Tindih Lahan Pertambangan dengan Lahan
Perkebunan, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :
1. Pengaturan dan kewenangan pemberian izin terhadap usaha pertambangan
diatur dalam :
A. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral
dan Batubara (UU Minerba), UU Minerba mengatur beberapa hal terkait
usaha pertambangan.
B. Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan
Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara.
Pengaturan dan kewenangan pemberian izin terhadap usaha perkebunan
diatur dalam :
A. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan, UU
Perkebunan mengatur beberapa hal terkait usaha perkebunan.
B. Peraturan Menteri Pertanian Nomor 98 Tahun 2013 tentang Pedoman
Perizinan Usaha Perkebunan.
2. Sengketa tumpang tindih lahan yang disebabkan atas terbitnya izin usaha baik
pertambangan maupun perkebunan di Indonesia banyak terjadi dan sampai
saat ini tidak banyak yang terselesaikan. Penyelesaian sengketa di Indonesia
mengenal dengan 2 (dua) cara, antara lain :
1. penyelesaian sengketa dengan cara litigasi
penyelesaian sengketa melalui pengadilan, yang mempunyai beberapa
kerugian dan keuntungan.
2. penyelesaian sengketa dengan cara non-litigasi, antara lain :
- negosiasi
- arbitrase
- mediasi
69
70
- konsiliasi
- dan meminta kejelasan kepada Menteri ESDM, Menteri Pertanian, dan
Menteri Agraria terkait lahan yang digunakan pihak mana yang
terlebih dahulu mengajukan permohonannya untuk usaha baik
pertambangan maupun perkebunan.
3. Dari berbagai faktor-faktor yang menjadi penyebab terjadi sengketa
pertanahan khususnya sengketa tumpang tindih lahan pertambangan dengan
lahan perkebunan, kelemahan administrasi dalam bidang pertanahan menjadi
penyebab terjadinya sengketa tumpang tindih lahan. Kelemahan administrasi
berupa lambatnya pengeluaran izin, disharmonisasinya peraturan perundang-
undangan terkait, dan kurangnya koordinasi antar pejabat-pejabat yang
berwenang dalam mengeluarkan izin baik dalam pertambangan maupun
perkebunan. Dari berbagai permasalahan-permasalahan diatas, beberapa
pengkonstruksian hukum berdasarkan fakta yang terjadi dan peraturan
perundang-undangan yang terkait. Beberapa pengkonstruksian hukum
tersebut, antara lain :
1. Kebijakan Satu Jendela (Single Windows policy)
2. Adanya Koordinasi antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah
3. Kebijakan Satu Peta (One Map Policy)
4. Pelaksanaan Inventarisasi dan Registrasi Penguasaan, Pemilikan,
Penggunaan, dan Pemanfaatan Tanah Negara (P4T)
Dari berbagai pengkonstruksian yang ditawarkan penulis, diharapkan mampu
membenahi permasalahan dalam bidang pertanahan yang selama ini tidak ada
penyelesaian yang signifikan. Sehingga permasalahan di bidang pertanahan
tidak berlanjut-lanjut dan tidak merugikan para pihak yang usahanya dalam
ini berkaitan dengan bidang pertanahan.
4.2 Saran
Berdasarkan pada permasalahan dan kesimpulan yang telah dikemukakan
diatas maka dapat diberikan saran, sebagai berikut :
71