Anda di halaman 1dari 71

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Indonesia adalah negara agraris maka sebagian besar masyarakat Indonesia
yang dalam menjalankan kehidupan dan perekenomiannya masih bergantung pada
sektor pertanian, perkebunan, dan perikanan. Bumi, air, dan ruang angkasa,
sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa mempunyai peranan yang penting bagi
masyarakat dalam meningkatkan kesejahteraan hidupnya. Secara filosofi
dinormakan pada Pasal 33 Ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 yang selanjutnya disebut UUD NRI 1945 menyatakan
bahwa “Bumi dan Air dan Kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai
oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”.
Pengaturan tentang tanah secara spesialis diatur dalam Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (yang selanjutnya
disebut UUPA). Hal ini mengisyaratkan bahwa tanah dikuasai oleh Negara, dan
Negara memberikan kesempatan kepada masyarakat dalam memanfaatkan
Sumber Daya Alam berupa tanah.
Potensi Sumber Daya Alam dan cadangan mineral metalik yang tersebar di
437 lokasi di Indonesia bagian barat dan timur, seperti tembaga dan emas di
Papua, emas di Nusa Tenggara, nikel di Sulawesi dan Kepulauan Indonesia
Timur, bauksit dan batu bara di Kalimantan, dan mineral lainnya yang masih
tersebar di berbagai tempat. Sumber daya mineral sebagai salah satu kekayaan
alam yang dimiliki Bangsa Indonesia, apabila dikelola dengan baik akan
memberikan kontribusi terhadap pembangunan ekonomi negara.1 Pemanfaatan
Sumber Daya Alam dapat dilakukan melalui berbagai macam proses, salah
satunya adalah proses pertambangan.
Proses pertambangan di Indonesia tidak serta merta bisa langsung dilakukan,
terdapat peraturan-peraturan yang terkait dengan pertambangan mineral dan

1
Gatot Supramono. 2012. Hukum Pertambangan Mineral dan Batu Bara di Indonesia.
Jakarta: Rineka Cipta. Hlm. 1.

1
2

batubara yang utama dan berlaku yaitu Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009
tentang Pertambangan Mineral dan Batubara yang selanjutnya disebut dengan UU
Minerba.2 Pasal 36 UU Minerba mengatur 2 tahapan perizinan, yaitu : a. IUP
Eksplorasi meliputi kegiatan penyelidikan umum, eksplorasi, dan studi kelayakan;
b. IUP Operasi Produksi meliputi kegiatan konstruksi, penambangan, pengolahan
dan pemurnian, serta pengangkutan dan penjualan.Adapun pengertian IUP adalah
izin untuk melaksanakan usaha pertambangan, sebagaimana diatur Pasal 1 angka
7 UU Minerba. Sehingga perseorangan atau Badan Hukum harus memiliki Izin
Usaha Pertambangan (yang selanjutnya disebut IUPertambangan) terlebih dahulu,
dan sebagai pemegang IUPertambangan baru dapat melaksanakan proses
pertambangan.
Selain sektor pertambangan, sektor perkebunan diharapkan dapat
memberikan kontribusi bagi peningkatan kesejahteraan rakyat. Sektor perkebunan
merupakan suatu andalan komoditas unggulan dalam menopang pembangunan
perekonomian nasional Indonesia, baik dari sudut pandang peningkatan
kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan dengan cara membuka lapangan
kerja yang terbuka luas.3 Sektor perkebunan diatur dalam Undang-Undang Nomor
39 Tahun 2014 tentang Perkebunan (selanjutnya disebut UU Perkebunan) diatur
dalam Pasal 3 huruf a, yang menyatakan bahwa “Penyelenggaraan Perkebunan
bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat”. Maka
sektor perkebunan perlu ditingkatkan fungsi dan peranannya, dan dikelola secara
terencana, terpadu, profesional, dan bertanggung jawab. Usaha perkebunan diatur
dalam Pasal 7 Peraturan Menteri Pertanian Republik Indonesia Nomor 98 Tahun
2013tentang Pedoman Perizinan Usaha Perkebunan (yang selanjutnya disebut
Permentan Nomor 98 Tahun 2013) menyatakan bahwa “Perizinan Usaha
Perkebunan terdiri atas Izin Usaha Perkebunan untuk Budidaya (IUP-B), Izin
Usaha Perkebunan untuk Pengolahan (IUP-P), dan Izin Usaha Perkebunan (IUP)”.

2
Salim HS. 2014. Hukum Pertambangan Mineral dan Batubara. Jakarta: Sinar Grafika.
Hlm. 25-26.
3
Supriadi. 2011. Hukum Kehutanan dan Hukum Perkebunan di Indonesia. Jakarta: Sinar
Grafika. Hlm. 544.
3

Pengertian IUP-B sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 10 Permentan


Nomor 98 Tahun 2013 menyatakan bahwa “Izin Usaha Perkebunan untuk
Budidaya yang selanjutnya disebut IUP-B adalah izin tertulis dari Pejabat yang
berwenang dan wajib dimiliki oleh perusahaan perkebunan yang melakukan usaha
budidaya perkebunan”. Sedangkan Pengertian IUP-P sebagaimana diatur Pasal 1
angka 11 Permentan Nomor 98 Tahun 2013 menyatakan bahwa “Izin Usaha
Perkebunan untuk Pengolahan yang selanjutnya disebut IUP-P adalah izin tertulis
dari Pejabat yang berwenang dan wajib dimiliki oleh perusahaan perkebunan yang
melakukan usaha industri pengolahan hasil perkebunan. Pengertian IUP
sebagaimana diatur Pasal 1 angka 12 Permentan Nomor 98 menyatakan bahwa
“Izin Usaha Perkebunan yang selanjutnya disebut IUP adalah izin tertulis dari
Pejabat yang berwenang dan wajib dimiliki oleh perusahaan perkebunan yang
melakukan usaha budidaya perkebunan dan terintegrasi dengan usaha industri
pengolahan hasil perkebunan”. IUP-B, IUP-P, IUP dibutuhkan apabila suatu
perusahaan perkebunan ingin melaksanakan usaha perkebunan.
Pelaksanaan kegiatan Perkebunan dan Pertambangan dibutuhkan lahan atau
tanah dalam melakukan kegiatan usahanya. Sebagai upaya memenuhi kebutuhan
tersebut UUPA telah menyediakan berbagai jenis hak atas tanah yang digunakan
untuk melakukan kegiatan baik pertambangan maupun perkebunan.
Tanah diberikan kepada perseorangan atau badan hukum dengan hak-hak
yang disediakan oleh UUPA untuk digunakan atau dimanfaatkan, dimana hak
tersebut disebut Hak atas Tanah. Hak atas Tanah adalah hak atas sebagian tertentu
permukaan bumi, yang berbatas, berdimensi dua dengan ukuran panjang dan
lebar. Semua hak atas tanah baik secara langsung maupun tidak langsung
bersumber pada Hak Bangsa yang merupakan hak bersama.4 Hak atas tanah yang
disediakan UUPA dikelompokan dalam 2(dua) kelompok yaitu Hak atas tanah
Primer dan Hak atas tanah Sekunder. Hak atas tanah Primer merupakan hak yang
bersumber langsung pada Hak Bangsa Indonesia dan Hak atas tanah yang
sekunder adalah hak yang tidak bersumber langsung pada Hak Bangsa Indonesia

4
Boedi Harsono. 2008. Hukum Agraria Indonesia Sejarah Pembentukan Undang-Undang
Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya Jilid 1. Jakarta: Djambatan, Edisi Revisi 2005. Hlm. 18.
4

tetapi bersumber pada perjanjian dengan pemilik tanah. Hak atas tanah yang
Primer terdiri dari Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak
Pakai. Sedangkan Hak atas tanah yang sekunder, terdiri dari Hak Sewa, Hak
Usaha Bagi Hasil, Hak Gadai atas Tanah dan Hak Menumpang.
Pemegang hak hanya diperbolehkan menggunakan dan itupun ada batasnya
sebagaimana yang telah diatur dalam Pasal 4 ayat (2) UUPA yaitu “sekedar
diperlukan untuk kepentingan yang langsung berhubungan dengan penggunaan
tanah itu, dalam batas-batas menurut UUPA dan peraturan lain yang lebih
tinggi”.5 Hak atas tanah tidak meliputi pemilikan kekayaan alam yang terkandung
didalam tubuh bumi. Hal tersebut sebagaimana diatur pula dalam Pasal 8 UUPA,
yaitu “atas dasar hak menguasai Negara sebagai yang dimaksud dalam Pasal 2
diatur pengambilan kekayaan alam yang terkandung dalam bumi, air dan ruang
angkasa”.
Hak atas Tanah diberikan atau diperoleh dari negara untuk diusahakan atau
dikelola dalam usaha pertambangan dan perkebunan yang bertujuan untuk
kesejahteraan rakyat. Meskipun dalam pemberian hak atas tanah berupa Hak Guna
Usaha (HGU) dalam melakukan usaha pertambangan maupun perkebunan
tersebut juga menimbulkan permasalahan/sengketa. Permasalahan/sengketa yang
terjadi adalah tumpang tindih lahan pertambangan dan perkebunan, spesifikasi
dari permasalahan/sengketa dalam pemberian izin usaha pada perkebunan atau
pertambangan yang dalam hal ini berkaitan dengan hak penguasaan atas lahan.
Praktik pemberian izin usaha pada satu areal bidang tanah, tidak menutup
kemungkinan terjadinya tumpang tindih lahan baik dalam bidang pertambangan
maupun bidang perkebunan yang menyebabkan sengketa. Seharusnya sebelum
memberikan izin usaha, harus menghargai Hak Guna Usaha (HGU) atau Hak
Pakai atau Hak Pengelolaan atau Hak keperdataan lainnya atas penguasaan hak
atas tanah sebelumnya. Sehingga atas terbitnya izin tersebut, ada Hak
Keperdataan seseorang atau badan hukum yang terlanggar. Kasus-kasus yang
diangkat oleh penulis adalah kasus tumpang tindih lahan pertambangan dengan
lahan perkebunan. Kasus pertama terjadi antara PT. Sajang Heulang (Penggugat)

5
Boedi Harsono. Ibid., Hlm. 18.
5

dengan PT. Anzawara Satria (Tergugat I), Kepala Desa Bunati (Tergugat II),
Kepala Desa Angsana (Tergugat III), dan Ketua BPD Bunati (Tergugat IV).
Bahwa Penggugat adalah pemilik sah atas tanah Sertifikat Hak Guna Usaha
No. 35, seluas 2.128 Ha, Surat Ukur No. 01/SBR/2002, tanggal 23 Maret 2002,
tertulis atas nama PT. Sajang Heulang. Terletak di Desa : Sumber Baru, Angsana,
Karang Indah, Bunati, dan Sebamban, Kecamatan Satui dan Sungai Loban,
Kabupaten Kota Baru(kini dikenal Kabupaten Tanah Bumbu), Propinsi
Kalimantan Selatan. Bahwa Penggugat telah mendapatkan izin lokasi untuk
keperluan Perkebunan dari Kantor Pertanahan Kabupaten Kota Baru melalui surat
Keputusan Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Kota Baru No.
SK.01/PL/460/1993/KP-KTB tertanggal 15 Desember 1993 Tentang Pemberian
Izin Lokasi untuk keperluan Perkebunan.
Bahwa Tergugat I yang diwakili oleh Jack Mulyana H, yang dalam
kapasitasnya selaku Direktur utama PT. Anzawara, Tergugat II yang dalam hal ini
diwakili oteh H. Muslimin selaku Kepala Desa Bunati dan Tergugat III yang
dalam hal ini diwakili oleh Sayid Umar Idrus selaku Kepala Desa Angsana telah
menandatangani Perjanjian dibawah tangan pada tanggal 28 september 2002
(selanjutnya disebut “Perjanjian”) yang pada intinya mengatur hal-hal mengenai :
bahwa Tergugat II dan Tergugat III mewakili kepentingan dan mengatasnamakan
masyarakat di wilayah Desa Bunati dan Desa Angsana, bahwa Tergugat II dan
Tergugat III secara sepihak menunjuk dan/atau perusahaan lain yang
direkomendasikan Tergugat I untuk menanamkan modal guna kegiatan usaha
pertambangan batu bara, bahwa Tergugat II dan Tergugat III wajib menyediakan
dan mencarikan lahan-lahan tanah untuk dikelora Tergugat I terutama tanah
negara bebas/garapan pemerintah.
Berdasarkan Perjanjian yang dibuat oleh para pihak Tergugat I, II, III, dan IV.
Perjanjian tersebut dibuat dibawah tangan, dan tidak memiliki kekuatan hukum
yang mengikat karena Perjanjian yang memiliki kekuatan hukum yang mengikat
adalah perjanjian yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT).
Berdasarkan Perjanjian tersebut, Tergugat I melakukan kegiatan pertambangan di
sebagian wilayah SHGU Penggugat. Sehingga menimbulkan kerugian yang
6

diderita oleh Penggugat baik kerugian secara materiil maupun immateriil. Kasus
diatas merupakan kasus yang diambil dari Putusan Nomor 26/Pdt.G/2012/PN.Btl.
Kasus kedua terjadi antara PT. Sawit Kaltim Lestari (Penggugat) dengan
Bupati Kutai Kartanegara (Tergugat I) dan PT. Sedulang Raya (Tergugat II).
Bahwa Penggugat adalah pemegang izin lokasi untuk keperluan perkebunan
kelapa sawit, dan pemohon pengajuan permohonan Hak Guna Usaha atas lahan
dimaksud kepada Badan Pertanahan Nasional yang pada intinya Kanwil Kaltim
mengusulkan kepada BPN RI untuk mengabulkan permohonan HGU yang
diajukan oleh Penggugat. Tergugat yang dalam hal ini secara nyata melakukan
tindakan sewenang-wenang dalam menerbitkan Keputusan Bupati Kutai
Kartanegara No. 540/131/2008. Kesewenangan tersebut antara lain karena
Tergugat telah menerbitkan kuasa pertambangan di atas areal lahan perkebunan
kelapa sawit Penggugat, sehingga menyebabkan kerugian materiil maupun
immateriil yang diderita oleh Penggugat atas terbitnya Keputusan Bupati Kutai
Kartanegara. Kasus diatas merupakan kasus yang diambil dari Putusan Nomor
06/G/2009/PTUN.Smd.
Kasus ketiga terjadi antara PT. Sawit Kaltim Lestari (Penggugat) dengan
Bupati Kutai Kartanegara (Tergugat I) dan PT. Tri Agatona (Tergugat II). Bahwa
Penggugat adalah pemegang izin lokasi untuk keperluan perkebunan kelapa sawit,
dan telah mengajukan permohonan Hak Guna Usaha atas lahan dimaksud kepada
Badan Pertanahan Nasional yang pada intinya Kanwil Kaltim mengusulkan
kepada BPN RI untuk mengabulkan permohonan HGU yang diajukan oleh
Penggugat. Tergugat yang dalam hal ini secara nyata melakukan tindakan
sewenang-wenang dalam menerbitkan Keputusan Bupati Kutai Kartanegara No.
540/135/2007. Kesewenangan tersebut antara lain karena Tergugat telah
menerbitkan kuasa pertambangan di atas areal lahan perkebunan kelapa sawit
Penggugat, sehingga menyebabkan kerugian materiil maupun immateriil yang
diderita oleh Penggugat atas terbitnya Keputusan Bupati Kutai Kartanegara.
Kasus diatas merupakan kasus yang diambil dari Putusan Nomor
89/PK/TUN/2012.-
7

Berdasarkan kasus-kasus yang terjadi, Penulis tertarik untuk melakukan


analisis lebih dalam mengenai pihak mana yang berhak atas tanah yang menjadi
sengketa. Oleh karenanya, penulis mencoba untuk melakukan konstruksi ulang
guna menemukan cara menyelesaikan sengketa yang bersifat adildan bermanfaat
pula untuk menyelesaikan sengketa pada kasus-kasus lainnya. Penulis
menggunakan cara mengkaji Peraturan Perundang-Undangan yang berlaku, teori-
teori yang ada, dan mengkaji kasus yang terjadi di lapangan tersebut dengan judul
: “Konstruksi Hukum Penyelesaian Sengketa Tumpang Tindih Lahan
Pertambangan dengan Lahan Perkebunan”.

1.2 Rumusan Masalah


Sesuai dengan uraian latar belakang diatas maka permasalahan yang akan
dibahas adalah sebagai berikut :
1. Bagaimana pengaturan dan kewenangan pemberian izin pemanfaatan atas
lahan pertambangan dan lahan perkebunan di Indonesia?
2. Bagaimana penyelesaian sengketa atas terjadinya tumpang tindih
pemanfaatan lahan untuk pertambangan dan perkebunan?
3. Apa konstruksi hukum yang dapat ditawarkan dalam penataan pemanfaatan
lahan yang diperuntukan untuk pertambangan dan perkebunan?

1.3 Tujuan Penelitian


Tujuan yang hendak dicapai oleh penulis dari karya ilmiah dalam bentuk
skripsi ini meliputi tujuan umum dan tujuan khusus, antara lain :

1.3.1 Tujuan Umum


Tujuan umum dari penulisan skripsi ini adalah :
1. Untuk memenuhi dan melengkapi tugas akhir dan sebagai salah satu
persyaratan akademis yang harus dipenuhi guna memperoleh gelar Sarjana
Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Jember;
8

2. Sebagai salah satu sarana untuk mengembangkan dan usaha penerapan ilmu
pengetahuan yang diperoleh di perkuliahan dengan praktek yang terjadi
didalam kehidupan bermasyarakat;
3. Untuk memberikan sumbangan pemikiran dan wawasan yang berguna bagi
pemerintah, masyarakat, dan almamater mahasiswa Fakultas Hukum
Universitas Jember.
1.3.2 Tujuan Khusus
Tujuan khusus dari penulisan skripsi ini adalah :
1. Untuk mengetahui dan memahami prosedur dasar pengaturannya dan
kewenangannya dalam pemberian izin untuk melakukan usaha pertambangan
dan perkebunan;
2. Untuk mengetahui, memahami, dan menemukan penyelesaian sengketa pada
kasus tumpang tindih lahan pertambangan dengan lahan perkebunan
berdasarkan Peraturan Perundang-Undangan yang berlaku, teori-teori yang
ada, dan fakta-fakta yang terjadi dalam kasus tersebut;
3. Untuk mengkonstruksi ulang peraturan-peraturan yang terkait, berkaitan
dengan penyelesaian sengketa tumpang tindih lahan pertambangan dengan
lahan perkebunan .

1.4 Metode Penelitian


1.4.1 Tipe Penelitian
Metode merupakan suatu aspek yang penting dan harus dikemukakan secara
rinci dan jelas. Adapun metode yang ditulis dalam proposal skripsi ini adalah
”yuridis normatif”, yang berarti “mengkaji berbagai macam aturan hukum yang
bersifat formal seperti undang-undang, literatur-literatur yang berisi konsep
teoritis yang kemudian dihubungkan dengan permasalahan yang menjadi pokok
pembahasan”.6

6
Peter Mahmud Marzuki. 2014. Penelitian Hukum. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
Hlm. 55.
9

1.4.2 Pendekatan Masalah


Di dalam penelitian hukum terdapat beberapa pendekatan. Dengan
pendekatan tersebut, peneliti akan mendapatkan informasi dari berbagai aspek
mengenai isu yang sedang dicoba untuk dicari jawabnya. Sehingga metode
pendekatan masalah yang digunakan dalam proposal skripsi ini antara lain:7
1. Pendekatan perundang-undangan (statute approach) dilakukan dengan
menelaah semua undang-undang dan regulasi yang ada dan bersangkut-paut
dengan isu hukum yang sedang ditangani. Pendekatan Undang-Undang ini
aekan membuka kesempatan bagi peneliti untuk mempelajari adakah
konsistensi dan kesesuaian antara suatu Undang-Undang dengan Undang-
Undang lainnya atau antara Undang-Undang dan Undang-Undang Dasar atau
antara regulasi dan Undang-Undang.
2. Pendekatan konseptual (conceptual approach) dilakukan dengan beranjak
dari pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin yang berkembang dalam ilmu
hukum. Dengan tujuan untuk menemukan ide-ide yang melahirkan
pengertian-pengertian hukum, konsep-konsep hukum dan asas-asas hukum
yang relevan dengan isu hukum yang dihadapi.

1.4.3 Bahan Hukum


Bahan Hukum dalam penelitian hukum ini terdiri dari 2 (dua) macam, antara
lain :
A. Bahan Hukum Primer
merupakan bahan hukum yang bersifat autoratif, artinya mempunyai
otoritas. Adapun bahan hukum primer yang digunakan dalam penulisan
skripsi ini, yakni:
1. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Pokok-pokok Agraria.
2. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan Mineral
dan Batubara.
3. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014 Tentang Perkebunan.

7
Peter Mahmud Marzuki. Ibid. Hlm. 131.
10

4. Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 Tentang Hak Guna Usaha,


Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai atas Tanah.
5. Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 Tentang Pelaksanaan
Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara.
6. Peraturan Menteri ESDM Nomor 32 Tahun 2013 Tentang Tata Cara
Pemberian Izin Khusus di Bidang Pertambangan Mineral dan Batubara.
7. Peraturan Menteri Pertanian Nomor 98 Tahun 2013 Tentang Pedoman
Perizinan Usaha Perkebunan.
B. Bahan Hukum Sekunder
Bahan hukum sekunder adalah berupa buku-buku teks, hasil penelitian dan
komentar-komentar atas putusan pengadilan yang terkait dengan
permasalahan yang dibahas.8 Adapun bahan hukum sekunder yang penulis
gunakan dalam penulisan proposal skripsi ini menggunakan buku-buku dan
literatur serta artikel-artikel yang diakses dan diperoleh melalui internet.

1.4.4 Analisa Bahan Hukum


Proses analisis bahan hukum merupakan proses menemukan jawaban dari
pokok permasalahan. Proses ini dimulai dari pengumpulan bahan-bahan untuk
disusun secara sistematis dan dilanjutkan dengan analisis bahan penelitian.
Langkah-langkah yang harus dilakukan sebelum menganalisis terhadap bahan
hukum, sebagai berikut :
1. Mengidentifikasi fakta hukum yang mengeliminir hal-hal yang
tidak relevan untuk mendapatkan isu hukum yang hendak
dipecahkan;
2. Pengumpulan bahan-bahan hukum yang sekiranya dipandang
mempunyai relevan dengan penulisan skripsi ini;
3. Melakukan telaah atas isu hukum yang diajukan berdasarkan
bahan-bahan yang dikumpulkan;
4. Menarik kesimpulan dalam bentuk argumentasi yang menjawab
isuhukum;

8
Peter Mahmud Marzuki. Ibid. Hlm 195-196
11

Sehingga proses analisis memberikan preskripsi berdasarkan argumentasi


yang telah dibangun dalam kesimpulan.9

9
Peter Mahmud Marzuki. Ibid. Hlm 191
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konstruksi Hukum


2.1.1 Pengertian Konstruksi Hukum
Menurut Bhakti Yudha didalam bukunya, pengertian Konstruksi Hukum
adalah menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam
masyarakat. Dari nilai-nilai hukum yang mengandung persamaan, seorang
penegak hukum membuat suatu pengertian hukum. Dan menurut pendapatnya,
pengertian hukum itu adalah asas hukum yang menjadi dasar lembaga hukum
yang bersangkutan.10

2.1.2 Macam-macam metode Konstruksi Hukum


Menurut Herman didalam Konstruksi Hukum terdapat macam-macam
metode, yang terdiri dari :11
1. Konstruksi Analogi (argumentum per analogiam)
Analogi adalah proses konstruksi yang dilakukan dengan cara mencari rasio
ledis (genus) dari suatu undang-undang dan kemudian menerapkannya
kepada hal-hal lain yang sebenarnya tidak diatur oleh undang-undang itu.
Dalam analogi, hakim memasukkan suatu perkara ke dalam lingkup
pengaturan suatu peraturan perundang-undangan yang sebenarnya tidak
dimaksudkan untuk menyelesaikan perkara yang bersangkutan. Hal ini
dikarenakan adanya kesamaan unsur dengan perkara atau fakta-fakta yang
dapat diselesaikan langsung oleh peraturan perundang-undangan yang sudah
ada. Berdasarkan anggapan itulah hakim kemudian memberlakukan peraturan
perundang-undangan yang sudah ada pada perkara yang sedang dihadapinya.
Dengan kata lain, penerapan suatu ketentuan hukum bagi keadaan yang pada
dasarnya sama dengan keadaan yang secara eksplisit diatur dengan ketentuan

10
Bhakti Yudha, Ardhiwisastra. 2012. Penafsiran dan Konstruksi Hukum. Bandung: PT.
Alumni. Hlm. 13
11
Source : http://hermansh.blogspot.co.id/2012/02/penafsiran-dan-konstruksi-hukum.html
diakses pada hari kamis tanggal 10 September 2015 jam 15.00

12
13

hukum tadi, tapi penampilan atau bentuk perwujudannya (bentuk hukum)


lain.Penerapan hukum dengan analogi hanya dapat dilakukan dalam kasus-
kasus hukum perdata. Hukum pidana tidak mengenal analogi karena hal
demikian bertentangan dengan asas pokok hukum pidana yaitu “tiada pidana
tanpa ketentuan perundang-undangan yang menetapkannya terlebih dahulu”
(nullum crimen sine lege). Karena di dalam pidana jika digunakan konstruksi
analogi akan menciptakan delik baru.Maka dengan konstruksi analogi,
seorang ahli hukum memasukkan suatu perkara kedalam lingkup pengaturan
suatu peraturan perundang-undangan yang sebenarnya tidak dibuat untuk
menyelesaian perkara yang bersangkutan.
2. Konstruksi Penghalusan Hukum
Seorang ahli hukum beranggapan bahwa dalam menyelesaikan suatu perkara,
peraturan perundang-undangan yang ada dan yang seharusnya digunakan
untuk menyelesaikan perkara, ternyata tidak dapat digunakan. Penghalusan
hukum dilakukan apabila penerapan hukum tertulis sebagaimana adanya akan
mengakibatkan ketidakadilan yang sangat sehingga ketentuan hukum tertulis
itu sebaiknya tidak diterapkan atau diterapkan secara lain apabila hendak
dicapai keadilan. Jenis konstruksi ini sebenarnya merupakan bentuk kebalikan
dari konstruksi analogi, sebab bila di satu pihak analogi memperluas lingkup
berlaku suatu peraturan perundang-undangan, maka di lain pihak Penghalusan
Hukum justru mempersempit lingkup berlaku suatu peraturan perundang-
undangan (bersifat restriktif).
3. Konstruksi Argumentum a Contrario
Dalam keadaan ini, hakim akan memberlakukan peraturan perundang-
undangan yang ada seperti pada kegiatan analogi, yaitu menerapkan suatu
peraturan pada perkara yang sebenarnya tidak dimaksudkan untuk
diselesaikan oleh peraturan itu. Perbedaannya adalah dalam analogi hakim
akan menghasilkan suatu kesimpulan yang positif, dalam arti bahwa ia
menerapkan suatu aturan pada masalah yang sedang dihadapinya. Sedangkan
pada konstruksi Argumentum a Contrario hakim sampai pada kesimpulan
14

yang negatif, artinya ia justru tidak mungkin menerapkan aturan tertentu


dalam perkara yang sedang dihadapinya.

2.2 Kewenangan dan Mekanisme Perizinan Penggunaan Lahan atau Tanah


untuk Pertambangan dan Perkebunan
2.2.1 Kewenangan dan Mekanisme Perizinan Penggunaan Lahan
Pertambangan
Pejabat yang berwenang menerbitkan IUP telah ditentukan dalam Pasal 37
UU Minerba. Ada tiga pejabat yang berwenang menerbitkan IUP Eksplorasi dan
IUP Produksi. Ketiga pejabat itu, meliputi :
1. Bupati/Walikota
2. Gubernur
3. Menteri
Kewenangan yang diberikan oleh hukum kepada ketiga pejabat itu,
tergantung pada letak wilayah izin usaha pertambangan yang akan dimohonkan
oleh pemohon. Sebagaimana diatur pula dalam Pasal 37 UU Minerba,
Kewenangan masing-masing pejabat itu, disajikan berikut ini :
1. Bupati/Walikota berwenang untuk menerbitkan izin usaha pertambangan
mineral dan batubara yang dimohonkan oleh pemohon, apabila Wilayah Izin
Usaha Pertambangan (WIUP) yang dimohonkan berada di dalam satu
wilayah Kabupaten/Kota.
2. Gubernur berwenang untuk menerbitkan izin usaha pertambangan mineral
dan batubara yang dimohonkan oleh pemohon apabila Wilayah Izin Usaha
Pertambangan (WIUP) berada pada lintas wilayah Kabupaten/Kota dalam 1
(satu) provinsi. Syaratnya setelah mendapatkan rekomendasi dari
Bupati/Walikota setempat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
3. Menteri berwenang untuk menerbitkan izin usaha pertambangan mineral
dan batubara yang dimohonkan oleh pemohon apabila Wilayah Izin Usaha
Pertambangan (WIUP) berada pada lintas wilayah provinsi. Syaratnya
15

setelah mendapatkan rekomendasi dari Gubernur dan Bupati/Walikota


setempat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
IUP mempunyai hubungan yang sangat erat dengan Wilayah Izin Usaha
Pertambangan (WIUP), karena sebelum IUP diberikan kepada pemohon, maka
harus dilakukan lebih dahulu adalah menetapkan WIUP. Pengertian Wilayah Izin
Usaha Pertambangan (WIUP) berdasarkan Pasal 1 angka 31 UU Minerba
merupakan wilayah yang diberikan kepada pemegang IUP. Ada lima jenis WIUP,
yang meliputi :
1. WIUP radioaktif
2. WIUP logam
3. WIUP batubara
4. WIUP bukan logam
5. WIUP batuan.
Kelima jenis WIUP tersebut berbeda cara memperolehnya. Berdasarkan
Pasal 8 UU Minerba, WIUP radioaktif diperoleh sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku. WIUP logam dan WIUP batubara
diperoleh dengan cara lelang, dan WIUP bukan logam dan WIUP batuan
diperoleh dengan cara mengajukan permohonan wilayah.
Kegiatan pertambangan baru dapat dilakukan oleh Pemohon setelah
diterbitkannya IUP oleh pejabat yang berwenang. IUP ini baru diterbitkan oleh
Pejabat yang berwenang setelah pemohon telah ditetapkan sebagai pemenang
lelang pada WIUP. Untuk dapat diterbitkannya IUP, baik IUP Eksplorasi maupun
IUP Operasi Produksi, maka pemohon IUP harus memenuhi persyaratan yang
telah ditentukan dalam peraturan perundang-undangan. Pasal 65 UU Minerba
telah mengatur, ada empat persyaratan yang harus dipenuhi oleh pemohon untuk
mengajukan IUP, yang meliputi :
1. Administratif
2. Teknis
3. Lingkungan
4. Finansial.
16

Setelah memenuhi persyaratan tersebut, maka pejabat yang berwenang


menetapkan IUP Eksplorasi dan IUP Produksi. Sebagaimana diatur dalam Pasal
6-8 UU Minerba, Pejabat yang berwenang menetapkan IUP Eksplorasi, yaitu :
1. Menteri, untuk WIUP yang berada dalam lintas wilayah provinsi dan/atau
wilayah laut lebih dari 12 (dua belas) mil dari garis pantai.
2. Gubernur, untuk WIUP yang berada dalam lintas kabupaten/kota dalam 1
(satu) provinsi dan/atau wilayah laut 4 (empat) mil sampai dengan 12 (dua
belas) mil dari garis pantai.
3. Bupati/Walikota, untuk WIUP yang berada dalam 1 (satu) wilayah
kabupaten/kota dan/atau wilayah laut sampai dengan 4 (empat) mil dari
garis pantai.
Sementara itu pejabat yang berwenang menetapkan IUP Produksi, yaitu :
1. Bupati/Walikota, apabila lokasi penambangan, lokasi pengolahan, dan
pemurnian, serta pelabuhan berada di dalam 1 (satu) wilayah kabupaten/kota
atau wilayah laut sampai dengan 4 (empat) mil dari garis pantai.
2. Gubernur, apabila lokasi penambangan, lokasi pengolahan, dan pemurnian,
serta pelabuhan berada di dalam wilayah kabupaten/kota yang berbeda
dalam 1 (satu) provinsi atau wilayah laut sampai dengan 12 (dua belas) mil
dari garis pantai setelah mendapat rekomendasi dari Bupati/Walikota.
3. Menteri, apabila lokasi penambangan, lokasi pengolahan, dan pemurnian,
serta pelabuhan berada di dalam wilayah provinsi yang berbeda atau
wilayah laut lebih dari 12 (dua belas) mil dari garis pantai setelah mendapat
rekomendasi dari Gubernur dan Bupati/Walikota setempat sesuai dengan
kewenangannya.
Setelah mendapatkan IUP Eksplorasi dan IUP Produksi, barulah usaha
pertambangan dapat dilakukan.

2.2.2 Kewenangan dan Mekanisme Perizinan Penggunaan Lahan


Perkebunan
Pejabat yang berwenang dalam menerbitkan Izin Usaha Perkebunan untuk
Budidaya (IUP-B), Izin Usaha Perkebunan untuk Pengolahan (IUP-P), dan Izin
17

Usaha Perkebunan (IUP) sebagaimana yang telah diatur dalam Pasal 48 UU


Perkebunan ada 3 (tiga) pejabat yang berwenang menerbitkan. Ketiga pejabat itu,
meliputi :
1. Gubernur untuk wilayah lintas kabupaten/kota
2. Bupati/Walikota untuk wilayah dalam suatu kabupaten/kota
3. Menteri untuk wilayah lintas provinsi.
Sebelum pemohon mengajukan permohonan kepada pejabat yang
berwenang untuk menerbitkan Izin Usaha Perkebunan (IUP), pemohon harus
memenuhi persyaratan yang sebagaimana diatur dalam Pasal 45 Ayat (1) UU
Perkebunan. Persyaratan itu meliputi :
1. Izin Lingkungan (AMDAL)
2. Kesesuaian dengan rencana tata ruang wilayah
3. Kesesuaian dengan rencana Perkebunan.
Setelah memenuhi persyaratan tersebut yang dilampirkan dalam surat
permohonannya kepada pejabat yang berwenang dalam menerbitkan Izin Usaha
Perkebunan. Pejabat yang berwenang akan menetapkan Izin Usaha Produksi.
Namun sebelum melakukan kegiatan usaha perkebunan, pemohon wajib terlebih
dahulu mendapatkan Hak atas Tanah yang akan digunakan dalam kegiatan usaha
perkebunan. Sebagaimana yang telah diatur dalam Pasal 24 Permentan Nomor 98
Tahun 2013 tentang Pedoman Perizinan Usaha Perkebunan, menyatakan bahwa
“dalam hal tanah yang digunakan untuk usaha perkebunan, maka sesuai peraturan
perundangan pemohon izin usaha perkebunan wajib terlebih dahulu melakukan
musyawarah dengan warga pemegang hak atas tanah yang bersangkutan”.
Sehingga dapat diartikan bahwa sebelum mendapatkan Izin Usaha Perkebunan,
pemohon harus mendapatkan Hak atas Tanah yang akan digunakan untuk usaha
perkebunan.
Hak atas Tanah yang dapat diberikan untuk usaha perkebunan adalah Hak
Guna Usaha (HGU) jika diatas tanah negara sebagaimana diatur dalam Pasal 14
Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996, yang menyatakan bahwa
“Pemegang Hak Guna Usaha berhak menguasai dan mempergunakan tanah yang
diberikan dengan Hak Guna Usaha untuk melaksanakan usaha di bidang
18

pertanian, perkebunan, perikanan dan atau peternakan”. Hak Guna Usaha yang
didaftarkan kepada kantor Badan Pertanahan Nasional, setelah mendapatkan Surat
Keputusan dari Menteri Agraria. Kepala Kantor Badan Pertanahan Nasional akan
menerbitkan Sertipikat Hak Guna Usaha (SHGU). Setelah mendapatkan Sertipikat
Hak Guna Usaha, barulah pemohon mendapatkan Izin Usaha Perkebunan. Atas
dasar Izin Usaha Perkebunan itulah, barulah pemohon dapat melakukan kegiatan
usaha perkebunan.
Perusahaan pertambangan setelah melakukan kegiatan pertambangan
sebagaimana diatur didalam Pasal 27 Peraturan Menteri ESDM Nomor 32 Tahun
2013 Tentang Tata Cara Pemberian Izin Khusus di Bidang Pertambangan Mineral
dan Batubara harus melaporkan Renca Kerja Anggaran Biaya (RKAB) kepada
Bupati/Walikota, Gubernur, atau Menteri yang berisikan, rencana kerja, hasil
galian, dan anggaran biaya yang dikeluarkan selama proses penambangan. Jangka
waktu pelaporan paling lambat 45 hari kalender sebelum berakhirnya tutup tahun
takwim, dan wajib menyampaikan laporan kegiatan yang meliputi laporan
bulanan, triwulan, dan tahunan kegiatan operasi produksi khusus untuk
pengangkutan dan penjualan.

2.3 Penyelesaian Sengketa Tumpang Tindih


2.3.1 Pengertian Penyelesaian Sengketa
Pengertian sengketa dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), berarti
pertentangan atau konflik atau perkara di pengadilan. Konflik berarti adanya
oposisi atau pertentangan antara orang-orang, kelompok-kelompok, atau badan-
badan hukum terhadap satu objek permasalahan.12
Pengertian Sengketa menurut Winardi :
“Pertentangan atau konflik yang terjadi antara individu-individu atau
kelompok-kelompok yang mempunyai hubungan atau kepentingan
yang sama atas suatu objek kepemilikan, yang menimbulkan akibat
hukum antara satu dengan yang lain”.

12
Poerwadarminta. 1976. Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Cetakan V. Jakarta: Balai
Pustaka. Hlm. 916.
19

Sedangkan menurut Ali Achmad berpendapat :


“Sengketa adalah pertentangan antara dua pihak atau lebih yang
berawal dari persepsi yang berbeda tentang suatu kepentingan atau
hak milik yang dapat menimbulkan akibat hukum bagi keduanya”.13

Kita dapat mengetahui pengertian sengketa menurut para ahli dan Kamus
Besar Bahasa Indonesia (KBBI) bahwa pengertian sengketa adalah perilaku
pertentangan antara dua orang atau lebih yang dapat menimbulkan suatu akibat
hukum dan karenanya dapat diberi sangsi hukum bagi salah satu diantara
keduanya.

2.3.2 Macam-macam Penyelesaian Sengketa


Suatu persoalan besar yang sedang dihadapi bangsa kita adalah dilema yang
terjadi di bidang penegakan hukum. Disatu sisi kuantitas dan kualitas sengketa
yang terjadi dalam masyarakat cenderung mengalami peningkatan dari waktu ke
waktu. Sedangkan disisi lain, pengadilan Negara yang memegang kewenangan
mengadili menuru Undang-Undang mempunyai kemampuan yang relatif terbatas.
Terlebih-lebih lagi akhir-akhir ini pengadilan Negara sedang dilanda krisis
kepercayaan. Kondisi ini tidak boleh dibiarkan terjadi berlarut-larut, karena cukup
potensial memicu terjadinya tindakan main hakim sendiri atau peradilan massa
yang dapat menimbulkan kekacauan dalam masyarakat. Solusinya pengembangan
penyelesaian sengketa alternatif di Indonesia merupakan hal yang tidak dapat
ditawar-tawar lagi.14
Di Indonesia penyelesaian terhadap kasus-kasus terkait sengketa perdata,
pada umumnya ditempuh melalui 2 macam cara. Antara lain :
1. Penyelesaian sengketa melalui pengadilan (litigasi)
Dalam hal konflik yang terjadi antar instansi pemerintah, hal itu akan
menghambat terjadinya koordinasi kinerja publik yang baik. Dapat juga
terjadi penurunan tingkat kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah
berkenaan pelaksanaan tata ruang. Disamping, itu selama konflik
berlangsung, ruang atas suatu wilayah dan atas tanah yang menjadi obyek

13
Winardi. 2000.Buku Bahasa Indonesia.Surabaya: PT. Citra Jaya Murti.Hlm. 20.
14
Rachmadi Usman. 2012. Mediasi di Pengadilan. Jakarta: Sinar Grafika. Hlm. 1-2.
20

konflik biasanya berada dalam status quo sehingga ruang atas tanah yang
bersangkutan tidak dapat dimanfaatkan. Akibatnya adalah terjadinya
penurunan kualitas sumber daya lingkungan yang dapat merugikan
kepentingan banyak pihak.15
Selain itu, kekurangan penyelesaian sengketa melalui jalur pengadilan,
yaitumenyita waktu yang cukup lama, dan melelahkan, dimulai dari
Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi, bahkan mungkin sampai pada
tingkat Mahkamah Agung. Hal ini sudah tentu juga membutuhkan biaya
yang cukup besar serta dapat mengganggu hubungan pihak-pihak yang
bersengketa.16
2. Penyelesaian sengketa diluar pengadilan (non-litigasi)
Selain melalui pengadilan (litigasi), penyelesaian sengketa juga dapat
diselesaikan diluar pengadilan (non-litigasi), yang lazim dinamakan dengan
Alternative Dispute Resolution (ADR) (Alternatif Penyelesaian Sengketa).
ADR itu adalah suatu pranata penyelesaian sengketa diluar pengadilan, yang
mekanismenya berdasarkan sebuah kesepakatan para pihak dengan
mengesampingkan penyelesaian sengketa secara litigasi di pengadilan, baik
itu dilakukan melalui cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, atau
penilaian ahli. ADR ini merupakan suatu penyelesaian sengketa yang
dilakukan sendiri oleh para pihak yang bersengketa dengan atau tanpa
bantuan orang lain yang akan membantu menyelesaikan sengketa atau beda
pendapat diantara para pihak yang bersengketa. Berbeda dengan litigasi,
penyelesaian sengketa melalui ADR ini berada di tangan para pihak yang
bersengketa. ADR ini hanya dapat ditempuh bilamana para pihak
menyepakati penyelesaiannya melalui pranata pilihan penyelesaian
sengketa. Dari uraian tersebut, dapat diketahui bentuk-bentuk penyelesaian
sengketa diluar pengadilan, yaitu melalui lembaga penyelesaian sengketa
atau beda pendapat melalui prosedur yang disepakati para pihak, yaitu :17
1. Konsultasi (consultation);
15
Maria S.WSumardjono. 2008. Mediasi Sengketa Tanah. Jakarta: Kompas. Hlm. 3.
16
Rachmadi Usman. Op.Cit. Hlm. 14.
17
Rachmadi Usman. Ibid. Hlm 8-10
21

2. Negosiasi (negotiation);
3. Mediasi (mediation);
4. Konsiliasi (conciliation);
5. Penilai
2.3.3 Pengertian Tumpang Tindih
Pemberian Hak atas Tanah pada suatu lahan atau tanah yang diberikan
kepada subyek hukum tidak menutup kemungkinan terjadinya tumpang tindih,
Tumpang Tindih adalah overlapping, yaitu suatu keadaan yang menunjukkan
bahwa satu pekerjaan yang sama dilakukan oleh beberapa orang atau kelompok
sehingga menghasilkan pekerjaan kembar atau ganda.18 Sehingga pengertian
tumpang tindih lahan adalah suatu keadaan dimana didalam satu lahan terdapat 2
(dua) hak atas tanah yang dikuasai oleh 2 (dua) subyek hukum atau lebih.

2.4 Lahan atau Tanah


2.4.1 Pengertian Lahan atau Tanah
Lahan atau tanah dalam penggunaannya perlu diberi batasan, agar diketahui
dalam arti apa istilah tersebut digunakan. Dalam Hukum Tanah kata sebutan
“tanah” dipakai dalam arti yuridis, sebagai suatu pengertian yang telah diberi
batasan resmi oleh Undang-Undang Pokok Agraria. Dalam Pasal 4 Undang-
Undang Pokok Agraria (UUPA) Nomor 5 Tahun 1960 menyatakan bahwa “Atas
dasar hak menguasai dari Negara... ditentukan adanya macam-macam hak atas
permukaan bumi, yang disebut tanah, yang dapat diberikan kepada dan dipunyai
oleh orang-orang..”. Dengan demikian jelaslah, bahwa tanah dalam pengertian
yuridis adalah permukaan bumi (Ayat 1). Sedangkan Hak atas Tanah adalah hak
atas sebagian tertentu permukaan bumi, yang berbatas, berdimensi dua dengan
ukuran panjang dan lebar.19

18
http://www.mediabpr.com/kamus-bisnis-bank/tumpang_tindih.aspx. Diakses pada hari
Selasa tanggal 13 Oktober 2015 Pukul 17.00 WIB.
19
Boedi Harsono. Op.Cit. Hlm. 18.
22

2.4.2 Jenis-jenis Hak Atas Tanah


Dalam Pasal-pasal UUPA disebutkan macam-macam hak-hak atas tanah,
sebagaimana diuraikan dalam Pasal 4 ayat (1), Pasal 16 ayat (1) dan Pasal 53.
Pasal 4 ayat (1) UUPA menetapkan bahwa : “Atas dasar hak menguasai Negara
sebagai dimaksud dalam Pasal 2 ditentukan adanya macam-macam hak atas
permukaan bumi, yang disebut tanah, yang dapat diberikan kepada dan dipunyai
oleh orang-orang, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang-orang lain
serta badan-badan hukum”. Hak-hak atas tanah yang dimaksud dalam Pasal 4 ayat
(1) UUPA dijelaskan dalam Pasal 16 ayat (1) UUPA, yaitu :
1. Hak Milik;
2. Hak Guna Usaha;
3. Hak Guna Bangunan;
4. Hak Pakai;
5. Hak Sewa;
6. Hak Membuka Tanah;
7. Hak memungut Hasil Hutan;
Hak atas tanah yang disediakan UUPA dikelompokan dalam 2 (dua)
kelompok yaitu Hak atas tanah Primer dan Hak atas tanah Sekunder.
1. Hak atas Tanah yang Primer yaitu hak atas tanah yang bersumber langsung
kepada Hak Bangsa Indonesia. Sebagaimana diatur dalam Pasal 20-43
UUPA, jenis Hak atas Tanah yang Primer yaitu :
1. Hak Milik (Pasal 20-27 UUPA)
Yang dimaksud dengan Hak Milik menurut Pasal 20 ayat (1) UUPA
adalah hak turun temurun, terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai
oleh orang atas tanah, dengan mengingat ketentuan Pasal 6 UUPA.
Turun temurun berarti dapat dikuasai tanahnya secara terus menerus dan
akan beralih karena hukum kepada ahli warisnya. “Terkuat dan
Terpenuh” berarti penguasaan tanahnya tidak terputus-putus dan
kewenangan pemilik untuk memakai tanahnya untuk diusahakan
maupun untuk keperluan membangun sesuatu selama peruntukan
tanahnya belum dibatasi menurut Rencana Ruang Wilayah yang berlaku.
23

Hak Milik mempunyai sifat yang khusus. Kekhususan hak milik karena
wewenang pemegang hak atas tanah bukan hanya untuk memakai suatu
bidang tanah tertentu yang dihaki, tetapi juga mengandung hubungan
psikologi emosional antara pemegang hak dengan tanah yang
bersangkutan. Tanah yang bersangkutan dirasa sebagai kepunyaannya.20
Sehingga adanya Pasal 6 UUPA merupakan pembatasan terhadap
wewenang pemegang hak dimana Pasal 6 UUPA tersebut menetapkan
bahwa “semua hak atas tanah mempunyai unsur sosial”. Ini berarti tidak
hanya Hak milik yang mempunyai unsur sosial tetapi semua hak atas
tanah mempunyai unsur sosial, sehingga hak atas apapun yang ada pada
seseorang tidaklah dapat dibenarkan, bahwa tanahnya itu dapat
dipergunakan (atau tidak dipergunakan) semata-mata untuk kepentingan
pribadinya, apalagi kalau hal itu menimbulkan kerugian bagi
masyarakat. Penggunaan tanah harus disesuaikan dengan keadaannya
dan sifat dari pada haknya, hingga bermanfaat baik bagi kesejahteraan
dan kebahagiaan yang mempunyainya maupun bermanfaat pula bagi
masyarakat dan Negara. Tetapi tidak berarti bahwa kepentingan
perseorangan akan terdesak sama sekali oleh kepentingan umum.
Kepentingan masyarakat dan kepentingan perseorangan haruslah saling
mengimbangi, hingga pada akhirnya akan tercapai tujuan pokok, yaitu
kemakmuran, keadilan dan kebahagiaan bagi rakyat seluruhnya,
demikianlah yang disebutkan dalam Penjelasan Umum UUPA.21Subyek
dari Hak Milik dimuat dalam Pasal 21 UUPA yaitu :
1. Hanya Warga Negara Indonesia
2. Oleh Pemerintah ditetapkan badan-badan hukum yang dapat
mempunyai hak milik dan syarat-syaratnya yang diatur dalam PP
No. 38 Tahun 1963 tentang Penunjukan Badan-Badan Hukum yang
dapat mempunyai hak milik atas tanah.

20
Boedi Harsono. Ibid. Hlm. 288-289.
21
Boedi Harsono. Ibid. Hlm. 299-300.
24

3. Orang asing yang sesudah berlakunya Undang-undang ini


memperoleh hak milik karena pewarisan tanpa wasiat atau
percampuran harta karena perkawinan, demikian pula warganegara
Indonesia yang mempunyai hak milik dan setelah berlakunya
undang-undang ini kehilangan kewarganegaraannya wajib
melepaskan hak itu dalam jangka waktu 1 (satu) tahun sejak
diperolehnya hak tersebut atau hilangnya kewarganegaraan itu. Jika
sesudah jangka waktu tersebut lampau hak milik itu dilepaskan,
maka hak tersebut hapus karena hukum dan tanahnya jatuh kepada
Negara, dengan ketentuan bahwa hak-hak pihak lain yang
membebani tetap berlangsung.
4. Selama seseorang di samping kewarganegaraan Indonesianya
mempunyai kewarganegaraan asing maka ia dapat mempunyai tanah
dengan hak milik dan bagiannya berlaku ketentuan dalam ayat (3)
Pasal ini.
2. Hak Guna Usaha (Pasal 28-34 UUPA)
Hak Guna Usaha adalah hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai
langsung oleh Negara untuk jangka waktu antara 25 tahun sampai
dengan 35 tahun dan dapat diperpanjang untuk jangka waktu 25 tahun
yang diperuntukan bagi usaha pertanian, perikanan atau peternakan. Arti
kata “mengusahakan” dalam pasal tersebut adalah menggunakan,
memanfaatkan, mengelola termasuk mendirikan bangunan di atas tanah
sebagai sarana murni untuk keperluan usaha. Dengan berlakunya
Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 khususnya Pasal 14, terjadi
perluasan penggunaan tanah Hak Guna Usaha, yaitu dapat juga
diperuntukan bagi usaha perkebunan. Sama halnya dengan Hak Guna
Bangunan, Hak Guna Usaha diberikan kepada perseorangan
berkewarganegaraan Indonesia, Badan Hukum yang didirikan menurut
Hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia. Hak Guna Usaha,
hanya dapat diberikan di atas tanah yang dikuasai langsung oleh Negara
25

(Tanah Negara) dan pemberian Hak Guna Usaha ditentukan batas luas
minimum tanah yaitu 5 hektar.22
3. Hak Guna Bangunan (Pasal 35-40 UUPA)
Dalam UUPA, Hak Guna Bangunan adalah hak untuk mendirikan dan
mempunyai bangunan di atas tanah yang bukan miliknya sendiri. Hak
Guna Bangunan yang dalam praktek disebut HGB ini diberikan kepada
pemegang haknya untuk jangka waktu 30 tahun dan dapat diperpanjang
hingga jangka waktu 20 tahun. Pengaturan lebih lanjut mengenai Hak
Guna Bangunan terdapat dalam Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun
1996. Hak Guna Bangunan diberikan kepada perseorangan yang
berstatuskewarganegaran Indonesia atau Badan Hukum yang didirikan
menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia. Hak Guna
Bangunan dapat diberikan di atas tanah negara, tanah Hak Milik atau
tanah Hak pengelolaan. Ketentuan ini berbeda dengan Hak Milik yang
hanya dapat diberikan di atas tanah Negara atau tanah Hak Pengelolaan
walaupun sampai saat ini pemberian Hak Milik di atas tanah Hak
Pengelolaan belum ada ketentuan yang mengaturnya. Pemberian Hak
Guna Bangunan di atas tanah Negara diberikan berdasarkan surat
keputusan pemberian hak oleh pejabat yang berwenang. Sedangkan
pemberian Hak Guna Bangunan di atas tanah Hak Milik atau tanah Hak
Pengelolaan dilakukan atas persetujuan dan usul terlebih dahulu dari
pemegang Hak Milik atau pemegang Hak Pengelolaan atas tanah yang
bersangkutan.23
4. Hak Pakai (Pasal 41-43 UUPA)
Hak Pakai adalah hak untuk menggunakan dan/atau memungut hasil dari
tanah yang dikuasai langsung oleh Negara atau tanah hak milik atau
diatas tanah Hak Pengelolaan. Hak Pakai memberi wewenang dan juga
kewajiban yang ditentukan dalam keputusan pemberian haknya oleh
pejabat yang berwenang atau dalam perjanjian dengan pemilik tanah
22
Irawan Soerodjo. 2013. Hukum Pertanahan Hak Pengelolaan atas Tanah (HPL).Surabaya:
LaksBang Mediatama. Hlm. 65.
23
Irawan Soerodjo. Ibid. Hlm. 62.
26

yang bersangkutan yang bukan merupakan perjanjian sewa menyewa


atau perjanjian pengolahan tanah. Makna kata “menggunakan” berarti
dapat mendirikan bangunan di atas tanah tersebut. Sedangkan makna
“memungut hasil” berarti memanfaatkan tanah tersebut untuk
kepentingan pemegang haknya, misalnya untuk pertanian, peternakan,
perikanan atau perkebunan. Perbedaannya dengan hak-hak atas tanah
yang lain tersebut adalah Hak Pakai merupakan satu-satunya jenis hak
atas tanah yang dalam Undang-Undang Pokok Agraria yang dapat
diberikan kepada Warga Negara Asing (WNA) atau Badan Hukum
Asing, karena hak atas tanah ini memberikan wewenang yang terbatas
(Pasal 42 UUPA). Hak pakai diberikan untuk jangka waktu tertentu.
Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996, Hak Pakai
diberikan untuk jangka waktu 25 tahun dan dapat diperpanjang selama
15 tahun. Akan tetapi Hak Pakai yang diberikan kepada subyek hukum
tertentu diberikan dengan jangka waktu selama tanah tersebut
digunakan, yaitu hanya diberikan kepada kementrian, lembaga non
departemen, pemerintah daerah, perwakilan negara asing, perwakilan
badan internasional, badan keagamaan, dan badan-badan sosial.24
2. Hak atas Tanah yang Sekunder yaitu hak atas tanah yang bersumber secara
tidak langsung kepada Hak Bangsa Indonesia.Hak-hak atas tanah sekunder
disebut pula hak baru yang diberikan diatas tanah Hak Milik dan selalu
diperjanjikan antara pemilik tanah dan pemegang hak baru dan akan
berlangsung selama jangka waktu tertentu.25 Hak-hak atas tanah yang
sekunder terdiri dari 6 (enam) jenis hak atas tanah. Pengertian masing-masing
hak yang sekunder pada dasarnya merupakan Hak Pakai, namun masing-
masing hak tersebut mempunyai kekhususan. Sepanjang mengenai HGB dan
Hak Pakai pengertiannya telah diuraikan pada uraian di muka. HGB dan Hak
Pakai yang diberi di atas tanah Hak Milik dalam PP No. 40 tahun 1996
disebut Hak baru dan pemberian hak baru tersebut wajib didaftarkan di

24
Irawan Soerodjo. Ibid. Hlm. 66.
25
Boedi Harsono. Ibid. Hlm. 235-236.
27

Kantor Pertanahan dan dapat diberikan sertipikat sebagai tanda bukti haknya.
Selain hak-hak atas tanah yang disebut dalam Pasal 16 UUPA, dijumpai juga
lembaga-lembaga hak atas tanha yang keberadaannya dalam Hukum Tanah
Nasional diberi sifat “sementara”, artinya pada suatu waktu hak-hak tersebut
sebagai lembaga hukum tidak ada lagi. Hak-hak atas tanah yang sekunder
lainnya disebutkan dalam Pasal 53 UUPA merupakan hak atas tanah yang
sifatnya sementara, yaitu :
1. Hak Sewa atas Tanah Pertanian;
2. Hak Usaha Bagi Hasil;
3. Hak Gadai atas Tanah Pertanian;
4. Hak Menumpang.
Hak-hak tersebut diberi sifat sementara, karena dianggap tidak sesuai dengan
asas-asas Hukum Tanah Nasional. Salah satu asas penting dalam Hukum
Tanah Nasional ialah dalam usaha-usaha dibidang pertanian tidak boleh ada
pemerasan, tidak boleh terjadi apa yang disebut “exploitation de I’homme par
I’homme” sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 11 ayat (1) UUPA. Dalam
hubungan itu Pasal 10 UUPA menetapkan bahwa tanah pertanian pada
asasnya harus dikerjakan atau diusahakan sendiri secara aktif oleh yang
memiliki tanah tersebut. Hak-hak atas tanah yang memungkinkan terjadinya
pemerasan orang atau golongan salah satu orang atau golongan lain, tidak
boleh ada dalam Hukum Tanah Nasional. Hak Gadai, Hak Usaha Bagi Hasil,
dan Hak Sewa untuk usaha pertanian adalah hak-hal yang memberi
kewenangan untuk menguasai dan mengusahakan tanah pertanian kepunyaan
orang lain. Maka hak-hak tersebut merupakan lembaga-lembaga hukum yang
dapat menimbulkan keadaan penguasaan tanah bertentangan dengan asas
yang tercantum dalam Pasal 10 UUPA.

2.5. Pertambangan
2.5.1 Pengertian Pertambangan
Pertambangan dapat diberi pengertian, adalah suatu kegiatan yang dilakukan
dengan penggalian ke dalam tanah (bumi) untuk mendapatkan sesuatu yang
28

berupa hasil tambang (mineral, minyak, gas bumi, dan batu bara). Adapun
pengertian pertambangan dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 4 Tahun
2009 UU Minerba adalah sebagian atau seluruh tahapan kegiatan dalam rangka
penelitian, pengelolaan, dan pengusahaan mineral atau batu bara yang meliputi
penyelidikan umum, eksplorasi, studi kelayakan, konstruksi, penambangan,
pengolahan dan pemurnian, pengangkutan dan penjualan, serta kegiatan pasca
tambang. Pengertian tersebut dalam arti luas karena meliputi berbagai kegiatan
pertambangan yang ruang lingkupnya dapat dilakukan sebelum penambangan,
proses penambangan, dan sesudah proses penambangan.26

2.5.2 Hak Atas Lahan Pertambangan


Penggunaan lahan atau tanah untuk usaha pertambangan tidak serta merta
langsung digunakan, lahan atau tanah tersebut harus beralaskan hak atas tanah.
Jika pada lahan atau tanah negara, maka permukaan tanah Pemerintah
memberikan HGU, HGB, atau Hak Pakai. Sebagaimana diatur dalam Pasal 4 Ayat
(1) Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 Tentang Hak Guna Usaha, Hak
Guna Bangunan, dan Hak Pakai Atas Tanah menyatakan bahwa “Tanah yang
dapat diberikan dengan Hak Guna Usaha adalah tanah Negara”. Sedangkan di
bawah permukaan tanah pemerintah memberikan hak atas pertambangan berupa
IUP, IPR, atau IUPK kepada perseorangan atau badan hukum sesuai UU
Pertambangan.

2.5.3 Izin dalam Pertambangan


Setiap orang atau perusahaan yang melakukan usaha di bidang apa saja
wajib memiliki izin dari pihak yang berwenang, yaitu Pemerintah. Dahulu izin
yang diperlukan semata-mata yang berhubungan dengan bidang usahanya,
perusahaan berstatus sebagai perusahaan yang resmi atau legal. Namun sejalan
dengan perkembangan keadaaan karena hampir semua usaha berhubungan dengan
lingkungan hidup, maka sejak diberlakukannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun
2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Perusahaan wajib

26
Gatot Supramono. Op.Cit. Hlm. 6.
29

memiliki izin lingkungan. Dengan izin lingkungan yang dimiliki digunakan


sebagai dasar bagi perusahaan untuk mengurus/penerbitan izin usaha perusahaan
agar dapat menjalankan usahanya.27
Perusahaan Pertambangan sebelum melakukan proses Pertambangan, suatu
perusahaan wajib memiliki izin-izin yang meliputi :
A. Izin Lingkungan
Izin Lingkungan diatur dalam Pasal 36 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2009 yang menyebutkan, bahwa setiap usaha dan/atau kegiatan yang wajib
memiliki AMDAL atau UKL-UPL wajib memiliki izin lingkungan. Oleh karena
izin lingkungan wajib dimiliki oleh setiap perusahaan, maka izin tersebut sifatnya
umum dan mutlak. Kewajiban tersebut dilatarbelakangi, karena negara atau
pemerintah berkeinginan agar setiap perusahaan untuk bersungguh-sungguh
memperhatikan lingkungan hidup supaya dapat dicegah atau diminimalkan
terjadinya kerusakan lingkungan. Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup
tidak dapat hanya dibebankan kepada Pemerintah saja, tetapi juga merupakan
tanggung jawab masyarakat termasuk perusahaan. Pengaturan yang mewajibkan
pengusaha wajib memiliki izin lingkungan karena Pemerintah bermaksud serius
untuk mengawasi lingkungan hidup dan ingin mewujudkan keadaan lingkungan
hidup yang lebih baik dan lebih sehat ke masa depan. Kedudukan izin lingkungan
merupakan dasar untuk memperoleh izin usaha perusahaan. Dalam Pasal 40 Ayat
(1) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 disebutkan, bahwa izin lingkungan
merupakan persyaratan untuk memperoleh izin usaha dan atau kegiatan.28
B. Izin Usaha Pertambangan (IUP)
Pemberian IUP yang diatur didalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009
Tentang Pertambangan Minerba adalah satu IUP hanya diperbolehkan untuk satu
jenis tambang. Satu IUP diberikan untuk satu jenis mineral atau batu bara.
Pemberian IUP tidak boleh lebih dari satu jenis tambang. Penyimpangan terhadap
prinsip tersebut dimungkinkan. Hal itu dapat terjadi apabila orang yang sudah
diberikan IUP, pada waktu melakukan penambangan menemukan mineral lain di

27
Gatot Supramono. Op.Cit. Hlm. 19.
28
Gatot Supramono. Ibid. Hlm. 19-20.
30

dalam Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP) yang dikelolanya. Pemegang


IUP yang bersangkutan dapat diberikan prioritas oleh pemerintah untuk dapat
mengusahakannya. Apabila pemegang IUP bermaksud mengusahakan mineral
lain yang ditemuka tersebut, maka prosesnya tidak secara serta merta, dimana
yang bersangkutan dapat langsung mengusahakannya. Akan tetapi pemegang IUP
wajib mengajukan permohonan IUP baru kepada pejabat yang berwenang
(Menteri, Gubernur, dan Bupati/Walikota sesuai dengan kewenangannya). Dapat
pula sebaliknya pemegang IUP menyatakan tidak berminat untuk mengusahakan
mineral lain yang ditemukan tersebut. Meskipun pemegang IUP tersebut tidak
berminat untuk mengusahakan mineral lain yang ditemukan, namun yang
bersangkutan berkewajiban menjaga mineral lain tersebut agar tidak dimanfaatkan
oleh pihak lain. Kewajiban tersebut secara hukum melekat kepada penemunya
karena sekaligus sebagai pengelola tambang di WIUP, dan baru berakhir
kewajibannya setelah habis masa IUPnya.29
IUP dikenal ada 2 (dua) macam, yaitu IUP Eksplorasi dan IUP Operasi
Produksi, yang penerbitan izinnya dilakukan secara bertahap. 30 Penjelasannya
sebagai berikut :
1. IUP Eksplorasi
IUP Eksplorasi merupakan pemberian izin tahap pertama, dan kegiatannya
meliputi kegiatan penyelidikan umum, eksplorasi, dan studi kelayakan.
Kegunaan IUP Eksplorasi dibedakan untuk kepentingan jenis
pertambangan mineral logam dan mineral bukan logam. Untuk jenis
pertambangan mineral logam IUP Eksplorasinya dapat diberikan dalam
jangka waktu paling lama 8 (delapan) tahun. Sedangkan untuk IUP
Eksplorasi untuk pertambangan mineral bukan logam dapat diberikan
paling lama dalam jangka waktu 3 (tiga) tahun. Sedangkan IUP Eksplorasi
untuk pertambangan mineral bukan logam jenis tertentu antara lain seperti
batu gamping untuk industri semen, intan, dan batu mulia, dapat diberikan
izin tersebut dalam jangka waktu paling lama 7 (tujuh) tahun. Kemudian

29
Ibid. Hlm. 23.
30
Ibid.
31

IUP Eksplorasi untuk kepentingan pertambangan batuan dapat diberikan


dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) tahun. Adapun IUP Eksplorasi
untuk kepentingan pertambangan batu bara dapat diberikan dalam jangka
waktu paling lama 7 (tujuh) tahun.31
2. IUP Operasi Produksi
IUP Operasi Produksi sebagai pemberian izin sesuai IUP Eksplorasi
diterbitkan dan kegiatannya meliputi kegiatan konstruksi, penambangan,
pengolahan dan pemurnian, serta pengangkutan dan penjualan. Setiap
pemegang IUP Eksplorasi dijamin Undang-Undang untuk memperoleh
IUP Operasi Produksi karena sebagai kelanjutan kegiatan usaha
pertambangannya. IUP Operasi Produksi dapat diberikan kepada
perusahaan yang berbentuk perseroan terbatas, koperasi, atau perseorangan
atas hasil pelelangan WIUP mineral logam atau batu bara yang telah
mempunyai data hasil kajian studi kekayaan. IUP Operasi Produksi untuk
pertambangan mineral logam dapat diberikan dalam jangka waktu paling
lama 20 (dua puluh) tahun dan dapat diperpanjang 2 (dua) kali masing-
masing 10 (sepuluh) tahun. Sedangkan untuk pertambangan mineral bukan
logam IUP Operasi Produksinya dapat diberikan dalam jangka waktu
paling lama 10 (sepuluh) tahun dan dapat diperpanjang 2 (dua) kali
masing-masing 5 (lima) tahun. Kemudian IUP Operasi Produksi untuk
pertambangan mineral bukan logam jenis tertentu antara lain batu gamping
untuk industri semen, intan, dan batu mulia dapat diberikan dalam jangka
waktu paling lama 20 (dua puluh) tahun dan dapat diperpanjang 2 (dua)
kali masing-masing 10 (sepuluh) tahun. Sedangkan IUP Operasi Produksi
untuk pertambangan batuan dapat diberikan dalam jangka waktu paling
lama 5 (lima) tahun dan dapat diperpanjang 2 (dua) kali masing-masing 5
(lima) tahun. Selanjutnya mengenai IUP Operasi Produksi untuk
pertambangan batu bara dapat diberikan dalam jangka waktu paling lama

31
Gatot Supramono. Ibid. Hlm. 24.
32

20 (dua puluh) tahun dan dapat diperpanjang 2 (dua) kali masing-masing


10 (sepuluh) tahun.32
Pejabat yang berwenang memberikan IUP Operasi Produksi diberikan
adalah :33
1. Bupati/walikota
2. Gubernur
3. Menteri ESDM
C. Izin Pertambangan Rakyat
Yang dimaksud dengan Izin Pertambangan Rakyat (IPR) adalah izin untuk
melaksanakan usaha pertambangan dalam wilayah pertambangan rakyat dengan
luas wilayah dan investasi terbatas. Didalam kegiatan pertambangan rakyat
dikelompokkan menjadi 4 (empat) macam, yaitu sebagai berikut :34
a. Pertambangan mineral logam;
b. Pertambangan mineral bukan logam;
c. Pertambangan batuan; dan/atau
d. Pertambangan batu bara.
Sesuai dengan namanya IPR maka pejabat yang berwenang memberikan izin
tersebut adalah Bupati/Walikota (berdasarkan Pasal 67 Undang-Undang Nomor 4
Tahun 2009). Bupati/walikota hanya dapat memberikan IPR terutama kepada
penduduk setempat, baik kepada perseorangan maupun kelompok masyarakat
dan/atau koperasi. Untuk dapat memperoleh IPR tersebut, maka prosedurnya
pemohon wajib menyampaikan surat permohonan yang ditujukan kepada
Bupati/walikota. Meskipun sudah ada pendelegasian wewenang kepada camat,
namun permohonan IPR tetap ditulis kepada Bupati/Walikota setempat.35

32
Gatot Supramono. Ibid. Hlm. 25.
33
Ibid.
34
Ibid. Hlm. 29
35
Gatot Supramono. Ibid. Hlm. 29-30
33

2.6 Perkebunan
2.6.1 Pengertian Perkebunan
Pasal 1 angka 1 UU Perkebunan, mendefinisikan Perkebunan adalah segala
kegiatan yang mengusahakan tanaman tertentu pada tanah dan/atau media tumbuh
lainnya dalam ekosistem yang sesuai, mengolah dan memasarkan barang dan jasa
hasil tanaman tersebut, dengan bantuan ilmu pengetahuan dan teknologi,
permodalan serta manajemen untuk mewujudkan kesejahteraan bagi pelaku usaha
perkebunan dan masyarakat.

2.6.2 Hak atas Lahan Perkebunan


Penggunaan lahan atau tanah untuk usaha perkebunan tidak serta merta
langsung digunakan, lahan atau tanah tersebut harus beralaskan hak atas tanah.
Jika pada lahan atau tanah negara, maka permukaan tanah Pemerintah
memberikan HGU, HGB, atau Hak Pakai. Sebagaimana diatur dalam Pasal 4 Ayat
(1) Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 Tentang Hak Guna Usaha, Hak
Guna Bangunan, dan Hak Pakai Atas Tanah menyatakan bahwa “Tanah yang
dapat diberikan dengan Hak Guna Usaha adalah tanah Negara”. Sedangkan di
bawah permukaan tanah pemerintah memberikan hak atas perkebunan berupa
IUP-B, IUP-P, dan IUP kepada perseorangan atau badan hukum sebagaimana
diatur dalam UU Perkebunan.

2.6.3 Izin dalam Perkebunan


Usaha Perkebunan merupakan suatu usaha yang berdimensi luas, sebab
usaha perkebunan juga dapat berupa usaha budi daya yang terkait dengan tanaman
dan usaha industri pengolahan hasil perkebunan. Selain itu, usaha perkebunan
merupakan usaha yang dimensi ekonomi sangat luas, karena dapat
mempekerjakan tenaga kerja yang begitu banyak dan menyumbang pendapat asli
daerah (PAD).36 Didalam melakukan kegiatan usaha perkebunan, dibutuhkan Izin
Usaha Perkebunan, sebagaimana diatur dalam Pasal 7 Permentan 98 yang
menyatakan bahwa “Perizinan usaha Perkebunan terdiri atas IUP-B, IUP-P, IUP.

36
Supriadi. Op.Cit. Hlm. 552
34

Usaha Budidaya Tanaman Perkebunan harus memiliki IUP-B, sebagaimana


diatur dalam Pasal 8 UU Perkebunan yang menyatakan bahwa “Usaha Budidaya
Tanaman Perkebunan dengan luas 25 (dua puluh lima) hektar atau lebih wajib
memiliki IUP-B”.
Usaha Industri Pengelolaan Hasil Perkebunan harus memiliki IUP-P,
sebagaimana diatur dalam Pasal 9 UU Perkebunan yang menyatakan bahwa
“Usaha Indsutri Pengelolaan Hasil Perkebunan kelapa sawit, teh, dan tebu dengan
kapasitas sama atau melebihi kapasitas paling rendah unit pengolahan hasil
perkebunan seperti tercantum dalam Lampiran II yang merupakan bagian tidak
terpisahkan dari peraturan ini, wajib memiliki IUP-P
Perusahaan Perkebunan yang sudah memiliki IUP-B dan IUP-P yang untuk
selanjutnya wajib memiliki IUP. Sebagaimana diatur dalam Pasal 10 Ayat (2)
yang menyatakan bahwa “Usaha Budidaya Tanaman Perkebunan yang terintegrasi
dengan Usaha Industri Pengolahan Hasil Perkebunan sebagaimana dimaksud pada
Ayat (1), wajib memiliki IUP.
BAB III
PEMBAHASAN

3.1 Pengaturan dan Kewenangan Pemberian Izin Pemanfaatan atas Lahan


Pertambangan dan Lahan Perkebunan Di Indonesia
Perusahaan Pertambangan dan Perkebunan sebelum melakukan kegiatannya
membutuhkan lahan. UUPA sebagai salah satu dasar untuk membuat atau
membentuk pengaturan yang berhubungan dengan penggunaan dan penguasaan
hak atas tanah. Pasal 2 Ayat (2) dan (3) UUPA memuat ketentuan bahwa semua
peraturan perundang-undangan yang mengatur peruntukan, penggunaan,
persediaan, dan pemeliharaan tanah harus digunakan untuk mencapai
kemakmuran rakyat sebesar-besarnya, dalam arti kebahagiaan, kesejahteraan, dan
kemerdekaan dalam masyarakat dan Negara Hukum Indonesia yang merdeka,
berdaulat, adil, dan makmur.37 Dalam Lahan untuk Usaha Pertambangan dan
Usaha Perkebunan terdapat Hak atas Tanah yang diberikan, yaitu Hak Guna
Usaha, Hak Pakai, dan Hak Pengelolaan untuk lahan Usaha Pertambangan. Dalam
Lahan untuk Usaha Perkebunan, yaitu Hak Guna Usaha (HGU). Ketentuan Hak
Guna Usaha dalam UUPA terdapat dalam Pasal 28 sampai dengan Pasal 34.
Sebagaimana diatur dalam Pasal 28 Ayat (1) UUPA, Pengertian Hak Guna Usaha
adalah hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh negara, dalam
jangka waktu tertentu guna perusahaan pertanian, perikanan, dan peternakan.
Hak Guna Usaha diberikan atas tanah yang luasnya paling sedikit 5 (lima)
hektar, dengan ketentuan jika luasnya lebih dari 25 hektar atau lebih harus
memakai investasi modal yang layak dan teknik perusahaan yang baik, sesuai
dengan perkembangan zaman.38 Perihal jangka waktu, sebagaimana diatur dalam
Pasal 29 Ayat (1), (2), dan (3) menyatakan bahwa Hak Guna Usaha diberikan
dalam jangka waktu 25 (dua puluh lima) tahun dan untuk perusahaan yang
memerlukan jangka waktu lebih lama diberikan jangka waktu paling lama 35 (tiga
puluh lima) tahun dan jangka waktu tersebut dapat diperpanjang paling lama 25
37
Ermanto Fahamsyah. Artikel Pembatasan Luas Lahan Usaha Perkebunan dalam
Perspektif Hukum di Indonesia. Diakses pada tanggal 10 Desember 2015 Jam 09.32 WIB.
38
Ermanto Fahmsyah. Ibid. Hlm. 5.

35
36

(dua puluh lima) tahun atas permintaan pemegang hak dan mengingat keadaan
perusahaannya. Peraturan yang lebih khusus mengatur tentang Hak Guna Usaha,
yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak
Guna Bangunan, dan Hak Pakai Atas Tanah (yang selanjutnya disebut PP Nomor
40 Tahun 1996). Sebagaimana diatur dalam Pasal 4 Ayat (1) PP Nomor 40 Tahun
1996 menyatakan bahwa “tanah yang dapat diberikan dengan Hak Guna Usaha
adalah tanah negara”. PP Nomor 40 Tahun 1996 juga mengatur mengenai luas dan
jangka waktu Hak Guna Usaha, sebagaimana diatur dalam Pasal 5 Ayat (1) dan
(2) yang menyatakan bahwa “luas minimum tanah yang dapat diberikan Hak
Guna Usaha adalah lima hektar, dan luas maksimum yang diberikan kepada
perorangan adalah 25 (dua puluh lima) hektar. Begitu juga dengan jangka waktu
Hak Guna Usaha, sebagaimana diatur dalam Pasal 8 Ayat (1) dan (2) PP Nomor
40 Tahun 1996, menyatakan bahwa “Hak Guna Usaha diberikan untuk jangka
waktu paling lama 35 (tiga puluh lima) tahun dan dapat diperpanjang untuk
jangka waktu paling lama 25 (dua puluh lima) tahun.

3.1.1 Pengaturan dan Kewenangan Pemberian Izin Pemanfaatan atas Lahan


Pertambangan
Wilayah Pertambangan (yang untuk selanjutnya disebut WP) dibutuhkan
perusahaan pertambangan sebelum melakukan usaha pertambangan. Dalam Pasal
1 angka 29 UU Minerba pengertian Wilayah Pertambangan adalah wilayah yang
memiliki potensi mineral dan/atau batubara dan tidak terikat dengan batasan
administrasi pemerintahan yang merupakan bagian dari tata ruang nasional.39
Dalam pengertian tersebut dikatakan wilayah pertambangan tidak terikat dengan
batasan administrasi pemerintahan, karena wilayah pertambangan tidak mengikuti
wilayah administrasi pemerintahan (Provinsi, Kabupaten atau Kota). Sehingga
diperlukan koordinasi dan kerjasama antar pemerintah daerah apabila
pertambangan berada di lintas batas pemerintah daerah.
Wilayah Pertambangan sebagai bagian dari tata ruang nasional merupakan
landasan bagi penetapan kegiatan pertambangan. Sebagaimana diatur dalam Pasal

39
Gatot Supramono. Ibid. Hlm. 11.
37

11 UU Minerba, untuk dapat menetapkan wilayah pertambangan harus dilakukan


dengan berdasarkan data-data yang diperoleh di lapangan dari hasil penelitian.
Oleh karena itu, Pemerintah dan Pemerintah Daerah diwajibkan untuk melakukan
penyelidikan dan penelitian pertambangan dalam rangka penyiapan wilayah
pertambangan.
Penetapan Wilayah Pertambangan dilakukan oleh Pemerintah setelah
berkoordinasi dengan Pemerintah Daerah dan berkonsultasi dengan Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR). Pelaksanaan penetapan wilayah pertambangan
dilakukan dengan cara :
a. Transparan, partisipatif, dan bertanggung jawab.
b. Terpadu dengan memperhatikan pendapat dari instansi Pemerintah
terkait, masyarakat, dan dengan mempertimbangkan aspek ekologi,
ekonomi, dan sosial budaya, serta berwawasan lingkungan.
c. Memperhatikan aspirasi daerah.40
Bentuk Wilayah Pertambangan sebagaimana diatur dalam Pasal 13 UU
Minerba terdiri atas Wilayah Usaha Pertambangan (yang untuk selanjutnya
disebut WUP), Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR), Wilayah Pencadangan
Negara (WPN). Pengertian masing-masing Wilayah Pertambangan tersebut
yaitu:41
a. Wilayah Usaha Pertambangan
Wilayah Usaha Pertambangan sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka
31 UU Minerba adalah bagian dari Wilayah Pertambangan yang telah
memiliki ketersediaan data, potensi, dan/atau informasi geologi.
Penetapan Wilayah Usaha Pertambangan pada prinsipnya pemerintah
dalam hal ini Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).
Pemerintah dapat melimpahkan sebagian kewenangannya kepada
Pemerintah Provinsi sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-
Undangan. Untuk 1 (satu) Wilayah Usaha Pertambangan terdiri atas 1
(satu) atau beberapa Wilayah Izin Usaha Pertambangan (yang untuk

40
Gatot Supramono. Ibid. Hlm. 12.
41
Gatot Supramono. Ibid.
38

selanjutnya disebut WIUP) yang berada pada lintas wilayah Provinsi,


lintas wilayah kabupaten/kota, dan/atau dalam 1 (satu) wilayah
kabupaten/kota.
Adapun tentang luas dan batas WIUP mineral logam dan batubara
ditetapkan oleh Pemerintah berkoordinasi dengan Pemerintah Daerah
berdasarkan kriteria yang dimiliki oleh Pemerintah. Mengenai kriteria
untuk menetapkan 1 (satu) atau beberapa WIUP dalam 1 (satu) WUP
adalah sebagai berikut :
a. Letak geografis;
b. Kaidah konservasi;
c. Daya dukung lindungan lingkungan;
d. Optimalisasi sumber daya mineral dan/atau batubara; dan
e. Tingkat kepadatan penduduk.
b. Wilayah Pertambangan Rakyat
Wilayah Pertambangan Rakyat (yang untuk selanjutnya disebut WPR)
sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 32 UU Minerba adalah bagian
dari Wilayah Pertambangan tempat dilakukan kegiatan usaha
pertambangan rakyat. Kegiatan Pertambangan rakyat dilaksanakan
dalam suatu WPR. Pejabat yang berwenang menetapkan WPR adalah
Bupati/Walikota setelah mengadakan konsultasi dengan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/kota. Adapun mengenai kriteria
untuk menetapkan WPR adalah sebagai berikut :
a. Mempunyai cadangan mineral sekunder yang terdapat di sungai
dan/atau diantara tepi dan tepi sungai;
b. Mempunyai cadangan primer logam atau batubara dengan
kedalaman maksimal 25 (dua puluh lima) meter;
c. Endapan teras, dataran banjir, dan endapan sungai purba;
d. Luas maksimal WPR adalah 25 (dua puluh lima) hektare;
e. Menyebutkan jenis komoditas yang akan ditambang; dan/atau
f. Merupakan wilayah atau tempat kegiatas tambang rakyat yang sudah
dikerjakan sekurang-kurangnya 15 (lima belas) tahun.
39

Dalam rangka menetapkan WPR tersebut Bupati/walikota berkewajiban


mengikuti asas publisitas yaitu dengan melakukan pengumuman
mengenai rencana WPR kepada masyarakat secara terbuka.
pengumuman di kantor bupati/walikota yang bersangkutan yang mudah
diketahui oleh masyarakat, atau mengumumkan melalui media surat
kabar atau elektronik. Konsekuensi dengan melakukan pengumuman
tersebut adalah memberi kesempatan kepada warga masyarakat untuk
mengajukan keberatan apabila ada yang merasa dirugikan. Keberatan
tersebut dapat dipandang sebagai salah satu kontrol dari masyarakat
yang perlu mendapat perhatian.
Apabila terdapat suatu wilayah atau tempat kegiatan tambang rakyat
yang sudah dikerjakan tetapi belum ditetapkan sebagai WPR, maka
diprioritaskan untuk ditetapkan pemerintah sebagai WPR.
c. Wilayah Pencadangan Negara
Wilayah Pencadangan (yang untuk selanjutnya disebut WPN)
sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 33 UU Minerba adalah bagian
dari WP yang dicadangkan untuk kepentingan strategis nasional. Untuk
kepentingan strategis nasional dalam hubungan dengan usaha
pertambangan, Pemerintah bekerja sama dengan Dewan Perwakilan
Rakyat dan dengan memperhatikan aspirasi daerah dapat menetapkan
WPN sebagai daerah yang dicadangkan untuk komoditas tertentu dan
daerah yang dicadangkan untuk komoditas tertentu dan daerah
konservasi dalam rangka menjaga keseimbangan ekosistem dan
lingkungan.
WPN yang ditetapkan untuk komoditas tertentu tersebut dapat diusahan
dari sebagian luas wilayahnya dengan cara pemerintah melakukan
persetujuan dengan Dewan Perwakilan Rakyat. Demikian pula dengan
WPN yang ditetapkan untuk konservasi ditentukan batasan waktu
dilakukan dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. Adapun
mengenai wilayah yang akan diusahakan untuk komoditas tertentu
maupun untuk konservasi tersebut berubah statusnya menjadi Wilayah
40

Usaha Pertambangan Khusus (WUPK). Untuk dapat melakukan


perubahan status dari WPN menjadi WUPK dilaksanakan dengan
mempertimbangkan hal-hal yang ditetapkan dalam Pasal 28 UU
Minerba sebagai berikut :
a. Pemenuhan bahan baku industri dan energi dalam negeri;
b. Sumber devisa negara;
c. Kondisi wilayah berdasarkan pada keterbatasan sarana dan
prasarana;
d. Berpotensi untuk dikembangkan sebagai pusat pertumbuhan
ekomomi;
e. Daya dukung lingkungan; dan/atau
f. Penggunaan teknologi tinggi dan modal investasi yang besar.
Sehubungan dengan persoalan utamanya berada pada Pemerintah
Daerah maka WUPK yang akan diusahakan ditetapkan oleh Pemerintah
setelah melakukan koordinasi dengan Pemerintah Daerah setempat.
Pelaksanaan kegiatan usaha pertambangan di WUPK dilakukan dengan
pemberian izin yang disebut Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK).
Ketentuannya untuk satu WUPK dapat terdiri atas beberapa Wilayah
Izin Usaha Pertambangan Khusus (yang untuk selanjutnya disebut
WIUPK) yang berada pada lintas wilayah provinsi, lintas wilayah
kabupaten/kota, dan/atau dalam 1 (satu) wilayah kabupaten/kota.
Mengenai ukuran luas dan batas WIUPK mineral logam dan batubara
ditetapkan oleh Pemerintah untuk kepastian ukuran yang nyata di
lapangan. Untuk itu Pemerintah perlu melakukan koordinasi dengan
pemerintah daerah untuk menetapkan luas dan batas tersebut
berdasarkan kriteria dan informasi yang dimiliki oleh Pemerintah.
Adapun kriteria untuk menetapkan 1 (satu) atau beberapa WIUPK dalam
1 (satu) WUPK sebagaimana diatur dalam Pasal 32 UU Pertambangan
adalah sebagai berikut :
a. Letas geografis;
b. Kasidah konservasi;
41

c. Daya dukung lindungan lingkungan;


d. Optimalisasi sumber daya mineral dan/atau batubara; dan
e. Tingkat kepadatan penduduk.
Setelah mendapatkan penetapan sesuai dengan kriteria diatas, maka barulah
dapat melakukan proses usaha pertambangan khusus.
Perusahaan pertambangan setelah mendapatkan penetapan wilayah
pertambangan sesuai penjelas diatas, maka perusahaan tersebut harus melakukan
permohonan untuk mendapatkan Izin Usaha Pertambangan. Pada dasarnya,
kegiatan pertambangan yang dilakukan oleh perseorangan atau masyarakat atau
badan hukum atau badan usaha dapat diklasifikasikan menjadi 2 (dua) macam,
yaitu :
1. Illegal Mining; dan
2. Legal Mining.
Illegal mining merupakan kegiatan yang dilakukan oleh orang atau
masyarakat atau badan hukum tanpa adanya izin dari pejabat yang berwenang.
Legal mining merupakan kegiatan pertambangan yang dilakukan oleh badan usaha
atau badan hukum didasarkan pada izin yang dikeluarkan oleh pejabat yang
berwenang. Salah satu bentuk izin itu, yaitu Izin Usaha Pertambangan (IUP).42
Istilah Izin Usaha Pertambangan berasal dari terjemahan Bahasa Inggris, yaitu
Mining Permit. Sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 7 UU Minerba,
pengertian Izin Usaha Pertambangan (IUP) adalah “Izin untuk melaksanakan
usaha pertambangan”.
berdasarkan definisi diatas, maka ada 2 (dua) unsur yang paling penting
pada IUP, yaitu :
1. Adanya izin; dan
2. Usaha pertambangan.
Izin adalah suatu pernyataan atau persetujuan yang membolehkan
pemegangnya untuk melakukan usaha pertambangan. Sebagaimana diatur dalam
Pasal 1 angka 6 UU Minerba, pengertian usaha pertambangan atau mining
business adalah “kegiatan dalam rangka pengusahaan mineral dan batubara yang

42
Salim Hs. Ibid. Hlm. 107.
42

meliputi tahapan kegiatan penyelidikan umum, eksplorasi, studi kelayakan,


konstruksi, penambangan, pengolahan dan pemurnian, pengangkutan, dan
penjualan, serta kegiatan pasca tambang”.
IUP merupakan izin yang diberikan kepada pemegang izin untuk melakukan
dua kegiatan pertambangan. Sebagaimana diatur dalam Pasal 34 UU Minerba,
kedua kegiatan pertambangan itu, meliputi :
1. Pertambangan mineral; dan
2. Pertambangan batubara.
Pejabat yang berwenang menerbitkan IUP telah ditentukan dalam Pasal 37
UU Pertambangan. Ada tiga pejabat yang berwenang menerbitkan IUP Eksplorasi
dan IUP Produksi. Ketiga pejabat itu, meliputi :
1. Bupati/Walikota
2. Gubernur
3. Menteri
Kewenangan yang diberikan oleh hukum kepada ketiga pejabat itu,
tergantung pada letak wilayah izin usaha pertambangan yang akan dimohonkan
oleh pemohon. Sebagaimana diatur pula dalam Pasal 37 UU Minerba,
Kewenangan masing-masing pejabat itu, disajikan berikut ini :
1. Bupati/Walikota berwenang untuk menerbitkan izin usaha
pertambangan mineral dan batubara yang dimohonkan oleh pemohon,
apabila Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP) yang dimohonkan
berada di dalam satu wilayah Kabupaten/Kota.
2. Gubernur berwenang untuk menerbitkan izin usaha pertambangan
mineral dan batubara yang dimohonkan oleh pemohon apabila Wilayah
Izin Usaha Pertambangan (WIUP) berada pada lintas wilayah
Kabupaten/Kota dalam 1 (satu) provinsi. Syaratnya setelah
mendapatkan rekomendasi dari Bupati/Walikota setempat sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
3. Menteri berwenang untuk menerbitkan izin usaha pertambangan
mineral dan batubara yang dimohonkan oleh pemohon apabila Wilayah
Izin Usaha Pertambangan (WIUP) berada pada lintas wilayah provinsi.
43

Syaratnya setelah mendapatkan rekomendasi dari Gubernur dan


Bupati/Walikota setempat sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
IUP mempunyai hubungan yang sangat erat dengan Wilayah Izin Usaha
Pertambangan (WIUP), karena sebelum IUP diberikan kepada pemohon, maka
harus dilakukan lebih dahulu adalah menetapkan WIUP. Pengertian Wilayah Izin
Usaha Pertambangan (WIUP) berdasarkan Pasal 1 angka 31 UU Minerba
merupakan wilayah yang diberikan kepada pemegang IUP. Ada lima jenis WIUP,
yang meliputi :
1. WIUP radioaktif
2. WIUP logam
3. WIUP batubara
4. WIUP bukan logam
5. WIUP batuan.
Kelima jenis WIUP tersebut berbeda cara memperolehnya. Berdasarkan
Pasal 8 UU Minerba, WIUP radioaktif diperoleh sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku. WIUP logam dan WIUP batubara
diperoleh dengan cara lelang, dan WIUP bukan logam dan WIUP batuan
diperoleh dengan cara mengajukan permohonan wilayah.
Kegiatan pertambangan baru dapat dilakukan oleh Pemohon setelah
diterbitkannya IUP oleh pejabat yang berwenang. IUP ini baru diterbitkan oleh
Pejabat yang berwenang setelah pemohon telah ditetapkan sebagai pemenang
lelang pada WIUP. Untuk dapat diterbitkannya IUP, baik IUP Eksplorasi maupun
IUP Operasi Produksi, maka pemohon IUP harus memenuhi persyaratan yang
telah ditentukan dalam peraturan perundang-undangan. Pasal 65 UU Minerba
telah mengatur, ada empat persyaratan yang harus dipenuhi oleh pemohon untuk
mengajukan IUP, yang meliputi :
1. Administratif
2. Teknis
3. Lingkungan
4. Finansial.
44

Setelah memenuhi persyaratan tersebut, maka pejabat yang berwenang


menetapkan IUP Eksplorasi dan IUP Produksi. Sebagaimana diatur dalam Pasal 6
sampai dengan Pasal 8 UU Minerba, Pejabat yang berwenang menetapkan IUP
Eksplorasi, yaitu :
1. Menteri, untuk WIUP yang berada dalam lintas wilayah provinsi
dan/atau wilayah laut lebih dari 12 (dua belas) mil dari garis pantai.
2. Gubernur, untuk WIUP yang berada dalam lintas kabupaten/kota dalam
1 (satu) provinsi dan/atau wilayah laut 4 (empat) mil sampai dengan 12
(dua belas) mil dari garis pantai.
3. Bupati/Walikota, untuk WIUP yang berada dalam 1 (satu) wilayah
kabupaten/kota dan/atau wilayah laut sampai dengan 4 (empat) mil dari
garis pantai.
Sementara itu pejabat yang berwenang menetapkan IUP Produksi, yaitu :
1. Bupati/Walikota, apabila lokasi penambangan, lokasi pengolahan, dan
pemurnian, serta pelabuhan berada di dalam 1 (satu) wilayah
kabupaten/kota atau wilayah laut sampai dengan 4 (empat) mil dari
garis pantai.
2. Gubernur, apabila lokasi penambangan, lokasi pengolahan, dan
pemurnian, serta pelabuhan berada di dalam wilayah kabupaten/kota
yang berbeda dalam 1 (satu) provinsi atau wilayah laut sampai dengan
12 (dua belas) mil dari garis pantai setelah mendapat rekomendasi dari
Bupati/Walikota.
3. Menteri, apabila lokasi penambangan, lokasi pengolahan, dan
pemurnian, serta pelabuhan berada di dalam wilayah provinsi yang
berbeda atau wilayah laut lebih dari 12 (dua belas) mil dari garis pantai
setelah mendapat rekomendasi dari Gubernur dan Bupati/Walikota
setempat sesuai dengan kewenangannya.
Perusahaan pertambangan yang telah mendapatkan Izin Usaha
Pertambangan tidak serta merta dapat melakukan kegiatannya, sebelum
melakukan kegiatannya perusahaan pertambangan membutuhkan lahan.
Sebagaimana yang telah dijelaskan diatas bahwa lahan pertambangan dapat
45

diberikan Hak atas tanah berupa Hak Guna Usaha, Hak Pakai, dan Hak
Pengelolaan. Setelah mendapatkan atau mendaftarkan Hak atas tanahnya barulah
Perusahaan pertambangan dapat melakukan kegiatan pertambangan sebagaimana
diatur dalam Pasal 135 UU Minerba yang menyatakan bahwa “Pemegang IUP
Eksplorasi dan IUPK Eksplorasi hanya dapat melaksanakan kegiatannya setelah
mendapat persetujuan dari pemegang hak atas tanah”. Sehingga setelah
mendapatkan persetujuan dari pemegang hak atas tanah, barulah usaha
pertambangan dapat dilakukan. Dengan demikian dari segi peraturan tentang
pertambangan tidak berpotensi terjadinya konflik didalam penormaannya,
dikarenakan penormaan dalam usaha pertambangan sudah jelas dan mencakup
segala aspek. Namun didalam prakteknya, terjadi sengketa tumpang tindih lahan
pertambangan dengan lahan perkebunan karena kurangnya koordinasi antara
Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, dan Kepala Badan Pertanahan Nasional.

3.1.2 Pengaturan dan Kewenangan Pemberian Izin Pemanfaatan atas Lahan


Perkebunan
Jenis-jenis usaha perkebunan sebagaimana diatur dalam Pasal 3 Permentan
Nomor 98 Tahun 2013, antara lain :
1. Usaha Budidaya Tanaman Perkebunan;
2. Usaha Industri Pengolahan Hasil Perkebunan;
3. Usaha Perkebunan yang Terintegrasi antara Budidaya dengan Industri
Pengolahan Hasil Perkebunan.
Perusahaan perkebunan jika ingin melakukan usaha perkebunan sesuai
dengan penjelasan diatas, maka perusahaan perkebunan memerlukan izin untuk
melakukan usaha perkebunan. Didalam usaha perkebunan terdapat 3 izin yang
harus dimiliki perusahaan perkebunan untuk melakukan usaha perkebunan,
sebagaimana diatur dalam Pasal 7 Permentan Nomor 98 Tahun 2013, perizinan
usaha perkebunan terdiri atas :
1. IUP-B
2. IUP-P
3. IUP
46

Pengertian dari masing-masing perizinan tersebut sebagaimana diatur dalam


Pasal 1 angka 10 sampai dengan angka 12 Permentan Nomor 98 Tahun 2013,
yaitu :
1. Izin Usaha Perkebunan Untuk Budidaya yang selanjutnya disebut IUP-B
adalah izin tertulis dari Pejabat yang berwenang dan wajib dimiliki oleh
perusahaan perkebunan yang melakukan usaha budidaya perkebunan.
2. Izin Usaha Perkebunan untuk Pengolahan yang selanjutnya disebut IUP-
P adalah izin tertulis dari Pejabat yang berwenang dan wajib dimiliki
oleh perusahaan perkebunan yang melakukan usaha industri pengolahan
hasil perkebunan.
3. Izin Usaha Perkebunan yang selanjutnya disebut IUP adalah izin tertulis
dari Pejabat yang berwenang dan wajib dimiliki oleh perusahaan
perkebunan yang melakukan usaha budidaya perkebunan dan terintegrasi
dengan usaha industri pengolahan hasil perkebunan.
Pejabat yang berwenang dalam menerbitkan Izin Usaha Perkebunan untuk
Budidaya (IUP-B), Izin Usaha Perkebunan untuk Pengolahan (IUP-P), dan Izin
Usaha Perkebunan (IUP) sebagaimana yang telah diatur dalam Pasal 48 UU
Perkebunan ada 3 (tiga) pejabat yang berwenang menerbitkan. Ketiga pejabat itu,
meliputi :
1. Gubernur untuk wilayah lintas kabupaten/kota
2. Bupati/Walikota untuk wilayah dalam suatu kabupaten/kota
3. Menteri untuk wilayah lintas provinsi.
Sebelum pemohon mengajukan permohonan kepada pejabat yang
berwenang untuk menerbitkan Izin Usaha Perkebunan (IUP), pemohon harus
memenuhi persyaratan yang sebagaimana diatur dalam Pasal 45 Ayat (1) UU
Perkebunan. Persyaratan itu meliputi :
1. Izin Lingkungan (AMDAL)
2. Kesesuaian dengan rencana tata ruang wilayah
3. Kesesuaian dengan rencana Perkebunan.
Setelah memenuhi persyaratan tersebut yang dilampirkan dalam surat
permohonannya kepada pejabat yang berwenang dalam menerbitkan Izin Usaha
47

Perkebunan. Pejabat yang berwenang akan menetapkan Izin Usaha Perkebunan.


Namun sebelum melakukan kegiatan usaha perkebunan, pemohon wajib terlebih
dahulu mendapatkan Hak atas Tanah yang akan digunakan dalam kegiatan usaha
perkebunan. Sebagaimana yang telah diatur dalam Pasal 24 Permentan Nomor 98
Tahun 2013 tentang Pedoman Perizinan Usaha Perkebunan, menyatakan bahwa
“dalam hal tanah yang digunakan untuk usaha perkebunan, maka sesuai peraturan
perundangan pemohon izin usaha perkebunan wajib terlebih dahulu melakukan
musyawarah dengan warga pemegang hak atas tanah yang bersangkutan”.
Sehingga dapat diartikan bahwa sebelum mendapatkan Izin Usaha Perkebunan,
pemohon harus mendapatkan Hak atas Tanah yang akan digunakan untuk usaha
perkebunan.
Hak atas Tanah yang dapat diberikan untuk usaha perkebunan adalah Hak
Guna Usaha (HGU) jika diatas tanah negara sebagaimana diatur dalam Pasal 14
PP Nomor 40 Tahun 1996, yang menyatakan bahwa “Pemegang Hak Guna Usaha
berhak menguasai dan mempergunakan tanah yang diberikan dengan Hak Guna
Usaha untuk melaksanakan usaha di bidang pertanian, perkebunan, perikanan dan
atau peternakan”. Setelah mendapatkan Izin Usaha Perkebunan perusahaan
perkebunan mengajukan permohonan pendaftaran Hak Guna Usaha kepada kantor
Badan Pertanahan Nasional, setelah mendapatkan Surat Keputusan dari Menteri
Agraria. Kepala Kantor Badan Pertanahan Nasional akan menerbitkan Sertipikat
Hak Guna Usaha (SHGU). Atas dasar Izin Usaha Perkebunan dan Sertifikat Hak
Guna Usaha, barulah perusahaan perkebunan dapat melakukan kegiatan usaha
perkebunan. Dengan demikian dari segi peraturan dalam UUPA, UU Perkebunan,
Permentan Nomor 98 Tahun 2013, dan PP Nomor 40 Tahun 1996 yang mengatur
tentang usaha perkebunan dan Hak atas lahan perkebunan tidak berpotensi
terjadinya konflik didalam penormaannya, dikarenakan dalam penormaannya
sudah jelas dan mencakup segala aspek. Namun didalam prakteknya, terjadi
sengketa tumpang tindih lahan pertambangan dengan lahan perkebunan karena
kurangnya koordinasi antara Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, dan Kepala
Badan Pertanahan Nasional.
48

3.2. Penyelesaian Sengketa atas Terjadinya Tumpang Tindih Pemanfaatan


Lahan untuk Pertambangan dan Perkebunan
Sengketa tanah sekarang sudah merambah kepada persoalan sosial yang
kompleks dan memerlukan pemecahan dengan pendekatan yang komperehensif.
Perkembangan sifat dan substansi kasus sengketa pertanahan tidak lagi hanya
persoalan administrasi pertanahan yang dapat diselesaikan melalui hukum
administrasi, tapi kompleksitas tanah tersebut sudah merambah kepada ranah
politik, sosial, budaya, dan terkait dengan persoalan nasionalisme dan hak asasi
manusia.43 Selain kurangnya tranparansi dalam hal penguasaan dan kepemilikan
tanah disebabkan oleh terbatasnya data dan informasi penguasaan dan
kepemilikan tanah, serta kurang transparannya informasi yang tersedia di
masyarakat merupakan salah satu penyebab timbulnya sengketa-sengketa tanah.
Lemahnya administrasi dalam bidang pertanahan juga turut menjadi penyebab
dalam sengketa di bidang pertanahan, lemahnya administrasi berupa terbitnya
sertipikat ganda dalam satu lahan yang mana dalam satu lahan terdapat dua
sertipikat yang dimiliki oleh masing-masing pihak.
Sertipikat ganda salah satu bentuk lemahnya administrasi yang dapat
menimbulkan suatu konflik di bidang pertanahan, serta carutnya marutnya
kewenangan pemberian izin oleh Pejabat yang berwenang.Masing-masing pejabat
merasa mempunyai wewenang terhadap pemberian izin terkait dengan
permohonan izin usaha. Sehingga terlihat sekali bahwa tidak adanya koordinasi
antara Pejabat yang berwenang menerbitkan izin baik dalam bidang Pertambangan
maupun bidang Perkebunan. Konflik pertanahan yang terjadi selama ini
berdimensi luas. Baik konflik horizontal dan konflik vertikal. Konflik vertikal
yang paling dominan yaitu antara Pemerintah dengan perusahaan milik swasta.
Misalnya salah satu kasus yang paling menonjol adalah kasus yang paling sering
terjadi yaitu permasalahan tumpang tindih lahan. Kasus tumpang tindih yang
sering terjadi antara lahan pertambangan dan lahan perkebunan, dalam kasus ini
terdapat 2 (dua) izin yang terbit dalam satu lahan. Baik izin untuk usaha

43
Eko Yulian Isnur. 2012. Tata Cara Mengurus Segala Macam Surat dan Tanah.
Yogyakarta: Pustaka Yustisia. Hlm. 9.
49

pertambangan maupun usaha perkebunan, atas terbitnya izin tersebut maka


adanya hak keperdataan yang terlanggar. Hak keperdataan yang dimaksud adalah
hak-hak atas tanah untuk lahan pertambangan dan lahan perkebunan.
Sengketa tumpang tindih lahan yang disebabkan atas terbitnya izin usaha baik
pertambangan maupun perkebunan di Indonesia banyak terjadi dan sampai saat ini
tidak banyak yang terselesaikan. Salah satu penyebabnya karena Pemerintah
terkesan acuh tak acuh menanggapi permasalahan tersebut, dan tidak adanya
kesadaran masing-masing pihak yang bersengketa untuk menyelesaikan sengketa.
Penyelesaian sengketa di Indonesia mengenal dengan 2 (dua) cara, antara lain :
1. penyelesaian sengketa dengan cara litigasi; dan
2. penyelesaian sengketa dengan cara non-litigasi.
Penyelesaian sengketa dengan cara litigasi yaitu penyelesaian sengketa
melalui lembaga peradilan atau sering disebut lembaga yudikatif merupakan
sebuah lembaga yang memiliki kemampuan untuk memberikan rasa keadilan
dalam masyarakat manakala lembaga tersebut digunakan sebagai upaya untuk
menyelesaikan sengketa atau konflik.44 Lembaga ini merupakan tumpuan keadilan
bagi seluruh lapisan masyarakat yang mendambakan keadilan. Pengadilan
merupakan tumpuan harapan terakhir para pencari keadilan atau pihak-pihak yang
bersengketa. Dalam tugasnya memberikan pelayanan hukum dan keadilan kepada
masyarakat, pengadilan mempunyai tugas-tugas utama secara normatif antara lain
: Pertama, memberikan perlakuan yang adil dan manusiawi kepada pencari
keadilan. Kedua, memberikan pelayanan yang baik dan bantuan yang diperlukan
bagi pencari keadilan. Ketiga, memberikan penyelesaian perkara secara efektif,
efisien, tuntas, dan final. Sehingga memuaskan semua pihak dan masyarakat.45
Namun terdapat berbagai macam kritik mengenai penyelesaian sengketa
hukum melalui mekanisme peradilan, kelambanan penyelesaian sengketa oleh
lembaga peradilan merupakan “penyakit kronis” yang sudah lazim di banyak
negara. Rata-rata waktu yang dibutuhkan untuk penyelesaian sengketa sampai

44
Solih Mu’adi. 2010. Penyelesaian Sengketa Hak Atas Tanah Perkebunan dengan cara
Litigasi dan Non Litigasi. Jakarta: Prestasi Pustakaraya. Hlm. 54.
45
Mukti Arto, A. 2001. Mencari Keadilan, Kritik, dan Solusi Terhadap Praktik Peradilan
Perdata di Indonesia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Hlm. 12-13.
50

adanya putusan yang mempunyai kekuatan hukum tetap harus menunggu cukup
lama. Sehingga untuk menyelesaikan kasus tumpang tindih lahan pertambangan
dengan lahan perkebunan, penyelesaian sengketa melalui lembaga peradilan
kurang efektif karena memakan waktu yang lama, biaya yang tinggi, dan kurang
adanya keadilan bagi masing-masing pihak.
Alternatif penyelesaian sengketa (Alternative Dispute Responsibility) atau
penyelesaian sengketa dengan cara non litigasi merupakan ekspresi responsif atas
ketidakpuasan penyelesaian sengketa melalui proses litigasi yang konfrontatif dan
rumit. Dalam penyelesaian sengketa tumpang tindih lahan pertambangan dengan
lahan perkebunan, penulis menawarkan penyelesaian sengketa dengan cara non
litigasi atau alternatif penyelesai sengketa yang lebih memakan biaya yang murah,
waktu yang lebih cepat, dan tidak rumit.
Alternatif penyelesaian sengketa dengan cara non litigasi mempunyai
berbagai macam cara, antara lain :
1. Negosiasi
Negosiasi adalah penyelesaian sengketa melalui perundingan langsung antara
para pihak yang bersengketa guna mencari atau menemukan bentuk-bentuk
penyelesaian yang dapat diterima pihak-pihak yang bersangkutan.46 Dalam
negosiasi para pihak yang bersengketa berunding secara langsung (dengan
didampingi pengacaranya masing-masing) tanpa perantaraan pihak ketiga dalam
menentukan kata akhir penyelesaian sengketa. Penyelesaian sepenuhnya dikontrol
oleh para pihak sendiri atas dasar prinsip “win-win”. Negosiasi bersifat informal
dan tidak terstruktur serta waktunya pun tidak terbatas. Efisiensi dan efektifitas
kelangsungan negosiasi tergantung sepenuhnya kepada para pihak.
Sedangkan Gulliver berpandangan bahwa :
“negosiasi merupakan bagian penting penyelesaian sengketa yang
terus menerus dengan tahapan-tahapan sebagaimana yang ada dalam
bagan tersebut yakni mulai dari perbedaan pendapat sampai dengan
munculnya sengketa dan penyelesaian yang dilakukan dengan cara
negosiasi”.47

46
Sholiah Mu’adi. Ibid. Hlm. 74
47
Sholiah Mu’adi. Ibid. Hlm. 76
51

Penyelesaian sengketa dalam kasus ini jika menggunakan cara negosiasi, para
pihak dari pertambangan maupun perkebunan berkumpul dalam suatu waktu dan
tempat dengan didampingi masing-masing pengacaranya menyelesaikan sengketa
tumpang tindih. Penyelesaiannya dapat berupa ganti rugi atas lahan yang
ditumpangi oleh lahan lain, dan ganti rugi tersebut harus berdasarkan kesepakatan
kedua belah pihak dan masing-masing pihak saling diuntungkan dan tidak ada
yang dirugikan. Penyelesaian sengketa melalui media negosiasi tidak hanya
terbatas mempertimbangkan aspek-aspek hukum semata, melainkan juga faktor-
faktor non hukum. Pada tataran negosiasi sengketa, dapat saja unsur-unsur hukum
tidak terlalu dipersoalkan asalkan sengketa tersebut mampu diselesaikan dengan
baik tanpa merugikan para pihak. Secara yuridis, hasil negosiasi tidak mengikat.
Pemenuhan hasil negosiasi bergantung pada itikad baik masing-masing pihak.
2. Mediasi
Mediasi merupakan upaya penyelesaian sengketa melalui perundingan
dengan bantuan pihak ketiga netral (mediator) guna mencari penyelesaian yang
dapat disepakati para pihak. Peran mediator dalam mediasi adalah memberikan
bantuan substansif dan prosedural kepada para pihak yang bersengketa.48 Namun,
dalam hal ini mediator tidak mempunyai kewenangan untuk memutus atau
menerapkan suatu bentuk penyelesaian. Mediator hanya memfalisitasi proses
penyelesaian sengketa melalui mediasi. Pada prinsipnya, mediasi adalah negosiasi
yang melibatkan pihak penengah (mediator) yang netral dan tidak memihak serta
dapat membantu para pihak untuk melakukan tawar-menawar secara seimbang.
Menurut Christopher W. Moore, terdapat 12 (dua belas) faktor yang
menyebabkan proses mediasi menjadi efektif. 12 (dua belas) faktor itu antara lain
:49
1. Para pihak yang bersengketa memiliki sejarah pernah bekerjasama dan
berhasil dalam menyelesaikan masalah mengenai beberapa hal.
2. Para pihak tidak memiliki sejarah panjang saling menggugat di pengadilan
sebelum melakukan proses mediasi.

48
Sholih Mu’adi. Ibid. Hlm. 77.
49
Sholih Mu’adi. Ibid. Hlm. 78.
52

3. Jumlah pihak yang terlibat dalam sengketa tidak meluas sampai pada pihak-
pihak yang berada diluar masalah.
4. Pihak-pihak yang terlibat dalam sengketa telah sepakat untuk membatasi
permasalahan yang akan dibahas.
5. Para pihak mempunyai keinginan besar untuk menyelesaikan masalah
mereka.
6. Para pihak telah mempunyai atau akan mempunyai hubungan lebih lanjut di
masa yang akan datang.
7. Tingkat kemarahan dari para pihak masih dalam batas normal.
8. Para pihak bersedia menerima bantuan dari pihak ketiga.
9. Terdapat alasan-alasan yang kuat untuk menyelesaikan sengketa.
10. Para pihak tidak memiliki persoalan psikologis yang benar-benar
mengganggu hubungan mereka.
11. Terdapat sumberdaya untuk tercapainya sebuah kompromi.
12. Para pihak memiliki kemauan untuk saling menghargai.
Telah dikemukakan diatas bahwa proses mediasi lebih banyak kelebihan
dibandingkan dengan berperkara melalui proses peradilan. Ada berbagai
keuntungan lain mediasi yang dikemukakan oleh Ketua Mahkamah Agung
diantaranya adalah :50
1. Ada dua azas penting dalam mediasi. Pertama, menghindari “menang kalah”
melainkan “sama-sama menang” (win-win solution). Sama-sama menang
tidak saja dalam arti ekonomi atau keuangan semata, melainkan termasuk
juga kemenangan moril dan reputasi (nama baik dan kepercayaan). Kedua,
putusan tidak mengutamakan pertimbangan dan alasan hukum. Melainkan
atas dasar kesejajaran kepatutan dan rasa keadilan.
2. Telah pula dikemukakan, penyelesaian melalui mediasi mempersingkat waktu
penyelesaian dibandingkan berperkara di pengadilan. Perpanjang-panjang
waktu dalam berperkara tidak semata-mata beban ekonomi keuangan semata.
Tidak kalah pentingnya adalah beban psikologis yang akan mempengaruhi
berbagai sikap dan kegiatan pihak yang berperkara.

50
Sholih Mu’adi. Ibid. Hlm. 79.
53

3. Bagi masyarakat Indonesia, berperkara di pengadilan menimbulkan efek


sosial yaitu putusnya tali silaturahmi (hubungan persaudaraan atau hubungan
sosial). Bukan saja antar pihak yang berperkara, efek sosial dapat meluas
sampai kepada hubungan kekerabatan yang lebih luas. Hal ini dapat terjadi
karena suatu perkara bukan saja menjadi kepentingan dan “harga diri” yang
berperkara, melainkan dapat merambat kepada kerabat. Suatu perkara bukan
hanya melukai pihak-pihak melainkan juga kerabat, dengan cara mediasi
inilah hal-hal tersebut dapat dihindari. Hubungan silaturahmi yang retak dapat
direkatkan kembali.
4. Mediasi sangat sesuai dengan dasar pergaulan sosial masyarakat Indonesia
yang mengutamakan dasar kekerabatan, paguyuban, kekeluargaan, dan
gotong-royong. Dasar-dasar tersebut telah membentuk tingkah laku toleransi,
mudah memaafkan, dan mengkedepankan sikap mendahulukan kepentingan
bersama (komunal). Mediasi merupakan instrumen yang baik untuk
menyelesaikan dan menjaga dasar-dasar kekerabatan, paguyuban atau
kekeluargaan.
5. Mediasi merupakan gejala global. Menyadari peliknya berperkara (ongkos,
waktu, hukum yang makin kompleks, reputasi, dan lain-lain). Maka mediasi
sebagai alternatif cara penyelesaian sengketa yang telah berkembang
mengglobal. Baik sebagai keluarga bangsa-bangsa, maupun sebagai bagian
dari tata cara hubungan hukum secara internasional. Baik sebagai keluarga
bangsa-bangsa, maupun sebagai bagian dari tata cara hubungan hukum secara
internasional. Mediasi merupakan cara yang tepat menyelesaikan sengketa-
sengketa perniagaan lintas nasional.
6. Dipandang dari sudut penyelenggaraan peradilan, ada beberapa keuntungan
mediasi. Pertama, makin banyak sengketa yang dapat diselesaikan melalui
mediasi akan mengurangi tekanan jumlah perkara yang masuk ke pengadilan.
Hal ini akan berpengaruh pada kemungkinan penunggakan dalam
penyelesaian perkara. Hakim mempunyai kesempatan mendalami setiap
perkara yang akan meningkatkan mutu putusan, baik untuk kepentingan
perkembangan hukum maupun untuk kepentingan pihak yang berperkara.
54

Kedua, pada tingkat kepercayaan sosial yang rendah terhadap reputasi hakum,
mediasi merupakan salah satu alat penangkal karena penyelesaian mediasi
ditentukan oleh pihak-pihak yang bersengketa bukan oleh hakim. Ketiga,
secara berangsur-angsur berperkara di pengadilan dapat lebih diarahkan pada
persoalan-persoalan hukum (bukan nilai perkara) yang kompleks dan
mendasar yang akan mempengaruhi perkembangan hukum bahkan ilmu
hukum.
Meskipun demikian, mediasi mengandung pula beberapa kelemahan. Seperti:
pertama, kemungkinan terjadinya kolusi diantara salah satu pihak yang
bersengketa karena sifat mediasi yang sukarela dan bukan wajib untuk dilakukan.
Kedua, terhadap kesepakatan yang dicapai dalam mediasi mungkin tidak dapat
dilaksanakan sebab tidak adanya kekuatan. Ketiga, kesepakatan mediasi bisa
disalahgunakan sehingga sebagai bagian dari alternatif penyelesaian sengketa bisa
mengalami penyalahgunaan.
Penyelesaian sengketa tumpang tindih lahan pertambangan dengan lahan
perkebunan jika menggunakan penyelesaian sengketa secara mediasi dapat
digunakan dengan efektif. Karena dalam proses media, orang ketiga yang netral
atau seorang mediator berperan aktif dalam memberikan gagasan-gagasan guna
menyelesaikan sengketa tumpang tindih lahan tersebut. Gagasan-gagasan tersebut
dapat berupa penggantian kerugian atas lahan yang ditumpangi dengan lahan lain,
penggantian kerugian berdasarkan kesepakatan masing-masing pihak. Asal
kesepakatan tersebut tidak merugikan para pihak.
3. Konsiliasi
Konsiliasi merupakan upaya penyelesaikan sengketa melalui perundingan
dengan melibatkan pihak ketiga yang netral untuk membantu para pihak yang
bersengketa dalam menemukan bentuk-bentuk penyelesaian yang dapat disepakati
para pihak.51 Pihak ketiga yang dimaksud adalah seorang konsiliator, kedudukan
seorang konsiliator dalam proses konsiliasi hanyalah memainkan peran pasif.
Sama halnya dengan proses mediasi, sedangkan mediator memainkan peran aktif
dalam membantu para pihak untuk menyelesaikan sengketa. Dalam praktik, antara

51
Sholih Mu’adi. Ibid. Hlm. 83.
55

konsiliasi dan mediasi tidak terdapat perbedaan yang principal. Bahkan keduanya
cenderung saling dipertukarkan.
Penyelesaian sengketa tumpang tindih lahan pertambangan dengan lahan
perkebuna jika menggunakan penyelesaian sengketa secara konsiliasi terkesan
kurang efektif karena pihak ketiga yang netral atau seorang konsiliator hanya
bersifat pasif, pasif yang artinya menyerahkan seluruhnya penyelesaian kepada
para pihak. Seorang konsiliator tidak memberikan gagasan-gagasan atau ide-ide
guna menyelesaikan sengketa tersebut.
4. Arbitrasi
Penyelesaian sengketa melalu arbitrasi berarti dengan cara menyerahkan
kepada pihak ketiga yang netral yang mempunyai wewenang untuk memutuskan,
pihak ketiga yang netral tersebut adalah seorang arbitrator.52 Dengan memilih
penyelesaian sengketa secara arbitrasi, para pihak yang bersengketa memberikan
kewenangan sepenuhnya kepada seorang arbitrator guna menyelesaikan sengketa.
Secara umum, penyelesaian sengketa secara arbitrasi sebagaimana pula mediasi
merupakan metode alternatif penyelesaian sengketa yang sangat menguntungkan.
Sebab penyelesaian sengketa secara arbitrasi memakan biaya yang murah dan
tidak memakan waktu yang banyak serta pengaturan mengenai jalannya proses
arbitrasi, tempat, dan waktunya ditentukan oleh para pihak yang bersengketa.
Namun penyelesaian sengketa dengan cara arbitrasi juga memiliki
kelemahan, antara lain :53
1. Keputusan atas pengadilan arbitrasi tidak mempunyai kekuatan hukum yang
mengikat, yang untuk beberapa kasus penting akan kekuatan hukumnya.
2. Prosedur peradilan arbitrasi yang menghilangkan perlindungan terhadap
pihak yang mendapatkan pertanyaan-pertanyaan yang tidak adil. Artinya,
pertanyaan-pertanyaan yang bersifat pribadi.
Terhadap berbagai bentuk alternatif penyelesaian sengketa yang sudah dijelaskan
diatas, yang terdiri dari negosiasi, mediasi, konsiliasi, dan arbitrasi. Dapat ditarik
perbedaan-perbedaan sebagai berikut ini :54

52
Sholih Mu’adi. Ibid. Hlm. 84.
53
Sholih Mu’adi. Ibid. Hlm. 85.
56

1. Antara bentuk-bentuk alternatif penyelesaian sengketa berdasarkan


pendekatan konsensus, yakni negosiasi, konsiliasi, dan mediasi disatu pihak
dengan arbitrasi yang bersifat “adversial” dipihak lain.
2. Antara bentuk-bentuk alternatif penyelesaian sengketa yang melibatkan pihak
ketiga yang netral, yaitu konsiliasi, mediasi, dan arbitrasi disatu pihak dengan
bentuk alternatif penyelesaian sengketa yang tidak melibatkan pihak ketiga,
yaitu negosiasi.
3. Antara bentuk-bentuk alternatif penyelesaian sengketa yang melibatkan pihak
ketiga netral yang tidak mempunyai kewenangan untuk memutuskan, yaitu
konsiliasi dan mediasi di satu sisi dengan yang mempunyai kewenangan
untuk memutuskan, yaitu arbitrasi disisi yang lain.
4. Antara bentuk-bentuk alternatif penyelesaian sengketa yang melibatkan pihak
ketiga netral berdasarkan tingkatan atau sederajad perannya dari yang paling
pasif, yaitu konsiliasi disatu sisi dengan yang paling aktif, yaitu arbitrasi
disisi yang lain.
Dasar-dasar penyelesaian sengketa kasus tumpang tindih lahan pertambangan
dengan lahan perkebunan berdasarkan penjelasan diatas alternatif penyelesaian
sengketa dengan cara mediasi merupakan yang utama dan efektif, karena
penyelesaian sengketa dengan cara mediasi mempunyai banyak keuntungan
daripada alternatif penyelesaian sengketa yang lain. Sedangkan penyelesaian
sengketa dengan cara litigasi adalah penyelesaian konvensional setelah
penyelesaian sengketa dengan cara mediasi tidak dimungkinkan lagi.
Namun didalam prakteknya yang terjadi dalam kasus-kasus tumpang tindih
lahan pertambangan dengan lahan perkebunan antara PT. Sajang Heulang
(Penggugat) dengan PT. Anzawara Satria (Tergugat I), Kepala Desa Bunati
(Tergugat II), Kepala Desa Angsana (Tergugat III), dan Ketua BPD Bunati
(Tergugat IV). Kasus Kedua antara PT. Sawit Kaltim Lestari (Penggugat) dengan
Bupati Kutai Kartanegara (Tergugat I), dan PT. Sedulang Raya (Tergugat II). Dan
Kasus ketiga antara PT. Sawil Kaltim Lestari (Penggugat) dengan Bupati Kutai
Kartanegara (Tergugat I), dan PT. Tri Agatona (Tergugat II). Dari contoh ketiga

54
Sholih Mu’adi. Ibid. Hlm. 86.
57

kasus tersebut, masing-masing pihak telah menempuh jalur alternatif penyelesaian


sengketa namun tidak berujung kata sepakat. Pihak yang bersengketa masih
mempertahankan ego masing-masing, dan dirasa alternatif penyelesaian sengketa
tidak memberikan penyelesaian. Sehingga masing-masing pihak sepakat untuk
menyelesaikan melalui jalur litigasi yang dirasa keputusannya memiliki kekuatan
hukum yang final dan banding, serta tidak adanya asas keadilan bagi masing-
masing pihak yang bersengketa.
Selain alternatif penyelesaian sengketa secara non-litigasi diatas, alternatif
penyelesaian sengketa tumpang tindih lahan dapat pula meminta kejelasan kepada
menteri terkait tentang status tanah tersebut dan siapa yang berhak terlebih dahulu
untuk memanfaatkan lahan tersebut. Sehingga jelas bahwa pihak mana yang
terlebih dahulu mengajukan permohonan, baik pihak dari pertambangan maupun
pihak dari perkebunan. Selain itu, harus ada penataan ulang kewenangan dalam
administrasi di bidang pertanahan. Penataan kewenangan yang menunjuk pejabat
yang berwenang dalam menerbitkan izin pemanfaatan lahan pertambangan
maupun perkebunan, penunjukan dilakukan oleh Presiden selaku pusat
Pemerintahan.
Sengketa Tumpang tindih Lahan Pertambangan dengan Lahan Perkebunan
merupakan sengketa di bidang Perdata dan bidang Tata Usaha Negara. Bidang
perdata yang mencakup tumpang tindih hak atas tanah antara Lahan
Pertambangan dengan Lahan Perkebunan. Bidang Tata Usaha Negara yang
mencakup tumpang tindih izin usaha yang diterbitkan oleh pejabat yang
berwenang. Sehingga penyelesaian sengketa Tumpang tindih Lahan
Pertambangan dengan Lahan Perkebunan harus diselesaikan secara perdata di
pengadilan negeri terlebih dahulu, setelah hak atas tanahnya tidak tumpang tindih
barulah menyelesaikan tumpang tindih izin usahanya. Dari penjelasan diatas,
penyelesaian sengketa tumpang tindih lahan pertambangan dengan lahan
perkebunan dapat diselesaikan dengan cara litigasi dan non litigasi. Namun, para
pihak yang bersengketa lebih memilih penyelesaian sengketa secara litigasi karena
putusan pengadilan lebih memiliki kekuatan hukum yang mengikat, adanya
lanjutan atas putusan pengadilan, dan adanya keadilan diantara para pihak. Para
58

pihak tidak memilih penyelesaian secara non litigasi karena masing-masing pihak
masih mempertahankan egonya, tidak adanya kesadaran ingin menyelesaikan
sengketa, dan hasil dari alternatif penyelesaian sengketa tidak memiliki kekuatan
hukum yang mengikat para pihak sehingga para pihak bisa untuk tidak
melaksanakan hasil dari alternatif penyelesaian sengketa tersebut.

3.3. Konstruksi Hukum dalam Penataan Pemanfaatan Lahan untuk


Pertambangan dan Perkebunan
Sengketa kasus tumpang tindih lahan di Indonesia khususnya tumpang tindih
lahan pertambangan dengan lahan perkebunan tidak serta merta karena kesalahan
dari para pihak, namun terdapat berbagai faktor. Elza syarief dalam bukunya yang
berjudul “Menuntaskan Sengketa Tanah” mengemukakan pendapat bahwa, secara
umum sengketa tanah timbul akibat faktor-faktor sebagai berikut :55
1. Peraturan yang belum lengkap;
2. Ketidaksesuaian peraturan;
3. Pejabat pertanahan yang kurang tanggap terhadap kebutuhan dan jumlah
tanah yang tersedia;
4. Data yang kurang akurat dan kurang lengkap;
5. Data tanah yang keliru;
6. Keterbatasan sumber daya manusia yang bertugas menyelesaikan
sengketa tanah;
7. Transaksi tanah yang keliru;
8. Ulah pemohon hak; dan
9. Adanya penyelesaian dari instansi lain sehingga terjadi tumpang tindih
kewenangan.
Menurut Bernhard Limbong, mengemukakan dua hal penting dalam sengketa
pertanahan yaitu sengketa pertanahan secara umum dan sengketa pertanahan
secara khusus sebagai berikut :56
A. Secara Umum (Faktor Hukum)
55
Elza Syarief. 2012. Menuntaskan Sengketa Tanah Melalui Pengadilan Khusus Pertanahan.
Jakarta: Keputaskaan Populer Gramedia. Hlm. 28.
56
Elza Syarief. Ibid. Hlm. 29.
59

1. Regulasi Kurang Memadai


Regulasi di bidang pertanahan belum seutuhnya mengacu pada nilai-
nilai dasar Pancasila dan filosofi Pasal 33 UUD 1945 tentang moral,
keadilan, hak asasi, dan kesejahteraan. Disisi lain penegakan hukum
kerap kali berhenti pada mekanisme formal dari aturan hukum dan
mengabaikan nilai-nilai substansinya.
2. Tumpang Tindih Peradilan
Saat ini terdapat tiga lembaga peradilan yang dapat menangani suatu
sengketa pertanahan yaitu, Peradilan Perdata, Peradilan Pidana, dan
Peradilan Tata Usaha Negara. Dalam suatu sengketa tertentu, salah
satu pihak yang menang secara perdata belum tentu menang secara
pidana maupun tata usaha negara. Selain itu, sumber daya aparatur
agrarian juga merupakan hal yang dapat memicu timbulnya
sengketa.
3. Penyelesaian dan Birokrasi Berbelit-belit
Penyelesaian perkara melalui pengadilan di Indonesia melelahkan,
biaya yang tinggi, dan waktu penyelesaian yang lama apalagi bila
terjebak dengan mafia peradilan. Maka keadilan tidak berpihak pada
yang benar, hal ini tentunya tidak sesuai lagi dengan prinsip
peradilan kita yang sederhana, cepat, dan berbiaya murah. Karena
kondisinya saat ini dalam berurusan dengan pengadilan tidaklah
sederhana. Birokrasi pengadilan yang berbelit-belit dan lama serta
biaya yang mahal.
4. Tumpang Tindih Peraturan
UUPA sebagai induk dari peraturan sumber daya agrarian lainnya
khususnya tanah, namun sejalannya waktu dibuatlah peraturan
perundang-undangan yang berkaitan dengan sumber daya agrarian
tetapi tidak menempatkan UUPA sebagai undang-undang induknya.
Bahkan justru menempatkan UUPA sejajar dengan undang-undang
agrarian lainnya. Struktur hukum agrarian menjadi tumpang tindih,
UUPA yang awalnya merupakan payung hukum bagi kebijakan
60

pertanahan di Indonesia menjadi tidak berfungsi dan bahkan secara


substansial terdapat pertentangan dengan diterbitkannya peraturan
perundang-undangan sektoral.
A. Secara Khusus (Faktor Non Hukum)
1. Tumpang Tindih Penggunaan Tanah
Pertumbuhan penduduk yang cepat mengakibatkan jumlah penduduk
bertambah, sedangkan produksi pangan berkurang akibat berubahnya
fungsi tanah pertanian. Pemerintah yang juga terus-menerus
menyelenggarakan proyek pembangunan, tidak dapat dihindarkan
lagi jika sebidang tanah yang sama memiliki ataupun timbul
kepentingan yang berbeda. Itulah mengapa pertumbuhan sengketa
tanah yang terus meningkat.
2. Nilai ekonomis Tanah yang Tinggi
Sejak masa orde baru, nilai ekonomis tanah semakin tinggi. Hal ini
terkait dengan politik peningkatan pertumbuhan ekonomi yang
dicanangkan Pemerintah dengan menitikberatkan pada
pembangunan. Pemerintah orde baru menetapkan kebijakan berupa
tanah sebagai bagian dari sumber daya agraria tidak lagi menjadi
sumber produksi atau tanah tidak lagi untuk kemakmuran rakyat,
melainkan tanah sebagai aset pembangunan demi mengejar
pertumbuhan ekonomi yang bahkan kebijakan itu sangat merugikan
rakyat.
Fungsi sosial tanah pun dikesampingkan karena semuanya
berorientasi pada bisnis. Kebijaka Pemerintah orde baru dapat
menimbulkan sengketa penguasaan sumber daya agrarian antara
pemilik tanah dalam hal ini rakyat dengan para pemilik modal yang
difasilitasi pemerintah.
3. Kesadaran Masyarakat Meningkat
Perkembangan global serta peningkatan perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi berpengaruh pada peningkatan kesadaran
masyarakat, pola pikir masyarakat terhadap penguasaan tanahpun
61

ikut berubah. Terkait dengan tanah sebagai aset pembangunan, maka


muncul perubahan pola pikir masyarakat terhadap penguasaan tanah,
yaitu tidak lagi menempatkan tanah sebagai sumber produksi akan
tetapi menjadikan tanah sebagai sarana untuk investasi atau
komoditas ekonomi. Jika sebelumnya pemberian ganti rugi dalam
pengadaan tanah untuk pembangunan kepentingan hanya diberikan
“seadanya” bahkan diserahkan dengan sukarela dan cuma-cuma,
pelan-pelan berubah mengacu pada NJOP (Nilai Jual Objek Pajak).
Belakangan masyarakat menuntut adanya pemberian ganti rugi
berdasarkan harga pasar bahkan lebih dari pada itu dengan menuntut
pemberian kompensasi berupa pemukiman kembali yang lengkap
dengan fasilitas yang kurang lebih sama dengan tempat asal mereka
yang dijadikan areal pembangunan.
4. Tanah Tetap, Penduduk Bertambah
Pertumbuhan penduduk yang sangat cepat, baik melalui kelahiran
maupun migrasi serta urbanisasi. Sementara luas lahan yang relatif
tetap, menjadikan tanah sebagai komoditas ekonomi yang nilainya
sangat tinggi. Sehingga setiap jengkal tanah dipertahankan mati-
matian.
5. Kemiskinan
Kemiskinan merupakan masalah kompleks yang dipengaruhi oleh
berbagai faktor yang berkaitan. Dalam memenuhi kebutuhan
pertanahan, masyarakat miskin menghadapi masalah ketimpangan
struktur penguasaan dan pemilikan tanah. Serta ketidakpastian dalam
penguasaan dan pemilikan lahan pertanian. Padahal kehidupan
rumah tangga petani sangat dipengaruhi oleh aksesnya terhadap
tanah dan kemampuan mobilitas anggota keluarganya untuk bekerja
diatas tanah pertanian. Oleh sebab itu, meningkatnya petani
mencerminkan kemiskinan di perdesaan.
Dari berbagai faktor-faktor penyebab terjadinya sengketa pertanahan
khususnya sengketa tumpang tindih lahan pertambangan dengan lahan
62

perkebunan, penulis mencoba menawarkan beberapa pengkonstruksian hukum


berdasarkan fakta yang terjadi dan peraturan perundang-undangan yang terkait.
Beberapa pengkonstruksian hukum tersebut, antara lain :
1. Kebijakan Satu Jendela (Single Windows Policy)
Berasal dari satu jendela yang artinya Pemerintah Pusat sebagai pusat
koordinasi harus menentukan otoritas Pejabat yang berwenang dalam
menerbitkan izin terkait dengan lahan usaha dalam bidang pertanahan.
Sehingga pemohon usaha baik dalam bidang pertambangan, perkebunan,
dan bidang usaha lainnya sebelum melakukan usahanya harus
mengajukan permohonan izin terkait bidang usahanya kepada Pejabat
berwenang dari instansi tertentu yang telah ditunjuk oleh Pemerintah
Pusat yang dalam hal ini Presiden, Pejabat yang kewenangannya
memberikan izin pemanfaatan lahan dalam bidang pertanahan. Sehingga
tidak terjadi disharmonisasi antara masing-masing Pejabat yang saat ini
berwenang menerbitkan izin pemanfaatan lahan untuk usaha
pertambangan, perkebunan, dan bidang usaha lainnya.
2. Adanya koordinasi antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah
Adanya koordinasi antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah
berkaitan dengan izin yang akan dikeluarkan pejabat yang berwenang
apabila lahan yang digunakan untuk usaha pertambangan maupun usaha
perkebunan terdapat di satu lahan yang sama. Karena dalam prakteknya
seakan-akan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah terkesan tidak
adanya koordinasi, sebagai bukti terdapat tumpang tindih kewenangan
yang diterbitkan oleh pejabat yang berwenang dalam hal penerbitan izin
usaha pertambangan maupun izin usaha perkebunan. Sehingga sudah
seharusnya sebelum pejabat yang berwenang yang dalam hal ini Menteri,
Gubernur ataupun Bupati/walikota sesuai dengan wilayah usahanya
mengeluarkan izin haruslah saling berkoordinasi. Sehingga tidak adanya
tumpang tindih surat keputusan atas diterbitkannya izin untuk usaha
pertambangan maupun usaha perkebunan oleh pejabat yang berwenang.
63

3. Kebijakan Satu Peta (One Map Policy) dalam Bidang Pertanahan


Sejumlah daerah di Indonesia banyak terjadi tumpang tindih kepemilikan
dan penguasaan lahan yang berpotensi menimbulkan konflik sosial, hal
ini disebabkan karena sejumlah instansi memiliki peta berdasarkan
sektoral dan kepentingan masing-masing. Sehingga dapat menimbulkan
masalah antara Pemerintah dengan pengusaha, pemerintah dengan
masyarakat, pengusaha dengan masyarakat, bahkan antar sesama instansi
pemerintahan. Kebijakan Satu Peta (One Map Policy) berdasarkan
Informasi Geospasial Tematik (yang selanjutnya disebut IGT) yang
dibangun tidak merujuk pada satu sumber rujukan Peta Dasar (Peta
Rupabumi). Sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 6 Undang-Undang
Nomor 4 Tahun 2011 Tentang Informasi Geospasial pengertian IGT
adalah Informasi Geospasial yang menggambarkan satu atau lebih tema
tertentu yang dibuat mengacu pada Informasi Geospasial Dasar.
Setidaknya terdapat empat Undang-Undang yang memuat dasar
informasi IGT yang menjadi dasar penguasaan lahan oleh sejumlah
instansi, antara lain Kementerian Kehutanan dengan berpedoman pada
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999, Kementerian Energi dan
Sumber Daya Mineral (ESDM) dengan mengacu pada Undang-Undang
Nomor 4 Tahun 2009, Kementerian Pertanian dengan mengacu pada
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014, dan Undang-Undang Nomor 41
Tahun 2009 Tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan
Berkelanjutan.
Selama ini IGT tidak merujuk pada Peta Dasar yang dibangun oleh
instansi yang berkompeten dan berkewenangan, maka IGT yang
dibangun tersebut akan menimbulkan kesimpangsiuran yang dapat
menimbulkan konflik. Sementara dari aspek non-teknis, akses data
geospasial tematik untuk pengurusan perizinan sektoral dari instansi-
instansi terkait masih sulit. Sehingga, penetapan perizinan lahan/kawasan
oleh salah satu instansi seringkali tidak didukung oleh informasi
perizinan lahan atau kawasan dari instansi lain. Atas dasar Peta Dasar
64

yang dimiliki masing-masing instansi terkait, maka Badan Informasi


Geospasial (BIG) mengintegrasikan ke dalam satu peta dasar (One Map).
Satu Peta Dasar tersebut dijadikan sebagai salah satu alternatif alat bantu
pemecah masalah konflik sosial akibat tumpang tindihnya Peta Dasar
kepemilikan atau penguasaan lahan. Satu Peta Dasar tersebut yang
nantinya akan memuat letak lahan untuk perkebunan, pertambangan,
perhutanan, dan usaha bidang lainnya. Sehingga nantinya akan lebih jelas
lokasi tersebut digunakan untuk usaha apa dan pejabat yang berwenang
dalam menerbitkan izinnya.
4. Pelaksanaan Inventarisasi dan Registrasi Penguasaan, Pemilikan,
Penggunaan, dan Pemanfaatan Tanah Negara (P4T)
Landasan hukum dari pelaksanaan kegiatan Inventarisasi dan Registrasi
P4T adalah berbagai peraturan yang berkaitan dengan upaya penataan
P4T. Masalah pertanahan merupakan salah satu sektor pembangunan
yang memerlukan penanganan yang sangat serius dan ekstra hati-hati dari
pemerintah. Diperlukannya ekstra kehati-hatian ini karena tanah
merupakan kebutuhan sangat vital bagi masyarakat, khususnya
masyarakat yang menggantungkan hidupnya pada tanah. Sebab posisi
pemerintah dalam menangani permasalahan pertanahan dihadapkan pada
masalah yang serba sulit. Pada sisi sebagai pemerintah, mempunyai
kewajiban untuk melindungi, mengatur ketertiban dan kesejahteraan
masyarakat dan pada sisi lain, tuntutan akselarasi pembangunan ekonomi
yang harus dipacu yang pada akhirnya membutuhkan sebagai tempat
pijakan segala aktivitas ekonomi tersebut.57
Sejak bergulirnya Era Reformasi Tahun 1998 yang ditandai dengan
tumbangnya rezim Orde Baru, segala pekerjaan rumah di segala bidang
pembangunan termasuk bidang pertanahan perlu dilakukan penataan
kembali. Terkait dengan adanya tuntutan reformasi di segala bidang
pembangunan tersebut, Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Tahun
2001 mengeluarkan suatu Ketetapan Nomor IX/ MPR/ 2001 tentang

57
Supriadi. 2006. Hukum Agraria. Jakarta: Sinar Grafika. Hlm. 84.
65

Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam. Pasal 2, Pasal


4 dan Pasal 5 ayat (1) Tap. MPR tersebut bertujuan untuk mewujudkan
konsepsi, kebijakan dan sistem pertanahan nasional yang utuh dan
terpadu, sehingga pengelolaan pertanahan benar-benar dapat menjadi
sumber bagi sebesar-besar kemakmuran rakyat sebagaimana yang
diamanatkan dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 dalam kerangka Negara
Republik Indonesia.58
Menindaklanjuti amanat Tap MPR No. IX/ MPR/ 2001 tentang
Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam tersebut,
Presiden selaku pemegang mandataris MPR dan pelaksana utama bidang
pembangunan termasuk di dalamnnya pembangunan bidang agraria,
Tahun 2003 mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 34 Tahun 2003
tentang Kebijakan Nasional di Bidang Pertanahan. Pasal 1 Keppres No.
34 Tahun 2003 menentukan dalam rangka mewujudkan konsepsi
kebijakan dan sistem pertanahan nasional yang utuh dan terpadu, serta
pelaksanaan Tap MPR No. IX/ MPR/ 2001, BPNsebagai instusi atau
lembaga pemerintah non departemen secara hukum bertanggung jawab
dalam mengatur dan menata pertanahan di seluruh Indonesia. Pasal 2
ayat (2) Keppres No 34 Tahun 2003 memberikan kewenangan kepada
BPN untuk :
a. Penyusunan Rancangan Undang-undang Penyempurnaan Undang-
undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok Agraria
dan Rancangan Undang-Undang tentang Hak Atas Tanah serta
peraturan perundang-undangan lainnya di bidang pertanahan.
b. Pembangunan sistem informasi dan manajemen pertanahan yang
meliputi :
1 Penyusunan basis data tanah-tanah aset negara/pemerintah daerah
di seluruh Indonesia.
2 Penyiapan aplikasi data tekstual dan spasial dalam pelayanan
pendaftaran tanah dan penyusunan basis data penguasaan dan

58
Supriadi. Ibid. Hlm. 85
66

pemilikan tanah, yang dihubungkan dengan e-government, e-


commerce, dan e-payment.
3 Pemetaan kadastral dalam rangka inventarisasi dan registrasi
penguasaan pemilikan penggunaan dan pemanfaatan tanah
dengan menggunakanteknologi citra satelit dan teknologi
informasi untuk menunjang kebijakan pelaksanaan landreform
dan pemberian hak atas tanah.
4 Pembangunan dan pengembangan pengelolaan penggunaan dan
pemanfaatan tanah melalui sistem informasi geografi dengan
mengutamakan zona sawah berigasi dalam rangka memelihara
ketahanan pangan nasional, pemetaan kadasteral dalam rangka
inventarisasi dan registrasi penguasaan, pemilikan, penggunaan
dan pemanfaatan tanah dengan menggunakan teknologi citra
satelit dan teknologi informasi untuk mununjang kebijakan
pelaksanaan landreform dan pemberian hak atas tanah.
BPN sebagai lembaga yang bertanggung jawab atas pengaturan masalah
pertanahan tersebut, mengeluarkan Keputusan Nomor 2 Tahun 2003
tentang Norma dan Standar Mekanisme ketatalaksanaan Kewenangan
Pemerintah di Bidang Pertanahan yang dilaksanakan oleh Pemerintah
Kabupaten/Kota. Kebijaksanaan di Bidang Pertanahan Nasional,
kebijakan ini menganut dualisme kewenangan, yakni kewenangan
pemerintah pusat dan kewenangan pemerintah daerah. Hak dan
kewenangan dari 2 (dua) struktur dari pelaksanaan masalah pertanahan
tersebut, yaitu pertama hak dan kewenangan BPN merumuskan 9
(sembilan) kebijakan untuk mengatur dan menyusun norma-norma dan/
atau standardisasi mekanisme ketatalaksanaan, kualitas produk dan
kuallifikasi sumber daya manusia, kedua, hak dan kewenangan
Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota melaksanakan 9 (sembilan)
kewenangan yang akan dilimpahkan dan dilaksanakan, antara lain :
1. Pemberian Izin Lokasi
2. Penyelenggaraan Pengadaan Tanah untuk Pembangunan
67

3. Penyelesaian Sengketa Tanah Garapan


4. Penyelesaian Ganti Kerugian dan Santunan Tanah untuk
Pembangunan
5. Penetapan Subjek dan Objek Redistribusi Tanah, serta Ganti
Kerugian Tanah, Kelebihan Tanah, dan Tanah Absentee
6. Penetapan dan Penyelesaian Masalah Tanah Alayat
7. Pemanfaatan dan Penyelesaian Masalah Tanah Kosong
8. Pemberian Izin Membuka Tanah
9. Perencanaan Penggunaan Tanah Wilayah Kabupaten/Kota
Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia (BPN RI) melalui Deputi
Bidang Pengaturan dan Penataan Pertanahan sesuai dengan Keputusan
Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 3 Tahun
2006 menetapkan bahwa tugas kedeputian tersebut adalah merumuskan
dan melaksanakan kebijakan di bidang pengaturan dan penataan
pertanahan. Berdasarkan peraturan tersebut salah satu fungsinya adalah
melaksanakan Inventarisasi Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan
Pemanfaatan Tanah (P4T) dan evaluasi tanah-tanah obyek Landreform.
Hal tersebut sesuai dengan Tap MPR-RI No. IX Tahun 2001, khususnya
Pasal 5 Ayat 1 huruf b dan Ayat 1 huruf c, Arah kebijakan pembaruan
agraria dimaksud adalah :
1. Ayat 1 huruf b menyatakan bahwa “Melaksanakan penataan kembali
penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah
(Landreform) yang berkeadilan dengan memperhatikan kepemilikan
tanah untuk rakyat”.
2. Ayat 1 huruf b menyatakan bahwa “Menyelenggarakan pendataan
pertanahan melalui Inventarisasi dan Registrasi penguasaan,
pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah secara komprehensif
dan sistematis dalam rangka pelaksanaan Landreform”.
Pelaksanaan tugas dan fungsi Badan Pertanahan di bidang Landreform
tersebut diperlukan kegiatan strategis yang sesuai amanat Tap MPR No.
IX/ 2001, yaitu : Inventarisasi Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan
68

Pemanfaatan Tanah (P4T). Tanpa ada informasi bidang demi bidang


dalam satu batas administrasi pemerintahan tertentu (desa/ kelurahan atau
kecamatan) sangat sulit untuk melaksanakan tugas dan fungsi tersebut,
khususnya menemukan tanah-tanah obyek Landreform. Data P4T yang
dikumpulkan secara sistematis dan disajikan secara spasial sangat
dibutuhkan dalam pelaksanaan kebijakan di bidang Landreform. Tujuan
Landreform adalah untuk mengadakan pembagian yang adil dan merata
atas sumber penghidupan rakyat yang berupa tanah, agar tercapai
pembagian hasil yang adil. Untuk mengantasipasi hal itu pemerintah
mengambil tanah-tanah bekas objek Landreform yang nantikan akan
dibagikan kepada rakyat terutama yang tidak punya tanah (landless
farmer) dan yang sedikit sekali mempunyai tanah (petani gurem/near
landless farmer) sebagaimana yang diatur dalam PP No. 224 tahun 1961.
Pelaksanaan Inventarisasi dan Registrasi Penguasaan, Pemilikan,
Penggunaan, dan Pemanfaatan Tanah Negara (P4T) diharapkan mampu
mendata seluruh Tanah Negara yang tersebar dibeberapa wilayah dan
menjadi jelas status tanah tersebut merupakan tanah negara atau tanah
milik perseorangan maupun badan hukum.
BAB IV
PENUTUP

4.1 Kesimpulan
Dari hasil pembahasan yang telah diuraikan diatas tentang Konstruksi Hukum
Penyelesaian Sengketa Tumpang Tindih Lahan Pertambangan dengan Lahan
Perkebunan, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :
1. Pengaturan dan kewenangan pemberian izin terhadap usaha pertambangan
diatur dalam :
A. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral
dan Batubara (UU Minerba), UU Minerba mengatur beberapa hal terkait
usaha pertambangan.
B. Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan
Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara.
Pengaturan dan kewenangan pemberian izin terhadap usaha perkebunan
diatur dalam :
A. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan, UU
Perkebunan mengatur beberapa hal terkait usaha perkebunan.
B. Peraturan Menteri Pertanian Nomor 98 Tahun 2013 tentang Pedoman
Perizinan Usaha Perkebunan.
2. Sengketa tumpang tindih lahan yang disebabkan atas terbitnya izin usaha baik
pertambangan maupun perkebunan di Indonesia banyak terjadi dan sampai
saat ini tidak banyak yang terselesaikan. Penyelesaian sengketa di Indonesia
mengenal dengan 2 (dua) cara, antara lain :
1. penyelesaian sengketa dengan cara litigasi
penyelesaian sengketa melalui pengadilan, yang mempunyai beberapa
kerugian dan keuntungan.
2. penyelesaian sengketa dengan cara non-litigasi, antara lain :
- negosiasi
- arbitrase
- mediasi

69
70

- konsiliasi
- dan meminta kejelasan kepada Menteri ESDM, Menteri Pertanian, dan
Menteri Agraria terkait lahan yang digunakan pihak mana yang
terlebih dahulu mengajukan permohonannya untuk usaha baik
pertambangan maupun perkebunan.
3. Dari berbagai faktor-faktor yang menjadi penyebab terjadi sengketa
pertanahan khususnya sengketa tumpang tindih lahan pertambangan dengan
lahan perkebunan, kelemahan administrasi dalam bidang pertanahan menjadi
penyebab terjadinya sengketa tumpang tindih lahan. Kelemahan administrasi
berupa lambatnya pengeluaran izin, disharmonisasinya peraturan perundang-
undangan terkait, dan kurangnya koordinasi antar pejabat-pejabat yang
berwenang dalam mengeluarkan izin baik dalam pertambangan maupun
perkebunan. Dari berbagai permasalahan-permasalahan diatas, beberapa
pengkonstruksian hukum berdasarkan fakta yang terjadi dan peraturan
perundang-undangan yang terkait. Beberapa pengkonstruksian hukum
tersebut, antara lain :
1. Kebijakan Satu Jendela (Single Windows policy)
2. Adanya Koordinasi antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah
3. Kebijakan Satu Peta (One Map Policy)
4. Pelaksanaan Inventarisasi dan Registrasi Penguasaan, Pemilikan,
Penggunaan, dan Pemanfaatan Tanah Negara (P4T)
Dari berbagai pengkonstruksian yang ditawarkan penulis, diharapkan mampu
membenahi permasalahan dalam bidang pertanahan yang selama ini tidak ada
penyelesaian yang signifikan. Sehingga permasalahan di bidang pertanahan
tidak berlanjut-lanjut dan tidak merugikan para pihak yang usahanya dalam
ini berkaitan dengan bidang pertanahan.

4.2 Saran
Berdasarkan pada permasalahan dan kesimpulan yang telah dikemukakan
diatas maka dapat diberikan saran, sebagai berikut :
71

1. Hendaknya Pemerintah pusat membuat Kebijakan Satu Jendela (One


Windows Policy), kebijakan yang dimana menunjuk pejabat yang dalam
hal ini berwenang menerbitkan izin usaha pertambangan maupun
perkebunan.
2. Hendaknya Adanya koordinasi antara Pemerintah Pusat dengan
Pemerintah Daerah agar tidak terjadi tumpang tindih kewenangan dalam
menerbitkan izin usaha pertambangan maupun usah perkebunan.
3. Hendaknya Pemerintah Pusat membuat Kebijakan Satu Peta (One Map
Policy), kebijakan yang dimana membuat satu peta dan didelegasikan
kepada pejabat yang telah ditunjuk yang berisi wilayah-wilayah yang
digunakan untuk usaha pertambangan maupun usaha perkebunan.
Sehingga jelas penggunaan lahan tersebut.
4. Hendaknya Menteri Agraria yang didelegasikan kepada Pemerintah
Daerah melaksanakan Inventarisasi dan Registrasi Penguasaan,
Pemilikan, Penggunaan, dan Pemanfaatan Tanah Negara (P4T), yang
artinya yang dalam hal ini berwenang dalam menerbitkan izin lahan
harus melakukan inventarisasi dalam hal penguasaan, pemilikan,
penggunaan, dan pemanfaatan lahan yang bertujuan untuk mendata
seluruh tanah negara yang tersebar dibeberapa wilayah dan menjadi jelas
status tanah tersebut merupakan tanah negara atau tanah milik
perseorangan ataupun badan hukum.
5. Hendaknya perusahaan pertambangan dan perusahaan perkebunan
sebelum melakukan usahanya terlebih dahulu melihat regulasi peraturan
terkait, sehingga tidak sampai menimbulkan sengketa.

Anda mungkin juga menyukai