Anda di halaman 1dari 5

GOOD MINING PRACTISE

Pertambangan berpotensi untuk menjadi agen perubahan (development agent) di suatu


daerah karena umumnya tambang berlokasi di daerah remote yang akhirnya dapat mebuka
akses dan meningkatkan infrastruktur di sekitar lokasi tersebut.

Aktivitas pertambangan haruslah dijalankan secara berkelanjutan karena sifatnya yang


temporary dan mengambil sumber daya yang tak pulh (unrenewable resources). Oleh
karenanya pemulihan lahan yang terganggu akibat aktivitas pertambangan harus
dioptimalkan sehingga menjadi lahan yang produktif. Selain itu, manfaat dari aktivitas
pertambangan perlu di konversi ke dalam bentuk lain (transformasi manfaat) agar
pembangunan tetap dapat berlanjut dan tetap memberikan kesejahteraan di daerah sekitarnya.

Kemudian konsep pemanfaatan mineral berkelanjutan ini akan berlandaskan pada isu
demokrasi, keadilan dan pemerataan yang sifatnya lintas generasi. Suatu konsep yang perlu
melibatkan seluruh stake holders. Ini juga adalah suatu konsep yang menekankan pentingnya
pengelolaan keteknikan, wawasan sosial kemasyarakatan, pendekatan lingkungan yang
terpadu dan kesemua hal ini dapat dilebur untuk diterapkan dalam praktek pengelolaan
tambang yang benar (Good Mining Practice).

Good Mining Practice dapat dijelaskan secara gamblang sebagai aktivitas


pertambangan yang memenuhi criteria, kaidah maupun norma-norma menambang yang tepat
sehingga pemanfaatan mineral memberikan hasil optimal dan mengurangi dampak negative
yang terjadi. Beberapa ciri Good Mining Practice antara lain:

 Penerapan prinsip konservasi dan nilai lindung lingkungan


 Kepedulian terhadap K3 (Kesehatan dan Keselamatan Kerja) terutama bagi
pekerjanya
 Meciptakan nilai tambah bagi pengembangan wilayah dan masyarakat sekitar
 Kepatuhan terhadap hukum dan perundangan yang berlaku
 Menggunakan standarisasi keteknikan dan teknologi pertambangan yang tepat dalam
aktivitasnya
 Pengembangan potensi dan kesejahteraan masyarakat setempat terutama dari
optimalisasn dan konversi pemanfaatan mineral
 Menjamin keberlanjutan kegiatan pembangunan setelah periode pasca tambang (mine
closure)
 Memberikan benefit yang memadai bagi investor

Sesuai dengan arahan untuk pelaksanaan good mining practice, salah satu hal yang
diutamakan adalah memberikan jaminan keselamatan dan kesehatan kerja untuk seluruh
karyawannya. Dan cara memberikan jaminan itu adalah denga memberikan pemahaman
tentang pentingnya keselamatan dan kesehatan kerja (K3) secara terus menerus sehingga
akan mampu membentuk safety culture.

Budaya (culture) merupakan obyek studi ilmu antropologi dan konsepnya bersifat luas
serta holistik. Budaya menggambarkan suatu kualitas yang sifatnya sangat khusus pada
kelompok manusia dari suatu generasi ke generasi berikutnya. Karena memiliki budaya inilah
umat manusia memiliki apa yang dikenal dengan peradapan (civilization).

Istilah budaya keselamatan (safety culture) pertama kali tertera dalam laporan yang
dibuat oleh International Nuclear Safety Advisory Group (INSAG) pada tahun 1987 yang
membahas peristiwa “Chernobyl”. Atas dasar itu, International Atom Energy Agency (IAEA)
menyusun konsep atau model dan metoda pengukuran Budaya Keselamatan untuk instalasi
nuklir, sehingga istilah Budaya Keselamatan menjadi dikenal secara internasional, khususnya
dalam bidang keselamatan dan kesehatan kerja (K3).

Safety culture is the product of individual and group values, attitudes, perceptions,
competencies and pattern of behavior that can determine the commitment to, and the style
and proficiency of an organization’s health and safety management system.

Budaya K3 di suatu perusahaan sebagai bagian dari budaya organisasi perusahaan bisa
dilihat dari tiga aspek, yaitu:

1. Aspek psikologis pekerja terhadap K3 (Psychological aspects, what people feel, what
is believe)

Aspek pertama, apa yang dirasakan seseorang sangat terkait dengan aspek Pribadi
(PERSON), seperti misalnya cara pikir, nilai, pengetahuan, motivasi, harapan, dan lain-lain.

2. Aspek perilaku K3 pekerja (Behavioral aspects, what people do, what is done)

Aspek kedua berkaitan erat dengan perilaku sehari-hari (BEHAVIOUR), seperti misalnya
perilaku sehari-hari di perusahaan, kebiasaan-kebiasaan dalam K3 dan sebagainya.

3. Aspek situasi atau organisasi dalam kaitan dengan K3 (Situational aspects, what
organizational has, what is said)

Aspek ketiga berkaitan erat dengan situasi lingkungan kerja (ENVIRONMENT) seperti apa
yang dimiliki perusahaan/organisasi mengenai K3, contohnya Sistem Manajemen K3, SOP,
Komite K3, peralatan, lingkungan kerja, dan sebagainya.

Ketiga aspek tersebut satu sama lainnya saling berinteraksi dan saling mempengaruhi.
Budaya K3 yang kuat tentunya akan ditandai dengan kuatnya tiga aspek tersebut. Oleh karena
itu, suatu perusahaan diharapkan mempunyai budaya yang selalu meningkatkan K3 secara
sinambung dimana K3 sudah menjadi nilai-nilai pribadi dan tampil dalam kehidupan sehari-
hari (continuous improvement culture, behavior based culture), bukan hanya menjadikan K3
sebagai bagian dari visi dan misi perusahaan yang tampak dari keberadaan sistem
manajemen, SOP dan lain-lain di perusahaan (organizational based culture, system based
culture), apalagi hanya menjadikan K3 sekedar mematuhi peraturan (compliance based
culture, rule based culture).

Ada beberapa teori yang berkaitan dengan kecelakaan kerja di Industri.

a. Teori Domino

Dalam buku Industrial Safety, David Colling, mendefiniskan kecelakaan kerja


(selanjutnya akan ditulis kecelakaan saja) sebagai berikut “Kejadian tak terkontrol atau tak
direncanakan yang disebabkan oleh faktor manusia, situasi, atau lingkungan, yang membuat
terganggunya proses kerja dengan atau tanpa berakibat pada cedera, sakit, kematian, atau
kerusakan properti kerja.”

Ada beberapa teori yang berkembang untuk menjelaskan terjadinya kecelakaan ini.
Salah satu yang ternama adalah yang diusulkan oleh H.W. Heinrich dengan teorinya yang
dikenal sebagai Teori Domino Heinrich. Dalam Teori Domino Heinrich, kecelakaan terdiri
atas lima faktor yang saling berhubungan: 1. Kondisi kerja; 2. Kelalaian manusia; 3.
Tindakan tidak aman; 4. Kecelakaan; 5. Cedera.

Kelima faktor ini tersusun layaknya kartu domino yang diberdirikan. Jika satu kartu
jatuh, maka kartu ini akan menimpa kartu lain hingga kelimanya akan roboh secara bersama.
Ilustrasi ini mirip dengan efek jatuhnya kartu blok domino, jika satu blok kartu domino
roboh, kejadian ini akan memicu peristiwa beruntun yang menyebabkan robohnya kartu blok
domino yang berikutnya.

Teori Domino Oleh Heinrich

Jadi teori ini menegaskan adanya hubungan antara factor penyebab kecelakaan yang
satu dengan factor yang berikutnya. Efek yang ditimbulkannya dapat sangat besar dan
merupakan potential accident

Menurut Heinrich, kunci untuk mencegah kecelakaan adalah dengan menghilangkan


tindakan tidak aman sebagai poin ketiga dari lima faktor penyebab kecelakaan. Menurut
penelitian yang dilakukannya, tindakan tidak aman ini menyumbang 98% penyebab
kecelakaan di lokasi kerja.

Jika kita menganalogikan dengan kondisi di tambang bawah tanah, teori ini sangat tepat
untuk merepresntatifkan potensi kecelakaan yang mungkin terjadi. Kondisi tidak aman
sebagai kartu domino awal jika tidak di handling dengan tepat tentunya akan menyebabkan
potensi kecelakaan. Potensi kecelakaan ini akan tetap tersimpan sampai benar-benar terjadi
kelalaian manusia. Dan kelalaian manusia ini akan juga menyebabkan adanya tindakan tidak
aman (unsafe act) sehingga akan memicu terjadinya kecelakaan.

b. Teori Swiss Cheese

Teori swiss Cheese adalah teori lain tentang kecelakaan kerja yang menekankan
penyebab kecelakaan pada kelalaian/kesalahan manusia (human errors). Teori ini dikenalkan
oleh James Reason dan membagi penyebab kelalaian/kesalahan manusia menjadi 4 tingkatan:
1. tindakan tidak aman (unsafe acts); 2. pra-kondisi yang dapat menyebabkan tindakan tidak
aman (preconditions for unsafe acts); 3. pengawasan yang tidak aman (unsafe supervision); 4.
pengaruh organisasi (organizational influences).

Teori ini memberikan informasi bagaimana suatu tindakan tidak aman dapat terjadi.
Informasi berikut, menunjukkan bagaimana terjadinya suatu tindakan tidak aman itu. Dalam
Swiss Cheese Model, berbagai macam types of human errors ini merepresentasikan lubang
pada sebuah keju. Jika keempat keju ini (unsafe act, preconditions for unsafe acts, unsafe
supervisions, and organizational influences) sama-sama mempunyai lubang, maka kecelakaan
menjadi tak terhindarkan.

Teori Swiss Cheese, Tiap Lubang Akan Berpotensi Menimbulkan Bahaya

Dalam berbagai aspek, teori ini mampu memberi banyak sumbangan atas pencegahan
kecelakaan kerja . Agar kecelakaan dapat dicegah, manajemen mesti mengenali secara
spesifik kemungkinan terjadinya kelalaian/kesalahan manusia pada tiap tahapan pekerjaan
yang dilakukan karyawan. Melalui pendekatan ini, karyawan tidak lagi menjadi pihak yang
melulu dipersalahkan jika suatu kecelakaan terjadi. Melalui Swiss Cheese Model, manajemen
yang justru dituntut untuk melakukan segala upaya yang diperlukan untuk melindungi
karyawannya.
c. Teori Gunung Es

Teori gunung es adalah salah satu teori yang sangat sesuai dengan kondisi kecelakaan
di pertambangan. Teori Kecelelakaan itu dapat diibaratkan sebagai gunung es, artinya hanya
bagian puncaknya saja yang terlihat. Padahal di bawah permukaan laut, justru terdapat
gunung es besar yang lebih berbahaya, karena dapat menjadi bahaya laten.

Gunung Es, Terlihat Aman di Permukaan, Tetapi Tidak Di bawah Permukaan

Teori ini juga sangat terkait dengan biaya yang dikeluarkan akibat timbulnya suaut
kecelakaan. Biaya yang ditimbulkan oleh suatu kecelakaan umumnya hanya terlihat dari
bagian atas saja yaitu biaya pengobatan, asuransi dan biaya kecelakaan. Padahal di bawah itu,
aka nada banyak kerugian yang ditimbulkan, mulai dari kerusakan alat, perkakas, delay
produksi, pengeluaran untuk penyediaan biaya perawatan, biaya investigasi, biaya legal dan
lainnya. Jadi akan muncul biaya lain lagi yang dapat lebih besar namun tak terlihat di
permukaan.

Anda mungkin juga menyukai