Anda di halaman 1dari 3

Nenek, Aku minta maaf

Pagi ini tidak berjalan seperti biasa. Awan hitam sibuk menyelimuti matahari, air tuhan
turunmembuat seluruh genteng rumah menjadi riuh. Aku bangun dengan mata sembab dan
rambut yang acak-acakan. Aku mengingat-ngingat kejadian semalam yang mengisi semua ruang
pikiranku. Mencoba mengulang kembali dari mana semuanya bermula.

Aku teringat waktu kecil aku dan kakakku selalu dititipkan oleh ayah dan ibu dirumah nenek.
Rumah nenek berada tepat di depan jalan yang lumayan ramai. Semua tetangga di jalan itu,
tidak ada yang tidak mengenal nenek. Nenek merupakan seorang yang memiliki jiwa sosial
yang tinggi kepada sesama tetangganya. Nenek juga sangat taat pada agama yang ia pegang
yaitu, islam. Karena selalu dititipkan di rumah nenek, aku sering menerima ajaran-ajaran agama
yang tidak sempat ibu dan ayahku ajarkan. Aku ingat skali waktu itu aku dan kakakku bermain
sampai lupa waktu untuk sholat. Ketika sampai dirumah nenek melontarkan pertanyaan
pertama yang membuat aku dan kakakku membisu.

“Furqan, naya sudah moko sholat ?”, tanya nenek kepadaku dan kakakku.

“Belum nek”, kataku dan kakakku kepada nenek.

“Kenapa belum sholat, sini ko berdua duduk di sini”, nenek menyuruh aku dan kakaku duduk di
laintai. sembari ia mengambil sesuatu di kamarnya dan melanturkan segala ceramah tentang
pentingnya sholat.

Ternyata nenek mengambil sebuah kayu. Aku dan kakakku terdiam takut melihat nenek
membawa kayu kearah kami. Nenek bilang sholat itu sangat penting.

“Bermain boleh, tapi jangan sampai lupa sholat, karena sholatlah yang nanti akan kalian bawa
diakhirat”, kata nenek kepada kami.

Lalu nenek bertanya berapa rakaat yang kalian lewatkan lalu memukul telapak kaki kami
sesuai rakaat tersebut. Rasanya tidak sakit, tapi aku sangat terharu dan sayang kepada nenek
karena telah mengajari kami dengan cara seperti ini walaupun ia sudah tua.

Nenek juga orang yang perfeksionis, ia selalu bekerja dengan tuntas. Nenek dari kecil di kenal
sebagai orang yang galak, terkadang saat ia marah kepada ayah ia selalu berbicara dan
memarahi ayah tanpa henti. Tapi ayah tidak pernah membantah nenek ayah selalu sayang
kepada nenek dan membuat keadaan menjadi lebih baik dengan memunculkan lelucon.
Keadaan nenek memburuk ketika ia mulai batuk-batuk. Ayah dan saudara-saudara
ayahmembawa nenek ke dokter. Kata dokter terjadi gangguan pada paru-paru nenek seolah
ada cairan. Karena pengobatan tidak lengkap di kota kami maka nenek dibawa pergi ke luar
kota oleh ayah untuk berobat.

Sepulangnya dirumah, alu melihat nenek duduk di meja makan dengan berbagai macam obat
yang rutin harus diminum. Obat-obat itu berukuran sangat besar hampir seperti besar gula-gula
kopiko yang dibagi dua. Obat-obat itu juga sangat banyak. Aku sangat sedih melihat nenek
menderita seperti ini.

Hari-hari sekolahpun datang, akupun sangat sibuk dengan urusan sekolah dan hampir tidak
pernah bertemu dengan nenek lagi. Bahkan tidak ada lagi rasa rindu yang terasa karena sudah
tidak pernah bertemu. Aku hanya mendengar-dengar kabar dari ayah bahwa keadaan nenek
semakin hari semakin buruk. Aku tidak merasakan apapun saat di beritahu kabar itu, seperti
seolah-olah fokusku hanya pada diriku dan sekolah.

Hingga pada suatu hari gempa yang sangat keras menghantam kota kami. Semua orang
berusaha mencari keluarganya. Ayah yang ada di kantornya langsung menjemput nenek yang
sudah diselamatkan oleh tetangga di sebelah rumahnya. Lalu ayah membawa nenek kerumah
kami. Aku tidak lagi merasa seperti dulu kepada nenek, aku seperti tidak peduli dengan
kehadiran nenek.

Dalam keadaan kesisahan di kala gempa nenek kadang-kadang menyuruhku untuk


melakukan sesuatu untuknya tapi aku enggan melakukannya karena aku juga ingin bermain
bukan untuk melakukan apa yang nenek suruh. Kadang aku sampai membantah nenek, karena
aku pikir aku lelah dan butuh istirahat juga.

Ketika kotaku mulai membaik nenek di bawa keluar kota untuk melanjutkan pengobatan
penyakitnya. Setelah beberapa hari diluar kota nenek pun pulang, bukan membawa obat-
obatan lagi. Tapi membawa kabar buruk. Nenek difonis menderita kanker paru paru dan hidup
nenek tidak akan lama lagi. Sudah lama sejak Pertama kalinya aku menginjakkan kakiku
dinumah nenek.

Sore itu aku pergi menjenguknya dan melihat kondisinya yang sangat buruk. Ia sampai tidak
bisa lagi berjalan dan hanya terkapar lelah di kasurnya. Saat itu anak-anak dilarang masuk ke
kamar nenek karena takut bakteri nenek menukar. Saat itu entah kenapa aku sangat ingin
berada di sisinya dan mengajaknya bicara seperti dahulu.

Saat tidak ada yang menjaga kamar nenek, diam diam aku masuk dan mencoba berbicara
kepada nenek. Nenek melihatku dan langsung menyuruhku pergi. Katanya aku tidak boleh
masuk karena penyakitnya bisa menular. Aku pun keluar dengan perasaan kecewa dan sedih.
Keesokan harinya aku melihat kamar nenek ramai dengan orang. Aku bertanya kepada ibu
apa yang sedang terjadi. Ibu berbalik dengan mata yang berair dan sembab. Ibu berkata bahwa
nenek sudah tak ada. Disaat itu seketika air mataku terjatuh, seperti ada amarah yang terlepas
di bagian dadaku. Aku tak percaya nenek sudah tak ada. Lalu aku pergi ke kamar nenek, aku
melihat nenek sedang berbaring di kasurnya . Terlihat seluruh kulitnya memucat dan tubuhnya
yang sangat kurus saat itu. Aku terus menangis dan merasa marah kepada diriku sendiri yang
tidak bisa membuat nenek senang di saat-saat terakhirnya dan merasa sangat bersalah kepada
nenek. Seolah aku ingin memeluknya dan mengatakan bahwa aku menyayangiya dan sangat
merindukannya. Aku ingin bilang aku minta maaf dengan apa yang sudah kulakukan kepadanya
yang membuat hatinya tidak merasa enak.

“Nenek, aku minta maaf”, dimalam itu aku berdoa agar nenek mendengar doaku untuknya dan
mengetahui perasaanku kepadanya.

Anda mungkin juga menyukai