Anda di halaman 1dari 22

BAB I

PENDAHULUAN

Pada bagian ini dijabarkan secara spesifik mengenai (1) latar belakang

pemilihan judul, (2) rumusan masalah dan (3) tujuan pembahasan. Ketiga hal

tersebut dijabarkan melalui sub-subbagian berikut ini.

A. Latar Belakang

Islam sebagai salah satu agama di dunia ini memiliki 2 sumber hukum

yaitu Al-Qur’an dan Hadits. Al-Qur’an diturunkan oleh Allah SWT melalui

perantara wahyu yang disampaikan malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad

SAW. Sedangkan hadist merupakan perkataan, perbuatan maupun ketetapan Nabi

Muhammad SAW baik Nabi sebagai manusia biasa maupun sebagai Rasul atau

Nabi.

Hadits dalam perkembangannya di zaman modern menuai kontroversi

mulai dari pengkodivikasiannya, hingga kritik-kritik pada hadits yang telah mapan

tatanannya seperti kritik pada sanad hadits dan kritik pada matan hadits. Kritik-

kritik tersebut menimbulkan polemik terutama pada kritik sanad atau matan hadits

yang telah shahih statusnya.

Kritik terhadap hadits tersebut tidak hanya dilakukan oleh umat Islam,

namun kaum orientalis dari Barat juga banyak yang melakukan kritik terhadap

hadits. Salah satunya yaitu Goldziher, Schacht, dan Juynboll yang meragukan dan

mempertanyakan otentisitas hadits Nabi yang ada dalam kitab-kitab hadits

kanonik. Mayoritas para ulama hadits sepakat bahwa semua hadits yang terdapat

dalam koleksi kitab kanonik adalah otentik dan dapat dipertanggungjawabkan

1
serta benar berasal dari Nabi. Namun menurut Juynboll bahwa pernyataan

tersebut tidak dapat dipertanggungjawabkan.

Adanya keraguan dan pertanyaan para orientalis Barat tersebut pada

otentisitas hadits Nabi maka muncullah teori yang dirumuskan oleh Joseph

Schacht yaitu teori Common Link yang kemudian dikembangkan oleh Juynboll.

Pada dasarnya teori Common Link adalah sebuah teori yang digunakan untuk

melacak akar kesejarahan hadits Nabi. Selain itu, dalam teori Common Link

dibahas mengenai kejanggalan dalam sistem isnad.1

Teori Common Link banyak menimbulkan kontroversi di kalangan para

ahli hadits dan para peneliti baik dari segi penolakan dan ada juga yang menerima

karena teori tersebut dianggap sebagai pendekatan dalam memahami kesejarahan

hadits Nabi yang ideal. Beberapa kalangan ahli hadits muslim atau muhadits

mengakui keberadaan dan pentingnya teori Common Link. Menurut Juynboll

bahwa Common Link dapat menggantikan metode kritik hadits klasik karena

Common Link dianggap sebagai metode yang sukses secara ilmiah untuk

membuktikan kesejarahan penisbatan hadits kepada Nabi.2

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan rumusan masalah yang telah dikemukakan pada subbagian

sebelumnya, berikut ini dipaparkan secara rinci empat hal yang menjadi tujuan

pembahasan dalam makalah.

1. Siapakah G.H.A Juynboll?

1
Idris, “Otentisitas Hadith Mutawatir dalam Teori Common Link G.H.A Juynboll”, ISLAMICA, 2
(Maret 2013), 251.
2
Ali Masrur, Teori Common Link G.H.A Juynboll: Melacak Akar Kesejarahan Hadits Nabi
(Yogyakarta: PT. LKIS, 2007), 77.

2
2. Bagaimana teori Common Link G.H.A Juynboll?

3. Bagaimana implikasi teori Common Link terhadap asal-usul dan

perkembangan hadits?

4. Bagaimana interpretasi tentang fenomena Common Link?

C. Tujuan Pembahasan

Berdasarkan rumusan masalah yang telah dikemukakan pada subbagian

sebelumnya, berikut ini dipaparkan secara rinci empat hal yang menjadi tujuan

pembahasan dalam makalah.

1. Mendeskripsikan biografi G.H.A Juynboll;

2. Menjelaskan teori Common Link G.H.A Juynboll;

3. Menjelaskan implikasi teori Common Link terhadap asal-usul dan

perkembangan hadits;

4. Menjelaskan interpretasi tentang fenomena Common Link;

3
BAB II

PEMBAHASAN

Informasi yang dijabarkan secara spesifik pada bagian ini pada empat hal

yaitu: (1) Biografi G.H.A Juynboll, (2) Teori Common Link G.H.A Juynboll, (3)

Implikasi teori Common Link terhadap asal-usul dan perkembangan hadits, (4)

Interpretasi tentang fenomena Common Link.

1. Biografi G.H.A Juynboll

Nama lengkap dari G.H.A Juynboll adalah Gautier Herald A. Juynboll.

G.H.A Juynboll lahir di Leiden, Belanda pada tahun 1935 M. Dia hidup dan

berhasil menyelesaikan pendidikan hingga tahap doktor di Belanda. Gelar

doktonya diperoleh dari Universitas Leiden Belanda pada tahun 1969 dengan

disertasi berjudul “The Autencity of The Tradition Literature: Discussions in

Modern Egypt”.

Disertasi tersebut merupakan hasil penelitian G.H.A Juynboll dalam kurun

waktu 1 tahun (1965-1966) di Mesir dan dia mendapatkan bantuan dana dari

Netherlands Organization for the Advancement of Pure Research (ZWO). Dia

tinggal di Mesir untuk meneliti disertasinya yang menjelaskan mengenai

pandangan para teolog Mesir terhadap literatur hadits.3

Disertasi G.H.A Juynboll dapat dipertahankan di depan Komisi Senat pada

Kamis, 27 Maret 1969 pukul 14.15. Setelah penerbitan disertasinya, dia banyak

melakukan penelitian di bidang kajian Islam baik kajian klasik maupun

kontemporer. Namun pada tahun 1974, dia fokus dalam mengkaji bidang hadits

3
Herman Leonard Beck dan Nico Kaptein, Studi Belanda Kontemporer tentang Islam: Lima
Contoh (Jakarta: INIS, 1993), 11.

4
dan menulis sebuah makalah berjudul “On The Origins of Arabic Prose” yang

kemudian dimuat dalam buku Studies on the First Century of Islamic Society.

Kegiatan sehari-hari G.H.A Juynboll diisi sebagai daily visitor di

perpustakaan Universitas Leiden Belanda untuk melakukan penelitian hadits. Di

usianya yang telah menginjak 69 tahun itu, Juynboll tinggal di Burggravenlaan 40

NL-2313 HW Leiden, Belanda.4

Karya-karya G.H.A Juynboll yang berhubungan dengan studi hadits dan

teori common link dielaborasi ke dalam tiga bukunya yaitu: the authenticity of the

tradition literature: discussion in modern Egypt, muslim tradition: studies in

chronology, provenance and authorship of early hadith, dan studies on the origins

and uses of Islamic hadith.5

2. Teori Common Link G.H.A Juynboll

G.H.A Juynboll mengakui dirinya sebagai pengembang teori common link,

bukan sebagai penemu dari teori common link. Menurut G.H.A Juynboll, Schacht

adalah penemu dari teori tersebut namun dia gagal dalam mengamati frekuensi

fenomena tersebut dan kurang memberikan perhatian dan elaborasi yang cukup

memadai.

G.H.A Juynboll mendefinisikan common link sebagai periwayat pertama

atau tertua yang meriwayatkan hadits tidak hanya kepada seorang, tetapi kepada

beberapa orang yang dianggap sebagai muridnya dan kemudian muridnya tersebut

juga memiliki lebih dari seorang murid. Periwayat yang menjadi common link

bertanggung jawab atas jalur tunggal yang kembali kepada Nabi, atas
4
Fauzi Deraman dan Arif Chasanul Muna, “Kritik terhadap Metode Kajian Sanad G.H.A Juynboll:
Tumpuan terhadap Teori Common Link dan Single Strand”, Al-Bayan (Mei 2007), 74.
5
Ali Masrur, Teori Common Link G.H.A Juynboll, 18.

5
perkembangan teks atau matan dan atas periwayatan kata-kata tertua dalam matan

hadits.6 Dapat disimpulkan bahwa common link adalah pencetus atau pemalsu

isnad dan matan hadits.

Asumsi dasar dari G.H.A Juynboll dalam teori common link bahwa

semakin banyak jalur periwayatan yang bertemu, baik yang menuju kepadanya

atau yang meninggalkannya, maka semakin besar pula seorang periwayat dan

periwayatannya memiliki klaim kesejarahan. Prinsip tersebut yang mendasarinya

dalam interpretasi dan analisis terhadap bundel isnad.7

Menurut G.H.A Juynboll bahwa sebuah jalur isnad seharusnya telah

memancar sejak awal dari Nabi melalui beberapa orang sahabat kepada beberapa

orang tabiin dan seterusnya hingga sampai kepada kolektor hadits. Namun hampir

semua isnad dalam hadits kanonik isnad-isnadnya terdiri dari satu jalur tunggal

pada tiga, empat, atau lima periwayat sesudah Nabi sebelum jalur periwayan itu

mulai bercabang ke bebagai jalur yang berbeda-beda.8

Istilah-istilah yang digunakan G.H.A Juynboll dalam teori common link di

antaranya yaitu:

a. Partial common link (PCL)

Seseorang yang dapat dikategorikan sebagai partial common link yaitu

periwayat yang menerima hadits dari seorang atau lebih guru yang berstatus

sebagai common link atau yang lain dan kemudian menyampaikannya kepada dua

6
Ahmad Atabik, “Menelisik Otentisitas Kesejarahan Sunnah Nabi (Studi atas Teori Common Link
dan Sanggahan Terhadapnya), Jurnal Riwayah, 2 (September 2015), 236.
7
Lilian D. Tedjasudhana, Kajian Indonesia dan Islam (Jakarta: INIS, 1991), 320.
8
Ali Masrur, Teori Common Link G.H.A Juynboll, 65.

6
orang atau lebih. Partial common link bertanggung jawab atas perubahan yang

terjadi pada teks asli (proterversion).9

b. Inverted partial common link (IPCL)

Inverted partial common link adalah periwayat yang menerima laporan

lebh dari seorang guru dan kemudian menyampaikannya kepada lebih dari

seorang murid, tapi jarang sekali kepada lebih dari seorang murid.10

c. Fulan

Fulan adalah para periwayat hadits yang menerima riwayat dari seorang

guru dan kemudian menyampaikannya hanya kepada seorang murid. Periwayat

yang termasuk fulan dalam bundel isnad tertentu namun kemudian muncul

sebagai dalam bundel isnad lainnya dianggap dapat memiliki klaim kesejarahan.11

d. Diving (jalur penyelam)

Diving adalah jalur isnad independen dari seorang periwayat yang karena

merasa tidak puas dengan jalur isnad yang dimiliki melangkai dan sekaligus

menghindari periwayat yang dianggap common link dan kemudian bertemu

dengan isnad lainnya yang lebih dalam pada thabaqah atau tingkatan tabiin atau

sahabat.12

e. Spider (laba-laba) atau a seeming common link (yang tampak sebagai

common link

Sebuah bundel isnad disebut sebagai spider jika bundel tersebut secara

sekilas menunjukkan tokoh kunci yang tampak sebagai common link yang darinya

9
H. Kamaruddin Amin, Menguji Kembali Keakuratan Metode Kritik Hadis (Jakarta: PT Mizan
Publika, 2009), 159.
10
Ali Masrur, Teori Common Link G.H.A Juynboll, 70.
11
Ali Masrur, Teori Common Link G.H.A Juynboll, 71.
12
Ali Masrur, Teori Common Link G.H.A Juynboll, 72.

7
beberapa jalur isnad mulai menyebar dan pada gilirannya sampai kepada sejumlah

koleksi hadits.13

f. Inverted common link (ICL)

Inverted common link adalah berbagai jalur tunggal yang berasal dari saksi

mata yang berbeda-beda dan pada gilirannya masing-masing dari mereka

menyampaikannya kepada seorang murid hingga pada akhirnya bersatu dalam

inverted common link.14

Menurut buku-buku yang dituliskan oleh G.H.A Juynboll mengenai teori

common link dan metode analisis isnad bahwa langkah-langkah untuk

menggunakan teori common link yaitu:

1) Menentukan hadits yang akan diteliti;

2) Menelusuri hadits dalam berbagai koleksi hadits;

3) Menghimpun seluruh isnad hadits;

4) Menyusun dan merekonstruksi seluruh jalur isnad dalam satu bundel

isnad;

5) Mendeteksi common link, periwayat yang bertanggung jawab atas

penyebaran hadits.15

G.H.A Juynboll juga melakukan analisis matan yang berfungsi untuk

menguji otentisitas dan kejerahan hadits Nabi. Langkah-langkanya yaitu:

a) Mencari matan yang sejalan;

b) Mengidentifikasi common link yang terdapat pada matan yang sejalan;

13
Ali Masrur, Teori Common Link G.H.A Juynboll, 73.
14
Ali Masrur, Teori Common Link G.H.A Juynboll, 75.
15
Reza Akbar, “Implementasi Teori Common Link dan Projecting Back dan Implikasinya terhadap
Otentisitas Hadis”, Riwayah, 1 (2018), 50.

8
c) Menentukan common link yang tertua;

d) Menentukan bagian teks yang sama dalam semua hadits yang sejalan.16

Terdapat dua teori yang memiliki keterkaitan dengan teori common link

dan bahkan tidak dapat dipisahkan. Hanya saja G.H.A Juynboll kurang

memberikan perhatian yang cukup memadai untuk mengolaborasi teori-teori

tersebut karena G.H.A Juynboll menganggap bahwa Schacht telah membahasnya

secara detail. Teori-teori tersebut yaitu:

Pertama, Backward Projection adalah upaya, baik dari aliran fiqh klasik

maupun dari pada ahli hadits untuk mengaitkan berbagai doktrin mereka kepada

otoritas yang lebih tinggi di masa lampau, seperti para tabiin, sahabat, dan

akhirnya Nabi sendiri. Upaya tersebut perlu dilakukan agar doktri-doktrin mereka

dapat dipercaya oleh generasi berikutnya karena dianggap berasal dari tokoh-

tokoh yang terpercaya. G.H.A Juynboll tidak meragukan kebenaran teori

tersebut.17

Kedua, Argumenta e silentio. Teori tersebut berasal dari asumsi bahwa

“cara terbaik untuk membuktikan bahwa sebuah hadits tidak ada pada masa

tertentu adalah dengancara menunjukkan bahwa hadits itu tidak dipergunakan

sebagai argumen hukum dalam diskusi yang mengharuskan untuk merujuk

kepadanya, jika hadits itu memang ada. G.H.A Juynboll juga tidak meragukan

adanya teori tersebut karena menurutnya para kolektor hadits terbiasa

16
Ali Masrur, Teori Common Link G.H.A Juynboll, 88-89.
17
Ali Masrur, Teori Common Link G.H.A Juynboll, 93-94.

9
menghimpun segala sesuatu yang telah dikumpulkan oleh para pendahulunya dan

kemudian memberikan tambahan kepada koleksinya sendiri.18

3. Implikasi Teori Common Link terhadap Asal-Usul dan Perkembangan

Hadits

Implikasi yang pertama dan paling utama dari adanya teori common link

adalah yang berhubungan dengan sumber hadits. Menurut G.H.A Juynboll bahwa

materi hadits di berbagai koleksi hadits tidak bersumber dari Nabi atau sahabat,

tetapi dari generasi tabiin kecil dan generasa tabiit tabiin. Akan tetapi yang paling

sering menjadi common link adalah dari generasi tabiin kecil dan yang sangat

sering juga yaitu dari dua atau tiga generasi setelah sahabat Anas bin Malik.

Menurut G.H.A Juynboll bahwa masih ada kelemahan dalam metode

kritik hadits konvensional karena masih menimbulkan kontroversi jika digunakan

untuk membuktikan kesejarahan penisbatan hadits kepada Nabi. Di antara

kelemahan-kelemahan tersebut yaitu:

a. Kemunculannya sangat terlambat jika digunakan untuk menyisihkan

materi dari hadits yang otentik dan hadits yang tidak otentik

b. Isnad ada kemungkinan bisa dipalsukan secara keseluruhan

c. Tidak ditetapkannya kritik matan yang tepat.19

Kriteria kesejarahan hadits menurut teori common link bukan saja

ditentukan oleh kualitas para periwayat, tapi juga oleh kauntitasnya. Semakin

banyak jalur isnad yang memancar atau menuju seorang periwayat, semakin besar

pula kemungkinan jalur itu memiliki klaim kesejarahan.


18
Ali Masrur, Teori Common Link G.H.A Juynboll, 97-98.
19
G.H.A Juynboll, Muslim Tradition Studies in Chronology Provenance and Authorship of Early
Hadith (Cambridge: Cambridge University Press, 1983), 75.

10
Penolakan G.H.A Juynboll terhadap metode kritik hadits konvensional

tampak sejalan dengan Goldziher dan Schacht. Menurutnya, metode konvensional

tidak mampu menjelaskan kronologi, sumber, dan kepengarangan hadits, tiga

persoalan mendasar yang sebenarnya dapat dijawab jika seseorang menggunakan

metode common link.20

G.H.A Juynboll juga melakukan kritik terhadap hadits-hadits mutawatir.

Hadits mutawatir adalah hadits yang diriwayatkan oleh sejumlah orang pada

setiap tingkat sanadnya yang menurut tradisi mustahil mereka bersepakat untuk

berdusta. Oleh karena itu, hadits yang disampaikan diyakini kebenarannya.21

Pandangan G.H.A Juynboll terhadap hadits mutawatir juga menimbulkan

banyak kontroversi karena G.H.A Juynboll menyimpulkan bahwa dalam literatur

hadits tidak mungkin ditemukan hadits mutawatir lafzhi, sedangkan hadits dengan

mutawatir ma’nawi hanya terjadi pada beberapa kasus. Kemutawatiran sebuah

hadits tidak menjamin bagi kesejarahan penisbatannya kepada Nabi SAW.

G.H.A Juynboll memahami hadits mutawatir bukanlah merupakan sebuah

hadits yang diriwayatkan oleh jumlah yang banyak dalam setiap tingkatan dengan

bentuk kumpulan berbagai jalur isnad tunggal, tapi ia memandang bahwa hadits

yang ditransmisikan oleh beberapa sahabat dan dari setiap sahabat itu

diriwayatkan pula hadits pada beberapa tabiin yang berjumlah paling sedikit tiga

orang. Proses tersebut berjalan hingga pada generasi selanjutnya, tapi teori

20
Ali Masrur, Teori Common Link G.H.A Juynboll, 115-116.
21
Syuhudi Ismail, Pengantar Ilmu Hadis (Bandung: Angkasa, 1991), 136.

11
tersebut tidak pernah ditemuinya dalam hadits-hadits yang dianggap sebagai

mutawatir.22

G.H.A Juynboll juga melakukan kritik terhadap posisi Syu’bah bin Hajjaj

dalam perkembangan hadits. Syu’bah bin Hajjaj dikenal sangat alim di bidang

hadits dan sangat populer di kalangan para ahli hadits. Berdasarkan analisis atas

bundel isnad dari hadits-hadits yang ditelitinya, dia menganggap bahwa Syu’bah

menempati posisi common link dan menunjukkan bahwa Syu’bah adalah orang

pertama yang menyebarkan hadits-hadits yang ditelitinya serta bertanggung jawab

terhadap susunan matan dan isnad.

Keraguan G.H.A Juynboll terhadap kebenaran yang terdapat dalam buku-

buku rijal al-hadits dan menolah metode kritik hadits konvensional yang

bergantung pada buku tersebut untuk menentukan keaslian hadits, menjadi bukti

bahwa G.H.A Juynboll sangat dekat dengan aliran revisionis yang tidak percaya

begitu saja kepada sumber-sumber keIslaman untuk menggali sejarah Islam,

termasuk sejarah periwayatan hadits.23

Isnad keluarga adalah salah satu teori yang ada pada hadits dan oleh

Joseph Shacht dan G.H.A Juynboll dianggap palsu. Terdapat banyak hadits yang

mengklaim jaminan tambahan terhadap otentitasnya dengan mempresentasikan

diri sebagai telah diriwayatkan di kalangan anggota keluarga, misalnya dari ayah

kepada anak laki-laki, dari bibi ke kemenakan laki-laki, atau dari majikan ke

22
Benny Afwadzi, “Pemikiran G.H.A Juynboll tentang Hadits Mutawatir”, Jurnal Studi Ilmu-Ilmu
Al-Qur’an dan Hadis, 2 (Juli 2011), 334.
23
Ali Masrur, Teori Common Link G.H.A Juynboll, 135-136.

12
budak yang dibebaskan.24 Kata keluarga tidak hanya ditujukan kepada hubungan

darah namun juga kepada mawali dan hubungan budah dengan tuannya. Para ahli

hadits menyebut isnad keluarga sebagai silsilah adz-dzhahab atau isnad emas.

Contoh dari isnad emas tersebut yaitu:

1) Ma’mar bin Muhammad dari ayahnya,

2) Katsir bin Abdullah dari ayahnya,

3) Musa bin Mathir dari ayahnya,

4) Yahya bin Abdullah dari ayahnya,

5) Nafi’ dari tuannya, Ibn Umar, dan

6) Muhammad bin Sirin dari tuannya, Anas bin Malik.25

4. Interpretasi Tentang Fenomena Common Link

Salah satu orang yang mengkritik tentang teori common link G.H.A

Juynboll yaitu Motzki. Menurut Motzki bahwa common link diartikan sebagai

kolektor sistematis pertama yang berperan sebagai guru yang mengajarkan hadits.

Seorang rawi hadits tidak selalu menerima hadits dalam bentuk teks karena pada

abad 2-3 H sebagian besar hadits tidak dikompilasi namun hadits diterima dengan

cara didengar di kelas lalu dihafal.

Menurut Motzki bahwa untuk menetukan historisitas sebuah hadits

menggunakan metode isnad cum matn yaitu penelitian isnad dan matan, mulai

dari sumber-sumber yang riwayat-riwayatnya ditemukan dengan fokus pada

kontroversi pertanyaan apakah varian matan berkorelasi dengan isnad tersebut.

Kekuatan dari metode tersebut sangat mungkin berbeda-beda tergantung dengan


24
M. M Azami, Menguji Keaslian Hadis-Hadis Hukum “Sanggahan atas The Origins of
Muhammadan Jurisprudence Joseph Schacht” (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2004), 280.
25
Ali Masrur, Teori Common Link G.H.A Juynboll, 137.

13
jumlah dan keragaman varian yang tersedia. Dengan metode tersebut maka bisa

mengurangi resiko adanya common link.26

Langkah-langkahnya dari metode isnad cum matan yaitu:

a. Mengumpulkan sebaganyak mungkin varian yang dilengkapi dengan

isnad;

b. Menghimpun seluruh jalur isnad untuk mendeteksi common link dalam

generasi periwayat yang berbeda-beda;

c. Membandingkan teks-teks dari berbagai varian untuk mencari hubungan

dan perbedaan, baik dalam struktur maupun susunan katanya;

d. Membandingkan hasil analisis isnad dan matan.27

Menurut Motzki, dalam membaca bundel isnad disarankan harus

ditelurusuri dari atas, bukan dari bawah karena bundel isnad menjelaskan berbagai

jalur yang ditemukan dalam koleksi para penghimpun hadits baru-baru ini seperti

Al-Bukhari, An-Nasa’i dan Muslim.

Motzki juga memiliki penafsiran mengenai jalur tunggal atau single

strands. Menurutnya jalur tunggal tidak berarti bahwa satu-satunya jalan transmisi

ketika hadits beredar. Maksudnya yaitu terdapat orang lain selain orang-orang

yang disebutkan dalam isnad yang juga meriwayatkan hadits tersebut.28

Kelemahan dari teori common link G.H.A Juynboll terletak pada

pernyatannya yaitu “Semakin banyak jalur periwayatan yang terkait dalam sebuah

jaringan isnad maka semakin besar pula klaim kesejarahan sebuah hadits,

26
Rahmadi Wibowo Suwarno, “Kesejarahan Hadis dalam Tinjauan Teori Common Link”, Jurnal
Living Hadis, 2 (Oktober 2017), 452.
27
Ali Masrur, Teori Common Link G.H.A Juynboll, 91.
28
H. Motzki, Analysing Muslim Traditions; Studies in Legal, Exegetical and Maghazi Hadith
(Leiden: Koninklijke Brill NV, 2010), 23.

14
sedangkan menurut Motzki, pernyataan itu benar jika seseorang dapat

menghilangkan kemungkinan bahwa jalur-jalur yang terjalin itu dapat dipalsukan.

Motzki menganggap bahwa metodologi G.H.A Juynboll cenderung idealis dan

tidak realistis.29

Selain Motzki, Azami seorang pengkaji hadits dari Universitas King Sa’ud

juga melakukan kritik terhadap common link. Menurutnya bahwa metode common

link dan semua kesimpulan yang dicapai dengannya tidak relevan dan sama sekali

tidak berdasar. Selain itu, jika menggunakan metode common link maka dalam

proses menganalisa ada tidaknya periwayat common link dianggap terlalu cepat.

Azami juga menyatakan bahwa mungkin ada hadits-hadits yang

diriwayatkan oleh lebih dari satu sahabat namun pada perkembangannya hanya

seorang periwayat tunggal saja yang menjadi satu-satunya periwayat yang

menyampaikan hadits tersebut kepada sejumlah muridnya. Dalam kesimpulannya,

bahwa metode common link dianggap sebagai rekaya karena banyak periwayat

yang meriwayatkan jalur tunggal sehingga perlu juga melihat pada kualitas

periwayat.30

Penafsiran G.H.A Juynboll yang menyatakan bahwa periwayat yang

dianggap sebagai common link adalah fabricator (pemalsu) atau originator

(pencetus), menurut Azami hal tersebut tidak dapat diterima karena apabila

periwayat telah diakui ketsiqahannya oleh kritikus hadits dan periwayat tersebut

dapat dipercaya maka pernyataan dari G.H.A Juynboll tersebut mutlak tidak dapat

diterima. Azami juga mengatakan bahwa jika seseorang tidak melihat seluruh

29
H. Motzki, Analysing Muslim Traditions, 24.
30
Muhammad Mustafa Azami, Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya (Jakarta: Pustaka Firdaus,
1994), 558-559.

15
jalur isnad maka dapat dipastikan seseorang tersebut salah dalam mengidentifikasi

periwayat yang dianggap sebagai common link.31

Michael A. Cook seorang pakar sejarah hadits dari Universitas Princeton,

New Jersey juga melakukan analisis terhadap teori common link Joseph Schacht

dan G.H.A Juynboll. Untuk mengkritik teori common link, Cook mengembangkan

teori tersebut menjadi teori penyebaran isnad (the spread of isnads).

Teori penyebaran isnad tersebut menyatakan bahwa para periwayat hadits

terbiasa menciptakan isnad-isnad tambahan untuk mendukung sebuah matan

hadits yang sama. Common link muncul akibat dari penyebaran isnad dalam skala

yang besar. Proses penyebaran isnad dapat terjadi dalam tiga proses yaitu:

Pertama, melompati periwayat yang sezaman. Kedua, menyandarkan hadits pada

seorang guru yang berbeda. Ketiga, mengatasi persoalan hadits-hadits yang

terisolasi.32

5. Contoh Hadits

Salah satu hadits yang dikaji oleh Juynboll dengan metode common link

adalah hadits tentang pembangunan kota Baghdad. Hadits tersebut terdapat dalam

tarikh baghdad karya Al-Khathib Al-Baghdadi dan kitab Al-Maudhu’at karya

Ibn-Al-Jawzi.

Menurut G.H.A Juynboll bahwa hadits tentang pembangunan kota

Baghdad merupakan contoh penerapan common link yang spektakuler. Setelah

menyelidiki hadits tersebut, G.H.A Juynboll menyatakan terdapat delapan belas

isnad. Dua melalui Anas bin Malik dan Abu Hurairah serta enam belas melalui
31
Joseph Schacht, The Origins of Muhammadan Jurisprudence (Oxford: Clarendon Press, 1950),
173.
32
Ali Masrur, Teori Common Link G.H.A Juynboll, 184-185.

16
Jarir bin Abdullah, Abu Utsman Abd Ar-Rahman bin Mull dan Ashim bin

Sulaiman Al-Ahwal semuanya, kecuali sedikit saja, bertemu pada seorang

periwayat yang menduduki posisi common link yaitu Sufyan ast-Tsawri (w. 161

H/776 M). Setelah Sufyan, isnad hadits tersebut baru bercabang kepada sejumlah

muridnya. Dari hal tersebut tampak bahwa Sufyan ats-Tsawri adalah common link

dari semua isnad hadits ini.33

Periwayat yang mendengar hadits secara langsung dari Sufyan ast-Tsawri

adalah F1 = Shalih bin Bayan, F2 = Hammam bin Muslim, F3 = Ismail bin Aban,

F4 = Abd Al-Aziz bin Aban, F5 = Ismail bin Yahya atau bin Najih, F8 = Ammar

bin Saif. Sedangkan periwayat yang mendengar dari Ashim adalah F8 = Ammar

bin Saif, F9 = Saif bin Muhammad, F10 = Muhammad bin Jabir, dan F11 = Abu

Syihab.

33
Akh. Minhaji, Kontroversi Pembentukan Hukum Islam (Yogyakarta: UII Press, 2001), 71-72.

17
Menurut pendapat G.H.A Juynboll bahwa:

a. Terdapat banyak periwayat yang mendengar hadits dari Ashim bin

Sulaiman Al-Ahwal (w. 141-3 H/758-60 M) dengan cara melangkahi Sufyan ats-

Tsawri. Namun Sufyan lebih tepat sebagai common link dari pada periwayat lain

seperti Ashim.

b. Ammar Bin Saif dinilai lemah karena ia adalah kemenakan laki-laki dari

Sufyan, anak laki-laki dari saudara perempuannya

c. Hadits tentang pembangunan kota Baghdad tersebut merupakan hadits

palsu karena dilihat dari biografi Sufyan yang mengajukan kritik kepada

pemerintah Abbasiyah. Sufyan dinilai memiliki sikap anti Abbasiyah yang

sekaligus motifnya untuk menciptakan hadits yang dapat dianggap sebagai kritik

terbuka atas kebijakan pemerintah Abbasiyah.34

34
Ali Masrur, Teori Common Link G.H.A Juynboll, 152-154.

18
BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

Berdasarkan informasi yang telah dijelaskan pada bagian bahasan, maka

dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:

1. G.H.A Juynboll dalam teori common linknya menyimpulkan bahwa

kriteria kesejarahan hadits menurut teori common link bukan saja ditentukan oleh

kualitas para periwayat, tapi juga oleh kauntitasnya. Semakin banyak jalur dari

periwayatan yang bertemu pada seorang periwayat, baik dari jalur periwayatan

yang menuju kepadanya maupun yang meninggalkannya maka semakin besar

seorang periwayat dan jalur periwayatannya memiliki klaim kesejarahan;

2. Istilah-istilah yang dipakai oleh G.H.A Juynboll dalam teori common link

yaitu partial common link (PCL), inverted partial common link (IPCL), fulan,

diving, spider atau a seeming common link, dan inverted common link. Menurut

G.H.A Juynboll bahwa langkah-langkah metode analisis isnan di antaranya yaitu:

(1) menentukan hadits yang diteliti, (2) menelusuri hadits di berbagai sumber

aslinya, (3) menghimpun seluruh isnad hadits, (4) merekonstruksi seluruh jalur

isnad dalam sebuah bundel isnad, dan (5) mendeteksi seorang periwayat yang

menduduki posisi common link.

3. Menurut G.H.A Juynboll bahwa masih ada kelemahan dalam metode

kritik hadits konvensional. Penolakan G.H.A Juynboll terhadap metode kritik

hadits konvensional tampak sejalan dengan Goldziher dan Schacht. Hadits

mutawatir menurut G.H.A Juynboll yaitu hadits yang ditransmisikan oleh

19
beberapa sahabat dan dari setiap sahabat itu diriwayatkan pula hadits pada

beberapa tabiin yang berjumlah paling sedikit tiga orang. Joseph Schacht dan

G.H.A Juynboll menganggap bahwa hadits yang memiliki isnad keluarga adalah

hadits palsu.

4. Menurut Motzki bahwa common link diartikan sebagai kolektor sistematis

pertama yang berperan sebagai guru yang mengajarkan hadits. Menurut Motzki

bahwa untuk menetukan historisitas sebuah hadits menggunakan metode isnad

cum matn. Menurutnya jalur tunggal tidak berarti bahwa satu-satunya jalan

transmisi ketika hadits beredar. Maksudnya yaitu terdapat orang lain selain orang-

orang yang disebutkan dalam isnad yang juga meriwayatkan hadits tersebut.

Azami juga melakukan kritik terhadap common link. Menurutnya bahwa metode

common link dan semua kesimpulan yang dizapai dengannya tidak relevan dan

sama sekali tidak berdasar. Selain itu, jika menggunakan metode common link

maka dalam proses menganalisa ada tidaknya periwayat common link dianggap

terlalu cepat.

20
Daftar Pustaka

A. Buku

Akh. Minhaji. Kontroversi Pembentukan Hukum Islam. Yogyakarta: UII Press,


2001.

Amin, H. Kamaruddin. Menguji Kembali Keakuratan Metode Kritik Hadis.


Jakarta: PT Mizan Publika, 2009.

Azami, Muhammad Mustafa. Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya. Jakarta:


Pustaka Firdaus, 1994.

Beck, Herman Leonard dan Nico Kaptein. Studi Belanda Kontemporer tentang
Islam: Lima Contoh. Jakarta: INIS, 1993.

G.H.A Juynboll. Muslim Tradition Studies in Chronology Provenance and


Authorship of Early Hadith. Cambridge: Cambridge University Press,
1983.

H. Motzki. Analysing Muslim Traditions; Studies in Legal, Exegetical and


Maghazi Hadith. Leiden: Koninklijke Brill NV, 2010.

Ismail, Syuhudi. Pengantar Ilmu Hadis. Bandung: Angkasa, 1991.

Masrur, Ali. Teori Common Link G.H.A Juynboll: Melacak Akar Kesejarahan
Hadits Nabi. Yogyakarta: PT. LKIS, 2007.

M. M Azami. Menguji Keaslian Hadis-Hadis Hukum “Sanggahan atas The


Origins of Muhammadan Jurisprudence Joseph Schacht”. Jakarta: Pustaka
Firdaus, 2004.

Schacht, Joseph. The Origins of Muhammadan Jurisprudence. Oxford: Clarendon


Press, 1950.

Tedjasudhana, Lilian D. Kajian Indonesia dan Islam. Jakarta: INIS, 1991.

B. Jurnal

Afwadzi, Benny. “Pemikiran G.H.A Juynboll tentang Hadits Mutawatir”. Jurnal


Studi Ilmu-Ilmu Al-Qur’an dan Hadis. 2. Juli 2011.

Akbar, Reza. “Implementasi Teori Common Link dan Projecting Back dan
Implikasinya terhadap Otentisitas Hadis”. Riwayah. 1. 2018.

21
Atabik, Ahmad. “Menelisik Otentisitas Kesejarahan Sunnah Nabi (Studi atas
Teori Common Link dan Sanggahan Terhadapnya). Jurnal Riwayah. 2.
September 2015.

Deraman, Fauzi dan Arif Chasanul Muna. “Kritik terhadap Metode Kajian Sanad
G.H.A Juynboll: Tumpuan terhadap Teori Common Link dan Single
Strand”. Al-Bayan. Mei 2007.

Idris. “Otentisitas Hadith Mutawatir dalam Teori Common Link G.H.A Juynboll”.
ISLAMICA. 2. Maret 2013.

Suwarno, Rahmadi Wibowo. “Kesejarahan Hadis dalam Tinjauan Teori Common


Link”. Jurnal Living Hadis. 2. Oktober 2017.

22

Anda mungkin juga menyukai