Anda di halaman 1dari 39

L aporan

aporan Kas
K asus
us

Kolestasis

Oleh:

Addini Rosefani

1408465567

Pembimbing :

Deddy Satriya Putra S.Ked., dr., Sp.A (K).

KEPANITERAAN KLINIK

BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS RIAU

RSUD ARIFIN ACHMAD

PEKANBARU

2015
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kolestasis adalah terganggunya aliran empedu bahkan sampai berhentinya aliran empedu
tersebut. Secara klinis dapat diketahui dengan adanya ikterus. Penyakit yang menyebabkan
 perlambatan atau berhentinya aliran empedu cukup banyak sehingga sering menyebabkan
kesukaran dalam diagnosa. Sedangkan kepastian diagnosa adalah penting sekali karena
 berhubungan dengan pengobatan yang berbeda, apakah memerlukan tindakan operasi atau hanya
medikamentosa.1
Kolestasis neonatal masih merupakan permasalahan di bidang ilmu kesehatan anak
disebabkan spektrum penyebabnya sangat luas dengan gejala klinis serupa. Kemajuan di bidang
teknik diagnosa dengan adanya ultrasonografi, skintigrafi, pemeriksaan histopatologis, dan
 biologi molekuler tidak serta merta dapat menegakkan diagnosa dengan cepat sebab pada
kelainan ini tidak ada satupun pemeriksaan yang superior. Kesadaran akan adanya kolestasis
 pada bayi dengan ikterus berumur lebih dari 14 hari merupakan kunci utama dalam penegakan
diagnosa dini yang berperan penting terhadap prognosa. Penyebab utama kolestasis neonatal
adalah hepatitis neonatal suatu hepatopati neonatal berupa proses inflamasi nonspesifik jaringan
hati karena gangguan metabolik, endokrin, dan infeksi intra-uterin. Penyebab lainnya adalah
obstruksi saluran empedu ekstraheptik dan sindroma paucity intrahepatik. Kerusakan fungsional
dan struktural dari jaringan hati disamping disebabkan primer oleh proses penyakitnya, juga
disebabkan sekunder oleh adanya kolestasis itu sendiri dimana dalam hal ini yang sangat
 berperan adalah asam empedu hidrofobik dengan kapasitas detergenik. Salah satu tujuan
diagnostik adalah membedakan dengan segera apakah kolestasis disebabkan proses intrahepatik
atau ekstrahepatik. Pada kelainan intrahepatik dapat dilakukan tindakan konservatif dan
medikamentosa sedang pada kelainan ekstrahepatik terutama atresia bilier, usia saat dilakukan
 pembedahan sangat menentukan prognosis.2
Kolestasis pada bayi terjadi pada ± 1:25000 kelahiran hidup. Di Instalasi Rawat Inap
Anak RSU Dr. Sutomo Surabaya antara tahun 1999-2004 dari 19.270 penderita rawat inap,
didapat 96 penderita dengan neonatal kolestasis.3,4

1
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kolestasis adalah terganggunya aliran empedu bahkan sampai berhentinya aliran empedu
tersebut. Secara klinis dapat diketahui dengan adanya ikterus. Penyakit yang menyebabkan
 perlambatan atau berhentinya aliran empedu cukup banyak sehingga sering menyebabkan
kesukaran dalam diagnosa. Sedangkan kepastian diagnosa adalah penting sekali karena
 berhubungan dengan pengobatan yang berbeda, apakah memerlukan tindakan operasi atau hanya
medikamentosa.1
Kolestasis neonatal masih merupakan permasalahan di bidang ilmu kesehatan anak
disebabkan spektrum penyebabnya sangat luas dengan gejala klinis serupa. Kemajuan di bidang
teknik diagnosa dengan adanya ultrasonografi, skintigrafi, pemeriksaan histopatologis, dan
 biologi molekuler tidak serta merta dapat menegakkan diagnosa dengan cepat sebab pada
kelainan ini tidak ada satupun pemeriksaan yang superior. Kesadaran akan adanya kolestasis
 pada bayi dengan ikterus berumur lebih dari 14 hari merupakan kunci utama dalam penegakan
diagnosa dini yang berperan penting terhadap prognosa. Penyebab utama kolestasis neonatal
adalah hepatitis neonatal suatu hepatopati neonatal berupa proses inflamasi nonspesifik jaringan
hati karena gangguan metabolik, endokrin, dan infeksi intra-uterin. Penyebab lainnya adalah
obstruksi saluran empedu ekstraheptik dan sindroma paucity intrahepatik. Kerusakan fungsional
dan struktural dari jaringan hati disamping disebabkan primer oleh proses penyakitnya, juga
disebabkan sekunder oleh adanya kolestasis itu sendiri dimana dalam hal ini yang sangat
 berperan adalah asam empedu hidrofobik dengan kapasitas detergenik. Salah satu tujuan
diagnostik adalah membedakan dengan segera apakah kolestasis disebabkan proses intrahepatik
atau ekstrahepatik. Pada kelainan intrahepatik dapat dilakukan tindakan konservatif dan
medikamentosa sedang pada kelainan ekstrahepatik terutama atresia bilier, usia saat dilakukan
 pembedahan sangat menentukan prognosis.2
Kolestasis pada bayi terjadi pada ± 1:25000 kelahiran hidup. Di Instalasi Rawat Inap
Anak RSU Dr. Sutomo Surabaya antara tahun 1999-2004 dari 19.270 penderita rawat inap,
didapat 96 penderita dengan neonatal kolestasis.3,4

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. DEFINISI

Kolestasis adalah gangguan pembentukan, sekresi dan pengaliran empedu mulai dari
hepatosit, saluran empedu intrasel, ekstrasel dan ekstra-hepatal. Hal ini dapat menyebabkan
 perubahan indikator biokimia, fisiologis, morfologis, dan klinis karena terjadi retensi bahan-
 bahan larut dalam empedu.
empe du. Dikatakan kolestasis apabila kadar bilirubin direk melebihi 2.0 mg/dl
total.2
atau 20% dari bilirubin total.

B. EPIDEMIOLOGI

Kolestasis pada bayi terjadi pada ± 1:25000 kelahiran hidup. Insiden hepatitis neonatal
1:5000 kelahiran hidup, atresia bilier 1:10000-1:13000,
1:10000-1:13000, defisiensi α-1
α-1 antitripsin 1:20000. Rasio
atresia bilier pada anak perempuan dan anak laki-laki adalah 2:1, sedang pada hepatitis neonatal,
rasionya terbalik.3,4

Di Instalasi Rawat Inap Anak RSU Dr. Sutomo Surabaya antara tahun 1999-2004 dari
19270 penderita rawat inap, didapat 96 penderita dengan neonatal kolestasis. Neonatal hepatitis
68 (70,8%), atresia bilier 9 (9,4%), kista duktus koledukus 5 (5,2%), kista hati 1 (1,04%), dan
sindroma inspissated-bile 1 (1,04%).3

C. PATOFISIOLOGI

Empedu adalah cairan yang disekresi hati berwarna hijau kekuningan merupakan
kombinasi produksi dari hepatosit dan kolangiosit. Empedu mengandung asam empedu,
kolesterol, phospholipid, toksin yang terdetoksifikasi, elektrolit, protein, dan bilirubin
terkonyugasi. Kolesterol dan asam empedu merupakan bagian terbesar dari empedu sedang
 bilirubin terkonyugasi merupakan bagian kecil. Bagian utama dari aliran empedu adalah sirkulasi
enterohepatik dari asam empedu. Hepatosit adalah sel epetelial dimana permukaan
 basolateralnya berhubungan dengan darah portal sedang permukaan apikal (kanalikuler)

2
 berbatasan dengan empedu. Hepatosit adalah epitel terpolarisasi berfungsi sebagai filter dan
 pompa bioaktif memisahkan racun dari darah dengan cara metabolisme dan detoksifikasi
intraseluler, mengeluarkan hasil proses tersebut ke dalam empedu. Salah satu contoh adalah
 penanganan dan detoksifikasi dari bilirubin tidak terkonjugasi (bilirubin indirek). Bilirubin tidak
terkonjugasi yang larut dalam lemak diambil dari darah oleh transporter pada membran
 basolateral, dikonyugasi intraseluler oleh enzim UDPGTa yang mengandung P450 menjadi
 bilirubin terkonjugasi yang larut air dan dikeluarkan ke dalam empedu oleh transporter mrp2.
mrp2 merupakan bagian yang bertanggungjawab terhadap aliran bebas asam empedu. Walaupun
asam empedu dikeluarkan dari hepatosit ke dalam empedu oleh transporter lain, yaitu pompa
aktif asam empedu. Pada keadaan dimana aliran asam empedu menurun, sekresi dari bilirubin
terkonyugasi juga terganggu menyebabkan hiperbilirubinemia terkonyugasi. Proses yang terjadi
di hati seperti inflamasi, obstruksi, gangguan metabolik, dan iskemia menimbulkan gangguan
 pada transporter hepatobilier menyebabkan penurunan aliran empedu dan hiperbilirubinemi
terkonjugasi.2
Terdapat 4 mekanisme dimana hiperbilirubinemia dan ikterus dapat terjadi :
1. Pembentukan bilirubin berlebihan
2. Gangguan pengambilan bilirubin tak terkonyugasi oleh hati
3. Gangguan konyugasi bilirubin
4. Pengurangan eksresi bilirubin terkonyugasi dalam empedu akibat faktor intra hepatik dan
ekstra hepatik yang bersifat obstruksi fungsional/mekanik.

3
Metabolisme Bilirubin

ERITROSIT Hemoglobin

Heme

  Hemoksigenase

Biliverdin

 Biliverdin - reductase

Bilirubin indirek (bebas)     Lipofilik

 kompleks bilirubin - albumin

Ambilian : protein - y ; protein –  z


HATI

Konjugasi (glukuronil transferase)

Bilirubin direk (conjugated)     Hidrofilik


EMPEDU

Hidrolisis bakteri usus


USUS

SIKLUS
enterohepatik
Bilirubin :

Sterkobilin

Urobilinogen

4
Metabolisme Bilirubin

Penyebab ikterus kholestatik bisa intra hepatik atau ekstra hepatik. Penyebab intra hepatik
adalah inflamasi, batu, tumor, kelainan kongenital duktus biliaris. Kerusakan dari sel paremkim
hati menyebabkan gangguan aliran dari garam bilirubin dalam hati akibatnya bilirubin tidak
sempurna dikeluarkan ke dalam duktus hepatikus karena terjadinya retensi dan regurgitasi. Jadi
akan terlihat peninggian bilirubin terkonyugasi dan bilirubin tidak terkonjugasi dalam serum.
Penyumbutan duktus biliaris yang kecil intrahepatal sudah cukup menyebabkan ikterus. Kadang-
kadang kholestasis intra hepatal disertai dengan obstruksi mekanis di daerah ekstra hepatal.
Obstruksi mekanik dari aliran empedu intra hapatal yang disebabkan oleh batu/hepatolith
 biasanya menyebabkan fokal kholestasis, keadaan ini biasanya tidak terjadi hiper bilirubinemia
karena dikompensasi oleh hepar yang masih baik. Kholangitis supuratif yang biasanya disertai
 pembentukan abses dan ini biasanya yang menyebabkan ikterus. Infeksi sistemik dapat mengenai
vena porta akan menyebabkan invasi ke dinding kandung empedu dan traktus biliaris. Pada intra
hepatik kholestasis biasanya terjadi kombinasi antara kerusakan sel hepar dan gangguan
metabolisme (kholestasis dan hepatitis).2,5

5
Ekstra hepatik kholestatik disebabkan gangguan aliran empedu ke dalam usus sehingga
akibatnya terjadi peninggian bilirubin terkonyugasi dalam darah. Penyebab yang paling sering
dari ekstra hepatik kholestatik adalah batu di duktus kholedekhus dan duktus sistikus, tumor
duktus kholedekus, kista duktus kholeskhus, tumor kaput pankreas, sklerosing kholangitis.

D. ETIOLOGI

Kolestasis terbagi menjadi:6

Kolestasis Intrahepatik
 Idiopatik
 Hepatitis neonatal idiopatik
 Lain-lain : Sindrom Zellweger
 Anatomik
 Hepatik fibrosis kongenital/ penyakit polikistik infantil
  penyakit Caroli
 Kelainan Metabolik
 Kelainan metabolisme as amino, lipid, KH, asam empedu
 Penyak it metabolik lain : def α 1 –  antitripsin, hipotiroid, hipopituitarisme
 Infeksi
 Hepatitis virus A, B, C
 TORCH, reovirus, dll
 Genetik/ kromosomal
 Sindrom Alagile
 Sindrom Down, Trisomi E
 Lain-lain
 Nutrisi parenteral total, histiositosis x, renjatan, obstruksi intestinal, sindrom polisplenia,
lupus neonatal

6
Kolestasis Ekstrahepatik
 Atresia bilier
 Hipoplasia bilier, stenosis duktus bilier
 Massa (kista, neoplasma, batu)
  Inspissated bile syndrome , dll

E. Klasifikasi 7,9

Secara garis besar kolestasis dapat diklasifikasikan menjadi :


1. Kolestasis Ekstrahepatik, Obstruksi Mekanis Saluran Empedu Ekstrahepatik
Secara umum kelainan ini disebabkan lesi kongenital atau didapat. Merupakan kelainan
nekroinflamatori yang menyebabkan kerusakan dan akhirnya pembuntuan saluran empedu
ekstrahepatik, diikuti kerusakan saluran empedu intrahepatik. Penyebab utama yang pernah
dilaporkan adalah proses imunologis, infeksi virus terutama CMV dan Reo virus tipe 3, asam
empedu yang toksik, iskemia dan kelainan genetik. Biasanya penderita terkesan sehat saat lahir
dengan berat badan lahir, aktifitas dan minum normal. Ikterus baru terlihat setelah berumur lebih
dari 1 minggu. 10-20% penderita disertai kelainan kongenital yang lain seperti asplenia,
malrotasi dan gangguan kardiovaskuler. Deteksi dini dari kemungkinan adanya atresia bilier
sangat penting sebab efikasi pembedahan hepatik-portoenterostomi (Kasai) akan menurun
apabila dilakukan setelah umur 2 bulan. Pada pemeriksaan ultrasound terlihat kandung empedu
kecil dan atretik disebabkan adanya proses obliterasi, tidak jelas adanya pelebaran saluran
empedu intrahepatik. Gambaran ini tidak spesifik, kandung empedu yang normal mungkin
dijumpai pada penderita obstruksi saluran empedu ekstrahepatal sehingga tidak menyingkirkan
kemungkinan adanya atresi bilier.
Gambaran histopatologis ditemukan adanya portal tract yang edematus dengan proliferasi
saluran empedu, kerusakan saluran dan adanya trombus empedu didalam duktuli. Pemeriksaan
kolangiogram intraoperatif dilakukan dengan visualisasi langsung untuk mengetahui patensi
saluran bilier sebelum dilakukan operasi Kasai.
Jika terjadi obstruksi empedu, perubahan hepar dapat terjadi dengan cepat dan ikterus
dapat terlihat dalam 36 jam. Setelah 2 minggu akan ditemukan ruptur dari duktus interlobuler.
Pada kolangitis akan ditemukan lekosit polimorfonuklear pada kandung empedu dan sinusoid.

7
Ikterus obstruktif ekstrahepatik kemungkinan disebabkan oleh adanya obstruksi fisik pada
saluran empedu pada umumnya diluar hati, menimbulkan gejala kolestasis akut.
Kolestasis ekstrahepatik disebabkan oleh :
· Batu empedu
· Carsinoma pancreas dan ampula
· Striktur saluran empedu
· Cholangiocarsinoma
· Sklerosing Cholangitis primer atau sekunder
Ikterus obstruksi ekstra hepatik memberikan 3 perubahan klasik pada traktus portal :
1. Oedema jaringan ikat
2. Proliferasi duktus
3. Infiltrasi neutrofil
Gambaran ini dinamakan “ductular reaction”. Pada gambaran mikroskopik ikterus
obstruktif selalu ditemukan cairan empedu karena adanya peningkatan tekanan di traktus porta,
sehingga terjadi reaksi duktuler yang salah satunya adalah proliferasi duktus bilier yang baru.
Proliferasi duktus dipengaruhi oleh peningkatan perfusi di daerah perivaskuler pleksus bilier,
stimulasi reseptor adrenergik dan dopaminergik yaitu taurocholate dan taurolithocholate dan
 peningkatan AMP siklik dan interleukin 6. Infiltrasi netrofil akan terjadi pada ikterus obstruksi
dengan adanya reaksi sitokin kompleks dan chemokine. Gambaran periduktus dan fibrosis seperti
kulit bawang (onion-skin fibrosis) dapat ditemukan pada kolestasis ekstrahepatik dimana terjadi
obstruksi aliran empedu dalam waktu yang lama. Keadaan ini dapat juga terjadi pada Primary
Sclerosing Cholangitis. Pada keadaan ikterus obstruktif yang disebabkan oleh batu empedu,
striktur empedu atau karsinoma pankreas, gambaran klinik jelas dengan ikterus progresif dan
 peningkatan kadar alkali fosfatase serum dan bilirubin serum. Diagnosis umumnya tegak dengan
 pemeriksaan Ultrasonografi dengan konfirmasi pada saat tindakan operasi.

Pr imary Sclerosing Cholangitis


 Primary sklerosing cholangitis terjadi penyempitan dari saluran empedu karena adanya
stenosis dan dilatasi duktus bilier intrahepatik dan ekstrahepatik. Karakteristik Sklerosis
kolangitis primer adalah peradangan/inflamasi kronik pada saluran empedu (periduktus ekstra
hepatik) yang menyebabkan fibrosis obliterasi dan striktur pada sistem bilier. Gambaran patologi

8
anatomi tampak infiltrasi pada zona portal oleh limfosit besar, sel polimorfonuklear, kadang
makrofag dan eosinofil. Pada duktus interlobuler tampak inflamasi periduktus. Tahap lanjut
gambaran fibrosis pada traktus portal sampai duktus bilier yang kecil (“onion skin appearance”).
Diagnosis pasti jika ditemukan pengurangan jumlah duktus bilier, proliferasi duktus dan deposisi
substansi cooper dengan “ piecemeal necrosis”.

2. Kolestasis Intrahepatik
a. Saluran Empedu
Digolongkan dalam 2 bentuk, yaitu: (a) Paucity saluran empedu, dan (b) Disgenesis
saluran empedu. Oleh karena secara embriologis saluran empedu intrahepatik (hepatoblas)
 berbeda asalnya dari saluran empedu ekstrahepatik (foregut) maka kelainan saluran empedu
dapat mengenai hanya saluran intrahepatik atau hanya saluran ekstrahepatik saja. Beberapa
kelainan intrahepatik seperti ekstasia bilier dan hepatik fibrosis kongenital, tidak mengenai
saluran ekstrahepatik. Kelainan yang disebabkan oleh infeksi virus CMV, sklerosing kolangitis,
Caroli’s disease mengenai kedua bagian saluran intra dan ekstra-hepatik. Karena primer tidak
menyerang sel hati maka secara umum tidak disertai dengan gangguan fungsi hepatoseluler.
Serum transaminase, albumin, faal koagulasi masih dalam batas normal. Serum alkali fosfatase
dan GGT akan meningkat. Apabila proses berlanjut terus dan mengenai saluran empedu yang
 besar dapat timbul ikterus, hepatomegali, hepatosplenomegali, dan tanda-tanda hipertensi portal.
Paucity saluran empedu intrahepatik lebih sering ditemukan pada saat neonatal dibanding
disgenesis, dibagi menjadi sindromik dan nonsindromik. Dinamakan paucity apabila didapatkan
< 0,5 saluran empedu per  portal tract . Contoh dari sindromik adalah sindrom Alagille, suatu
kelainan autosomal dominan disebabkan haploinsufisiensi pada gene JAGGED 1. Sindroma ini
ditemukan pada tahun 1975 merupakan penyakit multiorgan pada mata ( posterior embryotoxin),
tulang belakang (butterfly vertebrae), kardiovaskuler (stenosis katup pulmonal), dan muka yang
spesifik (triangular facial yaitu frontal yang dominan, mata yang dalam, dan dagu yang sempit).
 Nonsindromik adalah paucity saluran empedu tanpa disertai gejala organ lain. Kelainan saluran
empedu intrahepatik lainnya adalah sklerosing kolangitis neonatal, sindroma hiper IgM,
sindroma imunodefisiensi yang menyebabkan kerusakan pada saluran empedu.

9
b. Kelainan Hepatosit
Kelainan primer terjadi pada hepatosit menyebabkan gangguan pembentukan dan aliran
empedu. Hepatosit neonatus mempunyai cadangan asam empedu yang sedikit, fungsi transport
masih prematur, dan kemampuan sintesa asam empedu yang rendah sehingga mudah terjadi
kolestasis. Infeksi merupakan penyebab utama yakni virus, bakteri, dan parasit. Pada sepsis
misalnya kolestasis merupakan akibat dari respon hepatosit terhadap sitokin yang dihasilkan
 pada sepsis.
Hepatitis neonatal adalah suatu deskripsi dari variasi yang luas dari neonatal hepatopati,
suatu inflamasi nonspesifik yang disebabkan oleh kelainan genetik, endokrin, metabolik, dan
infeksi intra-uterin. Mempunyai gambaran histologis yang serupa yaitu adanya pembentukan
multinucleated giant cell dengan gangguan lobuler dan serbukan sel radang, disertai timbunan
trombus empedu pada hepatosit dan kanalikuli. Diagnosa hepatitis neonatal sebaiknya tidak
dipakai sebagai diagnosa akhir, hanya dipakai apabila penyebab virus, bakteri, parasit, gangguan
metabolik tidak dapat ditemukan.

F. MANIFESTASI KLINIK

Tanpa memandang etiologinya, gejala klinis utama pada kolestasis bayi adalah ikterus,
tinja akholis, dan urine yang berwarna gelap. Selanjutnya akan muncul manifestasis klinis
lainnya, sebagai akibat terganggunya aliran empedu dan bilirubin. Dibawah ini bagan yang
menunjukkan konsekuensi akibat terjadinya kolestasis.

10
G. DIAGNOSIS2,5,7

Tujuan utama evaluasi bayi dengan kolestasis adalah membedakan antara kolestasis
intrahepatik dengan ekstrahepatik sendini mungkin. Diagnosis dini obstruksi bilier ekstrahepatik
akan meningkatkan keberhasilan operasi. Kolestasis intrahepatik seperti sepsis, galaktosemia
atau endrokinopati dapat diatasi dengan medikamentosa.

Anamnesis

a. Adanya ikterus pada bayi usia lebih dari 14 hari, tinja akolis yang persisten harus dicurigai
adanya penyakit hati dan saluran bilier.

 b. Pada hepatitis neonatal sering terjadi pada anak laki-laki, lahir prematur atau berat badan lahir
rendah. Sedang pada atresia bilier sering terjadi pada anak perempuan dengan berat badan
lahir normal, dan memberi gejala ikterus dan tinja akolis lebih awal.

11
c. Sepsis diduga sebagai penyebab kuning pada bayi bila ditemukan ibu yang demam atau
disertai tanda-tanda infeksi.

d. Adanya riwayat keluarga menderita kolestasis, maka kemungkinan besar merupakan suatu
kelainan genetik/metabolik (fibro-kistik atau defisiensi α1-antitripsin).

Pemeriksaan fisik
Pada umumnya gejala ikterik pada neonatus baru akan terlihat bila kadar bilirubin sekitar 7
mg/dl. Secara klinis mulai terlihat pada bulan pertama. Warna kehijauan bila kadar bilirubin
tinggi karena oksidasi bilirubin menjadi biliverdin. Jaringan sklera mengandung banyak elastin
yang mempunyai afinitas tinggi terhadap bilirubin, sehingga pemeriksaan sklera lebih sensitif.

Dikatakan pembesaran hati apabila tepi hati lebih dari 3,5 cm dibawah arkus kota pada garis
midklavikula kanan. Pada perabaan hati yang keras, tepi yang tajam dan permukaan noduler
diperkirakan adanya fibrosis atau sirosis. Hati yang teraba pada epigastrium mencerminkan
sirosis atau lobus Riedel (pemanjangan lobus kanan yang normal). Nyeri tekan pada palpasi hati
diperkirakan adanya distensi kapsul Glisson karena edema. Bila limpa membesar, satu dari
 beberapa penyebab seperti hipertensi portal, penyakit storage, atau keganasan harus dicurigai.
Hepatomegali yang besar tanpa pembesaran organ lain dengan gangguan fungsi hati yang
minimal mungkin suatu fibrosis hepar kongenital. Perlu diperiksa adanya penyakit ginjal
 polikistik. Asites menandakan adanya peningkatan tekanan vena portal dan fungsi hati yang
memburuk. Pada neonatus dengan infeksi kongenital, didapatkan bersamaan dengan mikrosefali,
korioretinitis, purpura, berat badan rendah, dan gangguan organ lain. Alagille mengemukakan 4
keadaan klinis yang dapat menjadi patokan untuk membedakan antara kolestasis ekstrahepatik
dan intrahepatik. Dengan kriteria tersebut kolestasis intrahepatik dapat dibedakan dengan
kolestasis ekstrahepatik ± 82% dari 133 penderita. Moyer menambah satu kriteria lagi gambaran
histopatologi hati.

12
Pemeriksaan Penunjang

Secara garis besar, pemeriksaan dapat dibagi menjadi 3 kelompok, yaitu pemeriksaan :

A. Pemeriksaan Laboratorium

1) Pemeriksaan Rutin

Pada setiap kasus kolestasis harus dilakukan pemeriksaan kadar komponen bilirubin untuk
membedakannya dari hiper-bilirubinemia fisiologis. Selain itu dilakukan pemeriksaan darah tepi
lengkap, uji fungsi hati, dan gamma-GT. Kadar bilirubin direct < 4mg/dl tidak sesuai dengan
obstruksi total. Peningkatan kadar SGOT/SGPT > 10 kali dengan peningkatan gamma-GT < 5
kali, lebih mengarah ke suatu kelainan hepatoseluler. Sebaliknya, peningkatan SGOT < 5 kali
dengan peningkatan gamma-GT > 5 kali, lebih mengarah ke kolestasis ekstrahepatik. Menurut
Fitzgerald, kadar gamma-GT yang rendah tidak menyingkirkan kemungkinan atresia bilier.

Data laboratorik awal kolestasis pada bayi

Kolestasis Ekstrahepatik Kolestasis Intrahepatik


Bilirubin Total (mg/dl) 10,2±4,5 12,1±9,6
Bilirubin Direk (mg/dl) 6,2±2,6 8,0±6,8
SGOT <5XN >10 X N />800U/l
SGPT <5XN >10 X N />800U/l
GGT >5X N / >6000U/l < 5 X N/N

2) Pemeriksaan Khusus

Pemeriksaan aspirasi duodenum (DAT) merupakan upaya diagnostik yang cukup sensitif,
tetapi penulis lain mengatakan bahwa pemeriksaan ini tidak lebih baik dari pemeriksaan
visualisasi tinja.

13
B. Pencitraan

1) Pemeriksaan Ultrasonografi

Ultrasonografi abdomen dilakukan dengan prosedur 2 fase. Fase pertama dilakukan setelah
12 jam puasa dan fase kedua dilakukan dalam 2 jam setelah pemberian ASI atau susu formula.
Adanya tanda triangle cord sign merupakan petanda radiologis atresia billier. Triangle cord sign
adalah sebuah densitas echogenik tubuler atau segitiga (sisa duktus fibrosus) sepanjang aspek
anterior vena porta pada percabangannya menuju kanan dan kiri. Tanda-tanda triangle cord sign
 positif adalah ketebalan EARPV > 4 mm pada scan longitudinal. (EARPV –   dinding anterior
echogenik dari vena porta kanan. Penggunaan ketebalan 4 mm sebagai sebuah kriteria diagnosis
atresia bilier telah dilaporkan memiliki sensitivitas 80%, spesifitas 98%, positive predictive value
(PPV) 94%, negative predictive value 94%.

2) Schintigrafi Hati

Pemeriksaan skintigrafi ini berguna untuk mengevaluasi kelainan obstruktif sistem bilier
termasuk atresia bilier.

3) Pemeriksaan Kolangiografi

Kolangiografi intra-operatif dilakukan saat laparatomi eksplorasi pada kasus yang


kemungkinan atresia bilier tidak dapat disingkirkan dengan cara lain. Pemeriksaan ERCP jarang
dilakukan karena memerlukan anestesi umum, alat yang canggih, serta keterampilan yang
khususdan kemungkinan positif palsu yang tinggi.

B. Biopsi Hati

Gambaran histopatologik hati adalah alat diagnostik yang paling dapat diandalkan. Di
tangan seorang ahli patologi yang berpengalaman, akurasi diagnostiknya mencapai 95%
sehingga dapat membantu pengambilan keputusan untuk melakukan la-paratomi eksplorasi, dan
 bahkan berperan untuk penentuan operasi Kasai. Keberhasilan aliran empedu pasca operasi

14
Kasai ditentukan oleh diameter duktus bilier yang paten di daerah hilus hati. Bila diameter
duktus 100-200 u atau 150-400 u maka aliran empedu dapat terjadi.

Algoritme diagnosis kolestasis5

Kriteria Klinik Intrahepatik dan Ekstrahepatik 7

15
H. DASAR TERAPEUTIK KOLESTASIS

Tujuan tatalaksana kolestasis adalah2 :

A. Memperbaiki aliran empedu dengan cara :


 Mengoreksi/mengobati etiologi kolestasis dengan operasi pada kolestasis obstruktif dan
medikamentosa pada kolestasis hepatoseluler yang dapat diobati. Operasi
 portoenterostomi kasai untuk atresia bilier seyogyanya dikerjakan pada umur < 6-8
minggu karena angka keberhasilannya mencapai 80-90 %, sementara bila dilakukan pada
umur 10-12 minggu angka keberhasilannya hanya sepertiga.
 Menstimulasi aliran empedu dengan :
 Fenobarbital : dapat menginduksi enzim glukoronil transferase, sitokrom P-450 dan
 NaKATPase. Dosisnya 3 –  10 mg/ kgBB/ hr dibagi dalam dua dosis.

16
 Asam ursodeoksikolat : asam empedu tersier yang mempunyai sifat hidrofilik serta tidak
hepatotoksik bila dibandingkan dengan asam empedu primer serta sekunder. Jadi asam
ursodeoksikolat merupakan competitive binding terhadap asam empedu toksik, sebagai
suplemen empedu, hepatoprotektor serta bile flow inducer. Dosis : 10 -30 mg/kgbb/hari.
 Kolestiramin  0,25 –  0,5 g/ kgBB/ hr
- Menyerap empedu toksik
- Menghilangkan gatal
 Rifampisin  10 mg/ kgBB/ hr
-  aktivitas mikrosom
- Menghambat ambilan empedu

B. Menjaga tumbuh kembang bayi seoptimal mungkin dengan :


 Terapi nutrisi
- Formula MCT ( medium chain trigyceride ), menghindarkan makanan yang
 banyak mengandung kuprum.
 Vitamin yang larut lemak A,D,E,K
- A 5.000 –  25.000 U/ hr
- D3 0,05 – 0,2 μg/ kgBB/ hr 
- E 25 –  50 IU/ kgBB/ hr
- K 1 2,5 –  5 mg/ 2 –  7 x/ mig
 Mineral dan trace element  Ca, P, Mn, Zn, Se, Fe

C. Terapi komplikasi yang sudah terjadi misalnya Hiperlipidemia/ xantelasma dengan


kolestipol dan pada gagal hati adalah transplantasi. Transplantasi hati pada anak 50-70 %
disebabkan oleh atresia bilier.

I. PROGNOSIS

Keberhasilan portoenterostomi ditentukan oleh usia anak saat dioperasi,gambaran


histologik porta hepatis, kejadian penyulit kolangitis, dan pengalaman ahli bedahnya sendiri. Bila
operasi dilakukan pada usia < 8 minggu maka angka keberhasilannya 71-86%, sedangkan bila
operasi dilakukan pada usia > 8 minggu maka angka keberhasilannya hanya 34-43,6%.

17
Sedangkan bila operasi tidak dilakukan, maka angka keberhasilan hidup 3 tahun hanya 10% dan
meninggal rata-rata pada usia 12 bulan. Anak termuda yang mengalami operasi Kasai berusia 76
 jam. Jadi faktor-faktor yang mempengaruhi kegagalan operasi adalah usia saat dilakukan operasi
> 60 hari, adanya gambaran sirosis pada sediaan histologik had, tidak adanya duktus bilier
ekstrahepatik yang paten, dan bila terjadi penyulit hipertensi portal.

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS RIAU

KEPANITERAAN KLINIK

18
BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK

IDENTITAS PASIEN

 Nama/ No MR : By. Dz/890897

Umur : 2 bulan

Alamat : Pekanbaru

Tgl masuk : 18 Mei 2015

ALLOANAMNESIS

Diberikan Oleh : Ibu kandung pasien

Keluhan Utama : Kuning yang baru disadari ibu sejak bayi berusia 20 hari

Riwayat Penyakit Sekarang :

- 2 bulan SMRS, saat pasien baru lahir awalnya mata yang tampak kuning dan kemudian saat
 bayi umur 20 hari ibu menyadari badan tampak kuning. Lalu pasien dijemur namun tidak
mengurangi kuning badannya. Karena semakin lama mata badan pasien tampak semakin
kuning pasien di bawa ke RS Safira dan dilakukan pemeriksaan bilirubin. Pasien didiagnosis
dengan ikterus patologis. Lalu pasien dirujuk ke RSIA Eria Bunda untuk masuk ke PICU. Di
RSIA Eria Bunda dilakukan fototerapi 1 kali namun tidak ada perubahan dan karena PICU
 penuh maka pasien dirujuk ke RSUD AA. Demam (-), BAK kuning seperti teh kadang jernih,
BAB kuning seperti dempul, Batuk (-), pilek (-), mencret (-), muntah (-). Pasien tidak pernah
diberi ASI oleh ibunya.

19
Riwayat Penyakit Dahulu

Tidak ada mengeluhkan keluhan yang sama sebelumnya

Riwayat Penyakit Keluarga

Tidak ada anggota keluarga menderita keluhan yang serupa

Riwayat Orang Tua

 Ayah : Polisi
 Ibu : IRT

Riwayat Kehamilan

 Lahir normal, kurang bulan, ditolong bidan, BB lahir 2500 gr


 Selama hamil tidak ada masalah

Riwayat Makan Minum

 Minum susu formula sejak lahur

Riwayat Imunisasi

 Belum lengkap

Riwayat Pertumbuhan

 Sesuai usia

Riwayat Perkembangan

20
 Sesuai usia
Keadaan Perumahan dan tempat tinggal

 Pasien tinggal di rumah permanen


 Sumber air minum air galon
 Sumber air MCK air sumur

PEMERIKSAAN FISIK

Kesan Umum : Tampak sakit sedang

Kesadaran : Alert

Tanda Tanda Vital

HR : 128 x/i

RR : 38 x/i

T : 37,20C

GIZI

PB : 55 cm

BB : 4,1 kg

LILA : 11 cm

LK : 3,6 cm

Status Gizi :

BB/TB : normal

BB/U : normal (gizi baik)

21
TB/U : perawakan sedang

Kepala : Normosefal

Rambut : hitam, tidak mudah dicabut

Mata : Konjungtiva : anemis (+/+)

Sklera : Ikterik (+/+)

Pupil : Isokor, 2/2 mm

Refleks Cahaya : (+/+)

Palpebra : Udema (-/-)

Telinga : DBN

Hidung : DBN

Mulut

Bibir : Basah, pucat

Selaput Lendir: Basah

Palatum : Utuh

Lidah : Tidak Kotor

Gigi : (-)

LEHER

KGB : Pembesaran KGB (-)

Kaku Kuduk : (-)

DADA

Inspeksi : Gerakan dada simetris kiri dan kanan, IC tidak terlihat

22
Palpasi : Fremitus tidak bisa dinilai, IC teraba SIK V LMCS

Perkusi : Sonor, batas jantung paru normal

Auskultasi : Vesikuler (+/+), Ronki (-/-), dan Wheezing (-/-), BJ I dan


II normal

ABDOMEN

Inspeksi : Tampak cembung,

Palpasi : Supel, nyeri tekan sulit dinilai, hepatomegali (-) splenomegali (-)

Perkusi : Timpani

Auskultasi : BU (+) Normal

ALAT KELAMIN

Perempuan, DBN

EKSTREMITAS

Akral hangat, CRT < 2 detik, udema kaki (-/-)

STATUS NEUROLOGIS

Refleks Fisiologis: (+)

Refleks Patologis: (-)

PEMERIKSAAN LABORATORIUM

Darah rutin : (17 Mei 2015)

 HB : 8,5 gr/dl SGOT : 207 U/L


 HT : 25 % SGPT : 189 U/L

23
 Leu : 12.300 / mm3 Gamma GT : 83 U/L
 Tromb : 466.000 / mm3 Alkalifoskatase : 782 U/L
Bilirubin total : 8,6 Mg/dl

Bilirubin direct: 8,1 Mg/dl

HAL YANG PENTING DARI ANAMNESIS

 Mata kuning sejak lahir dan badn kuning sejak usia 20 hari
 BAK pucat seperti teh, BAB kuning seperti dempul
 Anak lahir dengan usia kurang bulan, BBL 2500 gr, tidak diberi ASI

HAL HAL PENTING DARI PEMERIKSAAN FISIK

 Konjungtiva anemis
 Sklera ikterik

HAL HAL PENTING DARI LAB RUTIN

 Anemia
 Leukositosis
 Trombositosis
 SGOT : 207 U/L ↑
 SGPT : 189 U/L ↑
 Gamma GT : 83 U/L ↑
 Alkalifoskatase : 782 U/L ↑
 Bilirubin total : 8,6 Mg/dl ↑
 Bilirubin direct: 8,1 Mg/dl ↑

24
HAL-HAL PENTING DARI PEMERIKSAAN PENUNJANG

Diagnosis IGD : Ikterus patologis

Diagnosis Kerja : Kolestasis Intrahepatik

Diagnosis Gizi : Perawakan sedang, Gizi baik

PEMERIKSAAN ANJURAN

 Urinalisis
 USG abdomen

Terapi Medikamentosa

Terapi IGD :

 Urdafalk3x40 mg

Gizi : Kebutuhan kalori 110- 120 kkal x 4,1kg = 410 – 492 kkal

Prognosa

Quo ad vitam : dubia ad bonam

Quo ad fungsionam : dubia ad bonam

Follow up

Tanggal Perjalanan penyakit Terapi

19/5/2015 S Kuning pada seluruh tubuh, Urdafalk3x40 mg


BAK kadang putih jernih kadang

25
kuning pekat, BAB pagi ini pucat Rencana USG dengan
seperti dempul  puasa

O KU : tampak sakit sedang,


kesadaran allert, nadi : 131x/i,
nafas 39x/i, suhu 36,5 C,

Mata : Konjungtiva anemis (+/+),


Sklera ikterik (+/+)

Thorax : dbn

Abdomen : supel, hepatomegali (-


), splenomegali (-)

Ekstremitas : akral hangat, CRT <


2”, udema (-/-)

A Kolestasis

20/5/2015 S Mata kuning dan badan kuning, Ursolic 3x1 cth


BAK seperti teh, demam (-)
Rencana USG tanpa puasa
gelisah (-)

O KU : tampak sakit sedang,


kesadaran allert, nadi : 132x/i,
nafas 38x/i, suhu 36,5 C,

Mata : Konjungtiva anemis (+/+),


Sklera ikterik (+/+)

Thorax : dbn

Abdomen : supel, hepatomegali (-


), splenomegali (-)

Ekstremitas : akral hangat, CRT <


2”, udema (-/-)

Hasil Pemeriksaan Laboratotium

26
Urin (20/5/2015)

Makroskopi

Warna : Kuning muda

Kejernihan : Jernih

Kimia urin

Protein : negatif

Glukosa : negatif

Bilirubin : negatif

Urobilinog : 0,2

 pH ; 6,0

Bj : 1,008

Darah : negatif

Keton : negatif

 Nitrit : negatif

Mikroskopis

Sedimen

Eritrosit : 0-1 /LPB

Leukosit : 1-3 / LPB

Sel epitel : 1-3 / LPB

Kristal : 0

Silinder : 0

Bakteri : Positif (+)

Jamur : 0

27
A Kolestasis

21/5/2015 S Mata kuning dan badan kuning, Ursolic 3x1 cth


BAK seperti teh, demam (-)
Ceftriaxone 2 x 200 mg
gelisah (-),
(hari 1)
O KU : tampak sakit sedang,
Proxion 4x0,4 cc
kesadaran allert, nadi : 135x/i,
nafas 30x/i, suhu 37 C, Rencana kultur urin

Mata : Konjungtiva anemis (+/+),


Sklera ikterik (+/+)

Thorax : dbn

Abdomen : supel, hepatomegali (-


) splenomegali (-)

Ekstremitas : akral hangat, CRT <


2”, udema (-/-)

A Kolestasis

22/5/2015 S Mata kuning (+), badan kuning Ursolic 3x1 cth


(+) demam naik turun, menggigil
Ceftriaxone 2 x 200 mg
(+) setelah diberi obat, muntah 3x,
(hari 2)
mencret (-), sesak (-).BAK kuning
seperti teh, BAB warna kuning Proxion 4x0,4 cc
dempul.
Hasil kultur urin (-)
O KU : tampak sakit sedang,
kesadaran komposmentis, nadi :
130x/i, nafas 25x/i, suhu 36,6 C,

Mata : Konjungtiva anemis (+/+),


Sklera ikterik (+/+)

Thorax : dbn

Abdomen : supel, hepatomegali (-


, splenomegali (-)

Ekstremitas : akral hangat, CRT <

28
2”, udema (-/-)

Hasil Pemeriksaan Laboratorium


Hematologi (23/5/2015)

A Kolestasis

23/5/2015 S Mata kuning (+) badan kuning Ursolic 3x1 cth


(+), demam (-), menggigil (-),
Azitromicin syr 1 cc (hari
muntah (-), mencret (-), BAK
1)
kuning seperti teh, BAB warna
kuning dempul. Praxion 4x0,4 cc
O KU : tampak sakit sedang, Apialys syr 1 x 1 ¼ cth
kesadaran allert, nadi : 125x/i,
nafas 26x/i, suhu 37,2C, Hasil kultur urin (-)

Mata : Konjungtiva anemis (+/+),


Sklera ikterik (+/+)

Thorax : dbn

Abdomen : supel, hepatomegali (-


), splenomegali (-)

Ekstremitas : akral hangat, CRT <


2”, udema (-/-)

A Kolestasis

24/5/2015 S Mata kuning (+) badan kuning Ursolic 3x1 cth


(+), demam (-), menggigil (-),
Azitromicin syr 1 cc (hari
muntah (-), mencret (-), BAK
2)
kuning seperti teh, BAB warna
kuning dempul. Praxion 4x0,4 cc
O KU : tampak sakit sedang, Apialys syr 1 x 1 ¼ cth
kesadaran allert, nadi : 126x/i,
nafas 25x/i, suhu 37,2C,  Neo K hari 1

Mata : Konjungtiva anemis (-/-), Vit E hari 1


Sklera ikterik (+/+)
Hasil kultur urin (-)

29
Thorax : dbn

Abdomen : supel, hepatomegali (-


), splenomegali (-)

Ekstremitas : akral hangat, CRT <


2”, udema (-/-)

A Kolestasis

25/5/2015 S Mata kuning (+) badan kuning Ursolic 3x1 cth


(+), demam (-), menggigil (-),
Azitromicin syr 1 cc (hari
muntah (-), mencret (-), BAK
3)
kuning seperti teh, BAB warna
kuning dempul. Praxion 4x0,4 cc
O KU : tampak sakit sedang, Apialys syr 1 x 1 ¼ cth
kesadaran allert, nadi : 128x/i,
nafas 26x/i, suhu 37,3C, BB 4kg  Neo K hari 2

Vit E hari 2

Mata : Konjungtiva anemis (-/-),


Sklera ikterik (+/+)

Thorax : dbn

Abdomen : supel, hepatomegali (-


), splenomegali (-)

Ekstremitas : akral hangat, CRT <


2”, udema (-/-)

Hasil Pemeriksaan Laboratorium


Hematologi (23/5/2015)

HB : 9,7 g/dl
HT : 29,0%
Leukosit : 17.400 /ul
Eritrosit : 3.330.000 / uL
Trombosit : 214.000 /uL
Retikulisit : 1,2 %

30
BILD : 6,13 mg/dl
BTOT : 10,58 mg/dl
AST1 : 164 IU/L
ALT1 : 189 U/L
INDIREC BIL : 4,45 mg/dl

Hasil kultur urin (25/5/2015)

Selected organism : Klebsiella


 pneumoniae ssp pneumoniae

A Kolestasis

26/5/2015 S Mata kuning (+) badan kuning Ursolic 3x1 cth


(+), demam (-), menggigil (-),
Meropenem 3x75 mg
muntah (-), mencret (-), BAK
(hari 1)
kuning seperti teh, BAB warna
kuning dempul. Praxion 4x0,4 cc
O KU : tampak sakit sedang, Apialys syr 1 x 1 ¼ cth
kesadaran allert, nadi : 128x/i,
nafas 28x/i, suhu 37,4C BB:4 kg Vit E hari 3

Mata : Konjungtiva anemis (-/-),


Sklera ikterik (+/+)

Thorax : dbn

Abdomen : supel, hepatomegali (-


), splenomegali (-)

Ekstremitas : akral hangat, CRT <


2”, udema (-/-)

A Kolestasis

27/5/2015 S Mata kuning (+) badan kuning Ursolic 3x1 cth


(+), demam (-), menggigil (-),
Meropenem 3x75 mg
muntah (-), mencret (-), BAK
(hari 2)
kuning seperti teh, BAB warna
kuning dempul. Praxion 4x0,4 cc

31
O KU : tampak sakit sedang, Apialys syr 1 x 1 ¼ cth
kesadaran allert, nadi : 130x/i,
HP Pro 3x1/3 puyer hari 1
nafas 28x/i, suhu 37,3C BB:4 kg
Vit E hari 4

Mata : Konjungtiva anemis (-/-),


Sklera ikterik (+/+)

Thorax : dbn

Abdomen : supel, hepatomegali (-


), splenomegali (-)

Ekstremitas : akral hangat, CRT <


2”, udema (-/-)

A Kolestasis

28/5/2015 S Mata kuning (+) badan kuning Ursolic 3x1 cth


(+), demam (-), menggigil (-),
Meropenem 3x75 mg
muntah (-), mencret (-), BAK
(hari 3)
kuning seperti teh, BAB warna
kuning dempul. Praxion 4x0,4 cc
O KU : tampak sakit sedang, Apialys syr 1 x 1 ¼ cth
kesadaran allert, nadi : 128x/i,
nafas 28x/i, suhu 36C BB:4,2 kg HP Pro 3x1/3 puyer hari 2

Vit E hari 5

Mata : Konjungtiva anemis (-/-),


Sklera ikterik (+/+)

Thorax : dbn

Abdomen : supel, hepatomegali (-


), splenomegali (-)

Ekstremitas : akral hangat, CRT <


2”, udema (-/-)

A Kolestasis
29/5/2015 S Mata kuning (+) badan kuning Ursolic 3x1 cth

32
(+), demam (-), menggigil (-), Meropenem 3x75 mg
muntah (-), mencret (-), BAK (hari 4)
kuning seperti teh, BAB warna
Praxion 4x0,4 cc
kuning dempul.
Apialys syr 1 x 1 ¼ cth
O KU : tampak sakit sedang,
kesadaran allert, nadi : 130x/i, HP Pro 3x1/3 puyer hari 3
nafas 26x/i, suhu 36,3C BB:4,2 kg
Vit E hari 6

Mata : Konjungtiva anemis (-/-),


Sklera ikterik (+/+)

Thorax : dbn

Abdomen : supel, hepatomegali (-


), splenomegali (-)

Ekstremitas : akral hangat, CRT <


2”, udema (-/-)

A Kolestasis

30/5/2015 S Mata kuning (+) badan kuning Ursolic 3x1 cth


(+), demam (-), batuk (+), pilek
Meropenem 3x75 mg
(+), menggigil (-), muntah (-),
(hari 5)
mencret (-), BAK kuning seperti
teh, BAB warna kuning dempul. Praxion 4x0,4 cc
O KU : tampak sakit sedang, Apialys syr 1 x 1 ¼ cth
kesadaran allert, nadi : 128x/i,
nafas 28x/i, suhu 36,7C BB:4,1 kg HP Pro 3x1/3 puyer hari 4

Vit E hari 7

Mata : Konjungtiva anemis (-/-), PIP I 3x1


Sklera ikterik (+/+)

Thorax : dbn

Abdomen : supel, hepatomegali (-


), splenomegali (-)

33
Ekstremitas : akral hangat, CRT <
2”, udema (-/-)

A Kolestasis
31/5/2015 S Mata kuning (+) badan kuning Ursolic 3x1 cth
(+), demam (-), batuk (+), pilek (-
Meropenem 3x75 mg
), menggigil (-), muntah (-),
(hari 6)
mencret (-), BAK kuning seperti
teh, BAB warna kuning terang. Praxion 4x0,4 cc
O KU : tampak sakit sedang, Apialys syr 1 x 1 ¼ cth
kesadaran allert, nadi : 126x/i,
nafas 26x/i, suhu 36,8’C BB:4,1 HP Pro 3x1/3 puyer hari 5
kg
Vit E hari 8

PIP I 3x1
Mata : Konjungtiva anemis (-/-),
Sklera ikterik (+/+)

Thorax : dbn

Abdomen : supel, hepatomegali (-


), splenomegali (-)

Ekstremitas : akral hangat, CRT <


2”, udema (-/-)

A Kolestasis

01/6/2015 S Mata kuning (+) badan kuning Ursolic 3x1 cth


(+), demam (-), batuk (+), pilek (-
Meropenem 3x75 mg
), menggigil (-), muntah (-),
(hari 7)
mencret (-), BAK kuning seperti
teh namun pekat berkurang, BAB Praxion 4x0,4 cc
warna kuning terang.
Apialys syr 1 x 1 ¼ cth
O KU : tampak sakit sedang,
kesadaran allert, nadi : 136x/i, HP Pro 3x1/3 puyer hari 6
nafas 28x/i, suhu 37,4C BB:4,1 kg
Vit E hari 9

PIP I 3x1
Mata : Konjungtiva anemis (-/-),

34
Sklera ikterik (+/+)

Thorax : dbn

Abdomen : supel, hepatomegali (-


), splenomegali (-)

Ekstremitas : akral hangat, CRT <


2”, udema (-/-)

A Kolestasis

Hasil Pemeriksaan Laboratorium


Hematologi (01/6/2015)

HB : 9,27 g/dl
HT : 29,35 %
Leukosit : 12.900 /ul
Eritrosit : 3,442.000 / uL
Trombosit : 477.000 /uL
LED = Tidak cukup

BILD : 4,25 mg/dl


BTOT : 6,44 mg/dl
AST1 : 135 IU/L
ALT1 : 111 U/L
INDIREC BIL : 2,18 mg/dl

BAB III

PEMBAHASAN

35
Pada pasien bayi perempuan usia 2 bulan dengan keluhan utama kuning di mata dari
lahir kemudian seluruh tubuh mengarahkan diagnosis ke bayi dengan ikterus. Ikterus yang
terjadi tidak pernah hilang (>2 minggu) sehingga ikterus non fisiologis. Dari anamnesis
didapatkan riwayat BAB kuning seperti dempul, dan BAK kuning seperti teh, berat badan lahir
2500 gram. Hal ini mengarahkan kita pada diagnosis kolestasis ikterus ec suspek kolestasis
intrahepatik. Dari pemeriksaan fisik didapatkan sklera ikterik, kulit badan kuning, hepar dan lien
tidak teraba. Sklera ikterik dan kulit badan kuning dapat di asses sebagai akibat kerusakan dari
sel parenkim hati menyebabkan gangguan aliran dari garam bilirubin dalam hati akibatnya
 bilirubin tidak sempurna dikeluarkan ke dalam duktus hepatikus karena terjadinya retensi dan
regurgitasi. Jadi akan terlihat peninggian bilirubin terkonyugasi dan bilirubin tidak terkonjugasi
dalam serum. Penyumbatan duktus biliaris yang kecil intrahepatal sudah cukup menyebabkan
ikterus. Dilakukan langkah mengikuti tahapan evaluasi kolestasis. Untuk menunjang diagnosis
dilakukan pemeriksaan penunjang yaitu bilirubin total dan fraksi bilirubin. Hasil menunjukkan
 peningkatan bilirubin total yaitu 8,6 mg/dl dan bilirubin direk 8,1 mg/dl bilirubin total sehingga
sesuai dengan kolestasis. Untuk mengetahui kondisi kelainan hepatoselular dan bilier dilakukan
 pemeriksaan penunjang SGOT, SGPT, alkali fosfatase, dan GGT. Nilai SGOT meningkat tinggi
yaitu 207 U/L, nilai SGPT meningkat tinggi yaitu 189 gr/dl, Nilai GGT tidak terlalu meningkat
83 U/L, sedangkan nilai fosfatase alkali 782 U/L menunjukkan kemungkinan adanya
menunjukkan suatu gangguan hepatoselular atau kolestasis intrahepatik.
Pada pasien terdapat ISK yang dapat pula menyebabkan kolestasis ditemukan dari hasil
kultur urin yaitu klebsiella pneumonia ssp pneumonia. Hal ini terjdi kearena pada keadaan
infeksi baik yang masuk ke dalam hati maupun di luar hati, bakteri dapat menghasilkan
endotoksin dan endotoksin tersebut dapat masuk dalam sirkulasi walaupun bakteri yang
menginfeksi tidak masuk dalam peredaran darah. Oleh sebab itu mungkin saja ditemukan
kolestasis walaupun tidak ada bakteremia. Endotoksin dapat merangsang sintesis sitokin oleh
makrofag (di dalam hati misalnya: Sel Kupfer). Sel kupfer dan sel imunokompeten lainnya
dalam hati mensintesis sitokin intrahepatik seperti TNF α, IL-1, IL-6 dan IL-8, sehingga sitokin
intrahepatik meningkat jumlahnya, mengganggu fungsi hepatosit dan menyebabkan kolestasis.
Telah diketahui bahwa sitokin proinflamasi, terutama TNF α dan IL-1 adalah inhibitor yang
 poten untuk menghambat ekspresi gen transporter hepatobilier. Asam empedu dan bilirubin
untuk masuk dari sinusoid ke intrahepatik memerlukan bantuan protein transporter tertentu,
demikian juga untuk ekskresi asam empedu dan bilirubin dari intrahepatik ke kanalikulus
 biliaris. Akibat adanya gangguan pada transporter-transporter baik untuk transpor bilirubin dan
asam empedu maka akan terjadi gangguan aliran empedu yaitu kolestasis.

Penatalaksanaan pada pasien ini adalah pemberian terapi kolestasis pada ISK terutama
ditujukan untuk mengatasi infeksi saluran kemih. Antibiotic yang diberikan yaitu meropenem.
Antibiotik yang sesuai dengan antibiogram sesuai hasil kultur urin merupakan antibiotik yang
terbaik untuk mengatasi infeksi saluran kemih tersebut. Membaiknya infeksi saluran kemih akan
memperbaiki keadaan kolestasis yang terjadi. Selain itu pada pasien diberikan asam

36
ursodeoksikolat merupakan competitive binding terhadap asam empedu toksik, sebagai suplemen
empedu, hepatoprotektor serta bile flow inducer. Dan menjaga pertumbuhan bayi dengan
 pemberian vitamin yang larut dalam lemak seperti Vitamin K dan E

DAFTAR PUSTAKA

1. Desmet VJ, Callea F. Cholestatic syndromes of infancy and childhood . Dalam: Zakim D,
Boyer TD, penyunting. Hepatology. A Textbook of liver disease; edisi ke-2.
Philadelphia: Saunders. 1990: 1355-95.

37

Anda mungkin juga menyukai