Anda di halaman 1dari 34

KAJIAN AKADEMIK PUSLITBANG POLRI TERHADAP MATERI

RANCANGAN UNDANG-UNDANG KAMNAS

BAB I

PENDAHULUAN

1. UMUM

a. Bahwa lazimnya sebuah produk rancangan undang-undang, direncanakan penyusunannya


berdasarkan ketentuan yang benar yaitu harus ada legal drafting/naskah akademik yang
menjelaskan secara umum arti penting keberadaan dan urgensinya sebuah produk
rencana undang-undang untuk diajukan menjadi produk undang-undang pada hakikatnya
memuat tentang gambaran umum dari kebutuhan masyarakat dan organisasi, filosofi yang
mendasari kelahiran undang-undang tersebut. Terutama dikaitkan dengan masalah-
masalah yang mengemuka seperti nuansa demokratisasi, supremasi hukum, transparansi,
akuntabilitas, dan Hak Asasi Manusia sebagai kerangka mewujudkan supremasi sipil
disamping mengacu kepada aspek sistem ketatanegaraan yang berlaku dan merujuk
kepada legalitas formal perundang-undangan yang berlaku.

b. Hal ini sangat penting agar nantinya dapat menjelaskan secara utuh, hakekat, tujuan dan
manfaat sehingga terlihat alur/kerangka berpikir dari semangat penyusunan produk UU
tersebut, mengingat selama ini sering terjadi kekeliruan dalam perumusan RUU yang sering
berangkat dari pembahasan pasal per pasal bukan sebaliknya menjelaskan dan
menguraikan naskah akademiknya.

c. Dan salah satu produk RUU yang menjadi fenomena kontroversi dalam pembahasannya di
lembaga legislatif sampai saat ini adalah produk RUU KAMNAS yang pada hakekatnya
bertujuan untuk bagaimana penyelenggaraan fungsi keamanan nasional dalam
melaksanakan fungsinya terlihat integral, sinergitas, koordinatif dan terpadu yang dapat
memberikan kontribusi terhadap produktivitas dan kinerja, sehingga penyelenggaraan
fungsi tersebut dapat berjalan efektif, efisien dalam implementasinya serta berhasil dan
berdayaguna.

Artinya secara tegas dan jelas harus terlihat gambaran semangat yang berisikan maksud
dan tujuan, hakikat, adanya pembagian ranah, porsi dari fungsi-fungsi penyelenggara
keamanan nasional terutama dihadapkan pada degradasi/eskalasi gangguan keamanan
nasional baik pada lingkup tertib sipil, darurat sipil ,darurat militer dan perang bila hal
tersebut menjadi domain pengelompokan degradasi gangguan keamanan nasional
sebagaimana konsep RUU Kamnas tersebut.

1
d. Namun fakta yang ada dalam konteks RUU KAMNAS tersebut saat ini belum
mencerminkan wujud keutuhan dari sebuah naskah akademik atau legal drafting yang
menjadi pijakan ilmiah dalam menguraikan apa yang menjadi semangat, tujuan dan urgensi
penyusunan RUU KAMNAS tersebut. Sehingga dalam konteks ini Polri sangat
berkepentingan melakukan analisis/kajian akademik dari sudut legal drafting terhadap
RUU KAMNAS tersebut untuk disampaikan kepada para stake holder yang berkepentingan
dengan proses legalisasi perundang-undangan dilembaga legislatif DPR RI mengingat
implikasinya sangat besar terhadap eksistensi dan kemandirian Polri saat ini dan kedepan.

2. DASAR

a. UUD 1945;
b. Ketetapan MPR-RI No.VI dan VII tahun 2000 tentang pemisahan struktur TNI Polri dan
peran TNI Polri;

c. KUHAP No. 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana;


d. UU No. 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia;

e. UU No. 3 tahun 2002 tentang Pertahanan;


f. UU No. 34 tahun 2004 tentang TNI;

g. Konvensi Internasional tentang penyelenggaraan tugas Polri dan TNI;

h. Grand Strategi Polri;

i. Surat Kadivbinkum Polri No. B/4481/XII/2011/Divkum Kepada distribusi A B dan C


Mabes Polri, tanggal 14 Desember 2011 perihal penyampaian RUU KAMNAS;

j. Pemolisian Birokrasi, Anton Tabah;

k. Disposisi Kapuslitbang Polri untuk dipelajari.

3. MAKSUD DAN TUJUAN

a. Maksud pembuatan kajian akademik ini disusun sebagai bentuk pertanggung jawaban
terhadap tindak lanjut perintah Kapuslitbang untuk mempelajari guna memberikan
masukan, informasi kepada pimpinan Polri dalam menentukan kebijakan lebih lanjut.

b. Tujuan pembuatan kajian akademik ini disusun sebagai bentuk kritis dan kecintaan
terhadap institusi Polri dalam mencermati strategi pihak tertentu yang telah dan terus
berupaya melakukan pengalihan, mereduksi kewenangan tugas fungsi dan peran Polri
melalui sebuah ide dalam bentuk RUU KAMNAS sebagaimana isi surat Kadivbinkum untuk
dipahami dan dipelajari.

2
4. RUANG LINGKUP

Ruang lingkup penyusunan kajian akademik terhadap RUU KAMNAS ini dibatasi pada fokus
pembahasan tentang standarisasi kelayakan sebuah produk RUU KAMNAS yang akan dijadikan
sebagai dasar hukum penyelenggaraan fungsi keamanan nasional ditinjau dari berbagai sudut
pandang antara lain :

a. Keberadaan kesempurnaan naskah akademik yang memuat rasionalisasi,

b. Tidak bertentangan dengan Sistem ketatanegaraan yang ada dan

c. Berdasar pada Sumber rujukan yang memiliki legalitas formal dan pertimbangan
perbandingan hukum internasional.

Dengan demikian apa yang menjadi semangat dan tujuan pentingnya penyusunan produk
RUU KAMNAS tersebut dapat memberikan manfaat yang positif terhadap produktifitas dan
kinerja serta tidak melanggar kaidah dan ketentuan hukum yang berlaku nasional.

5. SISTEMATIKA

Sistematika penyusunan analisis/kajian akademik RUU KAMNAS ini meliputi :

BAB I PENDAHULUAN

BAB II LANDASAN TEORI

BAB III PERMASALAHAN YANG MUNCUL DARI RUU KAMNAS TERHADAP


EKSISTENSI POLRI

BAB IV KAJIAN AKADEMIK TERHADAP RUU KAMNAS

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

BAB VI PENUTUP

3
BAB II

LANDASAN TEORI

Landasan teori merupakan pijakan ilmiah dalam rangka mengkaji atau menganalisis suatu
permasalahan agar memiliki nilai yang didasarkan pada sebuah teori dan dasar hukum dalam melihat
dan mencermati suatu permasalahan yang menjadi fokus bahasan sehingga tidak keluar dari konteks
permasalahan.

Dianalogikan bahwa hukum di suatu negara bagaikan layar lebar ditempat terbuka, siapa saja
biasa melihat terang dan gamblang sehingga jelas hukum akan mudah di baca dan dilihat orang,
dimana kondisi seperti ini akan menimbulkan akibat sulit bagi suatu bangsa untuk menyembunyikan
kenyataan pahit dalam kehidupan hukumnya. Suatu bangsa akan di segani dan negara dihormati
oleh bangsa dan Negara lain jika ada empat hal yang terhormat bisa terwujud secara baik yaitu :
kekompakan para elit politik, kepastian hukum yang tegas, ekonomi yang maju dan diplomasinya kuat
dan menang.

Bagaimana Indonesia dengan ke 4 (empat) hal tersebut di atas, maka tidak satupun bisa di
banggakan sehingga era reformasi Indonesia semakin dilecehkan bahkan oleh negara kecil seperti
Singapura dan Malaysia. Menyikapi kondisi tersebut di atas, strategi yang mesti di bangun adalah satu
persatu diatasi, kepastian hukum menjadi daya tarik investor asing untuk ikut membangun
Indonesia, namun ketidakpastian hukum di Indonesia telah membuat investor asing lari karena bukan
hanya modal mereka yang terancam, tetap juga jiwa mereka.

Ketidakpastian hukum telah menjadikan ketidakamanan dan ketidaknyamanan bagi


investor, apalagi rakyat Indonesia yang suka unjuk rasa,yang sering berubah anarkis termasuk buruh.

Kemudian kalangan elit politik harus dapat menjadi tauladan dalam taat hukum dan
kekompakannya, bukan malah menjadi contoh buruk, dalam ketidaktaatan hukum dan ketidak
rukunan, juga ketaatan dalam membuat RUU seperti RUU KAMNAS yang semestinya menghormati
Basic Law undang-undang di atasnya tidak boleh melanggar apalagi bertentangan.

Dalam konteks ini, para elit politik Indonesia jangan menganggap enteng dan sepele dengan
masalah seperti ini karena dampaknya sangat luas yaitu dapat merusak tatanan dan semakin tidak
adanya kepastian hukum, yang saat ini sedang kita bangun dengan susah payah. Namun pejabat
panyelenggara Indonesia yang menerjang larangan seakan mereka tak merasa bersalah tadi tersebut
adalah “iguanarantia yuris” pengabaian hukum ini juga sering dilakukan oleh lembaga legislatif
Indonesia,dalam menyusun sebuah RUU, dimana banyak RUU baru yang bertentangan dengan basic
law undang-undang, diluluskan, karena mereka tidak mentaati undang-undang No.10 tahun 2004
tentang prosedur dan mekanisme dalam membuat sebuah RUU.

4
Contoh yang dimaksudkan dalam konteks tersebut diatas antara lain produk undang –undang
perikanan, undang-undang intellijen, Undang-undang bea cukai, imigrasi, pajak, transportasi
(penerbangan, pelayaran, kereta api) dan KUHAP yang malah mau kembali ke HIR dan lain-lain, begitu
pula praktek CJS, di lapangan dimana banyak kasus penuntut umum langsung menerima berkas dari
penyidik pagawai negeri sipil (PPNS) padahal hukum acara mewajibkan koordinasi dengan penyidik
Polri selaku koordinator dan pengawas PPNS. Kenapa Polri menjadi korwas PPNS dan kenapa PPNS
wajib berkoordinasi dengan Polri karena Polri diperintah oleh undang-undang untuk menjadi Pusat
Pendataan dan Informasi Criminal Nasional (PIKNAS).

Oleh karena itu, sangat relevan jika landasan dalam kajian ini kita mengangkat statement pakar
hukum Belanda yang beberapa waktu lalu berkunjung ke Indonesia yaitu Prof. PH. Kooijmans, Dia
menilai bahwa pembangunan hukum di Indonesia tidak taat azas dan tidak taat prosedur dan ini
merupakan sebuah kemunduran (sit back). Menurut pakar hukum dari Universitas Ledien Belanda itu
juga menyoroti mengenai mekanisme pembuatan RUU, dimana banyak terdapat undang–undang baru
saat ini yang bertentangan dengan produk undang – undang induk, yang semestinya di jadikan sebagai
acuan.

Kepentingan sektoral yang dominan bukan hanya merusak tatanan undang-undang tetapi juga
menimbulkan kerancuan dan tidak ada lagi adanya kepastian hukum di Indonesia saat ini.

Dampak “iguanarantia yuris” tersebut sangat mengerikan, padahal tatakrama dalam


membuat undang-undang sudah sangat tegas dan jelas RUU apa yang di buat, siapa dan bagaimana
(lihat undang-undang No.10 tahun 2004), contoh paling dekat kepada RUU KAMNAS yang dibuat oleh
DepHan padahal keamanan bukan domain bidang tugas mereka.

Dimana DepHan dengan sangat gigih membuat rancangan undang-undang keamanan


nasional (RUU KAMNAS), dan terus mereka siapkan sosialisasi dengan gelar opini argumentatif,
memunculkan sebuah teori K (besar) dimaknai sebagai Keamanan Nasional dan k (kecil) diartikan
sebagai keamanan masyarakat secara sempit (kamtibnas), ini dilakukan untuk merevisi reposisi dan
meredefenisi keberadaan TAP MPR No.VI dan VII tahun 2000, yang menurut mereka telah memetakan
fungsi keamanan dan pertahanan secara hitam putih sehingga terjadi pengaplingan keamanan yang
tidak mereka harapkan.

Dalam konteks ini maka ada berbagai pertanyaan dalam hal tersebut diatas yaitu :

1. Apakah RUU KAMNAS diperlukan mengingat banyak Negara yang juga tidak memerlukan
undang-undang seperti RUU KAMNAS tersebut, karena tanpa RUU KAMNAS banyak negara
dapat berjalan normal;

2. Jika perlu siapa yang membuat RUU KAMNAS tersebut, ini terkait dengan undang-undang No.10
Tahun 2004 tentang prosedur dan bagaimana mekanisme dalam membuat RUU yang benar
sesuai dengan legal drafting;

5
3. Jika memang perlu dibuat RUU KAMNAS maka tidak boleh bertentangan dengan undang-
undang induk yang sudah ada apalagi melampaui batas kewenangan dan mengambil peran
fungsi lain serta memasuki otoritas sipil yang bukan wewenangnya.

Para pakar sependapat bahwa RUU KAMNAS yang sudah dibuat dan akan disyahkan saat ini
telah melampaui kewenangan, dan mereka bertanya kenapa RUU KAMNAS tersebut dibuat oleh
DEPHAN, bukankah kewenangan mereka adalah bidang pertahanan, kondisi ini bisa mendorong para
pakar dan DPR harus bicara jujur, bagaimana RUU KAMNAS jika akan disahkan. Dalam mengkaji
RUU KAMNAS yang telah disuguhkan isu sangat berbeda dengan Ruh Reformasi. Dari Tap MPR No.
VI dan VII tahun 2000 yang bertujuan agar bangsa Indonesia memiliki TNI dan Polri yang benar-benar
profesional tidak lagi terlibat politik praktis. Dan Tap MPR tersebut telah diperkuat dengan undang-
undang No. 2 tahun 2002 tentang Polri, UU No.3 tahun 2002 tentang pertahanan dan UU No. 34 tahun
2004 tentang TNI.

Dalam UU TNI sangat jelas misalnya meniadakan fungsi pembinaan teritorial dan secara
bertahap akan meniadakan kodam, kodim dan koramil kecuali didaerah-daerah perbatasan dengan
negara lain, didaerah-daerah konflik dan di pulau-pulau terpencil dan terluar yang potensi kerawanan
dan kekayaan alamnya besar (media Indonesia 30 september 2004) namun implementasi reformasi
TNI (TNI-AD) terhadap substansi UU No 34 tahun 2004 tentang TNI tersebut justru tidak dijadikan
rujukan dalam RUU KAMNAS yang akan disahkan sehingga hal ini “kontraproduktif”. Dalam kaitan
tersebut diatas maka ada 4 (empat) isu penting yang harus dijadikan landasan mengapa ide
penyusunan RUU KAMNAS tersebut menjadi prioritas bagi Dephan dan TNI.

4 (empat) ISU PENTING SEBAGAI DASAR DALAM MENGKRITISI PENYUSUNAN RUU KAMNAS

1. TNI (TNI-AD) akan segera menghidupkan kembali Koter sampai ke tingkat desa guna
menangkal berbagai permasalahan bangsa dewasa ini, sehingga diharapkan semua pihak
menyetujui dihidupkannya kembali Koter karena merupakan kebutuhan bangsa yang mendesak.
UU Nomor 34/2004 yang mengamanatkan TNI selain bertugas operasi perang juga bertugas
operasi Non Perang. Berbagai kalangan menilai; ide tersebut sebuah langkah mundur dengan
melihat pengalaman buruk Koter yang telah banyak melanggar demokrasi, melanggar hak-hak
sipil dan HAM.

2. Dephan telah keliru mengartikan kalimat tugas TNI Non Perang diartikan bisa dengan serta
merta terlibat dan masuk ke otoritas sipil yang bukan kewenangannya. Tugas operasi non
perang dalam berbagai konvensi internasional diartikan sebagai Military Operation Other Than
War (MOOTW) bertugas bukan untuk perang tetapi operasi kemanusiaan dalam rangka peace
keeping, menangani bencana alam dan tugas-tugas internasional dan lainnya atas mandat PBB.

6
3. RUU KAMNAS yang melibatkan kiprah militer ke berbagai otoritas sipil ditenggarai akan berlaku
permanen seperti era orde baru yang eksesif merugikan tatanan demokrasi dan civil society.
Kritik ini semakin keras di tengah fakta reformasi yang stagnan.

4. Dua hal mendasar RUU KAMNAS, TNI akan memasuki dan mereduksi kewenangan Polri.
Merancang Polri di bawah Departemen tertentu bahkan di bawah Dephan hanya karena
nanti TNI akan di bawah Dephan maka Polri tidak boleh langsung di bawah Presiden.

Hal ini didasarkan pada analisis Rumusan Bandung awal tahun 1999 dimana ada lima pemikiran
polemistis yaitu TNI tak lagi selalu didepan, tidak lagi menduduki tetapi mempengaruhi, memberikan
sumbangan konseptual pada negara, bertindak berdasarkan bagi peran (role sharing) dan ambil
keputusan dalam hal-hal penting dibidang ke negaraan dan pemerintahan. Jika dicermati paradigma
baru TNI (baca TNI-AD) tersebut dicermati bukan saja polimistis tetapi juga ambivalen keterlibatan TNI
dalam perpolitikan negara justru sangat kental dalam penggal-penggal kalimat yang multi tafsir, oleh
karena itu tidak mengejutkan jika dinamika politik TNI akan terus mempengaruhi jalannya proses
demokratisasi di Indonesia yang dapat terlihat dari hal-hal sebagai berikut :

1. Repolitisasi kalangan perwira angkatan darat untuk menjadikan reformasi sebagai


instrument proyeksi TNI sebagai kekuatan politik paling handal dan reformis karena politisi sipil
lemah.

2. Inkonsistensi dalam menyikapi tuntutan reformasi ketika TNI (TNI AD) berencana likuidasi
koter-koter dari kodam sampai koramil dilebur menjadi batalyon, brigade, dan resimen yang saat
itu dimotori oleh Letjen Agus Widjoyo (1999) dimana hasilnya Letjen Agus Widjoyo tersebut malah
dibuang ke legislatif kemudian gagasan melikuidasi koter itu padam bahkan malah sebaliknya
memekarkan koter dengan membentuk kodam-kodam dan korem baru.

3. Pertikaian politik antara politisi sipil telah menyebabkan lembaga DPR RI tak cukup waktu
memikirkan apalagi mengkritisi agenda-agenda reformasi TNI lebih substantif.

4. Bangkitnya konservatisan pembentukan koter dengan alasan bahwa Polri tak mampu
menangani konflik-konflik dalam negeri sehingga ancaman diintegrasi dan separatisme
meningkat seperti terorisme, konflik-konflik komunel dan isu separatis menjadi argumentatif bagi
TNI yang dimotori oleh DEPHAN.

IDEALISASI STRUKTUR ORGANISASI TNI DAN POLRI DALAM SISTEM KETATA NEGARAAN
DAN KONVENSI INTERNASIONAL.

Setengah abad Polri dan TNI “serumah” rupanya mempengaruhi persepsi bahwa TNI dan Polri
itu sama, padahal TNI dan Polri berbeda. Struktur organisasi TNI harus tunduk pada konvensi
internasional dibawah Dephan untuk kontrol supaya tidak mudah disalahgunakan. Karena tidak ada
satu aktor tunggal yang boleh menggerakkan tentara. Sekecil apapun untuk masuk ke otoritas sipil
harus dengan keputusan politik (DPR, Dephan dan Presiden).
7
Tidak demikian halnya dengan Kepolisian. Dipastikan bahwa struktur organisasi kepolisian di
tiap negara berbeda-beda ada yang dalam departemen tersendiri, ada yang di bawah departemen
tertentu ada yang dibawah Perdana Menteri (Parlementer) ada yang dibawah presiden (Presidensil).
Yang utama kepolisian adalah lembaga negara independen agar tidak diintervensi berbagai
kepentingan yang merusak proses penegakan hukum dan keadilan. Berbagai pengalaman
membuktikan setiap Polri di bawah departemen pasti Polri lemah tak berdaya, akibat intervensi sangat
tinggi. Karena itu harus kembali ke sejarah kejayaan dan keemasannya ketika Polri independen di
bawah Presiden.

Ditinjau dari perspektif sistem hukum tata negara harus dipahami bahwa negara
memposisikan Polri dibawah Presiden adalah dengan kajian teoritas dan empiris para pendiri negara
dengan cermat dan matang sebab itu bangsa yang cerdas tak akan mengulangi kesalahan ketika
memposisikan Polri di bawah institusi/departemen tertentu karena Polri telah menjadi lemah dan tak
berdaya, banyak intervensi dan menjadi rebutan berbagai kepentingan yang sulit dikontrol, dari sisi
sejarah hukum tata negara kita hanya ada satu pilihan jika ingin memiliki Polri yang kuat tak mudah
diintervensi yaitu Polri harus dibawah Presiden sebagai keputusan TAP MPR No. VI dan VII/MPR/2000

Adapun penetapan posisi TNI di bawah DEPHAN tidak langsung di bawah Presiden karena
institusi militer di dunia manapun hanya menganut satu doktrin “Euis Ed Bellum” sehingga TNI harus
tunduk pada doktrin tersebut agar tidak mudah diperalat oleh suatu lembaga apapun karena tidak boleh
ada bahkan tidak boleh ada aktor tunggal yang boleh menggerakkan militer atau TNI tanpa sebuah
keputusan politik apalagi masuk ke otoritas sipil seperti RUU KAMNAS mengingat demokrasi sangat
melarang keras untuk itu sekecil apapun pelibatan tentara ke otoritas sipil setidaknya harus melalui
keputusan politik minimal tiga institusi (Presiden, DPR, dan DEPHAN) kecuali penanganan bencana
alam.

Hal ini sangat berbeda dengan institusi Polri yang memang tugas pokok, fungsi dan perannya
berada di otoritas sipil yang sangat luas terlebih lagi selaku pelayan publik. Hal ini mendasari pada 7
(tujuh) pedoman strategis yang harus selalu dijadikan pegangan :

1. Polri bukan aparat sipil murni seperti kejaksaan tetapi Polri berdiri antara sipil dan militer, institusi
besar, bersenjata, berperalatan teknologi tinggi bukan hanya menyidik masyarakat umum yang
melakukan tindak pidana tetapi juga menyidik oknum tentara yang melakukan tindak pidana
umum.

2. Jabatan Kapolri adalah jabatan karir bukan politis.

3. Struktur organisasi Polri hirarkis demi menciptakan disiplin ketat agar tidak rentan.

4. Polri bukan institusi yang bisa di otonomikan (UU No. 22 / 99 tentang Otonomi Daerah)

5. Jika Polri “diotdakan” di daerah akan dibawah struktur pemda dimana hal ini akan sangat
berbahaya, karena tidak cocok dengan kondisi Indonesia.

8
6. Polri harus independen dengan begitu Polri dapat menampilkan jati dirinya secara total selaku
penyelidik, penyidik, penegak hukum, pengayom, pelindung dan pelayan yang professional,
berwibawa dan dipercaya masyarakat.

7. Kekuatan Polri jika tidak di intervensi karena itu jika Polri dibawah Presiden maka akan sulit di
intervensi. Jika ada intervensi kemungkinan itu hanya datang dari Presiden dan itu akan mudah
dikontrol.

Konteks tersebut di atas telah mengacu kepada teori “Let Police Be Police” sebagaimana
pernyataan Prof. Reckless yang menegaskan bahwa polisi lebih tahu bagaimana sebaiknya dirinya
agar kinerjanya semakin efektif, bukan lembaga lain.

Ditinjau dari perspektif Politis, yaitu bahwa kepastian hukum untuk mewujudkan “Law Abiding
citizen” (warga negara yang patuh hukum) menjadi sangat penting dalam demokrasi dewasa ini
karena hal tersebut dapat mempengaruhi peta politik dan kondisi keamanan bangsa dimana Polri
sebagai garda terdepan untuk memaksa agar Undang-undang dipatuhi, kekeliruan dalam memahami
demokrasi dan memposisikan Polri akan berpengaruh terhadap kondisi keamanan nasional suatu
bangsa, dimana hal ini akan membentuk opini bahwa Indonesia tidak aman dan berpengaruh besar
terhadap perkembangan ekonomi. Dalam tataran ini maka seluruh bangsa Indonesia harus satu tekat,
satu misi dan satu visi mewujudkan masyarakat yang “Law Abiding citizen” and “Community
Policing” karena inti dari masyarakat demokratis adalah pada tingkat kepatuhannya terhadap hukum.

Dengan demikian untuk mewujudkan impian dan harapan tersebut maka negara harus
membangun dan memiliki Kepolisian yang kuat dan professional bukan sebaliknya melemahkan agar
tidak mandiri dan tidak berdaya sebagaimana keinginan terselubung dari ide RUU KAMNAS tersebut.

3 (tiga) HAL PENTING YANG DIJADIKAN RUJUKAN DALAM IMPLEMENTASI TATARAN


PELIBATAN MILITER TERHADAP OTORITA SIPIL

1. Pertama, dunia sepakat jika tataran pelibatan tentara dibatasi hal-hal yang menyangkut
pertahanan negara. Negara menjadi aktor utama dalam mengatur pertahanan, melakukan
akumulasi kekuatan bersenjata, mendelegasikan hak tersebut pada aktor militer professional
untuk penggunaan kekuatan bersenjata, pelaksanaan pendelegasiannya diawasi secara
seksama oleh negara.

2. Kedua, supremasi hukum dan supremasi sipil (civil society) adalah system demokratis yang tidak
memungkinkan kalangan militer mengambil keputusan sendiri untuk terlibat dalam otoritas sipil
tanpa persetujuan institusi sipil. Hal ini diatur dalam doktrin “Euis Ed Bellum” (just war)
mengemas 5 prinsip dasar, yaitu uthority (persetujuan otoritas sipil). Proporsionary (prinsip-
prinsip proporsional dengan ancaman) Intentiorecta (penggunaan kekuatan militer hanya untuk
pertahannan negara). Causaiusta (pulihkan kondisi damai) dan Last resort (pelibatan militer ke
otoritas sipil pilihan terakhir pada masalah dan batas waktu yang tegas).

9
3. Ketiga, prinsip akuntabilitas/transparansi pelibatan militer ke otoritas sipil dan penyimpangan
peran dapat dicegah secara dini.

TUGAS-TUGAS INTERNASIONAL :

Dalam UU TNI Nomor 34/Tahun 2004 memang secara jelas TNI melakukan Operasi Militer
Perang dan Operasi Militer Non Perang. Hal ini diilhami konsep universal MOOTW (Military Operation
Other Than War) yang lahir awal tahun 1990an. MOOTW dikenal dalam Military Science sebagai tugas-
tugas misi damai (peace mission) yang lazimnya bersama polisi karena polisi juga punya tugas peace
mission domestic, regional, bilateral maupun internasional dengan payung PBB lalu melahirkan istilah
Polisi Sipil (Civilian Police) karena itu jangan membuat disparitas penggunaan istilah polisi sipil
secara salah kaprah lalu menafsirkan polisi hanya menangani masyarakat sipil apalagi mengasumsikan
polisi sama dengan masyarakat sipil.

Memunculkan istilah grey area (wilayah abu-abu). Latar ini dianggap berhimpitan antara aspek
pertahanan dan aspek keamanan lalu memunculkan pula istilah K (besar) dan K (kecil). “K besar”
berarti keamanan nasional secara luas sedang “K kecil” adalah keamanan masyarakat. Pelibatan
tugas antara polisi dan tentara memang sering tak bisa dihindarkan dalam suatu keadaan yang
menghendaki pelibatan antara keduanya. Di negara-negara maju hal ini tak menjadi masalah karena
sudah berjalan dengan baik dalam batas-batas tertentu, waktu tertentu, kewenangan tertentu,
tanggungjawab tertentu.

Tetapi di Indonesia dalam masa transisi ini memang tak mudah karena Negara/Pemerintah
belum dapat mendisain Tataran Kewenangan Pelibatan Tentara dalam otoritas sipil kemudian
memunculkan multi tafsir terhadap masalah keamanan nasional dan pelibatan kewenangannya masih
ditafsirkan secara sektoral oleh pihak DEPHAN dan TNI.

Mencermati isi materi bentuk konfigurasi permasalahan keamanan nasional tampak jelas TNI
ingin memasukkan kewenangannnya ke fungsi KAMNAS secara luas dan serta merta. Dalam isi materi
bentuk konfigurasi permasalahan keamanan nasional maupun literatur tak ada keterangan, misalnya
harus dengan keputusan politik. Padahal dalam UU TNI Nomor 34 Tahun 2004 sudah tegas, pelibatan
militer dalam MOOTW harus dengan keputusan politik. Dalam berbagai referensi sudah sangat
gamblang, bahwa pelibatan militer ke wilayah sipil yang serta merta akan merusak demokrasi,
melanggar hak-hak sipil bahkan HAM dan secara empiris sudah kita alami dan berpotensi otoriter,
diktator yang menghancurkan sendi-sendi kehidupan social politik dan ekonomi bangsa.

Dalam berbagai literature secara tegas juga dikatakan tak ada bahkan tak boleh ada Aktor
tunggal yang bisa membuat keputusan politik terhadap pelibatan militer ke wilayah otoritas sipil. Karena
itulah dalam doktrin “Euis Ed Bellum” tegas menyatakan bahwa keputusan politik tersebut minimal
melibatkan 3 lembaga negara yaitu Presiden, DPR dan Menhan. Jika kita perhatikan pada konfigurasi
permasalahan yang ada pada RUU KAMNAS versi DEPHAN/TNI di atas banyak mangkas kewenangan

10
Polri padahal dalam konsepsi universal Kepolisian harus menjadi motor pendukung tegaknya
demokrasi karena inti demokrasi adalah kepatuhan pada hukum. Sehingga RUU KAMNAS yang akan
disyahkan oleh DPR berpotensi duplikasi dan menimbulkan friksi-friksi terkait perbenturan
kepentingan kelompok tertentu yang ingin mempertahankan status quo, yang tidak memahami
nuansa supremasi sipil terutama perlibatan TNI pada otoritas sipil sebagaimana RUU KAMNAS
(dimana hal ini mencederai semangat reformasi dan melanggar konstitusi, kaedah dan norma
konvensi-konvensi internasional yang ada).

POTRET HUKUM DI INDONESIA

Sejak presiden SOEHARTO “Lengser ke Prabon” Tanggal 21 Mei 1998 bangsa Indonesia
memasuki panggung sejarah baru yang dikenal dengan Era Reformasi. Reformasi adalah sebuah
tekad bangsa Indonesia untuk menjadi bangsa yang demokratis dengan tiga substansi mendasar yaitu
mengedepankan supremasi penegakan hukum, mengutamakan keterbukaan dan akuntabilitas
sehingga reformasi ingin mengkoreksi kekurangan dan kesalahan bangsa di masa lalu setidaknya tiga
hal yang sangat esensial yaitu kekuasaan yang otoritarian, sentralistrik dan KKN.

Dengan demikian inti reformasi adalah memperbaiki hal-hal buruk dan yang dipandang baik
dipertahankan dan ditingkatkan, keburukan masa lalu intinya adalah tiga hal tersebut diatas.

Kekuasaan yang otoritarian telah mengabaikan bahkan mematikan demokrasi


sedangkan kekuatan yang sentradistrik telah menghambat pemerataan kesejahteraan dan
keadilan serta tidak adanya keterbukaan yang menghambat terwujudnya akuntabilitas sehingga
tiga hal tersebut menimbulkan dan menyuburkan praktek KKN di Indonesia.

Selanjutnya untuk memudahkan pemahaman tentang reformasi, para pakar telah


mendefinisikan orde baru dengan bijak adalah perilaku kekuasaan yang otoritarian, sentralistik
dan KKN, jadi siapapun penguasa yang punya tiga ciri atau salah satu dari tiga ciri tersebut pada
dasarnya dia adalah ORDE BARU meskipun ia terlahir dari rahim reformasi, konteks ini dimaksudkan
bukan orang per orang, bukan kelompok, bukan pula partai politik, tetapi perilaku penguasa atau
kekuasaan dengan tiga ciri diatas. Sangat salah bila kita mengartikan Orba adalah orangnya atau
kelompoknya karena kalau itu dipaksakan berarti kita telah melanggar HAM dan hukum yang justru
harus di tegakan di era reformasi ini dengan tatanan supremasi hukum.

Dari hal ini semestinya roda reformasi tersebut di gulirkan ke semua lini kehidupan dalam
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, dimana yang harus di reformasi adalah perilaku
pemerintah, elit politik dan masyarakat agar senantiasa taat hukum, tatanan kenegaraan yang
menghormati dan menjunjung tinggi hukum dan berkehidupan dunia (global) yang mentaati koridor-
koridor hukum dari berbagai konvensi-konvensi internasional.

Disisi lain dalam rangka mengkaji masalah ini sangat perlu kiranya kita kaji pula perkembangan
tentang sistim Kepolisian sejak pradaban sampai era global saat ini karena perkembangan ini akan

11
sangat berpengaruh dalam strategi terhadap sistim penegakan hukum, demikian pula jika kita jujur
harus dapat melihat sejarah lahirnya Polri di Indonesia dan belajar dari pengalaman nasional bangsa
yang merupakan saksi sejarah yang paling jujur di tanah air.

Di era reformasi negara dan rakyat menata kembali peran dan fungsi TNI dan Polri secara
proporsional, dan inilah korelatif dalam tulisan ini yang kita coba sosialisasikan melalui
pemolisian birokrasi yang merupakan sebuah landasan teori baru yang sedang dikembangkan saat
ini sebagai dasar pijakan dalam penyelenggaraan reformasi di Indonesia.

Kita sadar bahwa Reformasi Polri mencakup tiga hal mendasar yang meliputi struktural,
instrumental, dan kultural. Struktural secara bertahap telah selesai tahun 1999 dengan keluarnya Polri
dari TNI dan tahun 2000 keluar dari Dephan. Instrumental berhasil secara pasti awal 2002 dengan
diundangkannya UU Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara RI. Semua ini mempengaruhi
kultural Polri bentangan reformasi kultural inilah yang dirasa tidak mudah. Karena selama lebih 50
tahun Polri dilahirkan dan dibesarkan dari kawah candradimuka tentara sehingga masyarakat selama
era itu nyaris sulit membedakan antara TNI dan Polri.

Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono dalam pidato akhir tahun 31 Desember 2005,
mengatakan lemahnya penegakan hukum di Indonesia disebabkan oleh kurangnya kemauan politik
serta lemahnya sistem kelembagaan dari aparatur penegak hukum, kelemahan itu terutama
dirasakan dalam pemberantasan korupsi, pencucian uang, ilegal logging, ilegal fishing dan berbagai
penyelundupan. Dengan demikian pemerintah akan segera mengambil langkah-langkah tegas untuk
mengatasi berbagai kelemahan tersebut, tandas Presiden.

Konteks ini mengisyaratkan bahwa perlunya pembangunan Polri yang kuat selaku garda
terdepan dalam rangka penegakan hukum, jika dikaitkan dengan konteks RUU KAMNAS saat ini
sangat kontra produktif dan mencederai semangat reformasi serta melanggar kaidah dan norma-norma
hukum yang ada.

Di Indonesia banyak hukum dibuat dan UU disahkan tetapi kepastian hukum tidak berjalan
sehingga ada stigma buruk dari orang-orang yang berada diluar Indonesia yang menyebut bahwa
Indonesia State Without Law bahkan ada beberapa produk UU yang tidak masuk akal/irrasional.
Menurut teori Strobe Tallbout yang mengatakan bahwa jangan membangun demokrasi tergesa-
gesa artinya negara menata terlebih dahulu sistem sosial, hukum dan politik baru kemudian
membangun demokrasi karena ruh demokrasi adalah ketaatan pada hukum dan kemampuan
pengendalian diri bermutu tinggi, bagi bangsa yang cerdas dan terdidik hal ini menjadi prioritas
terpahami teori politik pada bangsa terdidik dimana sistem sosial yang dibangun adalah partisipasi
sedangkan pada bangsa yang belum cerdas dan terdidik maka sistem yang dibangun adalah
instruksional sebagaimana yang digunakan negara-negara berkembang karena hal ini menyangkut
masalah hukum, jika dikorelasikan dengan negara-negara maju apa yang mereka lakukan yaitu
kepastian hukum dibangun dan ditentukan dari hal-hal kecil yang esensial yang sangat menyentuh
kehidupan sehari-hari sampai ke hal-hal yang besar seperti larangan merokok.

12
Bahwa negara dalam membangun demokrasinya tidak bisa dibangun dengan tergesa-gesa
setahun, 10 tahun apalagi sehari reformasi tetapi membutuhkan waktu panjang dan matang karena
demokrasi yang dibangun dengan tergesa-gesa karena bukan hanya merusak sendi-sendi sosial
politik tetapi juga sistem penegakan hukum, dimana didalam kontek ini ada 2 asumsi terhadap era
reformasi dewasa ini :

1. Reformasi berjalan lamban bahkan mandeg terlihat jika ruh reformasi adalah penegakan
supremasi hukum yang belum berjalan secara baik kepastian dan kesamaan hukum nyaris belum
berubah dari era sebelumnya.

2. Kalangan akademik menilai bahwa reformasi yang paling cepat di Indonesia justru pada lembaga
Polri ketimbang lembaga-lembaga lain seperti TNI dan BIN. Terutama dalam tatanan struktural
dan instrumental. Reformasi di bidang kultur masih perlu waktu karena cakupannya sangat
kompleks meski sudah diawali dengan perubahan paradigma Polri dan peningkatan
profesionalisme dengan cara mengedepankan scientific crime investigation untuk mengungkap
berbagai kasus-kasus besar dan terorisme di Indonesia yang telah mengharumkan nama bangsa
Indonesia di panggung dunia dan Polri mendapat hadiah berbagai bantuan dari luar negeri dan
PBB dan menjadi kiblat pendidikan terorisme dunia dan selaku ketua TNCC dan DVI yang
ditunjuk oleh PBB.

SEMANGAT REFORMASI

Di era reformasi segala penyimpangan harus diluruskan secara proporsional karena dalam
berdemokrasi tidak bisa lepas dari tata krama global dimana harus mentaati hukum serta konvensi-
konvensi dunia dan dampak peradaban global. Perkembangan peradaban juga mempengaruhi tata
cara berdemokrasi dan dalam pergaulan dunia yang humanis. Selanjutnya jika kita cermati ruh
reformasi amanat Tap MPR III, V, VI dan VII tahun 2000 maka ada empat hal prioritas :

1. Civil Society;

2. Pemisahan fungsi pertahanan yang diemban dan menjadi tanggung jawab TNI dan fungsi
keamanan yang diemban dan menjadi tanggung jawab Polri.

3. Pemisahan struktur TNI dan Polri

4. TNI dan Polri tunduk pada peradilan umum.

Reformasi TNI dan Polri dimulai tanggal 1 April 1999 pemisahan struktural pembubaran ABRI
(angkatan Bersenjata Republik Indonesia) menjadi TNI dan Polri. Struktural tak serumah, namun Polri
masih di bawah Dephan. Baru tahun 2000 Polri pisah dari Dephan menjadi lembaga independen dan
bertanggung jawab pada Presiden. Tap MPR Nomor VI dan VII / 2000 memisahkan fungsi pertahanan
dan fungsi keamanan. Fungsi pertahanan tanggung jawab TNI. Fungsi keamanan tanggung jawab
Polri. Tap MPR juga mengamanatkan tuntutan rakyat agar TNI dan Polri tak berpolitik praktis, tidak

13
berbisnis dan menaati UUD 1945 secara konsekuen TNI dan Polri harus tunduk pada KUHP umum
dan peradilan umum seperti filosofis hukum, “equality before the law”. Selain itu TNI dituntut tidak
membuat struktur organisasinya seperti era orba karena TNI termasuk TNI-AD bukan pelayanan publik.

Polri telah mereform 3 hal : reformasi struktural (struktur organisasi modern), reformasi
instrumental sudah punya UU nomor 2 Tahun 2002 Tentang Polri, reformasi kultural mengubah
paradigma Polri profesional independen, santun dan beradab (civilized).

Reformasi struktural Polri, harus mengacu pada era kejayaannya (1946-1960) dimana
struktur Polri langsung dibawah Presiden setelah mencoba di bawah Departemen Dalam Negeri,
Kejaksaan dan DepHankam malah membuat Polri tidak berdaya. Terlebih lagi budaya
masyarakat Indonesia, intervensif melemahkan Polri selaku penegak hukum yang mestinya
independen. Polri mulai lemah menjelang akhir rezim Bung Karno, Polri serumah dengan TNI
menjadi ABRI. Polri pada titik nadir era orba rezim pak Harto yang telah mendesain Polri hanya
sub kecil dari sistem Hankam dan TNI-AD sangat berkuasa di semua sektor termasuk pekerjaan
Polri diambil alih TNI-AD. Inilah ruh reformasi, TNI-AD harus sesuai dengan Tap MPR VI dan VII
tahun 2000 mau merubah struktur organisasinya tidak seperti era orba dan tunduk pada
peradilan umum. Ruh atau semangat reformasi ini harus dijadikan tonggak awal pembaruan di
tubuh TNI khusunya TNI-AD.

CAUSING FACTORS

Merujuk kepada konvensi-konvensi dunia yang telah menetapkan Kepolisian adalah pelayan
publik. Dimana struktur organisasinya disesuaikan dengan perkembangan masyarakat dan spektrum
ancaman setiap negara. Dengan demikian tak ada struktur organisasi Kepolisian yang sama diberbagai
negara. Yang pasti kini banyak negara telah merubah sistem Kepolisiannya menjadi Kepolisian
nasional dari pusat sampai tingkat terbawah (Kecamatan atau Desa) sesuai peta migrasi. Polri di
tahun-tahun awal kemerdekaan sampai akhir abad XX menjadikan Polsek (Struktur Polri tingkat
Kecamatan) sebagai Basic Deteksi Dini (BDD) terhadap kerawanan sosial maka dengan peta migrasi
yang sangat cepat bisa jadi daerah-daerah tertentu tak relevan lagi Polsek sebagai BBD tetapi desa
atau Pos Pol sebagai BBD.

Dari alur pemahaman ini kita sadar kenapa TNI di era reformasi dituntut tidak membuat
struktur organisasinya seperti Polri. Karena TNI bukan pelayan publik. Struktur organisasi TNI-AL
dan TNI-AU sudah sesuai dengan tuntutan reformasi bahkan sejak dulu tak pernah menjarah otoritas
sipil. Mereka sadar bukan pelayan publik (sumber doktrin “Euis Ed Bellum”, konvensi internasional,
MOOTW, Protokol I dan II). Oleh karena itu sekecil apapun pelibatan TNI ke otoritas publik harus
dengan keputusan politik kecuali dalam menangani bencana alam.

Jika struktur organisasi TNI-AD mengikuti struktur Polri selain tak lazim juga membuat titik
singgung dengan Polri tak terelakkan. Semestinya struktur organisasi TNI-AD berbentuk Batalyon,

14
Brigade, Resimen dan sebagainya, bukan seperti Polri yang pelayan publik. Selama TNI-AD
strukturnya seperti Polri maka perselisihan dengan Polri akan terus terjadi. Inilah “causing factor”
timbulnya friksi antara oknum TNI-AD dan Polri, bukan karena tingkat kesejahteraannya minim. Karena
struktur organisasi TNI-AL dan TNI-AU tidak seperti TNI-AD tetapi berbentuk Batalyon, Skadron,
Brigade, Armada dengan demikian tak pernah bersinggungan dengan ladang tugas Polri.

Karena Polisi pelayan publik maka tiap hari kantor polisi dari tingkat Polsek sampai Mabes
selalu banyak tamu masyarakat mengurus berbagai kepentingan, sedang kantor-kantor TNI-AD sepi
tamu karena memang tak ada hubungan dengan masyarakat. Bagi anggota TNI-AD yang tak sadar
peran ini bisa iri lalu melakukan tindakan yang bisa menimbulkan friksi-friksi. Karena itu jika TNI-AD
tetap bersikukuh membuat struktur organisasi sama dengan Polri, harus legowo melihat kantor polisi
selalu banyak tamu sedang kantor TNI-AD sepi dari tamu karena TNI bukan pelayan publik. Jadi
masalahnya bukan pada kesejahteraan prajurit. Jika jujur pegawai negeri manakah di Indonesia yang
sejahtera hidupnya? Tidak ada.

Karena negara memang belum dapat mensejahterakan mereka. Jika ada pegawai negeri baik
PNS, TNI maupun Polri yang kaya raya harus diusut kekayaannya karena boleh jadi hasil dari korupsi
atau berbisnis dengan memanfaatkan pengaruh jabatan/kewenangan.

TEORI MONTESQUE

Bahwa tugas Polri selain bertugas sebagai pelindung, pengayom dan pelayan masyarakat juga
sebagai pengawas dan sebagai penegak hukum. Berangkat dari tataran empiris yang panjang ketika
pakar hukum tata negara Van Vollen Hopen yang merevisi teori Montesque “Trias Politica” tentang
tiga kekuatan negara yaitu

1. legislatif (pembuat Undang-undang);

2. eksekutif (penyelenggaraan Undang-undang) dan

3. yudikatif (peradilan dari Undang-undang)

Dalam konteks tersebut selanjutnya Van Vollen Hopen bertanya kepada Montesque jika
rumusan dalam teori tersebut seperti itu, lalu siapa berperan sebagai pengawas sekaligus juga
pemaksa agar Undang-undang dapat dipatuhi, jawabnya adalah Polisi. Oleh karena itu
ditempatkan Kepolisian sebagai kekuatan keempat dari sistem penyelenggaraan negara, jika
konteks tersebut diatas dikaitkan dengan kontek RUU KAMNAS maka sangat tidak jelas dan
bertentangan dengan ketentuan hukum yang ada dan doktrin militer dunia karena tidak ada korelasi
mengingat keberadaan fungsi TNI dan BIN ditempatkan diluar dari sistem ketatanegaraan di Indonesia
agar bersikap netral dalam mengontrol dan menjadi benteng terhadap sistem ketata negaraan terlebih
lagi kedua institusi tersebut bukan sebagai aparat penegak hukum (kontradiktif).

15
Bertitik tolak dari uraian landasan teori tersebut diatas maka sadar atau tidak sadar bahwa
semua yang muncul saat ini dan kondisi bangsa carut marut seperti ini adalah juga residu dari
sebuah sistem dimasa lalu dimana jika boleh bangsa Indonesia ini jujur bahwa TNI telah menjadi
contributing factor dan causing factor

Dengan demikian para pendiri bangsa ini haruslah bersikap cerdas dalam menyikapi berbagai
permasalahan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara secara arif, bijaksana dan berhati-
hati serta proporsional dan komprehensip dalam mencermati merumuskan dan akan mensyahkan
sebuah produk seperti RUU KAMNAS yang jelas-jelas bertentangan dengan kaidah dan norma-norma
hukum yang ada terlebih lagi dalam nuansa supremasi sipil.

Hal ini sangat penting untuk menjadi catatan serius dan diperhatikan oleh para penyelenggara
negara bahwa jika RUU KAMNAS tersebut disyahkan tanpa dilakukan upaya kritisasi secara
komprehensip dengan melibatkan para pakar hukum tata negara dan pidana serta melibatkan badan
pengkajian hukum perguruan tinggi untuk memberikan masukan, koreksi terhadap substansi yang ada
dalam RUU KAMNAS tersebut. Karena memiliki dampak yang sangat luas terhadap tatanan
demokrasi dan sistem penegakkan hukum ketika dalam implementasinya operasionalnya
bertentangan dengan semangat reformasi bangsa dan tidak mengindahkan norma aturan hukum
internasional maupun konvensi-konvensi internasional yang menjadi acuan universal penyelenggaraan
tugas TNI di wilayah otoritas sipil yang sangat syarat dengan nuansa supremasi sipil yang menuntut
sebagai berikut :

1. terwujud dan tegaknya demokrasi;

2. terbangunnya kesadaran dan kepatuhan warga negara terhadap undang-undang;

3. terjamin dan tegaknya kepastian hukum dan kesamaan hukum secara konsekwen;

4. terselenggaranya akuntabilitas kinerja penyelenggaraan negara;

5. terwujudnya transparansi selaras dengan era keterbukaan;

6. dihormati dan terlindungnya hak asasi manusia;

7. semakin kuatnya kelembagaan aparatur penegak hukum;

8. terwujudnya keterbukaan informasi publik;

9. adanya pertanggungjawaban aparatur penyelenggara negara terhadap penyelenggaraan tugas


dan perannya yang berjalan efektif dan efesien.

10. Terwujudnya harmonisasi Undang-undang dalam implementasi secara sinergis yang saling
melengkapi.

16
BAB III

PERMASALAHAN YANG MUNCUL DARI RUU KAMNAS TERHADAP

EKSISTENSI POLRI

Bahwa penyelenggaraan tugas pokok fungsi dan peran Polri secara legalitas formal telah diatur
dan ditegaskan dalam UUD 1945 yang kemudian secara jelas, tegas dan rinci diatur tersendiri dalam
UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia yang didasarkan pada beberapa
aspek pertimbangan meliputi aspek filosofis, sosial, yuridis, dan pertimbangan perbandingan hukum
internasional yang diakomodir sejalan dengan landasan formal bagi reformasi Polri sebagaimana
tertuang dalam TAP MPR No. VI / MPR/2000 tentang pemisahan TNI dan Kepolisian Negara Republik
Indonesia dan TAP MPR No. VII/MPR/2000 tentang peran TNI dan Kepolisian Negara Republik
Indonesia.

Adapun keluarnya ketetapan MPR tersebut dilatarbelakangi oleh apresiasi masyarakat dan
antisipasi bangsa dan negara dalam mengikuti perkembangan baik ketatanegaraan maupun laju
pesatnya perkembangan dunia dan manusia dimana kehidupan masyarakat lebih mengerti akan hak
dan kewajibannya di era supremasi sipil yang sarat dengan nuansa demokratisasi supremasi hukum,
transparansi, akuntabilitas, dan hak asasi manusia. Kondisi tersebut diatas perlu diimbangi dengan
peraturan perundang-undangan yang mampu mengantisipasi perkembangan jaman.

Dimana dalam UU kepolisian tersebut mencakup pokok-pokok konsepsi kepolisian yang


meliputi sebagai berikut :

1. tujuan Kepolisian Negara Republik Indonesia;

2. landasan idiil filosofis Kepolisian Negara Republik Indonesia;

3. kedudukan dan susunan Kepolisian Negara Republik Indonesia;

4. fungsi Kepolisian Negara Republik Indonesia;

5. tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia;

6. asas-asas pelaksanaan tugas;

7. wewenang Kepolisian Negara Republik Indonesia;

8. tanggung jawab anggota Polri;

9. administrasi dan pembinaan personil;

10. Pembinaan profesi dan sumber daya;

11. Hubungan dan kerja sama.

17
Konteks permasalahan muncul ketika Polri dan TNI mengalami pemisahan setelah 40 tahun
bergabung dalam ABRI, yang diawali dengan keluarnya Instruksi Presiden RI No. 2 tahun 1999 tentang
langkah-langkah kebijakan dalam rangka pemisahan Polri dan ABRI yang menjadi landasan formal
bagi reformasi Polri, kemudian diperkuat dengan keluarnya keputusan Presiden No. 89 tahun 2000
tentang kedudukan Polri, strukturnya dinyatakan bahwa Polri berkedudukan langsung dibawah
Presiden dan berikutnya dipertegas lagi dengan keluarnya TAP MPR No. VI/MPR/2000 tentang
pemisahan TNI dan Polri maupun TAP MPR No. VII/MPR/2000 tentang peran TNI dan peran Polri.

Kondisi tersebut diatas menjadi embrio awal munculnya multitafsir/interpretasi tentang definisi
keamanan nasional antara Polri dan TNI yang salah satunya terwujud kedalam lahirnya RUU KAMNAS
yang pada hakikat konsep awalnya terlihat bertujuan untuk membangun semangat kebersamaan
dengan paradigma baru serta mensinergikan penyelenggaraan tugas keamanan, namun dalam konsep
tataran implementasinya sangat bertentangan dan tidak memenuhi rasionalisasi dari sebuah legal
drafting yang didalamnya menguraikan beberapa pertimbangan antara lain pertimbangan filosofis,
sosiologis, yuridis, dan perbandingan hukum / konvensi internasional dalam nuansa supremasi sipil.

Disamping itu munculnya permasalahan ini dilatarbelakangi oleh begitu kuatnya upaya untuk
memaksakan faktor kepentingan sesaat oleh pihak-pihak tertentu yang berupaya mempertahankan
status quo dengan melakukan upaya strategis untuk mengalihkan dan mereduksi kewenangan peran
strategis Polri kendati secara de facto dan de jure bertentangan dengan peraturan perundangan yang
sudah ada serta mencederai semangat reformasi yang sudah dibangun untuk menggiring agar institusi
Polri semakin kehilangan jati diri sebagai lembaga yang mandiri dalam menjaga keamanan dan
penegakan hukum yang secara perlahan-lahan untuk diposisikan berada dibawah departemen agar
Polri semakin tidak independen.

Kendati setelah pemisahan TNI dan Polri telah berjalan dengan landasan yuridis masing-masing
namun tidak berarti kondisi ketidakberdayaan dan belum optimalnya penyelenggaraan tugas pokok,
fungsi dan peran Polri dimasa transisi lalu dikhianati dengan upaya yang muncul melalui pengalihan,
mereduksi dan memangkas peran strategis Polri dengan munculnya, ide penyusunan RUU KAMNAS
yang notabene sebuah produk RUU yang cacat hukum karena tidak memenuhi rasionalisasi dari
berbagai aspek sebagaimana diuraikan tersebut diatas.

Hal ini terlihat baik dalam skala besar maupun skala kecil dimana upaya mereduksi dan
memangkas kewenangan peran strategis Polri tersebut, telah dan terus dilakukan oleh pihak-pihak
tertentu (DEPHAN dan TNI khususnya TNI-AD) yang tidak legowo dan bersikap arif dengan keputusan
para pendiri negara ketika Polri diposisikan strukturnya dibawah langsung Presiden, dengan
munculnya institusi penegakan hukum baru seperti KPK, BNN, dan membatasi kewenangan strategis
Polri kedalam Undang-undang yang mengarah kepada lex spesialis derogat lex generalis seperti
Undang-undang perikanan, Undang-undang bea cukai, Undang-undang perpajakan, Undang-undang
transportasi, dll. Dalam sekala besar diperparah dengan upaya strategis dalam bentuk ide penyusunan
RUU KAMNAS yang menginginkan terbentuknya dewan keamanan nasional, telah menimbulkan

18
permasalahan yang berlatar belakang kepentingan sektoral yang dapat memunculkan
duplikasi/perbenturan kepentingan bahkan menghambat kemandirian Polri. Secara garis besar
permasalahan utama terhadap konteks dan isi RUU KAMNAS sebagai berikut :

1. Bahwa RUU KAMNAS ide penyusunannya hanya melihat persoalan keamanan nasional dari 3
sudut pandang/variabel padahal permasalahan keamanan nasional tidak cukup itu namun
setidaknya dilihat dari 4 variabel.

2. Bahwa RUU KMNAS disusun dengan kurang cermat tanpa melihat kaidah pokok yang
terkandung dalam UU Polri, TNI dan pertahanan yang sudah ada dan berjalan serta tidak
menimbulkan permasalahan dalam implementasi operasionalnya sehingga tidak perlu
dimunculkan dan dipaksakan RUU KAMNAS.

3. Bahwa RUU KANAS nampaknya lebih bernuansa politis untuk mengalihkan, mereduksi dan
memangkas kewenangan peran strategis Polri selaku leading sektor pelaksana dan
penanggungjawab KAMDAGRI, secara perlahan agar kemandirian Polri terhambat bahkan tidak
terwujud kendati baru berusia 10 tahun dimasa transisi.

BAB IV

19
KAJIAN AKADEMIK TERHADAP RUU KAMNAS

I. DISKRIPSI UMUM

Analisis kajian akademik terhadap draft RUU Keamanan Nasional (KAMNAS) yang akan
disyahkan merupakan upaya strategis Polri dalam mencermati, mengkritisi sebuah produk RUU,
apakah sudah memenuhi persyaratan formal untuk disahkan menjadi produk UU atau masih
perlu pembahasan secara mendalam. Sebab RUU KAMNAS pada akhirnya akan menjadi sebuah
rujukan/sumber referensi hukum bagi penyelenggaraan fungsi pemerintahan di bidang
penyelenggaraan keamanan nasional. Terutama tugas fungsi dan peran Polri dalam RUU
KAMNAS tersebut, dimana harus mencerminkan sebuah semangat perubahan dan kebersamaan
yang menitik beratkan kepada upaya integrasi, sinergitas, koordinatif, yang dilakukan secara
terpadu dan komprehensif.

Dengan demikian dapat memberikan kontribusi terhadap produktifitas dan kinerja Polri
dalam menjawab kebutuhan masyarakat terkait dengan fenomena permasalahan yang
berkembang di berbagai aspek kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Dalam konteks ini analisis kajian terhadap RUU KAMNAS ini sangat dibutuhkan bagi Polri
agar dapat melihat sejauh mana sebuah produk RUU KAMNAS tersebut telah memenuhi
standarisasi persyaratan sebagai sebuah produk UU dan juga tidak bertentangan/menimbulkan
duplikasi dengan Undang-undang lain sehingga dalam implementasinya tidak menimbulkan
persoalan dengan UU yang sudah ada. Adapun standarisasi perumusan RUU antara lain :

1. Memenuhi dari persyaratan legal drafting/naskah akademik dari sebuah ide produk
Undang-undang.

2. Memberikan gambaran utuh secara jelas tentang kerangka berpikir dari sebuah ide produk
Undang-undang.

3. Nuansa kebatihan dari sebuah ide produk Undang-undang.

4. Memenuhi persyaratan dari sudut pandang sistem dan format ketatanegaraan yang berlaku
di Indonesia baik meliputi aspek eksekutif, legislatif, dan yudikatif.

5. Memenuhi nilai filosofi/nuansa kebatinan yang mengemuka dan menjadi acuan/dasar


pentingnya penyusunan RUU tersebut.

6. Memenuhi legalitas formal/dasar hukum mengenai ide penyusunan sebuah produk RUU
KAMNAS dalam artian yang tidak bertentangan dengan peraturan perundangan yang
sudah ada.

II. HASIL ANALISIS

20
Dari uraian tersebut diatas, telah dilakukan analisis kajian akademik terhadap RUU KAMNAS
ditinjau dari sudut pandang legal drafting, maka dapat disampaikan beberapa hasil analisis
sebagai berikut :

1. Dalam RUU KAMNAS tersebut belum terlihat jelas gambaran utuh tentang konsep
rasionalisasi dalam bentuk legal drafting/naskah akademik tentang penyelenggaraan fungsi
keamanan nasional dikaitkan dengan nuansa kebatinan yang menjadi filosofi kebutuhan
dan tuntutan masyarakat dan oganisasi di era supremasi sipil yang mengutamakan dan
menegaskan bahwa setiap penyelenggaraan fungsi pemerintahan di negara yang
menganut paham supremasi sipil dimana setiap penyelenggaraan tugasnya harus
senantiasa berlandaskan kepada asas demokratisasi, supremasi hukum, transparansi,
akuntabilitas dan hak asasi manusia, bukan sebaliknya merumuskan sebuah produk RUU
seperti KAMNAS dengan memprioritaskan kepada pembahasan pasal per pasal.

2. Dari segi latar belakang ide/konsep penyusunan RUU KAMNAS pada hakikatnya bertujuan
baik dan bernilai strategis terhadap kepentingan negara, namun dalam isi materi RUU
KAMNAS tidak terlihat utuh mengalir sebagai sebuah kerangka berpikir ilmiah baik dari isi
materi, pembahasan awal maupun pembahasan isi pasal per pasal, dalam RUU KAMNAS
terlihat masih lebih menekankan pada proses penanganan masalah keamanan nasional
dari sudut pandang ASPEK ANCAMAN sisi konsep pertahanan.

Namun sebaliknya RUU KAMNAS haruslah mengacu pada konsep keamanan, yang
melihat dari sudut pandang dan lebih menekankan kepada bagaimana penanganan dan
pengelolaan terhadap aspek gangguan keamanan, seperti masalah kejahatan trans
nasional, ketidaktertiban dan ketidakteraturan sosial, maupun konflik yang timbul dari
sistem ketatanegaraan dan implikasi dari aspek kehidupan bermasyarakat dan bernegara
yang memerlukan peran serta TNI dalam mewujudkan keamanan Nasional (KAMDAGRI).

3. Dari sudut pengertian/redaksional, bentuk dan jenis ancaman dalam RUU KAMNAS ini
lebih merupakan gambaran ancaman dari domain fungsi pertahanan TNI sehingga dalam
isi materi RUU KAMNAS ini lebih banyak mengupas tentang aspek peran dan fungsi TNI
dan BIN, sementara gambaran tersebut kurang relevan bila ditangani oleh TNI dikaitkan
dengan konteks supremasi sipil yang berlandaskan asas demokratisasi dan supremasi sipil
dalam setiap penyelenggaraan keamanan. Terlebih lagi jika dikaitkan dengan kepentingan
Pemilu Tahun 2014 yang notabene ingin mengamankan sebuah kepentingan kelompok
tertentu, hal ini terlihat dari isi materi dan bentuk implementasi operasional dalam pasal per
pasal yang ada dalam konsep RUU KAMNAS tersebut.

4. Pada materi ruang lingkup RUU KAMNAS tersebut, tidak semestinya mengklasifikasikan
bentuk keamanan nasional kedalam bentuk seperti yang sudah ada didalam materi RUU

21
KAMNAS tersebut dengan merujuk kepada istilah yang ada dalam Undang-undang
1945, seperti

a. keamanan insani,

b. keamanan publik,

c. keamanan kedalam, dan

d. keamanan keluar,

Ruang lingkup keamanan nasional sebagaimana yang tercantum dalam RUU KAMNAS
kurang lazim digunakan dalam konvensi dunia dan terkesan dipaksakan, bahkan
cenderung bertentangan dengan konsep dan pengertian keamanan yang sudah berlaku
umum baik ditingkat nasional dan konvensi internasional. Seperti pengertian keamanan
insani dan keamanan publik pada hakekatnya sama dan overlapping, sebab subyek dan
obyek keamanan adalah publik dan keamanan insani sama yakni masyarakat baik sebagai
individu maupun sebagai warga masyarakat (warga negara). Ruang lingkup RUU KAMNAS
yang mencantumkan keamanan insani lebih mengarah pada kepentingan tertentu agar
masalah penanganan keamanan dalam negeri dan atau nasional dapat dilaksanakan oleh
aktor lain selain Polri.

Pengertian dan ruang lingkup keamanan ditenggarai syarat dengan kepentingan


karena diguga akan muncul aktor lain dalam pemeliharaan keamanan dalam negeri
disamping institusi Polri. Apabila RUU KAMNAS telah disyahkan menjadi UU maka tidak
menutup kemungkinan akan terjadi benturan kepentingan pada tingkat operasional
karena ada lebih dari satu institusi yang memiliki kewenangan dan tanggungjawab dalam
memelihara keamanan dalam negeri, setidaknya akan terjadi overlapping dan duplikasi
sesuai dengan UU No.2 Tahun 2002.

5. Prioritas utama dalam RUU KAMNAS seharusnya mengklasifikasikan bentuk keamanan


nasional tersebut kedalam bentuk degradasi gangguan keamanan nasional kedalam 4 jenis
gangguan keamanan meliputi kejahatan konvensional, trans nasional crime, kejahatan
terhadap kekayaan negara dan kejahatan yang berimplikasi kontijensi/SARA, agar tidak
kontraproduktif dengan definisi keamanan.

6. Dilihat dari contens analysis (analisa isi materi) RUU KAMNAS tersebut masih lebih
menekankan pada peranan TNI dan BIN dalam keamanan nasional. Peran dan keterlibatan
TNI dalam mengatasi segala bentuk ancaman terlihat jelas, batasan keterlibatan TNI belum
jelas pada setiap bentuk gangguan keamanan sehingga akan menimbulkan konflik
kepentingan, pada hal di dalam UU TNI sudah jelas peran dan tugas TNI tersebut. RUU
KAMNAS tersebut seharusnya lebih membahas kepada bentuk ancaman yang mengarah
pada aspek keamanan nasional tetapi bukan dari konteks pertahanan.

22
7. Dari segi definisi operasional, pengertian Keamanan Nasional dalam RUU KAMNAS
tersebut cenderung bias karena bukan merupakan redaksional yang baku dan sudah
dijadikan rujukan atau referensi kesepakatan umum. RUU yang baku biasanya melihat dari
berbagai sudut pandang meliputi aspek filosofis, yuridis, sosiologis dan pertimbangan
perbandingan hukum internasional.

8. Dari sudut kerangka berpikir RUU KAMNAS, masih belum jelas dan tidak runtut/tidak
mengalir sebagai sebuah kerangka berpikir yang ilmiah akademik dan bernilai strategis.
Pengertian Keamanan Nasional walaupun kelihatan luas namun hakekatnya terlalu sempit
karena hanya melihat diimensi keamanan dari persepektif ancaman, seharusnya melihat
keamanan dari persepektif yang lebih luas, baik ancaman, tantangan, hambatan, maupun
ganggunan (ATHG).

9. Dalam pasal 1 tentang ketentuan umum RUU KAMNAS, hampir semua definisi yang
menyangkut keamanan nasional bukan merupakan redaksional yang berlaku umum,
disamping itu ada yang janggal dan tidak ada korelasinya dalam BAB pengertian dengan
memasukan definisi DPR RI dan DPRD dalam RUU KAMNAS (apa maksudnya)?

10. Dalam Pasal 2 RUU KAMNAS tentang hakikat KAMNAS, belum terlihat jelas definisi
operasional tentang keamanan nasional itu apa dan darimana sumber rujukannya, tidak
jelas siapa yang bertugas kedalam dan keluar (dalam konteks ini siapa yang menjadi
leading sektor untuk kedua definisi tersebut).

11. Pada pasal 3 RUU KAMNAS tujuannya masih sempit, belum dapat menjawab persolan
atau hakekat keamanan yang sebenarnya karena hanya berujung pada bebas dari
ancaman saja bukan dari ATHG. Pada hal yang dibutuhkan oleh individu, masyarakat,
bangsa dan negara serta proses pembangunan nasional bebas dari ATHG bukan hanya
ancaman. Implikasi tujuan semacam itu maka muncullah pasal 4 huruf c, yang secara jelas
merupakan tugas dan fungsi intelegen negara (BIN), fungsi penyelenggara keamanan
nasional lebih mengedepankan pada tugas-tugas intelegen atau operasi intelegen
sebagaimana termaktub/tersirat dalam huruf c tersebut.

12. Rumusan mengenai pengertian “keamanan ke dalam”, yang dijelaskan pada pasal 8 RUU
KAMNAS relative sempurna, namun apabila dikaji lebih dalam menjadi rancu dan
overlapping dengan UU Kepolisian yang sudah ada karena didalamnya terdapat redaksi
menjaga tetap tegaknya kedaulatan dan keutuhan wilayah NKRI”. Pasal inilah yang nanti
pada tingkat operasional akan berbenturan kepentingan antara TNI, Polri, dan Dewan
Keamanan Nasional. Duplikasi pasal dan UU pasti akan terjadi karena dalampenjelsan
pasaal 8 RUU KAMNAS masalah “keamanan ke dalam” terkesan merupakan domain
TNI dan Polri, bukan hanya Polri sebagaimana UU Kepolisian.

13. Masalah rumusan ancaman “keamanan nasional”, sebagaimana tersirat pada pasal 16
berkenaan dengan spektrum ancaman paling lunak sampai dengan paling keras, spektrum
23
ancaman paremeternya belum jelas sehingga akan mengundang multi tafsir dalam
membaca dan memahami UU KAMNAS. Kiranya tidaklah cukup ancaman dalam arti lunak
diterjemahkan dalam keadaan aman dan tertib kemudian yang ancaman keras diartikan
keadaan gawat atau kerusuhan social yang bersifat nasional.

Pasal ini akan menimbulkan permasalahan pada tingkat implementasi atau pengelolaan
keamanan karena parameter dan spektrumnya serta indikatornya belum jelas, dan siapa
atau institusi apa (TNI, atau Polri) yang bertanggungjawab pada saat kondisi ancaman
masih lunak, local, begitu pula bila eskalasi ancaman semakin luas siapa yang
bertanggungjawab ? Dalam konteks ini dimana peran Polri sebab Polri juga memiiki
kewenangan dan tupoksi mengamankan dan bertanggungjawab terhadap keamanan
dalam negeri.

Dalam hal prinsip pelaksanaan keamanan nasional, tidaklah cukup hanya 9 item atau aspek
saja, tetapi masih terdapat aspek yang lebih penting ditinggalkan oleh RUU KAMNAS, yakni
aspek sosial budaya, aspek ini amat penting karena berkaitan dengan harkat, martabat,
dan karakter budaya bangsa. Dalam perspektif social budaya keamanan nasional akan sulit
terwujud mana kala negara tidak mampu melayanani publik secara adil, menciptakan
kesejahteraan social, dan mempertahankan serta menumbuhkembangkan budaya bangsa.
Karenanya aspek sosial budaya inilah yang akan menjadi key factor ketahanan dan
keamanan nasional yang sebenarnya.

14. Dalam Pasal 20 RUU KAMNAS tentang unsur dan peran penyelenggaraan KAMNAS
sangat sedikit dan tidak jelas peran dan eksistensi Polri berapa persen porsinya dalam RUU
KAMNAS tersebut mengingat RUU KAMNAS domainnya adalah masalah keamanan.
Sementara secara “defakto dan dejure” masyarakat umum sudah mengetahui dan
mengakui bahwa selama ini institusi Polri selaku leading sector pelaksana dan penanggung
jawab keamanan dalam negeri dibantu TNI. Dalam konteks ini seharusnya RUU KAMNAS
mempertegas dan memperkuat 2 institusi yang bertanggung jawab di bidang keamanan
nasional yaitu :

a) Institusi Polri bertugas pokok di bidang penegakan hukum dan keamanan;

b) Institusi TNI bertugas pokok menjaga kedaulatan negara.

Dengan demikian dapat dipahami bahwa unsur keamanan nasional dalam konteks RUU
KAMNAS ini dibentuk dalam kerangka memenuhi kepentingan kelompok tertentu dalam
arti syarat dengan nuansa politis.

Hal ini terlihat jelas dari beberapa unsur dalam penyelenggaraan keamanan nasional yang
seharusnya hanya ada 2 institusi yaitu Polri dan TNI.

15. Dalam diuraikan pada pasal 22 RUU KAMNAS terlihat tidak jelas dan tegas fungsi dan
tugas pokok institusi Polri dan TNI berapa porsi peran masing-masing pembagian tugasnya

24
dihadapkan dengan degradasi gangguan keamanan nasional tersebut. Bila dibandingkan
dengan peran BIN. Sementara akar masalah munculnya ide RUU KAMNAS tersebut
berawal dari adanya implikasi pemisahan peran TNI dan Polri.

16. Dalam pasal 20 RUU KAMNAS unsur keamanan nasional dimaksud tidak muncul istilah
dewan keamanan nasional, namun di pasal 24, 25 dan 26 , tiba-tiba muncul istilah dewan
keamanan sedangkan diketentuan umum istilah tersebut tidak ada. Demikian juga
dengan istilah DPR yang merupakan badan legislatif dari sistem ketatanegaraan dimana
Polri merupakan bagian dari unsur yudikatif dan institusi TNI statusnya berada diluar dari
sistem Ketatanegaraan tersebut, dalam konteks ini mengapa tiba-tiba muncul dalam definisi
keamanan nasional dan institusi BIN posisinya berada dimana dari sistem Ketatanegaraan.

17. Dalam pasal 20 RUU KAMNAS bila dicermati pada dasarnya merupakan pasal yang syarat
kepentingan politik pemerintahan, karena RUU KAMNAS menegaskan kembali
keberadaan ‘eksekutif’ baik pada pemerintahan tingkat pusat, propinsi maupun
kabupaten/kota. Pada hal dalam UU Pemerintah Daerah peran strategis pemerintah pusat,
pemerintah propinsi dan kabupaten/kota sudah sangat jelas sehingga tidak perlu
disebutkan kembali pada UU KAMNAS. Disamping itu, pasal 20 ini tidak dapat dipisahkan
dengan pasal 22 tentang peran aktif BIN dan mempertegas keberadaan unsur BIN dalam
setiap penyelenggaraan keamanan nasional. RUU KAMNAS dengan demikian dapat
dikatakan sebuah strategi dan taktik pemerintah untuk memperkuat peran strategisnya
(eksekutif) dalam mengendalikan keamanan nasional atau pembangunan nasional.

18. Pengelolaan Keamanan Nasional menurut draf RUU KAMNAS pada pasal 24 ialah “Dewan
Keamanan Nasional” yang diketuai oleh Presiden dan wakil ketua oleh Wakil Presiden,
sedangkan Ketua Harian Pejabat Negara setingkat Menteri yang ditunjuk Presiden dengan
anggota dewan tetap dan tidak tetap. Persoalannya, mengapa sudah ada institusi
pengelola keamanan dan pertahanan negara harus dilahirkan kembali pengelola
keamananan nasional ? apakah Kementerian Pertahanan, TNI, dan Polri sudah tidak
mampu mengelola keamananan negara ? Bukankah ini bentuk inefisiensi birokrasi publik
dalam era reformasi birokrasi ? yang diperlukan sebenarnya bukanlembaga baru seperti
Dewan Keamanan Nasional tetapi optimalisasi koordinasi, integrasi, dan sinkronisasi (KIS)
kinerja pengelola pertahanan dan keamanan serta ketertiban masyarakat dengan
melibatkan berbagai stakeholders keamanan.

19. Dalam pasal 30 RUU KAMNAS, perumus RUU KAMNAS terjebak dengan konsepnya
sendiri antara lain :

25
a. Panglima TNI bertugas menetapkan dan melaksanakan kebijakan operasional dan
strategi militer berdasarkan kebijakan dan strategi penyelenggaraan negara dalam
rangka pelaksanaan KAMNAS.

b. Kapolri menetapkan dan melaksanakan kebijakan penyelenggaraan fungsi kepolisian


yang meliputi pemeliharaan keamanan, ketertiban masyarakat, perlindungan,
pelayanan, pengayoman, dan penegakan hukum dalam rangka pelaksanaan
keamanan nasional.

20. Penjelasannya berkaitan dengan pasal tersebut adalah pasal tersebut sudah tegas dan
jelas merumuskan definisi keamanan nasional yang diemban antara TNI dan Polri yang
telah dipisahkan, dengan demikian seharusnya RUU KAMNAS tersebut lebih mengadopsi
dan memperkuat sisi kepentingan fungsi tugas dan peran Kepolisian yang selama ini
sebagai leading sector pelaksana dan penanggung jawab keamanan dalam negeri.

Hal ini harus dijadikan catatan penting oleh para stake holder penyelenggara negara bahwa
ketidakoptimalan serta ketidakberdayaan Polri bukan berarti menjadikan Polri semakin
tidak eksis dengan melakukan upaya strategis melalui ide penyusunan RUU KAMNAS,
karena pada akhirnya akan merugikan institusi Polri bila tidak diposisikan sebagaimana
yang seharusnya sesuai dengan ketentuan dan pertimbangan dari berbagai aspek antara
lain ditinjau dari segi profesionalitas, proporsional dan pertimbangan hukum -hukum
internasional yang menjadi acuan tugas Polri selama ini.

21. Dalam pasal 29 tersebut tentang fungsi lembaga pemerintah non kementerian juga
menetapkan kebijakan dan melaksanakan kebijakan penyelenggaraan dan tanggung jawab
sesuai fungsinya berdasarkan kebijakan. Sementara dipasal 30, ada 3 institusi yang muncul
yaitu TNI, Polri dan BIN. Dimana Peran BIN dalam sistem ketatanegaraan kita tidak ada
istilah BIN, sehingga keberadaan BIN berada dimana dari 3 kerangka sistem
ketatanegaraan.

22. Pada pasal 32 dan 33 RUU KAMNAS disebutkan tentang forum koordinasi
penyelenggaraan KAMNAS, tetapi pada ketentuan umum tidak ada penjelasannya tiba-
tiba muncul istilah forum koordinasi penyelenggara keamanan tingkat propinsi yang
diketuai Gubernur, dan tingkat Kabupaten/Kota oleh Bupati/Walikota. Berangkat dari
kerangka berpikir ini maka kepala daerah jabatannya lebih “tinggi” daripada pimpinan
Polri dan TNI terhadap pengelolaan keamanan. Padahal mereka pejabat politik yang dipilih
langsung oleh rakyat, sangat berbeda dengan TNI dan Polri.

Dilihat dari sudut rantai komando pengendalian penanganan masalah keamanan akan
mengalami hambatan dan tantangan cukup serius, mengingat eskalasi keamanan
membutuhkan tindakan tepat dan rantai komando yang cepat, Polri dan TNI harus cepat

26
melaporkan kepada pimpinan masing-masing secara hierarkis. Dalam konteks ini para
stake holder Polri harus mewaspadai bahwa strategi tersebut bertujuan untuk menggiring
agar institusi Polri berada dibawah departemen yang pada akhirnya menjadikan Polri
semakin tidak berdaya, tidak mandiri dan hal ini mencederai semangat reformasi.

23. Pada pasal 24 ayat 1, dalam konteks RUU KAMNAS, terjadi pengulangan peran presiden
yang sangat besar yang kemudian dipertegas kembali dalam pasal 34 ayat 1.

24. Didalam pasal 23 RUU KAMNAS, begitu sangat jelas mengatur keberadaan fungsi dan
peran TNI dan Bin yang seharusnya dalam RUU KAMNAS tersebut fungsi dan peran Polri
harus lebih besar dari fungsi-fungsi penyelenggara lainnya.

25. Pada Pasal 53 RUU KAMNAS tentang Komando dan kendali penyelenggaraan keamanan
nasional, terjadi kerancuan garis komando dimana

a. untuk tingkat nasional keamanan ditangani Presiden;

b. untuk tingkat strategis ditangani pemimpin kementerian, Panglima TNI, Kapolri,


Kepala BIN, Kepala BNPB dan pemimpin lembaga pemerintah non kementerian;
c. untuk tingkat operasional ditangan Panglima/komando satuan gabungan terpadu
(dalam konteks ini yang dimaksud panglima adalah Panglima TNI,demikian dengan;
d. untuk tingkat taktis adalah dari unsur TNI.

Pasal 53 RUU KAMNAS ini apabila dikaji lebih dalam merupakan bentuk eliminasi peran
Polri selaku penanggungjawab Keamanan Dalam Negeri, karena dalam RUU KAMNAS
Komando operasional ditangan TNI/Panglima. Dalam konteks inilah terjadi duplikasi dan
overlapping antara UU Kepolisian dan RUU KAMNAS.

26. Khusus pada ayat (1) butir c, tentang Komando dan kendali penyelenggaraan keamanan
nasional, yang seharusnya pada tataran operasional, Kapolri selaku Leading Sector
pelaksana dan penanggung jawab Keamanan Nasional Dalam Negeri, bukan Panglima
TNI, yang didasarkan pada aspek kondisi degradasi gangguan keamanan yang
berlangsung sebagaimana semangat daripada UU KAMNAS tersebut.

27. Disisi lain pada pasal 53 tersebut, terdapat kerancuan dalam pengelolaan kewenangan
dalam penyelenggaraan operasional keamanan oleh Polri dan TNI yang dapat menjadi
potensi konflik perebutan kepentingan dan perebutan sumber daya kewenangan (grey
area) dan hal ini sudah terlihat pada konsep RUU KAMNAS tersebut, bukan menyelesaikan
masalah terhadap kevakuman dan kegamangan dalam mensinergikan pnyelenggaraan
fungsi keamanan, namun sebaliknya.

Hal ini terlihat pada pasal 53 ayat 2, tentang tataran kewenangan komando kendali
sebagaimana dimaksud pada ayat 1 bertanggugjawab secara hierarki, hierarki yang
dimaksud dalam konteks ini adalah fungsi TNI, yang seharusnya fungsi Polri.

27
28. Pasal 54 tentang pengawasan penyelenggaraan sistem keamanan nasional yang
dilaksanakan secara berlapis melalui suatu pengawasan konsentrik sesuai kaidah
pengamanan yang demokratis yang meliputi pengawasan melekat, pengawasan eksekutif,
pengawasan legislatif, pengawasan publik dan pengawasan pengguna kuasa khusus. Hal
ini tidak jelas maksudnya apa mengingat definisi operasional pengawasan tersebut tidak
jelas.

29. Pada pasal 34 RUU KAMNAS tersebut belum terlihat jelas gambaran/arah dari bentuk-
bentuk ancaman bersenjata yang merupakan bagian dari definisi kejahatan.

30. Pada pasal 25 RUU KAMNAS dalam butir d, perlu ditinjau kembali, bahwa mengendalikan
penyelenggaraan keamanan nasional haruslah berdasarkan Degradasi Gangguan
Keamanan, bukan ancaman.

Dalam butir b, menilai dan menetapkan kondisi keamanan nasional ini harus ditentukan
sesuai dengan eskalasi gangguan keamanan bukan ancaman sehingga akan tergambar
apa berbuat apa dan bertanggung jawab pada siapa pada masing-masing domain fungsi.

31. Pada pasal 27 dan 28, sangat tidak relevan dengan cakupan RUU KAMNAS dimana
kementerian pertahanan sebagai Koordinator terhadap kementerian lain, sementara hal ini
menyangkut keamanan itu sendiri, disatu sisi masih belum jelas kedudukan dan
keberadaan KEMENPOLHUKAM, apakah tetap ada atau hilang dengan berlakunya RUU
KAMNAS tersebut kendati dan lebih tepat dikoordinasikan oleh institusi seperti
KEMENPOLHUKAM seperti saat ini.

32. Pada bagian mengingat dalam RUU KAMNAS tentang dasar hukum yang menjadi sumber
rujukan pada penyusunan ide RUU KAMNAS acuannya UUD 1945, UU No. 2 tahun 2002
tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, UU No. 3 tahun 2002 tentang Pertahanan
dan UU No. 34 tahun 2003 tentang TNI, terlihat kurang cermat dan komprehensif
memperhatikan semangat reformasi Polri yang tertuang dalam Instruksi Presiden No. 2
tahun 1999 dan Keputusan Presiden No. 89 tahun 2000 yang kemudian dipertegas dengan
keluarnya TAP MPR No VI/MPR dan VII/MPR tahun 2000 tentang pemisahan peran TNI
dan Polri agar tidak terjadi kontraproduktif dengan penyelenggaraan tugas Polri.

Hal ini berangkat dari saat pemisahan TNI dan Polri sebagaimana tertuang dalam TAP MPR
dimana pada saat pemisahan tersebut Polri sudah menjadi intitusi mandiri yang
bertanggung jawab pada presiden. Sementara TNI masih dibatasi oleh keberadaan UU
Pertahanan.

33. Disisi lain Materi RUU KAMNAS dalam mengelompokan jenis gangguan keamanan
nasional lebih didasarkan pada sudut pandang ancaman dari sisi pertahanan yang pada
akhirnya akan terjadi bias dan tumpang tindih kewenangan antar Polri dan TNI dalam

28
implementasinya yang seharusnya dalam RUU KAMNAS tersebut peran dan fungsi Polri
porsinya harus besar dari fungsi TNI dalam konteks keamanan nasional.

34. Begitu pula Kebijakan dan strategi penyelenggaraan keamanan nasional dalam RUU
KAMNAS tersebut harus lebih utama mengangkat masalah-masalah yang berpotensi dan
menjadi FKK, PH dan ancaman faktual timbulnya gangguan keamanan, dimana Kapolri
sebagai salah satu perumus kebijakan dalam RUU KAMNAS tersebut bukan panglima TNI.

35. RUU KAMNAS bila dilihat dari Bab VI pasal 57 cenderung dipaksakan untuk membentuk
atau mengantarkan lahirnya lembaga baru atau birokrasi baru yang dikendalikan langsung
oleh Presiden dalam mengantisipasi masalah pembangunan dan keamanan. Bahkan
tidaklah berlebihan bila dikatakan Dewan Keamanan Nasional dan RUU KAMNAS
merupakan Grand Strategi TNI dalam memainkan peran politiknya di masa depan. Pasal
57 yang menandaskan bahwa 6 bulan setelah UU KAMNAS harus terbentuk Dewan
Keamaman Nasional merupakan indikator adanya akselerasi untuk mengamankan Pilpres
2014.

36. Oleh karena itu sepatutnya RUU KAMNAS harus disikapi secara kritis dan diwaspadai oleh
para stake holder Polri sebagai bentuk strategi pengalihan dan upaya mereduksi
pengurangan kewenangan tugas pokok dan fungsi Polri untuk beralih penanganannya
kepada TNI dan unsur penyelenggara keamanan nasional sebagaimana dimaksud dalam
RUU KAMNAS tersebut.

Dimana fenomenanya sudah terlihat dalam konteks refleksi kejadian konflik sosial
dibeberapa daerah yang terindikasi sudah “dikondisikan” sebelumnya untuk menjadi
sebuah peristiwa anarkis antara Polri dan massa, dengan memperlihatkan sebuah potret
kelemahan dan ketidak berdayaan penyelenggaraan tugas pokok Polri dalam menyikapi
permasalahan yang muncul dan berkembang dalam kontek kehidupan bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara saat ini.

Seperti bagaimana Polri dalam menangani kasus konflik-konflik sosial dan komunal yang
terjadi di Maluku, Papua (masalah penembakan dan pemogokan buruh pertambangan PT.
Freeport Timika), Banten (masalah konflik agama di Cikeusik kabupaten pandeglang),
Lampung/Sumsel (Mesuji masalah tanah perkebunan), NTB (masalah ijin pertambangan di
kecamatan Sape kabupaten Bima), pembakaran pesantren “SYIAH” oleh sekelompok
massa di Sampang Madura. Dan peristiwa penembakan terhadap 4 (empat) orang pekerja
dan teknisi “Telkom” menjelang malan tahun baru oleh oknum bersenjata di Bueren Aceh
yang terkait dengan masalah pemilihan Gubernur propinsi Aceh.

BAB V

KESIMPULAN dan REKOMENDASI

29
I. KESIMPULAN

1. Setengah abad TNI dan Polri serumah di era orde baru telah mempengaruhi persepsi
bahwa TNI dan Polri itu sama padahal TNI dan Polri berbeda dimana TNI harus tunduk
pada satu doktrin militer dunia “Euis Ed Bellum” sebagai konvensi internasional yang
menegaskan bahwa TNI dibawah DEPHAN untuk kontrol agar tidak mudah
disalahgunakan, adapun Polri adalah lembaga independen dibidang pelayanan publik dan
aparat penegak hukum sehingga organisasi Kepolisian disetiap negara berbeda-beda,
tergantung pada system pemerintahan.

2. Reposisi Polri dibawah Presiden dan TNI dibawah DEPHAN merupakan keputusan
reformasi oleh para pendiri negara yang harus disadari dan disikapi secara legowo dan arif
serta dilaksanakan secara konsisten karena telah dikaji secara cermat dan matang oleh
para pakar hukum juga berdasarkan kepada pengalaman nasional bangsa yang
merupakan saksi sejarah yang jujur.

3. Ide penyusunan RUU KAMNAS sangat keliru dan sarat kepentingan serta terkesan
dipaksakan sementara tidak memenuhi dari standar format penyusunan akademik/legal
drafting sebuah produk UU yang benar sebagaimana ketentuan yang berlaku dalam
Undang-undan nomor 10 tahun 2004.

4. Lahirnya sebuah produk RUU KAMNAS pada hakikat awalnya semangatnya adalah untuk
memberikan penguatan dan mewujudkan semangat kebersamaan dengan paradigma baru
dalam mewujudkan integritas, sinergitas, keterpaduan dan harmonisasi beberapa produk
UU yang ada untuk saling melengkapi namun kenyataannya tidak harus mengambil alih,
mereduksi dan memangkas secara perlahan-lahan tugas fungsi dan peran yang sudah
ada dan dimiliki Polri melalui “pembentukan dewan keamanan nasional”.

5. Tampak jelas bahwa TNI dan BIN ingin memasukan kewenangannya ke fungsi KAMNAS
secara luas dan serta merta sementara dalam berbagai referensi/literatur sudah sangat
gamblang bahwa pelibatan militer ke dalam otoritas sipil yang serta merta akan merusak
tatanan demokratisasi dan hak asasi manusia sehingga setiap keterlibatan TNI harus
dengan sebuah keputusan politik.

6. Konsepsi universal diera otoritas sipil telah menegaskan dan mengamanatkan bahwa
Kepolisian merupakan motor pendukung utama tegaknya tatanan demokrasi dan hak asasi
manusia, kontek ini dimaksudkan bahwa Polri sebagai leading sektor pelaksana dan
penanggung jawab keamanan nasional dan penegakan hukum serta ketertiban umum
bukan fungsi TNI.

7. Output dari penyusunan RUU KAMNAS cenderung mengarah pada pembentukan lembaga
koordinasi lintas sektoral yang mengurusi bidang keamanan nasional, sangat bertentangan

30
dengan perundang-undangan TNI dan Polri yang sudah ada dan beberapa konvensi
internasional.

8. Istilah dewan keamanan nasional bila dikaji secara filosofi adalah bentuk penghalusan dari
model-model koordinasi keamanan nasional, padahal intinya adalah ingin memunculkan
lembaga koordinasi baru dalam bidang keamanan yang pada hakekatnya bertujuan
menghambat proses kemandirian Polri selaku leading sektor pelaksana dan penanggung
jawab dibidang keamanan dalam negeri, penegakan hukum dan ketertiban umum selama
ini dijalankan.

9. Bahwa sangat sulit dipahami semangat sebuah RUU seperti KAMNAS tanpa membaca
naskah akademik apakah materi dan isi sudah sempurna dilihat dari dari sisi legal drafting,
untuk dapat dipahami apa lagi untuk disosialisasikan.

10. Bila RUU KAMNAS tersebut ini disahkan, maka implikasinya sangat berpengaruh besar
terhadap :

a. Kondisi politik, ekonomi, social budaya, ekologi dan agama karena isu keamanan
sangat luas cakupannya.

b. Proses terwujudnya supremasi sipil yang syarat dengan nuansa demokratisasi,


supremasi hukum, hak asasi manusia, transparansi dan akuntabilitas publik di
Indonesia.

c. Proses sistem penegakan hukum, terwujudnya kesamaan hukum, keadilan serta


ketaatan hukum masyarakat sebagai warga negara dimana di era demokratisasi Polri
merupakan garda terdepan dalam mewujudkan kepatuhan warga masyarakat
terhadap Undang-undang.

d. Posisi Polri yang tidak lagi sebagai lembaga independent/mandiri sehingga


bertentangan dengan semangat reformasi.

e. Kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang tidak pernah mau belajar
dari pengalaman nasional dimana sejarah merupakan saksi yang paling jujur.

II. REKOMENDASI

1. Polri perlu melakukan Troop policing sebagai media penyadaran dan pencerahan kepada
Lembaga DPR dalam mengkaji ulang dan tidak terburu-buru mensyahkan beberapa produk
perundang-undangan yang duplikasi dan tidak memenuhi standar dan format sebuah
produk UU seperti RUU KAMNAS saat ini, karena sangat berpotensi terjadinya

31
duplikasi/benturan kepentingan dari sisi domain tugas Polri yang berupaya dialihkan
menjadi kewenangan TNI dan kementerian lain untuk menghambat kemandirian Polri.

2. Polri harus lebih cermat, kritis dan solid dalam menjaga dan mengawal peran strategisnya
yang sudah diamanatkan oleh Undang-undang dan konvensi internasional dengan
melakukan strategi penyadaran, penggalangan dan pencerahan terhadap stake holder
pengelola keamanan dan badan pembuat Undang-undang yang bisa memperkuat
eksistensi dan kemandirian Polri antara lain lembaga/badan Mahkamah Konstitusi, DPR
RI, badan pengkajian Perguruan Tinggi, Masmedia dan LSM yang memiliki pengaruh kuat
untuk memperkuat posisi Polri.

3. Lembaga legislatif/DPR secara intens lebih mengawasi setiap proses legalitas produk
perundang-undangan seperti RUU KAMNAS dengan melihat secara cermat, komprehensif
dan memposisikan secara proporsional serta profesionalitas berdasarkan aspek “de facto
dan de jure” yang ada di masyarakat terutama yang menjadi aspek kebutuhan masyarakat
dan organisasi. Disamping juga harus mencermati produk acuan universal atau
pertimbangan perbandingan hukum/konvensi internasional terkait ide penyusunan struktur
dewan keamanan nasional yang dapat menjadi rujukan hukum terhadap pelibatan aktor
militer haruslah dijadikan sebagai alternatif terakhir.

4. Polri perlu menyelenggarakan lokakarya untuk mendapatkan kajian akademik sebagai


masukan komprehensif dalam rangka penyempurnaan terhadap konsep RUU KAMNAS
agar keberadaan UU tersebut bersinergi dan dapat memberikan manfaat terhadap
integritas, komitmen dan produktivitas serta kinerja penyelenggaraan tugas pokok Polri
sesuai dengan semangat reformasi Polri sebagaimana tertuang dalam UUD 1945
amandemen tahun 2000, yang diperkuat dengan TAP MPR No. VI dan VII MPR tahun 2000,
UU No. 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.dan konvensi
internasional.

5. Apabila dewan keamanan nasional tetap dipaksakan terbentuk maka yang harus menjadi
catatan penting oleh badan legislatif DPR RI bahwa Polri harus menjadi leading sektor
dalam implementasi operasional terkait keberadaan struktur dewan keamanan
nasional dimaksud dimana Kapolri selaku “ex oficio” ketua dewan keamanan nasional
sebagaimana pertimbangan strategis tersebut diatas.

6. Polri harus proaktif dan simultan melakukan pemolisian birokrasi kepada para stake holder
para penyelenggara negara khususnya anggota TNI sebagai bentuk sosialisasi dan
penyadaran tentang fungsi, peran dan tugas pokok Kepolisian di era supremasi sipil yang
syarat dengan mengutamakan demokratisasi, penegakkan supremasi hukum, HAM,
transparansi dan akuntabilitas publik.

32
7. DPR perlu mencermati acuan universal dan pengalaman nasional sehingga perlu
diciptakan struktur normatif normal yang dapat menjamin bahwa pelibatan aktor militer
dijadikan sebagai alternatif terakhir.

8. Para Stake holders penyelenggara negara perlu mengembangkan prosedur yang


transparan informasi publik jika terjadi proses keamanisasi artinya adanya konflik yang
perlu ditangani dengan pelibatan berbagai instansi.

9. Pemerintah/Polri perlu mengembangkan beragam mekanisme resolusi konflik lokal yang


melibatkan sebanyak mungkin aktor non militer diberbagai tingkat eskalasi konflik untuk
dijadikan sebagai bagian pengembangan strategi keamanan baik local maupun nasional
dengan belajar dari pengalaman, contoh kasus Poso Palu, Ambon, dan lain-lain yang
melibatkan banyak aktor militer justru tidak menyelesaikan masalah karena kita masih
sering terperangkap sistem masa lalu, kurang jeli mengkaji permasalahan.

10. Usulan konsep tersebut diatas diharapkan dapat menjadi semacam preskripsi tentative
yang bisa memperbaiki sistem strategi dan kinerja aktor keamanan sesuai bidang masing-
masing, dimana inti dari preskripsi ini adalah Pemerintah dan DPR perlu secepatnya
melakukan renskrontuksi, konsep dan aktor keamanan guna mencairkan dominasi
pemikiran prakmatis, realis kepemikiran konstuktif yang menawarkan strategi, populis dan
humanis.

11. Ini merupakan diskusi ilmiah atau kajian akademik dari sebuah pemikiran konstruktif dalam
rangka sharing pemikiran logis, realis dan demokratis maka jangan ada yang merasa
tersudutkan dan jangan ada yang marah bahkan tersinggung.

BAB VI

PENUTUP

33
Demikian analisis/ kajian akademik Puslitbang Polri terhadap RUU KAMNAS yang akan
disyahkan oleh lembaga DPR RI ini dibuat sebagai bahan masukan, informasi dan pertimbangan
strategis bagi pimpinan Polri dalam menentukan kebijakan selanjutnya.

Jakarta, Januari 2012

Diambil dari paparan Drs. SYAMSUDIN DJANEB, KOMBES POL NRP. 65110551, analis di
Puslitbang Polri.

34

Anda mungkin juga menyukai