PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pneumonia didefinisikan sebagai suatu peradangan akut parenkim
paru yang disebabkan oleh mikroorganisme (bakteri, virus, parasit).
Pneumonia yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis tidak
termasuk. Peradangan paru yang disebabkan oleh non mikroorganisme
(bahan kimia, radiasi, aspirasi bahan toksik, obat-obatan lain) disebut
pneumonitis (PDPI, 2014). Penyakit ini sering menyerang anak balita, namun
juga dapat ditemukan pada orang dewasa, dan pada orang usia lanjut.
Bakteri yang biasa menyebabkan pneumonia adalah Streptococcus
dan Mycoplasma pneumonia, sedangkan virus yang menye-babkan
pneumonia adalah adenoviruses, rhinovirus, influenza virus, respiratory
syncytial virus (RSV) dan para influenza virus. Terjadinya pneumonia
ditandai dengan gejala batuk dan atau kesulitan bernapas seperti napas cepat,
dan tarikan dinding dada bagian bawah ke dalam (Anwar, 2014).
Pneumonia merupakan penyebab utama kematian balita di dunia.
Diperkirakan ada 1,8 juta atau 20% dari kematian anak diakibatkan oleh
pneumonia, melebihi kematian akibat AIDS, malaria dan tuberkulosis
(WHO,2006)
Di Indonesia berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas)
tahun 2013, menunjukkan prevalensi nasional Infeksi Saluran Pernapasan
Akut (ISPA) yaitu sebesar 25 %, dan terjadi peningkatan prevalensi
pneumonia 11,2% pada tahun 2007 menjadi 18,5% pada tahun 2013. Insiden
tertinggi pneumonia terdapat pada kelompok umur 12-23 bulan (21,7%)
(Kemenkes RI 2007 dan 2013).
Demikian juga hasil Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia
(SDKI), yang melaporkan bahwa prevalensi pneumonia daritahun ke tahun
terus eningkat, yaitu 7,6% pada tahun 2002 menjadi 11,2% pada tahun 2007
(BPS,2007). Pneumonia juga termasuk dalam 10 besar penyakit rawat inap di
rumah sakit dengan proporsi kasus 53,95 % laki-laki dan 46,05 % perempuan,
dengan crude fatality rate (CFR) 7,6 %, paling tinggi dibandingkan penyakit
yang lainnya (Kemenkes RI, 2012).
Pada umumnya, pneumonia dikategorikan dalam penyakit menular
yang ditularkan melalui udara, dengan sumber penularan adalah penderita
pneumonia yang menyebarkan kuman dalam bentuk droplet ke udara pada
saat batuk atau bersin. dan berbicara langsung terhirup oleh orang di sekitar
penderita, atau memegang dan menggunakan benda yang telah terkena
sekresi salu-ran pernapasan penderita (WHO, 2013)
Banyak faktor yang dapat berpengaruh terhadap meningkatnya
kejadian pneumonia, baik dari aspek individu, perilaku orang tua (ibu),
maupun lingkungan. Kondisi lingkungan fisik rumah yang tidak memenuhi
syarat kesehatan dan perilaku penggunaan bahan bakar dapat meningkatkan
risiko terjadinya berba-gai penyakit seperti TB, katarak, dan pneumonia
(Azhar, 2013; Tana 2009; Listyowati, 2013). Mengenai penyakit pneumonia
akan dibahas lebih lanjut mengenai pneumonia dalam makalah ini.
BAB II
STATUS PASIEN
A. ANAMNESIS
1. Identitas Pasien
Nama : Ny. TM
Umur : 63 tahun
Jenis Kelamin : Wanita
Status : Menikah
Pekerjaan : Ibu rumah tangga
Agama : Islam
Alamat : Banjarsari, Surakarta
Tanggal Masuk : 11 Oktober 2015
Tanggal Pemeriksaan : 11 Oktober 2015 – 16 Oktober 2015
No. RM : 01316554
2. Keluhan Utama
Sesak napas
6. Riwayat Kebiasaan
Merokok : pasif (+)
Minum alkohol : disangkal
Mempunyai binatang peliharaan : disangkal
Kontak dengan binatang : disangkal
7. Riwayat Sosial Ekonomi
Pasien berobat di RS Dr. Moewardi menggunakan fasilitas BPJS.
Pasien berprofesi sebagai ibu rumah tangga, tinggal bersama suami, anak,
dan cucunya.
B. PEMERIKSAAN FISIK
1. Keadaan Umum
Tampak sesak, GCS E4V5M6 (compos mentis).
2. Tanda Vital
Tekanan darah : 110/80 mmHg
Frekuensi pernapasan : 32 x/menit
Nadi : 108 x/menit
Suhu : 38oC
SpO2 : 98% dengan O2 3 lpm
3. Kulit
Warna sawo matang, pucat (-), ikterik (-), petechie (-), venektasi (-),
spidernevi (-), hiperpigmentasi (-), hipopigmentasi (-).
4. Kepala
Bentuk mesocephal, luka (-), rambut warna hitam beruban, tidak mudah
rontok, tidak mudah dicabut, atrofi otot (-).
5. Mata
Konjungtiva pucat (-/-), sklera ikterik (-/-), refleks cahaya (+/+), pupil
isokor (3mm/3mm), oedem palpebra (-/-), sekret (-/-).
6. Hidung
Nafas cuping hidung (-/-), deformitas (-), darah (-/-), sekret (-/-).
7. Telinga
Deformitas (-/-), darah (-/-), sekret (-/-).
8. Mulut
Bibir kering (-), sianosis (-), lidah kotor (-), lidah simetris, lidah tremor (-),
tonsil T1-T1, faring hiperemis (-), stomatitis (-), mukosa pucat (-), gusi
berdarah (-), papil lidah atrofi (-).
9. Leher
JVP tidak meningkat, KGB tidak membesar, nyeri tekan (-),benjolan (-),
leher kaku (-).
10. Thorax
Simetris, venektasi (-).
11. Jantung
Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak
Palpasi : Ictus cordis tidak kuat angkat
Perkusi : Batas jantung kesan tidak melebar
Auskultasi : Bunyi jantung I dan II intensitas normal, reguler, bising (-)
12. Paru
a. Paru (anterior)
Inspeksi statis : Permukaan dada kanan = kiri
Inspeksi dinamis : Pengembangan dada kanan = kiri
Palpasi : Fremitus taktil kanan = kiri
Perkusi : sonor/sonor
Auskultasi : SDV (+/+), RBK (-/+), wheezing (-/-)
b. Paru (posterior)
Inspeksi statis : Permukaan dada kanan = kiri
Inspeksi dinamis : Pengembangan dada kanan = kiri
Palpasi : Fremitus taktil kanan = kiri
Perkusi : hipersonor/hipersonor
Auskultasi : SDV (+/+), RBK (-/+), wheezing (-/-)
13. Abdomen
Inspeksi : dinding perut sejajar dinding dada
Auskultasi : bising usus (+) normal
Perkusi : timpani
Palpasi : supel, nyeri tekan (-), hepar/lien tidak teraba
14. Ekstremitas
Oedem Akral dingin
C. PEMERIKSAAN PENUNJANG
KIMIA KLINIK
Glukosa Darah Sewaktu 196 mg/dl 60 – 140
SGOT 22 u/l < 35
SGPT 18 u/l <45
Albumin 3.2 g/dl 3.2 – 4.6
Creatinine 0.6 mg/dl 0.8 – 1.3
Ureum 29 mg/dl < 50
ELEKTROLIT
Natrium darah 132 mmol/L 136 – 146
Kalium darah 3.4 mmol/L 3.7 – 5.4
Chlorida darah 92 mmol/L 98 – 106
ANALISIS GAS
DARAH
PH 7.430 7.310 – 7.420
BE 2.7 mmol/L -2 – +3
PCO2 42.0 mmHg 27.0 – 41.0
PO2 91.0 mmHg 80.0 – 100,0
Hematokrit 34 % 37 – 50
HCO3 27.2 mmol/L 21.0 – 28.0
Total CO2 28.5 mmol/L 19.0 -24.0
O2 Saturasi 97.0 % 94.0 – 98.0
LAKTAT
Arteri 1.64 mmol/L 0.36 – 0.75
SEROLOGI
HEPATITIS
HBsAg Nonreactive Nonreactive
ENZIM JANTUNG
Troponin <0.01 ug/L 0.0 – 0.50
CKMB 0.94 ng/mL <2.9
2. Foto Thorax 11 Oktober 2015
Gambar 1. Foto Thoraks PA/Lat
D. RESUME
Pasien datang ke IGD RS Dr. Moewardi dengan keluhan utama
sesak napas. Sesak napas dialami pasien sejak 1 minggu sebelum masuk
rumah sakit (SMRS) dan memberat 2 hari SMRS. Sesak napas tidak
dipengaruhi cuaca atau debu dan tidak diperberat oleh aktivitas. Tidak ada
keluhan terbangun pada malam hari karena sesak.
Pasien juga mengeluhkan batuk sejak 3 minggu SMRS. Batuk
disertai dahak berwarna putih dan berubah menjadi kekuningan sejak 1
minggu SMRS dengan peningkatan jumlah dahak. Pasien mengeluh
demam 1 minggu SMRS. Riwayat demam sumer-sumer tidak ada. Tidak
ada keluhan nyeri dada dan keringat saat malam hari. Pasien mengalami
penurunan nafsu makan dan penurunan berat badan 5 kg dalam 1 tahun
terakhir. Pasien tidak mengeluhkan adanya gangguan BAB dan BAK.
Pada pemeriksaan laboratorium darah didapatkan hasil hiperglikemia,
hiponatremia, hipokalemia, hipokloremia. Analisis gas darah didapatkan
kesan alkalosis metabolik terkompensasi sempurna Sedangkan dari
pemeriksaan radiologis foto thoraks PA/Lat tampak gambaran emfisema
paru.
E. DIAGNOSIS BANDING
Pneumonia community KR III
Presumptive TB
F. DIAGNOSIS KERJA
Pneumonia community KR III dengan sepsis
G. TERAPI
O2 2 lpm
Diet sepsis 500 kkal/hari
IVFD NaCl 0,9% 20 tpm
Aminofluid 1 flabot/ 24 jam
Inj. Lefofloxacin 750 mg/ 24 jam
Inj. Ranitidin 50 mg/ 24 jam
N-acetil sistein 3 x 200 mg
Paracetamol 3 x 500 mg
Vitamin B 3 x 1 tab
H. PLANNING
Cek sputum Mo/K/GR/R
Kultur darah
AGD ulang bila terjadi perburukan
Konsul Jantung
Konsul Gigi dan Mulut
Konsul Gizi
Monitoring KU/VS per 4 jam, balance cairan per 12 jam
I. PROGNOSIS
Ad vitam : dubia ad bonam
Ad sanam : dubia ad bonam
Ad fungsionam : dubia ad bonam
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
I. Anatomi
Secara anatomi, unit dasar dari struktur paru-paru dipertimbangkan
adalah lobulus sekunder. Beratus-ratus dari lobules ini membentuk masing-
masing paru. Setiap lobulus merupakan miniature dari paru-paru dengan
percabangan bronchial dan suatu sirkulasi sendiri. Setiap bronkiolus
respiratorius berterminasi kedalam suatu alveolus. Alveolus terdiri dari sel
epitel tipis datar dan disinilah terjadi pertukaran gas antara udara dan darah.
Apeks dari paru-paru mencapai daerah tepat diatas clavicula dan dasarnya
bertumpu pada diafragma. Kedua paru-paru dibagi kedalam lobus, yang
kanan dibagi tiga, yang kiri dibagi dua. Nutrisi dibawa pada jaringan paru-
paru oleh darah melalui arteri bronkial, darah kembali dari jaringan paru-paru
melalui vena bronkial (Rosa, 1996).
Paru-paru juga mempunyai suatu sirkulasi paru-paru yang berkaitan
dengan mengangkut darah deoksidasi dan oksigenasi. Paru-paru disuplai
dengan darah deoksigenasi oleh arteri pulmonalis yang datang dari ventrikel
kanan. Arteri membagi diri dan membagi diri kembali dalam cabang yang
secara progresif menjadi lebih kecil, berpenetrasi pada setiap bagian dari
paru-paru hingga akhirnya mereka membentuk anyaman kapiler yang
mengelilingi dan terletak pada dinding dari alveoli. Dinding dari alveoli
maupun kapiler sangat tipis dan disinilah terjadi pertukaran gas pernafasan.
Darah yang dioksigenasi kembali kedalam atrium dengan empat vena
pulmonalis (Rosa, 1996).
Gambar kiri: anatomi pulmo; kanan: gambar pneumonia.
II. Fisiologi
Proses pernapasan sangat penting untuk dapat mensuplai oksigen ke
semua jaringan tubuh dan untuk mengeluarkan karbondioksida yang
dihasilkan oleh darah melalui paru-paru (Brian, 2007). Udara masuk ke paru-
paru melalui sistem berupa pipa yang menyempit (bronchi dan bronkiolus)
yang bercabang di kedua belah paru-paru utama (trachea). Pipa tersebut
berakhir di gelembung-gelembung paru-paru (alveoli) yang merupakan
kantong udara terakhir dimana oksigen dan karbondioksida dipindahkan dari
tempat dimana darah mengalir. Ada lebih dari 300 juta alveoli di dalam paru-
paru manusia bersifat elastis. Ruang udara tersebut dipelihara dalam keadaan
terbuka oleh bahan kimia surfaktan yang dapat menetralkan kecenderungan
alveoli untuk mengempis (McArdle, et al. 1986).
Permukaan bagian luar paru-paru ditutup oleh selaput pleura yang licin
dan selaput serupa membatasi permukaan bagian dari dinding dada. Kedua
selaput tersebut terletak dekat sekali dan hanya dipisahkan oleh lapisan cairan
yang tipis, karenanya dapat dipisahkan dan terdapat suatu rongga diantara
selaput-selaput tersebut yang disebut ruang antar rongga selaput dada (intra
pleura space). Sewaktu menarik napas (inspirasi) dinding dada secara aktif
tertarik keluar oleh pengerutan dinding dada, dan sekat rongga dada
(diafragma) tertarik ke bawah. Berkurangnya tekanan di dalam menyebabkan
udara mengalir ke paru-paru. Dengan upaya yang maksimal pengurangan
dapat mencapai 60-100 mmHg di bawah tekanan atmosfir. Hembusan napas
keluar (ekspirasi) disebabkan mengkerutnya paru-paru dan dinding yang
mengikuti pengembangan. Tekanan udara yang meningkat di dalam dada
memaksa gas-gas keluar dari paru-paru. Hal tersebut terutama terjadi tanpa
upaya otot tetapi dapat dibantu oleh hembusan napas yang kuat (Guyton,
1994).
Hb + O2 HbO2
Dalam pertukaran ion klor berdifusi ke dalam sel darah merah yang
dikenal sebagai chloride shift. Ion klor yang masuk plasma dari sel darah
merah bergabung dengan ion K untuk membentuk KCl. Ion bikarbonat yang
masuk plasma dari sel darah merah bergabung dengan ion Na, membentuk
sodium bikarbonat. Rangkaian reaksi tersebut bahwa karbondioksida dibawa
dari sel jaringan sebagai ion bikarbonat dalam plasma (Soewolo, et al. 1999).
III. Definisi
Secara kinis pneumonia didefinisikan sebagai suatu peradangan paru
yang disebabkan oleh mikroorganisme (bakteri, virus, jamur, parasit).
Pneumonia yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis tidak
termasuk. Sedangkan peradangan paru yang disebabkan oleh
nonmikroorganisme (bahan kimia, radiasi, aspirasi bahan toksik, obat-obatan
dan lain-lain) disebut pneumonitis.
IV. Etiologi
V. Patofisiologi
Dalam keadaan sehat, tidak terjadi pertumbuhan mikroornagisme di
paru. Keadaan ini disebabkan oleh mekanisme pertahanan paru. Apabila
terjadi ketidakseimbangan antara daya tahan tubuh, mikroorganisme dapat
berkembang biak dan menimbulkan penyakit.
Resiko infeksi di paru sangat tergantung pada kemampuan
mikroorganisme untuk sampai dan merusak permukaan epitel saluran napas.
Ada beberapa cara mikroorganisme mencapai permukaan :
1. Inokulasi langsung
2. Penyebaran melalui pembuluh darah
3. Inhalasi bahan aerosol
4. Kolonisasi dipermukaan mukosa
Dari keempat cara tersebut diatas yang terbanyak adalah secara
Kolonisasi. Secara inhalasi terjadi pada infeksi virus, mikroorganisme
atipikal, mikrobakteria atau jamur. Kebanyakan bakteri dengan ukuran 0,5 -
2,0 m melalui udara dapat mencapai bronkus terminal atau alveol dan
selanjutnya terjadi proses infeksi. Bila terjadi kolonisasi pada saluran napas
atas (hidung, orofaring) kemudian terjadi aspirasi ke saluran napas bawah dan
terjadi inokulasi mikroorganisme, hal ini merupakan permulaan infeksi dari
sebagian besar infeksi paru. Aspirasi dari sebagian kecil sekret orofaring
terjadi pada orang normal waktu tidur (50 %) juga pada keadaan penurunan
kesadaran, peminum alkohol dan pemakai obat (drug abuse).
Sekresi orofaring mengandung konsentrasi bakteri yang tinggi 10 8-
10/ml, sehingga aspirasi dari sebagian kecil sekret (0,001 - 1,1 ml) dapat
memberikan titer inokulum bakteri yang tinggi dan terjadi pneumonia. Pada
pneumonia mikroorganisme biasanya masuk secara inhalasi atau aspirasi.
Umumnya mikroorganisme yang terdapat disaluran napas bagian atas sama
dengan di saluran napas bagian bawah, akan tetapi pada beberapa penelitian
tidak di temukan jenis mikroorganisme yang sama.
Basil yang masuk bersama sekret bronkus ke dalam alveoli
menyebabkan reaksi radang berupa edema seluruh alveoli disusul dengan
infiltrasi sel-sel PMN dan diapedesis eritrosit sehingga terjadi permulaan
fagositosis sebelum terbentuknya antibodi. Sel-sel PMN mendesak bakteri ke
permukaan alveoli dan dengan bantuan leukosit yang lain melalui
psedopodosis sitoplasmik mengelilingi bakteri tersebut kemudian dimakan.
Pada waktu terjadi peperangan antara host dan bakteri maka akan tampak 4
zona pada daerah parasitik terset yaitu :
1. Zona luar : alveoli yang tersisi dengan bakteri dan cairan edema.
2. Zona permulaan konsolidasi : terdiri dari PMN dan beberapa
eksudasi sel darah merah.
3. Zona konsolidasi yang luas : daerah tempat terjadi fagositosis yang
aktif dengan jumlah PMN yang banyak.
4. Zona resolusi : daerah tempat terjadi resolusi dengan banyak
bakteri yang mati, leukosit dan alveolar makrofag.
Red hepatization ialah daerah perifer yang terdapat edema dan perdarahan,
sedangkan Gray hepatization ialah konsolodasi yang luas.
VI. Diagnosis
1. Gambaran klinis
a. Anamnesis
Gambaran klinik biasanya ditandai dengan demam, menggigil, suhu
tubuh meningkat dapat melebihi 400 C, batuk dengan dahak mukoid atau
purulen kadang-kadang disertai darah, sesak napas dan nyeri dada.
b. Pemeriksaan fisik
Temuan pemeriksaan fisis dada tergantung dari luas lesi di paru. Pada
inspeksi dapat terlihat bagian yang sakit tertinggal waktu bernapas, pasa
palpasi fremitus dapat mengeras, pada perkusi redup, pada auskultasi
terdengar suara napas bronkovesikuler sampai bronkial yang mungkin
disertai ronki basah halus, yang kemudian menjadi ronki basah kasar pada
stadium resolusi.
2. Pemeriksaan penunjang
a. Gambaran radiologis
Foto toraks (PA/lateral) merupakan pemeriksaan penunjang utama
untuk menegakkan diagnosis. Gambaran radiologis dapat berupa infiltrat
sampai konsolidasi dengan " air broncogram", penyebab bronkogenik dan
interstisial serta gambaran kaviti. Foto toraks saja tidak dapat secara khas
menentukan penyebab pneumonia, hanya merupakan petunjuk ke arah
diagnosis etiologi, misalnya gambaran pneumonia lobaris tersering
disebabkan oleh Steptococcus pneumoniae, Pseudomonas aeruginosa
sering memperlihatkan infiltrat bilateral atau gambaran bronkopneumonia
sedangkan Klebsiela pneumonia sering menunjukkan konsolidasi yang
terjadi pada lobus atas kanan meskipun dapat mengenai beberapa lobus.
b. Pemeriksaan labolatorium
Pada pemeriksaan labolatorium terdapat peningkatan jumlah leukosit,
biasanya lebih dari 10.000/ul kadang-kadang mencapai 30.000/ul, dan
pada hitungan jenis leukosit terdapat pergeseran ke kiri serta terjadi
peningkatan LED. Untuk menentukan diagnosis etiologi diperlukan
pemeriksaan dahak, kultur darah dan serologi. Kultur darah dapat positif
pada 20- 25% penderita yang tidak diobati. Analisis gas darah
menunjukkan hipoksemia dan hikarbia, pada stadium lanjut dapat terjadi
asidosis respiratorik.
VII. Penatalaksanaan
Dalam hal mengobati penderita pneumonia perlu diperhatikan keadaan
klinisnya. Bila keadaan klinis baik dan tidak ada indikasi rawat dapat diobati
di rumah. Juga diperhatikan ada tidaknya faktor modifikasi yaitu keadaan
yang dapat meningkatkan risiko infeksi dengan mikroorganisme pathogen
yang spesifik misalnya S. pneumoniae yang resisten penisilin. Yang termasuk
dalam faktor modifikasis adalah ( PDPI, 2014 ):
a. Pneumokokus resisten terhadap penisilin
• Umur lebih dari 65 tahun
• Memakai obat-obat golongan P laktam selama tiga bulan terakhir
• Pecandu alkohol
• Penyakit gangguan kekebalan
• Penyakit penyerta yang multipel
b. Bakteri enterik Gram negatif
• Penghuni rumah jompo
• Mempunyai penyakit dasar kelainan jantung paru
• Mempunyai kelainan penyakit yang multipel
• Riwayat pengobatan antibiotik
c. Pseudomonas aeruginosa
• Bronkiektasis
• Pengobatan kortikosteroid > 10 mg/hari
• Pengobatan antibiotik spektrum luas > 7 hari pada bulan terakhir
• Gizi kurang
Penatalaksanaan pneumionia komuniti dibagi menjadi (PDPI, 2014):
a. Penderita rawat jalan
• Pengobatan suportif / simptomatik
- Istirahat di tempat tidur
- Minum secukupnya untuk mengatasi dehidrasi
- Bila panas tinggi perlu dikompres atau minum obat penurun panas
- Bila perlu dapat diberikan mukolitik dan ekspektoran
• Pemberian antiblotik harus diberikan (sesuai bagan) kurang dari 8 jam
b. Penderita rawat inap di ruang rawat biasa
• Pengobatan suportif / simptomatik
- Pemberian terapi oksigen
- Pemasangan infus untuk rehidrasi dan koreksi kalori dan elektrolit
- Pemberian obat simptomatik antara lain antipiretik, mukolitik
• Pengobatan antibiotik harus diberikan (sesuai bagan) kurang dari 8 jam
c. Penderita rawat inap di Ruang Rawat Intensif
• Pengobatan suportif / simptomatik
- Pemberian terapi oksigen
- Pemasangan infus untuk rehidrasi dan koreksi kalori dan elektrolit
Pemberian obat simptomatik antara lain antipiretik, mukolitik
• Pengobatan antibiotik (sesuai bagan.) kurang dari 8 jam
• Bila ada indikasi penderita dipasang ventilator mekanik
Penderita pneumonia berat yang datang ke UGD diobservasi
tingkat kegawatannya, bila dapat distabilkan maka penderita dirawat map di
ruang rawat biasa; bila terjadi respiratory distress maka penderita dirawat di
Ruang Rawat Intensif (PDPI, 2014).
Pada pasien ini keluhan utama yang dirasakan adalah sesak napas. Sesak
napas yang terjadi bisa disebabkan oleh adanya penumpukan cairan pada alveolus
akibat adanya infeksi. Karakteristik sesak yang tidak dipegaruhi oleh aktivitas dan
tidak adanya PND menggambarkan bahwa sesak kemungkinan bukan berasa dari
gangguan system kardiovaskuer. Sesak juga tidak dipengaruhi oleh cuaca atau
debu menunjukan bahwa diagnosis asma diagnosis asma dapat disingkiran. Selain
sesak pasien juga mengeuhkan adanya demam.
Pada pasien ini berdasarkan faktor demografik yaitu umur, tidak ada
penyakit komorbid, dengan frekuensi nafas >30 kali/menit, dan suhu tubuh yang
meningkat >350C didapatkan skor PSI 88, sehingga menurut rekomendasi
Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) pasien ini memerlukan perawatan
rawat inap. Dengan total poin 88 tersebut, pasien termasuk dalam kategori kelas
risiko III, yaitu resiko rendah dengan persentase angka kematian sebesar 2.8%.
Penyebab pneumonia sulit ditemukan dan memerlukan waktu untuk
mendapatkan hasilnya, yaitu diantaranya dengan menggunakan pemeriksaan
biakan untuk menentukan kuman penyebab. Sedangkan pemeriksan invasive
hanya dilakukan pada pneumonia berat dan pneumonia yang tidak merespon
dengan pemberian antibiotic. Pneumonia dapat menyebabkan kematian bila tidak
segera diobati, maka pengobatan awal pneumonia diberikan antibiotic secara
empiris.
Dalam mengobati pasien ini pemilihan antibiotic secara empiris
berdasarkan beberapa factor, termasuk jenis kuman yang kemungkinan besar
merupakan penyebab, efektifitas obat telah terbukti dalam penelitian sebelumnya,
dan juga factor resiko resisten antibiotic. Pemilihan antibiotic mempertimbangkan
kemungkinan resisten terhadap Streptococcus pneumonia yang merupakan
penyebab utama CAP.
Pasien ini dirawat melalui IGD, setelah menilai skor PSI pasien ini
memerlukan rawat inap. Terapi yang diberikan meliputi pengobatan supporting
atau simptomatik, yaitu pemberian terapi oksigen, pemasangan infuse untuk
rehidrasi dan koreksi kalori serta elektrolit, dan pemberian obat lain seperti
antipiretik dan mukolitik. Selain itu pemberian antibiotic segera sejak di IGD
dalam waktu 8 jam sejak masuk rumah sakit. Pemberian antibiotic dievaluasi
secara klinis dalam 72 jam pertama. Jika terjadi perbaikan klinis maka terapi dapat
dilanjutkan dan bila perburukan maka antibiotic harus diganti sesuai hasil biakan
atau pedoman empiris.
Antibiotik yang diberikan pada pasien rawat inap tidak intensif
berdasarkan petunjuk terapi empiris untuk pneumonia komunitas menurut PDPI
yaitu golongan fluorokuinolon respirasi IV (Levofloxacyn 750 mg,
Moksifloksasin) atau beta laktam ditambah makrolid.
Pada pasien ini dilakukan pemeriksaan dengan menggunakan bahan
sputum dan didapatkan hasil negative pada pengecatan BTA dari sputum pagi dan
sewaktu, Hasil pemeriksaan ini menyingkirkan kemungkinan infeksi kuman TB.
Pada perkembangan terapi pasien ini dipantau dari pasien masuk (11
Oktober 2015) sampai tanggal 15 Oktober 2015. Pasien masih diberikan terapi
injeksi antibiotik (Levofloxacin i.v) dan belum diganti dengan obat oral.
Adapun kriteria untuk perubahan obat suntik ke oral pada pneumonia
komuniti (PDPI, 2014):
• Tidak ada indikasi untuk pemberian suntikan lagi
• Tidak ada kelainan pada penyerapan saluran cerna
• Penderita sudah tidak panas ± 8 jam
• Gejala klinik membaik (mis : frekuensi pernapasan, batuk)
• Leukosit menuju normal/normal
Pada perkembangan pasien ini, pasien masih merasakan sesak dan batuk
selama perawatan, meskipun sesak sempat sedikin menurun selama beberapa hari.
Adapun frekuensi pernafasan pasien masih diatas batas normal, yakni 24x/menit.
Hal ini menandakan bahwa gejala klinis pasien belum sepenuhnya membaik,
sehingga terapi antibiotik injeksi belum dapat diganti dengan terapi oral.
Selain itu, pada kasus pneumonia terapi injeksi dapat diberikan selama 2-3
hari, maksimal 4 hari, setelah itu dapat diganti dengan terapi oral lalu dilanjutkan
rawat jalan, dengan memperhatikan kriteria perubahan terapi diatas. Pada pasien
ini masih diberikan terapi injeksi, sehingga belum dapat dipulangkan atau rawat
jalan.
Pada kasus pneumonia komuniti umumnya prognosis baik. Adapun angka
kematian pada pasien ini berkisar 2,8%, yang menunjukkan tingkat keparahan
Klas III dan kelas risiko rendah. Anga kematian ini didapatakan dari skor PSI
(Pneumonia Severity Index) sebesar 88 poin. Dengan penanganan yang tepat,
pasien ini dapat menunjukkan perkembangan yang baik.
BAB V
FOLLOW UP PASIEN
Diagnosis
Pneumonia komuniti KR III dengan sepsis
Presumptive TB
Terapi
1. IVFD NaCl 0,9% 20 tpm
2. Diet sepsis 500 kkal/ hari
3. O2 2 lpm
4. Levofloxacyn 750 mg/ 24 jam (II)
5. NAC 3 x 200
6. PCT 3x500 mg
7. Ranitidin 50 mg / 12 jam
8. Vit BC 3 x 1
Plan
1. Sputum BTA 3x
2. GDP/2 jam PP
3. Urinalisa rutin
Diagnosis
Pneumonia komuniti KR III dengan sepsis
Presumptive TB
Laboratorium
Hasil pemeriksaan sputum BTA tgl 12 Oktober (-)
URINALISA
Berat Jenis 1.010 1.015-1.025
Leukosit - /ul -
Nitrit - Mg/dl -
Protein - Mg/dl -
Glukosa - Mg/dl -
Keton - Mg/dl -
MIKROSKOPIS
Eritrosit 12,1 /ul 0-8,7
EPITEL
Epitel Squamosa 3-4 /LPB -
Epitel Transisional 0-1 /LPB -
Kristal 0,3 /ul -
Mukus 0,79 /ul -
Terapi
1. IVFD NaCl 0,9% 20 tpm
2. Diet sepsis 500 kkal/ hari
3. O2 2 lpm
4. Injeksi Levofloxacyn 750 mg/ 24 jam (III)
5. Injeksi Ranitidin 50 mg/ 12 jam
6. NAC 3 x 200 mg
7. Vit BC 3 x 1
C. Tanggal 14 Oktober 2015
S : batuk (+), sesak (+)
O:
TD : 110/70 mmHg
Nadi : 92 kali/ menit, isi dan tegangan cukup, irama teratur
RR : 24x/menit
Suhu : 36,5°C per aksiler
SiO2 : 96% (O2 ruang)
Kulit : warna sawo matang, pucat (-), ikterik (-), petechie (-), venektasi (-),
spider naevi (-)
Kepala : mesocephal, luka (-), atrofiotot (-), rambut rontok (-)
Mata : Conjungtiva pucat (-/-), sklera ikterik (-/-), refleks cahaya (+/+),
pupi lisokor (3 mm/ 3mm), oedempalpebra (-/-), sekret (-/-)
Hidung : nafas cuping hidung (-/-), deformitas (-), darah (-/-), sekret (-/-)
Telinga : deformitas (-/-),darah (-/-), sekret (-/-)
Mulut : bibir kering (-), sianosis (-), lidah kotor (-), tonsil T1-T1, faring
hiperemis (-), stomatitis (-), gusi berdarah (-), papil lidah atrofi (-)
Leher : simetris, trakhea ditengah, JVP tidak meningkat, pembesaran KGB
(-), nyeri tekan (-), benjolan (-)
Thoraks : retraksi (-)
Jantung
Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak
Palpasi : Ictus cordis tidak kuat angkat
Perkusi : Konfigurasi jantung kesan tidak melebar
Auskultasi: BJ I dan II intensitas normal, reguler, bising (-)
Paru anterior
Inspeksi statis : Simetris, dinding dada kiri = kanan
Inspeksi dinamis : Pengembangan dada kiri = kanan
Palpasi : Fremitus raba kiri = kanan
Perkusi : Sonor/sonor
Auskultasi : SDV (+/+), wheezing (-/-), ronki basah halus (-/+)
Paru posterior
Inspeksi statis : Simetris, dinding dada kiri = kanan
Inspeksi dinamis : Pengembangan dada kiri = kanan
Palpasi : Fremitus raba kiri = kanan
Perkusi : Sonor/sonor
Auskultasi : SDV (+/+), wheezing (-/-), ronki basah kasar (-/+)
Abdomen
Inspeksi : dinding perut sejajar dinding dada
Auskultasi : peristaltik (+) normal
Perkusi : timpani
Palpasi : supel, nyeri tekan (-), hepar dan lien tidak teraba
Ekstremitas
Oedem ekstremitas Akral dingin
- - - -
- - - -
Diagnosis
Pneumonia komuniti KR III dengan sepsis
Presumptive TB
Terapi
1. IVFD NaCl 0,9% 20 tpm
2. Diet sepsis 500 kkal/ hari
3. O2 2 lpm
4. Levofloxacyn 750 mg/ 24 jam (IV)
5. NAC 3 x 200
6. Ranitidin 50 mg / 12 jam
7. Vit BC 3 x 1
Plan
DR3 besok
D. Tanggal 15 Oktober 2015
S : batuk (+), sesak (+)
O:
TD : 110/80 mmHg
Nadi : 90 kali/ menit, isi dan tegangan cukup, irama teratur
RR : 24x/menit
Suhu : 36,5°C per aksiler
SiO2 : 98% (O2 ruang)
Kulit : warna sawo matang, pucat (-), ikterik (-), petechie (-), venektasi (-),
spider naevi (-)
Kepala : mesocephal, luka (-), atrofiotot (-), rambut rontok (-)
Mata : Conjungtiva pucat (-/-), sklera ikterik (-/-), refleks cahaya (+/+),
pupi lisokor (3 mm/ 3mm), oedempalpebra (-/-), sekret (-/-)
Hidung : nafas cuping hidung (-/-), deformitas (-), darah (-/-), sekret (-/-)
Telinga : deformitas (-/-),darah (-/-), sekret (-/-)
Mulut : bibir kering (-), sianosis (-), lidah kotor (-), tonsil T1-T1, faring
hiperemis (-), stomatitis (-), gusi berdarah (-), papil lidah atrofi (-)
Leher : simetris, trakhea ditengah, JVP tidak meningkat, pembesaran KGB
(-), nyeri tekan (-), benjolan (-)
Thoraks : retraksi (-)
Jantung
Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak
Palpasi : Ictus cordis tidak kuat angkat
Perkusi : Konfigurasi jantung kesan tidak melebar
Auskultasi: BJ I dan II intensitas normal, reguler, bising (-)
Paru anterior
Inspeksi statis : Simetris, dinding dada kiri = kanan
Inspeksi dinamis : Pengembangan dada kiri = kanan
Palpasi : Fremitus raba kiri = kanan
Perkusi : Sonor/sonor
Auskultasi : SDV (+/+), wheezing (-/-), ronki (-/+)
Paru posterior
Inspeksi statis : Simetris, dinding dada kiri = kanan
Inspeksi dinamis : Pengembangan dada kiri = kanan
Palpasi : Fremitus raba kiri = kanan
Perkusi : Sonor/sonor
Auskultasi : SDV (+/+), wheezing (-/-), RBK(-/+)
Abdomen
Inspeksi : dinding perut sejajar dinding dada
Auskultasi : peristaltik (+) normal
Perkusi : timpani
Palpasi : supel, nyeri tekan (-), hepar dan lien tidak teraba
Ekstremitas
Oedem ekstremitas Akral dingin
- - - -
- - - -
Diagnosis
Pneumonia komuniti KR III dengan sepsis
Presumptive TB
Terapi
1. IVFD NaCl 0,9% 20 tpm
2. Diet sepsis 500 kkal/ hari
3. O2 2 lpm
4. Injeksi Levofloxacyn 750 mg/ 24 jam (V)
5. Injeksi Ranitidin 50 mg/ 12 jam
6. NAC 3 x 200 mg
7. Vit BC 3 x 1
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pneumonia adalah penyakit saluran napas bawah (lower respiratory tract
(LRT)) akut, biasanya disebabkan oleh infeksi. Sebenarnya pneumonia bukan
penyakit tunggal. Penyebabnya bisa bermacam-macam dan diketahui ada sumber
infeksi, dengan sumber utama bakteri, virus, mikroplasma, jamur, berbagai
senyawa kimia maupun partikel. Penyakit ini dapat terjadi pada semua umur,
walaupun manifestasi klinik terparah muncul pada anak, orang tua dan penderita
penyakit kronis.
B. Saran
Penyakit pneumonia sebenarnya merupakan manifestasi dari rendahnya
daya tahan tubuh seseorang akibat adanya peningkatan kuman patogen seperti
bakteri yang menyerang saluran pernapasan. Dalam keadaan sehat pada paru tidak
akan terjadi pertumbuhan mikroorganisme, keadaan ini disebabkan oleh adanya
mekanisme pertahanan paru. Terdapatnya bakteri di dalam paru merupakan
ketidak seimbangan antara daya tahan tubuh, sehingga mikroorganisme dapat
berkembang biak dan berakibat timbulnya infeksi penyakit. Oleh karena itu sangat
di perlukan menjaga daya tahan tubuh dengan memperhatikan nutrisi dan
kesehatan tubuh.
DAFTAR PUSTAKA
Campbell NA, Reece JB, and Mitchel LG. 2004. Biologi. Alih Bahasa :
Wasmen Manalu. Jakarta : Erlangga.