Anda di halaman 1dari 38

PENGARUH PERAN KEPEMIMPINAN KEPALA SEKOLAH

TERHADAP IMPLEMENTASI MANAJEMEN BERBASIS SEKOLAH


PADA MADRASAH TSANAWIYAH SWASTA MAMBA’UL ULUM
DI KECAMATAN MOJOAGUNG, KABUPATEN JOMBANG

Oleh:
Elok Maria Ulfah
(STIT Al-Ibrohimy Galis)

Abstrak
Masalah yang dikaji dalam penelitian ini adalah: apakah peran kepemimpinan
kepala sekolah (selaku leader, administrator dan supervisor) mempunyai pengaruh
terhadap implementasi Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) pada Madrasah
Tsanawiyah Swasta (MTs.S) Mamba’ul Ulum di Kecamatan Mojoagung,
Kabupaten Jombang ?. Untuk mengungkap permasalahan tersebut, penelitian ini
menggunakan metode regresi linier berganda dengan tujuan untuk mengetahui
adanya pengaruh timbal balik atau sebab akibat antara variabel bebas dan terikat,
yaitu peran kepemimpinan kepala sekolah terhadap implementasi MBS. Kemudian
data tersebut di analisis dengan menggunakan program SPSS for Windows. Hasil
penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat pengaruh yang sangat signifikan antara
peran kepemimpinan kepala sekolah terhadap implementasi MBS pada MTs.S
Mamba’ul Ulum di Kecamatan Mojoagung, Kabupaten Jombang. Hal itu
dibuktikan dengan adanya kenyataan bahwa dari hasil analisis didapatkan koefisien
determinasi (R2) = 0.476, artinya nilai ini menunjukkan bahwa kemampuan
variabel bebas dalam mempengaruhi hubungan dengan variabel terikat adalah
sebesar 0.476 atau berarti bahwa ketelitian dari persamaan regresi linier berganda
mampu menjelaskan hubungan variasi antara variabel peran kepemimpinan kepala
sekolah selaku leader, administrator dan supervisor terhadap implementasi MBS adalah
sebesar 47.6 %. Sedangkan sisanya sebesar 52.4 % dipengaruhi atau dijelaskan
oleh variabel lain yang tidak termasuk dalam peran kepemimpinan kepala sekolah.
Sedangkan besar koefisien korelasi berganda (R) =  0.476 = 0.690, artinya nilai
ini menunjukkan bahwa hubungan keeratan antara variabel bebas dengan variabel
terikat adalah kuat. Sementara itu, dari hasil pengujian hipotesis dengan Uji F
dinyatakan bahwa simultan variabel leader (X1), administrator (X2), dan supervisor (X3),
berpengaruh signifikan terhadap variabel implementasi MBS (Y) sebagai variabel
terikat.

Kata Kunci: Kepemimpinan, Kepala Sekolah, Manajemen Berbasis Sekolah


(MBS)
2|Al-Ibrah|Vol. 4 No. 2 Desember 2019

A. Pendahuluan
Kewenangan daerah kabupaten dan kota, sebagaimana dirumuskan dalam
pasal 11 Undang-undang No. 22 Tahun 1999 junto Undang-undang No. 32 Tahun
2004 tentang Pemerintahan Daerah, mencakup semua bidang pemerintahan, yaitu
pekerjaan umum, kesehatan, pendidikan dan kebudayaan, pertanian, perhubungan,
industri dan perdagangan, penanaman modal, lingkungan hidup, pertanahan,
koperasi serta tenaga kerja (Mulyasa, 2003: 5).
Salah satu aspek menarik dari dikeluarkannya Undang-undang No. 22
Tahun 1999 junto Undang-undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
adalah memberikan kewenangan yang luas kepada pemerintah daerah untuk
mengelola secara mandiri pendidikan di daerahnya. Dipandang menarik mengingat
pendidikan merupakan salah satu wahana untuk mencetak generasi muda sebagai
penerus perjuangan bangsa. Menurut pengertiannya, pendidikan merupakan upaya
memberikan pertolongan secara sadar dan sengaja kepada seorang anak (yang
belum dewasa) dalam pertumbuhannya menuju ke arah kedewasaan dalam arti
dapat berdiri sendiri dan bertanggung jawab atas segala tindakannya menurut
pilihannya sendiri. Pendidikan juga dapat dimaknai sebagai upaya untuk menuntun
segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak, agar mereka sebagai manusia dan
sebagai anggota masyarakat mendapat keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-
tingginya. Sementara itu, Undang-undang Republik Indonesia No. 2 Tahun 1989
mendefinisikan pendidikan sebagai usaha sadar untuk menyiapkan peserta didik
melalui kegiatan bimbingan, pengajaran, dan/atau latihan bagi peranannya di masa
akan datang (Pidarta, 1997: 10). Berpijak pada pengertian pendidikan tersebut,
dapat dipahami bahwa pada hakikatnya pendidikan bukan hanya sekedar membuat
peserta didik menjadi sopan, taat, jujur, hormat, setia, dan sebagainya. Tidak juga
hanya bermaksud untuk membuat mereka (peserta didik) tahu ilmu pengetahuan,
teknologi dan seni, serta mampu mengembangkannya. Melainkan lebih dari itu,
pendidikan adalah sebuah usaha untuk membantu peserta didik dengan penuh
kesadaran, baik dengan alat atau tidak, dalam kewajiban mereka mengembangkan
dan menumbuhkan diri untuk meningkatkan kemampuan serta peran dirinya
sebagai individu, anggota masyarakat, dan umat Tuhan. Pendidikan juga
dimaksudkan untuk membuat peserta didik mau dan dapat belajar atas dorongan
Elok, Kepemimpinan Kepala Sekolah |3

diri sendiri untuk mengembangkan bakat, pribadi, dan potensi-potensi lainnya


secara optimal ke arah yang positif (Pidarta, 1997: 10-11). Terkait erat dengan
makna pendidikan tersebut, tersirat dengan jelas bahwa pendidikan memiliki
tujuan yang ingin dicapai. Dalam konteks negara Indonesia, tujuan pendidikan
dapat dilihat pada Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN), pelbagai peraturan
pemerintah dan undang-undang pendidikan. Dalam GBHN Tahun 1993,
dijelaskan bahwa kebijaksanaan pembangunan sektor pendidikan ditujukan untuk
meningkatkan kualitas manusia Indonesia, yaitu manusia yang beriman dan
bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berbudi pekerti luhur, berkepribadian,
mandiri, maju, tangguh, cerdas, kreatif, terampil, berdisiplin, beretos kerja,
profesional, bertanggung jawab, produktif, dan sehat jasmani-rohani (Pidarta,
1997: 11).
Sementara itu, pada arah kebijakan, program dan kegiatan
penyelenggaraan, pelaksanaan, dan pelayanan pendidikan nasional, pemerintah
Indonesia juga senantiasa membuat kebijakan dan prioritas program sekaligus
kegiatan yang memungkinkan setiap subjek didik atau anak-anak Indonesia untuk
memiliki kesamaan, kesetaraan, kebebasan, kepastian, dan kesempatan
mendapatkan, memilih, menikmati, dan menggunakan jenis pendidikan, fasilitas-
fasilitas pendidikan, dan proses pendidikan yang manusiawi. Sebagai contoh,
kebijakan wajib belajar SMP/MTs 9 tahun dan akan dilanjutkan 12 tahun,
perluasan akses memperoleh pendidikan, pemerataan memperoleh pendidikan
bermutu, peningkatan mutu proses dan hasil pendidikan, peningkatan manajemen
pendidikan, dan peningkatan alokasi anggaran pendidikan (Rasiyo, 2005: 136).
Semua agenda pendidikan tersebut tidak akan tercapai secara maksimal jika hanya
bertumpu pada pemerintah pusat (bersifat sentralistik). Sebaliknya, hasil maksimal
akan lebih diperoleh jika kebijakan sektor pendidikan diserahkan sepenuhnya
kepada pemerintah daerah yang kemudian memberikan otonomisasi pada pihak
sekolah. Artinya, meski pemerintah daerah mempunyai hak dalam manajemen
seluruh jenjang dan jenis pendidikan di daerahnya, bukan berarti pemerintah
daerah mempunyai hak dalam perkembangan ilmu. Jadi, dengan adanya otonomi
daerah dan otonomi pendidikan, maka akan terwujud otonomisasi pendidikan
4|Al-Ibrah|Vol. 4 No. 2 Desember 2019

(Tilaar, 2003: 288). Tanpa otonomi, lembaga pendidikan dan pelatihan tidak
berorientasi kepada kebutuhan lokal (Tilaar, 2002: 36).
Kebijakan pemberian otonomi pada dunia pendidikan (otonomi sekolah)
membawa implikasi yang cukup positif. Salah satu implikasi tersebut adalah
munculnya konsep Manajemen Berbasis Sekolah (selanjutnya disingkat MBS).
MBS merupakan paradigma baru pendidikan yang memberikan otonomi luas pada
tingkat sekolah (pelibatan masyarakat) dalam kerangka kebijakan pendidikan
nasional. Otonomi diberikan agar sekolah leluasa mengelola sumber daya dan
sumber dana dengan mengalokasikannya sesuai dengan prioritas kebutuhan, serta
lebih tanggap terhadap kebutuhan setempat. Pelibatan masyarakat dimaksudkan
agar mereka lebih memahami, membantu, dan mengontrol pengelolaan
pendidikan. Disamping itu, kebijakan nasional yang menjadi prioritas pemerintah
harus pula dilakukan oleh sekolah. Pada sistem MBS, sekolah dituntut secara
mandiri untuk menggali, mengalokasikan, menentukan prioritas, mengendalikan,
dan mempertanggung jawabkan pemberdayaan sumber-sumber, baik kepada
masyarakat maupun pemerintah (Mulyasa, 2003: 24). Dalam konteks implementasi
MBS, keberadaan, kedudukan, dan kepemimpinan kepala sekolah dipandang
sangat strategis, sentral, dan vital. Suparno, dkk (dalam Rasiyo, 2005: 339)
menyatakan bahwa kepala sekolah sangat strategis dan vital karena merupakan
pemimpin tertinggi operasional sebuah sekolah, sehingga kepemimpinannya
menentukan kadar kemajuan sekolah. Disamping itu, kepemimpinan kepala
sekolah mencerminkan tanggung jawab kepala sekolah untuk menggerakkan
seluruh sumber daya yang ada di sekolah, sehingga lahir etos kerja dan
produktivitas yang tinggi dalam mencapai tujuan. Fungsi kepemimpinan kepala
sekolah ini amat penting sebab disamping berperan sebagai penggerak juga
berperan untuk melakukan kontrol segala aktivitas guru, staf dan siswa dan
sekaligus untuk meneliti persoalan-persoalan yang timbul di lingkungan sekolah
(Wahjosumidjo, 2007: 90).
Terkait erat dengan permasalahan diatas, maka peneliti bermaksud untuk
melakukan penelitian lebih lanjut mengenai “Pengaruh Peran Kepemimpinan Kepala Sekolah
terhadap Implementasi Manajemen Berbasis Sekolah Pada Madrasah Tsanawiyah Swasta (MTs.S)
Mamba’ul Ulum di Kecamatan Mojoagung, Kabupaten Jombang”.
Elok, Kepemimpinan Kepala Sekolah |5

B. Rumusan Masalah
Masalah yang dikaji dalam penelitian ini adalah: apakah peran
kepemimpinan kepala sekolah (selaku leader, administrator dan supervisor) mempunyai
pengaruh terhadap implementasi MBS pada MTs.S Mamba’ul Ulum di Kecamatan
Mojoagung, Kabupaten Jombang ?.

C. Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan data kuantitatif dengan rumus regresi linier
berganda untuk mengetahui adanya pengaruh timbal balik atau sebab akibat antara
variabel bebas dan terikat, yaitu peran kepemimpinan kepala sekolah terhadap
implementasi MBS pada MTs.S Mamba’ul Ulum di Kecamatan Mojoagung,
Kabupaten Jombang. Adapun pendekatan yang digunakan adalah pendekatan
kuantitatif untuk melihat hubungan antara dua variabel yang diteliti. Sementara itu,
instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah berupa angket untuk mengetahui
jawaban yang berkaitan dengan peran kepemimpinan kepala sekolah terhadap
implementasi MBS pada MTs.S Mamba’ul Ulum di Kecamatan Mojoagung, Kabupaten
Jombang. Disamping itu, dalam penelitian ini juga digunakan instrumen penelitian
berupa uji validitas dan reliabilitas untuk menambah kehandalan instrumen penelitian
yang digunakan dalam penelitian ini.

Untuk memperoleh data di lapangan, prosedur pengambilan dan


pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan cara
menyebarkan kuesioner. Dimana kuesioner adalah suatu metode untuk
mendapatkan data, yang berisi sejumlah pernyataan tertulis yang dibagikan kepada
subjek penelitian dengan tujuan untuk mengungkapkan kondisi dalam diri subjek
yang ingin diketahui (Hadi, 2000: 25).

Data-data penelitian yang sudah terkumpul kemudian diolah dengan cara:


1) Editing, yaitu kegiatan memeriksa kebenaran data yang diperoleh dari
responden untuk menjaga kemungkinan adanya kesalahan dalam memasukkan
data. 2) Coding, yaitu memberi kode atau tanda tertentu dari data yang diperoleh.
Sedangkan untuk mengetahui adanya pengaruh peran kepemimpinan kepala
sekolah (selaku leader, administrator, dan supervisor) terhadap implementasi MBS pada
6|Al-Ibrah|Vol. 4 No. 2 Desember 2019

MTs.S Mamba’ul Ulum di Kecamatan Mojoagung, Kabupaten Jombang, maka


data yang telah dikumpulkan di analisis dengan menggunakan rumus persamaan
regresi linier berganda.

D. Perspektif Teoretis
1. Kepemimpinan

Kepemimpinan merupakan terjemahan dari kata leadership. Kepemimpinan


memiliki pengertian yang berbeda dengan pimpinan. Pimpinan adalah orang yang
tugasnya memimpin, sehingga pimpinan dapat juga disebut manajer. Sedangkan
kepemimpinan adalah bakat atau sifat yang seharusnya dimiliki oleh setiap
pemimpin (Nitisemito, 1989: 140).
Ada dua teori kepemimpinan yang berkembang dewasa ini, yaitu: pertama,
kepemimpinan transformasional. Kepemimpinan transformasional menunjuk
pada proses membangun komitmen terhadap sasaran organisasi dan memberi
kepercayaan kepada para pengikut untuk mencapai sasaran-sasaran tersebut. Teori
transformasional mempelajari juga bagaimana para pemimpin mengubah budaya
dan struktur organisasi agar lebih konsisten dengan strategi-strategi manajemen
untuk mencapai sasaran organisasi. Secara konseptual, kepemimpinan
transformasional didefinisikan sebagai kemampuan pemimpin mengubah
lingkungan kerja, motivasi kerja, pola kerja, dan nilai-nilai kerja yang dipersepsikan
bawahan sehingga mereka lebih mampu mengoptimalkan kinerja untuk mencapai
tujuan organisasi. Dengan kata lain, sebuah proses transformasional terjadi dalam
hubungan kepemimpinan manakala pemimpin membangun kesadaran bawahan
akan pentingnya nilai kerja, memperluas dan meningkatkan kebutuhan melampaui
minat pribadi serta mendorong perubahan tersebut ke arah kepentingan bersama,
termasuk kepentingan organisasi (Wuradji, 2009: 30). Lebih jauh Wuradji (2009:
51-52) menuturkan bahwa proses transformasional dapat terlihat melalui sejumlah
perilaku kepemimpinan, seperti: attributed charisma, idealized influence, inspirational
motivation, intelectual stimulation, dan individualized consideration. Secara ringkas, yang
dimaksud dengan perilaku kepemimpinan tersebut adalah sebagai berikut: 1)
Attributed charisma. Adalah kharisma secara tradisional yang dipandang sebagai hal
yang bersifat inheren dan hanya dimiliki oleh pemimpin-pemimpin kelas dunia.
Elok, Kepemimpinan Kepala Sekolah |7

Hasil penelitian membuktikan bahwa kharisma bisa saja dimiliki oleh pimpinan di
level bawah dari sebuah organisasi. Pemimpin yang memiliki ciri-ciri tersebut,
memperlihatkan visi, kemampuan, dan keahliannya serta tindakan yang lebih
mendahulukan kepentingan organisasi dan kepentingan orang lain (masyarakat)
dari pada kepentingan pribadi. Oleh karena itu, pemimpin kharismatik dijadikan
suri tauladan, idola, dan model panutan oleh bawahannya, yaitu idealized influence. 2)
Idealized influence. Pemimpin tipe ini berupaya mempengaruhi bawahannya melalui
komunikasi langsung dengan menekankan pentingnya nilai-nilai, asumsi-asumsi,
komitmen dan keyakinan, serta memiliki tekad untuk mencapai tujuan dengan
senantiasa mempertimbangkan akibat-akibat moral dan etik dari setiap keputusan yang
dibuat. Ia memperlihatkan kepercayaan pada cita-cita, keyakinan, dan nilai-nilai
hidupnya. Dampaknya adalah dikagumi, dipercaya, dihargai, dan bawahan berusaha
mengidentikkan diri dengannya. Hal itu disebabkan perilaku yang menomorsatukan
kebutuhan bawahan, membagi resiko dengan bawahan secara konsisten, dan
menghindari penggunaan kuasa untuk kepentingan pribadi. Dengan demikian, bawahan
bertekad dan termotivasi untuk mengoptimalkan usaha dan bekerja ke arah tujuan
bersama. 3) Inspirational motivation. Adalah pemimpin transformasional yang
bertindak dengan cara memotivasi dan memberikan inspirasi kepada bawahan
melalui pemberian arti dan tantangan terhadap tugas bawahan. Bawahan diberi
kesempatan untuk berpartisipasi secara optimal dalam hal gagasan-gagasan,
memberi visi mengenai keadaan organisasi di masa depan yang menjanjikan
harapan yang jelas dan transparan. Pengaruhnya diharapkan dapat meningkatkan
semangat kelompok, antusiasme dan optimisme dikorbankan sehingga harapan-
harapan itu menjadi penting dan bernilai bagi mereka dan perlu di realisasikan
melalui komitmen yang tinggi. 4) Intelectual stimulation. Adalah pemimpin yang
mendorong bawahan untuk memikirkan kembali cara kerja dan mencari cara-cara
kerja baru dalam menyelesaikan tugasnya. Pengaruhnya diharapkan bawahan merasa
pimpinan menerima dan mendukung mereka untuk memikirkan cara-cara kerja
mereka, mencari cara-cara baru dalam menyelesaikan tugas, dan merasa menemukan
cara-cara kerja baru dalam mempercepat tugas-tugas mereka. Pengaruh positif lebih
jauh adalah menimbulkan semangat belajar yang tinggi. 5) Individualized consideration.
Dalam hal ini pimpinan memberikan perhatian pribadi kepada bawahannya, seperti
8|Al-Ibrah|Vol. 4 No. 2 Desember 2019

memperlakukan mereka sebagai pribadi yang utuh dan menghargai sikap peduli
mereka terhadap organisasi. Pengaruh terhadap bawahan antara lain: merasa
diperhatikan dan diperlakukan manusiawi oleh atasannya. Dengan demikian, kelima
perilaku tersebut diharapkan mampu berinteraksi dalam mempengaruhi terjadinya
perubahan perilaku bawahan untuk mengoptimalkan usaha dan performance kerja
yang lebih memuaskan ke arah tercapainya visi dan misi organisasi.
Kedua, kepemimpinan transaksional. Pengertian kepemimpinan
transaksional adalah salah satu gaya kepemimpinan yang intinya menekankan
transaksi diantara pemimpin dan bawahan. Kepemimpinan transaksional
memungkinkan pemimpin memotivasi dan mempengaruhi bawahan dengan cara
mempertukarkan reward dengan kinerja tertentu. Artinya, dalam sebuah transaksi
bawahan dijanjikan untuk diberi reward bila bawahan mampu menyelesaikan
tugasnya sesuai dengan kesepakatan yang telah dibuat bersama. Jadi,
kepemimpinan transaksional menekankan proses hubungan pertukaran yang
bernilai ekonomis untuk memenuhi kebutuhan biologis dan psikologis sesuai
dengan kontrak yang telah mereka setujui bersama. Menurut Wuradji (2009: 30),
kepemimpinan transaksional menggunakan pendekatan transaksi untuk disepakati
bersama antara pemimpin dengan karyawan. Lebih jauh Wuradji (2009: 31)
menuturkan bahwa proses kepemimpinan transaksional dapat ditunjukkan melalui
sejumlah dimensi perilaku kepemimpinan, yaitu: contingent reward, active management
by exception, dan passive management by exception. Perilaku contingent reward terjadi
apabila pimpinan menawarkan dan menyediakan sejumlah imbalan jika hasil kerja
bawahan memenuhi kesepakatan. Active management by exception terjadi jika
pimpinan menetapkan sejumlah aturan yang perlu ditaati dan secara ketat ia
melakukan kontrol agar bawahan terhindar dari berbagai kesalahan, kegagalan, dan
melakukan intervensi serta koreksi untuk perbaikan. Sebaliknya, passive management
by exception memungkinkan pemimpin hanya dapat melakukan intervensi dan
koreksi apabila masalahnya makin memburuk atau bertambah serius. Jadi, secara
praktis, kepemimpinan dirumuskan sebagai suatu seni dalam memobilisasi orang
lain (bawahan dan pihak lain) pada suatu upaya untuk mencapai tujuan organisasi.
Secara ideal, seorang pemimpin hendaknya melakukan tindakan-tindakan
dalam upaya mencapai tujuan organisasi. Ia harus menyiapkan rencana, strategi,
Elok, Kepemimpinan Kepala Sekolah |9

kebijakan, mengadakan koordinasi, memberi pengarahan, mengambil keputusan,


melakukan pengawasan, dan lain sebagainya. Untuk melaksanakan semua tugas
tersebut, ia harus mengusahakan agar seluruh anggota organisasi dapat digerakkan
untuk mencapai tujuan tertentu. Menurut Syamsi (1994: 138-139), tugas pokok
seorang pemimpin adalah: 1) Menyatupadukan orang-orang yang berbeda-beda
motivasinya dengan motivasi yang sama. 2) Mengusahakan suatu kelompok
dinamis secara sadar. 3) Menciptakan suatu lingkungan dimana terdapat integrasi
antara individu dan kelompok dengan organisasinya. 4) Memberikan inspirasi dan
mendorong anggota-anggotanya bekerja se-efektif mungkin. 5) Menumbuhkan
kesadaran lingkungan yang senantiasa mengalami perubahan (dinamis) dan
mengusahakan agar orang-orang yang dipimpinnya dapat menyesuaikan dengan
perubahan situasi. Sementara itu, menurut Wuradji (2009: 11-12), terdapat 10 fungsi
kepemimpinan, antara lain: 1) Pemimpin berfungsi sebagai koordinator terhadap
kegiatan kelompok (koordinator). 2) Pemimpin berfungsi sebagai perencana
kegiatan (planner). 3) Pemimpin berfungsi sebagai pengambil keputusan (policy
maker), baik karena atas pertimbangannya sendiri, atau pun setelah
mempertimbangkan pendapat kelompoknya. 4) Pemimpin berfungsi sebagai tenaga
ahli (expert) yang secara aktual berfungsi sebagai sumber informasi dan pengetahuan
bagi kelompoknya. 5) Pemimpin berfungsi sebagai wakil kelompok dalam urusan
luar (external group representative), yang bertugas mewakili kelompok dalam
hubungannya dengan kelompok lain. 6) Pemimpin berfungsi sebagai pemberi
imbalan dan sanksi (as purpeyor of reward and punishment). 7) Pemimpin berfungsi
sebagai arbitrasi dan mediator (arbitrator dan mediator), khususnya dalam
menyelesaikan konflik internal atau pun perbedaan pendapat diantara para
anggotanya. 8) Pemimpin berfungsi sebagai teladan (example) yang dijadikan model
perilaku yang dapat diteladani pengikutnya. 9) Pemimpin berfungsi sebagai simbol
dan identitas kelompok (as a symbol of the group). 10) Pemimpin berfungsi sebagai
pembenar (scapegoat) yang akan mengkritisi terhadap sesuatu yang dianggap tidak
benar. Sedangkan menurut Stoner (dalam Wahjosumidjo, 2007: 41) terdapat dua
fungsi pemimpin, yaitu: pertama, fungsi pemecah masalah. Dalam hal ini, pemimpin
memberikan saran dalam pemecahan masalah serta memberikan sumbangan
informasi dan pendapat. Dan kedua, fungsi sosial. Dalam hal ini, pemimpin
10|Al-Ibrah|Vol. 4 No. 2 Desember 2019

membantu kelompok beroperasi lebih lancar dan memberikan persetujuan kepada


anggota kelompok yang lain.

2. Kepala Sekolah

Istilah kepala sekolah merupakan kombinasi dari dua kata, yaitu “kepala”
dan “sekolah”. Kata “kepala” dapat diartikan “ketua” atau “pemimpin” dalam suatu
organisasi atau sebuah lembaga. Sedangkan “sekolah” adalah sebuah lembaga
dimana menjadi tempat menerima dan memberi pelajaran. Dengan demikian, secara
sederhana kepala sekolah dapat didefinisikan sebagai seorang tenaga fungsional guru
yang diberi tugas untuk memimpin suatu sekolah dimana diselenggarakan proses
belajar mengajar, atau tempat dimana terjadi interaksi antara guru yang memberi
pelajaran dan murid yang menerima pelajaran (Wahjosumidjo, 1999: 83).
Sebagai seorang pemimpin pendidikan, kepala sekolah menghadapi
tanggung jawab yang berat, untuk itu ia harus memiliki persiapan yang memadai.
Banyaknya tanggung jawab, menyebabkan kepala sekolah memerlukan pembantu. Ia
hendaknya belajar bagaimana caranya mendelegasikan wewenang dan tanggung
jawab, sehingga ia dapat memusatkan perhatiannya pada usaha-usaha pembinaan
program pengajaran (Soetopo & Soemanto, 1988: 19).
Dalam buku “Pedoman Umum Penyelenggaraan Administrasi Sekolah Menengah”
yang ditulis oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (1989: 18-20)
dijelaskan secara rinci mengenai tugas yang seharusnya dilaksanakan oleh seorang
kepala sekolah, antara lain: pertama, kepala sekolah selaku pimpinan mempunyai
tugas: menyusun perencanaan, mengorganisasikan kegiatan, mengarahkan
kegiatan, mengkoordinasikan kegiatan, melakukan pengawasan, melakukan
evaluasi terhadap kegiatan, menentukan kebijakan, mengadakan rapat, mengambil
keputusan, mengatur proses belajar mengajar, mengatur administrasi (kantor,
siswa, pegawai, perlengkapan, keuangan), mengatur Organisasi Siswa Intra
Sekolah (OSIS), serta mengatur hubungan sekolah dengan masyarakat dan dunia
usaha. Kedua, kepala sekolah selaku administrator mempunyai tugas: perencanaan,
pengorganisasian, pengarahan, pengkoordinasian, pengawasan, kurikulum,
kesiswaan, kantor, kepegawaian, perlengkapan, keuangan, dan perpustakaan.
Elok, Kepemimpinan Kepala Sekolah |11

Ketiga, kepala sekolah selaku supervisor bertugas menyelenggarakan supervisi


mengenai: kegiatan belajar mengajar, kegiatan bimbingan dan penyuluhan,
kegiatan ko-kurikuler dan ekstra kurikuler, kegiatan ketatausahaan, serta kegiatan
kerja sama dengan masyarakat dan dunia usaha.
Sementara itu, Subroto (1988: 141-146) menuturkan bahwa tugas kepala
sekolah meliputi: pertama, kepala sekolah selaku pimpinan mempunyai tugas: 1)
Mengetahui keadaan atau kondisi guru dalam latar belakang kehidupan lingkungan
dan sosial ekonominya, hal ini penting untuk tindakan kepemimpinannya. 2)
Merangsang semangat kerja guru dengan berbagai cara. 3) Mengusahakan
tersedianya fasilitas yang diperlukan untuk mengembangkan kemampuan guru. 4)
Meningkatkan partisipasi guru dalam kehidupan sekolah. 5) Membina rasa
kekeluargaan di lingkungan sekolah antar kepala sekolah, guru, dan pegawai. 6)
Mempercepat hubungan sekolah dengan masyarakat, khususnya BP3 dan orang
tua murid. Kedua, kepala sekolah selaku administrator mempunyai tugas: 1)
Menguasai Garis-garis Besar Program Pengajaran (GBPP). 2) Bersama-sama guru
menyusun program sekolah untuk satu tahun kegiatan. 3) Menyusun jadwal
pelajaran. 4) Mengkoordinir kegiatan penyusunan model satuan pelajaran. 5)
Mengatur pelaksanaan evaluasi belajar dengan memperhatikan syarat-syarat dan
norma-norma penilaian. 6) Mencatat dan melaporkan hasil-hasil kemajuan kepada
instansi atasan (Kantor Wilayah Dinas Pendidikan dan Kebudayaan). 7)
Melaksanakan penerimaan murid baru berdasarkan ketentuan dari Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan. 8) Mengatur kegiatan program bimbingan dan
penyuluhan (BP). 9) Meneliti dan mencatat kehadiran murid. 10) Mengatur
program-program ko-kurikuler seperti: Usaha Kesehatan Sekolah (UKS),
kepramukaan, dan sebagainya. 11) Merencanakan pembagian tugas guru. 12)
Mengusulkan informasi pengangkatan, kenaikan tingkat dan mutasi guru. 13)
Mengatur usaha-usaha kesejahteraan personal sekolah. 14) Memelihara pencatatan
buku sekolah. 15) Merencanakan, mengembangkan dan memelihara alat pelajaran
peraga. 16) Mengatur pemeliharaan gedung dan halaman sekolah. 17) Memelihara
perlengkapan sekolah. 18) Mengatur dan bertanggung jawab dalam pengelolaan
keuangan sekolah. 19) Memelihara dan mengembangkan hubungan sekolah
dengan masyarakat. 20) Memelihara dan mengatur penyimpanan arsip kegiatan
12|Al-Ibrah|Vol. 4 No. 2 Desember 2019

sekolah. Ketiga, kepala sekolah selaku supervisor mempunyai tugas: 1)


Membimbing guru agar dapat memilih metode mengajar yang tepat. 2)
Membimbing dan mengarahkan guru dalam pemilihan bahan pelajaran yang sesuai
dengan perkembangan anak dan tuntutan kehidupan masyarakat. 3) Mengadakan
kunjungan kelas yang teratur untuk observasi pada saat guru mengajar dan
selanjutnya di diskusikan dengan guru. 4) Pada awal tahun pelajaran baru,
mengarahkan penyusunan silabus sesuai dengan kurikulum yang berlaku. 5)
Menyelenggarakan rapat rutin untuk membahas kurikulum pelaksanaannya di
sekolah. 6) Setiap akhir pelajaran menyelenggarakan penilaian bersama mengenai
program sekolah.

3. Kepemimpinan Kepala Sekolah

Rasiyo (2005: 341-342) menuturkan bahwa kepemimpinan kepala sekolah


merupakan kemampuan, kesanggupan, daya, dan kiat kepala sekolah untuk
menggerakkan, mempengaruhi, mengarahkan, mendorong, memberi inspirasi dan
teladan, mempersuasi, dan mengelola para guru, staf tata usaha, siswa, orang tua siswa,
dan stakeholder pendidikan dalam usaha mencapai visi, misi, dan tujuan sekolah, dalam
hal ini adalah kemajuan sekolah atau peningkatan mutu pendidikan.
Pengertian tersebut diatas mengimplikasikan tiga hal pokok, yaitu: pertama,
kepemimpinan kepala sekolah meliputi tiga unsur yang saling berhubungan, yaitu
kepala sekolah beserta segala ciri dan sosoknya, warga sekolah dan stakeholder
pendidikan lain, dan konteks dimana kepala sekolah dan warga sekolah sebagai
pengikut berinteraksi. Kedua, kepemimpinan kepala sekolah hanyalah wahana,
sarana, dan/atau proses menggerakkan dan mempersuasi warga sekolah dan
stakeholder pendidikan lain agar bersedia secara sukarela melakukan tindakan dalam
rangka mencapai dan mewujudkan visi, misi, dan tujuan sekolah. Ketiga,
kepemimpinan kepala sekolah diabdikan untuk mencapai dan mewujudkan visi,
misi, dan tujuan sekolah yang telah ditetapkan, yaitu kemajuan sekolah khususnya
proses peningkatan mutu pendidikan sekolah. Agar ketiga implikasi tersebut dapat
diwujudkan oleh kepala sekolah, maka kepala sekolah harus memiliki sejumlah
kewenangan (otoritas) dan tanggung jawab.
Elok, Kepemimpinan Kepala Sekolah |13

Sementara itu, peran kepemimpinan kepala sekolah dapat diartikan sebagai


kontribusi yang diberikan oleh seorang kepala sekolah kepada seluruh komponen
yang terlibat dalam lembaga yang dipimpinnya, meliputi: guru, staf, siswa, maupun
orang tua siswa. Peran dalam hal ini dapat diartikan sebagai sejumlah tanggung
jawab atau tugas yang dibebankan dan harus dilaksanakan oleh seorang kepala
sekolah (Wahjosumidjo, 2007: 154).
Suparno, dkk (dalam Rasiyo, 2005: 339) menyatakan bahwa kepala sekolah
sangat strategis dan vital karena merupakan pemimpin tertinggi operasional
sebuah sekolah, sehingga kepemimpinannya menentukan kadar kemajuan sekolah.
Disamping itu, kepemimpinan kepala sekolah mencerminkan tanggung jawab
kepala sekolah untuk menggerakkan seluruh sumber daya yang ada di sekolah,
sehingga lahir etos kerja dan produktivitas yang tinggi dalam mencapai tujuan
(Wahjosumidjo, 1999: 90).
Dalam perspektif kebijakan pendidikan nasional (Depdiknas, 2006: 65),
terdapat tujuh peran utama kepala sekolah, yaitu: 1) Edukator. Kegiatan belajar
mengajar merupakan inti dari proses pendidikan dan guru merupakan pelaksana
dan pengembang utama kurikulum di sekolah. Kepala sekolah yang menunjukkan
komitmen tinggi dan fokus terhadap pengembangan kurikulum dan kegiatan
belajar mengajar di sekolahnya tentu saja akan sangat memperhatikan tingkat
kompetensi yang dimiliki gurunya, sekaligus juga akan senantiasa berusaha
memfasilitasi dan mendorong agar para guru dapat secara terus menerus
meningkatkan kompetensinya, sehingga kegiatan belajar mengajar dapat berjalan
efektif dan efisien. 2) Manajer. Dalam mengelola tenaga kependidikan, salah satu
tugas yang harus dilakukan kepala sekolah adalah melaksanakan kegiatan
pemeliharaan, optimalisasi dan pengembangan sarana prasarana sekolah serta
profesi para guru. Dalam hal ini, kepala sekolah seyogianya dapat memfasilitasi
dan memberikan kesempatan yang luas kepada para guru untuk dapat
melaksanakan kegiatan pengembangan profesi melalui berbagai kegiatan
pendidikan dan pelatihan, baik yang dilaksanakan di sekolah, seperti:
MGMP/MGP tingkat sekolah, in house training, diskusi profesional dan sebagainya,
atau melalui kegiatan pendidikan dan pelatihan di luar sekolah, seperti:
kesempatan melanjutkan pendidikan atau mengikuti berbagai kegiatan pelatihan
14|Al-Ibrah|Vol. 4 No. 2 Desember 2019

yang diselenggarakan pihak lain. 3) Administrator. Khususnya berkenaan dengan


pengelolaan keuangan, bahwa untuk tercapainya peningkatan pembelajaran,
kompetensi guru dan sarana prasarana pembelajaran, tidak terlepas dari faktor
biaya. Oleh karena itu, kepala sekolah seyogianya dapat mengalokasikan anggaran
yang memadai bagi upaya peningkatan kualitas pembelajaran dan kompetensi guru
serta optimalisasi sarana prasarana pembelajaran. 4) Supervisor. Untuk
mengetahui sejauhmana proses pembelajaran yang terjadi, kepala sekolah juga
berperan untuk melaksanakan kegiatan supervisi yang dapat dilakukan melalui
kegiatan kunjungan kelas untuk mengamati proses pembelajaran secara langsung,
terutama dalam pemilihan dan penggunaan metode, media yang digunakan dan
keterlibatan siswa dalam proses pembelajaran (Mulyasa, 2003: 154). 5) Leader.
Dalam teori kepemimpinan, setidaknya terdapat dua gaya kepemimpinan, yaitu
kepemimpinan yang berorientasi pada tugas dan kepemimpinan yang berorientasi
pada manusia. Dalam rangka pencapaian visi, misi dan program sekolah, seorang
kepala sekolah dapat menerapkan kedua gaya kepemimpinan tersebut secara tepat
dan fleksibel yang disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan yang ada.
Kepemimpinan seseorang sangat berkaitan dengan kepribadian dan kepribadian
kepala sekolah sebagai pemimpin akan tercermin dalam sifat-sifat sebagai berikut:
jujur, percaya diri, tanggung jawab, berani mengambil resiko dan keputusan,
berjiwa besar, emosi yang stabil, dan teladan (Mulyasa, 2003: 156). 6) Pencipta
iklim kerja. Budaya dan iklim kerja yang kondusif akan memungkinkan setiap aktifitas
pembelajaran di sekolah lebih termotivasi antara murid, guru dan semua komponen
yang ada di sekolah untuk menunjukkan kinerjanya secara unggul, yang disertai usaha
untuk meningkatkan kompetensinya. 7) Wirausahawan. Kepala sekolah seyogianya
dapat menciptakan pembaharuan, keunggulan komparatif, serta memanfaatkan
berbagai peluang. Kepala sekolah dengan sikap kewirausahaan yang kuat, akan
berani melakukan perubahan-perubahan yang inovatif di sekolahnya, termasuk
perubahan dalam hal-hal yang berhubungan dengan proses pembelajaran siswa
beserta kompetensi gurunya.
Elok, Kepemimpinan Kepala Sekolah |15

4. Manajemen Berbasis Sekolah (MBS)

School based management yang telah di Indonesiakan menjadi Manajemen


Berbasis Sekolah (MBS), para ahli pendidikan telah memberikan berbagai
pengertian, seperti Etheridge yang mengatakan bahwa MBS adalah sebuah proses
formal yang melibatkan kepala sekolah, guru, orang tua siswa, siswa dan
masyarakat yang berada dekat dengan sekolah dalam proses pengambilan berbagai
keputusan (Rosyada, 2004: 267).
Sementara itu, Rosyada (2004: 267) sendiri lebih menjabarkan pengertian
MBS pada upaya memberikan otonomi yang sangat luas pada sekolah untuk
membuat perencanaan, budgeting, dan implementasi berbagai programnya dengan
memberdayakan unsur-unsur yang terlibat di sekolah tersebut, yaitu: kepala
sekolah, guru, karyawan, orang tua siswa, siswa dan bahkan masyarakat yang
mendukung pengembangan sekolah tersebut. Dengan demikian, dalam konteks
perencanaan serta pengembangan sekolah, titik sentral berada di sekolah itu
sendiri dan semaksimal mungkin mengembangkan networking horizontal dengan
stakeholder dan school community yang peduli terhadap pengembangan sekolahnya.
Menurut Batubara (2004: 90-91), terdapat beberapa indikator yang menjadi
karakteristik dari MBS sekaligus merefleksikan peran dan tanggung jawab masing-
masing pihak, antara lain: 1) Lingkungan sekolah yang aman dan tertib. 2) Sekolah
memiliki misi dan target mutu yang ingin dicapai. 3) Sekolah memiliki
kepemimpinan yang kuat. 4) Adanya harapan yang tinggi dari personil sekolah
(kepala sekolah, guru, dan staf lainnya, termasuk siswa) untuk berprestasi. 5)
Adanya pengembangan staf sekolah yang terus menerus sesuai tuntutan IPTEK.
6) Adanya pelaksanaan evaluasi yang terus menerus terhadap berbagai aspek
akademik dan administratif, dan pemanfaatan hasilnya untuk penyempurnaan
dan/atau perbaikan mutu. 7) Adanya komunikasi dan dukungan intensif dari
orang tua siswa dan masyarakat lainnya.
Direktorat SLTP, Ditjen Dikdasmen Depdiknas (dalam Hadiyanto, 2004:
71) merumuskan bahwa tujuan diterapkannya MBS di Indonesia adalah untuk: 1)
Meningkatkan mutu pendidikan melalui peningkatan kemandirian, fleksibilitas,
partisipasi, keterbukaan, kerja sama, akuntabilitas, sustainabilitas, dan inisiatif
16|Al-Ibrah|Vol. 4 No. 2 Desember 2019

sekolah dalam upaya mengelola, memanfaatkan, dan memberdayakan sumber daya


yang tersedia. 2) Meningkatkan kepedulian warga sekolah dan masyarakat dalam
penyelenggaraan pendidikan melalui pengambilan keputusan bersama. 3)
Meningkatkan tanggung jawab sekolah kepada orang tua, masyarakat, dan
pemerintah untuk meningkatkan mutu sekolah. 4) Meningkatkan kompetisi yang
sehat antar sekolah dalam meningkatkan kualitas pendidikan.
Disamping karena keinginan untuk mencapai tujuan diatas, alasan
penerapan MBS di Indonesia adalah: 1) Dengan pemberian otonomi yang lebih
besar kepada sekolah, maka sekolah akan lebih mempunyai inisiatif dan kreativitas
dalam meningkatkan mutu sekolah. 2) Dengan pemberian fleksibilitas/keluwesan-
keluwesan yang lebih besar kepada sekolah untuk mengelola sumber dayanya,
maka sekolah diharapkan lebih luwes dan lincah dalam mengadakan dan
memanfaatkan sumber dayanya secara optimal dalam upaya meningkatkan mutu
sekolah. 3) Sekolah lebih mengetahui kekuatan, kelemahan, peluang, dan ancaman
bagi dirinya, sehingga personil sekolah dapat mengoptimalkan pemanfaatan
sumber daya yang tersedia untuk memajukan sekolahnya. 4) Sekolah lebih
mengetahui kebutuhan lembaganya, khususnya input pendidikan yang akan
dikembangkan dan di dayagunakan dalam proses pendidikan sesuai dengan tingkat
perkembangan dan kebutuhan peserta didik. 5) Pengambilan keputusan yang
dilakukan oleh sekolah lebih cocok untuk memenuhi kebutuhan sekolah karena
pihak sekolah-lah yang paling tahu apa yang terbaik bagi sekolahnya. 6)
Penggunaan sumber daya pendidikan lebih efisien dan efektif bilamana di kontrol
oleh masyarakat setempat. 7) Keterlibatan semua warga sekolah dan masyarakat
dalam pengambilan keputusan sekolah menciptakan transparansi dan demokrasi
yang sehat. 8) Sekolah dapat bertanggung jawab tentang mutu pendidikan masing-
masing kepada pemerintah, orang tua peserta didik, dan masyarakat pada umumnya,
sehingga diharapkan sekolah berupaya semaksimal mungkin melaksanakan dan
mencapai sasaran mutu pendidikan yang telah direncanakan. 9) Sekolah dapat
melakukan persaingan yang sehat dengan sekolah-sekolah lain untuk
meningkatkan mutu pendidikan melalui upaya-upaya inovatif dengan dukungan
orang tua peserta didik, masyarakat, dan pemerintah daerah setempat. 10) Sekolah
dapat secara cepat merespon aspirasi masyarakat dan lingkungan yang berubah
Elok, Kepemimpinan Kepala Sekolah |17

dengan cepat (Direktorat SLTP, Ditjen Dikdasmen Depdiknas, dalam Hadiyanto,


2004: 71-72).
Menurut Sutjipto (dalam Hadiyanto, 2004: 68) beberapa implikasi positif yang
bisa diperoleh dari keterlibatan kepemimpinan kepala sekolah dalam realisasi MBS,
antara lain: pertama, memungkinkan personil yang kompeten di sekolah dalam
mengambil keputusan untuk meningkatkan kualitas belajar peserta didik. Kedua,
memberikan hak kepada masyarakat sekolah untuk berperan dalam pengambilan
keputusan yang penting. Ketiga, menggunakan akuntabilitas dalam setiap pengambilan
keputusan dan pertanggung jawabannya. Keempat, mengarahkan dengan tepat sumber
daya untuk mencapai tujuan sekolah. Kelima, mendorong kreativitas untuk mendesain
program pengembangan sekolah. Keenam, menyadarkan guru dan orang tua akan
perlunya anggaran yang realistik dalam keterbatasan biaya program yang bersumber dari
pemerintah. Dan ketujuh, meningkatkan semangat guru serta mematangkan kader
pemimpin pendidikan pada semua tingkatan.
Dengan penerapan MBS yang bertumpu pada kepemimpinan kepala
sekolah sebagai decision maker, utamanya bertujuan untuk meningkatkan efisiensi,
mutu, dan pemerataan pendidikan. Peningkatan efisiensi, antara lain diperoleh
melalui keleluasaan mengelola sumber daya, partisipasi masyarakat, dan
penyederhanaan birokrasi.
Menurut Rasiyo (2005: 300-301) implementasi MBS menuntut: 1)
Ditempatkannya sekolah sebagai unit utama pencapaian mutu dan peningkatan mutu
pendidikan pada satu sisi dan pada sisi lain ditempatkannya birokrasi pemerintah sebagai
unit penunjang pencapaian mutu pendidikan. 2) Adanya otonomi dan otoritas sekolah
yang besar atau tinggi, baik berupa kemandirian, keberdayaan, keleluasaan,
kedaulatan, dan kebebasan untuk menyelenggarakan pendidikan mikro. 3) Adanya
efektivitas, transparansi, akuntabilitas publik, kerja sama, baik berupa pelibatan
masyarakat secara optimal dalam penyelenggaraan pendidikan maupun
pertanggung jawaban penyelenggaraan pendidikan kepada masyarakat luas. 4)
Adanya responsivitas dan responsibilitas sekolah terhadap perubahan-perubahan
yang terjadi demi pencapaian mutu dan peningkatan mutu pendidikan. 5) Adanya
tim kerja yang cerdas dan kompak yang dapat berkolaborasi dan bersinergi secara
mantap. 6) Adanya pengambilan keputusan secara kolaboratif dan partisipatif oleh
18|Al-Ibrah|Vol. 4 No. 2 Desember 2019

semua stakeholders terutama kepala sekolah, guru, siswa, orang tua, masyarakat, dan
pemerintah. 7) Adanya keterlibatan dan partisipasi masyarakat luas yang optimal
terhadap sekolah, mulai dari perencanaan sampai dengan penilaian kebijakan dan
program sekolah. 8) Adanya kepemimpinan kepala sekolah yang demokratis,
egaliter, partisipatif, inspiratif, dan mampu menggerakkan fungsi-fungsi
manajemen sekolah.
Selain itu, menurut Rasiyo (2005: 302-303) sekolah yang bisa dikatakan berhasil
mengimplementasikan MBS pada dasarnya merupakan sekolah yang mampu
meningkatkan mutu penyelenggaraan pendidikan. Karakteristik sekolah yang berhasil
mengimplementasikan MBS antara lain: 1) Dari segi keluaran (out put), sekolah itu
mempunyai prestasi tinggi, baik prestasi akademis maupun non-akademis, yang
keduanya akan mempermantap brand equity atau brand mindset sekolah. 2) Dari segi
proses, sekolah itu mempunyai efektivitas pembelajaran atau belajar mengajar yang tinggi,
kepemimpinan sekolah yang kuat dan efektif, lingkungan belajar yang aman-tertib-
nyaman-segar-menggairahkan, efektivitas dan efisiensi pengelolaan tenaga kependidikan
yang tinggi, budaya mutu yang baik, tim kerja yang dinamis dan kompak, otoritas yang
memadai dan fungsional, partisipasi warga sekolah dan masyarakat yang tinggi, kemauan
dan kemampuan untuk berubah, sistem perbaikan pembelajaran secara berkelanjutan, dan
responsibilitas yang baik atas berbagai kebutuhan akan mutu pendidikan. 3) Dari segi
masukan (input), sekolah itu memiliki kebijakan-tujuan-sasaran mutu yang jelas, sumber
daya tersedia dan berfungsi secara optimal, staf yang kompeten dan berdedikasi tinggi,
harapan prestasi yang jelas dan tinggi, dan fokus utama pada siswa serta masukan
manajemen yang memadai dan fungsional.

E. Paparan Data dan Analisis


Setelah melakukan uji validitas dan reliabilitas terhadap 24 orang
responden untuk menguji item-item pernyataan, kuesioner di distribusikan kepada
100 orang responden dengan waktu pengisian yang telah ditentukan selama
kurang lebih 1 (satu) bulan. Namun sampai batas waktu yang ditentukan,
kuesioner yang kembali berjumlah 90 responden atau 90 persen. Sedangkan 10
orang responden atau 10 persen tidak mengembalikan kuesioner dengan berbagai
macam alasan, diantaranya kurang berkenan untuk menjawabnya, batas waktu
Elok, Kepemimpinan Kepala Sekolah |19

liburan sekolah serta lupa untuk mengembalikan. Selanjutnya, dalam analisis ini
akan dibahas pula mengenai karakteristik responden menurut jenis kelamin, status
dalam masyarakat sekolah, dan usia.
Karakteristik Responden
1) Karakteristik Responden Berdasarkan Jenis Kelamin
Karakteristik responden berdasarkan jenis kelamin yang menjadi subyek dalam
penelitian ini dapat dilihat pada tabel dibawah ini:
Tabel. 1
Karakteristik Responden Berdasarkan Jenis Kelamin
No. Jenis Kelamin Frekuensi (f) Prosentase (%)
1. Laki-laki 46 46
2. Perempuan 54 54
Total 100 100 %

2) Karakteristik Responden Berdasarkan Status


Tabel. 2
Karakteristik Responden Berdasarkan Status

No. Status dalam Masyarakat Frekuensi (f) Prosentase (%)


Sekolah
1. Komite sekolah 4 4
2. Guru dan karyawan 6 6
3. Siswa dan siswi 45 45
4. Wali murid 45 45
Total 100 100 %

Berdasarkan tabel diatas, maka dapat diketahui bahwa responden yang


berasal dari komite sekolah sebanyak 4 orang dengan prosentase 4 persen. Guru
dan karyawan sebanyak 6 orang dengan prosentase 6 persen. Siswa dan siswi
sebanyak 45 orang dengan prosentase 45 persen, dan responden dari wali murid
sebanyak 45 orang dengan prosentase 45 persen.
3) Karakteristik Responden Berdasarkan Usia

Karakteristik responden berdasarkan usia dalam penelitian ini dapat dilihat


pada tabel dibawah ini:
20|Al-Ibrah|Vol. 4 No. 2 Desember 2019

Tabel. 3
Karakteristik Responden Berdasarkan Usia

No. Usia Frekuensi (f) Prosentase (%)


1. 12 – 17 tahun 45 45
2. 18 – 23 tahun - -
3. 24 – 29 tahun 10 10
4. 30 – 35 tahun 2 2
5. 36 – keatas 43 43
Total 100 100 %

Berdasarkan tabel diatas, responden dengan usia 12 – 17 tahun sebanyak


45 orang dengan prosentase 45 persen, sedangkan responden dengan usia antara
18 – 23 tahun tidak ada. Usia 24 – 29 tahun sebanyak 10 orang dengan prosentase
10 persen, responden usia 30 – 35 tahun 2 orang dengan prosentase 2 persen dan
responden usia 36 – keatas sebanyak 43 orang dengan prosentase 43 persen.

Uji Validitas dan Reliabilitas


Sebelum kuesioner disebarkan ke seluruh responden, terlebih dahulu
dilakukan uji coba kepada 100 responden. Uji coba ini dilakukan untuk menguji
tingkat validitas dan reliabilitas pernyataan yang diajukan dalam penelitian ini.
Dipilih sejumlah 100 responden dengan alasan bahwa jumlah tersebut mewakili
keseluruhan responden.
1) Uji Validitas Variabel Peran Kepemimpinan Kepala Sekolah Selaku
Leader
Suatu instrumen dikatakan valid jika koefisien korelasi antara skor item
dengan skor totalnya lebih besar dari r-tabel. Sedangkan jika korelasi antara skor
item dengan skor total kurang dari r-tabel, maka item dalam instrumen tersebut
dinyatakan tidak valid. Dalam penelitian ini, dengan df 100 – 2 = 98, di dapat r-
tabel-nya sebesar 0,195 (Hadi, 1991: 20).
Elok, Kepemimpinan Kepala Sekolah |21

Tabel. 4
Uji Validitas Peran Kepemimpinan Kepala Sekolah Selaku Leader

Pearson Corrected Item-Total


Status
Correlation (rxy) Correlation (rbt)
1 0.5673 .494 Sahih
2 0.4836 .404 Sahih
3 0.5431 .478 Sahih
4 0.4676 .396 Sahih
5 0.5528 .485 Sahih
6 0.5942 .538 Sahih
7 0.6635 .606 Sahih
8 0.5430 .482 Sahih
9 0.6234 .565 Sahih
10 0.5149 .440 Sahih
11 0.5424 .476 Sahih
12 0.4106 .329 Sahih
13 0.3644 .276 Sahih
14 0.3206 .227 Sahih
15 0.5535 .479 Sahih
16 0.3076 .221 Sahih
17 0.5575 .489 Sahih
18 0.4275 .341 Sahih
19 0.4650 .392 Sahih
20 0.3244 .245 Sahih
21 0.5199 .444 Sahih
22 0.5496 .478 Sahih

Tabel diatas menjelaskan bahwa dari 22 butir soal peran kepemimpinan


kepala sekolah selaku leader yang diuji cobakan kepada 100 responden,
kesemuanya dinyatakan sahih untuk mengukur konstrak.
2) Uji Validitas Variabel Peran Kepemimpinan Kepala Sekolah Selaku
Administrator
Suatu instrumen dikatakan valid jika koefisien korelasi antara skor item
dengan skor totalnya lebih besar dari r-tabel. Sedangkan jika korelasi antara skor
item dengan skor total kurang dari r-tabel, maka item dalam instrumen tersebut
dinyatakan tidak valid. Dalam penelitian ini, dengan df 100 – 2 = 98, di dapat r-
tabel-nya sebesar 0,195 (Hadi, 1991: 20).
22|Al-Ibrah|Vol. 4 No. 2 Desember 2019

Tabel. 5
Uji Validitas Peran Kepemimpinan Kepala SekolahSelaku Administrator

Pearson Correlation Corrected Item-Total


Status
(rxy) Correlation (rbt)
1 0.3324 .228 Sahih
2 0.3360 .260 Sahih
3 0.3179 .251 Sahih
4 0.3315 .260 Sahih
5 0.3262 .227 Sahih
6 0.3073 .217 Sahih
7 0.3543 .240 Sahih
8 0.3127 .222 Sahih
9 0.4776 .324 Sahih
10 0.4824 .335 Sahih
11 0.3542 .222 Sahih
12 0.4120 .279 Sahih
13 0.5328 .408 Sahih
14 0.4408 .300 Sahih
15 0.4232 .289 Sahih
16 0.4962 .370 Sahih
17 0.5583 .433 Sahih
18 0.6328 .533 Sahih

Tabel diatas menjelaskan bahwa dari 18 butir soal peran kepemimpinan


kepala sekolah selaku administrator yang diuji cobakan kepada 100 responden,
kesemuanya dinyatakan sahih untuk mengukur konstrak.
3) Uji Validitas Variabel Peran Kepemimpinan Kepala Sekolah Selaku
Supervisor
Suatu instrumen dikatakan valid jika koefisien korelasi antara skor item
dengan skor totalnya lebih besar dari r-tabel. Sedangkan jika korelasi antara skor
item dengan skor total kurang dari r-tabel, maka item dalam instrumen tersebut
dinyatakan tidak valid. Dalam penelitian ini, dengan df 100 – 2 = 98, di dapat r-
tabel-nya sebesar 0,195 (Hadi, 1991: 20).
Elok, Kepemimpinan Kepala Sekolah |23

Tabel. 6
Uji Validitas Peran Kepemimpinan Kepala Sekolah Selaku Supervisor

Pearson Correlation Corrected Item-Total


Status
(rxy) Correlation (rbt)
1 0.5633 .413 Sahih
2 0.5944 .446 Sahih
3 0.4590 .316 Sahih
4 0.4800 .331 Sahih
5 0.5520 .402 Sahih
6 0.5837 .451 Sahih
7 0.6396 .523 Sahih
8 0.5486 .418 Sahih
9 0.6409 .523 Sahih
10 0.6037 .465 Sahih

Tabel diatas menjelaskan bahwa dari 10 butir soal peran kepemimpinan


kepala sekolah selaku supervisor yang diuji cobakan kepada 100 responden,
kesemuanya dinyatakan sahih untuk mengukur konstrak.
4) Uji Validitas Variabel Implementasi MBS
Suatu instrumen dikatakan valid jika koefisien korelasi antara skor item
dengan skor totalnya lebih besar dari r-tabel. Sedangkan jika korelasi antara skor
item dengan skor total kurang dari r-tabel, maka item dalam instrumen tersebut
dinyatakan tidak valid. Dalam penelitian ini, dengan df 100 – 2 = 98, di dapat r-
tabel-nya sebesar 0,195 (Hadi, 1991: 20).
24|Al-Ibrah|Vol. 4 No. 2 Desember 2019

Tabel. 7
Uji Validitas Variabel Implementasi MBS
Pearson Corrected Item-Total
Status
Correlation (rxy) Correlation (rbt)
1 0.3045 .254 Sahih
2 0.4433 .393 Sahih
3 0.3056 .260 Sahih
4 0.2994 .252 Sahih
5 0.3022 .249 Sahih
6 0.3787 .333 Sahih
7 0.3782 .334 Sahih
8 0.3685 .325 Sahih
9 0.4061 .364 Sahih
10 0.3082 .265 Sahih
11 0.2852 .229 Sahih
12 0.4277 .386 Sahih
13 0.3132 .268 Sahih
14 0.2938 .244 Sahih
15 0.3755 .328 Sahih
16 0.3663 .314 Sahih
17 0.4086 .363 Sahih
18 0.3987 .353 Sahih
19 0.3723 .323 Sahih
20 0.5048 .463 Sahih
21 0.4478 .407 Sahih
22 0.4822 .443 Sahih
23 0.4013 .353 Sahih
24 0.3317 .282 Sahih
25 0.4097 .365 Sahih
26 0.3773 .331 Sahih
27 0.3348 .293 Sahih
28 0.3802 .334 Sahih
29 0.3189 .261 Sahih
30 0.3102 .256 Sahih
31 0.4041 .358 Sahih
32 0.3377 .289 Sahih
33 0.3590 .310 Sahih
34 0.3096 .255 Sahih
35 0.2889 .238 Sahih
36 0.3678 .320 Sahih
37 0.5838 .545 Sahih
38 0.3681 .322 Sahih
39 0.3386 .291 Sahih
40 0.3171 .268 Sahih
Elok, Kepemimpinan Kepala Sekolah |25

41 0.4770 .436 Sahih


42 0.5737 .533 Sahih
43 0.4323 .382 Sahih
44 0.3204 .271 Sahih
45 0.5552 .520 Sahih
46 0.3014 .249 Sahih
47 0.4275 .381 Sahih
48 0.3842 .335 Sahih
49 0.3001 .275 Sahih
50 0.3304 .280 Sahih

Tabel diatas menjelaskan bahwa dari 50 butir soal variabel implementasi


MBS yang diuji cobakan kepada 100 responden, kesemuanya dinyatakan sahih
untuk mengukur konstrak.
5) Uji Reliabilitas Variabel Peran Kepemimpinan Kepala Sekolah dan
Variabel Implementasi MBS
Uji reliabilitas yang digunakan adalah Alpha Cronbach, dimana suatu
instrumen dikatakan reliabel atau andal apabila memiliki koefisien keandalan atau
reliabilitas sebesar 0,60 atau lebih (Arikunto: 1998: 49). Uji reliabilitas berdasarkan
Alpha Cronbach, yaitu sebagai berikut:

Variabel X : Peran Kepemimpinan Kepala Sekolah


Tabel. 8
Uji Reliabilitas Peran Kepemimpinan Kepala Sekolah

R Alpha Status N
Peran Kepala Sekolah selaku Leader 0.852 Reliabel 100
Peran Kepala Sekolah selaku Administrator 0.722 Reliabel 100
Peran Kepala Sekolah selaku Supervisor 0.765 Reliabel 100

Tabel diatas menjelaskan bahwa butir soal variabel peran kepemimpinan


kepala sekolah selaku leader, administrator dan supervisor dengan r alpha > 0.6, maka
dinyatakan reliabel.

Variabel Y : Implementasi Manajemen Berbasis Sekolah


26|Al-Ibrah|Vol. 4 No. 2 Desember 2019

Tabel. 9
Uji Reliabilitas Implementasi MBS

R Alpha Status N
Implementasi Manajemen Berbasis Sekolah 0.875 Reliabel 100

Tabel diatas menjelaskan bahwa butir soal variabel implementasi MBS


dengan r alpha > 0.6, maka dinyatakan reliabel.

Uji Asumsi Klasik


1) Uji Asumsi Normalitas Sebaran
Tabel. 10
Uji Normalitas Sebaran

Kolmogorov-Smirnov(a)
Statistic Df P Status
Manajemen Berbasis Sekolah 0.078 100 0.141 Normal

Tabel diatas merupakan hasil uji normalitas sebaran variabel Manajemen


Berbasis Sekolah, dengan df sebesar 100, Kolmogorof Smirnov hitung sebesar
0.078 dan nilai probabilitas sebesar 0,141 > 0,05.
Elok, Kepemimpinan Kepala Sekolah |27

Normal Q-Q Plot of MBS

2.5
Expected Normal

0.0

-2.5

80 100 120 140 160 180 200

Observed Value

Terlihat pada grafik (normal P-P Plot) data tersebar rapat di sekitar garis
diagonal dengan sebaran yang fluktuatif, maka disimpulkan bahwa distribusi data
adalah normal.
2) Uji Asumsi Linieritas Hubungan
Tujuan dari uji ini adalah untuk mengetahui apakah suatu variabel
independen mempunyai hubungan yang linier atau non linier dengan variabel
dependennya. Variabel independen dikatakan mempunyai hubungan yang linier
jika tingkat signifikansi linieritasnya kurang dari 0,1. Hasil pengujian linieritas
variabel independen terhadap variabel dependennya dapat dilihat pada tabel
dibawah ini:
28|Al-Ibrah|Vol. 4 No. 2 Desember 2019

Tabel. 11
Uji Linieritas Hubungan

Regresi P Status
Leader 0.593 0.000 Linier
Administrator 0.557 0.000 Linier
Supervisor 0.516 0.000 Linier

Tabel diatas menjelaskan bahwa tingkat signifikansi untuk masing-masing


variabel independen kurang dari 0,1. Hal ini berarti bahwa hubungan antara kedua
variabel independen tersebut, yaitu peran kepemimpinan kepala sekolah selaku
leader, administrator dan supervisor linier terhadap implementasi MBS.
3) Pengujian adanya Multikolinieritas
Untuk mengetahui adanya gejala multikolinieritas dilakukan dengan cara
melihat hasil nilai VIF dari variabel bebas. Jika hasil regresi yang dihasilkan
menghasilkan nilai VIF < 10, maka hal ini menunjukkan tidak adanya gejala
multikolinieritas dan sebaliknya jika nilai VIF > 10, maka regresi menunjukkan
adanya gejala multikolinieritas.
Dari hasil perhitungan nilai VIF dengan komputer, diperoleh hasil sebagai
berikut:
Tabel. 12
Nilai VIF

Variabel Tolerance VIF


Leader .579 1.728
Administrator .701 1.426
Supervisor .714 1.401

Dari tabel diatas, dapat disimpulkan bahwa regresi tidak mengandung


adanya gejala multikolinieritas yang tinggi.
4) Pengujian adanya Autokorelasi
Salah satu metode yang digunakan untuk mendeteksi adanya autokorelasi
adalah dengan metode Uji Durbin-Watson. Adapun pengujiannya adalah sebagai
berikut:
Elok, Kepemimpinan Kepala Sekolah |29

a) Banyaknya sampel (N) = 100


b) Banyaknya variabel bebas (k) = 3
c) Taraf/tingkat signifikansi yang digunakan () = 0,05
Selanjutnya dilihat pada tabel Durbin Watson d diperoleh DL = 1,10 dan
DU = 1,54 serta 4 – DL = 2,90 dan 4 – DU = 2,45. Adapun kriteria pengujiannya
adalah sebagai berikut:

Tabel. 13

Batas-batas Daerah Test Durbin Watson

Interval Keterangan
DW < 1,10 Autokorelasi positif
1,10  DW < 1,54 Tanpa kesimpulan/inconclusive
1,54  DW < 2,46 Non autokorelasi
2,46  DW < 2,90 Tanpa kesimpulan/inconclusive
DW  2,90 Autokorelasi negatif

Sedangkan nilai Durbin Watson dari perhitungan DW = 1.360 dan nilai ini
terletak pada daerah 1,10  DW < 1,54 atau berada pada daerah tanpa
kesimpulan/inconclusive, sehingga dapat disimpulkan bahwa regresi bebas dari
gejala autokorelasi (korelasi serial).
5) Pengujian adanya Heterokedastisitas
Uji asumsi lain yang harus dimiliki oleh data adalah residual dalam data
harus mempunyai variansi yang sama. Untuk menguji residual pada data yang
memiliki variansi sama, penelitian ini menggunakan uji Glejser. Uji Glejser ini
meregresikan nilai absolut residual terhadap variabel independen yang digunakan
dalam suatu model regresi. Jika variabel independen ternyata signifikan (sig <
0,05) mempengaruhi absolut residual, ini berarti bahwa dalam data terdapat
heteroskedastisitas. Apabila ternyata tidak signifikan (sig > 0,05), berarti bahwa
asumsi homoskedastisitas terpenuhi. Model yang baik adalah model yang
30|Al-Ibrah|Vol. 4 No. 2 Desember 2019

mempunyai asumsi homoskedastisitasnya terpenuhi. Hasil pengujian


heteroskedastisitas dengan metode Glejser dapat dilihat pada tabel di bawah ini:
Tabel. 14
Korelasi antara Variabel Bebas dengan Residual (Error)

Variabel Sig./Prob. Keterangan


Leader (X1) 0.12 Tidak ada heteroskedastisitas
Administrator (X2) 0.20 Tidak ada heteroskedastisitas
Supervisor (X3) 0.68 Tidak ada heteroskedastisitas

Kriteria pengujian hipotesis:


a) Nilai probabilitas > 0,05, berarti bebas dari heteroskedastisitas
b) Nilai probabilitas < 0,05, berarti terjadi heteroskedastisitas
Berdasarkan hasil pada tabel diatas, dapat disimpulkan bahwa regresi bebas
dari heteroskedastisitas, berarti bahwa varian dari variabel pengganggunya adalah
tetap atau sama.
Dari pendeteksian adanya penyimpangan atau pelanggaran terhadap
asumsi-asumsi klasik diatas, dapat disimpulkan bahwa regresi tidak terdapat
estimator-estimator yang bias.

Analisis Regresi Linier Berganda


Untuk mengetahui adanya pengaruh antara variabel bebas, yaitu leader (X1),
administrator (X2), dan supervisor (X3) terhadap variabel terikat yaitu implementasi
MBS, digunakan analisis regresi linier berganda. Dari hasil perhitungan dengan
bantuan komputer dengan menggunakan program SPSS diperoleh hasil sebagai
berikut:
Elok, Kepemimpinan Kepala Sekolah |31

Tabel. 15
Hasil Koefisien Regresi, Std. Error dan thitung

Ko
Std. Prob. /
Variabel efisien thitung
Error Sig.
Regresi
Leader 0.497 0.165 3.017 0.003
Administrator 0.866 0.247 3.508 0.001
Supervisor 0.849 0.295 2.876 0.005
Variabel terikat : Implementasi MBS (Y)

Konstanta/constant = 39.649

Koefisien Determinasi (R2) = 0.476

Koefisien Korelasi (R) = 0.690

Sedangkan hasil perhitungan ANOVA dengan bantuan program SPSS


seperti terlihat pada tabel dibawah ini:
Tabel. 16
ANOVA

Jumlah Kuadrat
Sumber Variasi db Fhitung sig
Kuadrat Tengah
Regression 19032.599 3 6344.200 29.079 0.000(a)
Residual 20944.761 96 218.175
Total 39977.360 99

Berdasarkan pada hasil perhitungan koefisien regresi pada tabel diatas,


maka bentuk persamaan regresi yang diperoleh adalah:

Y = 39.649 + 0.497 X1 + 0.866 X2 + 0.849 X3

Adapun interpretasi dari persamaan regresi tersebut adalah:


32|Al-Ibrah|Vol. 4 No. 2 Desember 2019

bo = konstanta = 39.649
Ini menunjukkan besarnya pengaruh variabel pengganggu terhadap
implementasi MBS. Artinya, apabila variabel bebas konstan atau sama dengan 0,
maka implementasi MBS akan bernilai sebesar 39.649 unit.

b1 = Koefisien regresi untuk X1 = 0.497


Ini menunjukkan besarnya pengaruh variabel peran kepemimpinan kepala
sekolah selaku leader (X1) terhadap implementasi MBS. Artinya, apabila variabel
peran kepemimpinan kepala sekolah selaku leader meningkat 1, maka implementasi
MBS akan meningkat sebesar 0.497 dengan asumsi variabel bebas lainnya adalah
konstan.

b2 = Koefisien regresi untuk X2 = 0.866


Ini menunjukkan besarnya pengaruh variabel peran kepemimpinan kepala
sekolah selaku administrator (X2) terhadap implementasi MBS. Artinya, apabila
variabel peran kepemimpinan kepala sekolah selaku administrator meningkat 1,
maka implementasi MBS akan meningkat sebesar 0.866 dengan asumsi variabel
bebas lainnya adalah konstan.

b3 = Koefisien regresi untuk X3 = 0.849


Ini menunjukkan besarnya pengaruh variabel peran kepemimpinan kepala
sekolah selaku supervisor (X3) terhadap implementasi MBS. Artinya, apabila variabel
peran kepemimpinan kepala sekolah selaku supervisor meningkat 1, maka
implementasi MBS akan meningkat sebesar 0.849 dengan asumsi variabel bebas
lainnya adalah konstan.

Koefisien Determinasi dan Koefisien Korelasi


Nilai R2 (koefisien determinasi) = 0.476 menunjukkan kemampuan
variabel bebas dalam mempengaruhi hubungan dengan variabel terikat adalah
sebesar 0.476. Ini berarti bahwa ketelitian dari persamaan regresi linier berganda
mampu menjelaskan hubungan variasi antara variabel peran kepemimpinan kepala
sekolah selaku leader, administrator dan supervisor secara umum terhadap
Elok, Kepemimpinan Kepala Sekolah |33

implementasi MBS adalah sebesar 47.6 %. Sedangkan sisanya sebesar 52.4 %


dipengaruhi atau dijelaskan oleh variabel lain yang tidak termasuk dalam model.
Sedangkan besar koefisien korelasi berganda ( R ) =  0.476 = 0.690
menunjukkan bahwa hubungan keeratan antara variabel bebas dengan variabel
terikat adalah kuat.

F. Pengujian Hipotesis
1) Uji Hipotesis dengan Uji F
Untuk menguji adanya pengaruh secara simultan antara variabel bebas
dengan variabel terikat digunakan uji F dengan langkah-langkah sebagai berikut:
a) Ho : 1; 2; 3 = 0, artinya secara simultan variabel leader (X1),
administrator (X2), dan supervisor (X3), tidak berpengaruh terhadap variabel
implementasi MBS (Y).
Hi : 1; 2; 3  0, artinya secara simultan variabel leader (X1), administrator
(X2), dan supervisor (X3), berpengaruh terhadap variabel implementasi MBS (Y).

b)  = 0,05 dengan df pembilang = 3


df penyebut = 100 – 3 – 1 = 96
diperoleh nilai F tabel = 2,70
Kuadrat Tengah Regresi 6344.200
c) F hitung = = = 29.078492
Kuadrat Tengah Residual 218.175
d) Uji Hipotesis
Karena Fhitung (29.078492) > Ftabel (2.70), maka Ho ditolak dan H1 diterima
yang berarti secara simultan variabel leader (X1), administrator (X2), dan supervisor (X3)
berpengaruh terhadap variabel implementasi MBS (Y) sebagai variabel terikat.

2) Uji Hipotesis Secara Parsial


Selanjutnya untuk menguji adanya pengaruh secara parsial antara variabel
leader (X1) terhadap variabel implementasi MBS (Y) digunakan uji t dengan
langkah-langkah sebagai berikut:
34|Al-Ibrah|Vol. 4 No. 2 Desember 2019

a) Ho : 1 = 0, artinya tidak ada pengaruh antara variabel leader (X1)


dengan variabel implementasi MBS (Y)
H1 : 1  0, artinya ada pengaruh antara variabel leader (X1) dengan variabel
implementasi MBS (Y)

b)  = 0,05/2 = 0,025 dengan df = 100 – 3 – 1 = 96


2
1 0.497
c) thitung = = = 3.017
Se ( 1 ) 0.165

d) ttabel (  = 0,025) = 1,98


2
e) Pengujian hipotesis:
Dari perhitungan secara parsial diperoleh thitung = 3.017. Sedangkan ttabel =
1,98 pada df = 96 dengan tingkat signifikansi sebesar 5 %. Karena thitung > ttabel
maka Ho ditolak dan H1 diterima. Sehingga secara parsial variabel leader (X1)
berpengaruh secara nyata dan berhubungan positif terhadap variabel implementasi
MBS (Y).
Selanjutnya untuk mengetahui adanya pengaruh secara parsial antara
variabel administrator (X2) terhadap variabel implementasi MBS (Y) digunakan uji t
dengan langkah-langkah sebagai berikut:
a) Ho : 2 = 0, artinya tidak ada pengaruh antara variabel administrator
(X2) terhadap variabel implementasi MBS (Y)
H1 : 2  0, ada pengaruh antara variabel administrator (X2) terhadap
variabel implementasi MBS (Y)

b)  = 0,05/2 = 0,025 dengan df = 100 – 3 – 1 = 96


2
2 0.866
c) thitung = = = 3.508
Se ( 2 ) 0.247

d) ttabel ( 
2 = 0,025) = 1.98

e) Pengujian hipotesis:
Dari perhitungan secara parsial diperoleh thitung = 3.508. Sedangkan ttabel =
1.98 pada df = 96 dengan tingkat signifikansi sebesar 5 %. Karena thitung > ttabel
Elok, Kepemimpinan Kepala Sekolah |35

maka Ho ditolak dan H1 diterima. Sehingga secara parsial variabel administrator (X2)
berpengaruh secara nyata dan berhubungan positif terhadap variabel implementasi
MBS (Y).
Selanjutnya untuk menguji adanya pengaruh secara parsial antara variabel
supervisor (X3) terhadap variabel implementasi MBS (Y) digunakan uji t dengan
langkah-langkah sebagai berikut:
a) Ho : 3 = 0, artinya tidak ada pengaruh antara variabel supervisor (X3)
terhadap variabel implementasi MBS (Y)
H1 : 3  0, artinya ada pengaruh antara variabel supervisor (X3) terhadap
variabel implementasi MBS (Y)

b)  = 0,05/2 = 0,025 dengan df = 100 – 3 – 1 = 96


2
3 0.849
c) thitung = = = 2.876
Se ( 3 ) 0.295

d) ttabel (  = 0,025) = 1.98


2
e) Pengujian hipotesis:
Dari perhitungan secara parsial diperoleh thitung = 2.876. Sedangkan ttabel =
1.98 pada df = 96 dengan tingkat signifikansi sebesar 5 %. Karena thitung > ttabel
maka Ho ditolak dan H1 diterima. Sehingga secara parsial variabel supervisor (X3)
berpengaruh secara nyata dan berhubungan positif terhadap variabel implementasi
MBS (Y).
36|Al-Ibrah|Vol. 4 No. 2 Desember 2019

G. Kesimpulan
Berdasarkan pemaparan hasil penelitian dan analisis data, diperoleh
kesimpulan bahwa terdapat pengaruh yang sangat signifikan antara peran
kepemimpinan kepala sekolah (selaku leader, administrator dan supervisor) terhadap
implementasi Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) pada Madrasah Tsanawiyah
Swasta (MTs.S) Mamba’ul Ulum di Kecamatan Mojoagung, Kabupaten Jombang.
Hal itu dibuktikan dengan adanya kenyataan bahwa dari hasil analisis di dapatkan
koefisien determinasi (R2) = 0.476, artinya nilai ini menunjukkan bahwa
kemampuan variabel bebas dalam mempengaruhi hubungan dengan variabel
terikat adalah sebesar 0.476 atau berarti bahwa ketelitian dari persamaan regresi
linier berganda mampu menjelaskan hubungan variasi antara variabel peran
kepemimpinan kepala sekolah selaku leader, administrator dan supervisor terhadap
implementasi MBS adalah sebesar 47.6 %. Sedangkan sisanya sebesar 52.4 %
dipengaruhi atau dijelaskan oleh variabel lain yang tidak termasuk dalam peran
kepemimpinan kepala sekolah (selaku leader, administrator dan supervisor). Sedangkan
besar koefisien korelasi berganda (R) =  0.476 = 0.690, artinya nilai ini
menunjukkan bahwa hubungan keeratan antara variabel bebas dengan variabel
terikat adalah kuat. Sementara itu, dari hasil pengujian hipotesis dengan Uji F
dinyatakan bahwa simultan variabel leader (X1), administrator (X2), dan supervisor (X3),
berpengaruh signifikan terhadap variabel implementasi MBS (Y) sebagai variabel
terikat.
Elok, Kepemimpinan Kepala Sekolah |37

H. Daftar Pustaka

Arikunto, Suharsimi. 1998. Metode Penelitian. Jakarta : Rineka Cipta.


Azwar, Saifuddin. 1997. Reliabilitas dan Validitas. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Batubara, Abd. Muhyi. 2004. Sosiologi Pendidikan. Jakarta : Ciputat Press.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1989. Pedoman Umum
Penyelenggaraan Administrasi Sekolah Menengah. Jakarta : Balai Pustaka.
Departemen Pendidikan Nasional. 2006. Kebijakan Pendidikan Nasional. Jakarta :
Ditjen Depdiknas.
Hadi, Sutrisno. 1991. Analisis Butir untuk Instrumen Angket, Tes dan Skala Nilai
dengan Basicnya. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Hadi, Sutrisno. 2000. Metodologi Research. Yogyakarta : Andi Offset.
Hadiyanto. 2004. Mencari Sosok Desentralisasi Manajemen Pendidikan di
Indonesia. Jakarta : Rineka Cipta.
Mulyasa, E. 2003. Manajemen Berbasis Sekolah: Konsep, Strategi, dan Implementasi.
Bandung : Remaja Rosdakarya
Nitisemito, Alex S. 1989. Manajemen: Suatu Dasar dan Pengantar. Jakarta : Ghalia
Indonesia.
Pidarta, Made. 1997. Landasan Kependidikan: Stimulus Ilmu Pendidikan Bercorak
Indonesia. Jakarta : Rineka Cipta.
Prasetiyo, Bambang dan Jannah, Lina Miftahul. 2007. Metode Penelitian
Kuantitatif: Teori dan Aplikasi. Jakarta : Raja Grafindo Persada.
Rasiyo. 2005. Berjuang Membangun Pendidikan Bangsa: Pijar-pijar Pemikiran dan
Tindakan. Malang : Pustaka Kayutangan.
Rosyada, Dede. 2004. Paradigma Pendidikan Demokratis: Sebuah Model Pelibatan
Masyarakat dalam Penyelenggaraan Pendidikan. Jakarta : Kencana.
Soetopo, Hendiyat dan Soemanto, Wasty. 1988. Kepemimpinan dan Supervisi
Pendidikan. Jakarta : Bina Aksara.
Subroto, B. Suryo. 1988. Dimensi-dimensi Administrasi Pendidikan di Sekolah. Jakarta :
Bina Aksara.
Sudjana. 2003. Metode Statistika. Bandung : Tarsito.
Sugiono. 1998. Penelitian Administrasi. Bandung : Alfabeta.
Syamsi, Ibnu. 1994. Pokok-pokok Organisasi & Manajemen. Jakarta : Rineka Cipta.
38|Al-Ibrah|Vol. 4 No. 2 Desember 2019

Tilaar, H.A.R. 2003. Kekuasaan dan Pendidikan: Suatu Tinjauan dari Perspektif Studi
Kultural. Magelang : Indonesia Tera.
Tilaar, H.A.R. 2002. Membenahi Pendidikan Nasional. Jakarta : Rineka Cipta.
Wahjosumidjo. 2007. Kepemimpinan Kepala Sekolah: Tinjauan Teoretik dan
Permasalahannya. Jakarta : Raja Grafindo Persada.
Wuradji. 2009. The Educational Leadership: Kepemimpinan Transformatif. Yogyakarta :
Gama Media.

Anda mungkin juga menyukai