Modul 05
BAB I. PENDAHULUAN 1
A. TUJUAN UMUM 1
B. TUJUAN KHUSUS 1
BAB II. TINDAK PIDANA KORUPSI MATERIIL 7
A. Pengetahuan yang Diperlukan dalam Menjelaskan
Tindak Pidana Korupsi Materiil 7
1. Latar Belakang dan Sejarah Tindak Pidana
Korupsi 7
2. Tindak Pidana Korupsi dalam Peraturan
Perundang-undangan di Indonesia 7
a. Delik Korupsi dalam KUHP 7
b. Peraturan Pemberantasan Korupsi Penguasa
Perang Pusat (Pepperpu) No. Prt/
Peperpu/013/1950 7
c. UU No.24 (PRP) Tahun 1960 tentang Tindak
Pidana Korupsi 8
d. UU No.3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan
tindak Pidana Korupsi 8
e. TAP MPR No. XI/MPR/1998 tentang
Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas
Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme 8
f. UU No.28 Tahun 1999 tentang
Penyelenggara negara yang Bersih dan Bebas
Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme 10
g. UU No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi 10
h. UU No.20 Tahun 2001 tentang Perubahan
atas UU No.31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi 10
i. UU No.30 Tahun 2002 tentang Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi 11
j. UU No.7 Tahun 2006 tentang Pengesahan
United Nation Convention Against
Corruption (UNCAC) 2003 12
k. UU No. 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan
Tindak Pidana Korupsi 12
l. PP No. 71 Tahun 2000 tentang Peran Serta
Masyarakat dan Pemberian Penghargaan
dalam Pencegahan dan Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi 20
m. Inpres No. 5 Tahun 2004 tentang Percepatan
Pemberantasan Korupsi 21
3. Subjek Hukum Tindak Pidana Korupsi 13
a. Manusia (Natuurlijk Persoon) 13
b. Badan Hukum/Korporasi (Rechtspersoon) 14
c. Manusia dan Korporasi Sebagai Subjek Tindak
Pidana Korupsi 14
d. Kriteria Tindak Pidana Korupsi oleh
Korporasi 15
4. Delik Tindak Pidana Korupsi yang Berasal dari
KUHP 15
5. Delik-Delik Tindak Pidana Korupsi 15
6. Delik Lain yang Berkaitan dengan Tindak Pidana
Korupsi 51
7. Sifat Melawan Hukum dalam Tindak Pidana
Korupsi 52
B. Keterampilan yang Diperlukan dalam Menjelaskan
Tindak Pidana Korupsi Materiil 53
C. Sikap Kerja yang Diperlukan dalam Menjelaskan
Tindak Pidana Korupsi Materiil 53
BAB III. TINDAK PIDANA KORUPSI FORMIL 54
A. Pengetahuan yang Diperlukan dalam Menjelaskan
Tindak Pidana Korupsi Formil 54
1. Sistem Peradilan Pidana dalam Perkara
Tindak Pidana Korupsi 54
2. Proses Penuntutan dalam Tindak Pidana
Korupsi 59
3. Pengesahan Undang-Undang Nomor 7 Tahun
2006 Sebagai Ratifikasi dari United Nation
Convention Against Corruption (UNCAC)
dan Implikasinya terhadap Hukum Positif 63
4. Perlindungan Saksi Pelapor dalam Sistem
Peradilan Pidana Tindak Pidana Korupsi 64
B. Keterampilan yang Diperlukan dalam Menjelaskan
Tindak Pidana Korupsi Formil 67
C. Sikap Kerja yang Diperlukan dalam Menjelaskan
Tindak Pidana Korupsi Formil 67
BAB IV. KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI 68
A. Pengetahuan yang Diperlukan dalam Menjelaskan
Komisi Pemberantasan Korupsi 68
1. Dasar dan Tujuan Pembentukan Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) 68
2. Ruang Lingkup Tugas dan Wewenang KPK 69
3. Susunan Organisasi KPK 71
4. Hambatan dan Tantangan bagi KPK dalam
Pemberantasan Korupsi di Indonesia 75
D. Keterampilan yang Diperlukan dalam Menjelaskan
Komisi Pemberantasan Korupsi 76
E. Sikap Kerja yang Diperlukan dalam Menjelaskan
Komisi Pemberantasan Korupsi 76
DAFTAR REFERENSI 77
TENTANG PENULIS 80
DAFTAR ALAT DAN BAHAN 81
BAB I. PENDAHULUAN
A. TUJUAN UMUM
Setelah mempelajari modul ini, peserta latih diharapkan mampu menjelaskan tentang tindak
pidana korupsi dan Komisi Pemberantasan Korupsi.
B. TUJUAN KHUSUS
Sumber: Gandjar Laksmana Bonaprapta, “Tindak Pidana Korupsi dalam Peraturan Perundang-Undangan di Indonesia” dalam
Kemenristekdikti, Pendidikan Anti-Korupsi untuk Perguruan Tinggi, (Jakarta: Kemenristekdikti, 2011: 129).
Penjelasan Pasal 2
1. Yang dimaksud dengan “secara melawan hukum” dalam Pasal ini mencakup perbuatan melawan
hukum dalam arti formil maupun dalam arti materiil, yakni meskipun perbuatan tersebut tidak dia-
tur dalam peraturan perundang-undangan, namun apabila perbuatan tersebut dianggap tercela ka-
rena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan sosial dalam masyarakat, maka
perbuatan tersebut dapat dipidana. Dalam ketentuan ini, kata “dapat” sebelum frasa “merugikan
keuangan atau perekonomian negara” menunjukkan bahwa tindak pidana korupsi merupakan delik
Pasal 5
(1) Dipidana dengan pidana penjara paling sing-
kat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima)
tahun dan/atau pidana denda paling sedikit
Rp50.000.000,- (lima puluh juta rupiah) dan
paling banyak Rp250.000.000,- (dua ratus
lima puluh juta rupiah) setiap orang yang:
3 Pegawai negeri atau pe- Pegawai negeri telah dijelaskan sebelumnya. Sedangkan pe-
nyelenggara negara nyelenggara negara menurut UU No. 28 Tahun 1999 meli-
puti:
• Pejabat Negara pada Lembaga Tertinggi Negara
• Pejabat Negara pada Lembaga Tinggi Negara
• Menteri
• Gubernur
• Hakim
• Pejabat Negara lain sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku, dan
• Pejabat lain yang memiliki fungsi strategis dalam kaitan-
nya dengan penyelenggaraan negara sesuai dengan ke-
tentuan perundang-undangan yang berlaku.
Rumusan unsur pada Pasal 5 tersebut mungkin akan sedikit membingungkan karena mirip. Pada
dasarnya Pasal 5 ayat (1) adalah delik korupsi yang disebut “memberi suap”, sedangkan Pasal 5 ayat (2) adalah
delik korupsi yang disebut “menerima suap”. Kemudian dalam Pasal 5 ayat (1) pula dijumpai dua bentuk per-
buatan memberi suap sebagaimana diatur dalam huruf a dan huruf b, di mana huruf a adalah suap sebelum
berbuat atau tidak berbuat, sedangkan huruf b adalah suap setelah berbuat atau tidak berbuat. Perbedaan
utama keduanya dapat dilihat dalam tabel berikut.
Pasal 5 ayat (1), baik untuk huruf a maupun huruf b, dapat dikategorikan sebagai perbuatan suap
aktif (perbuatan memberi suap) karena pelaku deliknya adalah seseorang selain pegawai negeri atau pe-
nyelenggara negara. Berikutnya dapat dijumpai ketentuan pada Pasal 5 ayat (2) yang merupakan suap pasif
karena pelaku deliknya adalah pegawai negeri atau penyelenggara negara.
b. Pasal 6
Sekilas terdapat kemiripan antara struktur Pasal 6 dengan Pasal 5 yang telah dibahas sebelumnya.
Pasal 6 ayat (1) huruf a adalah suap kepada hakim, Pasal 6 ayat (1) huruf b adalah suap kepada advokat, dan
Pasal 6 ayat (2) adalah penerima suap yang merupakan seorang hakim atau advokat.
Pasal 6
1. Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun
dan pidana denda paling sedikit Rp150.000.000,- (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak
Rp750.000.000,- (tujuh ratus lima puluh juta rupiah) setiap orang yang:
a. memberi atau menjanjikan sesuatu kepada hakim dengan maksud untuk mempengaruhi pu-
tusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili, atau
b. memberi atau menjanjikan sesuatu kepada seseorang yang menurut ketentuan peraturan pe-
rundang-undangan ditentukan menjadi advokat untuk menghadiri sidang pengadilan dengan
maksud untuk mempengaruhi nasehat atau pendapat yang akan diberikan berhubung dengan
perkara yang diserahkan kepada pengadilan untuk diadili.
2. Bagi hakim yang menerima pemberian atau janji sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a
atau advokat yang menerima pemberian atau janji sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b,
dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
c. Pasal 11
Pasal 11
Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan/atau
pidana denda paling sedikir Rp50.000.000,- (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp250.000.000,-
(dua ratus lima puluh juta rupiah) pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau
janji padahal diketahui atau patut diduga, bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan karena kekuasaan atau
kewenangan yang berhubungan dengan jabatannya atau yang menurut pikiran orang yang memberikan hadiah
atau janji tersebut ada hubungan dengan jabatannya.
Pasal ini ditarik langsung dari Pasal 418 KUHP. Sedangkan terdapat beberapa yurisprudensi terkait Pasal 418
KUHP, yaitu sebagai berikut:
1) Arrest Hoge Raad 10 April 1893, W. 6333
“Adalah tidak perlu bahwa pemberian itu diterima oleh si pegawai negeri di dalam sifatnya sebagai pegawai
negeri.”
2) Putusan Mahkamah Agung No. 50 K/Kr/1960, 13 Desember 1960
“Undang-undang atau hukum tidak mengenal ketentuan, bahwa apabila seorang pegawai negeri dituduh me-
lakukan kejahatan yang dimaksud oleh Pasal 418 KUHP, maka orang yang memberi kepada pegawai negeri
itu harus dituntut lebih dahulu atas kejahatan tersebut di Pasal 209 KUHP.”
3) Putusan Mahkamah Agung No. 77 K/Kr/1973, 19 November 1974
“Terdakwa dipersalahkan melakukan korupsi c.q. menerima hadiah, walaupun menurut anggapannya uang
yang diterima itu dalam hubungannya dengan kematian keluarganya, lagipula penerima barang-barang itu
bukan terdakwa melainkan istri atau anak-anak terdakwa.”
d. Pasal 12 huruf a
Pasal 12 huruf a
Dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling
lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 200.000.00,- (dua ratus juta rupiah) dan paling
banyak Rp 1.000.000.000,- (satu miliar rupiah):
a. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau
patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk menggerakkan agar melakukan atau
tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya.
f. Pasal 12 huruf c
Pasal 12 huruf c
Dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling
lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp200.000.00,- (dua ratus juta rupiah) dan paling
banyak Rp1.000.000.000,- (satu miliar rupiah)
c. Hakim yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji
tersebut diberikan untuk mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili.
g. Pasal 12 huruf d
Pasal 12 huruf d
Dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling
lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp200.000.00,- (dua ratus juta rupiah) dan paling
banyak Rp1.000.000.000,- (satu miliar rupiah)
d. seseorang yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan ditentukan menjadi advokat untuk
menghadiri sidang pengadilan, menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa
hadiah atau janji tersebut unutk mempengaruhi nasehat atau pendapat yang akan diberikan, berhubung
dengan perkara yang diserahkan kepada pengadilan untuk diadili.
Penjelasan Pasal 12 huruf d
Yang dimaksud dengan “advokat” adalah orang yang berprofesi memberi jasa hukum baik di dalam maupun di luar
pengadilan yang memenuhi persyaratan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
i. Pasal 15
Pasal 15
Setiap orang yang melakukan percobaan, pembantuan, atau permufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana
korupsi, dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 5, sampai
dengan Pasal 14.
Tabel Unsur Pasal 15
Yurisprudensi
1) Arrest Hoge Raad 27 Juli 1938, 1939 No. 123
“Bagi seorang pegawai kantor pos, benda-benda post seperti perangko, meterai, kartu pos, dan sebagainya
itu merupakan surat-surat berharga. Berdasarkan undang-undang pos, benda-benda tersebut diperuntukkan
guna membayar beberapa hak dan kewajiban tertentu, sehingga di dalam peredarannya benda-benda terse-
but mempunyai suatu fungsi, yang disebut sebagai kertas berharga.”
2) Putusan Mahkamah Agung No. 73 K/Kr/1956, 23 Maret 1957
“Dipergunakannya sejumlah uang oleh pegawai negeri untuk pos lain daripada yang telah ditentukan, meru-
pakan kejahatan penggelapan termaksud Pasal 415 KUHP.”
c. Pasal 10 huruf a
4 Barang, akta, surat, atau daf- Objek kejahatan ini adalah terbatas
tar pada barang, akta, surat, atau daftar
saja
5 Yang digunakan untuk me- Objek yang dihancurkan, dirusak, atau
yakinkan atau membuktikan menjadi tidak dapat dipakai itu adalah
di muka pejabat yang ber- objek yang digunakan untuk meyakin-
wenang kan atau pembuktian penting di hada-
pan pejabat
6 Yang dikuasai karena Objek barang, akta, surat, atau daf-
jabatannya tar ada di tangan pelaku kejahatan ini
karena jabatannya dan bukan karena
sebab lain
7 Untuk mempengauhi nasihat Unsur ini terkait dengan unsur mak-
atau pendapat yang akan sud, yaitu bahwa pemberian atau janji
diberikan dihubungkan dengan itikad pemberi
yang menginginkan agar penerima
mengikuti kehendaknya.
e. Pasal 10 huruf c
3 Membantu orang lain meng- Unsur ini pada dasarnya sama dengan
hancurkan, menghilangkan, unsur Ps. 10 huruf b kecuali penam-
merusakkan, atau membuat bahan unsur membantu, yaitu dengan
tidak dapat dipakai sengaja memberikan kesempatan, sa-
rana, atau keterangan sebelum keja-
hatan dilakukan maupun perbuatan
apapun yang bersifat tidak mengha-
langi terjadinya suatu kejahatan pada
saat sedang terjadi
4 Barang, akta, surat, atau (telah dijelaskan pada bagian terda-
daftar hulu)
a. Pasal 12 huruf e
Pasal 12 huruf e
Dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling
lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp200.000.00,- (dua ratus juta rupiah) dan paling
banyak Rp1.000.000.000,- (satu miliar rupiah)
e. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang
lain secara melawan hukum, atau dengan menyalahgunakan kekuasaanya memaksa seseorang memberi-
kan sesuatu, membayar, atau menerima pembayaran dengan potongan, atau untuk mengerjakan sesuatu
bagi dirinya sendiri.
Yurisprudensi atas Pasal 425 ke-1, Putusan Mahkamah Agung No. 25 K/Kr/1955
“Salah satu unsur dari Pasal 425 ke-1 KUHP adalah menjalankan perbuatan itu di dalam jabatannya. Karena
pembuatan daftar penerimaan uang dan pembayaran gaji orang-orang yang dimintai uang oleh terdakwa itu
bukanlah tugas terdakwa sebagai klerek pada Jawatan Pengajaran Daerah, akan tetapi menjadi tugas dari
Kepala Sekolah Rakyat yang bersangkutan, sedang terdakwa hanya dimintai bantuan, maka permintaan uang
tersebut tidak dilakukan terdakwa dalam jatabannya.”
c. Pasal 12 huruf g
Pasal 12 huruf g
Dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling
lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp200.000.00,- (dua ratus juta rupiah) dan paling
banyak Rp1.000.000.000,- (satu miliar rupiah)
5) Perbuatan Curang
a. Pasal 7 ayat (1) huruf a
Tabel Unsur Pasal 7 ayat (1) huruf b
f. Pasal 12 huruf h
Pasal 12 huruf h
Dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling
lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp200.000.00,- (dua ratus juta rupiah) dan paling
banyak Rp1.000.000.000,- (satu miliar rupiah)
h. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang pada waktu menjalankan tugas, telah menggunakan tanah
negara yang di atasnya terdapat hak pakai, seolah-olah sesuai dengan peraturan perundang-undangan,
telah merugikan orang yang berhak, padahal diketahuinya bahwa perbuatan tersebut bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan.
Pasal 12B
(1) Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap pemberian suap, apabila
berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya, dengan ketentuan
sebagai berikut:
a. yang nilainya Rp10.000.000,- (sepuluh juta rupiah) atau lebih, pembuktian bahwa gratifikasi tersebut
bukan merupakan suap dilakukan oleh penerima gratifikasi;
b. yang nilainya kurang dari Rp10.000.000,- (sepuluh juta rupiah), pembuktian bahwa gratifikasi tersebut
suap dilakukan oleh penuntut umum.
(2) Pidana bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah pi-
dana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua
puluh) tahun, dan pidana denda paling sedikit Rp200.000.000,- (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak
Rp1.000.000.000,- (satu miliar rupiah).
Catatan penting dalam jenis tindak pidana korupsi ini adalah bahwa gratifikasi hanya ditujukan ke-
pada pegawai negeri atau penyelenggara negara sebagai penerima suatu pemberian. Selain itu sifat pidana
gratifikasi akan hapus dengan dilaporkannya penerimaan gratifikasi itu oleh pegawai negeri atau penye-
lenggara negara kepada KPK dalam jangka waktu 30 hari sejak tindakan yang diduga gratifikasi tersebut
diterima. Setelah laporan diterima, maka dalam 7 hari KPK akan menentukan apakah pemberian tersebut
gratifikasi atau bukan.
Lantas yang menjadi pertanyaan terpenting adalah, bagaimana menentukan suatu pemberian adalah
gratifikasi atau bukan? Kuncinya adalah keikhlasan. Misalnya kita memberi kepada pengemis apakah ikhlas?
Bisa jadi ikhlas dan jumlah pemberian pun bervariasi dengan jumlah Rp500,- sampai Rp10.000,- misalnya.
Tapi sangat jarang dan bahkan hampir tidak ada yang memberi pengemis Rp100.000,- dengan ikhlas. Ber-
beda halnya ketika datang ke perkawinan teman, mungkin pemberian Rp100.000,- lazim dijumpai, karena
diberikan kepada teman sendiri. Berbeda juga ketika datang ke perkawinan atasan atau boss, bisa jadi jum-
lahnya meningkat hingga Rp500.000,- dan tidak lupa menyelipkan kartu nama supaya tahu siapa pemberinya.
Ini erat kaitannya dengan kepentingan.
Kunci memahami gratifikasi sebenarnya bukan pada besaran nilainya melainkan pada konteks pem-
berian dan hubungan antara pemberi dan penerima. Begitu ada indikasi conflict of interest dapat menjadi
suap dan gratifikasi. Meskipun demikian dalam beberapa momentum tertentu KPK masih memberikan
kelonggaran untuk menghargai kearifan lokal turun temurun, terutama tradisi memberikan sesuatu saat ada
teman atau kerabat menggelar hajatan (pesta pernikahan, masa berkabung, dsb.) di mana pemberian masih
diperbolehkan asalkan nilainya di bawah Rp1.000.000,-. Sebagai catatan, ketentuan ini tercantum dalam
Pedoman Pengendalian Gratifikasi KPK yang diterbitkan pada bulan Juni 2015. (KPK, 2015)
Catatan penulis terhadap kebijakan dari KPK tersebut adalah apabila ditemui adanya pemberian di
atas Rp1.000.000,- (katakanlah Rp5.000.000,-) maka KPK akan menyita Rp4.000.000,- dan mengembalikan
sisanya kepada penerima. Menurut hemat penulis, praktik yang demikian tidaklah tepat. Dengan demikian
apabila memang ingin ikhlas memberi tanpa adanya kepentingan tertentu, maka hanya ada dua cara. Perta-
ma, memberi dengan jumlah di bawah Rp1.000.000,- atau Kedua, memberi dengan jumlah berapapun tanpa
Perse- Menyerahkan barang ke- Penjara min. 2 Pengawas dan penerima bahan/ba-
orangan perluan TNI atau POLRI, tahun max. 7 rang yang membiarkan terjadinya
atau secara curang, yang dapat tahun; denda perbuatan curang tersebut juga
Korporasi membahayakan keselama- min. Rp100 Pasal 7 dipidana
tan negara dalam keadaan juta max.
perang Rp350 juta
Menggelapkan uang atau Penjara min. 3
surat berharga, atau mem- tahun max. 15
biarkan barang tersebut tahun; denda
diambil/ min. Rp150 Pasal 8
digelapkan, atau membantu juta max.
mengambil/mengggelapkan Rp750 juta
1. Menjelaskan sistem peradilan pidana dalam perkara tindak pidana korupsi sesuai ketentuan yang ber-
laku.
2. Menjelaskan proses penuntutan dalam tindak pidana korupsi sesuai ketentuan yang berlaku.
3. Menjelaskan Pengesahan UNCAC dan im-plikasinya terhadap hukum positif dengan rinci.
4. Menjelaskan Perlindungan saksi pelapor dalam sistem peradilan pidana tindak pidana korupsi dengan
rinci.
C. Sikap Kerja yang Diperlukan dalam Menjelaskan Tindak Pidana Korupsi Formil
1. Harus cermat dan teliti dalam menjelaskan tindak pidana korupsi formil.
2. Harus berpikir analitis serta evaluatif
4. Hambatan dan Tantangan bagi KPK 2002 justru menghambat pembentukan bidang-
dalam Pemberantasan Korupsi di bidang baru yang dibutuhkan untuk menjawab
Indonesia tantangan pemberantasan korupsi dan perkem-
Pemberantasan korupsi adalah upaya bangan modus operandi korupsi. Sebab, peru-
yang mengusik zona nyaman. Maka dari itu bahan dan/atau penambahan harus melalui revisi
dalam kurun waktu 15 tahun sejak KPK didi- undang-undang yang notabene membutuhkan
rikan, sering kali upaya pemberantasan korupsi waktu lama. Hal inilah yang berpotensi menjadi
oleh KPK menemui berbagai hambatan dan tan- hambatan bagi KPK dalam upaya pemberantasan
tangan. Berikut adalah beberapa hambatan dan korupsi.
tantangan pemberantasan korupsi oleh KPK.
a. Bidang dan Subbidang Organisasi KPK b. Pergeseran Peran dan Fungsi Tim Pe-
yang Diatur Rigid dalam UU KPK nasihat KPK
Di dalam tubuh KPK, terdapat 4 bidang KPK memiliki kewenangan untuk men-
yang dibawahi oleh Pimpinan KPK, yaitu Bidang gangkat Tim Penasihat. Tim Penasihat ini ber-
Pencegahan, Bidang Penindakan, Bidang Informa- fungsi memberikan nasihat dan pertimbangan
si dan Data, serta Bidang Pengawasan Internal sesuai dengan kepakarannya kepada KPK dalam
dan Pengaduan Masyarakat. Bidang-bidang terse- pelaksanaan tugas dan wewenang Komisi Pem-
but juga membawahkan masing-masing bebera- berantasan Korupsi. Latar belakang Tim Penasi-
pa sub-bidang yang diatur secara eksplisit oleh hat bersifat terbuka dan ditentukan sesuai kebu-
UU No. 30 Tahun 2002. Di satu sisi, dengan dia- tuhan KPK. Pada asal mula pembentukannya,Tim
turnya bidang-bidang dan sub-bidang tersebut Penasihat dirancang tidak menjadi bagian dari
secara eksplisit dapat menjadi payung hukum struktur tetap organisasi KPK dengan fungsi se-
bagi struktur organisasi KPK. Namun, di sisi lain bagai suatu forum yang bersifat situasional. Jus-
pengaturan secara rigid dalam UU No. 30 Tahun tru pada kenyataannya, UU mengatur kedudukan
Peraturan Perundang-undangan
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum
Acara Pidana (KUHAP).
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan.
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia.
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-
Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi.
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat.
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia.
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006 tentang Pengesahan “United Nations
Convention Against Corruption, 2003” (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti Korupsi,
2003).
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 46 Tahun 2009 Tentang Pengadilan Tindak Pidana
Korupsi.
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Gandjar Laksmana Bonaprapta Bondan, lahir di Pekalongan, 9 Februari 1971. Memperoleh gelar Sar-
jana dan Magister di Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Gandjar pun mengabdikan dirinya pada
almamater dengan menjadi pengajar hukum pidana selama kurang lebih 21 tahun, di mana dalam
kurun waktu tersebut tidak kurang dari 19 tahun digunakan untuk mengajar hukum tindak pidana ko-
rupsi. Selain itu Gandjar juga mengasuh mata kuliah asas-asas hukum pidana, penerapan asas hukum
pidana, dan kapita selekta hukum pidana yang juga membahas materi tindak pidana pencucian uang.
Selain aktif mengajar di kampus dan juga di diklat KPK, Gandjar juga mendirikan CLEAR (Center for
Legislacy, Empowerment, Advocacy, and Research) pada tahun 2009, yaitu sebuah organisasi nirlaba yang
bergerak di bidang kajian dan penelitian hukum dengan berfokus pada peningkatan kapasitas sumber
daya manusia melalui pengetahuan di bidang hukum yang disampaikan secara sederhana dan mudah
dipahami awam. Saat ini Gandjar menjabat sebagai Chairman CLEAR.