Anda di halaman 1dari 17

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Bagi negara Indonesia, pemungutan pajak bukan merupakan hal baru, apalagi
kalau kita melakukan flash back, bahwa sejak bangsa Indonesia di bawah
kekuasaan penjajah, pajak sudah dipungut oleh pemerintah yang berkuasa. Hanya
saja tujuan pemungutan pajak pada masa penjajajahan adalah berbeda dengan
pemungutan pajak pada masa setelah Indonesia merdeka, namun demikian
penerimaan masyarakat atas kebijakan pemungutan pajak memerlukan waktu yang
cukup panjang, di mana masyarakat menjadi faham bahwa pembayaran pajak
merupakan salah satu yang diperlukan bagi usaha untuk mencapai kemakmuran
bangsa.
Pajak merupakan salah satu sumber pemasukan kas negara yang pada akhirnya
dipergunakan untuk pembangunan dengan tujuan akhir kesejahteraan dan
kemakmuran rakyat. Pajak merupakan suatu kewajiban yang harus dibayar oleh
setiap warga negara untuk ikut bertanggung jawab memikul beban pembangunan
demi kemajuan bangsa ini. Namun tidak dapat dipungkiri bahwa dengan
meningkatnya jumlah wajib pajak dan penanggung pajak, serta pemahaman akan
hak dan kewajibannya dalam melaksanakan peraturan perundang-undangan
perpajakan, dapat memicu semakin meningkatnya pula potensi timbulnya sengketa
pajak dimana memerlukan penyelesaian yang adil dengan proses yang cepat,
sederhana dan biaya ringan, karena itu diperlukan suatu sarana untuk
menyelesaikan sengketa pajak, yaitu melalui Pengadilan Pajak, dimana pengajuan
tuntutan hak melalui Pengadilan Pajak merupakan salah satu bentuk upaya hukum
sebagai wujud implementasi perlindungan hukum bagi wajib pajak dan penanggung
pajak. 1
Sebelum pengadilan pajak berdiri, media yang digunakan untuk menyelesaikan
sengketa pajak adalah Majelis Pertimbangan Pajak (MPP) yang kemudian
digantikan oleh Badan Penyelesaian Sengketa Pajak (BPSP) berdasarkan Undang-
undang Nomor 17 Tahun 1997 tentang Badan Penyelesaian Sengketa Pajak.
Pembentukkan BPSP ini tidak terlepas dari panjangnya proses penyelesaian
sengketa pajak sebelumnya, yang mengikuti ketentuan Undang-undang No. 5
tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, yaitu ditempuh melalui Majelis
Pertimbangan Pajak (MPP) yang dikatagorikan sebagai Banding Administratif
dalam sistem Peradilan Tata Usaha Negara. Walaupun Badan Penyelesaian
Sengketa Pajak (BPSP) telah didirikan pada Tahun 1998, kebutuhan untuk
mendirikan badan peradilan seperti Pengadilan Pajak yang sekarang tetap ada hal
ini tercermin dalam butir-butir pertimbangan pada Undang-undang Pengadilan
Pajak Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak, dikatakan bahwa
pelaksanaan penyelesaian sengketa pajak melalui BPSP masih terdapat
ketidakpastian hukum yang dapat menimbulkan ketidakadilan, disamping itu BPSP
belum merupakan badan peradilan yang berpuncak di Mahkamah Agung (MA),
karena dalam sistem peradilan pajak ini MA tidak berwenang untuk menyelesaikan
1
https://ojs.unud.ac.id/index.php/jiab/article/view/16539 diakses pada tanggal 1 Mei 2018 pukul 20:48 WIB
sengketa pajak, oleh sebab itulah diperlukan suatu pengadilan pajak yang sesuai
dengan sistem kekuasaan kehakiman di Indonesia dan mampu menciptakan
keadilan dan kepastian hukum di Indonesia. Undang-undang No. 17 tahun 1997
tentang Badan Penyelesaian Sengketa Pajak dianggap banyak mengandung
kelemahan baik karena pengaturannya dirasakan tidak adil dan kurang memberikan
kepastian hukum maupun karena adanya keinginan pemerintah untuk menampung
aspirasi masyarakat yang menghendaki agar syarat banding tidak harus melunasi
seluruh hutang pajak (Asmara, 2006). Untuk memenuhi harapan ini pada tanggal
12 April 2002, Presiden mengesahkan Undang-undang No. 14 Tahun 2002 tentang
Pengadilan Pajak yang diundangkan dalam Lembaran Negara RI Tahun 2002 No.
27.

B. Identifikasi Masalah
1. Bagaimana hukum acara dalam mengatasi masalah sengketa pajak berdasarkan
majelis pertimbangan pajak ?
2. Bagaimana hukum acara dalam penyelesaian sengketa pajak berdasarkan
undang-undang nomor 17 tahun 1997 tentang Badan Penyelesaian Sengketa
Pajak ?
3. Bagaimana hukum acara dalam penyelesaian sengketa pajak berdasarkan
undang-undang nomor 14 tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak ?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui peran majelis pertimbangan pajak dalam mengatasi masalah
sengketa pajak.
2. Untuk mengetahui hukum acara pajak dalam penyelesaian sengketa pajak
berdasarkan undang-undang nomor 17 tahun 1997 tentang Badan Penyelesaian
Sengketa Pajak.
3. Untuk mengetahui hukum acara dalam penyelesaian sengketa pajak
berdasarkan undang-undang nomor 14 tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak.

BAB II
PEMBAHASAN

1. Hukum Acara Dalam Penyelesaian Sengketa Pajak Berdasarkan Majelis


Pertimbangan Pajak
Majelis Pertimbangan Pajak adalah sebuah badan peradilan administrasi
bidang perpajakan, oleh karenanya pengambilan sumpah oleh badan
eksekutif dinilai tidak sesuai, sehingga ordonansi mengenai pendirian MPP
perludiubah dengan Undang-Undang No. 5 Tahun 1959 (L.N No. 13 Tahun1959)
khususnya pasal 4 di mana kata Gouverneur der ProvincieWest Java diganti
dengan Ketua Mahkamah Agung.2
a. Mengajukan Gugatan

Sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tetantang


Peradilan Tata Usaha Negara semua putusan MPP dianggap sebagai keputusan
Badan/Lembaga Banding Administratif, bukan sebagai putusan Badan Peradilan
Administratif, sehingga putusannya dapat diuji keabsahannya oleh Peradilan Tata
Usaha Negara, akibatnya proses penyelesaian sengketa pajak menjadi lebih
panjang.

Kondisi tersebut kemudian melahirkan ide untuk menegaskan MPP


sebagai badan peradilan administrasi dibidang perpajakan, dengan cara
merumuskannya ke dalam Pasal 27 ayat (1), ayat (2) dan ayat (4) Undang-
Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun
1994 yaitu :

 Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan banding hanya kepada badan


peradilan pajak terhadap keputusan mengenai keberatan yang ditetapkan
oleh Direktur Jenderal Pajak.
 Sebelum badan peradilan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dibentuk, permohonan banding diajukan kepada Majelis Pertimbangan
Pajak, yang putusannya bukan merupakan keputusan Tata Usaha Negara.

 Putusan Badan Peradilan Pajak merupakan putusan akhir dan bersifat


tetap.3

b. Pembuktian di Muka Sidang Majelis Pertimbangan Pajak


Untuk proses yang dilakukan MPP, tidak ada ketentuan yang
mengindikasikan ajaran pembuktian yang mana yang dianut, dalam hal ini

2
https://peskano.wordpress.com/2015/04/03/pengadilan-pajak-di-indones/ diakses pada tanggal 1 Mei 2018
pukul 21:05 WIB

3
https://taxcourt.wordpress.com/2009/12/19/lembaga-penyelesaian-sengketa-pajak/ di akses pada tanggal 1 mei
2018 pukul 21:13
proses yang dilakukan MPP menganut "Vrije bewijs/eer" (ajaran bukti /
pembuktian bebas), berarti majelis tidak terikat pada ketentuan-ketentuan
manapun yang mengatur masalah pembuktian (seperti Buku IV BVV,• HIR Pasal
162 dan seterusnya, atau R.Bg. Pasal 283 dan seterusnya; dan lain-lain).4
Majelis bebas untuk memilih alat-alat bukti dan bebas pula dalam menilai
alat-alat bukti tersebut, terserah kepada majelis bagaimana dan dengan dasar-
dasar apa ia hendak mendapatkan keyakinan tentang peristiwa dan keadaan.
Majelis juga tidak terikat pada macam-macam bukti sebagaimana yang
ditentukan dalam Pasal 164 HIR; walaupun demikian tidak berarti majelis juga
bebas untuk menetapkan beban pembuktian.
Di dalam penyelesaian sengketa/perkara pajak lazimnya dianut prinsip
bahwa pembuktian harus dilakukan oleh pihak yang paling mudah membuktikan.
Bila seorang wajib pajak mengajukan banding karena pajak yang ditetapkan
dalam surat ketetapan pajak itu tidak disetujui wajib pajak disebabkan
administrasi pajak menyimpang dari surat pemberitahuan maka pada prinsipnya
administrasi pajak yang harus membuktikan bahwa surat ketetapan pajak yang
dikeluarkannya itu benar, dengan syarat bahwa wajib pajak tersebut telah
memenuhi kewajibannya, yaitu:
a. Memasukkan SPT dengan peraturan perundang-undangan pajak yang
berlaku;
b. Memperlihatkan buku, catatan atau dokunæn yang diminta pemeriksa pada
waktu dilakukan pemeriksaan;
c. Memberikan keterangan yang diperlukan dan memberi kesempatan kepada
petugas pemeriksa untuk memasuki ruangan yang ada hubungannya
dengan pemeriksaan.
Apabila wajib pajak tidak memenuhi kewajiban tersebut, maka dialah
yang harus membuktikan bahwa jumlah pajak yang terutang dalam SPT yang
benar dan data yang digunakan oleh administrasi pajak yang salah.
c. Pelaksanaan Putusan Majelis Pertimbangan Pajak
Majelis harus memperhatikan bahwa dasar-dasar pertimbangannya dapat
ditemukan dalam putusan dan pemberian alasan yang satu dengan lainnya tidak
boleh bertentangan. Putusan majelis pada umumnya didasarkan pada tiga hal,
yaitu:
a. Fakta yang nyata;
b. Penilaian fakta;
c. Penerapan undang-undang pada fakta tersebut.
Namun ketiga hal tersebut tidak selalu dipertimbangkan secara simultan
pada setiap putusan, karena mungkin para pihak telah mencapai kesesuaian
pendapat mengenai fakta atau penilaian faktanya, sehingga oleh majelis
dipandang benar,
Dalam mempertimbangkan suatu putusan, tidak hanya cukup disebutkan
fakta materialnya namun penting pula diperhatikan fakta formalnya, misalnya

4
Dewi Kania Sugiharti, Perkembangan Peradilan Pajak Di Indonesia, PT Refika Aditama, Bandung, 2005, hlm .46.
salah satu pihak tidak hadir (fakta materii), padahal telah dipanggil sesuai
dengan ketentuan undang-undang (fakta formal).
Bunyi putusan majelis ditentukan pula oleh bukti-bukti yang diajukan.
Putusan tersebut dapat berupa:

a. Surat minta banding dinyatakan tidak dapat diterima (niet ontvakelijk


verklaren), karena tidak memenuhi syarat formal atau prematur;

b. Menyatakan bahwa majelis tidak berwenang memberi putusan;

c. Menolak surat banding;

d. Menerima sebagian atau seluruh surat banding. 21

Putusan Majelis ditandatangani oleh Ketua dan Sekretaris, salinan putusan


dikirimkan kepada pemohon banding dan Dirjen Pajak atau Kepala Daerah yang
menjadi tergugat dalam banding, bergantung kepada apakah pajak tersebut
merupakan pajak pusat ataukah pajak daerah. Putusan tersebut mengikat para
pihak.
2. Hukum Acara Dalam Penyelesaian Sengketa Pajak Berdasarkan Badan
Penyelesaian Sengketa Pajak
Menurut pasal 1 Undang-Undang No. 17 tahun 1997 tentang Badan
Penyelesaian Sengketa Pajak (UUBPSP) ditegaskan bahwa sengketa pajak adalah
sengketa yang menurut peraturan perundang-undangan perpajakan dapat diajukan
banding dan gugatan ke Badan Penyelesaian Sengketa Pajak.
a. Mengajukan Gugatan dan Banding
Gugatan5
1. Gugatan diajukan dengan surat gugatan dalam bahasa Indonesia
kepada Badan Penyelesaian Sengketa Pajak yang daerah hukumnya
meliputi wilayah kerja pejabat yang menerbitkan keputusan yang digugat
dalam jangka waktu 14 (empat belas) hari sejak tanggal diterima
keputusan yang digugat.
2. Jangka waktu tersebut tidak mengikat apabila menurut Badan
Penyelesaian Sengketa Pajak jangka waktu dimaksud tidak dapat
dipenuhi karena di luar kekuasaan penggugat
3. Gugatan diajukan sendiri oleh penggugat dengan disertai alasanalasan
yang jelas, mencantumkan tanggal diterima keputusan yang digugat
serta dilampiri salinan dokumen yang pelaksanaannya digugat.
4. Apabila selama proses gugatan, penggugat meninggal dunia, gugatan
dapat dilanjutkan oleh ahli warisnya, atau pengampunya dalam hal
penggugat pailit.
5. Terhadapgugatan dapat diajukan suratpernyataan pencabutan kepada
Badan Pcnyclesaian Sengketa pajak.
5
Ibid, hlm.52-65.
6. Gugatan yang dicabut dihapus dari daftar sengketa melalui pemeriksaan
dengan acara cepat.
7. Penggugat harus melunasi biaya pendaftaran sebesar RP. (satu juta
rupiah).
8. Biaya pendaftaran disetor ke Kas Negara sebelum gugatan diajukan dan
bukti setoran harus dilampirkan pada surat gugatan.
Banding
1. Banding diajukan dengan surat banding dalam bahasa Indonesia kepada
Badan Penyelesaian Sengketa Pajak yang daerah hukumnya meliputi
wilayah kerja pejabat yang menerbitkan keputusan yang dibanding.
2. Banding diajukan dalam jangka waktu sebagaimana diatur dalam peraturan
perundang-undangan perpajakan yang bersangkutan, dan dalam hal jangka
waktu yang dimaksud tidak diatur, banding diajukan dalam jangka waktu 3
(tiga) bulan sejak tanggal diterima keputusan yang dibanding.
3. Jangka waktu tersebut tidak mengikat apabila menurut Badan Penyelesaian
Sengketa Pajak jangka waktu dimaksud tidak dapat dipenuhi karena
keadaan di luar kekuasaan pemohon banding.
Terhadap satu keputusan diajukan satu surat banding. Banding diajukan
disertai alasan-alasanyang jelas dan mencantumkan tanggal ditcrima surat
Keputusan yang dibandingkan.
Dalam hal banding diajukan terhadap besarnya jumlah pajak yang
terutang, banding hanya dapat cliajukan apabila jumlah pajak yang terutang
dimaksucl telah dibayar lunas. Banding diajukan sendiri oleh pembayar pajak,
ahli warisnya, seorang pengurus, atau kuasa hukumnya.
Apabila selama proses banding, pemohon banding meninggal dunia,
banding dapat dilanjutkan oleh ahli warisnya, kuasa hukum dari ahli warisnya,
atau pengampunya dalam hal pemohon banding pailit.

b. Pemeriksaan
1. Pemeriksaan Dengan Acara Cepat
a. Pemeriksaan dengan acara cepat dilakukan oleh Majelis atau oleh
Anggota Tunggal.
b. Pemeriksaan dengan acara cepat dilakukan terhadap:
1. Sengketa pajak tertentu;
2. Sengketa pajak yang putusannya tidak diambil dalam jangka waktu 1
2 (dua belas) bulan;
3. Tidak dipenuhinya salah satu ketentuan atau kesalahan tulis dan/atau
kesalahan hitung, dalam putusan Badan Penyelesaian Sengketa
Pajak;
4. Surat pernyataan pencabutan banding;
5. Surat pernyataan pencabutan gugatan;
6. Sengketa yang berdasarkan pertimbangan hukum bukan merupakan
wewenang Badan Penyelesaian Sengketa Pajak.
c. Sengketa pajak tertentu:
1. Sengketa pajak yang banding atau gugatannya tidak memenuhi
ketentuan syarat umum pengajuan banding atau gugatan;
2. Banding dengan jumlah pajak yang disengketakan tidak melebihi RP.
1000.000,00 (satu juta rupiah).
d. Perubahan besarnya jumlah pajak yang disengketakan ditetapkan oleh
Menteri.
e. Pemeriksaan dengan acara cepat terhadap sengketa pajak dilakukan
tanpa surat uraian banding atau surat tanggapan dan tanpa surat
bantahan, sedangkan terhadap sengketa pajak tertentu dilakukan tanpa
surat bantahan.
f. Semua ketentuan mengenai pemeriksaan dengan acara biasa berlaku
juga untuk pemeriksaan dengan acara cepat.

c. Pembuktian
1. Alat bukti dapat berupa:
a. Surat atau tulisan;
b. Pengakuan para pihak;
c. Keterangan saksi;
d. Keterangan ahli;
e. Pengetahuan anggota.
2. Keadaan yang telah diketahui oleh umum tidak perlu dibuktikan.
3. Surat atau tulisan sebagai alat bukti terdiri dari :
a. Surat keputusan atau surat ketetapan yang diterbitkan oleh pejabat yang
berwenang;
b. Surat-surat lain atau tulisan yang ada kaitannya dengan banding dan
gugatan.
4. Pengakuan para pihak tidak dapat ditarik kembali, kecuali berdasarkan
alasan yang kuat dan dapat diterima oleh Anggota Sidang.
5. Keterangan saksi dianggap sebagai alat bukti apabila keterangan itu
berkenaan dengan hal yang, dialami, dilihat, atau didengar sendiri oleh saksi.
6. Seorang yang tidak boleh didengar sebagai saksi tidak boleh memberikan
keterangan ahli.
7. Atas permintaan kedua belah pihak atau salah satu pihak atau karena
jabatannya, Ketua Sidang atau Anggota Tunggal dapat menunjuk seorang
atau beberapa orang ahli.
8. Seorang ahli dalam persidangan harus memberi keterangan baik tertulis
maupun lisan, yang dikuatkan dengan sumpah atau janji mengenai hal
sebenarnya menurut pengalaman dan pengetahuannya.
9. Pengetahuan Anggota Sidang adalah hal yang olehnya diketahui dan diyakini
kebenarannya.
10. Anggota Sidang menentukan apa yang harus dibuktikan, beban pembuktian
beserta penelitian pembuktian, dan untuk sahnya pembuktian diperlukan
sekurang-kurangnya dua alat bukti.
d. Pelaksanaan Putusan
1. Putusan Badan Penyelesaian Sengketa Pajak langsung dapat dilaksanakan
dan tidak memerlukan lagi keputusan pejabat yang berwenang, kecuali
ditentukan lain dalam peraturan perundang-undangan yang bersangkutan.
2. Apabila putusan Badan Penyelesaian Sengketa Pajak mengabulkan
sebagian atau seluruh banding, kelebihan pembayaran pajak dikembalikan
dengan ditambah imbalan bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan untuk
selama-lamanya 24 (dua puluh empat) bulan.
3. Salinan putusan Badan Penyelesaian Sengketa Pajak dikirim kepada para
pihak dengan surat ileh Sekretaris dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari
tanggal sejak putusan Badan Penyelesaian Sengketa Pajak diucapkan.
4. Putusan Badan Penyelesaian Sengketa Pajak harus dilaksanakan oleh
pejabat berwenang dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak
tanggal diterima putusan.
Pejabat yang tidak melaksanakan putusan Badan Penyelesaian Sengketa
Pajak dalam jangka waktu tersebut dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan
kepegawaian yang berlaku.

c. Hukum Acara Dalam Penyelesaian Sengketa Pajak Berdasarkan Undang-


Undang Nomor 14 Tahun 2002 Tentang Pengadilan Pajak.
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 mengatur Hukum Acara yang berlaku di
Pengadilan Pajak di dalam Bab IV, mulai Pasal 34 sampai dengan Pasal 93.

a. Mengajukan Gugatan dan Banding


Gugatan
Pasal 1 angka 7 UU No. 14 Tahun 2004 menentukan bahwa yang
dimaksud dengan gugatan adalah upaya hukum yang dapat dilakukan oleh
wajib pajak terhadap pelaksanaan penagihan pajak atau terhadap keputusan
yang dapat diajukan Gugatan berdasarkan peraturan perundangundangan
yang berlaku.
Pasal 31 ayat (3) menentukan Pengadilan Pajak dalam hal gugatan
memeriksa dan memutus sengketa atas pelaksanaan penagihan pajak atau
keputusan pembetulan atau keputusan lainnya seperti pelaksanaan Surat
Paksa, Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan atau Pengumuman
Lelang, keputusan yang berkaitan dengan pelaksanaan Keputusan Perpajakan,
keputusan yang berkaitan dengan Surat Tagihan Pajak (diatur dalam Pasal 23
ayat (2) UU No. 16 Tahun 2000).
Pasal 40 sampai dengan Pasal 43 UU tersebut mengatur syarat-
syarat pengajuan gugatan ke Pengadilan Pajak sebagai berikut:
1. Gugatan diajukan secara tertulis dalam Bahasa Indonesia kepada
Pengadilan Pajak.
2. Jangka waktu untuk mengajukan Gugatan terhadap pelaksanaan penagihan
pajak adalah 14 (empat belas) hari sejak tanggal pelaksanaan penagihan.
3. Jangka waktu untuk mengajukan Gugatan terhadap Keputusan selain
Gugatan terhadap pelaksanaan penagihan pajak adalah 30 (tiga puluh) hari
sejak tanggal diterima Keputusan yang digugat.
4. Jangka waktu tersebut tidak mengikat apabila jangka waktu dimaksud tidak
dapat dipenuhi karena keadaan di Juar kekuasaan penggugat.
5. Perpanjangan jangka waktu diberikan selama 14 (empat belas) hari terhitung
sejak berakhirnya keadaan di luar kekuasaan penggugat tersebut, Terhadap
1 (satu) pelaksanaan penagihan atau 1 (satu) Keputusan diajukan 1 (satu)
Surat Gugatan.
6. Gugatan dapat diajukan Oleh penggugat, ahli warisnya, seorang pengurus,
atau kuasa hukumnya dehgan Wisertaialasan-alasan yang jelas,
mencantumkan tanggal diterima, pelaksanaan penagihan, atau Keputusan
yang digugat dan di lampiri salinan dokumen yang digugat.
7. Apabila selama proses Gugatan, penggugåt meninggal dunia, gugatan
dapat dilanjutkan oleh ahli warisnya, atau penggampunya dalam hal
penggugat pai lit.
8. Apabila selama proses Gugatan, penggugät melakukan penggabungan,
peleburan, pemecahäh/pemekaran usaha, atau likuidäsi, permohonan
dimaksud dapat dilanjutkan oleh pihak yang menerima pertanggungjawaban
karena penggabungan, peleburan; pemecahan/pemekaran usaha, atau
likuidasi dimaksud.
9. Terhadap Gugatan tersebut dapat diajukan surat pernyataan pencabutan
kepada Pengadilan Pajak.
10. Gugatan yang dicabuttersebut dihapus dari daftar sengketa dengan:
a. Penetapan Ketua dalam hal surat pernyataanpencabutandiajukan
sebelum sidang dilaksanakan;
b. Putusan Majelis/Hakim Tunggal melalui pemeriksaandalam hal surat
pernyataan pencabutan djajukan setelah sidang atas persetujuan
tergugat.
11. Gugatan yang telah dicabut melalui penetapan atau putusan tidak dapat
diajukan kembali.
12. Gugatan tidak menunda atau menghalangi dilaksanakannya penagihan
Pajak atau Kewajiban perpajakan.
13. Penggugat dapat mengajukan permohonan agar tindak lanjut Pelaksanaan
penagihan Pajak ditundä selama Pemehiksaan Sengketa Pajak sedang
berjalan, sampai ada putusan Pengadilan Pajak.
14. Permohonan tersebut dapat diajukan sekaligus dalam Gugatan dan dapat
diputus terlebih dahulu dari pokok sengketanya.
15. Permohonan penundaan dapat dikäbulkan hanya apabila terdapat keadaan
yang sangat mendesak yang mengakibatkan kepentingan penggugat sangat
dirugikan jikä pelaksanaan penagihan Pajak yang digugat itu dilaksanakan.
Banding
Pasal 1 angka 6 Undang-undang No. 14 Tahun 2002 menentukan yang
dimaksud dengan banding adalah upaya hukum yang dapat dilakukan oleh Wajib
Pajak atau penanggung Pajak terhadap suatu keputusan yang dapat diajukan
Banding, berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku.
Pasal 31 ayat (2) UU tersebut menentukan bahwa pengadilan pajak
dalam hal banding hanya memeriksa dan memutus sengketa pajak atas
keputusan keberatan. Dihubungkan dengan UU No, 16 Tahun 9000 tentang
Ketentuan Umum dan Tatacara Perpajakan, dalam Pasal 25 disebutkan bahwa
keberatan hanya dapåt diajukan kepada Direktur Jenderal Pajak atas suatu :
a. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar;
b. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan;
c. Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar;
d. Surat Ketetapan Pajak Nihil;
e. Pemotongan atau Pemungutan oleh pihak ketiga.

Apabila Wajib Pajak telah menerima surat keputusan atas keberatan


tersebut tetapi masih merasa tidak puas dengan surat keputusan tersebut maka
dia dapat mengajukan banding kepada Pengadilan Pajak.
Pasal 35 sampai dengan Pasal 39 menentukan tentang syarat-syarat
pengajuan banding ke Pengadilan Pank sebagai berikut:
1. Banding diajukan dengan surat Banding dalam Bahasa Indonesia Kepada
Pengadilan Pajak.
2. Banding diajukan dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan seJak tanggal diterima
Keputusan yang dibanding, kecuali diatur lain dalam peraturan perundang-
undangan perpajakan.
3. Jangka waktu sebagaimana dimaksud di atas tidak mengikat apabila jangka
waktu dimaksud tidak dapat dipenuhi karena keadaan di luar kekuasaan
pemohon banding.
4. Terhadap 1 (satu) Keputusan diajukan 1 (satu) Surat Banding.
5. Banding diajukan dengan disertai alasan - alasan yang jelas, dan
dicantumkan tanggal diterima surat keputusan yang dibanding.
6. Pada Surat Banding dilampirkan salinan Keputusan yang di banding
7. Dalam hal Banding diajukan terhadap besarnya jumlah pajak yang terutang,
Banding hanya dapat diajukan apabila jumlah pajak terutang dimaksud
telah dibayar sebesar 50% (lima puluh persen).
8. Banding dapat diajukan oleh Wajib Pajak, ahli warisnya, seorang pengurus,
atau kuasa hukumnya.
9. Apabila selama proses Banding, pemohon Banding meninggal dunia,
Banding dapat dilanjutkan oleh ahli warisnya, kuasa hukum dari ahli
warisnya, atau pengampunya dalam hal pemohon Banding pailit.
10. Apabila selama proses Banding pemohon Banding melakukan
penggabungan, peleburan, pemecahän/pemekarän usaha, atau likuidasi,
permohonan dimaksud dapat dilanjutkan oleh pihak yang menerima
pertanggungjawaban karena penggabungan, peleburan, pemecahan/
pemekaran usaha, atau likuidasi.
11. Pemohon Banding dapat melengkapi Surat Bandingnya untuk memenuhi
ketentuan yang berlaku sepanjang masih dalam jangka Waktu 3 (tiga) bulan
sejak tanggal diterima Keputusan yang dibanding. Terhadap Banding dapat
diajukan surat pernyataan pencabutan Kepada Pengadilan Pajak.
12. Banding yang dicabut, dihapus dari daftar sengketa dengan:
a. Penetapan Ketuadalam hal surat pernyataan pencabutan diajukan
sebelum sidang dilaksanakan;
b. Putusan Majelis/Hakim Tunggal melalui pemeriksaan dalam hal surat
pernyataan pencabutan diajukan dalam sidang atas persetujuan
terbanding.

13. Banding yang telah dicabut melalui penetapan atau putusan, tidak dapat
diajukan kembali

b. Pemerikasaan
Pemeriksaan dalam Pesidangan6

1. Untuk keperluan pemeriksaan, Hakim Ketua membuka persidangan dengan


mengetukkan palu sebagai tanda dimulainya persidangan dan menyatakan
persidangan terbuka untuk umum.
2. Hakim Ketua dan / atau Hakim Tunggal melakukan penelitian identitas
pemohon banding dan Kuasa Hukumnya antara lain dengan mencocokkan
tanda tangan apakah pihak yang hadir sesuai dengan pihak-pihak yang
menandatangani Surat Banding tersebut.

3. Hakim Ketua dan Anggota majelis melakukan pemeriksaan berkas perkara.

4. Dalam setiap pemeriksaan sengketa pajak, Panitera harus membuat Berita


Acara Sidang yang memuat segala sesuatu yang terjadi dalam persidangan.

5. Berita Acara Sidang ditandatangani oleh Hakim Ketua atau Hakim Tunggal
dan Panitera.

6. Apabila Hakim Ketua atau Hakim Tunggal dan Panitera berhalangan, Berita
Acara Sidang ditandatangani oleh Ketua Pengadilan Pajak dengan
menyatakan bahwa Hakim Ketua atau Hakim Tunggal dan Panitera
berhalangan.

Pemeriksaan Dengan Acara Cepat


1. Pemeriksaan dengan acara cepat dilakukan oleh Majelis atau Hakim
Tunggal.
2. Pemeriksaan dengan acara cepat dilakukan terhadap:
a. Sengketa Pajak tertentu;
b. Gugatan yang tidak diputus dalam jangka waktu 6 (enam) bulan sejak
Surat Gugatan diterima sebagai mana dimaksud dalam Pasal 81 ayat (2)
UU No. 14 Tahun 2002.
c. Tidak dipenuhi salah satu ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
84 ayat (1) UU No.14 Tahun 2002 atau kesalahan tulis dan/atau kesalahan
hitung, dalam putusan Pengadilan Pajak.
d. Sengketa yang berdasarkan pertimbangan hükum bukan merupakan
wewenang Pengadilan Pajak.
3. Sengketa Pajak tertentu adalah Sengketa Pajak yang Banding atau
Gugatannyatidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
35 ayat (1 ) dan ayat (2)/ Pasal 36 ayat (1 ) dan ayat (4), Pasal 37 ayat (1
Pasal 40 ayat (1) dan/atau ayat (6) UU No.14 Tahun 2002.
4. Pemeriksaan dengan acara cepatterhadap Sengketa Pajakdilakukantanpa
Surat Uraian Banding atau SuratTanggapan dan tanpa Surat Bantahan.

6
http://www.ikpi.or.id/content/pemeriksaan-dalam-persidangan-pengadilan-pajak diakses pada tanggal 1 Mei
2018 pukul 20:55 WIB
5. Semua ketentuan mengenai pemeriksaan dengan acara biasa berlaku juga
untuk pemeriksaan dengan acara cepat.
c. Pembuktian
1. Alat bukti dapat berupa:
a. Surat atau tulisan;
b. Keterangan ahli;
c. Keterangan para saksi;
d. Pengakuan para pihak; dan/atau
e. Pengetahuan Hakim.
2. Keadaan yangtelah diketahui oleh umum tidak perlu dibuktikan.
3. Surat atau tulisan sebagai alat bukti terdiri dari.
a. Akta autentik, yaitu surat yang dibuat oleh atau di hadapan seorang
pejabat umum, yang menurut peraturan perundangundangan berwenang
membuat surat itü dengan maksud untuk dipergunakan sebagai alat bukti
tentang peristiwa atau peristiwa hükum yang tercantum di dalamnya;

b. Akta di bawah tangan yaitu surat yang dibuat dan ditandatangani oleh
pihak-pihak yang bersangkutan dengan maksud untuk dipergunakan
sebagai alat bukti tentang peristiwa atau peristiwa hükum yang tercantum
di dalamnya;

c. Surat Keputusan atau surat Ketetapan yang diterbitkan oleh pejabat yang
berwenang;

d. Surat-surat lain atau tulisan yang tidak termasuk huruf a, huruf b, dan
huruf c tersebut di atas yang ada kaitannya dengan Banding atau
Gugatan.

4. Keterangan ahli adalah pendapat orang yang diberikan di bawah sumpah


dalam persidangan tertentu hal yang ia ketahui menurut pengalaman dan
pengetahuannya.
5. Seorang yang tidak boleh didengar sebagai saksi tidak boleh memberikan
keterangan ahli
6. Atas permintaan kedua belah pihak atau salah satu atau karena jabatannya,
Hakim Ketua atau Hakim Tunggal dapat menunjuk seorang atau beberapa
orang ahli.
7. Seorang ahli dalam persidangan harus memberi keterangan baik tertulis
maupun lisan, yang dikuatkan dengan sumpah atau janji mengenai hal
sebenarnya menurut pengalaman dan pengetahuannya.
8. Keterangan saksi dianggap sebagai alat bukti apabila keterangan itü
berkenaan dengan hal yang dialami, dilihat, atau didengar sendiri oleh saksi.
9. Pengakuan para pihak tidak dapat ditarik kembali, kecuali berdasarkan alas
an yang kuat dan dapat diterima oleh Majelis atau Hakim Tunggal.
10. Pengetahuan Hakim adalah hal yang olehnya diketahui dan diyakini
kebenarannya.
11. Hakim menentukan apa yang harus dibuktikan, beban pembuktian beserta
penilaian pembuktian dan untuk sahnya pembuktian diperlukan paling sedikit
2 (dua) alat bukti.

d. Pelaksanaan Putusan
1. Putusan Pengadilan Pajak langsung dapat dilaksanakan dengan tidak
memerlukan lagi putusan pejabat yang berwenang kecuali peraturan
perundang-undangan mengatur lain
2. Apabila putusan Pengadilan Pajak mengabulkan sebagian atau seluruh
Banding, kelebihan pembayaran Pajak dikembalikan dengan ditambah
imbalan bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan untuk paling lama 24 (dua
puluh empat) bulan, sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan
perpajakan yang berlaku.
3. Salinan putusan atau salinan penetapan Pengadilan Pajak dikirim kepada
para pihak dengan surat oleh Sekretaris dalam jangka waktu 30 (tiga puluh)
hari sejak tanggal putusan Pengadilan Pajak diucapkan, atau dalam jangka
waktu 7 (tujuh) hari sejak tanggal putusan sela diucapkan.
4. Putusan Pengadilan Pajak harus dilaksanakan oleh Pejabat yang berwenang
dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal diterima
putusan.
5. Pejabat yang tidak melaksanakan putusan Pengadilan Pajak dalam jangka
waktu yang telah ditentukan tersebut dikenakan sanksi sesuai dengan
ketentuan kepegawaian yang berlaku.
DAFTAR PUSTAKA

A. Sumber Buku

1. Kania Sugiharti,Dewi. Perkembangan Peradilan Pajak Di Indonesia, PT Refika


Aditama, Bandung, 2005.

B. Ketentuan Perundang-undangan

1. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak


2. Undang-Undang No. 17 tahun 1997 tentang Badan Penyelesaian Sengketa

Pajak

C. Sumber Lain
1. https://ojs.unud.ac.id/index.php/jiab/article/view/16539

2. https://peskano.wordpress.com/2015/04/03/pengadilan-pajak-di-indonesia/

3. https://taxcourt.wordpress.com/2009/12/19/lembaga-penyelesaian-sengketa-
pajak/

4. http://www.ikpi.or.id/content/pemeriksaan-dalam-persidangan-pengadilan-pajak
Perbandingan Hukum Acara Dalam Penyelesaian Sengketa Pajak

Makalah ini ditujukan untuk memenuhi Tugas Teknik Penyelesaian Masalah Pajak

Dosen Pembimbing :

Endang S Komara, S.H.

Disusun oleh :

Dicka Dwi Ardini

151000210

Kelas : P
Fakultas Hukum
Universitas Pasundan Bandung
2018

Anda mungkin juga menyukai