Anda di halaman 1dari 31

Makalah benigna prostat hiperplasia

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Benign Prostatic Hyperplasia (BPH) atau dalam bahasa umumnya dinyatakansebagai pembesaran
prostat jinak (PPJ), merupakan suatu penyakit yang biasa terjadi. Ini di lihat dari frekuensi terjadinya BPH
di dunia, di Amerik secara umum dan di Indonesia secara khususnya. Di dunia, diperkirakan bilangan
penderita BPH adalah seramai 30 juta, bilangan ini hanya pada kaum pria kerana wanita tidak
mempunyai kalenjar prostat, maka oleh sebab itu, BPH terjadi hanya pada kaum pria (emedicine,2009).

Jika dilihat secara epidemiologinya, di dunia, dan kita jaraskan menurut usia, maka dapat di lihat
kadar insidensi BPH, pada usia 40-an, kemungkinan seseorang itu menderita penyakit ini adalah sebesar
40%, dan setelah meningkatnya usia, yakni dalam rentang usia 60 hingga 70 tahun,
persentasenya meningkat menjadi 50% dan diatas 70 tahun, persen untuk mendapatkannya
bisa sehingga 90% (A.K. Abbas, 2005). Akan tetapi, jika di lihat secara histologi penyakit BPH, secara
umum membabitkan 20% pria pada usia 40-an, dan meningkat secara dramatis pada pria berusia 60-an,
dan 90% pada usia 70 . Di indonesia, penyakit pembesaran prostat jinak menjadi urutan kedua setelah
penyakit batu saluran kemih, dan jika dilihat secara umumnya, diperkirakan hampir 50 persen pria
Indonesia yang berusia di atas 50 tahun, dengan kini usia harapan hidup mencapai 65 tahun ditemukan
menderita penyakit PPJ atau BPH ini. Selanjutnya, 5 persen pria Indonesia sudah masuk ke
dalam lingkungan usia di atas 60 tahun. Oleh itu, jika dilihat, dari 200 juta lebihbilangan rakyat
indonesia, maka dapat diperkirakan 100 juta adalah pria, dan yangberusia 60 tahun dan ke atas adalah
kira-kira seramai 5 juta, maka dapat secaraumumnya dinyatakan bahwa kira-kira 2.5 juta pria Indonesia
menderita penyakitBPH atau PPJ ini. Indonesia kini semakin hari semakin maju dan dengan
berkembangnya sesebuah negara, maka usia harapan hidup pasti bertambah dengan sarana yang makin
maju dan selesa, maka kadar penderita BPH secara pastinya turut meningkat. (Furqan, 2003) Secara
pasti, bilangan penderita pembesaran prostat jinak belum di dapat, tetapi secara prevalensi di RS,
sebagai contoh jika kita lihat di Palembang, di RS Cipto Mangunkusumo ditemukan 423 kasus
pembesaran prostat jinak yang dirawat selama tiga tahun (1994-1997) dan di RS Sumber Waras
sebanyak 617 kasus dalam periode yang sama (Ponco Birowo, 2002). Ini dapat menunjukkan bahawa
kasus BPH adalah antara kasus yang paling mudah dan banyak ditemukan. Kanker prostat, juga
merupakan salah satu penyakit prostat yang lazim berlaku dan lebih ganas berbanding BPH yang hanya
melibatkan pembesaran jinak daripada prostat. Kenyataan ini adalah berdasarkan bilangan dan
presentase terjadinya kanker prostat di dunia secara umum dan Indonesia secara khususnya.

Secara umumnya, jika diperhatikan, di dunia, pada 2003, terdapat lebih kurang 220,900 kasus baru
ditemukan, dimana, daripada jumlah ini, 29,000 daripadanya berada di tahap membunuh (A.K. Abbas,
2005) . Seperti juga BPH, kanker prostat juga menyerang pria berusia lebih dari 50 dan pada usia di
bawah itu bukan merupakan suatu yang abnormal. Secara khususnya di Indonesia, menurut
(WHO,2008), untuk tahun 2005, insidensi terjadinya kanker prostat adalah sebesar 12 orang setiap
100,000 orang, yakni yang keempat setelah kanker saluran napas atas, saluran pencernaan dan hati .
Setelah secara umum melihat dan mengetahui akan epidemiologi dari kedua penyakit, yakni BPH dan
kanker prostat, penulis tertarik untuk mengetahui dengan lebih dalam lagi mengenai gambaran penyakit
ini terutama berdasarkan gambaran secara histopalogi memandangkan tiada penelitian khusus yang
setakat diketahui oleh penulis mengenainya dijalankan di Medan.

B. RUMUSAN MASALAH

1. Apa pengertian dari BPH ?

2. Apa etiologi dari BPH ?

3. Apa Klasifikasi dari BPH ?

4. Apa Manifestasi klinis dar BPH ?

5. Bagaiman Patifisiologi dari BPH ?

6. Apa Pemeriksaan penunjang dari BPH ?

7. Apa Penatalaksanaan medis dari BPH ?

8. Apa saja Komplikasi dari BPH ?

9. Bagaimana WOC pada BPH ?

10. Bagaimana Konsep keperawatan pada BPH ?

C. TUJUAN PENULISAN

1. Untuk mengetahui pengertian dari BPH ?

2. Untuk mengetahui etiologi dari BPH ?

3. Untuk mengetahui klasifikasi dari BPH ?

4. Untuk mengetahui manifestasi klinis dar BPH ?

5. Untuk mengetahui bagaiman patifisiologi dari BPH ?


6. Untuk mengetahui pemeriksaan penunjang dari BPH ?

7. Untuk mengetahui penatalaksanaan medis dari BPH ?

8. Untuk mengetahui apa saja komplikasi dari BPH ?

9. Untuk mengetahui bagaimana WOC pada BPH ?

10. Untuk mengetahui bagaimana Konsep keperawatan pada BPH ?

BAB II

PEMBAHASAN

A. KONSEP TEORI

1. DEFENISI

a. Hiperplasia prostat adalah pembesanan prostat yang jinak bervariasi berupa hiperplasia kelenjar
atau hiperplasia fibromuskular. Namun orang sering menyebutnya dengan hipertropi prostat namun
secara histologi yang dominan adalah hyperplasia (Sabiston, David C,1994)

b. BPH adalah pembesaran adenomatous dari kelenjar prostat, lebih dari setengahnya dan orang
yang usianya diatas 50 tahun dan 75 % pria yang usianya 70 tahun menderita pembesaran prostat (C.
Long, 1996 :331).

c. Hiperplasia prostat jinak (BPH) adalah penyakit yang disebabkan oleh penuaan. Price&Wilson
(2005)
d. Hiperplasi prostat adalah pembesaran progresif dari kelenjar prostat ( secara umum pada pria > 50
tahun) yang menyebabkan berbagai derajat obstruksi uretra dan pembiasan aliran urinarius. (Doenges,
1999)

e. BPH adalah suatu keadaan dimana kelenjar prostat mengalami pembesaran, memanjang ke atas
ke dalam kandung kemih dan menyumbat aliran urine dengan menutupi orifisium uretra (Brunner and
Suddart, 2001)

f. BPH adalah suatu keadaan dimana prostat mengalami pembesaran memanjang keatas kedalam
kandung kemih dan menyumbat aliran urin dengan cara menutupi orifisium uretra. (Smeltzer dan Bare,
2002)

Kesimpulan BPH (benign prostatic hyperplasia) adalah suatu penyakit yang disebabkan
oleh faktor penuaan, dimana prostat mengalami pembesaran memanjang keatas kedalam kandung
kemih dan menyumbat aliran urin dengan cara menutupi orifisium uretra.

2. ETIOLOGI

Hingga sekarang masih belum diketahui secara pasti etiologi/penyebab terjadinya BPH, namun
beberapa hipotesis menyebutkan bahwa BPH erat kaitanya dengan peningkatan
kadar dehidrotestosteron (DHT) dan proses menua. Terdapat perubahan mikroskopik pada prostat telah
terjadi pada pria usia 30-40 tahun. Bilaperubahan mikroskopik ini berkembang, akan terjadi perubahan
patologik anatomi yang ada pada pria usia 50 tahun, dan angka kejadiannya sekitar 50%, untuk usia 80
tahun angka kejadianya sekitar 80%, dan usia 90 tahun sekitar 100% (Purnomo, 2011)
Etiologi yang belum jelas maka melahirkan beberapa hipotesis yang diduga menjadi penyebab
timbulnya Benigna Prosat, teori penyebab BPH menurut Purnomo (2011) meliputi :

1. Teori Dehidrotestosteron (DHT)

Dehidrotestosteron/ DHT adalah metabolit androgen yang sangat penting pada pertumbuhan sel-sel
kelenjar prostat. Aksis hipofisis testis dan reduksi testosteron menjadi dehidrotestosteron (DHT) dalam
sel prostad merupakan factor terjadinya penetrasi DHT kedalam inti sel yang dapat menyebabkan
inskripsi pada RNA, sehingga dapat menyebabkan terjadinya sintesis protein yang menstimulasi
pertumbuhan sel prostat. Pada berbagai penelitian dikatakan bahwa kadar DHT pada BPH tidak jauh
berbeda dengan kadarnya pada prostat normal, hanya saja pada BPH, aktivitas enzim5alfa –reduktase
dan jumlah reseptor androgen lebih banyak pada BPH. Hal ini menyebabkan sel-sel prostat pada BPH
lebih sensitive terhadap DHT sehingga replikasi sel lebih banyak terjadi dibandingkan dengan prostat
normal.

2. Teori hormon (ketidakseimbangan antara estrogen dan testosteron)

Pada usia yang semakin tua, terjadi penurunan kadar testosteron sedangkan kadar estrogen relative
tetap, sehingga terjadi perbandingan antara kadar estrogen dan testosterone relative meningkat.
Hormon estrogen didalam prostat memiliki peranandalam terjadinya poliferasi sel-sel kelenjar prostat
dengan cara meningkatkan jumlah reseptor androgen, dan menurunkan jumlah kematian sel-sel prostat
(apoptosis). Meskipun rangsangan terbentuknya sel-sel baru akibat rangsangan testosterone
meningkat, tetapi sel-sel prostat telah ada mempunyai umur yang lebih panjangsehingga masa prostat
jadi lebih besar.

3. Faktor interaksi stroma dan epitel-epitel

Diferensiasi dan pertumbuhan sel epitel prostat secara tidak langsung dikontrol oleh sel-sel stroma
melalui suatu mediator yang disebut Growth factor. Setelah sel-sel stroma mendapatkan stimulasi
dari DHT dan estradiol, sel-sel stroma mensintesis suatu growth factor yang selanjutnya mempengaruhi
sel-sel stroma itu sendiri intrakrin dan autokrin, serta mempengaruhi sel-sel epitel parakrin. Stimulasi itu
menyebabkan terjadinya poliferasi sel-sel epitel maupun sel stroma. Basic Fibroblast Growth
Factor (BFGF) dapat menstimulasi sel stroma dan ditemukan dengan konsentrasi yang lebih besar
padapasien dengan pembesaran prostad jinak. BFGF dapat diakibatkan oleh adanya mikrotrauma karena
miksi, ejakulasi atau infeksi.

4. Teori berkurangnya kematian sel (apoptosis)

Progam kematian sel (apoptosis) pada sel prostat adalah mekanisme fisiologik untuk mempertahankan
homeostatis kelenjar prostat. Pada apoptosis terjadi kondensasi dan fragmentasi sel, yang
selanjutnya sel-sel yang mengalami apoptosis akan difagositosis oleh sel-sel di sekitarnya, kemudian
didegradasi oleh enzim lisosom. Pada jaringannormal, terdapat keseimbangan antara laju poliferasi sel
dengan kematian sel. Pada saat terjadi pertumbuhan prostat sampai pada prostat dewasa, penambahan
jumlah sel-sel prostat baru dengan yang mati dalam keadaan seimbang. Berkurangnya jumlah sel-sel
prostat baru dengan prostat yang mengalami apoptosis menyebabkan jumlah sel-sel prostat secara
keseluruhan menjadi meningkat, sehingga terjadi pertambahan masa prostat.

5. Teori sel stem.

Sel-sel yang telah apoptosis selalu dapat diganti dengan sel-sel baru. Didalam kelenjar prostat istilah ini
dikenal dengan suatu sel stem, yaitu sel yang mempunyai kemampuan berpoliferasi sangat ekstensif.
Kehidupan sel ini sangat tergantung pada keberadaan hormone androgen, sehingga jika hormone
androgen kadarnya menurun, akan terjadi apoptosis. Terjadinya poliferasi sel-sel BPH dipostulasikan
sebagai ketidaktepatan aktivitas sel stem sehingga terjadi produksi yang berlebihan sel stroma maupun
sel epitel.

3. KLASIFIKASI

Menurut Rumahorbo (2000), terdapat empat derajat pembesaran kelenjar prostat yaitu sebagai
berikut :

1. Derajat Rektal

Derajat rektal dipergunakan sebagai ukuran dari pembesaran kelenjar prostat ke arah rektum. Rectal
toucher dikatakan normal jika batas atas teraba konsistensi elastis, dapat digerakan, tidak ada nyeri bila
ditekan dan permukaannya rata. Tetapi rectal toucher pada hipertropi prostat di dapatkan batas atas
teraba menonjol lebih dari 1 cm dan berat prostat diatas 35 gram.Ukuran dari pembesaran kelenjar
prostat dapat menentukan derajat rectal yaitu sebagai berikut :

1). Derajat O : Ukuran pembesaran prostat 0-1 cm

2). Derajat I : Ukuran pembesaran prostat 1-2 cm

3). Derajat II : Ukuran pembesaran prostat 2-3 cm

4). Derajat III : Ukuran pembesaran prostat 3-4 cm

5). Derajat IV : Ukuran pembesaran prostat lebih dari 4 cm

2. Derajat Klinik

Derajat klinik berdasarkan kepada residual urine yang terjadi. Klien disuruh BAK sampai selesai dan puas,
kemudian dilakukan katerisasi. Urine yang keluar dari kateter disebut sisa urine atau residual urine.
Residual urine dibagi beberapa derajat yaitu sebagai berikut :

1). Normal sisa urine adalah nol

2). Derajat I sisa urine 0-50 ml

3). Derajat II sisa urine 50-100 ml


4). Derajat III sisa urine 100-150 ml

5). Derajat IV telah terjadi retensi total atau klien tidak dapat BAK sama sekali. Bila kandung kemih telah
penuh dan klien merasa kesakitan, maka urine akan keluar secara menetes dan periodik, hal ini disebut
Over Flow Incontinencia. Pada derajat ini telah terdapat sisa urine sehingga dapat terjadi infeksi atau
cystitis, nocturia semakin bertambah dan kadang-kadang terjadi hematuria.

3. Derajat Intra Vesikal

Derajat ini dapat ditentukan dengan mempergunakan foto rontgen atau cystogram, panendoscopy. Bila
lobus medialis melewati muara uretra, berarti telah sampai pada stadium tida derajat intra vesikal.
Gejala yang timbul pada stadium ini adalah sisa urine sudah mencapai 50-150 ml, kemungkinan terjadi
infeksi semakin hebat ditandai dengan peningkatan suhu tubuh, menggigil dan nyeri di daerah pinggang
serta kemungkinan telah terjadi pyelitis dan trabekulasi bertambah.

4. Derajat Intra Uretral

Derajat ini dapat ditentukan dengan menggunakan panendoscopy untuk melihat sampai seberapa jauh
lobus lateralis menonjol keluar lumen uretra. Pada stadium ini telah terjadi retensio urine total.

4. MANIFESTASI KLINIS

Obstruksi prostat dapat menimbulkan keluhan pada saluran kemih maupun keluhan diluar saluran
kemih. Menurut Purnomo (2011) dan tanda dan gejala dari BPH yaitu : keluhan pada saluran kemih
bagian bawah, gejala pada saluran kemih bagian atas, dan gejala di luar saluran kemih.

1. Keluhan pada saluran kemih bagian bawah

a. Gejala obstruksi meliputi : Retensi urin (urin tertahan dikandung kemih sehingga urin
tidak bisa keluar), hesitansi (sulit memulai miksi), pancaran, miksi lemah. Intermiten (kencing
terputus-putus), dan miksi tidak puas (menetes setelah miksi)

b. Gejala iritasi meliputi : Frekuensi, nokturia, urgensi (perasaan ingin miksi yang
sangat mendesak) dan disuria (nyeri pada saat miksi).

2. Gejala pada saluran kemih bagian atas

Keluhan akibat hiperplasia prostat pada saluran kemih bagian atas berupa adanya gejala obstruksi,
seperti nyeri pinggang, benjolan dipinggang (merupakan tanda dari hidronefrosis), atau demam yang
merupakan tanda infeksi atau urosepsis.

3. Gejala diluar saluran kemih

Pasien datang diawali dengan keluhan penyakit hernia inguinalis atau hemoroid.
Timbulnya penyakit ini dikarenakan sering mengejan pada saan miksi sehingga
mengakibatkan tekanan intra abdominal. Adapun gejala dan tanda lain yang tampak pada
pasien BPH, pada pemeriksaan prostat didapati membesar, kemerahan, dan tidak nyeri
tekan, keletihan, anoreksia, mual dan muntah, rasa tidak nyaman
pada epigastrik, dan gagal ginjal dapat terjadi dengan retensi kronis
dan volume residual yang besar.

Tahapan Perkembangan Penyakit BPH

Berdasarkan perkembangan penyakitnya menurut Sjamsuhidajat dan De jong (2005) secara klinis
penyakit BPH dibagi menjadi 4 gradiasi :

1. Derajat 1 : Apabila ditemukan keluhan prostatismus, pada colok dubur

ditemukan penonjolan prostat, batas atas mudah teraba dan

sisa urin kurang dari 50 ml

2. Derajat 2 : Ditemukan penonjolan prostat lebih jelas pada colok dubur

dan batas atas dapat dicapai, sedangkan sisa volum urin 50-

100 ml.

3. Derajat 3 : Pada saat dilakukan pemeriksaan colok dubur batas atas

prostat tidak dapat diraba dan sisa volum urin lebih dari

100ml.

4. Derajat 4 : Apabila sudah terjadi retensi urine total

5. PATOFISIOLOGI

Hiperplasia prostat adalah pertumbuhan nodul-nodul fibroadenomatosa majemuk dalam prostat,


pertumbuhan tersebut dimulai dari bagian periuretral sebagai proliferasi yang terbatas dan tumbuh
dengan menekan kelenjar normal yang tersisa. Jaringan hiperplastik terutama terdiri dari kelenjar
dengan stroma fibrosa dan otot polos yang jumlahnya berbeda-beda. Proses pembesaran prostad
terjadi secara perlahan-lahan sehingga perubahan pada saluran kemih juga terjadi secara perlahan-
lahan.

Pada tahap awal setelah terjadi pembesaran prostad, resistensi pada leher buli-buli dan daerah
prostad meningkat, serta otot destrusor menebal dan merenggang sehingga timbul sakulasi atau
divertikel. Fase penebalan destrusor disebut fase kompensasi, keadaan berlanjut, maka destrusor
menjadi lelah dan akhirnya mengalami dekompensasi dan tidak mampu lagi untuk berkontraksi/terjadi
dekompensasi sehingga terjadi retensi urin. Pasien tidak bisa mengosongkan vesika urinaria dengan
sempurna, maka akan terjadi statis urin. Urin yang statis akan menjadi alkalin dan media yang baik untuk
pertumbuhan bakteri ( Baradero, dkk 2007).

Obstruksi urin yang berkembang secara perlahan-lahan dapat mengakibatkan aliran urin tidak deras
dan sesudah berkemih masih ada urin yang menetes, kencing terputus-putus (intermiten), dengan
adanya obstruksi maka pasien mengalami kesulitan untuk memulai berkemih (hesitansi). Gejala iritasi
juga menyertai obstruksi urin. Vesika urinarianya mengalami iritasi dari urin yang tertahan tertahan
didalamnya sehingga pasien merasa bahwa vesika urinarianya tidak menjadi kosongsetelah berkemih
yang mengakibatkan interval disetiap berkemih lebih pendek (nokturia dan frekuensi), dengan adanya
gejala iritasi pasien mengalami perasaan ingin berkemih yang mendesak/ urgensi dan nyeri saat
berkemih /disuria ( Purnomo, 2011).

Tekanan vesika yang lebih tinggi daripada tekanan sfingter dan obstruksi,akan terjadi inkontinensia
paradoks. Retensi kronik menyebabkan refluk vesiko ureter, hidroureter, hidronefrosis dan gagalginjal.
Proses kerusakan ginjal dipercepat bila terjadi infeksi. Pada waktumiksi penderita harus mengejan
sehingga lama kelamaan menyebabkanhernia atau hemoroid. Karena selalu terdapat sisa urin,
dapatmenyebabkan terbentuknya batu endapan didalam kandung kemih. Batuini dapat menambah
keluhan iritasi dan menimbulkan hematuria. Batutersebut dapat juga menyebabkan sistitis dan bila
terjadi refluk akan mengakibatkan pielonefritis (Sjamsuhidajat dan De jong, 2005).

6. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Pemeriksaan Penunjang Menurut Purnomo (2011) dan Baradero dkk (2007) pemeriksaan penunjang
yang dapat dilakukan pada penderita BPH meliputi :

1. Laboratorium

a. Analisi urin dan pemeriksaan mikroskopik urin penting dilakukan untuk melihat adanya sel leukosit,
bakteri dan infeksi. Pemeriksaan kultur urin berguna untuk menegtahui kuman penyebab infeksi dan
sensitivitas kuman terhadap beberapa antimikroba.

b. Pemeriksaan faal ginjal, untuk mengetahui kemungkinan adanya penyulit yang menegenai saluran
kemih bagian atas. Elektrolit kadar ureum dan kreatinin darah merupakan informasi dasar dari fungsin
ginjal dan status metabolic.

c. Pemeriksaan prostate specific antigen (PSA) dilakukan sebagai dasar penentuan perlunya biopsy
atau sebagai deteksi dini keganasan. Bila nilai PSA <4ng/ml tidak perlu dilakukan biopsy. Sedangkan bila
nilai PSA 4-10 ng/ml, hitunglah prostate specific antigen density (PSAD) lebih besar sama dengan 0,15
maka sebaiknya dilakukan biopsy prostat, demikian pula bila nila PSA > 10 ng/ml.

2. Radiologis/pencitraan

a. Foto polos abdomen, untuk mengetahui kemungkinan adanya batu opak di saluran kemih, adanya
batu/kalkulosa prostat, dan adanya bayangan buli-buli yang penuh dengan urin sebagai tanda adanya
retensi urin. Dapat juga dilihat lesi osteoblastik sebagai tanda metastasis dari keganasan prostat, serta
osteoporosis akbibat kegagalan ginjal.

b. Pemeriksaan Pielografi intravena ( IVP ), untuk mengetahui kemungkinan adanya kelainan pada
ginjal maupun ureter yang berupa hidroureter atau hidronefrosis. Dan memperkirakan besarnya
kelenjar prostat yang ditunjukkan dengan adanya indentasi prostat (pendesakan buli-buli oleh kelenjar
prostat) atau ureter dibagian distal yang berbentuk seperti mata kail (hooked fish)/gambaran ureter
berbelok-belok di vesika, penyulit yang terjadi pada buli-buli yaitu adanya trabekulasi, divertikel atau
sakulasi buli-buli.

c. Pemeriksaan USG transektal, untuk mengetahui besar kelenjar prostat, memeriksa masa ginjal,
menentukan jumlah residual urine, menentukan volum buli-buli, mengukur sisa urin dan batu ginjal,
divertikulum atau tumor buli-buli, dan mencari kelainan yang mungkin ada dalam buli-buli.

7. PENATALAKSANAAN MEDIS

1. Menurut Sjamsuhidjat (2005) dalam penatalaksanaan pasien dengan BPH tergantung pada stadium-
stadium dari gambaran klinis

a. Stadium I

Pada stadium ini biasanya belum memerlukan tindakan bedah, diberikan pengobatan konservatif,
misalnya menghambat adrenoresptor alfa sepertialfazosin dan terazosin. Keuntungan obat ini adalah
efek positif segera terhadap keluhan, tetapi tidak mempengaruhi proses hiperplasia prostat. Sedikitpun
kekurangannya adalah obat ini tidak dianjurkan untuk pemakaian lama.

b. Stadium II

Pada stadium II merupakan indikasi untuk melakukan pembedahan biasanya dianjurkan reseksi
endoskopi melalui uretra (trans uretra).

c. Stadium III

Pada stadium II reseksi endoskopi dapat dikerjakan dan apabila diperkirakan prostat sudah cukup besar,
sehinga reseksi tidak akan selesai dalam 1 jam. Sebaiknya dilakukan pembedahan terbuka. Pembedahan
terbuka dapat dilakukan melalui trans vesika, retropubik dan perineal.
d. Stadium IV

Pada stadium IV yang harus dilakukan adalah membebaskan penderita dari retensi urin total dengan
memasang kateter atau sistotomi. Setelah itu, dilakukan pemeriksaan lebih lanjut untuk melengkapi
diagnosis, kemudian terapi definitive dengan TUR atau pembedahan terbuka.

Pada penderita yang keadaan umumnya tidak memungkinkan dilakukan pembedahan


dapat dilakukan pengobatan konservatif dengan memberikan obat penghambat adrenoreseptor
alfa. Pengobatan konservatif adalah dengan memberikan obat anti androgen yang menekan
produksi LH.

2. Terapi medikamentosa

Menurut Baradero dkk (2007) tujuan dari obat-obat yang diberikan pada penderita BPH adalah :

a. Mengurangi pembesaran prostat dan membuat otot-otot berelaksasi untuk mengurangi tekanan
pada uretra

b. Mengurangi resistensi leher buli-buli dengan obat-obatan golongan alfa blocker (penghambat alfa
adrenergenik)

c. Mengurangi volum prostat dengan menentuan kadar hormone testosterone/ dehidrotestosteron


(DHT).

Adapun obat-obatan yang sering digunakan pada pasien BPH, menurut Purnomo (2011)
diantaranya : penghambat adrenergenik alfa, penghambat enzin 5 alfa reduktase, fitofarmaka

1. Penghambat adrenergenik alfa

Obat-obat yang sering dipakai adalah prazosin, doxazosin,terazosin,afluzosin atau yang lebih selektif alfa
(Tamsulosin). Dosis dimulai 1mg/hari sedangkan dosis tamsulosin adalah 0,2-0,4 mg/hari. Penggunaaan
antagonis alfa 1 adrenergenik karena secara selektif dapat mengurangi obstruksi pada buli-buli tanpa
merusak kontraktilitas detrusor. Obat ini menghambat reseptor-reseptor yang banyak ditemukan pada
otot polos di trigonum, leher vesika, prostat, dan kapsul prostat sehingga terjadi relakasi didaerah
prostat. Obat-obat golongan ini dapat memperbaiki keluhan miksi dan laju pancaran urin. Hal ini akan
menurunkan tekanan pada uretra pars prostatika sehingga gangguan aliran air seni dan gejala-gejala
berkurang. Biasanya pasien mulai merasakan berkurangnya keluhan dalam 1-2 minggu setelah ia mulai
memakai obat. Efek samping yang mungkin timbul adalah pusing, sumbatan di hidung dan lemah. Ada
obat-obat yang menyebabkan ekasaserbasi retensi urin maka perlu dihindari seperti antikolinergenik,
antidepresan, transquilizer, dekongestan, obatobat ini mempunyai efek pada otot kandung kemih dan
sfingter uretra.

2. Pengahambat enzim 5 alfa reduktase

Obat yang dipakai adalah finasteride (proscar) dengan dosis 1X5 mg/hari. Obat golongan ini dapat
menghambat pembentukan DHT sehingga prostat yang membesar akan mengecil. Namun obat ini
bekerja lebih lambat dari golongan alfa bloker dan manfaatnya hanya jelas pada prostat yang besar.
Efektifitasnya masih diperdebatkan karena obat ini baru menunjukkan perbaikan sedikit 28 % dari
keluhan pasien setelah 6-12 bulan pengobatan bila dilakukan terus menerus, hal ini dapat memperbaiki
keluhan miksi dan pancaran miksi. Efek samping dari obat ini diantaranya adalah libido, impoten dan
gangguan ejakulasi.

3. Fitofarmaka/fitoterapi

Penggunaan fitoterapi yang ada di Indonesia antara lain eviprostat. Substansinya misalnya pygeum
africanum, saw palmetto, serenoa repeus. Efeknya diharapkan terjadi setelah pemberian selama 1- 2
bulan dapat memperkecil volum prostat.

8. KOMPLIKASI

Menurut Sjamsuhidajat dan De Jong (2005) komplikasi BPH adalah :

1. Retensi urin akut, terjadi apabila buli-buli menjadi dekompensasi

2. Infeksi saluran kemih

3. Involusi kontraksi kandung kemih

4. Refluk kandung kemih.

5. Hidroureter dan hidronefrosis dapat terjadi karena produksi urin terus berlanjut maka pada suatu
saat buli-buli tidak mampu lagi menampung urin yang akan mengakibatkan tekanan intravesika
meningkat.

6. Gagal ginjal bisa dipercepat jika terjadi infeksi

7. Hematuri, terjadi karena selalu terdapat sisa urin, sehingga dapat terbentuk batu endapan dalam
buli-buli, batu ini akan menambah keluhan iritasi. Batu tersebut dapat pula menibulkan sistitis, dan bila
terjadi refluks dapat mengakibatkan pielonefritis.

8. Hernia atau hemoroid lama-kelamaan dapat terjadi dikarenakan pada waktu miksi pasien harus
mengedan.

9. WOC
B. KONSEP KEPERAWATAN

1. PENGKAJIAN

1. Identitas

BPH merupakan pembesaran progresif dari kelenjar prostat (


secara umum pada pria lebih tua dari 50 tahun ) menyebabkan berbagai derajat obstruksi uretra
l dan pembatasan aliran urinarius ( Marilynn, E.D, 2000 ). Hiperplasia prostat atau BPH adalah
pembesaran progresif dari kelenjar prostat, bersifat jinak disebabkan oleh hyperplasia beberapa atau
semua komponen prostat yang mengakibatkan penyumbatan uretra pars prostatika (Muttaqin : 2012).

2. Keluhan Utama

Merupakan keluhan yang paling dirasakan oleh klien sehingga ia mencari pertolongan. Keluhan yang
diungkapkan klien pada umumnya yaitu adanya rasa nyeri. Disuria yaitu nyeri pada waktu kencing.
Hesitansi yaitu memulai kencing yang lama dan seringkali disertai dengan mengejan yang disebabkan
oleh karena otot destrussor buli-buli memerlukan waktu beberapa lama meningkatkan tekanan
intravesikal guna mengatasi adanya tekanan dalam uretra prostatika.

3. Riwayat Penyakit Sekarang

Hal- hal yang perlu dikaji adalah mulai kapan keluhan dirasakan, lokasi keluhan, intensitas, lamanya atau
frekuensi, faktor yang memperberat atau memperingan serangan, serta keluhan- keluhan lain yang
menyertai dan upaya- upaya yang telah dilakukan.

4. Riwayat Personal dan Keluarga

Riwayat penyakit keluarga perlu ditanyakan apakah ada anggota keluarga yang pernah menderita
penyakit BPH atau tidak.

5. Riwayat Pengobatan

Apakah klien pernah menggunakan obat- obatan. Yang perlu dikaji perawat yaitu: Kapan pengobatan
dimulai, Dosis dan frekuensi,Waktu berakhirnya minum obat

6. Pemeriksaan Fisik

a. Dilakukan dengan pemeriksaan tekanan darah, nadi dan suhu. Nadi

dapatmeningkat pada keadaan kesakitan pada retensi urin akut, dehidrasi sampai syok pada reten
si urin serta urosepsis sampai syok.

b. Pemeriksaan abdomen dilakukan dengan tehnik bimanual untuk mengetahui adanya hidronefro
sis, dan pyelonefrosis. Pada daerah supra simfiser pada keadaan retensi akan menonjol. Saat palp
asi terasa adanya ballotemen dan klien akan terasa ingin miksi.
Perkusi dilakukan untuk mengetahui ada tidaknya residual urin.

1) Penis dan uretra untuk mendeteksi kemungkinan stenose meatus, striktur uretra, batu uretra
, karsinoma maupun fimosis.
2) Pemeriksaan skrotum untuk menentukan adanya epididimitis.

3) Rectal touch /
pemeriksaan colok dubur bertujuan untuk menentukan konsistensi sistim persarafan unit vesiko ur
etra dan besarnya prostat. Dengan rectal toucher dapat diketahui derajat dari BPH, yaitu :

Derajat I = beratnya ± 20 gram.

Derajat II = beratnya antara 20 – 40 gram.

Derajat III = beratnya > 40 gram.

2. DIAGNOSA KEPERAWATAN

Diagnosa keperawatan yang timbul adalah :

Pre Operasi :

1. Retensi urin berhubungan dengan obstruksi uretra sekunder dari pembesaran


prostat, dekompensasi otot destrusor dan ketidakmampuan kandung kemih untuk berkontraksi secara
adekuat.

2. Kecemasan atau ancietas berhubungan dengan perubahan status kesehatan atau menghadapi
prosedur bedah

Post Operasi

1.Nyeri berhubungan dengan spasmus kandung kemih dan insisi sekunder pada post operasi.

3. RENCANA KEPERAWATAN

Pre Operasi

1.Retensi urin berhubungan dengan obstruksi uretra sekunder dari pembesaran prostat, dekompensasi
otot destrusor dan ketidakmampuan kandung kemih untuk berkontraksi secara adekuat.
Tujuan : Setelah di lakukan asuhan keperawatan dalam waktu 3x24 jam pola eliminasi optimal sesuai
kondisi klien

Kriteria hasil : Frekuensi miksi dalam batas 5-8x/jam, tidak teraba distensi kandung kemih.

INTERVENSI RASIONAL

1.Dorong pasien untuk berkemih tiap 1. Meminimalkan retensi urina


2-4 jam dan bila tiba-tiba dirasakan. distensi berlebihan pada kandung
kemih.

2.Observasi aliran urin perhatian


ukuran dan kekuatan pancaran urin. 2. Untuk mengevaluasi ibstruksi
dan pilihan intervensi.

3.Awasi dan catat waktu serta jumlah


setiap kali berkemih. 3. Retensi urine meningkatkan
tekanan dalam saluran
perkemihan yang dapat
mempengaruhi fungsi ginjal.

4.Berikan cairan sampai 3000 ml sehari 4. Peningkatkan aliran cairan


dalam toleransi jantung. meningkatkan perfusi ginjal serta
membersihkan ginjal ,kandung
kemih dari pertumbuhan bakteri.

5. Mengurangi spasme kandung


kemih dan mempercepat
penyembuhan
5.Berkolaborasi dalam pemberia obat
sesuai indikasi (antispamodik)

2. Kecemasan/ ancietas berhubungan dengan perubahan status kesehatan atau menghadapi


prosedur bedah.

Tujuan : Setelah di lakukan asuhan keperawatan dalam waktu 1x24 jam kecemasan klien berkurang.

Kriteria hasil

Klien menyatakan kecemasan berkurang, mengenal perasaannya, dapat mengidentifikasi penyebab atau
faktor yang memengaruhinya, kooperatif terhadap tindakan, wajah tenang.

INTERVENSI RASIONAL

1. Dampingi klien dan bina hubungan 1.Menunjukkan perhatian,


saling percaya. hubungan saling percaya dapat
membantu klien kooperatif
terhadap tindakan medis.

2.Membantu pasien dalam


memahami tujuan dari suatu
2.Memberikan informasi tentang
tindakan.
prosedur tindakan yang akan
dilakukan.

3.Memberikan kesempatan pada


pasien dan konsep solusi
3.Dorong pasien atau orang terdekat
pemecahan masalah.
untuk menyatakan masalah atau
perasaan.

4.Mengurangi rangsangan eksternal


yang tidak perlu.
4.Beri lingkungan yang tenang dan
suasana istirahat.

Post Operasi

1. Nyeri berhubungan dengan spasmus kandung kemih dan insisi sekunder pada post operasi.

Tujuan: Setelah di lakukan asuhan keperawatan dalam waktu 3x24 jam nyeri berkurang atau hilang.

Kriteria hasil : Klien mengatakan nyeri berkurang / hilang, Ekspresi wajah klien tenang, TTV dalam batas
normal (TD: 120/80 mmHg, RR:16-24 x/mnt,N:80-100x/mnt,T:36’C)

INTERVENSI RASIONAL

1. Kaji nyeri dengan pendekatan 1.Menjadi parameter dasar untuk mengetahui


sejauh mana intervensi yang diperlukan dan
PQRST. sebagai evaluasi keberhasilan dari intervensi
manajemen nyeri keperawatan.

2.Pendekatan dengan menggunakan relaksasi


dan nonfarmalogi lainnya telah menunjukkan
Keefektifan dalam mengurangi nyeri.
3.Dengan manajemen nyeri dapat mengurangi
nyeri.
2. Jelaskan dan bantu klien dengan
tindakan pereda nyeri non farmakologi a. Posisi fisiologi akan meningkatkan
dan non-infasif. asupan O2ke jaringan yang mengalami
iskemia.

b. Istirahat akan menurunkan


kebutuhan O2 jaringan perifer dan
3. Lakukan manajemen nyeri meningkatkan suplai darah pada jaringan yang
keperawatan mengalami peradangan.

a. Atur posisi fisiologi c. Lingkungan yang nyaman akan


menurunkan stimulasi eksternal.

d. Meningkatkan asupan O2sehingga akan


menurunkan nyeri.

b. Istirahatkan klien

e. Pengetahuan yang akan dirasakan


membantu mengurangi nyeri dan dapat
c. Manajemen lingkungan : ciptakan
mengembangkan kepatuhan klien terhadap
suasana yang nyaman.
recana terapiutik.

f. Distraksi dapat menurunkan stimulus


d. Ajarkan tehnik relaksasi pernapasan iinternal dengan mekanisme peningkatan
dalam produksi endorphin dan enkefalin yang dapat
memblok reseptor nyeri untuk tidak
dikirimkan ke korteks serebri sehingga
menurunkan persepsi nyeri.

e. Tingkatkan pengetahuan tentang


nyeri dan menghubungkan berapa lama 4. Analgesik memblok lintasan nyeri
nyeri akan berlangsung. sehingga nyeri akan berkurang.
f. Ajarkan teknik distraksi pada saat
nyeri.

4. Kolaborasi

Pemberian obat analgesic

BAB IV

PENUTUP

A. KESIMPULAN

BPH (benign prostatic hyperplasia) adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh faktor penuaan,
dimana prostat mengalami pembesaran memanjang keatas kedalam kandung kemih dan menyumbat
aliran urin dengan cara menutupi orifisium uretra.

Hingga sekarang masih belum diketahui secara pasti etiologi/penyebab terjadinya BPH, namun
beberapa hipotesis menyebutkan bahwa BPH erat kaitanya dengan peningkatan
kadar dehidrotestosteron (DHT) dan proses menua. Terdapat perubahan mikroskopik pada prostat telah
terjadi pada pria usia 30-40 tahun. Bilaperubahan mikroskopik ini berkembang, akan terjadi perubahan
patologik anatomi yang ada pada pria usia 50 tahun, dan angka kejadiannya sekitar 50%, untuk usia 80
tahun angka kejadianya sekitar 80%, dan usia 90 tahun sekitar 100% (Purnomo, 2011)

B. SARAN

Sebagai tenaga keperawatan hendaknya memberikan suhan keperawatan dengan semaksimal


mungkin agar klien mendapatkan perawatan yang baik dan maksimal.
Asuhan Keperawatan untuk BPH (Benigna Prostat Hiperplasia)

Askep BPH (Benigna Prostat Hiperplasia)

1. Pengertian

BPH (Benigna Prostat Hipertropi) adalah pembesaran atau hypertropi prostat. Kelenjar prostat
membesar, memanjang ke arah depan ke dalam kandung kemih dan menyumbat aliran keluar urine,
dapat menyebabkan hydronefrosis dan hydroureter. Istilah Benigna Prostat Hipertropi sebenarnya
tidaklah tepat karena kelenjar prostat tidaklah membesar atau hipertropi prostat, tetapi kelenjar-kelenjar
periuretra lah yang mengalami hiperplasian (sel-selnya bertambah banyak). Kelenjar-kelenjar prostat
sendiri akan terdesak menjadi gepeng dan disebut kapsul surgical. Maka dalam literatur di benigna
hiperplasia of prostat gland atau adenoma prostat, tetapi hipertropi prostat sudah umum dipakai.

Benigna Prostat Hiperplasi ( BPH ) adalah pembesaran jinak kelenjar prostat, disebabkan oleh karena
hiperplasi beberapa atau semua komponen prostat meliputi jaringan kelenjar / jaringan fibromuskuler
yang menyebabkan penyumbatan uretra pars prostatika (Lab / UPF Ilmu Bedah RSUD dr. Sutomo, 1994
: 193).

Hipertropi Prostat adalah hiperplasia dari kelenjar periurethral yang kemudian mendesak jaringan prostat
yang asli ke perifer dan menjadi simpai bedah. (Jong, Wim de, 1998).

BPH adalah pembesaran progresif dari kelenjar prostat ( secara umum pada pria lebih tua dari 50 tahun )
menyebabkan berbagai derajat obstruksi uretral dan pembatasan aliran urinarius (Marilynn, E.D, 2000 :
671).

Hiperplasia prostat benigna adalah pembesaran progresif dari kelenjar prostat (secara umum pria lebih
tua dari 50 tahun) menyebabkan berbagai derajat obstruksi urethral dan pembatasan aliran urinarius
(Doengoes, Morehouse & Geissler, 2000, hal 671).
Kelenjar prostat bila mengalami pembesaran, organ ini membuntu uretra Pars Prostatika dan
menyebabkan terhambatnya aliran urine keluar dari buli-buli (Poernomo, 2000, hal 74).

2. Etiologi

Penyebab yang pasti dari terjadinya BPH sampai sekarang belum diketahui. Namun yang pasti
kelenjar prostat sangat tergantung pada hormon androgen. Faktor lain yang erat kaitannya
dengan terjadinya BPH adalah proses penuaan Ada beberapa factor kemungkinan penyebab
antara lain :
1. Dihydrotestosteron
Peningkatan 5 alfa reduktase dan reseptor androgen menyebabkan epitel dan stroma dari kelenjar
prostat mengalami hiperplasi .
2. Perubahan keseimbangan hormon estrogen – testoteron
Pada proses penuaan pada pria terjadi peningkatan hormon estrogen dan penurunan testosteron
yang mengakibatkan hiperplasi stroma.
3. Interaksi stroma – epitel
Peningkatan epidermal gorwth factor atau fibroblast growth factor dan penurunantransforming
growth factor beta menyebabkan hiperplasi stroma dan epitel.
4. Berkurangnya sel yang mati
Estrogen yang meningkat menyebabkan peningkatan lama hidup stroma dan epitel dari
kelenjar prostat.
5. Teori sel stem
Teori sel steam menerangkan bahwa terjadi proliferasi abnormal sel steam sehingga
menyebabkan produksi sel stroma dan sel epitel kelenjar prostat menjadi berlebihan (Poernomo,
2000, hal 74-75).atau Sel stem yang meningkat mengakibatkan proliferasi sel transit (Roger
Kirby, 1994 : 38).

3. Anatomi Dan Fisiologi Sistem Urogenital


1. Uretra

Uretra merupakan tabung yg menyalurkan urine keluar dari buli-buli melalui proses miksi.
Pada pria organ ini berfungsi juga dalam menyalurkan cairan mani. Uretra diperlengkapi dengan
sfingter uretra interna yang terletak pada perbatasan buli-buli dan uretra, dan sfingter uretra
skterna yang terletak pada perbatasan uretra anterior dan posterior. Pada saat buli-buli penuh
sfingter uretra interna akan terbuka dengan sendirinya karena dindingnya terdiri atas otot polos
yang disarafi oleh sistem otonomik. Sfingter uretra ekterna terdiri atas otot bergaris yang dapat
diperintah sesuai dengan keinginan seseorang. Pada saat kencing sfingter ini terbuka dan tetap
tertutup pada saat menahan kencing.

Secara anatomis uretra dibagi menjadi dua bagian yaitu uretra posterior dan uretra anterior.
Kedua uretra ini dipisahkan oleh sfingter uretra eksterna. Panjang uretra wanita ± 3-5 cm,
sedangkan uretra pria dewasa ± 23-25 cm. Perbedaan panjang inilah yang menyebabkan
keluhan hambatan pengeluaran urine lebih sering terjadi pada pria. Uretra posterior pada pria
terdiri atas uretra pars prostatika yaitu bagian uretra yang dilingkupi oleh kelenjar prostat, dan
uretra pars membranasea.

Dibagian posterior lumen uretra prostatika terdapat suatu benjolan verumontanum, dan disebelah
kranial dan kaudal dari veromontanum ini terdapat krista uretralis. Bagian akhir dari pars deferens
yaitu kedua duktus ejakulatorius terdapat dipinggir kiri dan kanan verumontanum, sedangkan
sekresi kelenjar prostat bermuara di dalam duktus prostatikus yang tersebar di uretra prostatika.

Uretra anterior adalah bagian uretra yang dibungkus oleh korpus spongiosum penis. Uretra
anterior terdiri atas pars bulbosa, pars pendularis, fossa navikulare dan meatus uretra eksterna.

Di dalam lumen uretra anterior terdapat beberapa muara kelenjar yang berfungsi dalam proses
reproduksi, yaitu kelenjar Cowperi berada di dalam diafragma urogenitalis bermuara di uretra
pars bulbosa, serta kelenjar littre yaitu kelenjar parauretralis yang bermuara di uretra pars
pendularis.
2. Kelenjar Postat
Prostat adalah organ genitalia pria yang terletak tepat dibawah leher kandung kemih, di belakang
simfisis pubis dan di depan rektum ( Gibson, 2002, hal. 335 ). Bentuknya seperti buah kemiri
dengan ukuran 4 x 3 x 2,5 cm dan beratnya + 20 gr, kelenjar ini mengelilingi uretra dan dipotong
melintang oleh duktus ejakulatorius, yang merupakan kelanjutan dari vas deferen.

Kelenjar ini terdiri atas jaringan fibromuskular dan gladular yang terbagi dalam beberapa daerah
arau zona, yaitu perifer, sentral, transisional, preprostatik sfingter dan anterior. ( Purnomo, 2000,
hal.7, dikutip dari Mc Neal, 1970)

Asinus setiap kelenjar mempunyai struktur yang rumit, epitel berbentuk kuboid sampai sel
kolumner semu berlapis tergantung pad atingkat aktivitas prostat dan rangsangan androgenik.
Sel epitel memproduksi asam fostat dan sekresi prostat yang membentuk bagian besar dari
cairan semen untuk tranpor spermatozoa. Asinus kelenjar normal sering mengandung hasil
sekresi yang terkumpul berbentuk bulat yang disebut korpora amilasea. Asinus dikelilingi oleh
stroma jaringan fibrosa dan otot polos. Pasokan darah ke kelenjar prostat berasal dari arteri iliaka
interna cabang vesika inferior dan rectum tengah. Vena prostat mengalirkan ke pleksus
prostatika sekeliling kelenjar dan kemudian ke vena iliaka interna.

Prostat berfungsi menghasilkan suatu cairan yang merupakan salah satu komponen dari cairan
ejakulat. Cairan kelenjar ini dialirkan melalui duktus sekretoriusmuara di uretra posterior untuk
kemudian dikeluarkan bersama cairan semen yang lain pada saat ejakulasi. Cairan ini
merupakan + 25 % dari volume ejakulat.

Jika kelenjar ini mengalami hiperplasi jinak atau berubah menjadi kanker ganas dapat membuntu
uretra posterior dan mengakibatkan terjadinya obstruksi saluran kemih. Kelenjar prostat dapat
terasa sebagai objek yang keras dan licin melalui pemeriksaan rektal. Kelenjar prostat membesar
saat remaja dan mencapai ukuran optimal pada laki-laki yang berusia 20-an. Pada banyak laki-
laki, ukurannya terus bertambah seiring pertambahan usia. Saat berusia 70 tahun, dua pertiga
dari semua laki-laki mengalami pembesaran prostat yang dapat menyebabkan obstruksi pada
mikturisi dengan menjepit uretra sehingga mengganggu perkemihan.

4. Patofisiologi

Kelenjar prostat adalah salah satu organ genetalia pria yang terletak di sebelah inferior buli-buli, dan
membungkus uretra posterior. Bentuknya sebesar buah kenari dengan berat normal pada orang dewasa
± 20 gram. Menurut Mc Neal (1976) yang dikutip dan bukunya Purnomo (2000), membagi kelenjar prostat
dalam beberapa zona, antara lain zona perifer, zona sentral, zona transisional, zona fibromuskuler
anterior dan periuretra (Purnomo, 2000). Sjamsuhidajat (2005), menyebutkan bahwa pada usia lanjut
akan terjadi perubahan keseimbangan testosteron estrogen karena produksi testosteron menurun dan
terjadi konversi tertosteron menjadi estrogen pada jaringan adipose di perifer. Purnomo (2000)
menjelaskan bahwa pertumbuhan kelenjar ini sangat tergantung pada hormon tertosteron, yang di dalam
sel-sel kelenjar prostat hormon ini akan dirubah menjadi dehidrotestosteron (DHT) dengan bantuan
enzim alfa reduktase. Dehidrotestosteron inilah yang secara langsung memacu m-RNA di dalam sel-sel
kelenjar prostat untuk mensintesis protein sehingga terjadi pertumbuhan kelenjar prostat.
Oleh karena pembesaran prostat terjadi perlahan, maka efek terjadinya perubahan pada traktus urinarius
juga terjadi perlahan-lahan. Perubahan patofisiologi yang disebabkan pembesaran prostat sebenarnya
disebabkan oleh kombinasi resistensi uretra daerah prostat, tonus trigonum dan leher vesika dan
kekuatan kontraksi detrusor. Secara garis besar, detrusor dipersarafi oleh sistem parasimpatis, sedang
trigonum, leher vesika dan prostat oleh sistem simpatis. Pada tahap awal setelah terjadinya pembesaran
prostat akan terjadi resistensi yang bertambah pada leher vesika dan daerah prostat. Kemudian detrusor
akan mencoba mengatasi keadaan ini dengan jalan kontraksi lebih kuat dan detrusor menjadi lebih tebal.
Penonjolan serat detrusor ke dalam kandung kemih dengan sistoskopi akan terlihat seperti balok yang
disebut trahekulasi (buli-buli balok). Mukosa dapat menerobos keluar diantara serat aetrisor. Tonjolan
mukosa yang kecil dinamakan sakula sedangkan yang besar disebut divertikel. Fase penebalan detrusor
ini disebut Fase kompensasi otot dinding kandung kemih. Apabila keadaan berlanjut maka detrusor
menjadi lelah dan akhirnya mengalami dekompensasi dan tidak mampu lagi untuk berkontraksi sehingga
terjadi retensi urin.Pada hiperplasi prostat digolongkan dua tanda gejala yaitu obstruksi dan iritasi. Gejala
obstruksi disebabkan detrusor gagal berkontraksi dengan cukup lama dan kuat sehingga kontraksi
terputus-putus (mengganggu permulaan miksi), miksi terputus, menetes pada akhir miksi, pancaran
lemah, rasa belum puas setelah miksi. Gejala iritasi terjadi karena pengosongan yang tidak sempurna
atau pembesaran prostat akan merangsang kandung kemih, sehingga sering berkontraksi walaupun
belum penuh atau dikatakan sebagai hipersenitivitas otot detrusor (frekuensi miksi meningkat, nokturia,
miksi sulit ditahan/urgency, disuria).

Karena produksi urin terus terjadi, maka satu saat vesiko urinaria tidak mampu lagi menampung urin,
sehingga tekanan intravesikel lebih tinggi dari tekanan sfingter dan obstruksi sehingga terjadi
inkontinensia paradox (overflow incontinence). Retensi kronik menyebabkan refluks vesiko ureter dan
dilatasi. ureter dan ginjal, maka ginjal akan rusak dan terjadi gagal ginjal. Kerusakan traktus urinarius
bagian atas akibat dari obstruksi kronik mengakibatkan penderita harus mengejan pada miksi yang
menyebabkan peningkatan tekanan intraabdomen yang akan menimbulkan hernia dan hemoroid. Stasis
urin dalam vesiko urinaria akan membentuk batu endapan yang menambal. Keluhan iritasi dan
hematuria. Selain itu, stasis urin dalam vesika urinaria menjadikan media pertumbuhan mikroorganisme,
yang dapat menyebabkan sistitis dan bila terjadi refluks menyebabkan pyelonefritis (Sjamsuhidajat, 2005)

5. Manifestasi Klinik

Obstruksi prostat dapat menimbulkan keluhan pada saluran kemih maupun keluhan di luar saluran
kemih.
1. Keluhan pada saluran kemih bagian bawah

Keluhan pada saluran kemih bagian bawah atau Lower Urinari Tract Symptoms (LUTS) terdiri
atas gejala iritatif dan gejala obstruktif.

Gejala iritatif meliputi:


o (frekuensi) yaitu penderita miksi lebih sering dari biasanya dapat terjadi pada malam hari
(Nocturia) dan pada siang hari.
o (nokturia), terbangun untuk miksi pada malam hari
o (urgensi) perasaan ingin miksi yang sangat mendesak dan sulit di tahan
o (disuria).nyeri pada saat miksi

Gejala obstruktif meliputi:


o rasa tidak lampias sehabis miksi.
o (hesitancy), yaitu memulai kencing yang lama dan seringkali disertai dengan mengejan
yang disebabkan oleh karena otot destrussor buli-buli memerlukan waktu beberapa lama
meningkatkan tekanan intravesikal guna mengatasi adanya tekanan dalam uretra prostatika.
o (straining) harus mengejan
o (intermittency) yaitu terputus-putusnya aliran kencing yang disebabkan karena
ketidakmampuan otot destrussor dalam pempertahankan tekanan intra vesika sampai
berakhirnya miksi dan waktu miksi yang memanjang yang akhirnya menjadi retensi urine dan
inkontinensia karena overflow. Untuk menilai tingkat keparahan dari keluhan saluran kemih
sebelah bawah, beberapa ahli urology membuat sistem scoring yang secara subyektif dapat diisi
dan dihitung sendiri oleh pasien.
2. Gejala pada saluran kemih bagian atas

Keluhan akibat penyulit hiperplasia prostat pada saluran kemih bagian atas, berupa gejala
obstruksi antara lain: nyeri pinggang, benjolan di pinggang (yang merupakan tanda dari
hidronefrosis), yang selanjutnya dapat menjadi gagal ginjal dapat ditemukan uremia, peningkatan
tekanan darah, perikarditis, foetoruremik dan neuropati perifer.

3. Gejala di luar saluran kemih

Pasien yang berobat ke dokter biasanya mengeluh adanya hernia inguinalis dan hemoroid.
Timbulnya kedua penyakit ini karena sering mengejan pada saat miksi sehingga mengakibatkan
peningkatan tekanan intra abdominal (Poernomo, 2000, hal 77 – 78; Mansjoer, 2000, hal 330).
4. Warna urin merah cerah, pada hari ke-2 dan ke-3 post operasi menjadi lebih tua.

Berdasarkan gambaran klinik hipertrofi prostat dapat dikelompokan dalam empat (4) derajat
gradiasi sebagai berikut :
Derajat Colok Dubur Sisa Volume Urine
I Penonjolan prostat, batas atas mudah diraba. < 50 ml
II Penonjolan prostat jelas, batas atas dapat mudah 50 – 100 ml
III dicapai. > 100 ml
IV Batas atas prostat tidak dapat diraba Retensi urine total
5. Menurut Long (1996, hal. 339-340), pada pasien post operasi BPH, mempunyai tanda
dan gejala:

1. Hemorogi

1. Hematuri
2. Peningkatan nadi
3. Tekanan darah menurun
4. Gelisah
5. Kulit lembab
6. Temperatur dingin

2. Tidak mampu berkemih setelah kateter diangkat


3. Gejala-gejala intoksikasi air secara dini:
7. bingung
8. agitasi
9. kulit lembab
10. anoreksia
11. mual
12. muntah

6. Komplikasi

Komplikasi yang sering terjadi pada pasien BPH antara lain: sering dengan semakin beratnya BPH, dapat
terjadi obstruksi saluran kemih, karena urin tidak mampu melewati prostat. Hal ini dapat menyebabkan
infeksi saluran kemih dan apabila tidak diobati, dapat mengakibatkan gagal ginjal. (Corwin, 2000)

Kerusakan traktus urinarius bagian atas akibat dari obstruksi kronik mengakibatkan penderita harus
mengejan pada miksi yang menyebabkan peningkatan tekanan intraabdomen yang akan menimbulkan
hernia dan hemoroid. Stasis urin dalam vesiko urinaria akan membentuk batu endapan yang menambah
keluhan iritasi dan hematuria. Selain itu, stasis urin dalam vesika urinaria menjadikan media
pertumbuhan mikroorganisme, yang dapat menyebabkan sistitis dan bila terjadi refluks menyebabkan
pyelonefritis (Sjamsuhidajat, 2005).

7. Penatalaksanaan Medis

Menurut Sjamsuhidjat (2005) dalam penatalaksanaan pasien dengan BPH tergantung pada stadium-
stadium dari gambaran klinis

a. Stadium I

Pada stadium ini biasanya belum memerlukan tindakan bedah, diberikan pengobatan konservatif,
misalnya menghambat adrenoresptor alfa seperti alfazosin dan terazosin. Keuntungan obat ini adalah
efek positif segera terhadap keluhan, tetapi tidak mempengaruhi proses hiperplasi prostat. Sedikitpun
kekurangannya adalah obat ini tidak dianjurkan untuk pemakaian lama.

b. Stadium II

Pada stadium II merupakan indikasi untuk melakukan pembedahan biasanya dianjurkan reseksi
endoskopi melalui uretra (trans uretra)

c. Stadium III

Pada stadium II reseksi endoskopi dapat dikerjakan dan apabila diperkirakan prostat sudah cukup besar,
sehinga reseksi tidak akan selesai dalam 1 jam. Sebaiknya dilakukan pembedahan terbuka.
Pembedahan terbuka dapat dilakukan melalui trans vesika, retropubik dan perineal.

d. Stadium IV

Pada stadium IV yang harus dilakukan adalah membebaskan penderita dari retensi urin total dengan
memasang kateter atau sistotomi. Setelah itu, dilakukan pemeriksaan lebih lanjut amok melengkapi
diagnosis, kemudian terapi definitive dengan TUR atau pembedahan terbuka.

Pada penderita yang keadaan umumnya tidak memungkinkan dilakukan pembedahan dapat dilakukan
pengobatan konservatif dengan memberikan obat penghambat adrenoreseptor alfa. Pengobatan
konservatif adalah dengan memberikan obat anti androgen yang menekan produksi LH.

Menurut Mansjoer (2000) dan Purnomo (2000), penatalaksanaan pada BPH dapat dilakukan dengan:

a. Observasi

Kurangi minum setelah makan malam, hindari obat dekongestan, kurangi kopi, hindari alkohol, tiap 3
bulan kontrol keluhan, sisa kencing dan colok dubur.

b. Medikamentosa
 Mengharnbat adrenoreseptor α
 Obat anti androgen
 Penghambat enzim α -2 reduktase
 Fisioterapi

c. Terapi Bedah

Indikasinya adalah bila retensi urin berulang, hematuria, penurunan fungsi ginjal, infeksi saluran kemih
berulang, divertikel batu saluran kemih, hidroureter, hidronefrosis jenis pembedahan:

1) TURP (Trans Uretral Resection Prostatectomy)

Yaitu pengangkatan sebagian atau keseluruhan kelenjar prostat melalui sitoskopi atau resektoskop yang
dimasukkan malalui uretra.

2) Prostatektomi Suprapubis

Yaitu pengangkatan kelenjar prostat melalui insisi yang dibuat pada kandung kemih.

3) Prostatektomi retropubis

Yaitu pengangkatan kelenjar prostat melalui insisi pada abdomen bagian bawah melalui fosa prostat
anterior tanpa memasuki kandung kemih.

4) Prostatektomi Peritoneal

Yaitu pengangkatan kelenjar prostat radikal melalui sebuah insisi diantara skrotum dan rektum.

5) Prostatektomi retropubis radikal

Yaitu pengangkatan kelenjar prostat termasuk kapsula, vesikula seminalis dan jaringan yang berdekatan
melalui sebuah insisi pada abdomen bagian bawah, uretra dianastomosiskan ke leher kandung kemih
pada kanker prostat.

d. Terapi Invasif Minimal

1) Trans Uretral Mikrowave Thermotherapy (TUMT)

Yaitu pemasangan prostat dengan gelombang mikro yang disalurkan ke kelenjar prostat melalui antena
yang dipasang melalui/pada ujung kateter.

2) Trans Uretral Ultrasound Guided Laser Induced Prostatectomy (TULIP)

3) Trans Uretral Ballon Dilatation (TUBD)


8. Pemeriksaan Penunjang

Menurut Doenges (1999), pemeriksaan penunjang yang mesti dilakukan pada pasien dengan BPH
adalah :

a. Laboratorium

1). Sedimen Urin

Untuk mencari kemungkinan adanya proses infeksi atau inflamasi saluran kemih.

2). Kultur Urin

Mencari jenis kuman yang menyebabkan infeksi atau sekaligus menentukan sensitifitas kuman terhadap
beberapa antimikroba yang diujikan.

b. Pencitraan

1). Foto polos abdomen

Mencari kemungkinan adanya batu saluran kemih atau kalkulosa prostat dan kadang menunjukan
bayangan buii-buli yang penuh terisi urin yang merupakan tanda dari retensi urin.

2). IVP (Intra Vena Pielografi)

Mengetahui kemungkinan kelainan ginjal atau ureter berupa hidroureter atau hidronefrosis,
memperkirakan besarnya kelenjar prostat, penyakit pada buli-buli.

3). Ultrasonografi (trans abdominal dan trans rektal)

Untuk mengetahui, pembesaran prostat, volume buli-buli atau mengukur sisa urin dan keadaan patologi
lainnya seperti difertikel, tumor.

4). Systocopy

Untuk mengukur besar prostat dengan mengukur panjang uretra parsprostatika dan melihat penonjolan
prostat ke dalam rektum.

Asuhan Keperawatan pada Pasien dengan Benigna Prostat Hipertropi (BPH)


A. Pengkajian
1. Data subyektif :
o Pasien mengeluh sakit pada luka insisi.
o Pasien mengatakan tidak bisa melakukan hubungan seksual.
o Pasien selalu menanyakan tindakan yang dilakukan.
o Pasien mengatakan buang air kecil tidak terasa.
2. Data Obyektif :
o Terdapat luka insisi
o Takikardi
o Gelisah
o Tekanan darah meningkat
o Ekspresi w ajah ketakutan
o Terpasang kateter

B. Diagnosa Keperawatan yang Mungkin Muncul


1. Gangguan rasa nyaman : nyeri berhubungan dengan spasme otot spincter
2. Kurang pengetahuan : tentang TUR-P berhubungan dengan kurang informasi
3. Gangguan pola tidur berhubungan dengan nyeri / efek pembedahan

C. Intervensi
1. Diagnosa Keperawatan 1. :
Gangguan rasa nyaman : nyeri berhubungan dengan spasme otot spincter

Tujuan :
Setelah dilakukan perawatan selama 3-5 hari pasien mampu mempertahankan derajat
kenyamanan secara adekuat.

Kriteria hasil :
o Secara verbal pasien mengungkapkan nyeri berkurang atau hilang.
o Pasien dapat beristirahat dengan tenang.

Intervensi :
o Kaji nyeri, perhatikan lokasi, intensitas (skala 0 - 10)
o Monitor dan catat adanya rasa nyeri, lokasi, durasi dan faktor pencetus serta penghilang
nyeri.
o Observasi tanda-tanda non verbal nyeri (gelisah, kening mengkerut, peningkatan
tekanan darah dan denyut nadi)
o Beri ompres hangat pada abdomen terutama perut bagian bawah.
o Anjurkan pasien untuk menghindari stimulan (kopi, teh, merokok, abdomen tegang)
o Atur posisi pasien senyaman mungkin, ajarkan teknik relaksasi
o Lakukan perawatan aseptik terapeutik
o Laporkan pada dokter jika nyeri meningkat.

2. Diagnosa Keperawatan 2. :
Kurang pengetahuan: tentang TUR-P berhubungan dengan kurang informasi

Tujuan :
Klien dapat menguraikan pantangan kegiatan serta kebutuhan berobat lanjutan .

Kriteria hasil :
o Klien akan melakukan perubahan perilaku.
o Klien berpartisipasi dalam program pengobatan.
o Klien akan mengatakan pemahaman pada pantangan kegiatan dan kebutuhan berobat
lanjutan.

Intervensi :
o Beri penjelasan untuk mencegah aktifitas berat selama 3-4 minggu.
o Beri penjelasan untuk mencegah mengedan waktu BAB selama 4-6 minggu; dan
memakai pelumas tinja untuk laksatif sesuai kebutuhan.
o Pemasukan cairan sekurang–kurangnya 2500-3000 ml/hari.
o Anjurkan untuk berobat lanjutan pada dokter.
o Kosongkan kandung kemih apabila kandung kemih sudah penuh.

3. Diagnosa Keperawatan 3. :
Gangguan pola tidur berhubungan dengan nyeri / efek pembedahan

Tujuan :
Kebutuhan tidur dan istirahat terpenuhi

Kriteria hasil :
o Klien mampu beristirahat / tidur dalam waktu yang cukup.
o Klien mengungkapan sudah bisa tidur.
o Klien mampu menjelaskan faktor penghambat tidur.

Intervensi :
o Jelaskan pada klien dan keluarga penyebab gangguan tidur dan kemungkinan cara untuk
menghindari.
Ciptakan suasana yang mendukung, suasana tenang dengan mengurangi kebisingan.
o Beri kesempatan klien untuk mengungkapkan penyebab gangguan tidur.
o Kolaborasi dengan dokter untuk pemberian obat yang dapat mengurangi nyeri
(analgesik).
http://askep-laporan-pendahuluan.blogspot.com/2013/09/asuhan-keperawatan-untuk-bph-
benigna.html

http://ners-suyatni.blogspot.com/2014/05/makalah-benigna-prostat-hiperplasia.html

Anda mungkin juga menyukai