Anda di halaman 1dari 23

EXECUTIVE SUMMARY SISTEM PENTANAHAN (GROUNDING SYSTEM)

1. PETIR

Indonesia terletak pada garis astronomis 6o LU – 11o LS serta 95o BT – 141o


BT yang menyebabkan Indonesia beriklim tropis. Disampig itu, Indonesia juga
memiliki hari guruh yang tinggi dengan jumlah sambaran petir yang cukup banyak,
serta mengingat arus puncak sambaran petir rata-rata di Indonesia sangat tinggi,
sehingga jika terjadi sambaran petir yang langsung maupun tidak langsung, akan
mengakibatkan resiko yang sangat besar serta dapat menimbulkan kerusakan pada
bangunan, peralatan, dan instalasi listrik lainnya.

Terdapat beberapa tentang pengertian petir. Pengertian petir atau kilat adalah
suatu gejala listrik alam dalam atmosfer bumi yang tidak dapat dicegah (Pabla, 1981
dan Hidayat, 1991) yang terjadi akibat lepasnya muatan listrik baik positif maupun
muatan listrik negatif yang terdapat di dalam awan.

Adapun mekanisme terjadinya petir adalah ketika pelepasan sambaran petir,


diawali dengan pelepasan perintis atau stepped downward leader (Gambar a).
Gerakan ke bawah ini bertahap sampai dekat ke permukaan tanah, sehingga muatan
positif di permukaan tanah akan terinduksi oleh muatan negatif yang dibawa oleh
stepped downward leader tersebut, terutama untuk benda-benda yang terlihar
menonjol dari permukaan tanah, yang mengakibatkan beda tegangan antara dasar
awan dengan tanah semakin besar.

Jika tegangan awan dan tanah memiliki perbedaan tegangan yang cukup
besar, maka yang terjadi adalah muatan negatif (elektron) dari awan akan terlepas ke
permukaan tanah. Dan saat itulah mulai ada lintasan (steamer) pelepasan muatan
yang biasanya disebut lintasan pandu (pilot steamer) dari awan ke permukaan tanah
(Gambar b). Ketika kedua muatan tadi terakumulasi saling tarik menarik, maka dalam
jumlah yang besar muatan positif akan bergerak ke atas menerima gerakan stepped
downward leader yang bergerak ke bawah, akhirnya akan terjadi kontak pertemuan
antara keduanya. Muatan positif yang bergerak ke atas tersebut membentuk sebuah
lintasan (streamer) yang menuju ke atas (upward moving streamer), atau yang biasa
disebut sebagai sambaran balik (return stroke) yang bertujuan untuk
menyeimbangkan beda potensial (Gambar c dan d).

Apabila arus dari sambaran balik telah berhenti, dan ternyata di bagian lain
dari awan masih ada muatan yang cukup untuk sambaran petir berikutnya, maka
terjadilah sambaran yang kedua. Secara langsung, sambaran yang kedua ini akan
mengalir dari awan ke tanah melalui lintasan (streamer) yang telah terbentuk dari
sambaran pertama, tanpa adanya percabangan. Pada sambaran kedua ini biasanya
disebut juga sebagai pelopor panah (dart leader), yang mana diikuti bersamaan
dengan sambaran balik (return stroke) yang kedua (Gambar e). Sambaran pelopor
panah (dart leader) dan sambaran balik (return stroke) yang mengikutinya disebut
dengan sambaran urutan (multiple stroke) (Gambar f).

Gambar 1.1 Mekanisme terjadinya petir


2. SURJA PETIR

Menurut Mardi, Dedy (2009) bahwa sambaran petir dapat menyebabkan surja
petir yang merupakan salah satu faktor yang menimbulkan tegangan lebih sementara
pada saluran atau sistem instalasi listrik. Surja petir adalah gejala tegangan lebih
sementara yang disebabkan oleh sambaran petir yang mengenai suatu sistem
kelistrikan baik langsung maupun tidak langsung.

3. HARI GURUH

Menurut pengertian dari World Meteorologi Organzation (W.M.O) hari guruh


adalah hari dimana terdengar guntur paling sedikit satu kali dalam jarak kira-kira 15
km atau lebih dari stasiun pengamatan. Hari guruh ini juga dapat disebut hari guntur
(thunder stormdays). Dan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi jumlah hari
guruh yang tinggi pada suatu wilayah, yaitu curah hujan yang tinggi.

4. SISTEM PENTANAHAN

Sistem pentanahan adalah sistem hubungan penghantar yang menghubungkan


sistem, badan peralatan dan instalaasi dengan bumi atau tanah sehingga dapat
mengamankan manusia dari sengetan listrik, dan mengamankan komponen–
komponen instalasi dari bahaya tegangan atau arus abnormal. Oleh karena itu, sistem
pentanahan menjadi bagian esensial dari sistem tenaga listrik (Prih Sumardjati,
2005:159).

Mengapa perlu mentanahkan? Karena grounding yang buruk dan tidak baik
akan membahayakan serta meningkatkan resiko peralatan-peralatan yang dapat
mengalami kegagalan sistem. Tanpa sistem pentanahan yang efektf kita dapat
berisiko mengalami sengatan listrik, selain dari kesalahan instrumentasi, masalah
distorsi harmonik, dan berbagai dilema ketidakstabilan lainnya. Jika arus gangguan
tidak dapat kembali ke tanah melalui sistem pentanahan yang dirancang dan
dipelihara dengan benar, arus ini akan menjalar ke mana-mana termasuk manusia.
5. SISTEM PENTANAHAN EKTERNAL DAN INTERNAL

Menurut Guru Besar Bidang Ilmu Teknik Fisika, Universitas Nasional (Unas),
Prof. Djuheri, bahwa kilatan petir mengandung muatan lisrtik 100 juta volt. Energi
sebesar itu biasa digunakan untuk memanaskan suhu udara sampai 40 ribu derajat
Celsius. Bisa dibayangkan jika petir tersebut menyambar manusia.

Sambaran petir dibagi menjadi dua, yaitu sambaran langsung (dekat) dan
sambaran tidak langsung (jauh). Sambaran langsung terjadi karena arus impuls yang
mengalir ke tanah, sedangkan untuk sambaran tidak langsung terjadi karena adanya
pancaran energi dari gelombang elektromagnetiknya atau lightning electromagnetic
pulse.

Menurut Syakur dan Yuningtyastuti (2006), jumlah rata-rata frekuensi


sambaran petir per tahun (Nd) dapat dihitung dengan perkalian kerapatan petir/kilat
ke bumi per tahun (Ng), dan pada luas daerah perlindungan yang efektif pada
bangunan (Ae):

Nd = Ng x Ae ................................................................ (1.1)
Yang dapat mempengaruhi kerapatan pada sambaran petir ke bumi yaitu hari
guruh rata – rata per tahun di wilayah tersebut. Hubungan tersebut seperti yang
ditunjukkan sebagai berikut:
Ng = 4.10-2 x T1,26 ......................................................... (1.2)

Sedangkan untuk besar Ae atau luas wilayah perlindungan bangunan sebagai


berikut:
Ae = [{2(p+l) x 3h}+{3,14 x 9h2}] ............................... (1.3)
Sehingga dari substitusi persamaan (1.2) dan (1.3) ke persamaan, maka akan
menjadi sebagai berikut:
Nd = 4.10-2 x T1,26 x [{2(p+l) x 3h}+{3,14 x 9h2}] ...... (1.4)
Dengan keterangan sebagai berikut:
p = Panjang bangunan (meter).
l = Lebar bangunan (meter).
h = Tinggi atap gedung (meter).
T = Hari guruh wilayah per tahun.
Ng = Kerapatan sambaran petir ke tanah.
Ae = Luas daerah yang masih memiliki angka sambaran Nd (km2).
Nd = Total frek. sambaran petir langsung per tahun.

Berdasarkan tempatnya, sistem proteksi petir yang sempurna terdiri dari 2


bagian:

1. Sistem Pentanahan Eksternal

Yaitu sistem proteksi/pengaman instalasi listrik dan peralatan-peralatan yang


ada diluar sebuah gedung bertingkat, guna untuk menangkap arus petir menuju
ke sistem pentanahan atau juga dapat berfungsi sebagai ujug tombak penangkap
muatan listrik pada petir yang berada pada tempat yang tinggi. Pada sistem
pentanahan eksternal ini terdiri dari tiga bagian, yaitu:

a. Air Terminal

Air Terminal merupakan bagian dari sistem proteksi petir eksternal


yang bertujuan untuk menangkap kilatan petir. Air terminal harus dipasang
pada titik tertinggi dari suatu bangunan atau peralatan yang ingin
dilindungi dari sambaran petir. Sebagai contohnya, jika sistem proteksi
petir diaplikasikan dalam sebuah antena. Maka air terminal harus dipasang
diatas bagian tertinggi dari antena tersebut, demikian juga jika dipasang
pada gedung atau rumah.

b. Down Conductor

Down Conductor adalah bagian dari sistem proteksi petir bersifat


konduktor, yang menghubungkan antara air terminal dengan earth
termination dengan jarak yang sependek dan selurus mungkin. Jadi bagian
ini berfungsi untuk menyalurkan arus petir dari air termination ke earth
termination. Arus petir yang disalurkan melalui down conductor
kapasitasnya besar sekali sehingga dapat menimbulkan flash over atau side
flash apabila ada kesalahan dalam cara pemasangannya.

Oleh karena itu, pemasangan down conductor sedapat mungkin tidak


melalui lekukan-lekukan pada dinding bangunan. Cara terbaik untuk
menghindarkan terjadinya side flash adalah dengan menggunakan kabel
koaksial, yang mempunyai impedansi sangat kecil sehingga drop voltage
pada down conductor dipasang pada dinding sebelah luar dari bangunan.
Seandainya hal tersebut tidak mungkin untuk dilakukan, maka pemasangan
pada dinding sebelah dalam bangunan harus disalurkan dalam pipa non-
metal yang tak mudah terbakar (tahan panas) untuk konduktor telanjang.
Bila digunakan kabel koaksial, boleh dengan perlindungan pipa metal.

c. Earth Termination

Earth termination adalah elektroda pentanahan, bagian yang


dimaksudkan sebagai jalan untuk pembuangan arus ke tanah, yaitu
berbentuk rod, mesh, plat dan sebagainya, yang ditanam dalam tanah.
Dalam hal ini tahanan pentanahan dimana elektroda tersebut ditanam
haruslah serendah mungkin, tujuannya..untuk mengurangi besarnya step
voltage yang timbul maupun untuk menghindarkan terjadinya side flash
akibat arus petir.

2. Sistem Pentanahan Internal

Adalah sistem proteksi/penagamanan pada sistem elektronika di dalam


bangunan/gedung akibat tegangan lebih yang ditimbulkan oleh induksi
elektromagnetik akibat sambaran petir tak langsung yang nantinya akan
diketanahkan. Walaupun bangunan sudah dilindungi terhadap sambaran petir,
beberapa kerusakan pada peralatan listrik khususnya peralatan elektronika dapat
disebabkan karena masuknya surja imbas petir melalui kabel listrik dan kabel
komunikasi atau masuknya arus petir pada waktu terjadi sambaran langsung.

Proteksi sistem pentanahan internal dapat terdiri dari satu jenis ataupun
beberapa alat-alat proteksi petir, antara lain:

a. Arrester: alat potong tegangan lebih pada peralatan

b. Shielding: konstruksi dinding dan lantai secara khusus untuk


menghilangkan induksi elektromagnetik.

c. One point earthing system: pemasangan potensial aqualization busbar yang


berfungsi sebagai terminal pembumian.

d. Penggunaan kabel optik sebagai pengganti kabel tembaga pada instalasi


listrik. Kabel optik tidak menyebabkan percikan antar kabel dan tidak
terinduksi elektromagnetik.

e. Penggunaan trafo isolasi untuk mentransformasikan arus besar yang terjadi


akibat sambaran petir ke jala-jala menjadi arus yang sangat kecil.

Oleh karena itu, desain proteksi sangat bergantung pada instalasi


listrik/elektronika, maka arsitektur dalam bangunan serta perencanaan awal
penggunaan bangunan harus diperhatikan.

6. BAGIAN UTAMA SISTEM PENTANAHAN PETIR

1. Batang Penangkal Petir

Sebuah batang logam atau konduktor yang dipasang di atas gedung yang
terhubung ke tanah melalui kawat, untuk melindungi bangunan pada saat terjadi
petir. Dibuat runcing karena muatan listrik mempunyai sifat mudah berkumpul
dan lepas pada ujung logam yang runcing.
Gambar 1.2 Batang penangkal petir

2. Kabel Konduktor

Kabel konduktor terbuat dari jalinan kawat tembaga. Diameter jalinan kabel
konduktor sekitar 1 cm hingga 2 cm . Kabel konduktor berfungsi meneruskan
aliran muatan listrik dari batang muatan listrik ke tanah. Kabel konduktor
tersebut dipasang pada dinding di bagian luar bangunan.

Gambar 1.3 Kabel BC 50mm


3. Elektroda Pentanahan

Elektroda pentanahan (grounding) merupakan suatu konduktor yang ditanam


dalam tanah berfungsi mengalirkan muatan listrik dari kabel konduktor ke bumi dan
memiliki nilai tahanan yang digunakan sebagai acuan terhadap baik buruk suatu
pentanahan. Batang pentanahan biasanya terbuat dari bahan tembaga berlapis baja.

Ada beberapa macam batang elektroda pentanahan. Diantaranya adalah


sebagai berikut:

a. Elektroda Berbentuk Batang

Elektroda berbentuk batang adalah elektroda pentanahan yang terbuat


dari pipa atau besi baja yang ditancapkan secara lurus ke dalam tanah.

Gambar 1.4 Elektroda berbentuk batang

Adapun contoh rums tahanan pentanahan untuk elektroda batang tunggal:

𝜌 4𝐿𝑅
𝑅𝐺 = 𝑅𝑅 = 1 + [𝐼𝑛 ( − 1)]
2𝜋𝐿𝑅 𝐴𝑅

Keterangan:

RG = Resistansi pentanahan (Ohm)

RR = Resistansi pentanahan untuk batang tunggal (Ohm)


ρ = Resistan jenis tanah (Ohm-meter)

LR = Panjang elektroda (meter)

AR = Diameter elektroda (meter)

Bila tahanan pembumian dikehendaki tidak dapat dicapai oleh satu


elektroda batang, maka dua elektroda atau lebih dapat digunakan. Untuk jumlah
elektroda yang sedikit cenderung mengikuti rumus tahanan hubungan paralel,
yaitu:

1 1 1 1 1
= + + ….+
𝑅𝑡 𝑅1 𝑅2 𝑅3 𝑅…𝑛

b. Elektroda Berbentuk Pita

Elektroda berbentuk pita adalah elektroda pentanahan yang terbuat


dari hantaran berbentuk pita atau hantaran pilin atau hantaran berpenampang
bulat yang pada umumnya ditancapkan secara dalam.

Gambar 1.5 Elektroda berbentuk pita

Contoh rumus perhitungan tahanan pentanahan:

𝜌 2 𝐿𝑤 1,4 𝐿𝑤
𝑅𝐺 = 𝑅𝑊 = [𝐼𝑛 ( )+ − 5,6]
𝜋𝐿𝑤 √𝑑𝑤. 𝑧𝑤 √𝐴𝑤
Keterangan :

RG = Resistansi pentanahan (Ohm)

RW = Tahanan dengan kisi-kisi (grid) kawat (Ohm)

ρ = Tahanan jenis tanah (Ohm-meter)

dw = Diameter kawat (meter)

Lw = Panjang total grid kawat (meter)

Zw = Kedalaman penanaman (meter)

Aw = Luasan yang dicakup oleh grid (meter2)

c. Elektroda Berbentuk Pelat

Elektroda berbentuk pelat adalah salah satu jenis elektroda yang


terbuat dari pelat konduktif (utuh atau berlubang) dari kawat kasa.

Gambar 1.6 Elektroda berbentuk pelat

Contoh rumus dari elektroda berbentuk pelat ini adalah:

𝜌 8 𝑊𝑝
𝑅𝐺 = 𝑅𝑃 = [𝐼𝑛 ( ) − 1]
2𝜋𝐿𝑝 √0,5 𝑊𝑝 + 𝑇𝑝
Keterangan:

RP = Tahanan pentanahan pelat (Ohm)

Wp = Lebar pelat (meter)

Lp = Panjang pelat (meter)

Tp = Tebal pelat (meter)

7. MACAM-MACAM SISTEM PENTANAHAN

Macam sistem pentanahan akan menentukan skema perlindungan maka


macam-macam sistem pentanahan harus diketahui terlebih dahulu. Adapun macam-
macam dari sistem pentanahan itu sendiri adalah sebagai berikut:

a. Sistem hantar tanah dan netral yang disatukan (Terra Neutral Combined /
TN-C).

Pada skema pentanahan ini hantaran netral dan hantaran pengaman


digabung menjadi satu secara total. Skema ini menggunakan hantaran netral
dan hantaran pentanahan dengan hantaran yang sama. (Prih Sumardjati, dkk.).
b. Sistem hantar tanah dan netral yang dipisahkan (Terra Neutral Separated /
TN-S)

Skema pentanahn ini hantaran tanah pengaman dan netral terpisah dan
secara menyeluruh terpasang pada sistem. Sehingga sistem pentanahan tipe ini
memiliki hantar netral dan hantar tanah secara terpisah. (Prih Sumardjati,
dkk.).

c. Sistem pentanahan kombinasi hantar tanah dan netral terpisah (Terra


Neutral Combined Separated / TN-C-S)

Pada skema sistem hantar tanah dan netral disatukan dan dipisah atau
TN-C-S ini, mempunyai bagian hantaran netral dan hantaran pengaman
disatukan menjadi satu titik dan terpisah dibagian sistem yang lain. Pada
sistim ini, konsumen peralatan instalasinya tinggal dihubungkan dengan
pentanahannya pada terminal (saluran) yang telah disediakan oleh sumber
listrik.
d. Sistem pentanahan denagn hantaran tanah dengan tanah (Terra Terra / TT)

Pada sistem pentanahan jenis ini, posisi bagian hantaran netral pada
sumber listrik tidak langsung terhubung dengan bagian hantaran pembumian
netral pada instalasi peralatan konsumen. Namun, pada sistem ini konsumen
harus menyediakan sambungan ke pentanahan sendiri, yaitu dengan cara
memasang elektroda pentanahan yang cocok untuk instalasi listrik tersebut.

e. Sistem pentanahan dengan hantaran tanah terisolasi (Isolated Terra / IT)

Pada sistem pentahanan jenis ini, sumber listrik tidak terhubung ke


pentanahan. Pada sistem ini, umumnya digunakan pada peralatan instalasi
listrik yang sumbernya dari genset, seperti pada kereta api.
8. JENIS TAHANAN TANAH

Faktor utama yang menentukan dalam pentanahan adalah tahanan jenis tanah.
Tahanan jenis tanah adalah tahanan batang elektroda yang ditanam tegak lurus, dan
biasanya elektrodanya berukuran 3/4 inchi sampai 2 inchi, serta panjangnya antara 3
meter sampai 15 meter. Menurut, Persyaratan Umum Instalasi Listrik (PUIL) tahun
2000, berikut adalah jenis tahanan tanah:

Jenis Tanah Tahanan Jenis Tanah (Ohm-m)


Tanah Rawa 30
Tanah Liat dan Ladang 100
Pasir Basah 200
Kerikil Basah 500
Pasir dan Kerikil Kering 1000
Tanah Berbatu 3000

9. KEGAGALAN PERLINDUNGAN PENANGKAL PETIR

Menurut Karahap (2007), pada tahun 1960 Provost mengemukakan suatu


resume tentang peranan penangkal petir dan kawat tanah. Jumlah gangguan akibat
kegagalan penangkal petir dapat dihitung dengan metode konvensional dan beberapa
pertimbangan.
1. Jumlah total hari guruh per tahun Iso Keraunic Level (IKL) dari data Badan
Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) suatu wilayah setempat.

2. Menghitung luas daerah yang dilindungi penangkal petir (A).

A = πr2 + S x d

3. Menghitung kerapatan sambaran petir (D).

D = 9,875.10-8 x IKL

4. Menghitung jumlah sambaran petir yang terjadi pada penangkal petir (L).

L = 100/ S x A x D

5. Kemungkinan kegagalan penangkal petir.

Log Pθ = 0,06 x (θ – 2,2)

Keterangan:

IKL = Hari guruh per tahun.

A = Luas daearah.

S = Jarak penangkal petir dengan permukaan.

d = Diameter gedung

D = Kerapatan sambaran petir.

θ = Sudut perlindungan penangkalpetir.


10. SUDUT RUANG PERLINDUNGAN KONVENSIONAL

Berdasarkan SNI 03-0715-2004, ruang sistem perlindungan terhadap


sambaran petir konvensional adalah ruang perlindungan terhadap sambaran petir
berbentuk kerucut dengan sudut puncak 25o sampai 55o. Hal ini dapat dilihat pada
tabel.

Tan α = r/h

Keterangan:

α = θ = Besar sudut perlindungan berdasarkan tabel (o).

r = Jari-jari zona proteksi (meter).

h = Tinggi dari tanah ke ujung penerima (meter).

Tabel Penempatan terminasi udara sesuai tingkat proteksi

(Sumber: Peraturan Umum Instalasi Penangkal Petir 2004 (PUIPP 2004))


Sudut dan ruang proteksi

11. KEBUTUHAN PERLINDUNGAN GEDUNG TERHADAP PETIR


MENURUT PERATURAN UMUM INSTALASI PENANGKAL PETIR
(PUIPP) TAHUN 1983

Berdasarkan Peraturan Umum Instalasi Penangkal Petir (PUIPP) tahun 1983,


besarnya kebutuhan proteksi terhadap sambaran petir ditentukan berdasarkan
penjumlahan indeks-indeks tertentu yang mewakili keadaan bangunan di suatu lokasi
dan dituliskan sebagai berikut:

R=A+B+C+D+E

Keterangan:

R = Prakiraan bahaya petir

A = Penggunaan dan isi bangunan

B = Konstruksi bangunan

C = Tinggi bangunan

D = Situasi bangunan

E = Hari guruh
Dari persamaan tersebut dapat dikatakan jika semakin besar nilai indeks maka
semakin besar juga kebutuhan bangunan tersebut terhadap sistem proteksi petir.
Berikut ini adalah tabel dari beberapa indeks prakiraan bahaya petir:

Indeks A: Bahaya berdasarkan penggunaan dan isi bangunan

(Sumber: Peraturan Umum Istalasi Penangkal Petir (PUIPP), 1983)

Indeks B: Bahaya berdasarkan konstruksi bangunan

(Sumber: Peraturan Umum Istalasi Penangkal Petir (PUIPP), 1983)


Indeks C: Bahaya berdasarkan tinggi bangunan

(Sumber: Peraturan Umum Istalasi Penangkal Petir (PUIPP), 1983)

Indeks D: Bahaya berdasarkan situasi bangunan

(Sumber: Peraturan Umum Istalasi Penangkal Petir (PUIPP), 1983)

Indeks E: Bahaya dari hari guruh suatu wilayah

(Sumber: Peraturan Umum Istalasi Penangkal Petir (PUIPP), 1983)


Indeks R: Perkiraan bahaya sambaran petir

(Sumber: Peraturan Umum Istalasi Penangkal Petir (PUIPP), 1983)

Berdasarkan Standar Nasional Indonesia (SNI) 03-7015-2004 dan


International Electrotechnical Commision (IEC) 1024-1-1, dalam pemilihan tingkat
proteksi yang memadai untuk suatu sistem proteksi petir yang didasarkan pada
frekuensi sambaran petir langsung setempat yang diperkirakan mengenai struktur
bangunan yang dilindungi (Nd) dan data dari BMKG suatu wilayah yang
menyebutkan nilai frekuensi sambaran petir tahunan setempat (Nc).

Pengambilan keputusan perlu atau tidaknya memasang sistem proteksi petir


pada bangunan berdasarkan perhitungan dari Nd dan Nc yang dapat dilakukan
sebagai berikut:

Jika Nd ≤ Nc tidak memerlukan sistem proteksi terhadap sambaran petir.

Jika Nd > Nc diperlukan sistem proteksi terhadap sambaran petir, dengan efisiensi:

E ≥ 1 – Nc/Nd

Setelah itu dapat ditentukan tingkat proteksinya yang sesuai tabel:


Efisiensi sistem proteksi petir

(Sumber: SNI 03-7015-2004:13)


DAFTAR PUSTAKA

Ajiatmo, Dwi, dkk. 2012. Analisis Sistem Instalasi Penangkap Petir pada Bangunan
Bertingkat. Universitas Darul Ulum. Jawa Timur.

Bandri, Sepannur. 2014. Sistem Proteksi Internal dan Eksternal. Institut Teknologi
Padang. Padang.

Jamaaluddin dan Sumarmo. Perencanaan Sistem Pentanahan Tenaga Listrik


Terintegrasi Pada Bangunan. Universitas Muhammadiyah Sidoarjo.
Sidoarjo, Jawa Timur.

Septiadi, Deni dkk. 2011. Karakteristik Petir dari Awan ke Bumi dan Hubungannya
dengan Curah Hujan. Instittut Teknologi Bandung. Bandung.

Syaku, Abdul dan Yuningtyastuti. 2006. Sistem Proteksi Penangkal Petir pada
Gedung Widya Puraya. Universitas Diponegoro. Semarang.

Peraturan Umum Instalasi Penangkal Petir 1983 (PUIPP 1983).

Peterson, Hotdin dan Fir Murdiya, Sistem Proteksi pada Gedung Baru Fakultas
Teknik Universitas Riau. Universitas Riau. Riau.

SNI. 2000. Persyaratan Umum Instalasi Listrik 2000 (PUIL 2000). Badan
Standarisasi Nasional.

SNI. 2004. Sistem Proteksi Petir pada Bangunan Gedung. Badan Standarisasi
Nasional.

Anda mungkin juga menyukai