Anda di halaman 1dari 6

DEFINISI

Gagal jantung didefinisikan sebagai kondisi dimana jantung tidak lagi dapat
memompakan cukup darah ke jaringan tubuh. Keadaan ini dapat timbul dengan atau tanpa
penyakit jantung. Gangguan fungsi jantung dapat berupa gangguan fungsi diastolik atau
sistolik, gangguan irama jantung, atau ketidaksesuaian preload dan afterload. Keadaan ini
dapat menyebabkan kematian pada pasien. Gagal jantung dapat dibagi menjadi gagal jantung
kiri dan gagal jantung kanan. Gagal jantung juga dapat dibagi menjadi gagal jantung akut,
gagal jantung kronis dekompensasi, serta gagal jantung kronis.
KLASIFIKASI
Beberapa sistem klasifikasi telah dibuat untuk mempermudah dalam pengenalan dan
penanganan gagal jantung. Sistem klasifikasi tersebut antara lain pembagian berdasarkan
Killip yang digunakan pada Infark Miokard Akut, klasifikasi berdasarkan tampilan klinis
yaitu klasifikasi Forrester, Stevenson dan NYHA.
Klasifikasi berdasarkan Killip digunakan pada penderita infark miokard akut, dengan
pembagian:
1. Derajat I : tanpa gagal jantung
2. Derajat II : Gagal jantung dengan ronki basah halus di basal paru, S3 galop dan
peningkatan tekanan vena pulmonalis
3. Derajat III : Gagal jantung berat dengan edema paru seluruh lapangan paru.
4. Derajat IV : Syok kardiogenik dengan hipotensi (tekanan darah sistolik _ 90
mmHg) dan vasokonstriksi perifer (oliguria, sianosis dan diaforesis).
Klasifikasi Stevenson menggunakan tampilan klinis dengan melihat tanda kongesti
dan kecukupan perfusi. Kongesti didasarkan adanya ortopnea, distensi vena juguler, ronki
basah, refluks hepato jugular, edema perifer, suara jantung pulmonal yang berdeviasi ke kiri,
atau square wave blood pressure pada manuver valsava. Status perfusi ditetapkan
berdasarkan adanya tekanan nadi yang sempit, pulsus alternans, hipotensi simtomatik,
ekstremitas dingin dan penurunan kesadaran. Pasien yang mengalami kongesti disebut basah
(wet) yang tidak disebut kering (dry). Pasien dengan gangguan perfusi disebut dingin (cold)
dan yang tidak disebut panas (warm). Berdasarkan hal tersebut penderta dibagi menjadi
empat kelas, yaitu:
- Kelas I (A) : kering dan hangat (dry – warm)
- Kelas II (B) : basah dan hangat (wet – warm)
- Kelas III (L) : kering dan dingin (dry – cold)
- Kelas IV (C) : basah dan dingin (wet – cold)
PATOFISIOLOGI
Patofisiologi gagal jantung amat kompleks dan melibatkan jejas kardiak dan
ekstrakardiak yang memicu respons neurohormonal seluler dan molekuler serta remodelisasi
jantung. Aktivasi neurohormonal yang pada mulanya bersifat adaptif kemudian berlanjut
secara kronik disertai remodelisasi yang buruk semakin memperberat jejas jantung dan di luar
jantung (misalnya vaskuler, pulmoner, dan renal).
Mekanisme Neurohormonal Progresivitas Gagal Jantung
Mekanisme neurohormonal kompensatorik yang terlibat dalam kejadian gagal jantung
mencakup aktivasi sistem saraf simpatik, sistem renin angiotensin (renin angiotensin
system/RAS), perubahan neurohormonal pada ginjal dan vaskuler perifer.
Aktivasi Sistem Saraf Simpatik
Aktivasi saraf simpatik yang disertai penurunan tonus parasimpatik merupakan
mekanisme adaptasi yang muncul pada fase dini gagal jantung. Hal ini dipicu oleh hilangnya
input inhibitorik dari refleks baroreseptor arterial dan kardiopulmoner. Pada pasien dengan
gagal jantung, input inhibitorik dari baroreseptor dan mekanoreseptor menurun sedangkan
input eksitatorik terhadap jaras simpatik meningkat sehingga terjadi peningkatan aktivitas
saraf simpatik dan penumpulan respons parasimpatik. Sebagai akibatnya, variabilitas denyut
jantung menurun dan resistensi vaskuler perifer meningkat.
Dampak dari peningkatan tonus simpatik tersebut adalah peningkatan kadar norepinefrin
(NE) yang bersirkulasi dalam darah. Pada pasien dengan gagal jantung, kadar NE di sinus
koronarius juga melebihi kadar NE di arteri yang mengisyaratkan adanya stimulasi
adrenergik di dalam jantung (Floras, 2009). Namun, seiring peningkatan keparahan gagal
jantung, konsentrasi NE di dalam miokard akan menurun yang diduga berkaitan dengan
kelelahan adrenergik akibat aktivasi sistem saraf simpatik di jantung yang berkepanjangan
(Kaye. et. al. 1994).
Peningkatan aktivitas simpatik dari reseptor adrenergik beta1 memicu peningkatan
denyut jantung dan kekuatan kontraksi miokard sehingga terjadi peningkatan curah jantung.
Hal ini juga memicu reseptor adrenergik alfa1 di miokard yang memiliki efek inotropik
positif serta vasokonstriksi perifer di arteri. Di satu sisi, NE dapat meningkatkan kapasitas
kontraksi dan relaksasi miokard sehingga mampu menjaga tekanan darah. Namun, apabila
kebutuhan energi miokard meningkat di tengah keterbatasan pengiriman oksigen di miokard,
risiko iskemia tak dapat dielakkan. Dengan demikian, aktivasi saraf simpatik mungkin
berperan untuk menunjang sirkulasi dalam jangka pendek namun berpotensi merusak
miokard dalam jangka panjang (Triposkiadis. 2009).
Aktivasi Sistem Renin Angiotensin (Renin Angiotensin System / RAS)
Berbeda dengan sistem saraf simpatik, aktivasi RAS mulai terjadi ketika keparahan
gagal jantung semakin memberat. Mekanisme diduga yang mendasari aktivasi RAS antara
lain hipoperfusi ginjal, penurunan jumlah sodium yang mencapai makula densa di tubulus
distal, serta peningkatan aktivitas saraf simpatik di ginjal. Berbagai faktor tersebut memicu
peningkatan jumlah renin yang dilepaskan dari aparatus jukstraglomerular. Angiotensin II
yang teraktivasi secara kronik oleh jaras RAS bersifat maladaptif dan dapat menyebabkan
fibrosis jantung, ginjal, dan organ lainnya (Hartupee & Mann 2017). Angiotensin II juga
dapat memperparah aktivasi neurohormonal dengan meningkatkan pelepasan NE dari ujung
saraf simpatik dan merangsang zona glomerulosa korteks adrenal untuk memproduksi
aldosteron. Ekspresi aldosteron yang berkepanjangan dapat memicu hipertrofi dan fibrosis
vaskuler dan miokard sehingga menurunkan kepatuhan vaskuler dan meningkatkan kekakuan
dinding ventrikel. Sementara itu, aldosteron yang berlebihan juga merangsang terjadinya
disfungsi endotel, baroreseptor, inhibisi ambilan NE, yang semakin memperburuk perjalanan
gagal jantung (Weber, 2001).
Seiring dengan bertambahnya keparahan gagal jantung, terjadi peningkatan retensi
garam dan air oleh ginjal. Hal ini timbul akibat penurunan volume darah arteri yang efektif.
Walaupun terjadi ekspansi volume darah pada kondisi gagal jantung, curah jantung yang
menurun yang dideteksi oleh baroreseptor vaskuler memicu serangkaian adaptasi
neurohormonal yang mirip dengan respons terhadap perdarahan akut (Yanagawa & Nagaya,
2007). Bukti yang ada menunjukkan bahwa kelebihan beban cairan pada gagal jantung terjadi
akibat perubahan fisiologi ginjal sebagai respons terhadap faktor-faktor yang menyebabkan
reabsorpsi natrium, aktivasi saraf simpatik, aktivasi RAS, penurunan tekanan perfusi ginjal,
dan penumpulan respons ginjal terhadap peptida natriuretik (Han & Ryu, 2011).
Perubahan Neurohormonal pada Ginjal dan Vaskuler Perifer
Di sisi lain, interaksi sistem saraf otonom dan mekanisme neurohormonal cenderung
melindungi perfusi ke otak dan jantung sedangkan aliran darah ke kulit, otot rangka, dan
organ visera menurun. Hal ini berkontribusi terhadap hipoperfusi ginjal dan saluran cerna
yang diperantarai oleh berbagai vasokonstriktor seperti NE, endotelin, urotensin II,
tromboksan A2, dan arginin vasopresin (AVP). Rangsangan simpatik terhadap arteri perifer
serta peningkatan kadar vasokonstriktor di dalam sirkulasi menyebabkan vasokonstriksi
arteriol sedangkan efek keduanya terhadap vena menimbulkan peningkatan tonus vena untuk
menjaga aliran balik vena dan pengisian ventrikel [12,14].
Peningkatan neurohormon yang merangsang vasokonstriksi arteriol tersebut mengaktifkan
mekanisme vasodilatorik, antara lain pelepasan peptida natriuretik, NO, bradikinin,
adrenomedulin, apelin, serta prostaglandin PGI2 dan PGE2. Pada kondisi normal, respons
vasodilatasi dari endotel tersebut mampu melawan efek vasokonstriksi khususnya pada saat
beraktivitas. Namun, pada gagal jantung berat, respons vasodilatasi tersebut hilang sehingga
vasokonstriksi arteri perifer tidak terbendung [10,15].
Remodelisasi Ventrikel Kiri
Remodelisasi ventrikel kiri merupakan perubahan struktur ventrikel kiri yang terjadi sebagai
respons terhadap jejas kardiovaskuler, aktivasi neurohormonal, dan kelainan beban
hemodinamik [16].
Perubahan pada Miosit Jantung
Perubahan pada miosit jantung pada remodelisasi ventrikel dapat memiliki dua macam
fenotip, yakni hipertrofi konsentrik dan eksentrik. Pada hipertrofi konsentrik, seperti
ditemukan dalam kasus hipertensi maupun stenosis aorta, kenaikan tekanan sistolik pada
dinding ventrikel merangsang penambahan jumlah sarkomer pada konfigurasi paralel
sehingga mempertebal dinding ventrikel kiri. Sementara itu, hipertrofi eksentrik sebagaimana
terjadi pada regurgitasi mitral dan aorta disebabkan oleh peningkatan tekanan dinding pada
fase diastolik yang menyebabkan perpanjangan miosit serta susunan sarkomer pada posisi
seri yang kemudian memicu terjadinya dilatasi ventrikel kiri [17,18]. Karakteristik ventrikel
kiri pada pasien dengan gagal jantung umumnya mengalami dilatasi dengan atau tanpa
penipisan dinding ventrikel [16].
Pada tingkat molekuler, hipertrofi miosit jantung memicu reaktivasi beragam gen fetal dan
penurunan ekspresi gen yang banyak ditemukan pada jantung orang dewasa. Mekanisme
pemrograman gen fetal ini berdampak pada regangan mekanik miosit, ekspresi neurohormon
(NE, angiotensin II), sitokin inflamasi, endotelin, dan pembentukan spesies oksigen reaktif
yang terjadi secara lokal di miokardium dan sistemik [19].
Selain itu, gangguan sambungan eksitasi-kontraksi miosit juga dapat terjadi pada gagal
jantung yang tampak nyata pada denyut jantung yang cepat dengan manifestasi berupa
penekanan pada asosiasi gaya-frekuensi. Pada kondisi normal, seiring dengan peningkatan
frekuensi kontraksi miosit, performa jantung turut meningkat akibat akumulasi kalsium
intraseluler temporer yang dipengaruhi frekuensi. Namun, pada gagal jantung, penurunan
jumlah kalsium intraseluler, peningkatan kadar kalsium diastolik, serta penurunan jumlah
Ca2+ transien menyebabkan kelemahan pembentukan gaya yang dihasilkan otot jantung [8].
Peran beberapa jenis protein sitoskeletal seperti titin, desmin, vinculin, dan dystrophin dalam
patogenesis gagal jantung juga mulai banyak dipelajari. Pada pasien dengan kardiomiopati
dilatasi, titin mengalami penurunan sementara desmin, vinculin, dan dystrophin mengalami
peningkatan [20]. Mengingat protein-protein tersebut merupakan fondasi mikroarsitektur
miosit, gangguan integritas seluler akibat ketidakseimbangan ekspresi protein sitoskeletal
tersebut dapat diprediksi mengganggu hubungan antara sarkomer dan sarkolema serta matriks
ekstraseluler yang berujung pada disfungsi kontraksi miosit [8].
Perubahan Miokardium
Perubahan terkait miokardium pada kondisi gagal jantung dapat meliputi perubahan volume
miosit jantung serta perubahan pada volume dan komposisi matriks ekstraseluler. Pada gagal
jantung, miosit jantung pada miokardium dapat mengalami nekrosis, apoptosis, serta
kematian sel secara autofagi yang berujung pada hilangnya jumlah miosit progresif, disfungsi
jantung, dan remodelisasi ventrikel kiri [8]. Sementara itu, matriks ekstraseluler
menunjukkan perubahan sintesis dan degradasi kolagen berserat, hilangnya penyangga
kolagen yang menghubungkan antar miosit, dan kerusakan anyaman kolagen[21].
Metaloproteinase matriks (matrix metalloproteinase/MMP) juga memiliki peran penting
dalam remodelisasi ventrikel sebab MMP teraktivasi dan meningkat pada kondisi gagal
jantung. Namun, progresivitas remodelisasi ventrikel sebenarnya lebih dipengaruhi oleh
ketidakseimbangan antara MMP dan glikoprotein regulatornya, yakni TIMP (tissue inhibitors
of matrix metalloproteinase). Evaluasi pada berbagai studi mengisyaratkan bahwa aktivasi
MMP memicu progresivitas dilatasi ventrikel kiri sedangkan ekspresi TIMP berperan pada
fibrosis miokard [22].
Perubahan Struktur Ventrikel Kiri
Segala perubahan pada tingkat molekuler, seluler, dan jaringan miokard bertanggung jawab
terhadap perubahan struktur ventrikel kiri pada gagal jantung. Pada prinsipnya, ventrikel
yang mengalami remodelisasi mengalami perubahan geometri dari bentuk elips yang
memanjang dari kutubnya menjadi bentuk yang lebih sferis. Hal ini berdampak pada
peningkatan tahanan dinding ventrikel pada sumbu meridien yang memicu beban energi baru
pada dinding jantung yang sudah payah tersebut [17]. Mengingat bahwa beban ventrikel di
akhir diastole berkontribusi terhadap beban ventrikel pada awal sistole, maka dapat dipahami
bahwa dilatasi ventrikel kiri akan meningkatkan kebutuhan energi ventrikel. Hal ini akan
semakin memperparah penggunaan energi pada ventrikel jantung yang sudah gagal
Santoso A, Erwinanto, Munawar M, Suryawan R, Rifqi S, Soerianata S. Diagnosis dan
tatalaksana praktis gagal jantung akut. 2007

Anda mungkin juga menyukai