BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Harta atau al-mal yang berasal dari kata ( المالal mal) jamaknya ( االموالal-amwāl)
yang berarti yang berarti condong, cenderung,dan miring adalah salah satu karunia dan
nikmat yang diberikan oleh Allah kepada manusia sebagai khalifah di muka bumi ini.
Sesuai dengan arti dari asal katanya, harta dapat membuat orang menjadi condong, miring
atau bahkan cenderung terhadap apa yang disebut sebagai harta tersebut. Pada zaman
sekarang banyak sekali orang yang menjadikan harta sebagai tolak ukur kesuksesannya,
sehingga berlomba-lomba untuk mengumpulkan harta yang bahkan tidak mempedulikan
dari mana harta itu didapat dan untuk apa harta itu dibelanjakan.
Sebenarnya Islam mengakui bahwa eksistensi harta sangat penting untuk
mendukung penyempurnaan pelaksanaan ibadah baik yang ritual ataupun sosial, bahkan
jihad salah satunya harus dengan harta. Oleh sebab itu, Islam melalui al-Qur’ān dan Ḥadīṡ
memberikan tuntunan mengenai harta, agar manusia bisa memposisikan harta dengan benar
untuk meraih keselamatan dan kebahagiaan di dunia dan akhirat sebagaimana tujuan
aktifitas ekonomi Islam.1
Pedoman yang diberikan oleh Al-Qur’an dan hadits tentang bagaimana manusia
bisa memposisikan harta dengan benar ini seharusnya seorang muslim mampu mengelola
dan menjaga dharuriyat al-Khamsah (lima kebutuhan dasar) dimana itu merupakan
maqashid al-syariah (tujuan-tujuan dari syari’ah) yaitu menjaga agama, jiwa, keturunan,
akal, dan harta. Masuknya harta menjadi salah satu dari lima hal yang sangat penting dalam
Islam, membuat banyak ulama membahas mengenai harta, mereka ada yang
menyinggungnya dalam salah satu bab dalam kitabnya sebagaimana al-Gazāliī dalam kitab
Ihya’nya (Al-Gazālī, Ihya IV, tt: 88), ada juga yang menyusun sebuah kitab khusus
berbicara mengenai harta, sebagaimana kitab al-Amwal karangan Abū Ubaid, (Abū Ubaid,
1
Muhamad Masrur, “Konsep Harta Al-Qur’an dan Hadis” dalam Jurnal Hukum Islam, Vol. 15, No. 1, Juni
2017, hlm.96. Dalam http://e-journal.iainpekalongan.ac.id/index.php/jhi/article/view/801/1186
Universitas Indonesia
2
2006: 66) demikian pula para pakar ekonomi Islam kajian tentang harta tidak akan lepas
dari tema pemikirannya.2
Pedoman mengenai aturan tentang harta dalam Islam mempunyai konsep sendiri
dan berbeda jika dibandingkan dengan konsep harta dari kapitalisme dan sosialisme baik itu
dari segi cara mendapatkan, kepemilikan, bahkan sampai pada bagaimana memfungsikan
dan menggunakan harta tersebut. Hal ini merupakan bentuk kesempurnaan keparipurnaan
Islam sebagai agama sekaligus ideologi dan aturan hidup yang mengatur seluruh aspek
kehidupan manusia mulai dari bangun tidur di pagi hari hingga tidur lagi di malam harinya.
Hal tersebut yang kemudian menjadi alasan bagi penulis untuk membahas mengenai
“Fungsi Harta dalam Islam”.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian dalam latar belakang di atas, dalam makalah ini akan dijelaskan
beberapa pembahasan yang tertuang dalam bentuk pertanyaan guna menjadi acuan dan
batasan dalam penguraiannya, yaitu :
1. Bagaimanakah pengertian harta dalam pandangan Islam?
2. Bagaimanakah Islam mengatur mengenai fungsi harta dalam kehidupan manusia?
2
Ibid, hlm. 97.
Universitas Indonesia
3
BAB II
PEMBAHASAN
Harta dalam bahasa Arab disebut al-mal yang berasal dari kata ( المالal mal)
jamaknya ( االموالal-amwāl) yang berarti condong, cenderung,dan miring.3 Secara literal
dapat diartikan cenderung pada, doyong, miring, suka, senang, simpati kepada, menyokong,
membantu, melangkah, menuju, menyimpang dari, menghindar dari, mengelak, berpihak
pada, dan mengalahkan.4
Dalam terminologi syari’at, para ulama berbeda pendapat mengenai pengertian al-
mal antara yang satu dengan yang lainnya. Menurut Hanafiyah, harta adalah sesuatu yang
digandrungi tabiat manusia dan memungkinkan untuk disimpan dalam kurun waktu tertentu
hingga dibutuhkan. Menurut Hanafiyah harta harus dapat disimpn sehingga sesuatu yang
tidak dapat disimpan bukanlah harta.5
Menurut sebagian ulama, yang dimaksud dengan harta ialah sesuatu yang
diinginkan manusia berdasarkan tabiatnya, baik manusia itu akan memberikannya atau
akan menyimpannya. Kemudian, menurut sebagian ulama lainnya, harta adalah segala zat
(‘ain) yang berharga, bersifat materi yang berputar-putar di antara manusia.6
Sementara menurut Hasby Ash-Shiddieqy, yang dimaksud dengan harta adalah :7
1. Nama selain manusia yang diciptakan Allah untuk mencukupi kebutuhan hidup
manusia, dapat dipelihara pada suatu tempat dan dapat dikelola (tasarruf) dengan
jalan ikhtiar;
2. Sesuatu yang dapat dimiliki oleh setiap manusia,baikoleh seluruh manusia maupun
sebagian manusia;
3. Sesuatu yang sah untuk diperjual belikan;
3
Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah (Depok:Rajagrafindo Persada, 2016), hlm. 9.
4
Ahmad Warson Munawwir, Al Munawwir Kamus Arab-Indonesia,(Surabaya:Pustaka Progresif, 2007), hlm.
1469-1470.
5
Hendi Suhendi, loc. cit.
6
Ibid. hlm. 10.
7
Hasby Ash-Shiddieqy, Pengantar Ilmu Muamalah (Jakarta : Bulan Bintang, 1984), hlm. 140.
Universitas Indonesia
4
4. Sesuatu yang dapat dimiliki dan mempunyai nilai (harga), dapat diambil
manfaatnya dan dapat disimpan;
5. Sesuatu yang berwujud, sesuatu yang tidak berwujud meskipun dapat diambil
manfaatnya tidak termasuk harta. Semisal manfaat, karena manfaat tidak
berwujud,maka tidak termasuk harta;
6. Sesuatu yang dapat disimpan dalam waktu yang lama atau sebentar dan dapat
diambil manfaatnya ketika dibutuhkan.
Berdasarkan beberapa pengertian al-mal diatas dapat disimpulkan bahwa para
ulama mempunyai pendapat yang berbeda antara satu dengan yang lainnya. Namun, dapat
diperhatukan bahwa penekanan para ulama dalam mendefenisikan harta itu antara lain
sebagai berikut.
Hasby Ash-Shiddieqy menyebutkan bahwa harta adalah nama selain manusia, dapat
dikelola, dapat dimiliki, dapat diperjualbelikan dan berharga. Sementara Hanafiyah
menyatakan bahwa harta adalah sesuatu yang berwujud fan dapat disimpan sehinnga
sesuatu yang tidak berwujud dan tidak dapat disimpan tidak termasuk harta, seperti hak dan
manfaat.
Harta termasuk salah satu keperluan pokok manusia dalam menjalani kehidupan ini,
sehingga oleh ulama ushul fiqh persoalan harta dimasukkan ke dalam satu al daruriyat al
khamsah (lima keperluan pokok) yang terdiri dari agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. 8
Semua yang ada di bumi ini pada hakikatnya adalah kepunyaan Allah termasuk ke
dalamnya harta, karena Dia-lah yang meciptakannya. Meskipun demikian, manusia sebagai
khalifah di bumi ini diberikan hak oleh Allah untuk memanfaatkan harta tersebut (hak
pakai). Pemanfaatan harta harus disesuaikan dengan fitrah dan fungsi harta dengan benar
sebagaimana yang telah diatur di dalam syari’at. Islam mempunyai kriteria sendiri dalam
hal memanfaatkan harta dan memfungsikan harta dibandingkan dengan Kapitalisme dan
Sosialisme. Kapitalisme memandang kepemilikan harta adalah mutlak dan pemanfaatannya
8
Abdul Rahman Ghazali et. Al., Fiqh Muamalat (Jakarta:Kencana, 2010), hlm. 20.
Universitas Indonesia
5
pun dibebaskan sesuai dengan kehendak si pemilik harta. Sedangkan dalam Sosialisme
tidak mengenal kepemilikan individu melainkan semuanya dimiliki oleh Negara.9
Sebagaimana telah dibahas sebelumnya, karena harta memegang peranan penting
dalam kehidupan manusia maka syariat telah mengatur bagaimana seharusnya manusia
memfungsikannya agar tetap bernilai ibadah di hadapan Allah sesuai tujuan penciptaan
manusia yaitu untuk beribadah kepada Allah. Adapun fungsi harta tersebut adalah :
Artinya : Dan ketahuilah, bahwa hartamu dan anak-anakmu itu hanyalah sebagai
cobaan dan sesungguhnya di sisi Allah ada pahala yang besar.
Hal yang sama juga ditegaskan Allah dalam Q.S. At Taghābun (64) : 15 yang berbunyi :
9
Veithzal Rifai dan Andi Buchari, Islamic Economics:Ekonomi Syariah Bukan Opsi Tetapi Solusi (Jakarta :
Bumi Aksara, 2013), hlm. 362.
Universitas Indonesia
6
yang hati manusia cendrung atau condong kepadanya. Al-māl juga didefenisikan
sebagai segala sesuatu yang dapat dimiliki. (Lisanul-Arab, Ibnu Manzur).
b. ( فتنةFitnatun) berasal dari kata fatanah yang pada mulanya berarti membakar emas
unutk mengetahui kadar kualitasnya. Fitnah juga bias bermakna ujian, cobaan,
harta, anak-anak, kekafiran, perselisihan pendapat diantara manusia, dan bisa
bermakna pembakaran dengan api. (Lisanul Arab, Ibnu Manzur).
c. ( جهدواjāhidu) berasal dari kata ( الجهدal jahd) dengan difathahkan huruf jimnya
sehingga bermakna kelelahandan kesusahan atau dari al juhd dengan di
dhommahkan huruf jimnya sehingga bermakna kemampuan. Kalimat بلغ جهده
bermakna mengeluarkan kemampuannya.
Kitab Tafsir Jalalain memberikan tafsiran global terhadap Q.S. Al Anfal : (8) 28 dan
Q.S. At Taghābun (64) : 15 sebagai berikut :
“(Dan ketahuilah bahwa harta kalian dan anak-anak kalian itu hanyalah
sebagai cobaan) buat kalian yang menghambat kalian daripada perkara-
perkara akhirat (dan sesungguhnya di sisi Allahlah pahala yang besar) maka
janganlah sekali-kali kalian melewatkan pahala yang besar sehingga kalian
mau berbuat khianat demi untuk mereka”. (Q.S. Al Anfal : (8) 28).
Tafsiran global dari Kitab Tafsir Jalalain tersebut diatas memberikan gambaran bahwa
sesungguhnya harta itu adalah sebagai fitnah (cobaan) bagi manusia yang menguji manusia
dalam urusan akhirat. Apakah dengan harta yang dititipkan Allah kepadanya itu
melalaikannya dari perkara-perkara akhirat atau sebaliknya mereka dapat menggunakannya
untuk memperoleh pahala yang sangat besar dari Allah dengan harta tersebut.
Secara lebih mendalam lagi, Ibnu Katsir dalam Kitab Tafsirnya menafsirkan Q.S. Al
Anfal : (8) 28 dan Q.S. At Taghābun (64) : 15 sebagai berikut :
“Firman Allah ‘Dan ketahuilah, bahwa hartamu dan anak-anakmu itu
hanyalah sebagai cobaan’ Maksudnya adalah ujian dan cobaan dari Allah
Universitas Indonesia
7
kepada kalian saat Dia memberikan harta dan anak itu kepada kalian, supaya
Dia mengetahui adakah kalian mensyukuri nikmat tersebut, mentaati-Nya
dalam setiap urusan, ataukah kalian tersibukkan olehnya (harta dan anak-
anak) dari Allah dan menjadikan kedua-nya sebagai pengganti Allah.
Kemudian, firman Allah ‘Dan sesungguhnya di sisi Allah-lah pahala yang
besar.’ Maksudnya adalah pahala, pemberian-Nya dam surga-surga-Nya
lebih baik bagi kalian daripada harta dan anak-anak, sebab kadang-kadang di
antara mereka itu menjadi musuh dan kebanyakan mereka tidak memberi
apa-apa bagimu, sedang Allah-lah Dzat yang mengatur, yang memiliki dunia
dan akhirat, Dia memiliki pahala yang besar pada hari kiamat.” (Q.S. Al
Anfal : (8) 28).
“ Firnan Allah ‘Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu itu hanyalah
sebagai cobaan(bagimu), di sisi Allah-lah pahala yang besar.’ Artinya,
harta dan anak itu akan menjadi bahan ujian dan cobaan dari Allah bagi
makhluk-Nya agar Dia mengetahui siapakah hamba-Nya yang taat ataupun
durhaka kepada-Nya. Dan ada pahala yang besar di sisi Allah pada hari
kiamat kelak.” (Q.S.At-Taghābun (64):15 ).
Tafsir Ibnu Katsir ini memberikan penjelasan yang lebih jelas lagi bahwa harta
diberikan oleh Allah kepada manusia adalah cobaan dari Allah untuk mengetahui adakah
kita mensyukuri nikmat tersebut ataukah manusia malah menjadi durhaka kepada Allah dan
disibukkan olehnya bahkan sampai menggantikan kedudukan Allah baginya. Padahal
sesungguhnya harta tersebut tidak lebih baik dari pahala dan surga-Nya yang diberikan
Allah di akhirat kelak apabila dia pandai mensyukuri harta tersebut.
Cobaan dengan harta ini kadang membuat manusia mencintai harta dan dunia
melebihi cintanya kepada Allah dan Rasul-Nya. Apabila sudah muncul penyakit cinta harta
dan dunia, maka yang muncul selanjutnya adalah penyakit takut mati untuk menghadap
kepada Allah. Padahal tidaklah sempurna keimanan seorang muslim apabila tidak
mencintai Allah dan Rasulnya lebih besar dari apapun di atas dunia ini. Sebagaimana hadits
yang diriwayatkan oleh Bukhari :
َاس أَ ْج َمعِين
ِ َّالَ يُؤْ مِ ُن أ َ َحدُ ُك ْم َحتَّى أ ُكونَ أ َ َحبَّ إِلَ ْي ِه مِ ْن َوا ِلدِه َو َولَدِه َوالن
Artinya : Demi Dzat yang jiwaku ada di tangan-Nya, tidak beriman seseorang di
antara kalian, sehingga aku lebih dia cintai daripada dirinya,
keluarganya, hartanya dan manusia seluruhnya. (H.R. Bukhari).
Universitas Indonesia
8
Oleh karena itu, cintailah harta seperlunya saja dan jangan berlebihan karena itu
hanyalah titipan sekaligus cobaan bagi manusia untuk melihat sejauh mana manusia
mencintai Allah dan Rasul-Nya. Apakah harta tersebut dapat mengantarnya pada jalan yang
di ridhoi oleh Allah atau sebaliknya malah menjerumuskan manusia dalam kesesatan
mencintai harta dan dunia yang sewaktu-waktu bisa diambil oleh Allah.
Di sisi lain, meskipun harta adalah sebagai fitnah (cobaan) bagi manusia, hal ini
bukan berarti kaum muslimin serta merta menjauhi harta dan dunia dengan alasan takut
akan cobaan dari Allah. Sebagai muslim kita diperbolehkan dalam syari’at untuk
mengumpulkan harta dan rizki dari Allah bahkan seharusnya kita berlomba-lomba dalam
hal itu.Hal ini kita tujukan bahwa apabila kita mempunyai harta dan perekonomian yang
kuat, maka akan kita gunakan harta tersebut untuk berjihad dijalan Allah, menegakkan
agama Allah di muka bumi ini dan bersama-sama membantu saudara-saudara yang masih
lemah agar bisa bersama-sama mencapai kehidupan dunia yang sejahtera dan mendapatkan
kehidupan akhirat yang di ridhoi oleh Allah.
Asbabun nuzul dari Ayat ini seperti yang dijelaskan dalam Kitab Tafsir Ibnu Katsir
adalah :
“Ketika Mu’tamir bin Sulaiman berkata dari ayahnya : “ seorang Hadhrami
diberitahu bahwa ada sekelompok orang yang berpura-pura sakit dan renta lalu
berkata : “Saya tidak berdosa” ketika diminta untuk memerangi musuh Allah yaitu
orang-orang Romawi dari kalangan Ahli Kitab di perang Tabuk. Sehingga nya
Allah mewajibkan keberangkatan dalam segala keadaan, giat dan terpaksa, sulit atau
Universitas Indonesia
9
mudah. Dan kemudian Allah memberikan dorongan untuk berjihad dengan harta
dan jiwa untuk mendapatkan keridhoan Allah dan Rasul-Nya”.
Jika dilihat dari asbabun nuzulnya, ayat ini diturunkan Allah karena pada saat
perang Tabuk melawan orang Romawi dari kalangan ahli kitab terdapat sekelompok orang
yang bermalas-malasan dan berpura-pura sakit agar diperbolehkan untuk tidak ikut
berperang. Sehingganya Allah mewajibkan semuanya untuk ikut berjihad baik dalam
keadaan lapang ataupun sempit.
Kitab Tafsir Jalalain secara global menafsirkan Q.S. At – Taubah (9) : 41 dengan :
“ (Berangkatlah kalian baik dalam keadaan merasa ringan atau pun merasa
berat) dalam keadaan bersemangat atau pun dalam keadaan tidak
bersemangat. Menurut penafsiran yang lain dikatakan bahwa arti ayat ini
ialah baik dalam keadaan kuat maupun dalam keadaan lemah atau baik
dalam keadaan berkecukupan maupun dalam keadaan kekurangan. Akan
tetapi ayat ini dinasakh oleh firman Allah yang lain, yaitu, "Tiada dosa
(lantaran tidak pergi berjihad) atas orang-orang yang lemah..." (Q.S. At-
Taubah 91). (dan berjihadlah dengan harta dan diri kalian di jalan Allah.
Yang demikian itu adalah lebih baik bagi kalian jika kalian mengetahui)
bahwasanya hal ini lebih baik bagi diri kalian, oleh sebab itu jangan sekali-
kali kalian merasa berat. Ayat ini diturunkan berkenaan dengan sikap
orang-orang munafik, yaitu mereka yang enggan pergi berperang”.
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa dalam ayat ini Allah mewajibkan
semuanya untuk berjihad termasuk dalam hal ini adalah orang-orang munafik yang
mencari-cari alasan untuk tidak ikut berjihad pada saat itu. Allah memerintahkan semuanya
untuk berjihad baik dalam keadaan lapang ataupun sempit, keadaan kuat ataupun lemah,
dalam keadaan cukup maupun kekurangan. Kemudian Allah juga memerintahkan untuk
berjihad baik jihad jiwa maupun jihad harta.
Lebih jauh lagi, Ibnu Katsir dalam kitab tafsirnya menjelaskan tafsiran Q.S. At –
Taubah (9) : 41 ini bahwa :
“ Ibnu Abi Najih berkata dari Mujahid berkata dari Mujahid, dalam
menafsirkan ayat : ‘Berangkatlah kamu dengan perasaan ringan dan berat,’
di antara kami ada yang merasa berat, memiliki keperluan, memiliki
pekerjaan yang sangat menguntungkan, memiliki kesibukan dan ada yang
urusannya dimudahkan. Maka Allah tidak menerima alasan apapun untuk
tidak berangkat.
Universitas Indonesia
10
Universitas Indonesia
11
BAB III
PENUTUP
A. Simpulan
Universitas Indonesia
12
a. Harta adalah fitnah (cobaan) bagi manusia. Harta yang dimiliki oleh
manusia dijadikan bahan ujian oleh Allah untuk melihat apakah manusia
mensyukurinya atau malah manusia menjadi lalai dan abai dari Allah
karena disibukkan oleh harta tersebut. Meskipun sebagai harta adalah
ujian bagi manusia, tidak seharusnya pula manusia khususnya sebagai
seorang muslim menjauhinya, karena dengan harta seorang muslim
dapat memberikan manfaat untuk sesama muslim dan manusia lainnya
(hal yang bersifat sosial). Mensyukuri harta berarti dengan
memperhatikan bagaimana harta itu diperoleh dan untuk apa harta
tersebut dipergunakan sesuai dengan aturan yang telah Allah tetapkan.
b. Harta adalah sarana untuk berjihad di jalan Allah. Berjihad disini artinya
tidak dibatasi hanya pada saat berperang saja, melainkan sesuai dengan
tafsir Ibnu Katsir bahwa berjihad di jalan Allah dengan harta salah satu
bentuknya dengan berzakat, bersedekah atau menginfakkan harta yang
dimiliki untuk tegaknya agama Allah di muka bumi ini.
Universitas Indonesia
13
DAFTAR PUSTAKA
BUKU
KITAB TAFSIR
Katsir, Ibnu. 2004. Lubaabut Tafsiir Min Ibni Katsir, terj.Abdullah bin Muhammad bin
Abdurahman bin Ishaq Al-Sheikh,Tafsir Ibnu Katsir Jilid 6. Bogor:Pustaka Imam
Syafi’i.
JURNAL
Masrur, Muhamad. 2017. “Konsep Harta Al-Qur’an dan Hadis”. Jurnal Hukum Islam, Vol.
15, No. 1, Juni 2017.
Dalam http://e-journal.iainpekalongan.ac.id/index.php/jhi/article/view/801/1186
Universitas Indonesia