Anda di halaman 1dari 50

PERATURAN DAERAH KABUPATEN MIMIKA

NOMOR 15 TAHUN 2011


TENTANG

RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN MIMIKA


TAHUN 2011 - 2031

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BUPATI MIMIKA

Menimbang : a. bahwa untuk mengarahkan pembangunan di Kabupaten Mimika dengan


memanfaatkan ruang wilayah secara berdaya guna, berhasil guna, serasi,
selaras, seimbang, dan berkelanjutan serta berwawasan lingkungan dalam
rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan pertahanan keamanan,
berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 perlu disusun rencana tata ruang wilayah;
b. bahwa dalam rangka mewujudkan keterpaduan pembangunan antar sektor,
daerah, dan masyarakat maka rencana tata ruang wilayah merupakan arahan
lokasi investasi pembangunan yang dilaksanakan pemerintah, masyarakat,
dan/atau dunia usaha;
c. bahwa Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Mimika Tahun 2000-2010
telah berakhir masa berlakunya, adanya perkembangan dinamika
pemerintahan dan pembangunan serta hasil-hasilnya, perlu disusun kembali
Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Mimika Tahun 2011-2031 sesuai
ketentuan yang berlaku;
d. bahwa dengan ditetapkannya Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 tentang
Penataan Ruang dan Peraturan Pemerintah No.26 Tahun 2008 tentang
Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional, maka perlu penjabaran ke dalam
Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Mimika Tahun 2011-2031;
e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, b, c
dan d perlu menetapkan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Mimika
periode tahun 2011-2031.

Mengingat : 1. Pasal 18 ayat (6) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 perubahan kedua;
2. Undang - Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok
Agraria (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1960 Nomor 104,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2043;
3. Undang - Undang Nomor 12 Tahun 1969 Tentang Pembentukan Propinsi
Otonom Irian Barat dan Kabupaten - Kabupaten Otonom di Propinsi Irian
Barat (Lembaga Negara Tahun 1969 Nomor 47, Tambahan Lembaran Negara
2097);
4. Undang - Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya
Alam Hayati dan Ekosistemnya (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1990 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
3419);
5. Undang - Undang Nomor 5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 27, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3470);
6. Undang - Undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 129, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3881);
7. Undang - Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 167, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3888) sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2004 tentang Penetapan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan
Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004
Nomor 86, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4412);
8. Undang - Undang Nomor 45 Tahun 1999 Tentang pembentukan Propinsi Irian
Jaya Tengah, Propinsi Irian Jaya Barat, Kabupaten Paniai, Kabupaten Mimika,
Kabupaten Puncak Jaya dan Kabupaten Sorong (Lembaran Negara Tahun
1999 Nomor 173, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
3894);
9. Undang - Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi
Provinsi Papua (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor
135, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4151),
sebagaimana telah diubah dengan Undang – Undang Nomor 35 Tahun 2008
tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang - Undang Nomor
1 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua menjadi Undang
– Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4884);
10. Undang - Undang Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 47, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4169);
11. Undang - Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 3, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4286);
12. Undang - Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 32, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4377);
13. Undang - Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan
Pembangunan Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004
Nomor 104, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4421);
14. Undang - Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437), sebagaimana telah
diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 ( Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4844);

2
15. Undang - Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan
Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 126, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4438);
16. Undang - Undang Nomor 38 Tahun 2004 tentang Jalan (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 132, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4444);
17. Undang - Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 66, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4723);
18. Undang - Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 68, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4725);
19. Undang - Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir
dan Pulau-Pulau Kecil (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007
Nomor 84, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4739);
20. Undang - Undang Nomor 43 Tahun 2008 tentang Wilayah Negara (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 117, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4925);
21. Undang - Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 1, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4956);
22. Undang - Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan
Batubara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 4,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 959);
23. Undang - Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 11, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4966);
24. Undang - Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan Dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2009 Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
5059);
25. Undang - Undang Nomor 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan
Pertanian Pangan Berkelanjutan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2009 Nomor 149, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
5068);
26. Undang – Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang – undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011
Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5234);
27. Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1985 tentang Perlindungan Hutan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1985 Nomor 39, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3294);
28. Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 1991 tentang Sungai (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1991 Nomor 44, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3445);

3
29. Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 1998 tentang Penertiban dan
Pendayagunaan Tanah Terlantar (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1998 Nomor 52, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
3747);
30. Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 1998 tentang Kawasan Suaka Alam
dan Kawasan Pelestarian Alam (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1998 Nomor 132, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
3776);
31. Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 2000 tentang Tingkat Ketelitian Peta
untuk Penataan Ruang Wilayah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2000 Nomor 20, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
3934);
32. Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 2002 tentang Hutan Kota (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 119, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4242);
33. Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2006 tentang Jalan (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 86, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4655);
34. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan
Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan
Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2007 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4737);
35. Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang
Wilayah Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor
48, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4833);
36. Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2008 tentang Air Tanah (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 83, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 4859);
37. Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2010 tentang Penyelenggaraan
Penataan Ruang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor
21, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5103);
38. Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 2010 tentang Bentuk Dan Tata Cara
Peran Masyarakat dalam Penataan Ruang (Lembaran Negara Republik
Indonesia tahun 2010 Nomor 118, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5160);
39. Keputusan Presiden Nomor 4 Tahun 2009 tentang Badan Koordinasi Penataan
Ruang Nasional (BKPRN) ;
40. Keputusan Presiden Nomor 33 Tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan
Lindung ;
41. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 28 Tahun 2008 tentang Tata Cara
Evaluasi Rancangan Peraturan Daerah Tentang Rencana Tata Ruang Daerah;
42. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 50 Tahun 2009 tentang Pedoman
Koordinasi Penataan Ruang Daerah;
43. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 11/PRT/M/2009 tentang Pedoman
Persetujuan Substansi Dalam Penetapan Rancangan Peraturan Daerah tentang
Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi dan Rencana Tata Ruang Wilayah
Kabupaten / Kota Beserta Rinciannya;

4
44. Peraturan Daerah Provinsi Papua tentang Rencana Tata Ruang Wilayah
(RTRW) Provinsi Papua Tahun 2011-2031;
45. Peraturan Daerah Kabupaten Mimika Nomor 2 Tahun 2008 tentang
Kewenangan Pemerintah Kabupaten Mimika (Lembaran Daerah Kabupaten
Mimika Tahun 2008 Nomor 2, Tambahan Lembaran Daerah Nomor 2);
46. Peraturan Daerah Kabupaten Mimika Nomor 33 Tahun 2010 tentang Susunan
Organisasi dan Tata Kerja Lembaga Teknis Badan Perencanaan Pembangunan
Daerah Kabupaten Mimika.
47. Keputusan Gubernur Papua Nomor 182 Tahun 2011 tentang Evaluasi
Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten Mimika tentang Rencana Tata Ruang
Wilayah Kabupaten Mimika Tahun 2011 – 2031.

Dengan Persetujuan Bersama

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KABUPATEN MIMIKA

dan

BUPATI MIMIKA

MEMUTUSKAN :

Menetapkan : PERATURAN DAERAH KABUPATEN MIMIKA TENTANG RENCANA


TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN MIMIKA TAHUN 2011 - 2031.

BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Peraturan Daerah ini yang dimaksud dengan :


1. Daerah adalah Kabupaten Mimika.
2. Kepala Daerah adalah Bupati Mimika.
3. Pemerintah Daerah adalah Pemerintah Kabupaten Mimika.
4. Pemerintah Pusat, selanjutnya disebut Pemerintah adalah Presiden Republik Indonesia yang
memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
5. Ruang adalah wadah yang meliputi ruang daratan, ruang laut dan ruang udara termasuk ruang
didalam bumi sebagai satu kesatuan wilayah, tempat manusia dan makhluk lain hidup,
melakukan kegiatan, dan memelihara kelangsungan kehidupannya.
6. Tata ruang adalah wujud struktur ruang dan pola ruang.
7. Rencana tata ruang adalah hasil perencanaan tata ruang.

5
8. Struktur ruang adalah susunan pusat-pusat permukiman dan sistem jaringan prasarana dan
sarana yang berfungsi sebagai pendukung kegiatan sosial ekonomi masyarakat yang secara
hirarkis memiliki hubungan fungsional.
9. Pola ruang adalah distribusi peruntukan ruang dalam suatu wilayah yang meliputi peruntukan
ruang untuk fungsi lindung dan peruntukan ruang untuk fungsi budidaya.
10. Penataan ruang adalah suatu sistem proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang dan
pengendalian pemanfaatan ruang.
11. Penyelenggaraan penataan ruang adalah kegiatan yang meliputi pengaturan, pembinaan,
pelaksanaan dan pengawasan penataan ruang.
12. Pelaksanaan penataan ruang adalah upaya pencapaian tujuan penataan ruang melalui
pelaksanaan perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang.
13. Pemanfaatan ruang adalah upaya untuk mewujudkan struktur ruang dan pola ruang sesuai
dengan rencana tata ruang melalui penyusunan dan pelaksanaan program beserta
pembiayaannya.
14. Pengendalian pemanfaatan ruang adalah upaya untuk mewujudkan tertib tata ruang sesuai
dengan rencana tata ruang yang telah ditetapkan.
15. Wilayah adalah ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta segenap unsur terkait yang
batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek administratif dan/atau aspek fungsional.
16. Kawasan adalah wilayah yang memiliki fungsi utama lindung atau budidaya.
17. Kawasan lindung adalah wilayah yang ditetapkan dengan fungsi utama melindungi kelestarian
lingkungan hidup yang mencakup sumberdaya alam dan sumber daya buatan.
18. Kawasan budidaya adalah wilayah yang ditetapkan dengan fungsi utama untuk dibudidayakan
atas dasar kondisi dan potensi sumberdaya alam, sumber daya manusia dan sumber daya
buatan.
19. Kawasan perkampungan adalah wilayah yang mempunyai kegiatan utama pertanian, termasuk
pengelolaan sumber daya alam dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman
perkampungan, pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi.
20. Kawasan perkotaan adalah wilayah yang mempunyai kegiatan utama bukan pertanian dengan
susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman perkotaan, pemusatan dan distribusi
pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial dan kegiatan ekonomi.
21. Kawasan strategis nasional adalah wilayah yang penataan ruangnya diprioritaskan karena
mempunyai pengaruh sangat penting secara nasional terhadap kedaulatan negara, pertahanan
dan keamanan negara,ekonomi, sosial, budaya, dan/atau lingkungan, termasuk wilayah yang
ditetapkan sebagai warisan dunia.
22. Kawasan Pertahanan Negara adalah wilayah yang ditetapkan secara nasional yang digunakan
untuk kepentingan pertahanan.
23. Kawasan strategis kabupaten adalah wilayah yang penataan ruangnya diprioritaskan karena
mempunyai pengaruh sangat penting dalam lingkup kabupaten/kota terhadap ekonomi, sosial,
budaya dan/atau lingkungan.
24. Pusat Kegiatan Nasional yang selanjutnya disebut PKN adalah kawasan perkotaan yang
berfungsi untuk melayani kegiatan skala internasional, nasional, atau beberapa provinsi.
25. Pusat Kegiatan Wilayah yang selanjutnya disebut PKW adalah kawasan perkotaan yang
berfungsi untuk melayani kegiatan skala provinsi atau beberapa kabupaten/kota.
26. Pusat Kegiatan Lokal yang selanjutnya disebut PKL adalah kawasan perkotaan yang berfungsi
untuk melayani kegiatan skala kabupaten atau beberapa Distrik.
27. Pusat Kegiatan Lokal Promosi yang selanjutnya disebut PKLp adalah kawasan perkotaan yang
dipromosikan untuk menjadi PKL.

6
28. Pusat Kegiatan Strategis Nasional yang selanjutnya disebut PKSN adalah kawasan perkotaan
yang ditetapkan untuk mendorong pengembangan kawasan perbatasan negara.
29. Pusat Pelayanan Kawasan yang selanjutnya disebut PPK adalah kawasan perkotaan yang
berfungsi untuk melayani kegiatan skala kecamatan atau beberapa kampung.
30. Pusat Pelayanan Lingkungan yang selanjutnya disebut PPL adalah pusat permukiman yang
berfungsi untuk melayani kegiatan skala antar kampung.
31. Daerah Pengendapan Ajkwa Dimodifikasi atau Modified Ajakwa Deposition Area yang
selanjutnya disebut ModADA adalah daerah pengendapan pasir sisa tambang (tailing) yang
dialirkan melalui sungai yang berada di kawasan daratan (diantara dua tanggul) dan estuari
sebagaimana direncanakan dan ditetapkan sesuai dengan Amdal 300K yang telah disetujui oleh
pemerintah;
32. Orang adalah orang perseorangan dan/atau korporasi.
33. Masyarakat adalah orang, perseorangan, kelompok orang termasuk masyarakat hukum adat,
korporasi, dan/atau pemangku kepentingan non pemerintah lain dalam penyelenggaraan
penataan ruang.
34. Peran masyarakat adalah partisipasi aktif masyarakat dalam perencanaan tata ruang,
pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang.
35. Cekungan Air Tanah adalah suatu wilayah yang dibatasi oleh batas hidrogeologis seperti proses
pengimbuhan, pengaliran, dan pelepasan air tanah berlangsung.
36. Jalan adalah prasarana transportasi darat yang meliputi segala bagian jalan, termasuk bangunan
pelengkap dan perlengkapannya yang diperuntukkan bagi lalu lintas, yang berada pada
permukaan tanah, di atas permukaan tanah, di bawah permukaan tanah dan/atau air, serta di
atas permukaan air, kecuali jalan kereta api, jalan lori, dan jalan kabel.
37. Sistem Jaringan Jalan adalah satu kesatuan ruas jalan yang saling menghubungkan dan
mengikat pusat-pusat pertumbuhan dengan wilayah yang berada dalam pengaruh pelayanannya
dalam satu hubungan hierarkis.
38. Hirarki Jalan adalah pengelompokan jalan berdasarkan fungsi jalan, berdasarkan administrasi
pemerintahan dan berdasarkan muatan sumbu yang menyangkut dimensi dan berat kendaraan.
39. Badan Koordinasi Penataan Ruang Daerah, yang selanjutnya disebut BKPRD adalah badan
bersifat ad-hoc yang dibentuk untuk mendukung pelaksanaan Undang-Undang Nomor 26
Tahun 2007 tentang Penataan Ruang di Kabupaten Mimika dan mempunyai fungsi membantu
tugas Bupati dalam koordinasi penataan ruang di daerah.

BAB II
TUJUAN, KEBIJAKAN, DAN STRATEGI PENATAAN RUANG

Bagian Kesatu
Tujuan Penataan Ruang

Pasal 2
Penataan ruang Kabupaten Mimika bertujuan untuk mewujudkan Kabupaten Mimika yang aman,
nyaman, produktif, dan berkelanjutan dengan berbasis pada pengolahan sumber daya alam didukung
pengembangan sumber daya buatan dan sumber daya manusia dengan tetap berpedoman pada
pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan.

7
Bagian Kedua
Kebijakan Penataan Ruang

Pasal 3
(1) Untuk mewujudkan tujuan penataan ruang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 maka disusun
kebijakan dan strategi penataan ruang.
(2) Kebijakan penataan ruang Kabupaten Mimika sebagaimana dimaksud pada ayat (1), terdiri atas:
a. Pengembangan sarana dan prasarana wilayah perkotaan dan perkampungan untuk
mendukung pengembangan wilayah, mengurangi kesenjangan intra-wilayah, dan
peningkatan kualitas pelayanan publik;
b. Pengembangan sektor ekonomi unggulan yang berbasis sumber daya alam, yaitu: pertanian,
perkebunan, perikanan, kehutanan, pertambangan, dan satu sektor pendukung yaitu
pariwisata;
c. Pengelolaan kawasan lindung, budidaya, dan kawasan rawan bencana secara harmonis dan
berkelanjutan;
d. Peningkatan kualitas sumber daya manusia yang kompeten sebagai modal utama
pembangunan yang berkelanjutan; dan
e. Peningkatan fungsi kawasan untuk pertahanan dan keamanan negara.

Bagian Ketiga
Strategi Penataan Ruang

Pasal 4
(1) Strategi pengembangan sarana dan prasarana wilayah perkotaan dan perkampungan untuk
mendukung pengembangan wilayah, mengurangi kesenjangan intra-wilayah, dan peningkatan
kualitas pelayanan publik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) huruf a, terdiri atas:
a. Mengembangkan sarana dan prasarana transportasi darat, laut dan udara;
b. Mengembangkan sarana dan prasarana pembangkit energi;
c. Mengembangkan sarana dan prasarana irigasi;
d. Mengembangkan sarana dan prasarana pos, telekomunikasi dan informasi;
e. Mengembangkan sarana dan prasarana air bersih;
f. Mengembangkan sarana dan prasarana permukiman;
g. Mengembangkan sarana dan prasarana pelayanan publik ; dan
h. Mengembangkan skema kerjasama antar daerah untuk meningkatkan kualitas
penyelenggaraan pelayanan publik dan pembangunan infrastruktur khususnya di kawasan
perbatasan dengan kabupaten disekitarnya.
(2) Strategi pengembangan sektor ekonomi unggulan yang berbasis sumber daya alam, yaitu:
pertanian lahan basah, perkebunan, perikanan, kehutanan dan pertambangan, serta sektor
pendukung yaitu pariwisata sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) huruf b, terdiri atas:
a. Mengembangkan sentra kawasan industri;
b. Mengembangkan sentra kawasan pertanian dan perkebunan;
c. Mengembangkan sentra kawasan perikanan di sepanjang pesisir selatan;
d. Mengelola kawasan hutan produksi;
e. Mengelola sentra kawasan pertambangan dan pengendalian limbah pertambangan yang
berwawasan lingkungan dan berkelanjutan serta peningkatan nilai tambah;
f. Mengembangkan pusat-pusat obyek pariwisata daerah; dan
g. Mengembangkan skema kerjasama antar daerah untuk peningkatan kegiatan perekonomian.

8
(3) Strategi pengelolaan kawasan lindung, budidaya, dan kawasan rawan bencana secara harmonis
dan berkelanjutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) huruf c, terdiri atas:
a. Menjaga dan melindungi kelestarian Taman Nasional Lorentz;
b. mengelola dan menjaga kelestarian suaka margasatwa dan cagar alam;
c. Mengelola dan menjaga kelestarian kawasan lindung seperti hutan lindung, hutan rawa
bakau di kawasan pesisir pantai dan kawasan daerah aliran sungai;
d. Mengembangkan pola-pola mitigasi bencana, khususnya bencana banjir, longsor, gempa
bumi; dan
e. Menjaga keharmonisan pemanfaatan kawasan budidaya dengan kawasan lindung dan
kawasan rawan bencana.
(4) Strategi peningkatan kualitas sumber daya manusia yang kompeten sebagai modal utama
pembangunan yang berkelanjutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) huruf d, terdiri
atas:
a. Mengembangkan sarana dan prasarana pendidikan dan kesehatan;
b. Meningkatkan kualitas tenaga pengajar dan tenaga medis;
c. Mengembangkan balai-balai latihan kerja dengan berorientasi pada sektor-sektor ekonomi
unggulan daerah;
d. Mengembangkan kerjasama dengan lembaga pendidikan tinggi untuk peningkatan kuantitas
dan kualitas sumber daya manusia.
(5) Strategi peningkatan fungsi kawasan untuk pertahanan dan keamanan negara sebagaimana
dimaksud dalam pasal 3 ayat (2) huruf e terdiri atas :
a. Mendukung penetapan kawasan peruntukan pertahanan dan keamanan negara;
b. Mengembangkan kegiatan budi daya secara selektif di dalam dan di sekitar kawasan untuk
menjaga fungsi pertahanan dan keamanan negara;
c. Mengembangkan kawasan lindung dan/atau kawasan budidaya tidak terbangun di sekitar
kawasan pertahanan dan keamanan negara sebagai zona penyangga; dan
d. Turut serta memelihara dan menjaga aset-aset pertahanan dan keamanan negara.
(6) Strategi pengembangan dan peningkatan fungsi kawasan dalam pengembangan perekonomian
yang produktif, efisien, dan mampu bersaing dalam perekonomian nasional dan internasional
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) huruf g terdiri atas :
a. Mengembangkan pusat pertumbuhan berbasis potensi sumber daya alam dan kegiatan
budidaya unggulan sebagai penggerak utama pengembangan wilayah;
b. Menetapkan kawasan strategis kabupaten dari sudut kepentingan ekonomi;
c. Mendorong perkembangan kawasan strategis kabupaten dari sudut kepentingan ekonomi
melalui pemberian insentif dan pengenaan disinsentif pada kawasan tersebut;
d. Menciptakan iklim investasi yang kondusif;
e. Mengintensifkan promosi peluang investasi; dan
f. Meningkatkan pelayanan prasarana dan sarana penunjang kegiatan ekonomi.

9
BAB III
RENCANA STRUKTUR RUANG WILAYAH

Bagian Kesatu
Umum

Pasal 5
(1) Rencana struktur ruang wilayah Kabupaten Mimika meliputi :
a. Pusat-pusat kegiatan;
b. Sistem jaringan prasarana utama; dan
c. Sistem jaringan prasarana lainnya.
(2) Rencana struktur ruang wilayah digambarkan dalam peta dengan tingkat ketelitian 1:50.000
sebagaimana tercantum dalam Lampiran I, yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari
Peraturan Daerah ini.

Bagian Kedua
Pusat-Pusat Kegiatan

Pasal 6
(1) Pusat-pusat kegiatan yang ada di Kabupaten Mimika sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat
(1) huruf a, terdiri atas :
a. PKN;
b. PKL;
c. PPK; dan
d. PPL.
(2) Pusat Kegiatan Nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, yaitu Kota Timika.
(3) Pusat Kegiatan Lokal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, yaitu Potowaiburu di Distrik
Mimika Barat Jauh dan Ayuka di Distrik Mimika Timur Jauh;
(4) Pusat Pelayanan Kawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, terdiri atas :
a. Kapiraya di Distrik Mimika Barat Tengah
b. Kokonao di Distrik Mimika Barat;
c. Atuka di Distrik Mimika Timur Tengah;
d. Tembagapura di Distrik Tembagapura;
e. Jila di Distrik Jila;
f. Kiliarma di Distrik Agimuga; dan
g. Sempan Timur di Distrik Jita.
(5) Pusat Pelayanan Lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d, meliputi kampung-
kampung yang tersebar di semua Distrik Kabupaten Mimika.

10
Bagian Ketiga
Sistem Jaringan Prasarana Utama

Pasal 7

(1) Sistem jaringan prasarana utama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf b, terdiri
atas :
a. Sistem jaringan transportasi darat;
b. Sistem jaringan transportasi laut;
c. Sistem jaringan transportasi udara;
d. Sistem jaringan perkeretaapian.
(2) Sistem jaringan transportasi dan pusat-pusat kegiatan digambarkan dalam peta dengan tingkat
ketelitian 1:50.000 sebagaimana tercantum dalam Lampiran I, yang merupakan bagian tidak
terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.

Paragraf 1
Sistem Jaringan Transportasi Darat

Pasal 8

(1) Sistem jaringan transportasi darat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) huruf a, terdiri
atas :
a. Jaringan jalan;
b. Jaringan prasarana lalulintas;
c. Jaringan layanan lalulintas;
d. Jaringan sungai dan penyeberangan; dan
(2) Jaringan jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, terdiri atas :
a. Jaringan jalan kolektor sekunder (K1) adalah ruas jalan Waghete – Potowaiburu - Mimika;
b. Jaringan jalan kolektor primer (K2) yang ada di Kabupaten Mimika, adalah jaringan jalan
timika – mapurujaya – pomako II;
c. Jaringan jalan kolektor sekunder (K4) kabupaten yang ada di Kabupaten Mimika, terdiri
atas:
1. Ruas jalan Cenderawasih;
2. Ruas jalan Kamundan Raya;
3. Ruas jalan Hasanuddin;
4. Ruas jalan Tipuka;
5. Ruas jalan Mitra Masyarakat;
6. Ruas jalan Ahmad Yani;
7. Ruas jalan Yos Sudarso;
8. Ruas jalan Belibis;
9. Ruas jalan Budi Utomo;
10. Ruas jalan C. Heatubun;
11. Ruas jalan Agimuga;
12. Ruas jalan Nabire; dan
13. Ruas jalan Timika - Kwamki Narama.

11
d. Jaringan jalan lokal, yaitu jalan-jalan yang menghubungkan pusat kegiatan dengan Jalan
kolektor yaitu jaringan jalan Kapiraya - Urumuka
e. Jalan khusus aktivitas pertambangan PT. Freeport Indonesia yang berada di dalam wilayah
Kontrak Karya dan Wilayah Proyek terdiri atas :
1. Ruas jalan Mile Post 5 – Mile Post 74;
2. Ruas jalan Mile Post 72 – Tambang Terbuka Grasberg;
3. Ruas jalan inspeksi Mile Post 21 – Kuala Kencana;
4. Ruas jalan dalam kota Kuala Kencana;
5. Ruas jalan Kuala Kencana – Mile Post 34;
6. Ruas jalan inspeksi sepanjang Tanggul Timur;
7. Ruas jalan inspeksi sepanjang Tanggul Barat;
8. Ruas jalan dalam Kota Tembagapura dan;
9. Ruas jalan Tembagapura – Banti.
f. Jalan khusus Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu dan Hutan Alam (IUPHHK-HA);
(3) Jaringan prasarana lalu lintas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, terdiri atas :
a. Terminal penumpang tipe B terdapat di Kota Timika;
b. Terminal penumpang tipe C terdiri atas :
1. Kuala Kencana di Distrik Kuala Kencana;
2. Nayaro di Distrik Mimika Baru
3. Limau Asri di Distrik Mimika Baru;
4. Mapurujaya di Distrik Mimika Timur;
5. Tipuka di Distrik Mimika Timur;
6. Kwamki Lama di Distrik Kwamki Narama; dan.
7. Ayuka di Distrik Mimika Timur Jauh
c. Terminal barang terdiri atas :
1. Poumako di Distrik Mimika Timur;
2. Potowaiburu di Distrik Mimika Barat Jauh; dan
3. Ayuka di Distrik Mimika Timur Jauh.
(4) Jaringan layanan lalu lintas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, terdiri atas :
a. Trayek angkutan barang, terdiri atas :
1. Poumako – Timika – Kuala Kencana PP;
2. Poumako – Naena Muktipura (SP 6) – Limau Asri – Timika PP; dan
3. Timika – Kwamki Narama PP.
b. Trayek angkutan penumpang, terdiri atas :
1. Timika – Karang Senang - Kuala Kencana PP;
2. Timika – Mapurujaya – Hiripao - Poumako PP;
3. Timika - Kwamki Narama PP;
4. Timika – Kamoro Jaya – Wonosari Jaya PP;
5. Timika – Timika Jaya – Limau Asri – Naena Muktipura (SP 6) PP;
6. Timika – Polres Mimika – Mile 32; dan
7. Timika – Mulia kencana-Wangirja - Utikini – Bintuka;
8. Timika – Logpond;
9. Timika – Iwaka;
10. Timika – Tipuka;
11. Timika – Miyoko;
12. Timika – Nayaro; dan
13. Timika – Ayuka.

12
(5) Jaringan sungai dan penyeberangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d, terdiri atas :
a. Alur pelayaran sungai, terdiri atas :
1. Hiripao – Atuka PP;
2. Hiripao – Kokonao PP;
3. Hiripao – Uta – Kapiraya PP;
4. Hiripao – Potowaiburu PP;
5. Hiripao – Sumparo – Jita – Wapu PP;
6. Poumako – Fakafuku – Kiliarma PP;
7. Poumako – Fanamo – Omawita PP;
8. Poumako – Ohotya PP; dan
9. Poumako – Dobo – Tual PP.
b. Lintas penyeberangan meliputi jalur selatan yaitu Yamdena-Tual-Dobo-Timika-Merauke
c. Pelabuhan sungai, terdiri atas :
1. Pelabuhan Poumako di Distrik Mimika Timur;
2. Pelabuhan Hiripao di Distrik Mimika Timiur;
3. Pelabuhan Kokonao di Distrik Mimika Barat;
4. Pelabuhan Uta di Distrik Mimika Barat Tengah;
5. Pelabuhan Kapiraya di Distrik Mimika Barat Tengah;
6. Pelabuhan Potowaiburu di Distrik Mimika Barat Jauh;
7. Pelabuhan Atuka di Distrik Mimika Tengah;
8. Pelabuhan Ayuka di Distrik Mimika Timur Jauh;
9. Pelabuhan Jita di Distrik Jita; dan
10. Pelabuhan Kiliarma di Distrik Agimuga.

Paragraf 2
Sistem Jaringan Transportasi Laut

Pasal 9
(1) Sistem jaringan transportasi laut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) huruf b, meliputi:
a. Tatanan kepelabuhanan; dan
b. Alur pelayaran.
(2) Tatanan kepelabuhanan di Kabupaten Mimika sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a,
terdiri atas :
a. Pelabuhan pengumpul yaitu Pelabuhan Poumako di Distrik Mimika Timur;
b. Pelabuhan pengumpan yaitu Pelabuhan Keakwa di Distrik Mimika Tengah; dan
c. Terminal khusus, yaitu terminal khusus Porsite Amamapare di Distrik Mimika Timur Jauh,
dan pelabuhan industri semen di Distrik Mimika Timur.
(3) Alur pelayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, terdiri atas :
a. Alur pelayaran internasional yang secara khusus dipergunakan untuk keperluan kargo dan
pengiriman konsentrat PT Freeport Indonesia, terdiri atas:
1. Amamapare – Singapura PP;
2. Amamapare – Jepang PP;
3. Amamapare – Cina PP;
4. Amamapare – Korea Selatan PP;
5. Amamapare – India PP; dan
6. Amamapare – Spanyol PP.

13
b. Alur pelayaran nasional, terdiri atas :
1. Amamapare – Surabaya PP;
2. Amamapare – Jakarta PP;
3. Amamapare – Kalimantan Timur PP;
4. Poumako – Agats – Merauke PP
5. Poumako–Fak Fak–Kaimana–Sorong–Bitung (Manado – Makassar–Surabaya PP;
6. Poumako – Makassar – Denpasar – Surabaya – Jakarta PP;
7. Poumako – Binam – Atsy – Dekai Yahukimo PP;
8. Poumako – Kenyam PP; dan
9. Poumako – daerah lainnya di Indonesia untuk keperluan pengapalan kargo, bahan bakar
minyak dan batu bara.

Paragraf 3
Sistem Jaringan Transportasi Udara

Pasal 10
(1) Sistem jaringan transportasi udara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) huruf c, terdiri
atas :
a. Tatanan kebandarudaraan; dan
b. Ruang udara untuk penerbangan.
(2) Tatanan kebandarudaraan di Kabupaten Mimika sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a,
terdiri atas :
a. Bandar udara pengumpul skala tersier, adalah bandar udara Moses Kilangin yang
merupakan bandar udara khusus dipergunakan untuk umum di Kota Timika Distrik Mimika
Baru.
b. Bandar udara pengumpan, terdiri atas :
1. Bandar udara Kokonao di Distrik Mimika Barat;
2. Bandar udara Jila di Distrik Jila;
3. Bandar udara Alama di Distrik Jila;
4. Bandar udara Kilmit Geselema di Distrik Jila.
5. Bandar udara Hoya di Distrik Jila;
6. Bandar udara Jita di Distrik Jita;
7. Bandar udara Tsinga/Mulu di Distrik Tembagapura;
8. Bandar udara Arwanop di Distrik Tembagapura;
9. Bandar udara Aramsolky di Distrik Agimuga;
10. Bandar udara Potowaiburu di Distrik Mimika Barat Jauh; dan
11. Bandar udara Kapiraya di Distrik Mimika Barat Tengah.
(3) Ruang udara untuk penerbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b meliputi kawasan
keselamatan operasi penerbangan diatur lebih lanjut dalam peraturan perundang-undangan.

Paragraf 4
Sistem Jaringan Perkeretaapian

Pasal 11
(1) Sistem jaringan perkeretaapian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) huruf d,terdiri atas:
a. Alur kereta api; dan
b. Stasiun kereta api.

14
(2) Jalur kereta api sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, meliputi jalur kereta api Nabire –
Timika;
(3) Stasiun kereta api sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, yaitu di Potowaiburu Distrik
Mimika Barat Jauh dan kota Timika Distrik Mimika Baru.

Bagian Keempat
Sistem Jaringan Prasarana Lainnya

Pasal 12
(1) Sistem jaringan prasarana lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf c, terdiri
atas :
a. Sistem jaringan energi;
b. Sistem jaringan telekomunikasi;
c. Sistem jaringan sumber daya air;
d. Sistem prasarana pengelolaan lingkungan;
e. Jalur evakuasi bencana.
(2) Sistem jaringan prasarana lainnya digambarkan dalam peta dengan tingkat ketelitian 1:50.000
sebagaimana tercantum dalam Lampiran II, yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari
Peraturan Daerah ini.

Paragraf 1
Sistem Jaringan Energi

Pasal 13
(1) Sistem jaringan energi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) huruf a, terdiri atas:
a. Pembangkit tenaga listrik; dan
b. Jaringan prasarana energi.
(2) Pembangkit tenaga listrik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, terdiri atas:
a. Pembangkit Listrik Tenaga Diesel (PLTD), terdapat di kota Timika Distrik Mimika Baru,
Kota Kuala Kencana Distrik Kuala Kencana, Kota Tembagapura Distrik Tembagapura,
Kampung Limau Asri Distrik Mimika Baru, Kampung Mapurujaya Distrik Mimika Timur
dan Kokonao Distrik Mimika Barat;
b. Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Urumuka di Distrik Mimika Barat Tengah;
c. Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) di PAD 11 Ayuka Distrik Mimika Timur Jauh;
d. Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) di Amamapare Distrik Mimika Timur Jauh;
e. Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) terdapat di kampung-kampung pedalaman dan
terpencil; dan
f. Pembangkit Listrik Tenaga Mikrohidro (PLTMH), terdapat di Distrik Jila, Distrik Mimika
Barat Jauh, Agimuga, dan Distrik Kuala Kencana;
(3) Jaringan prasarana energi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, terdiri atas :
a. Jaringan pipa minyak dan konsentrat khusus milik PT. Freeport Indonesia dari Porsite
Distrik Mimika Timur Jauh melalui Distrik Mimika Baru, Kwamki Narama, Kuala Kencana
dan Tembagapura.
b. Gardu Induk (GI), yaitu di Distrik Mimika Barat Jauh, Distrik Mimika Baru, Distrik Kuala
Kencana, Distrik Mimika Timur, Distrik Mimika Barat Tengah, dan Distrik Mimika Barat.
c. Jaringan transmisi tenaga listrik, terdiri atas:

15
1. Jaringan Saluran Udara Tegangan Ekstra Tinggi (SUTET) yaitu menghubungkan –
Potowaiburu – Kapiraya –Wagete dan Kuala Kencana -Timika;
2. Jaringan Saluran Udara Tegangan Tinggi (SUTT), mengikuti pola jaringan jalan
kolektor dan lokal;
3. Jaringan Saluran Udara Tegangan Tinggi (SUTT) yang menghubungkan Amamapare –
Wilayah Pertambangan melalui Distrik Mimika Timur Jauh - Distrik Mimika Baru -
Distrik Kwamki Narama - Distrik Kuala Kencana – Distrik Tembagapura;
4. Jaringan Saluran Udara Tegangan Menengah (SUTM), menghubungkan pola jaringan
Timika – Kuala Kencana, Timika – Mapurujaya-Poumako, Timika – Kwamki Narama
dan Timika – Limau Asri – Naena Muktipura – Wangirja.
5. Jaringan Saluran Udara Tegangan Menengah (SUTM) yang menghubungkan pola
jaringan Kuala Kencana – Basecamp dan Kuala Kencana – MP38.

Paragraf 2
Sistem Jaringan Telekomunikasi

Pasal 14
(1) Sistem jaringan telekomunikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) huruf b, terdiri
atas :
a. Sistem jaringan teresterial; dan
b. Sistem jaringan nirkabel.
(2) Sistem jaringan teresterial sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, terdiri atas :
a. Kawasan Perkotaan Timika, Limau Asri di Distrik Mimika Baru, kawasan Kwamki Lama di
Distrik Kwamki Narama, kawasan Karang Senang, Mulia Kencana, mile 32 di Distrik Kuala
Kecana, kawasan Kampung Muare, Kadun Jaya, Wania, Mapurujaya, Kaugapu, Hiripao,
Pigapu, dan Poumako di Distrik Mimika Timur, kawasan Ayuka di Distrik Mimika Timur
Jauh, dan kawasan Tembagapura di Distrik Tembagapura.
b. Jaringan Mikro Digital sebagai bagian dari jaringan telekomunikasi nasional yang
menghubungkan Distrik Mimika Baru, Kwamki Narama, Kuala Kencana sampai dengan
Distrik Mimika Timur.

(3) Sistem jaringan nirkabel sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, terdiri atas:
a. Jaringan satelit, yaitu berupa pengembangan menara pemancar seluler dan menara
telekomunikasi bersama yang tersebar di seluruh Wilayah Kabupaten: dan
b. Radio Komunikasi, dikembangkan disetiap ibukota distrik sebagai alat komunikasi antar
distrik.

Paragraf 3
Sistem Jaringan Sumber Daya Air

Pasal 15
(1) Sistem jaringan sumberdaya air sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) huruf c, terdiri
atas :
a. Wilayah Sungai (WS);
b. Cekungan Air Tanah (CAT);
c. Daerah Irigasi (DI);

16
d. Prasarana air baku untuk air minum;
e. Sistem Pengendapan Pasir Sisa Tambang;
f. Sistem pengendalian banjir, erosi, dan longsor; dan
g. Sistem pengamanan abrasi pantai.
(2) Rencana pengembangan sistem jaringan sumber daya air sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
meliputi aspek konservasi sumber daya air, pendayagunaan sumber daya air, dan pengendalian
daya rusak air;
(3) WS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, terdiri atas:
a. WS lintas Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat yaitu WS Omba sebagai Wilayah
Sungai Strategis Nasional yang melintasi Distrik Mimika Barat Jauh;
b. WS lintas kabupaten seperti yang dimaksud dalam pasal 14 ayat (1) huruf a meliputi
pengelolaan Wilayah Sungai Wapoga-Mimika (WS Lintas Kabupaten kewenangan
Pemerintah Provinsi) yang mencakup DAS Cemara, DAS Akimuga, DAS Otokwa, DAS
Mawati, DAS Aiwanoi, DAS Otomona, DAS Wania, DAS Kamora, DAS Keawukwa, DAS
Mimika, DAS Karwabeau, DAS Yawei, DAS Utumuka, DAS Uta, DAS Wakia, DAS
Makirimu, DAS Akare, DAS Maparwa, DAS Kipia, DAS Yara, DAS Ekopini, DAS
Mapuruka, DAS Arerau, DAS Taporomay, DAS Namerapi.
c. WS dalam kabupaten sebagaimana tercantum dalam Lampiran III, yang merupakan bagian
tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.
(4) CAT sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b adalah CAT Timika-Merauke yang
merupakan CAT lintas negara dengan pemanfaatannya mengutamakan air permukaan.
(5) DI yang berada pada Kabupaten Mimika sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c terdiri
atas:
a. Daerah Irigasi (DI) kewenangan Pemerintah terdiri atas :
1. Daerah Irigasi SP1 Kampung Kamoro Jaya di Distrik Mimika Baru; dan
2. Daerah Irigasi Agimuga di Distrik Agimuga.
b. Daerah Irigasi (DI) kewenangan Pemerintah Provinsi yaitu daerah irigasi SP 6 dan SP 9
Kampung Naena Muktipura di Distrik Kuala Kencana;
c. Daerah Irigasi (DI) kewenangan Pemerintah Kabupaten yaitu daerah irigasi SP 5 Kampung
Limau Asri di Distrik Mimika Baru;
d. Rehabilitasi, pemeliharaan dan peningkatan jaringan irigasi yang ada;
e. Pengembangan Daerah Irigasi (DI) yang ditujukan untuk mendukung ketahanan pangan dan
pengelolaan lahan pertanian berkelanjutan; dan
f. Membatasi konversi alih fungi sawah irigasi teknis dan setengah teknis menjadi kegiatan
budidaya lainnya.
(6) Jaringan air baku untuk air minum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d terdiri atas :
a. Pengembangan sumber air baku, meliputi:
1. Sungai Iwaka atas dan Sungai Ajkwa hulu di Distrik Kuala Kencana;
2. Air bawah tanah di Distrik Kuala Kencana, Distrik Mimika Baru, Distrik Kwamki
Narama, Distrik Mimika Timur dan Distrik Mimika Barat, Distrik Mimika Timur Jauh,
Distrik Jita, Distrik Agimuga, Distrik Mimika Timur Tengah, Distrik Mimika Barat
Tengah dan Distrik Mimika Barat Jauh; dan
3. Pemanfaatan mata air Kuala Kencana di Distrik Kuala Kencana.
b. Pengembangan jaringan Instalasi Pengolahan Air Minum (IPAM) untuk ke kelompok
pengguna, yaitu di Distrik Mimika Baru, Distrik Kuala Kencana, Distrik Kwamki Narama,
Distrik Mimika Timur, dan Distrik Mimika Timur Jauh;.

17
(7) Sistem pengendapan pasir sisa tambang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e berada di
Distrik Kuala Kencana, Distrik Mimika Baru, Distrik Kwamki Narama dan Distrik Mimika
Timur Jauh, dimana pengelolaan pasir sisa tambang tersebut melalui:
a. Reklamasi;
b. Program pertanian, perkebunan, peternakan dan perikanan;
c. Pemanfaatan pasir sisa tambang untuk material konstruksi beton untuk bangunan dan jalan
d. Mendukung operasional Pertambangan.
(8) Sistem pengendalian banjir, erosi dan longsor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf f di
Distrik Mimika Timur Jauh, Distrik Mimika Timur, Distrik Mimika Tengah, Distrik Jita, dan
Distrik Mimika Barat, dilakukan melalui :
a. Penyesuaian dimensi saluran dengan luas areal tangkapan dan pemanfaatan dataran banjir
untuk ruang terbuka hijau (RTH);
b. Pencegahan penebangan hutan di kawasan pengunungan yang berdekatan dengan
permukiman;
c. Penghijauan dan/atau penanaman vegetasi yang mampu menahan erosi pada lahan-lahan
berlereng dengan kategori agak curam, curam dan sangat curam yang memiliki kemiringan
mulai 25 persen hingga lebih dari 40 persen;
d. Pembuatan rekayasa teknik berupa pembangunan tembok penyokong (talud) pada lahan-
lahan berlereng dengan kategori agak curam, curam dan sangat curam yang memiliki
kemiringan mulai 25 persen hingga lebih dari 40 persen;
e. Pembangunan konstruksi penahan (tanggul) sebagai pengaman pada lokasi-lokasi yang
diindikasi memiliki kerawanan terjadinya erosi dan longsor;
f. Pelandaian atau penyesuaian tingkat kecuraman lereng pada lokasi-lokasi yang
dimungkinkan.
(9) Sistem pengamanan abrasi pantai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf g, dilakukan di
daerah pesisir Kabupaten Mimika terutama pada pantai rawan abrasi di Distrik Mimika Barat
Jauh, Distrik Mimika Barat Tengah, Distrik Mimika Barat, Distrik MimikaTimur Tengah, Distrik
Mimika Timur, Distrik Mimika Timur Jauh, dan Distrik Jita, dilakukan melalui:
a. Pelestarian hutan lindung bakau yang ada di sepanjang daerah pesisir pantai;
b. Penanaman kembali atau reboisasi dan pemeliharaan pohon bakau sekitar daerah pesisir
pantai yang telah mengalami penggundulan dan berpotensi terkena abrasi;
c. Pembangunan konstruksi pemecah ombak lepas pantai pada lokasi-lokasi dengan
gelombang air laut yang relatif besar;
d. pembuatan rekayasa teknik berupa pembangunan tembok penyokong (talud) pada lokasi-
lokasi yang dinilai memiliki kerawanan terhadap abrasi dan tsunami;
e. Pembangunan konstruksi penahan (tanggul) pada lokasi-lokasi yang dinilai memiliki
kerawanan terhadap abrasi; dan
f. Pembatasan pemanfaatan ruang untuk pembangunan permukiman dan fasilitas umum
penting lainnya di daratan sepanjang daerah pesisir pantai paling sedikit 100 (seratus) meter
dari titik pasang air laut tertinggi kearah daratan.

Paragraf 4
Sistem Prasarana Pengelolaan Lingkungan

Pasal 16
(1) Sistem prasarana pengelolaan lingkungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) huruf
d, terdiri atas :
a. Sistem pengelolaan persampahan;

18
b. Sistem pengelolaan limbah;
c. Sistem jaringan air minum;
d. Sistem jaringan drainase; dan
e. Jalur evakuasi bencana.
(2) Sistem pengelolaan persampahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, terdiri atas:
a. Tempat Pembuangan Sementara (TPS) sampah di tempat-tempat tertentu dalam Kota
Timika dan seluruh ibukota distrik di Kabupaten Mimika;
b. Tempat Pembuangan Akhir (TPA) sampah dilakukan dengan sistem control landfill dan
sanitary landfill terdapat di Kampung Iwaka dan di MP38 Distrik Kuala Kencana; dan
c. Instalasi Pengelolaan Air Limbah (IPAL) yaitu terdapat di TPA Iwaka dan STP Kuala
Kencana di Distrik Kuala Kencana.
(3) Sistem pengelolaan limbah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, meliputi pengelolaan
air limbah di kawasan industri dan pengolahan limbah B3 secara khusus;
(4) Sistem jaringan air minum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, meliputi pemeliharaan
sumber air baku yang berasal dari Sungai Iwaka atas dan sungai Ajkwa hulu Distrik Kuala
Kencana dan air bawah tanah terdapat di Distrik Kuala Kencana, Distrik Mimika Baru, Distrik
Kwamki Narama, Distrik Mimika Timur, Distrik Mimika Timur Jauh, Distrik Mimika Barat,
Distrik Mimika Barat Tengah, Distrik Mimika Barat Jauh dan Distrik Jita.
(5) Sistem jaringan drainase sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d, yaitu sungai-sungai
sebagai saluran primer terdiri atas:
a. Sungai Iwaka dan sungai-sungai di Kampung Karang Senang, Mulia Kencana Distrik Kuala
Kencana;
b. Sungai Wania Atas, Timika 1, Timika 2 dan Timika 3, dan sungai sekitar Kampung Timika
Jaya dan Limau Asri, Kamoro Jaya, Wonosari Jaya di Distrik Mimika Baru;
c. Saluran dengan lebar 1 – 1,5 meter di ruas jalan-jalan utama Kabupaten Mimika.

Paragraf 5
Jalur Evakuasi Bencana

Pasal 17
(1) Jalur evakuasi bencana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) huruf e, terdiri atas :
a. Jalur evakuasi bencana tanah longsor;
b. Jalur evakuasi bencana gelombang pasang;
c. Jalur evakuasi bencana banjir; dan
d. Jalur evakuasi bencana dampak perubahan iklim.
(2) Jalur evakuasi bencana tanah longsor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, yaitu jalur
evakuasi bencana longsor yang dikembangkan pada kawasan-kawasan rawan longsor di Distrik
Mimika Barat, Distrik Mimika Barat Tengah, dan Distrik Mimika Barat Jauh, dengan
memanfaatkan jaringan jalan, jalur pejalan kaki dan drainase tertutup yang mengarahkan
evakuasi menjauhi lokasi bencana ke arah lokasi dan/atau bangunan evakuasi yang aman pada
lokasi yang lebih datar;
(3) Jalur evakuasi gelombang pasang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, yaitu
dikembangkan pada kawasan-kawasan pesisir dengan memanfaatkan jaringan jalan, jalur pejalan
kaki dan drainase tertutup yang bersifat tegak lurus menjauhi garis pantai mengarah ke lokasi
dan/atau bangunan evakuasi yang aman pada lokasi yang lebih tinggi di Distrik Mimika Barat
Jauh, Distrik Mimika Barat Tengah, Distrik Mimika Barat, Distrik Mimika Timur Tengah,
Distrik Mimika Timur, Distrik Mimika Timur Jauh dan Distrik Jita;

19
(4) Jalur evakuasi bencana banjir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, yaitu dikembangkan
pada kawasan-kawasan rawan banjir, dengan dengan memanfaatkan jaringan jalan, jalur pejalan
kaki dan drainase tertutup yang mengarahkan evakuasi menjauhi lokasi bencana ke lokasi
dan/atau bangunan evakuasi yang aman pada lokasi yang lebih tinggi di Distrik Mimika Timur
Jauh, Distrik Mimika Timur, Distrik Mimika Tengah, Distrik Jita, dan Distrik Mimika Barat;
(5) Jalur evakuasi bencana dampak perubahan iklim sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d,
yaitu dikembangkan pada kawasan-kawasan di bagian selatan kabupaten dan pulau-pulau kecil
yang rawan terhadap dampak kenaikan tinggi air laut akibat perubahan iklim yang
mengakibatkan gelombang pasang, banjir dan atau tenggelamnya seluruh/sebagian dari daratan
di pinggir pantai atau pulau-pulau kecil, kawasan-kawasan pertanian yang rawan terhadap
kekeringan akibat dampak kenaikan suhu karena perubahan iklim, dengan memanfaatkan
jaringan jalan, jalur pejalan kaki, dan drainase tertutup mengarah ke lokasi dan/atau bangunan
evakuasi yang aman.

BAB IV
RENCANA POLA RUANG WILAYAH

Bagian Kesatu
Umum

Pasal 18
(1) Rencana pola ruang wilayah meliputi rencana kawasan lindung dan kawasan budidaya.
(2) Rencana pola ruang wilayah digambarkan dalam peta dengan tingkat ketelitian 1:50.000
sebagaimana tercantum dalam Lampiran IV, yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari
Peraturan Daerah ini.

Bagian Kedua
Kawasan Lindung

Pasal 19
Kawasan lindung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1), terdiri atas :
a. Kawasan hutan lindung;
b. Kawasan yang memberikan perlindungan terhadap kawasan bawahannya;
c. Kawasan perlindungan setempat;
d. Kawasan suaka alam, pelestarian alam dan cagar budaya;
e. Kawasan rawan bencana alam;
f. Kawasan lindung geologi; dan
g. Kawasan lindung lainnya.

20
Paragraf 1
Kawasan Hutan Lindung

Pasal 20
Kawasan hutan lindung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 huruf a, meliputi kawasan hutan
lindung di Distrik Mimika Barat Jauh, Distrik Mimika Barat Tengah, Distrik Mimika Barat, Distrik
Tembagapura, Distrik Mimika Baru, Distrik Mimika Timur, dan Distrik Mimika Timur Jauh.

Paragraf 2
Kawasan Yang Memberikan Perlindungan Terhadap Kawasan Bawahannya

Pasal 21
(1) Kawasan yang memberikan perlindungan terhadap kawasan bawahannya sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 19 huruf b, terdiri atas :
a. Kawasan bergambut; dan
b. Kawasan resapan air.
(2) Kawasan bergambut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, terdapat di Distrik Mimika
Timur Jauh, Distrik Mimika Timur, Distrik Mimika Tengah, Distrik Mimika Barat, Distrik
Mimika Barat Tengah dan Distrik Mimika Barat Jauh;
(3) Kawasan resapan air sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, terdapat di semua Distrik
Kabupaten Mimika.

Paragraf 3
Kawasan Perlindungan Setempat

Pasal 22
(1) Kawasan perlindungan setempat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 huruf c, terdiri atas :
a. Kawasan sempadan pantai;
b. Kawasan sempadan sungai;
c. Kawasan sempadan saluran irigasi; dan
d. Kawasan ruang terbuka hijau perkotaan
(2) Kawasan sempadan pantai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dengan ketentuan
daratan sepanjang tepian laut dengan jarak minimal 100 meter dari titik pasang air laut tertinggi
ke arah darat terdapat di Distrik Mimika Barat, Distrik Mimika Barat Tengah, Distrik Mimika
Barat Jauh, Distrik Mimika Tengah, Distrik Mimika Timur dan Distrik Mimika Timur Jauh,
Distrik Jita.
(3) Kawasan sempadan sungai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b terdapat di kawasan
sempadan Daerah Aliran Sungai (DAS) di Kabupaten Mimika yaitu DAS Cemara, DAS
Akimuga, DAS Otokwa, DAS Mawati, DAS Aiwanoi, DAS Otomona, DAS Wania, DAS
Kamora, DAS Keawukwa, DAS Mimika, DAS Karwabeau, DAS Yawei, DAS Urumuka, DAS
Uta, DAS Wakia, DAS Makirimu, DAS Akare, DAS Maparwa, DAS Kipia, DAS Yara, DAS
Ekopini, DAS Mapuruka, DAS Arerau, DAS Taporomay, DAS Namerapi, dengan ketentuan :
a. Daratan sepanjang tepian sungai besar tidak bertanggul diluar kawasan permukiman dengan
lebar 100 (seratus) meter dari tepi sungai;
b. Daratan sepanjang tepian anak sungai tidak bertanggul diluar kawasan permukiman dengan
lebar paling sedikit 50 (lima puluh) meter dari tepi sungai; dan

21
c. Untuk sungai dikawasan permukiman berupa sempadan sungai yang diperkirakan cukup
untuk dibangun jalan inspeksi antara 10 – 15 meter.
(4) Kawasan sempadan jaringan irigasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c terdapat di
kawasan SP-2 Timika - SP-1 Kampung Kamoro Jaya dan SP-5 kampung Limau Asri Mimika
Baru Distrik Mimika Baru.
(5) Kawasan ruang terbuka hijau perkotaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d diarahkan
di sekitar kawasan perkotaan Timika dan ibukota Distrik.

Paragraf 4
Kawasan Suaka Alam, Pelestarian Alam dan Cagar Budaya

Pasal 23
(1) Kawasan suaka alam, pelestarian alam, dan cagar budaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19
huruf d, terdiri atas :
a. Kawasan pantai berhutan bakau;
b. Kawasan taman nasional;
(2) Kawasan pantai berhutan bakau sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, meliputi bagian
pantai selatan kabupaten memanjang dari arah Timur di Distrik Jita sampai ke arah Barat di
Distrik Mimika Barat Jauh.
(3) Kawasan Taman Nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b yaitu Taman Nasional
Lorentz yang berada di Distrik Jila, Distrik Agimuga, Distrik Jita, dan sebagian kawasan di
Distrik Tembagapura.

Paragraf 5
Kawasan Rawan Bencana Alam

Pasal 24
(1) Kawasan rawan bencana alam sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 huruf e, terdiri atas :
a. Kawasan rawan tanah longsor;
b. Kawasan rawan gelombang pasang;
c. Kawasan rawan banjir; dan
d. Kawasan rawan terkena dampak perubahan iklim.
(2) Kawasan rawan tanah longsor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, terdapat di kawasan
perbukitan dan pegunungan pada Distrik Mimika Barat, Distrik Mimika Barat Tengah, Distrik
Mimika Barat Jauh dan Distrik Tembagapura;
(3) Kawasan rawan gelombang pasang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, terdapat di
kawasan pantai pada Distrik Mimika Barat, Distrik Mimika Barat Tengah, Distrik Mimika Barat
Jauh, Distrik Mimika Tengah, Distrik Mimika Timur , Distrik Mimika Timur Jauh dan Distrik
Jita.
(4) Kawasan rawan banjir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c terdapat di kawasan hilir dan
pinggiran sungai pada Distrik Mimika Barat, Distrik Mimika Barat Tengah, Distrik Mimika
Barat Jauh, Distrik Mimika Tengah, Distrik Mimika Timur, Distrik Mimika Timur Jauh dan
Distrik Jita.
(5) Kawasan rawan terkena dampak perubahan iklim sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d
terdapat di kawasan bagian selatan wilayah Kabupaten Mimika yaitu pada Distrik Mimika Barat,

22
Distrik Mimika Barat Tengah, Distrik Mimika Barat Jauh, Distrik Mimika Tengah, Distrik
Mimika Timur , Distrik Mimika Timur Jauh dan Distrik Jita.

Paragraf 6
Kawasan Lindung Geologi

Pasal 25
(1) Kawasan lindung geologi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 huruf f, yaitu kawasan rawan
bencana alam geologi;
(2) Kawasan rawan bencana alam geologi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), yaitu kawasan
rawan gempa bumi yang terdapat di seluruh wilayah Kabupaten Mimika.

Paragraf 7
Kawasan Lindung Lainnya

Pasal 26
(1) Kawasan lindung lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 huruf g, terdiri atas :
a. Kawasan spesifik terumbu karang; dan
b. Kawasan hutan konservasi.
(2) Kawasan spesifik terumbu karang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, terdapat di
bagian pesisir selatan Distrik Mimika Barat Jauh Kabupaten Mimika.
(3) Kawasan hutan konservasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, berada pada kawasan
konservasi hutan Kuala Kencana di Distrik Kuala Kencana.

Bagian Ketiga
Kawasan Budidaya

Pasal 27
Kawasan budidaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1), terdiri atas :
a. Kawasan peruntukan hutan produksi;
b. Kawasan peruntukan pertanian;
c. Kawasan peruntukan perikanan;
d. Kawasan peruntukan pertambangan;
e. Kawasan peruntukan industri;
f. Kawasan peruntukan pariwisata;
g. Kawasan peruntukan permukiman;
h. Kawasan peruntukan pertahanan dan keamanan; dan
i. Kawasan peruntukan lainnya

Paragraf 1
Kawasan Peruntukan Hutan Produksi

Pasal 28
(1) Kawasan peruntukan hutan produksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 huruf a, terdiri atas
a. Kawasan hutan produksi terbatas;
b. Kawasan hutan produksi tetap; dan
c. Kawasan hutan produksi yang dapat dikonversi.

23
(2) Kawasan hutan produksi terbatas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a terdapat di Distrik
Mimika Barat Jauh dan Distrik Mimika Barat Tengah;
(3) Kawasan hutan produksi tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b terdapat di Distrik
Mimika Barat Jauh, Distrik Mimika Barat Tengah, Distrik Mimika Barat, Distrik Mimika Baru,
dan Distrik Kuala Kencana; dan
(4) Kawasan hutan produksi yang dapat dikonversi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c
terdapat di Distrik Mimika Baru dan Distrik Kuala Kencana.

Paragraf 2
Kawasan Peruntukan Pertanian

Pasal 29
(1) Kawasan peruntukan pertanian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 huruf b, terdiri atas :
a. Kawasan peruntukan tanaman pangan;
b. Kawasan peruntukan pertanian holtikultura;
c. Kawasan pertanian pangan berkelanjutan;
d. Kawasan peruntukan perkebunan; dan
e. Kawasan peruntukan peternakan.
(2) Kawasan peruntukan tanaman pangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, terdapat di
Distrik Mimika Baru, Distrik Kuala Kencana, Distrik Agimuga, Distrik Mimika Barat Jauh,
Distrik Mimika Barat, Distrik Mimika Barat Tengah, Distrik Mimika Tengah, Distrik Mimika
Timur Jauh dan Distrik Jita;
(3) Kawasan peruntukan pertanian holtikultura sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b,
terdapat di Distrik Mimika Baru, Distrik Kuala Kencana, Distrik Agimuga, Distrik Mimika Barat
Jauh, Distrik Mimika Barat, Distrik Mimika Barat Tengah, Distrik Mimika Tengah, Distrik
Mimika Timur Jauh dan Distrik Jita;
(4) Kawasan peruntukan pertanian pangan berkelanjutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf
c, terdapat di semua Distrik Kabupaten Mimika;
(5) Kawasan peruntukan perkebunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d, terdiri atas :
a. Kawasan peruntukan perkebunan kelapa sawit, terdapat di Distrik Mimika Barat Jauh,
Distrik Mimika Barat Tengah dan Distrik Mimika Barat;
b. Kawasan peruntukan perkebunan kopi, terdapat di Distrik Jila, Distrik Agimuga, dan Distrik
Tembagapura
c. Kawasan peruntukan perkebunan Kakao, terdapat di Distrik Mimika Barat Jauh, Distrik
Mimika Barat Tengah dan Distrik Kuala Kencana;
d. Kawasan peruntukan perkebunan kelapa terdapat di Distrik Jita, Distrik Kuala Kencana,
Distrik Mimika Baru, Distrik Mimika Timur, Distrik Mimika Barat Jauh, Distrik Mimika
Barat Tengah, Distrik Mimika Barat dan Distrik Mimika Timur Jauh; dan
e. Kawasan peruntukan perkebunan buah-buahan terdapat di Distrik Agimuga, Distrik Jita,
Distrik Kuala Kencana, Distrik Mimika Baru, Distrik Mimika Timur, Distrik Mimika Barat
jauh, Distrik Mimika Barat Tengah, Distrik Mimika Barat dan Distrik Mimika Timur Jauh;
(6) Kawasan peruntukan peternakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e, terdapat di Distrik
Kuala Kencana, Distrik Mimika Barat Jauh, Distrik Agimuga, Distrik Jita, Distrik Mimika Barat
Tengah dan Distrik Mimika Barat.

24
Paragraf 3
Kawasan Peruntukan Perikanan

Pasal 30
(1) Kawasan peruntukan perikanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 huruf c, terdiri atas :
a. Kawasan peruntukan perikanan tangkap;
b. Kawasan peruntukan budidaya perikanan; dan
c. Kawasan pengolahan hasil perikanan.
(2) Kawasan peruntukan perikanan tangkap sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a terdapat di
Distrik Mimika Timur Jauh, Distrik Mimika Timur, Distrik Mimika Tengah, Distrik Mimika
Barat, Distrik Mimika Barat Tengah dan Distrik Mimika Barat Jauh;
(3) Kawasan peruntukan budidaya perikanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, terdiri
atas:
a. Budidaya perikanan air payau di Distrik Mimika Timur dan Distrik Mimika Tengah;
b. Budidaya perikanan air tawar di Distrik Kuala Kencana, Distrik Mimika Baru, dan Distrik
Mimika Timur; dan
c. Budidaya perikanan air laut di Distrik Mimika Barat Jauh.
(4) Kawasan pengolahan hasil perikanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, untuk
pengolahan ikan secara tradisional terdapat di Potowaiburu di Distrik Mimika Barat Jauh, Distrik
Mimika Barat Tengah, Distrik Mimika Barat, Distrik Mimika Tengah, Distrik Mimika Baru,
Distrik Mimika Timur dan Distrik Mimika Timur Jauh;

Paragraf 4
Kawasan Peruntukan Pertambangan

Pasal 31
(1) Kawasan peruntukan pertambangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 huruf d terdiri atas:
a. Kawasan peruntukan pertambangan mineral dan batubara; dan
b. Kawasan peruntukan pertambangan minyak dan gas bumi.
(2) Kawasan peruntukan pertambangan mineral dan batu bara sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf a, terdiri atas:
a. Kawasan pertambangan emas terdapat di Distrik Mimika Barat Jauh, Distrik Mimika Barat
Tengah, Distrik Jila, Distrik Mimika Barat dan Distrik Tembagapura;
b. Kawasan pertambangan tembaga terdapat di Distrik Mimika Timur Jauh, Distrik Mimika
Barat Tengah, Distrik Jila, Distrik Mimika Barat, dan Distrik Tembagapura;
c. Kawasan pertambangan batuan terdapat di Sungai Iwaka Distrik Kuala Kencana;
d. Kawasan pertambangan pemanfaatan pasir sisa tambang (Tailling) disalurkan melalui hulu
sungai Aghawagon dan Otomona kemudian diendapkan di daerah ModADA yang melewati
Distrik Tembagapura, Distrik Kuala Kencana, Distrik Kwamki Narama, Distrik Mimika
Baru dan Distrik Mimika Timur Jauh; dan
e. Kawasan pertambangan batubara terdapat di Distrik Mimika Barat Jauh, Distrik Mimika
Barat Tengah, Distrik Mimika Barat, Distrik Kuala Kencana, Distrik Tembagapura dan
Distrik Jila.
(3) Kawasan peruntukan pertambangan minyak dan gas bumi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf b terdapat di kawasan pantai selatan Kabupaten Mimika.

25
Paragraf 5
Kawasan Peruntukan Industri

Pasal 32
(1) Kawasan peruntukan industri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 huruf e, terdiri atas :
a. Kawasan peruntukan industri sedang; dan
b. Kawasan peruntukan industri kecil.
(2) Kawasan peruntukan industri sedang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a terdapat di
Distrik Mimika Barat Jauh, Distrik Mimika Barat Tengah dan Distrik Mimika Timur;
(3) Kawasan peruntukan industri kecil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, terdapat di
Distrik Kuala Kencana dan Distrik Mimika Baru.

Paragraf 6
Kawasan Peruntukan Pariwisata

Pasal 33
(1) Kawasan peruntukan pariwisata sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 huruf f, terdiri atas :
a. Kawasan peruntukan pariwisata alam;
b. Kawasan peruntukan pariwisata budaya; dan
c. Kawasan peruntukan pariwisata buatan.
(2) Kawasan peruntukan pariwisata alam sebagaimana tersebut dalam ayat (1) huruf a meliputi:
a. Wisata alam pulau Bidadari, pulau Puriri di Distrik Mimika Timur Jauh,
b. Wisata alam pantai Kekwa dan pantai Kampus Biru di Distrik Mimika Timur Tengah,
c. Wisata alam sungai Iwaka, sungai Mayon di Distrik Kuala Kencana,
d. Wisata alam gunung Taman Nasional Lorentz di Distrik Jila, Distrik Agimuga dan Distrik
Tembagapura,
e. Wisata alam hutan manggrove (bakau) di sepanjang pantai selatan dan sekitar sungai-sungai
di kawasan pantai dan rawa-rawa wilayah selatan Kabupaten Mimika;
f. Wisata alam gunung puncak Cartentz di Distrik Tembagapura, dan
g. Wisata alam berburu di kampung Pigapu Distrik Mimika Timur.
(3) Kawasan peruntukan pariwisata budaya sebagaimana tersebut dalam ayat (1) huruf b meliputi
kehidupan tradisional suku Kamoro dan Amungme yang terdapat di seluruh Distrik Kabupaten
Mimika, peninggalan perang dunia II di pantai Kekwa Distrik Mimika Timur Tengah.
(4) Kawasan peruntukan pariwisata buatan sebagaimana tersebut dalam ayat (1) huruf c meliputi:
a. Taman alun-alun dan Padang Golf Rimba Irian di Distrik Kuala Kencana;
b. Pusat Olah Raga, Rekreasi dan Pusat Perbelanjaan (Shoping Centre) di Distrik Kuala
Kencana dan Distrik Mimika Baru;
c. Pusat Perbelanjaan (Shoping Centre) di Kota Timika Distrik Mimika Baru; dan
d. Kolam pemancingan di Distrik Mimika Baru.

Paragraf 7
Kawasan Peruntukan Permukiman

Pasal 34
(1) Kawasan peruntukan permukiman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 huruf g terdiri atas :
a. Kawasan peruntukan permukiman perkotaan; dan
b. Kawasan peruntukan permukiman perkampungan.

26
(2) Kawasan peruntukan permukiman perkotaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a,
terdapat di sekitar Kota Timika, Kuala Kencana, Tembagapura, Mapurujaya, Kokonao, Kapiraya,
Potowaiburu, Atuka, Ayuka, Jila, Kiliarma, Jita dan Harapan.
(3) Kawasan peruntukan permukiman perkampungan terdapat di seluruh Kampung Kabupaten
Mimika.

Paragraf 8
Kawasan Peruntukan Pertahanan dan Keamanan

Pasal 35
Kawasan peruntukan pertahanan dan keamanan negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 huruf
h, yaitu terdiri atas :
a. Kantor Komando Distrik Militer (Kodim) terdapat di Distrik Kuala Kencana;
b. Kantor Komando Rayon Militer (Koramil) terdapat di seluruh Distrik;
c. Kantor Detasemen Kavaleri-3 (Denkav) terdapat di Distrik Kuala Kencana
d. Kantor Batalion 754 terdapat di Kampung Mulia Kencana Distrik Kuala Kencana;
e. Kantor Kompi B terdapat di Kampung Karang Senang Distrik Kuala Kencana;
f. Kantor Brigif 20 terdapat di Kampung Kadun Jaya Distrik Mimika Timur;
g. Kantor Kompi C terdapat di Kampung Muare Distrik Mimika Timur;
h. Kantor Kompi D terdapat di Kampung Kaugapu Distrik Mimika Timur;
i. Kantor Pangkalan TNI Angkatan Udara terdapat di Timika Distrik Mimika Baru;
j. Kantor Satuan Radar 243 Timika terdapat di Distrik Mimika Baru;
k. Kantor Pangkalan Angkatan Laut terdapat di Porsite Distrik Mimika Timur Jauh;
l. Kantor Markas Komando Pangkalan Angkatan Laut terdapat di Poumako Distrik Mimika Timur;
m. Kantor Kepolisian Resort (Polres) di Distrik Kuala Kencana;
n. Kantor Brimob Detasemen B di Distrik Kuala Kencana;
o. Kantor Kepolisian Sektor (Polsek) di seluruh Distrik; dan
p. Kantor Pos Kepolisian pada pelabuhan, bandar udara, kawasan-kawasan strategis dan obyek vital
di wilayah Kabupaten Mimika.

Paragraf 9
Kawasan Peruntukan Lainnya

Pasal 36
(1) Pemanfaatan kawasan untuk peruntukan lain sebagaimana pasal 27 huruf i adalah selain dari
yang dimaksud dalam Pasal 28 sampai 35, dapat dilaksanakan apabila tidak mengganggu fungsi
kawasan yang bersangkutan dan tidak melanggar Ketentuan Umum Peraturan Zonasi
sebagaimana diatur dalam Peraturan Daerah ini.
(2) Pemanfaatan kawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilaksanakan setelah adanya
kajian komperehensif dan setelah mendapat rekomendasi dari instansi atau pejabat yang
tugasnya mengkoordinasikan penataan ruang di Kabupaten Mimika.

27
BAB V
PENETAPAN KAWASAN STRATEGIS

Pasal 37
(1) Kawasan strategis yang ada di Kabupaten Mimika, terdiri atas :
a. Kawasan Strategis Nasional;
b. Kawasan Strategis Provinsi; dan
c. Kawasan Strategis Kabupaten.
(2) Rencana kawasan strategis digambarkan dalam peta dengan tingkat ketelitian 1:50.000
sebagaimana tercantum dalam Lampiran V, yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari
Peraturan Daerah ini.

Pasal 38
Kawasan Strategis Nasional yang ada di Kabupaten Mimika sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37
ayat (1) huruf a, terdiri atas :
a. Kawasan Timika yang merupakan kawasan strategis dari sudut kepentingan sumber daya alam
dan/atau teknologi tinggi ; dan
b. Kawasan Taman Nasional Lorentz yang merupakan kawasan strategis dari sudut kepentingan
daya dukung lingkungan.

Pasal 39
Kawasan Strategis Provinsi yang ada di Kabupaten Mimika sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37
ayat (1) huruf b, terdiri atas :
a. Kawasan Asmat - Mimika yang merupakan kawasan strategis dari sudut kepentingan sosial
budaya;
b. Kawasan wilayah bergambut yang merupakan kawasan strategis dari sudut kepentingan fungsi
dan daya dukung lingkungan; dan
c. Kawasan hutan mangrove yang merupakan kawasan strategis pengelolaan kawasan ekonomi
rendah karbon.

Pasal 40
(1) Kawasan Strategis Kabupaten sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (1) huruf c, terdiri
atas:
a. Kawasan yang memiliki nilai strategis dari sudut kepentingan ekonomi;
b. Kawasan yang memiliki nilai strategis dari sudut kepentingan sosial budaya;
c. Kawasan yang memiliki nilai strategis dari sudut kepentingan fungsi dan daya dukung
lingkungan hidup.
(2) Kawasan strategis dari sudut kepentingan ekonomi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a
terdiri atas :
a. Kawasan Pertanian Terpadu di Distrik Kuala Kencana, Distrik Mimika Baru dan Distrik
Mimika Timur;
b. Kawasan perikanan di Distrik Mimika Timur, Distrik Mimika Barat dan Distrik Mimika
Barat Jauh; dan
c. Kawasan Cepat Tumbuh Ekonomi Poumako di Distrik Mimika Timur.
(3) Kawasan strategis dari sudut kepentingan sosial budaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf b terdiri atas :
a. Kawasan pelestarian sosial budaya Suku Kamoro, di seluruh Distrik;

28
b. Kawasan pelestarian sosial budaya Suku Amungme di Distrik Mimika Baru dan Distrik
Agimuga; dan
c. Kawasan pelestarian sosial budaya masyarakat kampung di dalam Taman Nasional Lorentz
yang tersebar di Distrik Jila, Distrik Agimuga, Distrik Jita dan Distrik Tembagapura.
(4) Kawasan strategis dari sudut kepentingan fungsi dan daya dukung lingkungan hidup
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c terdiri atas :
a. Kawasan DAS Urumuka di Distrik Mimika Barat Tengah.
b. Kawasan DAS Wania di Distrik Mimika Timur.
c. Kawasan DAS Iwaka di Distrik Kuala Kencana;
d. Kawasan DAS Wania Selamat Datang di Distrik Mimika Baru

Pasal 41
(1) Untuk operasionalisasi Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Mimika disusun Rencana Rinci
Tata Ruang berupa Rencana Detail Tata Ruang Kawasan;
(2) Rencana Rinci Tata Ruang maupun Rencana Detail Tata Ruang kawasan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), ditetapkan dengan Peraturan Daerah.

BAB VI
ARAHAN PEMANFAATAN RUANG

Pasal 42
(1) Pemanfaatan ruang wilayah Kabupaten Mimika berpedoman pada rencana struktur ruang dan
pola ruang.
(2) Pemanfaatan ruang wilayah Kabupaten Mimika dilaksanakan melalui penyusunan dan
pelaksanaan program pemanfaatan ruang beserta perkiraan pendanaannya.
(3) Perkiraan pendanaan program pemanfaatan ruang disusun sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.

Pasal 43
(1) Program pemanfaatan ruang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (2) disusun berdasarkan
indikasi program utama lima tahunan yang ditetapkan dalam Lampiran VI, yang merupakan
bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.
(2) Pendanaan program pemanfaatan ruang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara, Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, investasi swasta dan kerja sama pendanaan.
(3) Kerja sama pendanaan dilaksanakan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.

29
BAB VII
KETENTUAN PENGENDALIAN PEMANFAATAN RUANG

Bagian Kesatu
Umum

Pasal 44
(1) Ketentuan pengendalian pemanfaatan ruang wilayah Kabupaten Mimika digunakan sebagai
acuan dalam pelaksanaan pengendalian pemanfaatan ruang wilayah Kabupaten Mimika.
(2) Ketentuan pengendalian pemanfaatan ruang terdiri atas :
a. Ketentuan umum peraturan zonasi;
b. Ketentuan perizinan;
c. Ketentuan insentif dan disinsentif; dan
d. Arahan sanksi.

Bagian Kedua
Ketentuan Umum Peraturan Zonasi

Pasal 45
(1) Ketentuan umum peraturan zonasi Kabupaten Mimika sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44
ayat (2) huruf a digunakan sebagai pedoman bagi Pemerintah Kabupaten Mimika dalam
menyusun peraturan zonasi.
(2) Ketentuan umum peraturan zonasi terdiri atas :
a. Ketentuan umum peraturan zonasi untuk kawasan lindung;
b. Ketentuan umum peraturan zonasi untuk kawasan budidaya;
c. Ketentuan umum peraturan zonasi, untuk sistem perkotaan;
d. Ketentuan umum peraturan zonasi, untuk sistem trsnsportasi, dan
e. Ketentuan umum peraturan zonasi, untuk sistem prasarana.

Paragraf 1
Ketentuan Umum Peraturan Zonasi Kawasan Lindung

Pasal 46
Ketentuan umum peraturan zonasi untuk kawasan lindung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45
ayat (2) huruf a, terdiri atas:
a. Ketentuan umum peraturan zonasi hutan lindung;
b. Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan resapan air;
c. Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan sempadan pantai;
d. Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan sempadan sungai;
e. Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan sekitar mata air;
f. Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan cagar alam;
g. Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan taman wisata alam;
h. Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan cagar budaya dan ilmu pengetahuan;
i. Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan RTH;
j. Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan rawan bencana tanah longsor;
k. Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan rawan bencana banjir;
l. Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan rawan gelombang pasang;
m. Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan rawan gempa bumi; dan
n. Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan imbuhan air tanah.

30
Pasal 47
(1) Ketentuan umum peraturan zonasi hutan lindung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 huruf a
ditetapkan sebagai berikut :
a. Dibolehkan untuk wisata alam dengan syarat tidak mengubah bentang alam;
b. Dibolehkan untuk kegiatan pendidikan dan penelitian dengan syarat tidak mengubah
bentang alam;
c. Dilarang untuk kegiatan yang berpotensi mengurangi luas kawasan hutan;
d. Dilarang untuk kegiatan yang berpotensi mengganggu bentang alam, menggangu kesuburan
dan keawetan tanah, fungsi hidrologi, kelestarian flora dan fauna, serta kelestarian
lingkungan hidup;
e. Dilarang kegiatan yang dapat mengakibatkan perubahan dan perusakan terhadap keutuhan
kawasan dan ekosistemnya;
f. Kegiatan budidaya hanya diizinkan bagi penduduk asli dengan luasan tetap, tidak
mengurangi fungsi lindung kawasan, dan di bawah pengawasan ketat;
g. Kegiatan pertambangan dalam kawasan hutan lindung hanya dapat dilakukan dengan pola
pertambangan bawah tanah yang tidak mengakibatkan turunnya permukaan tanah,
berubahnya fungsi pokok kawasan hutan secara permanen, dan terjadinya kerusakan akibat
air tanah.

(2) Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan resapan air sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46
huruf b ditetapkan sebagai berikut :
a. Dilarang untuk semua jenis kegiatan yang mengganggu fungsi resapan air;
b. Diizinkan terbatas untuk kegiatan budidaya tidak terbangun yang memiliki kemampuan
tinggi dalam menahan limpasan air hujan;
c. Dibolehkan untuk wisata alam dengan syarat tidak mengubah bentang alam;
d. Dibolehkan untuk kegiatan pendidikan dan penelitian dengan syarat tidak mengubah
bentang alam; dan
e. Diharuskan menyediakan sumur resapan dan/atau waduk pada lahan terbangun yang sudah
ada;
f. Disyaratkan penerapan prinsip zero delta Q policy terhadap setiap kegiatan budi daya
terbangun yang diajukan izinnya, yakni keharusan agar tiap bangunan tidak boleh
mengakibatkan bertambahnya debit air ke sistem saluran drainase atau sistem aliran sungai.

(3) Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan sempadan pantai sebagaimana dimaksud dalam Pasal
46 huruf c ditetapkan sebagai berikut :
a. Kegiatan yang diperbolehkan adalah berupa jalur hijau;
b. Kegiatan yang dapat dikembangkan adalah pariwisata;
c. Bangunan yang diperbolehkan adalah papan reklame, rambu-rambu, pemasangan kabel
listrik, telepon, PDAM, pemasangan prasarana air, tiang jembatan;
d. Masing-masing kegiatan dan bangunan yang disebutkan di atas memiliki persyaratan tidak
boleh merubah bentang alam;
e. Kegiatan yang terbatas Kegiatan pertanian dengan jenis tanaman tertentu;
f. Kegiatan lainnya dilarang seperti permukiman, industri, komersial dan kegiatan budidaya
lainnya selain kegiatan yang diperbolehkan;

(4) Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan sempadan sungai sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 46 huruf d ditetapkan sebagai berikut :
a. Dilarang semua kegiatan dan bangunan pada kawasan sempadan sungai;
b. Dilarang semua kegiatan dan bangunan yang mengancam kerusakan dan menurunkan
kualitas sungai;
c. Dibolehkan aktivitas wisata alam petualangan dengan syarat tidak mengganggu kualitas air
sungai;
d. Dibolehkan pemanfaatan ruang untuk ruang terbuka hijau;
e. Ketentuan pelarangan pendirian bangunan kecuali bangunan yang dimaksudkan untuk
pengelolaan badan air atau pemanfaatan air;

31
f. Pendirian bangunan dibatasi hanya untuk menunjang fungsi taman rekreasi;
g. Penetapan lebar sempadan sungai sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(5) Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan sekitar mata air sebagaimana dimaksud dalam Pasal
46 huruf e ditetapkan sebagai berikut:
a. Dilarang semua jenis kegiatan yang menyebabkan pencemaran kualitas air, kondisi fisik
kawasan, dan daerah tangkapan air;
b. Dilarang semua kegiatan yang mengganggu bentang alam, kesuburan dan keawetan tanah,
fungsi hidrologi, kelestarian flora dan fauna, serta fungsi lingkungan hidup;
c. Dilarang pemanfaatan hasil tegakan;
d. Dibolehkan untuk kegiatan pariwisata dan budidaya lain dengan syarat tidak menyebabkan
kerusakan kualitas air;
e. Diizinkan kegiatan preservasi dan konservasi seperti reboisasi lahan;
f. Dibolehkan untuk RTH, pengembangan struktur alami dan buatan untuk mencegah abrasi
dan/atau mempertahankan bentuk badan air danau dan mata air.

(6) Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan cagar alam sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46
huruf f ditetapkan sebagai berikut :
a. Pembatasan kegiatan pemanfaatan sumber daya alam;
b. Pelarangan pemanfaatan biota yang dilindungi peraturan perundang-undangan;
c. Pelarangan kegiatan yang dapat mengurangi daya dukung dan daya tampung lingkungan;
d. Pelarangan kegiatan yang dapat mengubah bentang alam dan ekosistem; dan
e. Perlindungan terhadap kekayaan genetis;
(7) Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan taman wisata alam sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 46 huruf g ditetapkan sebagai berikut :
a. Pemanfaatan ruang untuk wisata alam tanpa mengubah bentang alam;
b. Pendirian bangunan dibatasi untuk menunjang kegiatan wisata alam, sesuai ketentuan
peraturan perundang-undangan;
c. Ketentuan pelarangan pendirian bangunan selain ketentuan pada point 2;
d. Pengembangan zonasi kawasan menjadi zona inti dan zona pemanfaatan;
e. Pelarangan pendirian bangunan pada zona pemanfaatan;
f. Tidak diperkenankan dilakukan budidaya yang merusak dan/atau menurunkan fungsi
kawasan taman wisata;
g. Dalam kawasan taman wisata alam masih diperbolehkan dilakukan pembangunan prasarana
wilayah bawah laut sesuai ketentuan yang berlaku.

(8) Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan cagar budaya dan ilmu pengetahuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 46 huruf h ditetapkan sebagai berikut :
a. Dalam kawasan cagar budaya dilarang melakukan kegiatan budidaya apapun, kecuali
kegiatan yang berkaitan dengan fungsinya dan tidak mengubah bentang alam, kondisi
penggunaan lahan, serta ekosistem alami yang ada;
b. Pemanfaatan untuk penelitian, pendidikan dan pariwisata;
c. Ketentuan pelarangan kegiatan dan pendirian bangunan yang tidak sesuai dengan fungsi
kawasan;
d. Hak akses masyarakat terhadap kawasan cagar budaya dan ilmu pengetahuan;
e. Pengendalian pemanfaatan ruang untuk pendidikan, penelitian, dan pariwisata;
f. Ketentuan pelarangan kegiatan yang dapat merusak cagar budaya;
g. Ketentuan pelarangan kegiatan yang dapat mengubah bentukan geologi tertentu yang
mempunyai manfaat untuk pengembangan ilmu pengetahuan;
h. Ketentuan pelarangan pemanfaatan ruang yang mengganggu kelestarian lingkungan di
sekitar cagar budaya dan ilmu pengetahuan, meliputi peninggalan sejarah, bangunan
arkeologi, monumen nasional, serta wilayah dengan bentukan geologi tertentu;
i. Lingkungan fisik dan non-fisik disekitar cagar budaya harus ditata agar sesuai dengan
keberadaan cagar budaya sebagai landmark kawasan;

32
j. Kawasan cagar budaya dan ilmu pengetahuan diperkenankan untuk difungsikan sebagai
objek wisata;
k. Kawasan cagar budaya dilindungi dengan sempadan sekurang-kurangnya memiliki radius
100 m, dan pada radius sekurang-kurangnya 500 m tidak diperkenankan adanya bangunan
lebih dari 1 (satu) lantai;
l. Tidak diperkenankan adanya bangunan lain kecuali bangunan pendukung cagar budaya dan
ilmu pengetahuan; dan
m. Perlindungan terhadap kekayaan genetis.

(9) Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan ruang terbuka hijau sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 46 huruf i ditetapkan sebagai berikut :
a. Dilarang bagi kegiatan yang bersifat alih fungsi RTH;
b. Dibolehkan bagi kegiatan untuk menambah RTH;
c. Dibolehkan pemanfaatan ruang untuk kegiatan rekreasi;
d. Dibatasi bagi pendirian bangunan hanya untuk penunjang kegiatan rekreasi dan fasilitas
umum lainnya;
e. Dilarang bagi pendirian bangunan permanen selain untuk menunjang kegiatan rekreasi dan
fasilitas umum lainnya;
f. Diawasi dengan ketat bagi kegiatan budidaya yang mempengaruhi fungsi RTH atau
menyebabkan alih fungsi RTH.

(10) Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan rawan bencana tanah longsor sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 46 huruf j ditetapkan sebagai berikut :
a. Pemanfaatan ruang dengan mempertimbangkan karakteristik, jenis dan ancaman bencana;
b. Pembatasan pendirian bangunan kecuali untuk kepentingan pemantauan ancaman bencana
dan kepentingan umum;
c. Pelarangan melakukan kegiatan budidaya terbangun pada kawasan rawan tanah longsor;
d. Prioritas kegiatan penanaman vegetasi yang berfungsi untuk perlindungan kawasan;
e. Pengendalian pemanfaatan ruang dengan mempertimbangkan tipologi dan tingkat
kerawanan atau risiko bencana;
f. Penentuan lokasi dan jalur evakuasi dari permukiman penduduk serta penentuan relokasi
untuk kawasan rawan longsor dengan kerentanan tinggi, baik sebelum dan setelah bencana;
g. Arahan zonasi untuk kawasan rawan longsor dengan tingkat kerawanan tinggi;
h. Arahan zonasi untuk kawasan rawan longsor dengan tingkat kerawanan sedang;
1. Ketentuan pelarangan membangun industri/pabrik;
2. Izin pengembangan hunian terbatas dan budidaya lainnya, dengan ketentuan tidak
mengganggu kestabilan lereng sehingga melebihi batas amannya; dan
3. Kegiatan pertambangan diperbolehkan dengan memperhatikan kestabilan lereng dan
didukung upaya reklamasi lereng.

(11) Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan rawan bencana banjir sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 46 huruf k ditetapkan sebagai berikut:
a. Penetapan batas dataran banjir.
b. Pemanfaatan dataran banjir bagi ruang terbuka hijau dan pembangunan fasilitas umum
dengan kepadatan rendah.
c. Ketentuan pelarangan pemanfaatan ruang bagi kegiatan permukiman dan fasilitas umum
penting lainnya.

(12) Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan rawan bencana gelombang pasang sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 46 huruf l ditetapkan sebagai berikut:
a. Dibolehkan bagi pemanfaatan ruang dengan mempertimbangkan karakteristik, jenis, dan
ancaman bencana;
b. Diharuskan bagi penyediaan lokasi dan jalur evakuasi dari permukiman penduduk;

33
c. Dibatasi bagi pendirian bangunan kecuali untuk kepentingan pemantauan ancaman bencana
dan kepentingan umum.

(13) Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan rawan gempa bumi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 46 huruf m ditetapkan sebagai berikut :
a. Diharuskan melakukan penataan ruang sekitar pantai ataupun di daratan guna mencegah dan
menghindari terjadinya korban jiwa dan harta serta dampak yang mungkin timbul ketika
bencana itu terjadi;
b. Disyaratkan untuk mempertimbangkan daya dukung fisik lingkungan seperti pusat gempa
dan sifat batuan;
c. Disyaratkan untuk memperhatikan faktor kemiringan lereng dan ketebalan lapisan tanah
penutup untuk menghidari bahaya longsor;
d. Disyaratkan untuk memperhatikan konstruksi bangunan yang dirancang tahan atau ramah
gempa, sesuai SNI 03-1726-2002, mempertimbangkan faktor keutamaan dan struktur
bangunan, serta peta bahaya seismik;
e. Disyaratkan untuk membangun konstruksi teknis sistem drainase yang tahan gempa;
f. Diharuskan menyediakan sarana dan prasarana penunjang tindak darurat ketika terjadi
gempa bumi, seperti tempat pengungsian, rumah sakit darurat atau lapangan, dapur umum,
instalasi penjernih air, sarana sanitasi, lapangan terbang atau helipad, dan sarana
komunikasi.

(14) Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan imbuhan air tanah sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 46 huruf n ditetapkan sebagai berikut :
a. Dibolehkan pemanfaatan ruang secara terbatas untuk kegiatan budidaya tidak terbangun
yang memiliki kemampuan tinggi dalam menahan limpasan air hujan;
b. Disyaratkan penyediaan sumur resapan dan/atau waduk pada lahan terbangun yang sudah
ada;
c. Disyaratkan menerapkan prinsip zero delta Q policy terhadap setiap kegiatan budi daya
terbangun yang diajukan izinnya.

Paragraf 2
Ketentuan Umum Peraturan Zonasi Kawasan Budidaya

Pasal 48
Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan budidaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (2)
huruf b terdiri atas:
a. Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan hutan produksi;
b. Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan pertanian;
c. Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan perkebunan;
d. Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan perikanan;
e. Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan industri;
f. Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan pertambangan;
g. Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan pariwisata;
h. Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan permukiman; dan
i. Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan pertahanan dan keamanan.

Pasal 49
(1) Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan hutan produksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal
48 huruf a ditetapkan sebagai berikut :
a. Pembatasan pemanfaatan hasil hutan untuk menjaga kelestarian sumberdaya hutan;
b. Kemampuan untuk melakukan pemulihan kondisi sumberdaya alam;
c. Mengutamakan pemanfaatan hasil hutan melalui pembangunan hutan tanaman industri;

34
d. Larangan pendirian bangunan pada hutan produksi kecuali hanya untuk menunjang kegiatan
pemanfaatan hasil hutan;
e. Pembatasan pendirian bangunan hanya untuk menunjang kegiatan pengamanan kawasan dan
pemanfaatan hasil hutan;
f. Pengembangan fungsi hutan produksi menjadi hutan berfungsi lindung;
g. Ketentuan jarak penebangan pohon yang diperbolehkan di kawasan hutan produksi lebih
besar dari 500 meter dari tepi waduk, lebih besar dari 200 meter dari tepi mata air dan kiri
kanan sungai di daerah rawa, lebih besar dari 100 meter dari tepi kiri kanan sungai, 50 meter
dari kiri kanan tepi anak sungai, lebih besar dari 2 kali kedalaman jurang dari tepi jurang,
lebih besar dari 130 kali selisih pasang tertinggi dan pasang terendah dari tepi pantai;
h. Dalam kawasan hutan produksi tidak diperkenankan adanya kegiatan budidaya kecuali
kegiatan kehutanan dan pembangunan sistem jaringan prasarana wilayah dan bangunan terkait
dengan pengelolaan budidaya hutan produksi;
i. Kawasan hutan produksi yang dapat dikonversi dapat dialih fungsikan untuk kegiatan lain di
luar kehutanan setelah potensi hutan tersebut dimanfaatkan dan sesuai peraturan perundangan
yang berlaku;
j. Kegiatan kehutanan dalam kawasan hutan produksi tidak diperkenankan menimbulkan
gangguan lingkungan seperti bencana alam;
k. Kawasan hutan produksi tidak dapat dialih fungsikan untuk kegiatan lain di luar kehutanan;
l. Sebelum kegiatan pengelolaan hutan produksi dilakukan wajib dilakukan studi kelayakan dan
studi amdal yang hasilnya disetujui oleh tim evaluasi dari lembaga yang berwenang;
m. Ketentuan konversi hutan produksi dengan skor lebih kecil dari 124 di luar hutan suaka alam
dan hutan konservasi, serta secara ruang dicadangkan untuk pengembangan infrastruktur,
pertanian dan perkebunan;
n. Ketentuan luas kawasan hutan dalam setiap DAS atau pulau, paling rendah 30% dari luas
daratan; dan
o. Ketentuan luas hutan lebih kecil dari 30 % perlu menambah luas hutan, dan luas hutan lebih
besar dari 30 % tidak boleh secara bebas mengurangi luas kawasan hutan di kabupaten/kota.

(2) Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan pertanian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48
huruf b ditetapkan sebagai berikut :
a. Pertanian budidaya lahan kering tidak produktif dapat dialihfungsikan dengan syarat-syarat
yang diatur oleh pemerintah kabupaten dan atau oleh Kementerian Pertanian;
b. Kegiatan pertanian skala besar, baik yang menggunakan lahan luas ataupun teknologi intensif
harus terlebih dahulu memiliki kajian studi Amdal;
c. Penanganan limbah pertanian tanaman (kadar pupuk dan pestisida yang terlarut dalam air
drainase) dan polusi industri pertanian (udara-bau dan asap, limbah cair) yang dihasilkan
harus disusun dalam RPL dan RKL yang disertakan dalam dokumen Amdal;
d. Disyaratkan bagi kegiatan pertanian skala besar untuk menyerap sebesar mungkin tenaga
kerja setempat;
e. Kawasan yang menghasilkan produk perkebunan yang bersifat spesifik dilindungi
kelestariannya dengan indikasi ruang.

(3) Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan perkebunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48
huruf c ditetapkan sebagai berikut :
a. Dalam kawasan perkebunan dan perkebunan rakyat tidak diperkenankan penanaman jenis
tanaman perkebunan yang bersifat menyerap air dalam jumlah banyak, terutama kawasan
perkebunan yang berlokasi di daerah hulu/kawasan resapan air;
b. Bagi kawasan perkebunan besar tidak diperkenankan merubah jenis tanaman perkebunan
yang tidak sesuai dengan perizinan yang diberikan;
c. Dalam kawasan perkebunan besar dan perkebunan rakyat diperkenankan adanya bangunan
yang bersifat mendukung kegiatan perkebunan dan jaringan prasarana wilayah;
d. Alih fungsi kawasan perkebunan menjadi fungsi lainnya dapat dilakukan sepanjang sesuai
dan mengikuti ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;

35
e. Sebelum kegiatan perkebunan besar dilakukan diwajibkan untuk dilakukan studi kelayakan
dan studi AMDAL yang hasilnya disetujui oleh tim evaluasi dari lembaga yang berwenang;
f. Kegiatan perkebunan tidak diperkenankan dilakukan di dalam kawasan lindung;
g. Ketentuan kemiringan lahan 0-8% untuk pola monokultur, tumpangsari, interkultur atau
campuran melalui konservasi vegetatif mencakup tanaman penutup tanah, penggunaan mulsa
dan pengelolaan tanah minimum;
h. Ketentuan kemiringan lahan 8-15% untuk pola tanam monokultur, tumpangsari, interkultur
atau campuran, tindakan konservasi vegetatif dan tindakan konservasi sipil teknis;
i. Ketentuan kemiringan lahan 15-40% untuk pola tanam monokultur, interkultur atau
campuran, melalui tindakan konservasi vegetatif dan tindakan konservasi sipil teknis, serta
menggunakan tanaman tahunan perkebunan yang bersifat konservasi; dan
j. Ketentuan komoditas berdasarkan kesesuaian lahan, serta luas minimum dan maksimum
penggunaan lahan untuk perkebunan dan pemberian hak atas areal sesuai ketentuan peraturan
perundang-undangan.

(4) Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan perikanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48
huruf d ditetapkan sebagai berikut :
a. Kawasan budidaya perikanan tidak diperkenankan berdekatan dengan kawasan yang bersifat
polutif;
b. Kegiatan budidaya perikanan tidak diperkenankan dilakukan di dalam kawasan lindung;
c. Dalam kawasan perikanan masih diperkenankan adanya kegiatan lain yang bersifat
mendukung kegiatan perikanan dan pembangunan sistem jaringan prasarana sesuai ketentuan
yang berlaku;
d. Kawasan perikanan diperkenankan untuk dialihfungsikan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku;
e. Dalam kawasan perikanan masih diperkenankan dilakukan kegiatan wisata alam secara
terbatas, penelitian dan pendidikan;
f. Kegiatan perikanan tidak diperkenankan dilakukan di dalam kawasan lindung;
g. Pengembangan komoditas budidaya perikanan disesuaikan dengan kebutuhan pasar;
h. Perlindungan kawasan pemijahan;
i. Pengembangan sarana dan prasarana perikanan;
j. Pemanfaatan sumber daya perikanan setinggi-tingginya tidak melampaui potensi lestari;
k. Penangkapan ikan yang ramah lingkungan dan pelarangan pemanfaatan zat beracun dan bom;
l. Penerapan sanksi administrasi dan sanksi adat terhadap pelaku penangkapan ikan yang
melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam huruf f;
m. Pengendalian pemanfaatan ruang untuk pembudidayaan ikan air tawar dan jaring apung;
n. Pengendalian pemanfaatan ruang untuk kawasan penangkapan ikan di perairan umum;
o. Pengendalian pemanfaatan sumberdaya perikanan dengan memperhatikan kelestariannya; dan
p. Pengendalian kawasan budidaya ikan di kolam air tenang, kolam air deras, kolam jaring
apung, sawah dan tambak sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.

(5) Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan industri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48
huruf e ditetapkan sebagai berikut :
a. Pemanfaatan ruang untuk kegiatan kawasan industri, Kawasan Peruntukan Industri, dan
Home Industri;
b. Pemanfaatan ruang untuk kegiatan industri baik yang sesuai dengan kemampuan penggunaan
teknologi, potensi sumber daya alam dan sumber daya manusia di wilayah sekitarnya;
c. Pembatasan pembangunan rumah tinggal di dalam lokasi Kawasan Peruntukan Industri untuk
mengurangi dampak negatif pengaruh dari keberadaan industri terhadap permukiman yang
ada;
d. Ketentuan pelarangan peruntukkan lain selain industri maupun fasilitas pendukungnya dalam
Kawasan yang ditetapkan sebagai kawasan industri sesuai Ketentuan/Peraturan yang berlaku,
kecuali Kawasan Peruntukan Industri, Home Industri serta kawasan industri

36
e. Pemanfaatan ruang kawasan industri, diarahkan untuk pemanfaatan rumah tinggal, kegiatan
produksi, tempat proses produksi, fasilitas pendukung/penunjang permukiman maupun
industri akan diatur tersendiri secara khusus berdasarkan peraturan yang berlaku;
f. Pemanfaatan ruang untuk Home Industri, diijinkan pemanfaatannya dalam kawasan
permukiman dengan pembatasan pada luasan lahan, dan dampak yang ditimbulkan
(berdasarkan batasan kapasitas produksi, tenaga kerja, transportasi yang dihasilkan, dan
limbah yang dihasilkan berdasarkan analisa daya dukung dan daya tampung lokasi) sesuai
peraturan yang berlaku; dan
g. Pemanfaatan ruang untuk pergudangan antara lain berupa gudang untuk industri,
perdagangan, stasiun pengisian bahan bakar dan kegiatan sejenis diijinkan pemanfaatannya
dalam kawasan permukiman dengan pembatasan pada luasan lahan, dan dampak yang
ditimbulkan sesuai peraturan yang berlaku.

(6) Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan pertambangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
48 huruf f ditetapkan sebagai berikut :
a. Pengaturan kawasan tambang dengan memperhatikan keseimbangan antara biaya dan manfaat
serta keseimbangan antara risiko dan manfaat;
b. Pengaturan bangunan lain disekitar instalasi dan peralatan kegiatan pertambangan yang
berpotensi menimbulkan bahaya dengan memperhatikan kepentingan daerah;
c. Kegiatan usaha pertambangan sepenuhnya harus mengikuti ketentuan yang berlaku di bidang
pertambangan;
d. Kegiatan usaha pertambangan dilarang dilakukan tanpa izin dari instansi/pejabat yang
berwenang;
e. Kawasan pasca tambang wajib dilakukan rehabilitasi (reklamasi dan/atau revitalisasi)
sehingga dapat digunakan kembali untuk kegiatan lain, seperti pertanian, kehutanan, dan
pariwisata;
f. Pada kawasan pertambangan diperkenankan adanya kegiatan lain yang bersifat mendukung
kegiatan pertambangan;
g. Kegiatan permukiman diperkenankan secara terbatas untuk menunjang kegiatan
pertambangan dengan tetap memperhatikan aspek-aspek keselamatan;
h. Sebelum kegiatan pertambangan dilakukan wajib dilakukan studi kelayakan dan studi amdal
yang hasilnya disetujui oleh tim evaluasi dari lembaga yang berwenang;
i. Keseimbangan biaya dan manfaat serta keseimbangan risiko dan manfaat;
j. Pengendalian bangunan di sekitar instalasi dan peralatan kegiatan pertambangan yang
berpotensi menimbulkan bahaya dengan memperhatikan kepentingan wilayah sekitarnya;
k. Ketentuan pelarangan kegiatan penambangan terbuka di dalam kawasan lindung, terkecuali
kegiatan yang sudah ada saat ini dan telah memiliki ijin;
l. Ketentuan pelarangan kegiatan penambangan di kawasan rawan bencana dengan tingkat
kerentanan tinggi;
m. Ketentuan pelarangan kegiatan penambangan yang menimbulkan kerusakan lingkungan;
n. Ketentuan pelarangan lokasi pertambangan pada kawasan perkotaan;
o. Penetapan lokasi pertambangan yang berada pada kawasan perdesaan harus mematuhi
ketentuan mengenai radius minimum terhadap permukiman dan tidak terletak di daerah
resapan air untuk menjaga kelestarian sumber air dan kelengkapan lainnya, sesuai ketentuan
peraturan perundang-undangan; dan
p. Petentuan pelarangan lokasi penggalian pada lereng curam lebih besar dari 40% dan
kemantapan lerengnya kurang stabil, untuk menghindari bahaya erosi dan longsor.

(7) Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan pariwisata sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48
huruf g ditetapkan sebagai berikut :
a. Pemanfaatan potensi alam dan budaya masyarakat sesuai daya dukung dan daya tampung
lingkungan;
b. Perlindungan terhadap situs peninggalan kebudayaan masa lampau;
c. Pembatasan pendirian bangunan hanya untuk menunjang kegiatan pariwisata;
d. Pengembangan budaya masyarakat;

37
e. Pengendalian pemanfaatan potensi alam;
f. Penentuan lokasi wisata alam dan wisata minat khusus yang tidak mengganggu fungsi
kawasan lindung;
g. Pengendalian pertumbuhan sarana dan prasarana penunjang wisata yang mengganggu fungsi
kawasan lindung, terutama resapan air;
h. Perlindungan terhadap situs peninggalan kebudayaan masa lampau dan peninggalan sejarah;
i. Ketentuan pemanfaatan taman nasional, taman hutan raya dan taman wisata alam untuk
kegiatan wisata dilaksanakan sesuai asas konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistem
serta luas lahan untuk pembangunan sarana dan prasarana paling luas 10% dari luas zona
pemanfaatan dan penerapan eco-architecture;
j. Ketentuan pelarangan mengubah dan/atau merusak bentuk arsitektur setempat, bentang alam
dan pemandangan visual;
k. Persyaratan amdal sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan;
l. Pelestarian lingkungan hidup dan cagar budaya yang dijadikan kawasan pariwisata sesuai
prinsip-prinsip pemugaran; dan
m. Ketentuan pengembangan kawasan pariwisata sesuai ketentuan peraturan perundang-
undangan.

(8) Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan permukiman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48
huruf h ditetapkan sebagai berikut :
a. Penetapan amplop bangunan;
b. Penetapan tema arsitektur bangunan;
c. Penetapan kelengkapan bangunan dan lingkungan;
d. Penetapan jenis dan syarat penggunaan bangunan yang diizinkan;
e. Peruntukan kawasan permukiman diperkenankan untuk dialihfungsikan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
f. Pada kawasan permukiman diperkenankan adanya sarana dan prasarana pendukung fasilitas
permukiman sesuai dengan petunjuk teknis dan peraturan yang berlaku;
g. Dalam kawasan permukiman masih diperkenankan dibangun prasarana wilayah sesuai dengan
ketentuan peraturan yang berlaku;
h. Kawasan permukiman harus dilengkapi dengan fasilitas sosial termasuk ruang terbuka hijau
(RTH) perkotaan;
i. Dalam kawasan permukiman masih diperkenankan adanya kegiatan industri skala rumah
tangga dan fasilitas sosial ekonomi lainnya dengan skala pelayanan lingkungan;
j. Kawasan permukiman tidak diperkenankan dibangun di dalam kawasan lindung/konservasi
dan lahan pertanian dengan irigasi teknis;
k. Dalam kawasan permukiman tidak diperkenankan dikembangkan kegiatan yang mengganggu
fungsi permukiman dan kelangsungan kehidupan sosial masyarakat;
l. Pengembangan kawasan permukiman harus dilakukan sesuai ketentuan peraturan yang
berlaku di bidang perumahan dan permukiman;
m. Pembangunan hunian dan kegiatan lainnya di kawasan permukiman harus sesuai dengan
peraturan teknis dan peraturan lainnya yang berlaku (KDB, KLB, sempadan bangunan, dan
lain sebagainya);
n. Ketentuan penggunaan lahan permukiman baru disesuaikan dengan karakteristik serta daya
dukung lingkungan untuk kawasan perkotaan;
o. Ketentuan tingkat kepadatan bangunan pada kawasan permukiman horizontal paling banyak
50 bangunan per hektar dengan dilengkapi utilitas yang memadai;
p. Ketentuan pemanfaatan ruang di kawasan permukiman perdesaan yang sehat dan aman dari
bencana alam serta kelestarian lingkungan hidup;
q. Penyediaan sarana pendidikan dan kesehatan sesuai kriteria yang ditentukan;
r. Penyediaan kebutuhan sarana ruang terbuka, taman dan lapangan olahraga;
s. Penyediaan kebutuhan sarana perdagangan dan niaga; dan
t. Peremajaan kawasan permukiman kumuh di perkotaan.

38
(9) Ketentuan umum peraturan zonasi untuk kawasan pertahanan dan keamanan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 48 huruf i ditetapkan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.

Paragraf 3
Ketentuan Umum Peraturan Zonasi Sistem Perkotaan

Pasal 50
Ketentuan umum peraturan zonasi untuk sistem perkotaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45
ayat (2) huruf c, terdiri atas:
a. Peraturan zonasi untuk Pusat Kegiatan Nasional (PKN) disusun dengan memperhatikan
pemanfaatan ruang untuk kegiatan ekonomi berskala internasional dan nasional atau beberapa
provinsi yang didukung dengan fasilitas dan infrastruktur perkotaan yang sesuai dengan kegiatan
ekonomi yang dilayaninya.
b. Peraturan zonasi untuk Pusat Kegiatan Lokal (PKL) disusun dengan memperhatikan :
1. Pemanfaatan ruang untuk kegiatan ekonomi perkotaan berskala kabupaten dan beberapa
distrik yang didukung dengan fasilitas dan infrastruktur perkotaan yang sesuai dengan
kegiatan ekonomi yang dilayaninya; dan
2. Pengembangan fungsi kawasan perkotaan sebagai pusat permukiman dengan tingkat
intensitas pemanfaatan ruang menengah hingga tinggi yang kecenderungan pengembangan
ruangnya kearah vertikal.
c. Peraturan zonasi untuk Pusat Pelayanan Kawasan (PPK) harus disusun dengan mematuhi
ketentuan mengenai pemanfaatan ruang untuk kegiatan ekonomi berskala distrik atau beberapa
kampung yang didukung dengan fasilitas dan infrastruktur perkotaan yang sesuai dengan
kegiatan ekonomi yang dilayaninya.

Paragraf 4
Ketentuan Umum Peraturan Zonasi Sistem Transportasi

Pasal 51
Ketentuan umum peraturan zonasi untuk sistem transportasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45
ayat (2) huruf d, terdiri atas:
a. Arahan Peraturan Zonasi untuk Jaringan Jalan Kabupaten, meliputi:
1. Pengendalian pemanfaatan ruang di sepanjang jalan Kabupaten dengan tingkat intensitas
rendah hingga menengah, yang kecenderungan pengembangan ruangnya dibatasi.
2. Perlindungan terhadap fungsi kawasan lindung.
3. Ketentuan pelarangan alih fungsi lahan yang berfungsi lindung di sepanjang sisi jalan
provinsi.
4. Penetapan garis sempadan bangunan di sisi jalan kabupaten yang memenuhi ketentuan
ruang pengawasan jalan.
5. Pemanfaatan ruang di sepanjang sisi jalan kabupaten dengan tingkat intensitas rendah
hingga menengah yang kecenderungan pengembangan ruangnya dibatasi.
6. Pelarangan alih fungsi lahan yang berfungsi lindung di sepanjang sisi jalan kabupaten.
7. Penetapan ruang manfaat jalan, ruang milik jalan, ruang pengawasan jalan dan garis
sempadan bangunan di sisi jalan.
8. Pengaturan persimpangan tidak sebidang pada kawasan padat lalu lintas, setelah melalui
kajian teknis dan budaya.
9. Pembatasan pemanfatan ruang selain ruang lalu lintas di ruang milik jalan pada jalan
kolektor primer.
10. Kewajiban melakukan analisis dampak lalu lintas (andall) sebagai persyaratan izin
mendirikan bangunan bagi pemanfaatan ruang di sepanjang sisi jalan yang berpotensi
mengganggu arus lalu lintas.

39
11. Di sepanjang sistem jaringan jalan kabupaten tidak diperkenankan adanya kegiatan yang
dapat menimbulkan hambatan lalu lintas regional.
12. Di sepanjang sistem jaringan jalan kabupaten tidak diperkenankan adanya akses langsung
dari bangunan ke jalan.
13. Bangunan di sepanjang sistem jaringan jalan kabupaten harus memilki sempadan bangunan
yang sesuai dengan ketentuan setengah rumija +1.
b. Arahan peraturan zonasi untuk terminal, ditetapkan pada jenjang RTRW Kabupaten, dengan
memperhatikan hal tentang lokasi terminal tipe B dan C, diarahkan untuk berada di luar batas
kota dan memiliki akses ke jalan kolektor sekunder (K4) sesuai peraturan perundangan yang
berlaku.
c. Arahan peraturan zonasi untuk jaringan jalur kereta api dan stasiun, meliputi:
1. Pemanfaatan ruang di sepanjang sisi jaringan jalur kereta api dilakukan dengan tingkat
intensitas menengah hingga tinggi yang kecenderungan pengembangan ruangnya dibatasi.
2. Ketentuan pelarangan pemanfaatan ruang pengawasan jalur kereta api yang dapat
mengganggu kepentingan operasi dan keselamatan transportasi perkeretaapian.
3. Pembatasan pemanfaatan ruang yang peka terhadap dampak lingkungan akibat lalu lintas
kereta api di sepanjang jalur kereta api.
4. Pembatasan jumlah perlintasan sebidang antara jaringan jalur kereta api dan jalan.
5. Penetapan garis sempadan bangunan di sisi jaringan jalur kereta api dengan memperhatikan
dampak lingkungan dan kebutuhan pengembangan jaringan jalur kereta api.
6. Perlintasan rel KA dengan jalan yang memiliki volume lalu lintas yang tinggi diusahakan
agar tidak berada dalam satu bidang.
7. Bangunan di sepanjang lintasan rel KA harus berada di luar garis sempadan rel sesuai
dengan undang-undang perkeretaapian nasional.
d. Arahan peraturan zonasi untuk kebandarudaraan dan ruang udara untuk penerbangan, meliputi:
1. Pemanfaatan ruang untuk kebutuhan operasional bandar udara.
2. Pemanfaatan ruang di sekitar bandar udara sesuai dengan kebutuhan pengembangan bandar
udara berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.
3. Batas-batas kawasan keselamatan operasi penerbangan dan batas-batas kawasan kebisingan.
4. Peraturan zonasi untuk ruang udara penerbangan disusun dengan memperhatikan
pembatasan pemanfaatan ruang udara yang digunakan untuk penerbangan agar tidak
mengganggu sistem operasional penerbangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
perundangan.
5. Arahan peraturan zonasi Bandar Udara Lokal, pengembangannya mengacu pada peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
e. Arahan peraturan zonasi untuk pelabuhan disusun dengan memperhatikan:
1. Pemanfaatan ruang untuk kebutuhan operasional dan pengembangan kawasan pelabuhan.
2. Ketentuan pelarangan kegiatan di ruang udara bebas di atas badan air yang berdampak pada
keberadaan jalur transportasi laut.
3. Pembatasan pemanfaatan ruang di dalam daerah lingkungan kerja pelabuhan dan daerah
lingkungan kepentingan pelabuhan harus mendapatkan izin sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
f. Arahan peraturan zonasi untuk jaringan transportasi sungai, danau dan penyeberangan disusun
dengan memperhatikan :
1. Keselamatan dan keamanan pelayaran.
2. Ketentuan pelarangan kegiatan di ruang udara bebas di atas perairan yang berdampak pada
keberadaan alur pelayaran sungai, danau dan penyeberangan.
3. Ketentuan pelarangan kegiatan di bawah perairan yang berdampak pada keberadaan alur
pelayaran sungai, danau dan penyeberangan.
4. Pembatasan pemanfaatan perairan yang berdampak pada keberadaan alur pelayaran sungai,
danau dan penyeberangan.
5. Pemanfaatan ruang di dalam dan di sekitar pelabuhan sungai, danau, dan penyeberangan
harus memperhatikan kebutuhan ruang untuk operasional dan pengembangan kawasan
pelabuhan.

40
6. Pemanfaatan ruang di dalam daerah lingkungan kerja pelabuhan dan daerah lingkungan
kepentingan pelabuhan harus mendapatkan izin sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.

Paragraf 5
Ketentuan Umum Peraturan Zonasi Jaringan Prasarana

Pasal 52
Ketentuan umum peraturan zonasi untuk sistem prasarana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat
(2) huruf e, terdiri atas:
a. Arahan peraturan zonasi jaringan kelistrikan, meliputi :
1. Peraturan zonasi untuk pembangkit tenaga listrik disusun dengan memperhatikan
pemanfaatan ruang di sekitar pembangkit listrik harus memperhatikan jarak aman dari
kegiatan lain.
2. Peraturan zonasi untuk jaringan transmisi tenaga listrik disusun dengan memperhatikan
ketentuan pelarangan pemanfaatan ruang bebas di sepanjang jalur transmisi sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
b. Arahan peraturan zonasi jaringan telekomunikasi, meliputi :
1. Peraturan zonasi untuk sistem jaringan telekomunikasi disusun dengan memperhatikan
pemanfaatan ruang untuk penempatan stasiun bumi dan menara pemancar telekomunikasi
yang memperhitungkan aspek keamanan dan keselamatan aktivitas kawasan di sekitarnya.
2. Penempatan menara pemancar telekomunikasi memperhatikan keserasian dengan
lingkungan sekitarnya.
3. Pembangunan menara di kawasan yang sifat dan peruntukannya memiliki karakteristik
tertentu wajib memenuhi ketentuan perundang-undangan untuk kawasan tertentu.
4. Diarahkan untuk menggunakan menara telekomunikasi secara bersama-sama diantara para
penyedia layanan telekomunikasi (provider), dan pemerintah Kabupaten Mimika menyusun
masterplant pemancar telekomunikasi daerah.
5. Penyedia menara atau pengelola menara wajib memperhatikan ketentuan mengenai larangan
monopoli dan persaingan usaha tidak sehat.
c. Arahan peraturan zonasi sumberdaya air, meliputi :
1. Pemanfaatan ruang pada kawasan di sekitar wilayah sungai dengan tetap menjaga
kelestarian lingkungan dan fungsi lindung kawasan.
2. Tetap menjaga kelestarian lingkungan dan fungsi lindung kawasan.
3. Pemanfaatan ruang daerah aliran sungai lintas kabupaten/kota, termasuk daerah hulunya,
yang dilakukan oleh kabupaten/kota yang berbatasan harus selaras dengan arahan pola ruang
wilayah.
4. Pemanfaatan ruang pada sumber air dengan mempertimbangkan prinsip kelestarian
lingkungan dan keadilan.
5. Jaringan distribusi air dikembangkan dengan memperhatikan tingkat kebutuhan dan
ketersediaan air.
6. Setiap kawasan memiliki sistem drainase terpadu dan efektif.
7. Pelarangan pembuangan limbah padat/sampah ke saluran drainase.
8. Pelarangan terhadap gangguan/pemotongan terhadap saluran drainase.
d. Arahan peraturan zonasi pengelolaan limbah, meliputi :
1. Pemanfaatan ruang untuk pengelolaan air limbah diprioritaskan pada kawasan pariwisata
dan/atau kawasan permukiman padat penduduk.
2. Pembangunan unit pengolahan limbah berada di luar radius kawasan tempat suci.
3. Pengembangan jaringan tidak melewati dan/atau memotong kawasan tempat suci/pura.
4. Pembuangan efluen air limbah ke media lingkungan hidup tidak melampaui standar baku
mutu air limbah.
e. Arahan peraturan zonasi pengelolaan persampahan, meliputi :
1. TPA tidak diperkenankan terletak berdekatan dengan kawasan permukiman.
2. Lokasi TPA mendapat persetujuan masyarakat setempat.

41
3. TPA untuk ukuran kota besar dan kota metropolitan menggunakan metoda sistem lahan urug
saniter (sanitary landfill).
4. TPA untuk ukuran kota sedang dan kota kecil menggunakan metode lahan urug terkendali
(controlled landfill atau sanitary landfill).
5. TPA wajib melakukan pengelolaan air lindi/licit dan pembuangan air lindi ke media
lingkungan hidup tidak melampaui standar baku mutu lingkungan.
6. Pelarangan membuang sampah di luar tempat yang telah ditentukan.
7. Pelarangan membuang sampah sebelum di pilah.
8. pelarangan pembakaran sampah pada volume tertentu.

Bagian Ketiga
Ketentuan Perizinan

Pasal 53
(1) Ketentuan perizinan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (2) huruf b merupakan acuan
bagi pejabat yang berwenang dalam pemberian izin pemanfaatan ruang berdasarkan rencana
struktur dan pola ruang yang ditetapkan dalam Peraturan Daerah ini.
(2) Izin pemanfaatan ruang diberikan oleh pejabat yang berwenang sesuai dengan kewenangannya.
(3) Pemberian izin pemanfaatan ruang dilakukan menurut prosedur sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.

Pasal 54
(1) Jenis perizinan terkait pemanfaatan ruang yang ada di Kabupaten Mimika sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 53 ayat (2), terdiri atas :
a. Izin prinsip;
b. Izin lokasi;
c. Izin penggunaan pemanfaatan tanah;
d. Izin mendirikan bangunan (IMB);
e. Izin usaha;
f. Izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu;
g. Izin usaha pemanfaatan hasil hutan bukan kayu;
h. Izin usaha pertambangan umum; dan
i. Izin pemanfaatan air bawah tanah.
(2) Mekanisme perizinan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a – i diatur lebih lanjut dengan
Peraturan Bupati Mimika.

Bagian Keempat
Ketentuan Insentif dan Disinsentif

Pasal 55
(1) Ketentuan insentif dan disinsentif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (2) huruf c
merupakan acuan bagi pemerintah daerah dalam pemberian insentif dan pengenaan disinsentif.
(2) Insentif diberikan apabila pemanfaatan ruang sesuai dengan rencana struktur ruang, rencana pola
ruang, dan ketentuan umum peraturan zonasi yang diatur dalam Peraturan Daerah ini.
(3) Disinsentif dikenakan terhadap pemanfaatan ruang yang perlu dicegah, dibatasi, atau dikurangi
keberadaannya berdasarkan ketentuan dalam Peraturan Daerah ini.

42
Pasal 56
(1) Pemberian insentif dan pengenaan disinsentif dalam pemanfaatan ruang wilayah kabupaten
dilakukan oleh pemerintah daerah kepada masyarakat.
(2) Pemberian insentif dan pengenaan disinsentif dilakukan oleh instansi berwenang sesuai dengan
kewenangannya.

Pasal 57
(1) Insentif yang diberikan kepada masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (2),
terdiri atas :
a. Insentif yang diberikan untuk kegiatan pemanfaatan ruang yang mendukung pengembangan
kawasan strategi pertumbuhan ekonomi yaitu dalam bentuk :
1. Penyediaan infrastruktur;
2. Keringanan pajak; dan
3. Kemudahan prosedur perijinan.
b. Insentif yang diberikan untuk kegiatan pemanfaatan ruang yang mendukung pengembangan
kawasan strategi penyelamatan lingkungan hidup, yaitu dalam bentuk :
1. Pemberian kompensasi; dan
2. Penghargaan
c. Insentif yang diberikan untuk kegiatan pemanfaatan ruang yang mendukung pengembangan
kawasan pengembangan usaha penduduk asli yaitu dalam bentuk :
1. Penyediaan infrastruktur;
2. Kemudahan prosedur perijinan;
3. Penghargaan; dan
4. Pemberian kompensasi
d. Insentif yang diberikan untuk kegiatan pemanfaatan ruang yang mendukung pengembangan
kawasan hutan cadangan pangan yaitu dalam bentuk :
1. Penyediaan infrastruktur;
2. Kemudahan prosedur perijinan;
e. Insentif yang diberikan untuk kegiatan pemanfaatan ruang yang mendukung pengembangan
kawasan penangkaran buaya yaitu dalam bentuk :
1. Penyediaan infrastruktur;
2. Kemudahan prosedur perijinan;
3. Keringanan pajak.
f. Insentif yang diberikan untuk kegiatan pemanfaatan ruang yang mendukung pengembangan
kawasan Taman Nasional Lorentz yaitu dalam bentuk :
1. Pemberian kompensasi;
2. Penghargaan.
g. Insentif yang diberikan untuk kegiatan pemanfaatan ruang yang mendukung pengembangan
kawasan perbatasan dengan kabupaten lain yaitu dalam bentuk :
1. Pembangunan dan pengadaan infrastruktur;
2. Urun saham.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian insentif diatur dengan Peraturan Bupati.

43
Pasal 58
(1) Disinsentif yang dikenakan kepada masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (3),
terdiri atas :
a. Pembatasan penyediaan infrastruktur
b. Pemberian kompensasi;
c. Kesulitan dalam proses perijinan; dan
d. Penalti.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan disinsentif diatur dengan Peraturan Bupati.

Bagian Kelima
Arahan Sanksi

Pasal 59
(1) Arahan sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (2) huruf d merupakan acuan bagi
pemerintah Kabupaten Mimika dalam pengenaan sanksi administratif kepada pelanggar
pemanfaatan ruang.
(2) Pengenaan sanksi dilakukan terhadap :
a. Pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan rencana struktur ruang dan pola ruang;
b. Pelanggaran ketentuan umum peraturan zonasi;
c. Pemanfaatan ruang tanpa izin pemanfaatan ruang yang diterbitkan berdasarkan RTRW
Kabupaten Mimika;
d. Pemanfaatan ruang tidak sesuai dengan izin pemanfaatan ruang yang diterbitkan
berdasarkan RTRW Kabupaten Mimika;
e. Pelanggaran ketentuan yang ditetapkan dalam persyaratan izin pemanfaatan ruang yang
diterbitkan berdasarkan RTRW Kabupaten Mimika;
f. Pemanfaatan ruang yang menghalangi akses terhadap kawasan yang oleh peraturan
perundang-undangan dinyatakan sebagai milik umum; dan/atau
g. Pemanfaatan ruang dengan izin yang diperoleh dengan prosedur yang tidak benar.

Pasal 60
(1) Terhadap pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 huruf a, huruf b, huruf d, huruf e,
huruf f, dan huruf g dikenakan sanksi administratif berupa :
a. Peringatan tertulis;
b. Penghentian sementara kegiatan;
c. Penghentian sementara pelayanan umum;
d. Penutupan lokasi;
e. Pencabutan izin;
f. Pembatalan izin;
g. Pembongkaran bangunan;
h. Pemulihan fungsi ruang; dan/atau
i. Denda administratif.
(2) Terhadap pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 huruf c dikenakan sanksi
administratif berupa :
a. Peringatan tertulis;
b. Penghentian sementara kegiatan;
c. Penghentian sementara pelayanan umum;
d. Penutupan lokasi;

44
e. Pembongkaran bangunan;
f. Pemulihan fungsi ruang; dan/atau
g. Denda administratif.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan sanksi diatur dengan Peraturan Bupati.

Pasal 61
Setiap orang yang melakukan pelanggaran terhadap rencana tata ruang yang telah ditetapkan dapat
dikenakan sanksi pidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

BAB VIII
KETENTUAN PIDANA

Pasal 62
(1) Setiap orang yang tidak mentaati rencana tata ruang yang telah ditetapkan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 44 yang mengakibatkan perubahan fungsi ruang dengan rencana penataan
ruang, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) bulan dan denda paling banyak
Rp.50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).
(2) Setiap orang yang melakukan kegiatan pemanfaatan ruang yang mengakibatkan ketidak sesuaian
fungsi ruang dengan penataan ruang dipidana dengan pidana sesuai peraturan perundang-
undangan dibidang Penataan Ruang.
(3) Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pelanggaran.
(4) Denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) masuk ke Kas Daerah.
(5) Selain pidana denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1), korporasi dapat dijatuhi pidana
tambahan berupa:
a. Pencabutan izin usaha;
b. Pencabutan status badan hukum; dan/atau
c. Pembatalan proses penyelesaian izin usaha.

BAB IX
KELEMBAGAAN

Pasal 63
(1) Dalam rangka koordinasi penataan ruang dan kerjasama antar wilayah, dibentuk Badan
Koordinasi Penataan Ruang Daerah (BKPRD) Kabupaten Mimika.
(2) Tugas, susunan organisasi, dan tata kerja Badan Koordinasi Penataan Ruang Daerah Kabupaten
Mimika sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Keputusan Bupati Mimika.

45
BAB X
HAK, KEWAJIBAN DAN PERAN MASYARAKAT
DALAM PENATAAN RUANG

Bagian Kesatu
Hak Masyarakat

Pasal 64
Dalam kegiatan mewujudkan penataan ruang wilayah, masyarakat berhak:
a. Mengetahui rencana tata ruang;
b. Menikmati pertambahan nilai ruang sebagai akibat penataan ruang;
c. Memperoleh penggantian yang layak atas kerugian yang timbul akibat pelaksanaan kegiatan
pembangunan yang sesuai dengan rencana tata ruang;
d. Mengajukan keberatan kepada pejabat berwenang terhadap pembangunan yang tidak sesuai
dengan rencana tata ruang di wilayahnya;
e. Mengajukan tuntutan pembatalan izin dan penghentian pembangunan yang tidak sesuai dengan
rencana tata ruang kepada pejabat berwenang; dan
f. Mengajukan gugatan ganti kerugian kepada pemerintah dan/atau pemegang izin apabila kegiatan
pembangunan yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang menimbulkan kerugian.

Bagian Kedua
Kewajiban Masyarakat

Pasal 65
Dalam pemanfaatan ruang, setiap orang wajib :
a. Mentaati rencana tata ruang yang telah ditetapkan;
b. Memanfaatkan ruang sesuai dengan izin pemanfaatan ruang dari pejabat yang berwenang;
c. Mematuhi ketentuan yang ditetapkan dalam persyaratan izin pemanfaatan ruang; dan
d. Memberikan akses terhadap kawasan yang oleh ketentuan peraturan perundang- undangan
dinyatakan sebagai milik umum.

Pasal 66
(1) Pelaksanaan kewajiban masyarakat dalam pemanfaatan ruang sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 65 dilaksanakan dengan mematuhi dan menerapkan kriteria, kaidah, baku mutu, dan
aturan-aturan penataan ruang yang ditetapkan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
(2) Kaidah dan aturan pemanfaatan ruang yang dilakukan masyarakat secara turun temurun dapat
diterapkan sepanjang memperhatikan faktor-faktor daya dukung lingkungan, estetika lingkungan,
lokasi, dan struktur pemanfaatan ruang serta dapat menjamin pemanfaatan ruang yang serasi,
selaras, dan seimbang.

46
Bagian Ketiga
Peran Masyarakat

Pasal 67
Peran masyarakat dalam penataan ruang dilakukan pada tahap:
a. Proses perencanaan tata ruang;
b. Pemanfaatan ruang; dan
c. Pengendalian pemanfaatan ruang.

Pasal 68
Bentuk peran masyarakat pada tahap perencanaan tata ruang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67
huruf a dapat berupa :
a. Memberikan masukan mengenai :
1. Persiapan penyusunan rencana tata ruang;
2. Penentuan arah pengembangan wilayah atau kawasan;
3. Pengidentifikasian potensi dan masalah wilayah atau kawasan;
4. Perumusan konsepsi rencana tata ruang; dan/atau
5. Penetapan rencana tata ruang.
b. Melakukan kerja sama dengan pemerintah, pemerintah daerah dan/atau sesama unsur masyarakat
dalam perencanaan tata ruang.

Pasal 69
Bentuk peran masyarakat dalam pemanfaatan ruang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 huruf b
dapat berupa:
a. Masukan mengenai kebijakan pemanfaatan ruang;
b. Kerja sama dengan Pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau sesama unsur masyarakat dalam
pemanfaatan ruang;
c. Kegiatan memanfaatkan ruang yang sesuai dengan kearifan lokal dan rencana tata ruang yang
telah ditetapkan;
d. Peningkatan efisiensi, efektivitas, dan keserasian dalam pemanfaatan ruang darat, ruang laut,
ruang udara, dan ruang di dalam bumi dengan memperhatikan kearifan lokal serta sesuai dengan
ketentuan peraturan perundangundangan;
e. Kegiatan menjaga kepentingan pertahanan dan keamanan serta memelihara dan meningkatkan
kelestarian fungsi lingkungan hidup dan sumber daya alam; dan
f. Kegiatan investasi dalam pemanfaatan ruang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.

Pasal 70
Bentuk peran masyarakat dalam pengendalian pemanfaatan ruang sebagaimana dimaksud dalam Pasal
67 huruf c dapat berupa:
a. Masukan terkait arahan dan/atau peraturan zonasi, perizinan, pemberian insentif dan disinsentif
serta pengenaan sanksi;
b. Keikutsertaan dalam memantau dan mengawasi;
c. Pelaksanaan rencana tata ruang yang telah ditetapkan;

47
d. Pelaporan kepada instansi dan/atau pejabat yang berwenang dalam hal menemukan dugaan
penyimpangan atau pelanggaran kegiatan pemanfaatan ruang yang melanggar rencana tata ruang
yang telah ditetapkan; dan
e. Pengajuan keberatan terhadap keputusan pejabat yang berwenang terhadap pembangunan yang
dianggap tidak sesuai dengan rencana tata ruang.

Pasal 71
(1) Peran masyarakat di bidang penataan ruang dapat disampaikan secara langsung dan/atau tertulis.
(2) Peran masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat disampaikan kepada Bupati.
(3) Peran masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) juga dapat disampaikan melalui unit
kerja terkait yang ditunjuk oleh Bupati.

Pasal 72
Dalam rangka meningkatkan peran masyarakat, pemerintah Kabupaten Mimika membangun sistem
informasi dan dokumentasi penataan ruang yang dapat diakses dengan mudah oleh masyarakat.

Pasal 73
Pelaksanaan tata cara peran masyarakat dalam penataan ruang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan
perundang-undangan.

BAB XI
KETENTUAN LAIN-LAIN
Pasal 74
(1) Rencana tata ruang wilayah Kabupaten Mimika menjadi pedoman untuk:
a. Penyusunan rencana pembangunan jangka panjang daerah (RPJPD);
b. Penyusunan rencana pembangunan jangka menengah daerah (RPJMD);
c. Pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang di wilayah Kabupaten Mimika;
d. Mewujudkan keterpaduan, keterkaitan, dan keseimbangan antar sektor;
e. Penetapan lokasi dan fungsi ruang untuk investasi; dan
f. Penataan ruang kawasan strategis Kabupaten Mimika;
(2) Untuk operasionalisasi Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Mimika disusun Rencana Rinci
Tata Ruang berupa Rencana Detail Tata Ruang Kawasan Strategis;
(3) Rencana Rinci Tata Ruang maupun Rencana Detail Tata Ruang Kawasan Strategis sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dengan Peraturan Daerah.

Pasal 75
(1) Jangka waktu Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Mimika adalah 20 (dua puluh) tahun
sejak tanggal ditetapkan dan ditinjau kembali 1 (satu) kali dalam 5 (lima) tahun.
(2) Dalam kondisi lingkungan strategis tertentu yang berkaitan dengan bencana alam skala besar,
perubahan batas teritorial negara, dan/atau perubahan batas wilayah yang ditetapkan dengan
undang-undang, Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Mimika dapat ditinjau kembali lebih
dari 1 (satu) kali dalam 5 (lima) tahun.

48
(3) Peraturan Daerah tentang RTRW Kabupaten Mimika Tahun 2011-2031 dilengkapi dengan
Rencana dan album peta yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.
(4) Dalam hal terdapat penetapan kawasan hutan oleh Menteri Kehutanan terhadap bagian wilayah
kabupaten Mimika yang kawasan hutannya belum disepakati pada saat Peraturan Daerah ini
ditetapkan, rencana dan album peta sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disesuaikan dengan
peruntukan kawasan hutan berdasarkan hasil kesepakatan Menteri Kehutanan.
(5) Hal-hal yang belum cukup diatur dalam Peraturan Daerah ini, sepanjang mengenai teknis
pelaksanaan Rencana Tata Ruang Wilayah, diatur lebih lanjut dengan Peraturan Bupati.

BAB XII
KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 76
(1) Dengan berlakunya Peraturan Daerah ini, maka semua peraturan pelaksanaan yang berkaitan
dengan penatan ruang Kabupaten Mimika yang telah ada, dinyatakan berlaku sepanjang tidak
bertentangan dengan dan atau belum diganti berdasarkan Peraturan Daerah ini.
(2) Dengan berlakunya Peraturan Daerah ini, maka :
a. Izin pemanfaatan ruang yang telah dikeluarkan dan telah sesuai dengan ketentuan Peraturan
Daerah ini tetap berlaku sesuai dengan masa berlakunya;
b. Izin pemanfaatan ruang yang telah dikeluarkan tetapi tidak sesuai dengan ketentuan
Peraturan Daerah ini berlaku ketentuan :
1. Untuk yang belum dilaksanakan pembangunannya, izin tersebut disesuaikan dengan
fungsi kawasan berdasarkan Peraturan Daerah ini;
2. Untuk yang sudah dilaksanakan pembangunannya, dilakukan penyesuaian dengan masa
transisi berdasarkan ketentuan perundang-undangan; dan
3. Untuk yang sudah dilaksanakan pembangunannya dan tidak memungkinkan untuk
dilakukan penyesuaian dengan fungsi kawasan berdasarkan Peraturan Daerah ini, izin
yang telah diterbitkan dapat dibatalkan dan terhadap kerugian yang timbul sebagai
akibat pembatalan izin tersebut dapat diberikan penggantian yang layak;
c. Pemanfaatan ruang di daerah yang diselenggarakan tanpa izin dan bertentangan dengan
ketentuan peraturan daerah ini, akan ditertibkan dan disesuaikan dengan Peraturan Daerah
ini;
d. Pemanfaatan ruang yang sesuai dengan ketetentuan Peraturan Daerah ini, agar dipercepat
untuk mendapatkan izin yang diperlukan.

BAB XIII
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 77
Pada saat peraturan daerah ini mulai berlaku, Peraturan Daerah Nomor 5 Tahun 2001 tentang Rencana
Tata Ruang Wilayah Kabupaten Mimika Tahun 2000-2010 dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

49
Pasal 78
Peraturan daerah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Daerah ini dengan
menempatkannya dalam Lembaran Daerah Kabupaten Mimika.

Ditetapkan di Timika.
Pada tanggal 30 Desember 2011.
BUPATI MIMIKA,
ttd
KLEMEN TINAL, SE, MM.

Diundangkan di Timika.
Pada Tanggal 30 Desember 2011.
SEKRETARIS DAERAH KABUPATEN MIMIKA
ttd
Drs. MARTHEN EDWARD GIYAI
Pembina Utama Madya
NIP. 19550114 198211 1 003

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN MIMIKA TAHUN 2011, NOMOR : 15

Untuk salinan yang sah


Sesuai yang asli
an. SEKRETARIS DAERAH KABUPATEN MIMIKA
KEPALA BAGIAN HUKUM

SIHOL PARNINGOTAN,SH
PEMBINA
NIP. 19640616 199403 1 008

50

Anda mungkin juga menyukai