Anda di halaman 1dari 14

TUGAS ENERGI TIDAK TERBARUKAN

PROSES PENGOLAHAN GAS ALAM

Disusun oleh:

Rahma Fidela Noviyani 14/363538/TK/41641

Novian Buyung 14/367057/TK/42309

DEPARTEMEN TEKNIK KIMIA

FAKULTAS TEKNIK

UNIVERSITAS GADJAH MADA

YOGYAKARTA

2019
BAB I

PENDAHULUAN

Kandungan gas alam di bumi terletak pada reservoir, baik reservoir lepas pantai atau di
daratan. Gas alam dapat terbentuk sebagai hasil produksi minyak bumi (melalui distilasi) atau
dalam bentuk gas yang bebas dari minyak. Pada tahun 2014, cadangan gas bumi yang sudah
terbukti berkisar pada 6.972 TCF, dengan konsumsi tahunan sebesar 78,4 TCF [1]. Kandungan
gas alam selain kandungan gas yang dapat terbakar, juga terdapat berbagai zat pengotor yang akan
menurunkan kualitas gas alam. Zat pengotor yang umum berada di gas alam antara lain gas CO2,
uap air, hidrogen sulfida, Hg, organic sulphur (sebagai contoh adalah mercaptan) dan gas inert
seperti nitrogen.

Gas alam sebelum dapat digunakan harus melewati berbagai proses untuk mengurangi
kadar zat pengotor tersebut. Tantangan yang ada adalah energi dari proses yang diperlukan sangat
tinggi sehingga biaya proses juga tinggi. Terus berlangsungnya eksplorasi cadangan gas baru dan
meningkatnya konsumsi gas alam dari tahun ke tahun meningkatkan kebutuhan akan teknologi
pemurnian baru yang lebih efisien sehingga lebih murah. Setelah diproses, gas alam kemudian
didistribusikan ke konsumen menggunakan pipa gas atau dengan menggunakan carrier seperti
tabung gas, di mana gas sebelumnya mengalami proses liquefaction terlebih dahulu. Konsumen
kemudian dapat menggunakan gas alam untuk menghasilkan listrik, panas, hingga salah satu bahan
baku pembuatan pupuk.

Gambar 1.1 Komposisi Gas Alam


Pada fasilitas pengolahan gas alam, gas alam yang memiliki komposisi sama dengan gas
dari reservoirnya ditingkatkan kemurniannya melalui serangkaian proses, yaitu mercury removal,
acid gas removal, dehydration, natural gas cairans (NGLs) recovery dan kemudian liquefaction.
Untuk memenuhi kondisi proses (misalnya temperature dan tekanan) maka penekanan dan
pendinginan dapat dilakukan pada tahapan mana saja dari rangkaian proses tersebut.

Tidak semua fasilitas pengolahan harus memiliki setiap unit proses seperti yang telah disebutkan
di atas. Sebagai contoh, kebanyakan sumur gas menghasilkan gas yang memiliki komposisi CO2
yang lebih kecil dari pada spesifikasi produk, sehingga tidak diperlukan unit pengolahan untuk
mengurangi kadar CO2.
BAB II

PENGOLAHAN

2.1 Pemisahan Fase

Pemisahan fase merupakan proses pertama dari serangkaian proses upgrading gas alam.
Sebelum gas dapat diolah lebih lanjut, gas harus dipisahkan dari fase cairannya, termasuk air dan
kondensat. Kondensat ini dapat terbentuk dari dalam sumur atau terbentuk saat transfer gas dari
sumur ke fasilitas pengolahan, yang terjadi karena kondensasi komponen-komponen berat yang
terkandung di gas alam. Pemisahan fase dapat dilakukan dengan menggunakan gravity separation
process yang menggunakan prinsip perbedaan densitas komponen gas alam. Separator dengan
mekanisme ini dapat dibuat secara vertikal maupun horizontal, dengan pertimbangan jumlah yang
ingin dispisahkan dan waktu tinggal yang diperlukan.

Kualitas pemisahan fase gas dan cairan dinyatakan dengan ukuran maksimum dari tetesan
cairan yang terbawa oleh gas yang sudah terpisahkan. Pembuatan tangki pemisahan dengan
kapasitas yang besar akan memerlukan biaya yang besar pula, sehingga akan membuat capital cost
makin tinggi. Untuk menekan capital cost, dapat dipasang slugcatcher. Slugcatcher merupakan
pipa dengan diameter yang besar yang dipasang paralel dan disusun pada posisi horizontal.
Slugcatcher dapat memberikan tempat separasi fase gas-cairan, dan membutuhkan biaya yang
lebih kecil dari pada tangki pemisahan konvensional.

2.2 Pemisahan Gas Asam

Gas karbon dioksida, hidrogen sulfida, dan komponen sulfur yang lain membuat gas alam
menjadi korosif dan beracun. Jika gas asam ini tidak dihilangkan terlebih dahulu sebelum gas alam
disimpan dalam tangki penyimpanan, maka tangki harus didesain dengan menggunakan material
yang tahan korosi. Hal ini akan membuat biaya pembuatan tangki menjadi besar. Sehingga, unit
penghilangan gas asam ditempatkan pada tahapan pengolahan gas yang paling awal.

Penghilangan gas CO2 bertujuan untuk mengurangi korosifitas gas, peningkatan nilai kalor gas,
dan pencegahan terbentuknya endapan beku CO2 pada unit cryogenic. Selain gas CO2 gas yang
berkontribusi pada korosifitas gas alam adalah H2S. Namun, faktor toksisitas gas H2S lebih besar
dari pada faktor korosifitasnya. Paparan gas alam dengan konsentrasi gas H2S sebesar 2000 ppm
akan menimbulkan kematian, dan jika terpapar dengan konsentarsi 500 ppm selama 1 jam dapat
berakibat fatal (Beitler dkk, 2011).

Teknologi yang tersedia untuk memisahkan gas asam dari gas alam antara lain:

 Absorpsi (baik secara fisik maupun kimia)


 Adsorpsi (penjerapan dengan padatan)
 Pemisahan dengan membran

Absorpsi

Absorpsi merupakan proses pemisahan dengan menggunakan proses penyerapan oleh


pelarut. Absorpsi dapat dilakukan dengan menggunakan prinsip penyerapan secara fisik maupun
kimia, di mana penyerapan secara fisik hanya mengandalkan perpindahan gas yang akan diserap
(dalam hal ini adalah H2S dan CO2) dari fase gas ke fase cair tanpa ada reaksi kimia, sedangkan
pada penyerapan secara kimia, selain terjadi perpindahan komponen gas ke fase cair juga terjadi
reaksi kimia pada fase cair yang melibatkan komponen gas tersebut dan juga pelarut. Kapasitas
penyerapan gas asam pada proses absorpsi fisik proporsional dengan tekanan operasinya, di mana
tekanan operasi yang tinggi akan menghasilkan kapasitas penyerapan gas yang besar. Pada
industri, proses penyerapan gas asam kebanyakan dilakukan dengan cara penyerapan kimia,
dengan melibatkan pelarut berbasis amina seperti Methyl-di-ethanol Amine (MDEA) atau Mono-
ethanol Amine (MEA). Hal ini disebabkan pada proses penyerapan secara kimia jumlah gas yang
dapat diserap lebih besar dari pada proses penyerapan secara fisik. Meskipun demikian, secara
umum penyerapan secara kimia membutuhkan panas regenerasi pelarut yang lebih tinggi dari pada
penyerapan secara fisik, sehingga membutuhkan energi yang lebih besar (Manning dkk, 1991).
Contoh kinetika reaksi kimia antara gas CO2 dengan MDEA

𝑟 = 𝑘[𝐶𝑂2 ][𝑀𝐷𝐸𝐴]

Faktor-faktor yang harus dipertimbangkan dalam pemilihan pelarut

 Kebutuhan panas regenerasi pelarut


Kebutuhan panas untuk meregenerasi pelarut harus dipertimbangkan karena akan
berdampak langsung pada konsumsi energi total
 Viskositas pelarut
Viskositas pelarut akan mempengaruhi kemudahan energi pemompaan pelarut. Pelarut
dengan viskositas yang kecil akan memperlukan energi pemompaan yang rendah.
 Tekanan uap pelarut
Tekanan uap akan berdampak pada jumlah pelarut yang hilang pada proses regenerasi.
Pelarut yang memiliki tekanan uap yang tinggi akan mudah menguap, sehingga saat
regenerasi (yang dilakukan dengan pemanasan) jumlah pelarut yang hilang akan semakin
banyak.
 Korosifitas
Pelarut yang memiliki korosifitas yang tinggi akan memerlukan konstruksi material
absorber yang mahal karena harus dibuat dengan bahan yang tahan korosi, sehingga untuk
menekan biaya diperlukan pelarut dengan korosifitas yang rendah.
 Kebutuhan media stripping
Media stripping merupakan gas yang dipakai untuk regenerasi pelarut, yang berfungsi
mengambil gas asam yang sudah terserap oleh pelarut pada proses absorpsi. Kebutuhan
media stripping ditentukan oleh tahanan transfer massa antara pelarut dengan media
stripping. Salah satu contoh media stripping yang digunakan adalah uap air, sehingga
diharapkan kebutuhan media stripping minimal karena untuk menghasilkan uap air
dibutuhkan energi.

Gas asam (terutama H2S) yang sudah terpisah dari gas alam tidak dapat langsung dilepas ke
lingkungan, karena sifatnya yang beracun dan korosif. Gas H2S yang sudah terpisah kemudian
diproses dengan menggunakan flare sehingga diperoleh gas sulfur oksida (SOx) yang lebih tidak
beracun. Namun hal ini tidak selalu dapat dilakukan terutama jika konsentrasi gas H2S yang ingin
di-flare tinggi (lebih dari 230 mg/m3) (U.S. Environmental Protection Agency Office of Air Quality
Planning and Standards,2015), sehingga gas H2S harus diproses dengan cara yang lain, salah
satunya adalah penggunaan H2S sebagai bahan baku pembentukan unsur sulfur yang tidak beracun
dan merupakan produk yang bernilai tinggi karena merupakan bahan baku utama pada industri
seperti industri farmasi.
Gambar 2.1. Rangkaian Alat Absorber-Stripper

Adsorpsi

Adsorpsi merupakan proses pemisahan dengan menggunakan proses penjerapan dengan


menggunakan padatan. Salah satu contoh adsorpsi di kehidupan sehari-hari adalah penjerapan uap
air dengan menggunakan silica gel. Adsorpsi dalam proses penjerapan gas asam digunakan untuk
menghasilkan gas alam dengan kandungan gas asam yang sangat rendah atau jika kapasitas gas
alam yang ingin diproses kecil jumlahnya. Jika proses adsorpsi digunakan untuk mengolah gas
alam dengan kapasitas besar, maka unit adsorppsi digunakan setelah unit absorpsi sehingga dapat
menekan kebutuhan adsorben yang dibutuhkan pada unit adsorpsi (Shimekit dan Mukhtar,2012).
Sama seperti pada proses absorpsi, adsorpsi terbagi menjadi 2 macam yaitu adsorpsi fisik dan
kimia. Salah satu contoh reaksi kimia yang terjadi adalah:

𝐾2 𝐶𝑂3 + 𝐶𝑂2 + 𝐻2 𝑂 → 2𝐾𝐻𝐶𝑂3

Adsorben yang sudah jenuh dapat diregenerasi kembali, dengan cara mengatur tekanan bed
adsorben (dilakukan pada proses adsorpsi fisik) atau dengan memanaskan adsorben (dilakukan
pada proses adsorpsi kimia). Proses pemisahan gas asam dilakukan secara steady state, sehingga
pada unit adsorpsi terdiri dari beberapa bed adsorpsi, di mana terdapat bed yang melakukan
adsorpsi dan bed yang diregenerasi.
Gambar 2.2 Ilustrasi Proses Adsorpsi

Pemisahan dengan membran

Pemisahan dengan membran mengandalkan penggunaan membran polimer untuk secara


selektif menyaring komponen tertentu dari gas dan komponen gas tersebut akan menembus
membran, sedangkan komponen lainnya ditahan oleh membran. Kemampuan membran untuk
secara selektif memilih komponen gas mana yang dapat menembus membran dengan yang tidak
diatributkan pada perbandingan ukuran molekul dengan ukuran pori membran. Unit pemisahan
dengan membran dipilih jika diperlukan pemisahan gas dalam kapasitas yang besar dan target
konsentrasi gas asam yang ada di gas alam jumlahnya sedang (tidak terlalu rendah). Pemisahan
dengan membran dilakukan pada tekanan operasi yang tinggi untuk menangani hambatan yang
muncul dari ukuran pori membran yang kecil. Dikarenakan adanya ketidaksempurnaan membran,
terdapat kemungkinan terdapat gas alam yang lolos dari membran, sehingga biasanya dilakukan
pemisahan stage yang kedua, di mana pada stage ini dilakukan recovery gas alam yang ikut lolos
bersama dengan gas asam (Freeman, 1999). Meskipun demikian pemasangan stage 2 ini
membutuhkan rekompresi gas, yang berarti akan menambah capital cost (biaya untuk unit
membran) dan working capital (biaya untuk kompresi gas).

Penggunaan membran masih sedikit dilakukan di industri, hal ini terutama dikarenakan
rendahnya toleransi membran terhadap komponen pengotor, tidak dapat menghasilkan gas alam
dengan kandungan gas asam yang rendah, dan tingginya gas alam yang lolos membran.
Mempertimbangkan sifat-sifat pemisahan dengan membran, penggunaan membran lebih cocok
digunakan untuk pemisahan gas CO2 dari pada H2S, dikarenakan sifat toksik dari H2S.

Gambar 2.3 Pemisahan Gas Asam dengan Menggunakan 2 Stage Membrane

Membrane Gas Absorption

Membrane Gas Absorption (MGA) merupakan teknologi baru yang menggunakan baik
pelarut berbasis amina dan membran pada satu unit alat absorber untuk mencapai pemisahan gas
asam yang diinginkan. Pada MGA, membran alih-alih berfungsi sebagai media pemisahan
membran berperan sebagai media transfer massa. Transfer massa yang dibantu oleh membran akan
meningkatkan luasan interface transfer massa hingga 30 kali (Tomasa, 2013). Hal ini berakibat
pada reduksi jumlah sirkulasi amine, yang berakibat pada penurunan biaya pemompaan. Pada
MGA kontak antara gas dengan pelarut tidak terjadi secara langsung, sehingga menghilangkan
beberapa masalah yang umum ditemui pada unit absorber seperti flooding, channeling dan
foaming.
Untuk menghalangi terjadinya fouling, gas alam dengan kandungan gas asam (process gas) dan
lean amine diumpankan ke unit pemisahan MGA setelah mengalami pretreatment terlebih dahulu.
Terdorong oleh gradien konsnetrasi, gas asam akan tertransfer secara radial menuju membran dan
kemudian akan mengalami transfer massa menuju fase amine. Selektifitas penyerapan komponen
gas asam (H2S dan CO2) dikendalikan oleh amine.

Amine dapat menyebabkan membran mengalami hidrolisasi, oleh karena itu membran dibuat dari
bahan yang bersifat hidrofobik (Sunarti dan Ahmad, 2013).

Gambar 2.4 Proses Pemisahan Gas Asam dengan MGA

2.3. Mercury removal

Teknologi untuk menghilangan merkuri yang tersedia di industri adalah dengan proses
adsorpi. Merkuri perlu dihilangkan karena dapat menyebabkan korosi, terutama pada alat heat
exchanger

2.4. Dehidrasi Gas Alam

Air secara alami berada di gas alam dalam bentuk uap air. Kandungan air selain berasal
dari sumur pengeboran juga berasal dari proses upgrading gas alam itu sendiri, misalnya pada
proses absorpsi dengan menggunakan pelarut amina (yang memiliki kandungan air cukup tinggi).
Kondisi tekanan dan suhu gas alam (yang dipengaruhi oleh keadaan sumur) juga mempengaruhi
jumlah uap air yang ada di gas alam. Semakin tinggi suhu dan semakin rendah tekanan, maka akan
meningkatkan batasan uap jenuh, sehingga memungkinkan lebih banyak air pada fase gas.

Dehidrasi gas alam memperkecil kemungkinan terbentuknya kondensat air di unit


pengolahan gas alam dan juga pada pipa-pipa yang digunakan untuk mengirim gas dari unit proses
ke unit proses yang lain. Kondensat air yang terjadi pada fasilitas pengolahan yang tidak
dimaksudkan akan menimbulkan aliran slug, meningkatkan penurunan tekanan, dan meningkatkan
proses korosi. Hal ini terjadi terutama bila pada gas masih terdapat gas asam. Dehidrasi gas juga
berguna untuk menghindari terbentuknya hidrat pada unit cryogenic (yang memiliki tekanan
tinggi). Hidrat gas merupakan kristal yang memiliki bentuk seperti es yang terbentuk karena reaksi
antara gas asam dengan air. Hidrat gas ini berpotensi menyebabkan penyumbatan pada peralatan.
Kandungan air juga mengakibatkan menurunnya gas heating value yang disebabkan oleh sifat air
yang tidak menghasilkan kalor, namun menyerap kalor (Caroll, 2014).

Metode dehidrasi gas yang ada di industri antara lain:

 Absorpsi
Pelarut yang digunakan untuk menyerap uap air salah satunya adalah glikol. Proses
dehidrasi dengan metode absorpsi ini sama dengan metode absorpsi yang digunakan untuk
menyerap gas asam. Jenis glikol yang paling sering digunakan adalah Tri-Ethylene Glycol
(TEG). Pelarut TEG memiliki keuntungan dibanding pelarut yang lain yaitu tingginya
kapasitas penyerapan air per unit volume jika dibandingkan dengan panas yang diperlukan
untuk regenerasi.
Penggunaan pelarut berbasis glikol memiliki kerugian di mana glikol selain menyerap air
juga akan menyerap komponen aromatik pada gas alam, di mana hal ini tidak diinginkan.
Komponen aromatic yang ikut terserap antara lain adalah benzene, toluene, ethyl-benzene,
dan xylene (BTEX). BTEX yang terserap ini kemudian tidak terakumulasi di glikol, namun
akan terlepas bersama uap air ketika proses regenerasi pelarut. Adanya senyawa BTEX
pada glikol akan meningkatkan kebutuhan energi reboiler dan meningkatkan kemungkinan
terjadinya foaming pada unit absorber. Kelarutan BTEX pada glikol dapat dikurangi
dengan menaikkan suhu operasi absorber (Moshfeghian, 2015), namun hal ini akan
menurunkan kelarutan air pada glikol, sehingga perlu dicari suhu operasi optimum.
 Adsorpi
Sama seperti pada kasus pemisahan gas asam, adsorpsi digunakan jika kandungan air pada
gas alam yang diinginkan sangat kecil, atau ketika kapasitas gas yang ingin diproses kecil.
Unit adsorpsi biasanya digunakan setelah unit absorpsi untuk menekan ukuran dan jumlah
bed adsorber dan biaya.
 Proses dehidrasi yang lain melibatkan refrigerasi. Prinsip dari refrigerasi adalah dengan
menurunkan suhu hingga dew point-nya, maka uap air yang ada di gas alam dapat
terkondensai dan kemudian dipisahkan dalam bentuk cairan. Proses dehidrasi secara
refrigerasi hanya digunakan untuk kapasitas yang kecil mengingat refrigerasi merupakan
proses yang mahal.

2.5 Natural Gas Cairans (NGLs) Recovery

Pada reservoir, gas alam dan minyak berkontak dalam waktu yang lama sehingga gas alam
menyerap hidrokarbon berat yang condensable, dengan jumlah yang terserap akan semakin tinggi
jika tekanan pada reservoir rendah dan temperatur tinggi. Adanya NGLs pada gas alam akan
meningkatkan nilai kalor gas alam, hal ini dikarenakan NGLs memiliki kalor pembakaran yang
lebih tinggi dari pada gas alam. Namun untuk mengirim gas dengan kandungan NGLs yang tinggi
cenderung sulit dikarenakan sifat NGLs yang dapat terkondensasi.

NGLs perlu diambil untuk mengontrol kalor pembakaran gas alam, karena alat-alat yang
menggunakan gas alam sebagai sumber energi beroperasi pada input kalor dalam rentang tertentu
(Kurz dan Mokhatab,2019). NGLs juga lebih bernilai jika dijual dalam fase cair dari pada gas.

NGLs dipisahkan dari gas alam dengan proses refrigerasi atau pendinginan, sehingga
NGLs dapat terkondensasi menjadi fase cair. Refrigeran yang dipakai antara lain adalah propana
dan etilen. Dengan asumsi perbedaan suhu minimum pada heat exchanger adalah 5 derajat Celsius,
maka jika digunakan propana suhu gas dapat diturunkan hingga -38°C dan jika digunakan etilen

suhu gas dapat ditutunkan hingga -98°C. Gas dapat didinginkan pula dengan cara

mengekspansikannya melalui valve hingga suhu yang diinginkan tercapai.


BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

Kesimpulan yang dapat diambil antara lain:

 Gas asam terutama H2S harus dihilangkan dari gas alam mengingat sifatnya yang toksik.
 Pemisahan dengan absorpsi harus mempertimbangkan beberapa faktor, di antaranya adalah
korosifitas, tekanan uap, viskositas, dan lain-lain.
 Pemisahan dengan adsorpsi harus mempertimbangkan loading gas asam yang ingin
ditangani, karena akan berdampak pada ukuran unit adsorber, yang langsung berdampak
pada biaya yang harus dikeluarkan.
 Pemisahan dengan membran masih belum reliable jika dibandingkan dengan pemisahan
adsorpsi dan absorpsi

Saran

Hal yang dapat dilakukan untuk meningkatkan proses upgrading gas alam, baik secara ekonomi,
engineering, dan lingkungan antara lain:

 Menghentikan flaring gas H2S dan memfokuskan upaya penggunaan H2S sebagai bahan
baku untuk produksi unsur sulfur.
 Pemilihan pelarut pada proses absorpsi harus dilakukan dengan baik dengan
mempertimbangkan prinsip engineering, safety, dan ekonomi
 Pemilihan adsorben untuk proses adsorpsi fisik harus dilakukan dengan sedemikian rupa
sehingga pada unit Pressure Swing Adsorption pergeseran tekanan baik untuk penjerapan
atau untuk regenerasi tidak terlalu besar, sehingga meminimasi risiko bed adsorpi meledak.
DAFTAR PUSTAKA

B. Freeman, "Basis of Permeability/Selectivity Tradeoff Relations in Polymeric Gas


Separation Membranes", Macromolecules, vol. 32, no. 2, pp. 375-380, 1999.

A. Sunarti and A. Ahmad, "Optimization studies on TFC membrane for Membrane Gas
Absorption (MGA) application", IOP Conf. Ser.: Mater. Sci. Eng., vol. 46, p. 012002,
2013.

B. Shimekit and H. Mukhtar, "Natural Gas Purification Technologies - Major Advances for
CO2 Separation and Future Directions", Advances in Natural Gas Technology, 2012.

C. Beitler, K. Fisher, K. McIntush, K. Tyndall and J. Lundeen, 'When is CO2 more


hazardous than H2S', Hydrocarbon Processing, 2011.

Eia.gov, 'U.S. Crude Oil, Natural Gas, and Natural Gas Cairans Proved Reserves', 2015.
[Online]. Tersedia di: http://www.eia.gov/naturalgas/crudeoilreserves/. [Diakses pada :
3 Nov 2019].
F. Manning and R. Thompson, Oilfield processing of petroleum: Natural Gas. Tulsa,
Okla.: PennWell Books, 1991, p. Chapter 7.

J. Carroll, Natural gas hydrates. Waltham, Massachusetts: Gulf Professional Publishing,


2014, p. Chapter 9.

M. Moshfeghian, 'Absorption of Aromatics Compounds (BTEX) in TEG Dehydration


Process', Campbell Tip of the Month, 2015. [Online]. Tersedia di:
http://www.jmcampbell.com/tip-of-the-month/2011/06/absorption-of-aromaticscompounds-
in-teg-dehydration-process/. [Diakses pada: 11- Nov- 2019].

R. Kurz and S. Mokhatab, 'Important Properties for Industrial Gas Turbine Fuels | Pipeline
& Gas Journal', Pipelineandgasjournal.com, 2015. [Online]. Tersedia di:
http://www.pipelineandgasjournal.com/important-properties-industrial-gas-turbine-fuels.
[Diakses pada: 05- Nov- 2019].

T. Karam, 'Slug Catchers in Natural Gas Production', MSc. Norwegian University of


Science and Technology (NTNU), 2015

T. Tomasa, 'Development of Membrane Materials for Gas-liquid Membrane Contactors for


CO2 Capture from Natural Gas', MSc., NTNU - Trondheim, 2013.

U.S. Environmental Protection Agency Office of Air Quality Planning and Standards,
'Standards of Performance for Petroleum Refineries Background Information for Final
Standards', North Carolina, 2015.

Anda mungkin juga menyukai