Anda di halaman 1dari 19

SEORANG PEREMPUAN 22 TAHUN DENGAN ANCAMAN GAGAL NAPAS ET

CAUSA GUILLIAN BARRE SYNDROME

Andi Anissa Rahmadani, Nur Ahmad Tabri

Divisi Pulmonologi Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin

1. PENDAHULUAN

Gagal napas ialah ketidakmampuan sistem pernapasan untuk mempertahankan

suatu keadaan pertukaran udara antara atmosfer dengan sel-sel tubuh yang sesuai dengan

kebutuhan tubuh normal. Peranan sistem pernapasan ialah mempertahankan PO2, PCO2,

dan pH darah arteri tetap normal. Gagal napas dapat diakibatkan kelainan pada paru,

jantung, dinding dada, otot pernapasan, mekanisme pengendalian sentral ventilasi di

medulla oblongata.1

Gagal napas terjadi bila :

1. PO2 arterial (PaO2) < 60 mmHg, atau

2. PCO2 arterial (PaCO2) > 45 mmHG, kecuali jika peningkatan PCO2 merupakan

komepnsasi dari alkalosis metabolik.1

Gagal napas dikenal ada dua, yaitu gagal napas hipoksemia dan gagal napas

hiperkapnia. Dikatakan gagal napas hipoksemia jika PaO2<60 mmHg, dan gagal napas

hiperkapnia dikatakan jika PaCO2 >45 mmHg.1

Guillain Barre Syndrome (GBS) adalah penyakit dengan onset akut, monofasik,

polineuropati yang dimediasi oleh imun yang sering terjadi setelah adanya infeksi lain,

yang menyebabkan kelemahan otot hingga kelumpuhan. Hal ini terjadi karenan susunan

saraf tepi yang menghubungkan otak dan sumsum tulang belakang dengan seluruh bagian
tubuh rusak. Kerusakan sistem saraf tepi menyebabkan sistem ini sulit menghantarkan

rangsangan sehingga terjadi penurunan respon sistem otot terhadap kerja sistem saraf.2

Angka kejadian penyakit GBS kurang lebih 0,6-1,6 setiap 10.000-40.000

penduduk. Perbedaan angka kejadian di negara maju dan berkembang tidak terlalu

signifikan. GBS cenderung lebih banyak pada pria dibandingkan wanita.2

Beberapa kasus menunjukkan sebelum kelumpuhan timbul, terdapat anamnesa

yang khas, yaitu adanya infeksi traktus respiratorius bagian atas. Di antara masa tersebut

dan mulai timbulnya kelumpuhan, terdapat masa bebas gejala penyakit, yang berkisar

antara beberapa hari sampai beberapa minggu. Kelumpuhan timbul pada keempat anggota

gerak dan pada umumnya bermula di bagian distal tungkai dan kemudian melanda otot-

otot tungkai proksimal, dan kelumpuhan meluas ke bagian tubuh atas, terutama otot-otot

kedua lengan, bahkan leher dan wajah serta otot-otot penelan dan bulbar lainnya.3

Dari beberapa studi dikatakan setiap orang bisa terkena GBS tetapi pada umumnya

lebih banyak terjadi pada orang tua. Orang berumur 50 thn keatas merupakan golongan

paling risiko untuk mengalami GBS. Namun, dari satu literature mengatakan bahwa GBS

dapat dialami pada semua usia mulai anak-anak sampai orang tua, tapi puncaknya adalah

pada pasien usia produktif.3


3. LAPORAN KASUS

A. ANAMNESIS (ALLOANAMNESIS)

Seorang perempuan, usia 22 tahun, Ibu Rumah Tangga, berasal dari Takalar, status

menikah dan belum memiliki anak. Masuk rumah sakit Wahidin Sudirohusodo pada

tanggal 28 Oktober 2018, dengan nomor rekam medis 860996. Pasien masuk dengan

keluhan utama kesadaran menurun yang dialami sejak 4 hari sebelum masuk rumah sakit

Wahidin Sudirohusodo, sebelumnya pasien dirawat di ICU RSUD Takalar dengan keluhan

kesadaran menurun yang dialami secara perlahan-lahan. Awalnya pasien masuk di RSUD

Takalar dengan keluhan nyeri menelan yang dialami sejak 1 minggu terakhir, nyeri

menelan baru dirasakan pertama kali. Sebelumnya pasien tidak ada keluhan nyeri menelan.

Batuk ada yang dirasakan sejak 2 minggu sebelum masuk rumah sakit, batuk disertai lendir

warna putih, riwayat batuk bercampur darah tidak ada. pasien juga tampak sesak yang

dialami sejak 1 hari terakhir, sesak bertambah dalam 1 hari terakhir disertai penurunan

kesadaran yang dialami secara perlahan-lahan. Riwayat sesak sebelumnya tidak ada,

pasien tidak pernah mengeluhkan adanya sesak sebelumnya. Demam ada, riwayat demam

sebelumnya ada namun tidak terus menerus. Sebelum mengalami penurunan kesadaran

pasien juga mengeluhkan ada muntah dengan frekuensi >10 kali berisi sisa-sisa makanan.

Nyeri ulu hati ada.

Buang air besar biasa, warna kuning kecoklatan. Namun saat ini belum BAB

Buang air kecil lancar, warna kuning jernih, volume kesan banyak

Riwayat penyakit sebelumnya :

 Riwayat dirawat di ICU RSUD Takalar dengan diagnosa kesadaran menurun

 Riwayat hipertensi tidak ada

 Riwayat diabetes melitus tidak ada

 Riwayat sakit kuning tidak ada, riwayat penyakit jantung tidak ada
 Riwayat infeksi saluran napas sebelumnya tidak ada

 Riwayat diare kronik sebelumnya tidak ada

Riwayat keluarga :

 Riwayat dengan keluhan yang sama tidak ada

 Riwayat penyakit diabetes melitus dalam keluarga tidak ada

 Riwayat hipertensi dan penyakit ginjal pada keluarga tidak ada

Riwayat kebiasaan :

 Riwayat konsumsi alkohol tidak ada

 Riwayat merokok tidak ada, tetapi suami pasien merokok

 Riwayat konsumsi obat-obatan antibiotik secara bebas tidak ada

B. PEMERIKSAAN FISIK

Pasien tampak sakit berat, gizi cukup, incomposmentis. Tekanan darah

120/80 mmhg, nadi 121 kali per menit, regular, kuat angkat, frekuensi napas 30 kali per

menit, suhu 38.7 celcius, saturasi oksigen 76%, dengan berat badan 58 kg, tinggi badan

154 cm, dengan index massa tubuh 24,4 Kg/m2

Pada pemeriksaan kepala didapatkan normocephal, rambut rontok tidak ada, bibir

sianosis tidak ada.

Pada pemeriksaan mata konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterus. Pemeriksaan

mulut tidak didapatkan candidiasis oral, tonsil tidak dapat diperiksa, faring tidak dapat

diperiksa. Desakan vena sentral R+1 cm, pembesaran kelenjar limfe tidak ada, deviasi

trakea tidak ada.

Pada pemeriksaan toraks, inspeksi pergerakan hemithorax simetris. Nyeri tekan maupun

massa tidak didapatkan, perkusi batas paru hepar setinggi ICS VI, pekak paru kanan

setinggi ICS VII belakang dan pekak pada hemithorax kiri setinggi ICS II kiri belakang.
Auskultasi bunyi pernapasan bronchovesiculer, kesan ronki kasar di regio apex dextra.

Wheezing tidak ada.

Pada pemeriksaan jantung, ictus cordis tidak tampak, ictus kordis tidak teraba. Batas

jantung kanan di ICS IV line parasternalis dextra, batas jantung kiri sulit dievaluasi,

bunyi jantung I/II murni, regular, gallop tidak ada, murmur tidak ada.

Pada pemeriksaan abdomen didapatkan cembung, ikut gerak napas. Peristaltik usus ada

kesan normal. Nyeri tekan tidak ada. hepar dan lien tidak teraba. Perkusi timpani, nyeri

ketok kostovertebra tidak ada.

Pada pemeriksaan ekstremitas tidak didapatkan edema, teraba hangat, nyeri tekan tidak

ada. pulsasi arteri dorsalis pedis teraba normal.

C. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Pemeriksaan Waktu Nilai Normal


28/10 29/10 30/10 1/11 5/11 8/11 19/11 24/11
Leukosit 14.6 13.1 8.0 13.5 20.5 18.4 7.8 3800-10.600/µL
Hb 16.1 14.2 15.5 13.2 15.8 17.5 12.4 13.2 – 17.3 g/dL
Hematokrit 48 41 45 39 46 51 37 40-52 %
Trombosit 394 304 211 286 161 261 509 150.000-440.000 /
µL
MCV 85 82 89 84 86 85 87 80-100 fL
MCH 29 28 31 28 30 29 29 26-34 pg
MCHC 34 35 34 34 34 35 34 32-36 pg
Neutrofil 88.4 90.3 77.1 89.6 90.5 90.0 64.5 50-70%
Limfosit 3.0 4.1 13.1 3.8 3.5 6.8 26.4 25-40%
Monosit 8.5 5.5 8.7 6.4 5.7 2.9 5.1 2-8%
Eosinofil 0.0 0.0 0.4 0.0 0.0 0.0 3.7 2-4 %
Basofil 0.1 0.1 0.7 0.2 0.3 0.3 0.3 0-1%
LED I 0-20 mm/jam
LED II
GDS 294 97 143 167 90
Ureum 24 22 19 25 28 19
Creatinin 0.77 1.12 0.63 0.42 0.55 0.44
SGOT 21 37 42 50 49
SGPT 13 78 40 73 53
Albumin 3.7 4.6 3.2 3.8 4.4 3.5
Protein Total 6.6
Globulin
LDH
PT 11.0
APTT 1.06
INR 23.0
Fibrinogen
D-Dimer
Na 146 149 142 146 143 140 141
Kal 3.8 3.6 4.2 2.8 3.3 3.8 4.0
Clo 112 111 104 101 97 103 102
FT 4 0.98 0.932-1.71
TSHS 0.26 0.270-4.20
HBsAg (elisa) NR Non Reaktif
AntiHCV NR Non Reaktif
(elisa)

Prokalsitonin 0.62 12.7 2.28


4

URINALISA

Kimia rutin Nilai Normal

28/10 17/11

Warna Kuning Kuning tua Kuning muda

pH 5.5 7.5 4.5-8.0

Bj >= 1.030 <=1.005 1.005-1.035

Protein ++/100 Trace Negative

Glukosa +++/500 Negative Negative

Bilirubin Negative Negative Negative

Urobilinogen normal Normal Normal

Keton +/15 Negative Negative

Nitrit Negative Negative Negative


Blood +/25 +++/200 Negative

Leukosit 0 +/7- Negative

Vit. C 1 0 Negative

Sedimen lekosit 1 18 <5

Sedimen eritrosit 11 63 <5

Sedimen torak 0 -

Sedimen kristal 3 -

Sedimen epitel sel 0 3

ANALISA CAIRAN SEREBROSPINAL (09/11/2018)

Analisa cairan Hasil Nilai rujukan

Volume 9 1-5

Warna Kuning kemerahan Jernih/ tidak berwarna

BJ 1.010 < 1.08

PH 8.5 7.282-7.32

Bekuan Negative Tidak ditemukan

Test Nonne Negative Negative

Test pandi Negative Negative

Hitung jumlah lekosit 0 Jumlah lekosit 0.5

Hitung jenis lekosit 0% 60-70% mononukleus

LDH 32 5-30

Glukosa 77 45-80

Protein 700 15-45


ANALISA GAS DARAH

Pemeriksaan Waktu Nilai Normal


28/10 29/10 30/10 31/10 1/11 5/11 7/11 8/11
PH 7.175 7.218 7.480 7.541 7.265 7.397 7.300 7.384 7.35-7.45
SO2 90.6 94.9 98.5 97.2 95-98 %
PO2 73.8 29.5 285.5 112.7 91.0 121.5 102.6 183.3 80.0-100.0
mmHg
CtO2 19.0 18.3 21.3 18.1 15.8-22.3ml/dl
PCO2 56.5 82.7 57.1 41.8 35.0-45.0
mmHg
ctCO2 22.8 40.9 37.2 22.1 23-27 mmol/l
HCO3 21.1 28.6 34.9 24.1 37.9 35.4 20.8 18.1 22-26 mmol/l
BE -7.6 0.7 11.2 1.4 10.7 10.4 -5.8 -7.2 -2 s/d +2 mmol/l

Pemeriksaan Waktu Nilai Normal


8/11 10/11 11/11 12/11 14/11
PH 7.348 7.531 7.520 7.494 7.587 7.35-7.45
SO2 95-98 %
PO2 183.3 233.1 195.6 241.8 471.1 80.0-100.0 mmHg
CtO2 15.8-22.3ml/dl
PCO2 35.0-45.0 mmHg
ctCO2 23-27 mmol/l
HCO3 18.3 25.4 14.0 28.3 31.2 22-26 mmol/l
BE -7.2 2.5 -9.1 4.8 9.1 -2 s/d +2 mmol/l

Kultur Sputum (31/10/2018) : Tidak ada Pertumbuhan bakteri aerob


Hasil CT-Scan Kepala (28/10/2018) :

Kesan :
- Tidak tampak lesi hipo/hiperdens patologik
intracranial
- Brain edema

Hasil CT-Scan Tiroid (28/10/2018)

Kesan :

- Terpasang ETT

- Pneumonia dextra
Hasil Foto thorax (28/10/2018)

Kesan :
- Terpasang ETT pada trachea dengan tip
setinggi +/- 3.7 cm di atas carina
- Pneumonia dextra

Hasil foto Thorax (02/11/2018)

Kesan :
- Terpasang ETT pada trachea
dengan tip setinggi +/- 3.7 cm di
atas carina
- Pneumonia dextra
Hasil foto thorax (06/11/2018)

Kesan :
- Cor dan pulmo normal
- Terpasang ETT pada trachea
dengan tip setinggi +/- 0,9 cm
diatas carina

Hasil foto thorax (21/11/2018)

Kesan :
- Tidak tampak kelainan radiologic pada
foto thorax ini
D. FOLLOW UP

Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisis, dan pemeriksaan penunjang pasien

ditegakkan diagnosa ancaman gagal napas ec. Guillain barre syndrome, kesadaran menurun

ec. Severe sepsis, community acquired pneumonia, stress hiperglikemia,

Penatalaksanaan awal pada pasien ini adalah dengan pemberian oksigen 10

liter/menit via NRM dan konsul untuk tatalaksana airway dengan pemasangan ventilator,

serta pemberian antibiotik ceftriaxone 2gr/24jam, dan levofloxacin 750

mg/24jam/intravena.

Pasien mendapatkan terapi dari TS Neurologi dengan citicholine 500 mg/12

jam/intravena, ceftriaxone 2 gr/24 jam//intravena, mecobalamin 500 mg/24 jam/intravena,

dexamethasone 10 mg/intravena dengan dosis maintenance dexamethasone 5

mg/6jam/intravena, omeprazole 40 mg/12jam/intravena.

Pada tanggal 28/10/2018 dari TS Neurologi mengkonsulkan pasien ke divisi

pulmonologi, dan TS Gizi klinis. Dari pulmonologi diberikan terapi levofloxacin 750

mg/24jam/intravena, pemeriksaan analisa gas darah berkala, serta foto thorax kontrol

setelah pemberian antibiotik. Sedangkan dari TS Gizi klinis diberiksan terapi diet

direncanakan 70% (1700 kkal) via enteral berupa : bubur saring 606,5 kkal, peptisol 300

kkal, jus buah 100 kkal, olive oil 160 kkal, dan kebutuhan cairan sekitar 1700 ml/24 jam,

diberikan suplementasi vitamin via ngt : zinc 20 mg/24 jam/oral, neurodex 1 tab/24jam,

vitamin A 6000 iu/24jam, dan pujimin 2 caps/8jam.

Pada perawatan hari ke 9 tanggal 05/11/2018 pasien dikonsulkan ke divisi infeksi

tropis dan diterapi dengan meropenem 1 gr/8jam/intravena.


4. DISKUSI

Gagal napas ialah ketidakmampuan sistem pernapasan untuk mempertahankan

suatu keadaan pertukaran udara antara atmosfer dengan sel-sel tubuh yang sesuai dengan

kebutuhan tubuh normal. Gagal napas merupakan salah satu kondisi kritis yang diartikan

sebagai ketidakmampuan sistem pernapasan untuk mempertahankan hemostasis oksigen

dan karbondioksida. Fungsi jalan napas terutama sebagai fungsi ventilasi dan fungsi

respirasi. Kelainan yang terutama mempengaruhi komponen non-paru sistem pernapasan,

pada tipe kelainan ini umumnya menyebabkan hiperkapnia dimana kebanyakan penyebab

terjadinya gagal napas ini karena adanya penyakit yang menyebabkan kelemahan otot

pernapasan, penyakit sistem saraf pusat yang mengganggu pengendalian ventilasi. Paru

mungkin normal, tetapi hipoksemia yang tidak proporsional terhadap hiperkapnia yang

terjadi dapat menandakan adanya keterlibatan paru, sebagai contoh seorang pasien dengan

kelemahan neuromuskular awal mulanya menunjukkan gagal napas hiperkapnia, tetapi

kemudian mengalami pneumonia karena ketidakmampuan membatukkan dahak, sehingga

selain hiperkapnia juga timbul gagal napas hipoksemia.1,4

Pada pasien ini dipikirkan gagal napas dikarenakan adanya ketidakmampuan atau

adanya paralise otot pernapasan yang mengakibatkan insufisiensi pernapasan, sehingga

menyebabkan penurunan kemampuan batuk, dan meningkatkan sekresi mukus di jalan

nafas yang menyebabkan terjadinya risiko tinggi infeksi saluran napas bawah dan parenkim

paru yang menyebabkan terjadinya pneumonia dan akhirnya menyebabkan gagal fungsi

pernapasan, dimana penyebab terjadinya gagal napas pada kasus ini disebabkan oleh

guillain barre syndrome (GBS).2

Guillain Barre Syndrome (GBS) adalah penyakit dengan onset akut, monofasik,

polineuropati yang dimediasi oleh imun yang sering terjadi setelah adanya infeksi lain,

yang menyebabkan kelemahan otot hingga kelumpuhan. Hal ini terjadi karena sususnan
saraf tepi yang menghubungkan otak dan sumsum tulang belakang dengan seluruh bagian

tubuh mengalami kerusakan. Kerusakan sistem syaraf tepi menyebabkan sistem ini sulit

menghantarkan rangsangan sehingga ada penurunan respon sistem otot terhadap kerja

sistem saraf. Beberapa kasus menunjukkan orang mengalami gejala GBS setelah beberapa

hari atau minggu mengalami sakit dengan gejala diare ataupun dengan gangguan

pernapasan.2

Gambar 1. Skematik Guillain Barre


Syndrome
Guillain Barre Syndrome menyebabkan kelamahan otot pernapasan progressif

yang melibatkan inspirasi dan otot ekspirasi. Kelemahan diafragma diduga disebabkan

oleh demielinasi saraf phrenic. Pola pernapasan bersifat restriktif, seperti yang diharapkan

pada penyakit neuromuskular : kapasitas vital (VC) dan kapasitas paru total (TLC)

berkurang, volume residual RV biasanya normal atau meningkat, dan rasio RV/TLC sering

tinggi tidak adanya obstruksi saluran napas. Tekanan transdiaphragmatic (Pdi) dan tekanan

mulut inspirasi statis (PImax) menurun; tekanan mulut ekspirasi maksimal statis rendah

(PEmax) menunjukkan kegagalan otot ekspirasi, sedangkan PEmax normal dengan PImax

rendah menunjukkan adanya kelemahan otot diafragma. Volume paru-paru statis dan Pdi

tidak dapat diukur dengan mudah, tetapi paralisis diafragma atau otot inspirasi lainnya

dapat dideteksi dengan mudah. Penurunan kapasitas inspirasi yang disebabkan oleh

kelumpuhan otot perut dan intercostal merusak kemampuan untuk membersihkan sekresi

saluran napas dengan batuk, sehingga menyebabkan obstruksi jalan napas, yang

bermanifestasi sebagai atelectasis. Gangguan menelan yang disebabkan oleh kelemahan

wajah dan oropharyngeal menyebabkan pneumonia aspirasi. Semua mekanisme

patofisiologi ini biasanya bertindak dalam kombinasi untuk menghasilkan kegagalan

pernapasan dan hipoventilasi alveolar dengan hiperkarbia, hipoksemia, dan asidosis

respiratorik, oleh karena itu mekanik ventilator harus digunakan.4

Pada pasien ini ditegakkan diagnosa ancaman gagal napas disebabkan oleh

Guillain barre syndrome yang dicetuskan karena adanya infeksi paru-paru yaitu

pneumonia karena dari allo anamnesis keluarga pasien, pasien masuk di RSU Takalar

awalnya dengan keluhan batuk yang dialami sejak 1 minggu yang lalu, disertai ada

keluhan nyeri menelan. Namun dalam beberapa hari perawatan pasien mengalami

perburukan kondisi sehingga dirawat di ruang ICU RSU Takalar, setelah itu pasien dirujuk

ke RS Wahidin sudirohusodo dengan keluhan kesadaran menurun, dengan sesak napas dan
saturasi awal yaitu 76%. Setelah pemasangan ventilator kami mengambil sample untuk

pemeriksaan analisa gas darah, didapatkan hasil :

Analisa gas darah : PH 7.175, SO2 90.6, PO2 73.8, PCO2 56.5, HCO3 21.1, BE -

7.6.

Dari pemeriksaan analisa gas darah didapatkan saturasi pasien mulai meningkat

setelah pemasangan ventilatior dengan SO2 90.6%.

Guillain barre syndrome biasanya berjalan tanpa gangguan melalui empat fase :

fase sebelumnya yang berhubungan dengan penuundaan antara penyakit sebelumnya dan

tanda-tanda pertama GBS, fase kelamahan progresif yang berlangsung kurang dari empat

minggu, fase dataran tinggi, dan fase pemulihan. Bentuk progresif cepat dapat

menyebabkan quadriplegia dan kebutuhan untuk MV dalam waktu 48 jam. Pola asenden

kelemahan adalah aturannya, dengan anggota tubuh bagian bawah yang terkena awalnya,

kemudian anggota tubuh bagian atas, dan akhirnya terkena saraf kranial.4

Dysautonomia adalah manifestasi GBS yang paling ditakuti. Dysautonomia paling

menonjol pada pasien dengan kelemahan otot yang mendalam dan kegagalan pernafasan

dan terjadi selama fase perkembangan penyakit. Hipertensi, hipotensi, bradikardi

(terutama selama aspirasi trakea), dan disgungsi kandung kemih adalah manifestasi yang

paling umum. Deteksi dini kegagalan pernafasan adalah salah satu tantangan utama yang

diangkat oleh manajemen GBS. Tanda-tanda klasik kegagalan pernapasan kadang

terlambat, dan manifestasi awal hanya terdiri dari tachypnea, tachycardia, air hunger,

patah kalimat, dan kebutuhan untuk berhenti diantara kalimat; kemudian, penggunaan otot

pernafasan aksesori, pernapasan paradox, dan ortopnea menunjukkan kelemahan

diafragmatik yang berat.5


Tabel 1
Gejala Distress Pernapasan
Gejala awal Gejala lambat
Takipneu Bradipneu
Takikardia Aritmia
Air hunger Kesadaran menurun
Gangguan bicara Henti napas
Pernapasan paradox
Penggunaan otot aksesoris

Tabel 1. Dikutip dari kepustakaan 4

Persentase pasien yang membutuhkan mekanik ventilasi (MV) bervariasi

diseluruh populasi. Dalam sebuah studi epidemiologi prospektif dari swedia, kegagalan

pernapasan terjadi pada sekitar 6% dari pasien GBS. Dalam studi epidemiologi dari

Inggris sekitar 23% pasien memerlukan MV, masing-masing dan durasi rata-rata MV

adalah 19 hari.

Tabel 2. Dikutip dari kepustakaan 4


Ada beberapa faktor klinis yang dapat memprediksi adanya kagagalan

pernapasan pasien GBS yang telah diteliti.

Tabel 3. Dikutip dari kepustakaan 4

Setelah pasien menjalani perawatan selama 17 hari di ICU, dilakukan weaning

dari mekanik ventilasi. Waktu optimal untuk mulai menghentikan pasien dari ventilator

tidak mudah ditentukan, berbeda dengan pasien ICU lainnya, pasien dengan GBS

memerlukan penyapihan bertahap, dan perpanjangan harus ditunda sampai kekuatan

otot pernapasan cukup pulih. Disfungsi bulbar mungkin memerlukan pengembalian ke

MV bahkan setelah penghentian dan ekstubasi yang berhasil.

Setelah perawatan selama 24 hari pasien diberikan terapi antibiotik empiris

untuk mengatasi infeksi pneumonia yang menjadi pencetus terjadi nya GBS, serta

tatalaksana airway dengan pemasangan ventilasi mekanik, dan diberikan nutrisi

parenteral sesuai kebutuhan pasien dalam sehari pasien mengalami perbaikan kondisi

yang sangat pesat.


DAFTAR PUSTAKA

1. Amin Z, Purwoto J. Gagal Napas Akut. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi ke VI.

2014

2. Burns Ted.M. Guillain-Barre Syndrome. Department of Neurology University of

Virginia.2008;152-167

3. West John B. Pulmonary Pathophysiology The Essentials. 7th edition. 2008

4. Care N, Orlikoswski D, Prigent H, Sharshar T, Lofaso F, Rapahel JC. Review Article

Respiratory Dysfunction in Guillain-Barre Syndrome.2004;415-22

5. Winer JB. Review Article An Update in Guillain Barre Syndrome. Hindawi Publishing

Corporation; 2014

6. Fokke C, Berg B Van Den, Drenthen J, Walgaard C, Doom PA Van, Jacobs BC.

Diagnosis of Guillain Barre Validation of Brighton criteria. 2014

7. Sharma B, Paul M. Guillain----Barre Syndrome in 2016 : The Centenary Advances.

2016;6 (3):111-2

Anda mungkin juga menyukai