Buku Acuan Neoplasma Hidung Dan Sinus Paranasal1
Buku Acuan Neoplasma Hidung Dan Sinus Paranasal1
BUKU ACUAN
ONKOLOGI BEDAH KEPALA LEHER
MODUL VII.10
NEOPLASMA
HIDUNG DAN SINUS PARANASAL
EDISI II
KOLEGIUM
ILMU KESEHATAN TELINGA HIDUNG TENGGOROK
BEDAH KEPALA DAN LEHER
2015
0
Modul VII.10 - Neoplasma Hidung dan Sinus Paranasal
DAFTAR ISI
A. TUJUAN PEMBELAJARAN............................................................................2
B. KOMPETENSI..................................................................................................2
C. REFERENSI......................................................................................................3
D. GAMBARAN UMUM......................................................................................3
E. MATERI BAKU ...............................................................................................3
1
Modul VII.10 - Neoplasma Hidung dan Sinus Paranasal
A. TUJUAN PEMBELAJARAN
B. KOMPETENSI
1. Pengetahun
Mampu membuat diagnosis neoplasma hidung dan sinus paranasal
berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan histopatologi dan
beberapa pemeriksaan penunjang (foto polos kepala posisi Water’s dan AP -
lateral, nasal endoskopi, sinuskopi dan CT scan hidung dan sinus paranasal).
Dokter dapat memutuskan dan melakukan terapi pendahuluan serta merujuk ke
spesialis yang relevan (bukan kasus gawat darurat).
2. Keterampilan
Setelah mengikuti sesi ini peserta didik diharapkan terampil dalam :
1. Menjelaskan anatomi, histologi dan fisiologi hidung dan sinus paranasal
2. Menjelaskan etiologi dan jenis kelainan yang berhubungan dengan
neoplasma hidung dan sinus paranasal
3. Menjelaskan patofisiologi dan gambaran klinis neoplasma hidung dan
sinus paranasal
4. Menjelaskan dan melakukan diagnosis berdasarkan anamnesis,
pemeriksaan fisik dan histopatologi pada neoplasma hidung dan sinus
paranasal
5. Melakukan keputusan untuk perlu tidaknya pemeriksaan penunjang seperti
nasal endoskopi, sinuskopi dan CT scan hidung dan sinus paranasal
2
Modul VII.10 - Neoplasma Hidung dan Sinus Paranasal
C. REFERENSI
D. GAMBARAN UMUM
E. MATERI BAKU
PROSEDUR OPERASI
RESEKSI NEOPLASMA HIDUNG DAN SINUS PARANASAL
PENDAHULUAN
Tumor hidung dan sinus paranasal pada umumnya jarang ditemukan, baik
yang jinak maupun yang ganas. Dimana dijumpai 0,2 - 0,8% dari keganasan
seluruh tubuh atau 3% dari seluruh keganasan dikepala leher. Angka kejadiannya
3
Modul VII.10 - Neoplasma Hidung dan Sinus Paranasal
pada laki-laki ditemukan lebih banyak dari perempuan dengan rasio 2:1. Etiologi
tumor ganas sinonasal belum diketahui, tetapi diduga akibat paparan dengan
bahan industri antara lain nikel, debu kayu, formaldehid, kromium, minyak
isopropil. Pekerja di bidang ini mendapatkan kemungkinan terjadi keganasan
hidung dan sinus jauh lebih besar. Merokok juga mempunyai peran penting dalam
perkembangan tumor sinonasal.
DEFINISI
Reseksi neoplasma hidung dan sinus paranasal adalah tindakan
pembedahan pengangkatan neoplasma hidung dan sinus paranasal, yaitu
maksilektomi medial - rinotomi lateral, reseksi radikal maksila dengan eksenterasi
orbita dan sebagian etmoid, reseksi maksila termasuk dasar orbita dengan
mempertahankan bola mata dan maksilektomi parsial (maksilektomi infrastruktur
dan maksilektomi suprastruktur).
Pemilihan tindakan pembedahan berdasarkan :
1. Penilaian terhadap struktur tulang dan jaringan lunak untuk dilakukan reseksi
en bloc
2. Pendekatan harus direncanakan untuk paparan jaringan yang adekuat guna
mempertahankan fungsi jaringan dan kosmetik apabila memungkinkan
3. Repair direncanakan dengan menggunakan teknik prostetik atau jaringan
lunak untuk mendapatkan hasil yang terbaik.
RUANG LINGKUP
Setelah memahami, menguasai dan mengerjakan modul ini maka
diharapkan seorang dokter PPDS I THT-KL mempunyai kompetensi
melaksanakan tindakan operatif neoplasma maksilektomi medial - rinotomi lateral
dengan tingkat kemampuan keterampilan klinis 4, reseksi radikal maksila dengan
eksenterasi orbita dan sebagian etmoid dengan tingkat kemampuan keterampilan
klinis 2, reseksi maksila termasuk dasar orbita dengan mempertahankan bola mata
dengan tingkat kemampuan keterampilan klinis 2 dan maksilektomi parsial
(maksilektomi infrastruktur dan maksilektomi suprastruktur) dengan tingkat
kemampuan keterampilan klinis 2. Penerapannya dapat dikerjakan di RS
pendidikan dan RS jejaring, serta dapat dipergunakan sebagai tambahan referensi
program studi disiplin ilmu terkait.
ANATOMI
Hidung dan Sinus Paranasal
Anatomi Hidung
1. Hidung bagian luar
Hidung luar berbentuk piramid dengan bagian-bagiannya yaitu pangkal
hidung, dorsum nasi, puncak hidung, ala nasi, kolumela dan rongga hidung
(nares anterior). Hidung bagian luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang
rawan. Kerangka tulang terdiri dari sepasang os nasalis, prosesus frontalis os
maksila dan prosesus nasalis os frontal, sedangkan kerangka tulang rawan
4
Modul VII.10 - Neoplasma Hidung dan Sinus Paranasal
terdiri dari beberapa pasang tulang rawan yang terdiri dari sepasang kartilago
nasalis lateralis superior, sepasang kartilago lateralis inferior (kartilago ala
mayor) dan tepi anterior kartilago septum nasi. Kerangka tulang dan tulang
rawan ini dilapisi oleh kulit, jaringan ikat dan beberapa otot yang berfungsi
untuk pergerakan dari nasal tip dan ala nasi.
5
Modul VII.10 - Neoplasma Hidung dan Sinus Paranasal
4. Konka, pada dinding lateral hidung terdapat 4 buah konka. Yang terbesar
dan letaknya paling bawah ialah konka inferior, kemudian yang lebih
kecil ialah konka media dan konka superior, sedangkan yang terkecil
disebut konka suprema. Konka suprema ini biasanya rudimenter. Konka
inferior merupakan tulang tersendiri yang melekat pada os maksila dan
labirin etmoid, sedangkan konka media, superior dan suprema
merupakan bagian dari labirin etmoid.
5. Meatus nasi, di antara konka-konka dan dinding lateral hidung terdapat
rongga sempit yang disebut meatus. Meatus inferior terletak di antara
konka inferior dengan dasar hidung dan dinding lateral rongga hidung.
Pada meatus inferior terdapat muara nasolakrimalis. Meatus media
terletak di antara konka media dan dinding lateral rongga hidung. Pada
meatus media terdapat bula etmoid, prosesus unsinatus, hiatus
semilunaris dan infundibulum etmoid. Disini terdapat muara sinus
maksila, frontalis dan sinus etmoid anterior. Pada meatus superior yang
merupakan ruang diantara konka superior dan konka media terdapat
muara sinus etmoid posterior dan sinus sfenoid.
6. Dinding medial, dinding medial hidung adalah septum nasi.
Sinus Paranasal
Sinus maksila
Merupakan sinus terbesar yang kapasitasanya hingga 15 ml pada dewasa.
- Dinding anterior sinus ialah permukaan fasial os maksila yang disebut fosa
kanina
- Dinding posterior adalah permukaan infra temporal maksila
- Dinding medialnya ialah dinding lateral rongga hidung
- Dinding superior ialah dasar orbita
6
Modul VII.10 - Neoplasma Hidung dan Sinus Paranasal
Sinus frontal
Sinus frontal terletak di os frontal. Sinus frontal kanan dan kiri biasanya
tidak simetris. Berdrainase melalui ostiumnya yang terletak di resessus frontal
Sinus etmoid
Sinus etmoid adalah rongga udara yang berdinding tipis dimassa lateral
tulang etmoid. Jumlahnya antara 3 - 18 sel. Secara klinis, sel-sel etmoid terbagi
atas etmoid anterior yang bermuara di meatus media dan etmoid posterior yang
bermuara di meatus superior.
Sinus sfenoid
Sinus sfenoid terletak dalam os sfenoid di belakang sinus etmoid posterior.
Sinus sfenoid dibagi dua oleh sekat yang disebut septum intersfenoid.
KEKERAPAN
Tumor sinus paranasal dijumpai sekitar 3% dari seluruh tumor kepala dan
leher, dan 0,5% dari seluruh tumor ganas. Dengan insidensi pada pria 2:1
dibandingkan pada wanita. Dimana 60% tumor sinonasal berkembang didalam
sinus maksilaris, 20 - 30% didalam rongga nasal, 10 - 15% didalam sinus
etmoidalis, dan 1% didalam sinus sfenoidalis dan frontalis. Apabila hanya
melibatkan sinus-sinus paranasal tersendiri, 77% tumor maligna muncul didalam
sinus maksilaris, 22% didalam sinus etmoidalis dan 1% didalam sinus sfenoidalis
dan frontalis. Neoplasma maligna pada tempat-tempat ini dapat mengakibatkan
kematian dan kecacatan dalam jumlah yang signifikan.
Di India, tumor ganas dan sinus paranasal berkisar sekitar 0,44% dari
seluruh tumor ganas (0,57% pada pria dan 0,44% pada wanita). Paling banyak
ditemukan pada sinus maksilaris dan diikuti pada sinus etmoidalis, sinus frontal
sinus sfenoidalis.
7
Modul VII.10 - Neoplasma Hidung dan Sinus Paranasal
ETIOLOGI
Etiologi tumor ganas sinonasal belum diketahui, tetapi diduga beberapa zat
hasil industri merupakan penyebab antara lain nikel, debu kayu, kulit,
formaldehid, kromium, minyak isopropil dan lain-lain. Pekerja dibidang ini
mendapat kemungkinan terjadi keganasan hidung dan sinus paranasal jauh lebih
besar. Alkohol, asap rokok, makanan yang diasinkan atau diasap diduga
meningkatkan kemungkinan terjadi keganasan, sebaliknya buah-buahan dan
sayuran mengurangi keganasan.
HISTOLOGI
Lebih dari 80% tumor ganas adalah karsinoma sel skuamosa. Sisanya
adalah adenokarsinoma, adenoid kistik karsinoma, melanoma dan berbagai jenis
sarkoma. Karsinoma sel skuamous merupakan tumor sinonasal yang terbanyak.
Dilaporkan pada pria kulit putih dengan umur dekade 5 - 6. Prognosis
berhubungan dengan luas dan letak tumor.
Adenokarsinoma sebanyak 4 - 8% dari seluruh tumor sinonasal. Awalnya
kebanyakan di sinus etmoid dan rongga hidung, dihubungkan dengan paparan
serbuk kayu. Karsinoma kistik adenoid pada sinonasal sebanyak 14 - 20% dari
seluruh karsinoma kistik adenoid di kepala dan leher. Karakteristiknya adalah
perluasan yang cepat ke struktur neurovaskular, submukosa dan didiagnosa
pertama kali pada stadium yang sudah lanjut.
Melanoma pada sinonasal bisa berupa primer maupun metastase. Walaupun 20%
dari melanoma yang ada di kepala dan leher, kurang dari 1% timbul dari
sinonasal. Kebanyakan pada rongga hidung, kemudian di sinus maksilaris,
etmoid, dan frontal.
Sarkoma neurogenik jarang di kepala dan leher dan umumnya
berhubungan dengan neurofibromatosis. Sifatnya agresif dan sering muncul
dengan metastase jauh.
8
Modul VII.10 - Neoplasma Hidung dan Sinus Paranasal
DIAGNOSIS
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik,
pemeriksaan penunjang dan diagnosis pasti ditegakkan berdasarkan pemeriksaan
histopatologi.
1. Anamnesis
Penting untuk dilakukan anamnesis yang teliti, biasanya perlu ditanyakan
apakah ada obstruksi hidung, hidung berdarah, diplopia, pasien mengeluh
apakah gigi palsunya tidak pas lagi atau gigi geligi goyah.
2. Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik dapat dijumpai pembengkakan wajah sebelah atas
seperti sisi batang hidung dan daerah kantus medius, penonjolan daerah pipi
dan pembengkakan palatum durum, palatum mole, tepi alveolar atau lipatan
mukosa mulut. Perluasan tumor keintrakranial menyebabkan sakit kepala
hebat, gangguan visus. Dapat disertai likuorea yaitu cairan otak yang keluar
dari hidung.Pemeriksaan dilanjutkan dengan memeriksa kavum nasi dan
nasofaring melalui rinoskopi anterior dan posterior. Sekret yang keluar harus
diperiksa dengan teliti. Sekret yang berbau busuk mungkin berasal dari
nekrosis jaringan yang sering berhubungan dengan proses suatu neoplasma.
3. Pemeriksaan Penunjang
Foto polos sinus paranasal kurang berfungsi dalam mendiagnosis dan
menentukan perluasan tumor kecuali pada tumor tulang seperti osteoma. Tetapi
foto polos tetap berfungsi sebagai diagnosis awal, terutama jika ada erosi
tulang dan perselubungan padat unilateral, harus dicurigai keganasan dan
buatlah tomogram atau CT scan, dimana CT scan merupakan sarana terbaik
karena lebih jelas memperlihatkan tumor dan destruksi tulang. MRI dapat
membedakan jaringan tumor dari jaringan normal tetapi kurang baik dalam
memperlihatkan destruksi tulang. Foto polos paru diperlukan untuk melihat
adanya metastasis tumor di paru.
4. Pemeriksaan histopatologi
Diagnosis pasti ditegakkan berdasarkan pemeriksaan histopatologi. Jika tumor
tampak dirongga hidung atau rongga mulut, maka biopsi mudah dan harus
segera dilakukan. Biopsi tumor maksila, dapat dilakukan melaui tindakan
sinoskopi atau melalui operasi Caldwell-Luc yang insisinya melalui sulkus
gingivo-bukal. Jika dicurigai tumor vaskuler, misalnya hemangioma atau
angiofibroma, jangan dilakukan biopsi karena akan sangat sulit menghentikan
perdarahan yang terjadi.
9
Modul VII.10 - Neoplasma Hidung dan Sinus Paranasal
• Sinus maksilaris
T1 : Tumor terbatas pada mukosa sinus maksilaris tanpa erosi dan destruksi
tulang
T2 : Tumor menyebabkan erosi atau destruksi tulang hingga palatum atau
meatus
media tanpa melibatkan dinding posterior sinus maksilaris, jaringan
subkutaneus
T3 : Tumor menginvasi dinding posterior tulang sinus maksilaris, subkutaneus
jaringan
dinding dasar dan medial orbita, fossa pteriogoid, sinus etmoidalis.
T4a : Tumor menginvasi bagian anterior orbita, kulit pipi, fossa pterigoid, fossa
infra
temporal, fossa kribriformis, sinus sfenoidalis atau frontal.
T4b : Tumor menginvasi salah satu dari apeks orbita, duramater, otak, fossa
kranial
medial, nervus kranialis selain dari divisi maksilaris nervus trigeminal
(V2),
nasofaring atau klivus.
10
Modul VII.10 - Neoplasma Hidung dan Sinus Paranasal
DIAGNOSIS BANDING
Diagnosis banding pada tumor ganas sinusparanasal yang paling tinggi adalah
karsinoma sel skuamous, diikuti oleh adenokarsinoma, adenoid kista karsinoma,
olfaktori estesioneuroblastoma, maligna mukosa melanoma dan karsinoma
undifferentiated sinonasal.
PENATALAKSANAAN
11
Modul VII.10 - Neoplasma Hidung dan Sinus Paranasal
a. Sinus maksilaris
12
Modul VII.10 - Neoplasma Hidung dan Sinus Paranasal
b. Sinus etmoid
13
Modul VII.10 - Neoplasma Hidung dan Sinus Paranasal
INDIKASI OPERASI
1. Reseksi bedah biasanya dianjurkan dengan maksud penyembuhan (kuratif)
2. Eksisi paliatif dapat dimaksudkan untuk meredakan nyeri yang tidak
tertahankan, untuk dekompresi struktur vital atau mengurangi besarnya lesi
masif.
PROSEDUR OPERASI
Persiapan pre operasi :
1. Penjelasan kepada penderita dan atau orang tua / keluarga mengenai
tindakan operasi yang akan dijalani serta risiko / komplikasi. Meminta
tandatangan persetujuan untuk dilakukan operasi dari penderita dan atau orang
tua / keluarga (informed consent)
2. Pemeriksaan laboratorium
3. Pemeriksaan tambahan
4. Cairan
5. Dalam keadaan diperlukan kontrol jalan nafas, atau ragu-ragu akan
kemungkinan terjadinya sumbatan jalan nafas, perlu dilakukan tindakan
trakeostomi elektif
6. Memeriksa dan melengkapi persiapan alat dan kelengkapan operasi
7. Penderita puasa minimal 6 jam sebelum operasi.
TINDAKAN OPERASI
1. Maksilektomi Medial - Rinotomi Lateral
a. Insisi kulit dimulai dibawah sisi medial alis, sepanjang 4 - 5 mm
kantus medial anterior melalui tulang hidung sepanjang bagian terdalam
celah nasomaksila dan menelusuri lipatan ala nasi. Perluasan insisi dengan
membelah bibir tidak diperlukan. Untuk memperjelas area operasi, flap
pipi dielevasi dari maksila secara subperiosteal dan mengelilingi saraf
infra orbita. Periorbita dielevasi dari lamina papirasea, kemudian sutura
frontoetmoid diidentifikasi dan diteruskan ke arah belakang sampai arteri
etmoid posterior teridentifikasi. Dinding anterior antrum tepatnya pada
fosa kanina ditembus dengan pahat ukuran 4 mm. Antrostomi diperluas
dengan rongeur Kerrison mengelilingi saraf infraorbita dan ke arah atas
menuju tepi orbita.
b. Tulang diangkat melalui tepi orbita termasuk fosa lakrimalis.
c. Duktus nasolakrimalis dipisahkan dan sakus lakrimalis dibuka dan
dimarsupialisasi
d. Selanjutnya dilakukan osteotomi dan pengangkatan jaringan.
Osteotomi diperluas melalui apertura piriformis pada level dasar rongga
hidung, diarahkan ke belakang sampai dinding belakang antrum. Orbita
diretraksi ke arah lateral, kemudian dilakukan osteotomi pada sutura
frontoetmoid, meluas ke belakang sampai pada jarak 2 - 3 mm di belakang
arteri etmoid posterior (yaitu di depan foramen optikum).
e. Tulang tipis lantai orbita bagian medial dipotong mengikuti garis yang
menghubungkan fosa lakrimalis dan osteotomi superior. Pemotongan
tulang terdiri dari 3 langkah. Pertama, osteotom dimasukkan melalui
14
Modul VII.10 - Neoplasma Hidung dan Sinus Paranasal
Kontraindikasi
a. Paparan dari reseksi tumor yang meluas ke palatum, fossa infratemporal,
nasofaring atau fossa kranial anterior
b. Paparan lateral dari foramen infraorbital
c. Pembedahan setelah gagal dengan radiasi dosis tinggi pada daerah hidung
dan sinus paranasal pada kasus-kasus dimana insisi wajah harus
dihindarkan.
15
Modul VII.10 - Neoplasma Hidung dan Sinus Paranasal
intak kecuali bila septum juga terlibat. Jika septum nasi terlibat, maka
dilakukan reseksi melalui dasar hidung di sisi kontralateral. Insisi melalui
tepi alveolar lebih disukai melalui soket gigi untuk mempertahankan
viabilitas gigi yang bersebelahan.
c. Flap kulit didiseksi dengan mempertahankan otot
orbikularis oris dan businator di flap lateral. Bagian yang tersisa dari otot
wajah dibiarkan tetap melekat pada dinding depan antrum. Insisi dari bibir
dilanjutkan sepanjang sulkus gingivobukal ke arah posterolateral hingga
melewati tuberositas maksila. Perlekatan otot businator pada tepi bawah
maksila yang meluas hingga tuberositas ditranseksi. Prosesus nasal
maksila kemudian direseksi dengan pahat atau sagittal plane saw hingga
mencapai kantus medial mata. Daerah ini sesuai dengan garis sutura
maksila dengan tulang frontal dan berperan sebagai penanda level lamina
kribriformis etmoid / dasar fossa kranial anterior. Ini merupakan level atas
reseksi di bagian medial.
d. Gigi insisivus atas pada sisi yang direseksi diangkat.
Dibuat luka tembus ke dalam kavum nasi pada tepi posterior palatum
durum. Melalui luka tersebut klem bengkok diselipkan ke dalam rongga
hidung dan digunakan untuk menjepit ujung gergaji gigli, yang
dimasukkan ke dalam nares. Jika terdapat fragmen gigi tertahan pada tepi
potongan gergaji, maka harus diangkat.
e. Palatum durum ditranseksi secara longitudinal
melalui dasar kavum nasi dengan gergaji gigli. Kemudian insisi dilakukan
melalui tepi posterior palatum durum, memisahkannya dari palatum mole.
Palatum mole dibiarkan intak.
f. Perlekatan anterior otot masseter harus diangkat dari
bagian anterior arkus zigomatikus. Sepanjang 2 cm potongan arkus
zigomatikus dieksisi dengan gergaji gigli. Pembukaan ini memungkinkan
akses ke dalam fosa pterigomaksila dan terlihatnya sebagian arteri maksila
interna yang kemudian ditranseksi diantara dua penjepit perak.
g. Perios diinsisi sepanjang bagian superior, medial
dan lateral mengelilingi orbita (bagian inferior akan dieksisi bersama
reseksi en bloc). Dengan resparatorium perios, periorbita dielevasi hingga
apeks orbita. Dengan bola mata diretraksi ke arah bawah dan medial suatu
penjepit melengkung diselipkan melalui fisura orbita inferior untuk
memegang gergaji gigli. Kadang-kadang diperlukan pematahan sedikit
tulang tipis untuk memasukkan penjepit. Jika menyelipkan penjepit tidak
memungkinkan, tepi orbita lateral direseksi menggunakan sagittal plane
saw.
h. Dengan mengarahkan gergaji gigli ke atas dan ke
depan tepi lateral orbita dipotong. Saraf optikus dipotong di pertengahan
antara bola mata dan foramen optikus atau sejauh mungkin ke arah
belakang sesuai indikasi. Hindari tarikan berlebihan pada saraf optikus
karena hal ini dapat mengakibatkan kerusakan pada chiasma optikum dan
defek lapangan penglihatan pada mata kontralateral. Arteri optalmika yang
16
Modul VII.10 - Neoplasma Hidung dan Sinus Paranasal
terletak medial dari saraf optikus diligasi. Dalam bantalan lemak mata
terdapat pembuluh-pembuluh darah kecil yang harus diligasi.
i. Pemotongan dilakukan dengan pahat atau sagittal
plane saw, dimulai dari bagian atas osteotomi yang telah dilakukan pada
tahap c. Ini akan memisahkan maksila dari tulang frontal. Pahat diarahkan
sedikit ke arah bawah dan ke arah dalam, mengenai bagian dalam lamina
kribriformis. Ini harus dilakukan secara perlahan dan hati-hati untuk
menghindari trauma terhadap lamina kribriformis. Pemotongan diperluas
melalui tepi atas tulang lakrimalis dan melalui sepertiga atas lamina
papirasea tulang etmoid ke perluasan anterolateral sinus sfenoid. Dengan
cara ini sebanyak mungkin labirin etmoid diangkat secara en bloc dengan
maksila.
j. Perlekatan posterolateral maksila dapat dibebaskan
dengan salah satu dari dua cara. Prosesus pterigoideus ditranseksi dekat
origonya dari corpus dan ala mayor tulang sfenoid. Ini dapat dicapai
dengan pertama-tama mereseksi otot pterigoid eksternus dan internus dari
lamina pterigoid lateral dan medial dan kemudian melakukan transeksi
terhadap prosesus pterigoid dengan rongeurs menyudut. Lamina pterigoid
lateral dan medial merupakan perluasan dari prosesus pterigoid. Kedua
lamina bersatu di anterior dan superior dan membuka ke arah posterior dan
inferior. Di atas otot pterigoid terdapat pembuluh darah utama dan
beberapa cabang arteri maksila interna. Arteri ini bervariasi dan dapat
berjalan lebih dalam dari otot pterigoid eksternus atau diantara kedua
pangkal otot. Pembuluh-pembuluh darah ini merupakan sumber
perdarahan yang signifikan, jika tidak satu persatu diligasi atau ditutup
dengan penjepit perak. Tindakan ini dilakukan pada awal operasi dengan
mengangkat sebagian kecil arkus zigomatikus, dengan mengingat variasi
lokasi arteri. Arteri karotis interna dapat cedera pada saat pemotongan
prosesus pterigoid. Jarak antara arteri karotis interna dengan tepi posterior
lamina pterigoid lateral sekitar 1,5 cm atau kurang. Prosesus stiloid
terletak di atas arteri karotis interna. Foramen laserum terletak di dasar
lamina pterigoid medial. Bagian bawah foramen laserum terisi dengan
lapisan fibrokartilago yang di atasnya berjalan arteri karotis interna,
setelah melalui orifisium kanal karotis. Orifisium ini terletak lebih
posterior dari foramen laserum.
k. Metode lain yang dapat digunakan untuk
membebaskan perlekatan posterolateral maksila adalah dengan
mengarahkan pahat diantara prosesus pterigoid dan maksila. Pemotongan
ini meluas ke dalam fisura pterigomaksila. Cabang arteri maksila interna
memerlukan ligasi. Metode ini tidak dianjurkan pada keadaan dimana
dicurigai telah terjadi erosi tulang dinding belakang antrum.
l. Keseluruhan jaringan biasanya pada tahap ini telah cukup bebas sehingga
sisa perlekatan yang lemah dari maksila pada bagian medial orbita akan
terputus dengan cara menggoyangkan jaringan ke arah belakang dan
depan. Jika diperlukan sebuah pahat dapat digunakan secara perlahan
untuk memotong perlekatan ini. Garis transeksi meluas ke arah belakang
17
Modul VII.10 - Neoplasma Hidung dan Sinus Paranasal
18
Modul VII.10 - Neoplasma Hidung dan Sinus Paranasal
medial. Gigi insisivus tengah pada sisi yang terlibat diekstraksi. Transeksi
tulang dilakukan melalui soket gigi.
c. Dengan menggunakan retraktor melengkung, bola
mata beserta otot orbikularis okuli dan perios secara halus ditarik ke arah
atas. Dasar orbita bagian belakang dan bawah ditranseksi dengan
menggunakan osteotom melengkung. Insisi tulang dapat dilakukan jauh ke
belakang hingga 4 cm dari tepi orbita bawah dengan hati-hati agar tidak
mencederai saraf optik dan tanpa memasuki antrum. Bahaya kerusakan
saraf optik lebih besar pada sisi medial saat melakukan diseksi lamina
papirasea.
d. Tahap berikutnya pada prosedur ini sama dengan
operasi yang lebih radikal, dengan pengecualian bahwa bola mata
dipertahankan. Flap otot temporal kemudian dimobilisasi dengan cara
memisahkan 1 cm otot dari insersinya dan melekatkan ujung distal bebas
ini di dekat kantus medial mata. Perlekatan ini dapat dilakukan ke fasia di
daerah atau melalui sebuah lubang kecil yang dibuat dengan bor ke dalam
sisa tulang pada sisi medial orbita. Flap otot temporal dengan demikian
membentuk suatu penahan untuk menopang bola mata. Ligamen kantus
medial membutuhkan reseksi jika reseksi tulang yang dilakukan lebih
tinggi. Kemudian bagian lateral dari ligamen kantus medial diamankan ke
lubang yang dibuat dengan bor pada tulang hidung. Lubang-lubang ini
terletak pada lokasi yang sama dimana otot temporal penopang dilekatkan.
Harus diperhatikan bahwa sakus lakrimalis di bagian medial ligamen
kantus medial tidak rusak.
Kontraindikasi
1. Isi orbita tidak dapat dipertahankan oleh karena erosi dasar tulang atau
dinding medial orbita, oleh karena invasi periorbita, apex orbita atau saraf
intraorbita, atau kebutuhan penyinaran pasca operasi dekat dengan orbita
atau positif margin
2. Tumor dengan perluasan ke intrakranial.
4. Maksilektomi Parsial
Maksilektomi Infrastruktur
Teknik ini mengikuti prinsip dasar maksilektomi radikal kecuali orbita
dibiarkan intak dan labirin etmoid tidak diangkat secara en bloc namun hanya
dikuret.
a. Setelah kelopak mata didekatkan (tarsorafi temporer), insisi
Weber - Dieffenbach (Fergusson) dimulai menyilang bagian tengah bibir
atas seperti tangga untuk mengurangi terjadinya kontraktur jaringan parut.
Insisi diteruskan ke atas di sulkus nasolabial sampai setinggi kantus medial
dan kemudian terus secara horisontal di bawah bulu mata dari kelopak
mata bawah dan melewati kantus lateral. Otot orbikularis okuli dibiarkan
intak dan dipertahankan di tempatnya. Sebuah insisi dibuat dalam sulkus
ginggivobukal dan flap pipi, termasuk otot businator dan direfleksi ke
belakang ke tuberositas maksila.
19
Modul VII.10 - Neoplasma Hidung dan Sinus Paranasal
Kontraindikasi
1. Tumor yang meluas ke tulang orbita dan pterigoid
2. Tumor dengan perluasan ke intrakranial (dural)
3. Tumor yang menyebar ke daerah lateral atau palatum
4. Tumor yang menyebar ke lantai orbital atau malar.
Catatan :
Maksilektomi suprastruktur
Maksilektomi suprastruktur dilakukan dengan prosedur yang sama dengan
maksilektomi radikal, tetapi tidak dilakukan pemotongan tulang untuk
mengeluarkan maksila bagian bawah (lihat prosedur maksilektomi radikal dan
maksilektomi medial).
KOMPLIKASI OPERASI
1. Obstruksi jalan nafas kecuali telah dilakukan trakeostomi
2. Kecacatan pada tulang maksila
3. Kelainan fungsional akibat trauma tindakan reseksi tumor :
20
Modul VII.10 - Neoplasma Hidung dan Sinus Paranasal
KOMPLIKASI LANJUT
1. Mukokel sinonasal
2. Rinitis kronik
3. Tumor residif
4. Osteoradionekrosis
PERAWATAN PASCABEDAH
1. Penderita dirawat inap
Posisi tidur dengan kepala ditinggikan
2. Antibiotik
Lokal
Sistemik
3. Perawatan luka
4. Kontrol 3 - 4 minggu setelah tindakan operasi.
21
Modul VII.10 - Neoplasma Hidung dan Sinus Paranasal
9. Penjepit perak
10. Pahat atau sagittal plane saw
11. Resparatorium perios
12. Penjepit melengkung
13. Kuret
14. Rongeur menyudut
15. Forsep penjepit depan (Jansen - Middleton)
16. Forsep penjepit belakang (Hajek atau Kerrison)
17. Probe metal
18. Retraktor panjang Langenbeck
19. Bor
20. Gergaji stryker
21. Benang catgut kromik nomor 4
22. Cairan povidone - iodine
23. Salep klortetrasiklin
24. Benang nilon 3-0
25. Retraktor melengkung
26. Kasa absorben
27. Tampon
28. Gunting bengkok.
PROGNOSIS
Pada umumnya prognosis kurang baik. Banyak sekali faktor yang
mempengaruhi prognosis keganasan hidung dan sinus paranasal,cara tepat dan
akurat. Faktor- faktor tersebut seperti, perbedaan diagnosis histologi, asal tumor,
pengobatan yang diberikan sebelumnya, status batas sayatan, terapi ajuvan yang
diberikan, status immunologis, lamanya follow up dan banyak lagi faktor lain
yang dapat berpengaruh terhadap agresifitas penyakit dan hasil pengobatan yang
tentunya berpengaruh juga terhadap prognosis penyakit ini. Walaupun demikian
pengobatan yang agresif secara multimodalitas akan memberikan hasil yang
terbaik dalam mengontrol tumor primer dan akan meningkatkan angka bertahan
hidup selama 5 tahun sebesar 75% untuk seluruh stadium tumor.
22