Anda di halaman 1dari 23

Modul VII.

10 - Neoplasma Hidung dan Sinus Paranasal

BUKU ACUAN
ONKOLOGI BEDAH KEPALA LEHER

MODUL VII.10
NEOPLASMA
HIDUNG DAN SINUS PARANASAL

EDISI II

KOLEGIUM
ILMU KESEHATAN TELINGA HIDUNG TENGGOROK
BEDAH KEPALA DAN LEHER
2015

0
Modul VII.10 - Neoplasma Hidung dan Sinus Paranasal

DAFTAR ISI

A. TUJUAN PEMBELAJARAN............................................................................2
B. KOMPETENSI..................................................................................................2
C. REFERENSI......................................................................................................3
D. GAMBARAN UMUM......................................................................................3
E. MATERI BAKU ...............................................................................................3

1
Modul VII.10 - Neoplasma Hidung dan Sinus Paranasal

A. TUJUAN PEMBELAJARAN

a. Tujuan Pembelajaran Umum


Proses, materi dan metoda pembelajaran yang telah disiapkan bertujuan
untuk alih pengetahuan, keterampilan dan perilaku yang terkait dengan
pencapaian kompetensi dan keterampilan yang diperlukan dalam mengenali dan
melakukan tindakan yang tepat terhadap penderita neoplasma hidung dan sinus
paranasal,

b. Tujuan Pembelajaran Khusus


1. Menguasai anatomi, histologi dan fisiologi hidung dan sinus paranasal
2. Mampu menjelaskan etiologi dan jenis kelainan yang berhubungan dengan
neoplasma hidung dan sinus paranasal
3. Menjelaskan patofisiologi dan gambaran klinis neoplasma hidung dan
sinus paranasal
4. Membuat diagnosis neoplasma hidung dan sinus paranasal berdasarkan
anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan histopatologi
5. Menentukan dan melakukan pemeriksaan penunjang (nasal endoskopi,
sinuskopi dan CT scan hidung dan sinus paranasal)
6. Melakukan tatalaksana neoplasma hidung dan sinus paranasal dan
rehabilitasi pasca operasi maksilektomi
7. Melakukan penjajakan dan memutuskan terapi pendahuluan serta merujuk
ke spesialis yang relevan.

B. KOMPETENSI

1. Pengetahun
Mampu membuat diagnosis neoplasma hidung dan sinus paranasal
berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan histopatologi dan
beberapa pemeriksaan penunjang (foto polos kepala posisi Water’s dan AP -
lateral, nasal endoskopi, sinuskopi dan CT scan hidung dan sinus paranasal).
Dokter dapat memutuskan dan melakukan terapi pendahuluan serta merujuk ke
spesialis yang relevan (bukan kasus gawat darurat).

2. Keterampilan
Setelah mengikuti sesi ini peserta didik diharapkan terampil dalam :
1. Menjelaskan anatomi, histologi dan fisiologi hidung dan sinus paranasal
2. Menjelaskan etiologi dan jenis kelainan yang berhubungan dengan
neoplasma hidung dan sinus paranasal
3. Menjelaskan patofisiologi dan gambaran klinis neoplasma hidung dan
sinus paranasal
4. Menjelaskan dan melakukan diagnosis berdasarkan anamnesis,
pemeriksaan fisik dan histopatologi pada neoplasma hidung dan sinus
paranasal
5. Melakukan keputusan untuk perlu tidaknya pemeriksaan penunjang seperti
nasal endoskopi, sinuskopi dan CT scan hidung dan sinus paranasal

2
Modul VII.10 - Neoplasma Hidung dan Sinus Paranasal

6. Menjelaskan tentang tatalaksana operasi reseksi neoplasma hidung dan


sinus paranasal, pemberian kemoterapi dan radiasi serta menjelaskan
rehabilitasi pasca operasi reseksi neoplasma hidung dan sinus paranasal
7. Memutuskan terapi pendahuluan serta merujuk ke spesialis yang relevan.

C. REFERENSI

1. Byron J. Bailey. 2014. Head and Neck Surgery - Otolaryngology. Fifth


Edition. Lippincott Williams & Wilkins. Philadelphia.
2. Cummings W. Charles. 2005. Otolaryngology Head and Neck Surgery.
Fourth Edition. Mosby Inc. Philadelphia.
3. K. J. Lee. 2012. Essential Otolaryngology Head and Neck Surgery. Tenth
Edition. McGraw-Hill Medical Publishing Division CO New York
Chicago.
4. Lore John M. 2005. An Atlas of Head and Neck Surgery. Fourth Edition.
Elsevier Inc, Saunders. Philadelphia.
5. Moore U. J. 2011. Principles of Oral and Maxillofacial Surgery. Sixth
Edition. Balckwell Publishing. Oxford.
6. Myers E.N. 2008. Operative Otolaryngology: Head and Neck Surgery.
Second Edition. Saunders Elsevier, Pennsylvania.

D. GAMBARAN UMUM

Neoplasma hidung dan sinus paranasal merupakan 3% dari kasus


neoplasma saluran nafas atas. Insidensi lebih sering terjadi pada ras kulit
putih dan pria dua kali lebih sering dibandingkan wanita. Gejala neoplasma
hidung dan sinus paranasal pada umumnya hampir sama dengan gejala
infeksi sinus paranasal, seperti hidung tersumbat, epistaksis, sakit kepala,
nyeri wajah dan hidung berair serta sering tanpa gejala pada 9 - 12% pasien,
sehingga mengakibatkan keterlambatan dalam menegakkan diagnosis dan
penyakit telah berada pada stadium lanjut.

E. MATERI BAKU

PROSEDUR OPERASI
RESEKSI NEOPLASMA HIDUNG DAN SINUS PARANASAL

PENDAHULUAN
Tumor hidung dan sinus paranasal pada umumnya jarang ditemukan, baik
yang jinak maupun yang ganas. Dimana dijumpai 0,2 - 0,8% dari keganasan
seluruh tubuh atau 3% dari seluruh keganasan dikepala leher. Angka kejadiannya

3
Modul VII.10 - Neoplasma Hidung dan Sinus Paranasal

pada laki-laki ditemukan lebih banyak dari perempuan dengan rasio 2:1. Etiologi
tumor ganas sinonasal belum diketahui, tetapi diduga akibat paparan dengan
bahan industri antara lain nikel, debu kayu, formaldehid, kromium, minyak
isopropil. Pekerja di bidang ini mendapatkan kemungkinan terjadi keganasan
hidung dan sinus jauh lebih besar. Merokok juga mempunyai peran penting dalam
perkembangan tumor sinonasal.

DEFINISI
Reseksi neoplasma hidung dan sinus paranasal adalah tindakan
pembedahan pengangkatan neoplasma hidung dan sinus paranasal, yaitu
maksilektomi medial - rinotomi lateral, reseksi radikal maksila dengan eksenterasi
orbita dan sebagian etmoid, reseksi maksila termasuk dasar orbita dengan
mempertahankan bola mata dan maksilektomi parsial (maksilektomi infrastruktur
dan maksilektomi suprastruktur).
Pemilihan tindakan pembedahan berdasarkan :
1. Penilaian terhadap struktur tulang dan jaringan lunak untuk dilakukan reseksi
en bloc
2. Pendekatan harus direncanakan untuk paparan jaringan yang adekuat guna
mempertahankan fungsi jaringan dan kosmetik apabila memungkinkan
3. Repair direncanakan dengan menggunakan teknik prostetik atau jaringan
lunak untuk mendapatkan hasil yang terbaik.

RUANG LINGKUP
Setelah memahami, menguasai dan mengerjakan modul ini maka
diharapkan seorang dokter PPDS I THT-KL mempunyai kompetensi
melaksanakan tindakan operatif neoplasma maksilektomi medial - rinotomi lateral
dengan tingkat kemampuan keterampilan klinis 4, reseksi radikal maksila dengan
eksenterasi orbita dan sebagian etmoid dengan tingkat kemampuan keterampilan
klinis 2, reseksi maksila termasuk dasar orbita dengan mempertahankan bola mata
dengan tingkat kemampuan keterampilan klinis 2 dan maksilektomi parsial
(maksilektomi infrastruktur dan maksilektomi suprastruktur) dengan tingkat
kemampuan keterampilan klinis 2. Penerapannya dapat dikerjakan di RS
pendidikan dan RS jejaring, serta dapat dipergunakan sebagai tambahan referensi
program studi disiplin ilmu terkait.

ANATOMI
Hidung dan Sinus Paranasal

Anatomi Hidung
1. Hidung bagian luar
Hidung luar berbentuk piramid dengan bagian-bagiannya yaitu pangkal
hidung, dorsum nasi, puncak hidung, ala nasi, kolumela dan rongga hidung
(nares anterior). Hidung bagian luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang
rawan. Kerangka tulang terdiri dari sepasang os nasalis, prosesus frontalis os
maksila dan prosesus nasalis os frontal, sedangkan kerangka tulang rawan

4
Modul VII.10 - Neoplasma Hidung dan Sinus Paranasal

terdiri dari beberapa pasang tulang rawan yang terdiri dari sepasang kartilago
nasalis lateralis superior, sepasang kartilago lateralis inferior (kartilago ala
mayor) dan tepi anterior kartilago septum nasi. Kerangka tulang dan tulang
rawan ini dilapisi oleh kulit, jaringan ikat dan beberapa otot yang berfungsi
untuk pergerakan dari nasal tip dan ala nasi.

Gambar 1. Anatomi hidung luar

2. Hidung bagian dalam


Hidung bagian dalam terdiri dari :
a. Vestibulum
Terletak tepat di belakang nares anterior, dilapisi oleh kulit yang mempunyai
banyak kelenjar sebasea dan rambut-rambut yang disebut vibrissae.
b. Septum nasi
Septum dibentuk oleh tulang dan tulang rawan, yang membagi kavum nasi
menjadi dua ruang kanan dan kiri, dimana bagian tulang terdiri dari :
Lamina perpendikularis os etmoid, vomer, krista nasalis os maksila dan
krista nasalis os palatina. Bagian tulang rawan terdiri dari : Kartilago
septum (lamina kuadriangularis) dan kolumela.
c. Kavum nasi
1. Dasar hidung, dibentuk oleh prosesus palatina os maksila dan prosesus
horizontal os palatum.
2. Atap hidung, terdiri dari kartilago lateralis superior dan inferior, os nasal,
prosesus frontalis os maksila, korpus os etmoid dan korpus os sfenoid.
Sebagian besar atap dibentuk oleh lamina kribosa yang dilalui oleh
filament-filamen n. olfaktorius yang berasal dari permukaan bawah
bulbus olfaktorius berjalan menuju bagian teratas septum nasi dan
permukaan kranial konka superior.
3. Dinding lateral, dibentuk oleh permukaan dalam prosesus frontalis os
maksila, os lakrimalis, konka superior, konka media, konka inferior,
lamina perpendikularis os palatum dan lamina pterigoideus media.

5
Modul VII.10 - Neoplasma Hidung dan Sinus Paranasal

4. Konka, pada dinding lateral hidung terdapat 4 buah konka. Yang terbesar
dan letaknya paling bawah ialah konka inferior, kemudian yang lebih
kecil ialah konka media dan konka superior, sedangkan yang terkecil
disebut konka suprema. Konka suprema ini biasanya rudimenter. Konka
inferior merupakan tulang tersendiri yang melekat pada os maksila dan
labirin etmoid, sedangkan konka media, superior dan suprema
merupakan bagian dari labirin etmoid.
5. Meatus nasi, di antara konka-konka dan dinding lateral hidung terdapat
rongga sempit yang disebut meatus. Meatus inferior terletak di antara
konka inferior dengan dasar hidung dan dinding lateral rongga hidung.
Pada meatus inferior terdapat muara nasolakrimalis. Meatus media
terletak di antara konka media dan dinding lateral rongga hidung. Pada
meatus media terdapat bula etmoid, prosesus unsinatus, hiatus
semilunaris dan infundibulum etmoid. Disini terdapat muara sinus
maksila, frontalis dan sinus etmoid anterior. Pada meatus superior yang
merupakan ruang diantara konka superior dan konka media terdapat
muara sinus etmoid posterior dan sinus sfenoid.
6. Dinding medial, dinding medial hidung adalah septum nasi.

Gambar 2. Anatomi hidung dalam

Sinus Paranasal

Sinus paranasal merupakan rongga berisi udara dalam tulang tengkorak.


Secara klinis terbagi atas dua grup:
- Anterior : Sinus maksila, frontal dan etmoid anterior
- Posterior : Sinus etmoid posterior dan sfenoid

Sinus maksila
Merupakan sinus terbesar yang kapasitasanya hingga 15 ml pada dewasa.
- Dinding anterior sinus ialah permukaan fasial os maksila yang disebut fosa
kanina
- Dinding posterior adalah permukaan infra temporal maksila
- Dinding medialnya ialah dinding lateral rongga hidung
- Dinding superior ialah dasar orbita

6
Modul VII.10 - Neoplasma Hidung dan Sinus Paranasal

- Dinding inferior ialah prosessus alveolaris dan palatum

Sinus frontal
Sinus frontal terletak di os frontal. Sinus frontal kanan dan kiri biasanya
tidak simetris. Berdrainase melalui ostiumnya yang terletak di resessus frontal

Sinus etmoid
Sinus etmoid adalah rongga udara yang berdinding tipis dimassa lateral
tulang etmoid. Jumlahnya antara 3 - 18 sel. Secara klinis, sel-sel etmoid terbagi
atas etmoid anterior yang bermuara di meatus media dan etmoid posterior yang
bermuara di meatus superior.

Sinus sfenoid
Sinus sfenoid terletak dalam os sfenoid di belakang sinus etmoid posterior.
Sinus sfenoid dibagi dua oleh sekat yang disebut septum intersfenoid.

Gambar 3. Anatomi sinus paranasal

KEKERAPAN
Tumor sinus paranasal dijumpai sekitar 3% dari seluruh tumor kepala dan
leher, dan 0,5% dari seluruh tumor ganas. Dengan insidensi pada pria 2:1
dibandingkan pada wanita. Dimana 60% tumor sinonasal berkembang didalam
sinus maksilaris, 20 - 30% didalam rongga nasal, 10 - 15% didalam sinus
etmoidalis, dan 1% didalam sinus sfenoidalis dan frontalis. Apabila hanya
melibatkan sinus-sinus paranasal tersendiri, 77% tumor maligna muncul didalam
sinus maksilaris, 22% didalam sinus etmoidalis dan 1% didalam sinus sfenoidalis
dan frontalis. Neoplasma maligna pada tempat-tempat ini dapat mengakibatkan
kematian dan kecacatan dalam jumlah yang signifikan.
Di India, tumor ganas dan sinus paranasal berkisar sekitar 0,44% dari
seluruh tumor ganas (0,57% pada pria dan 0,44% pada wanita). Paling banyak
ditemukan pada sinus maksilaris dan diikuti pada sinus etmoidalis, sinus frontal
sinus sfenoidalis.

7
Modul VII.10 - Neoplasma Hidung dan Sinus Paranasal

Insidensi tertinggi keganasan sinonasal ditemukan di Jepang yaitu 2


sampai 3,6 per-100.000 penduduk pertahun. Di Departemen THT FKUI RSCM
Jakarta keganasan ini ditemukan 10 - 15% dari seluruh tumor ganas THT.
Di Departemen THT-KL FK USU/RSUP.HAM Medan, kasus tumor ganas
sinonasal pada periode bulan januari 2005 hingga bulan desember 2009 terdapat
51 kasus dimana sebagian besar ditemukan stadium lanjut 44 kasus (86,3%).

ETIOLOGI
Etiologi tumor ganas sinonasal belum diketahui, tetapi diduga beberapa zat
hasil industri merupakan penyebab antara lain nikel, debu kayu, kulit,
formaldehid, kromium, minyak isopropil dan lain-lain. Pekerja dibidang ini
mendapat kemungkinan terjadi keganasan hidung dan sinus paranasal jauh lebih
besar. Alkohol, asap rokok, makanan yang diasinkan atau diasap diduga
meningkatkan kemungkinan terjadi keganasan, sebaliknya buah-buahan dan
sayuran mengurangi keganasan.

HISTOLOGI
Lebih dari 80% tumor ganas adalah karsinoma sel skuamosa. Sisanya
adalah adenokarsinoma, adenoid kistik karsinoma, melanoma dan berbagai jenis
sarkoma. Karsinoma sel skuamous merupakan tumor sinonasal yang terbanyak.
Dilaporkan pada pria kulit putih dengan umur dekade 5 - 6. Prognosis
berhubungan dengan luas dan letak tumor.
Adenokarsinoma sebanyak 4 - 8% dari seluruh tumor sinonasal. Awalnya
kebanyakan di sinus etmoid dan rongga hidung, dihubungkan dengan paparan
serbuk kayu. Karsinoma kistik adenoid pada sinonasal sebanyak 14 - 20% dari
seluruh karsinoma kistik adenoid di kepala dan leher. Karakteristiknya adalah
perluasan yang cepat ke struktur neurovaskular, submukosa dan didiagnosa
pertama kali pada stadium yang sudah lanjut.
Melanoma pada sinonasal bisa berupa primer maupun metastase. Walaupun 20%
dari melanoma yang ada di kepala dan leher, kurang dari 1% timbul dari
sinonasal. Kebanyakan pada rongga hidung, kemudian di sinus maksilaris,
etmoid, dan frontal.
Sarkoma neurogenik jarang di kepala dan leher dan umumnya
berhubungan dengan neurofibromatosis. Sifatnya agresif dan sering muncul
dengan metastase jauh.

GEJALA DAN TANDA


Gejala yang paling sering pada tumor sinonasal sama dengan gejala pada
infeksi sinus, seperti hidung tersumbat, epistaksis, sakit kepala, nyeri wajah,
hidung berair, dan bisa asimptomatik pada 9 - 12% pasien, tergantung dari
perkembangan penyakit. Gejala orbital, seperti diplopia, proptosis, hilang
penglihatan dan epipora, dapat timbul dengan adanya invasi atau ekspansi ke
mata. Memasuki dasar tengkorak hingga fossa kranial anterior menimbulkan nyeri
kepala, neuropati kranial, bahkan sindrom lobus frontalis. Tumor juga bisa
menembus maksila dan timbul massa di palatum.

8
Modul VII.10 - Neoplasma Hidung dan Sinus Paranasal

DIAGNOSIS
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik,
pemeriksaan penunjang dan diagnosis pasti ditegakkan berdasarkan pemeriksaan
histopatologi.
1. Anamnesis
Penting untuk dilakukan anamnesis yang teliti, biasanya perlu ditanyakan
apakah ada obstruksi hidung, hidung berdarah, diplopia, pasien mengeluh
apakah gigi palsunya tidak pas lagi atau gigi geligi goyah.
2. Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik dapat dijumpai pembengkakan wajah sebelah atas
seperti sisi batang hidung dan daerah kantus medius, penonjolan daerah pipi
dan pembengkakan palatum durum, palatum mole, tepi alveolar atau lipatan
mukosa mulut. Perluasan tumor keintrakranial menyebabkan sakit kepala
hebat, gangguan visus. Dapat disertai likuorea yaitu cairan otak yang keluar
dari hidung.Pemeriksaan dilanjutkan dengan memeriksa kavum nasi dan
nasofaring melalui rinoskopi anterior dan posterior. Sekret yang keluar harus
diperiksa dengan teliti. Sekret yang berbau busuk mungkin berasal dari
nekrosis jaringan yang sering berhubungan dengan proses suatu neoplasma.
3. Pemeriksaan Penunjang
Foto polos sinus paranasal kurang berfungsi dalam mendiagnosis dan
menentukan perluasan tumor kecuali pada tumor tulang seperti osteoma. Tetapi
foto polos tetap berfungsi sebagai diagnosis awal, terutama jika ada erosi
tulang dan perselubungan padat unilateral, harus dicurigai keganasan dan
buatlah tomogram atau CT scan, dimana CT scan merupakan sarana terbaik
karena lebih jelas memperlihatkan tumor dan destruksi tulang. MRI dapat
membedakan jaringan tumor dari jaringan normal tetapi kurang baik dalam
memperlihatkan destruksi tulang. Foto polos paru diperlukan untuk melihat
adanya metastasis tumor di paru.
4. Pemeriksaan histopatologi
Diagnosis pasti ditegakkan berdasarkan pemeriksaan histopatologi. Jika tumor
tampak dirongga hidung atau rongga mulut, maka biopsi mudah dan harus
segera dilakukan. Biopsi tumor maksila, dapat dilakukan melaui tindakan
sinoskopi atau melalui operasi Caldwell-Luc yang insisinya melalui sulkus
gingivo-bukal. Jika dicurigai tumor vaskuler, misalnya hemangioma atau
angiofibroma, jangan dilakukan biopsi karena akan sangat sulit menghentikan
perdarahan yang terjadi.

KLASIFIKASI TNM DAN STADIUM TUMOR


Stadium tumor ganas sinonasal menurut American Joint Committee on
Cancer (AJCC) tahun 2010 yaitu:

Tumor Primer (T)


Tx : Tumor primer tidak bisa ditentukan
T0 : Tidak tampak tumor primer
Tis : Karsinoma insitu

9
Modul VII.10 - Neoplasma Hidung dan Sinus Paranasal

• Sinus maksilaris
T1 : Tumor terbatas pada mukosa sinus maksilaris tanpa erosi dan destruksi
tulang
T2 : Tumor menyebabkan erosi atau destruksi tulang hingga palatum atau
meatus
media tanpa melibatkan dinding posterior sinus maksilaris, jaringan
subkutaneus
T3 : Tumor menginvasi dinding posterior tulang sinus maksilaris, subkutaneus
jaringan
dinding dasar dan medial orbita, fossa pteriogoid, sinus etmoidalis.
T4a : Tumor menginvasi bagian anterior orbita, kulit pipi, fossa pterigoid, fossa
infra
temporal, fossa kribriformis, sinus sfenoidalis atau frontal.
T4b : Tumor menginvasi salah satu dari apeks orbita, duramater, otak, fossa
kranial
medial, nervus kranialis selain dari divisi maksilaris nervus trigeminal
(V2),
nasofaring atau klivus.

• Kavum nasi dan sinus etmoidalis


T1 : Tumor terbatas pada salah satu bagian dengan atau tanpa invasi tulang.
T2 : Tumor berada didua bagian dalam satu regio atau tumor meluas dan
melibatkan
daerah nasoetmoidal kompleks, dengan atau tanpa invasi tulang.
T3 : Tumor menginvasi dinding medial atau dasar orbita, sinus maksilaris,
palatum
atau fossa kribiformis.
T4a : Tumor menginvasi salah satu bagian anterior orbita, kulit nasal atau pipi,
meluas
minimal ke fossa pterigoid, sinus sfenoidalis atau frontal.
T4b : Tumor menginvasi salah satu dari apeks orbita, dura, otak, fossa kranial
medial,
nervus kranialis selain dari V2, nasofaring atau klivus.

Kelenjar getah bening regional (N)


Nx : Pembesaran kelenjar limfe regional tidak dapat ditentukan
N0 : Tidak ada metastasis kekelenjar limfe regional
N1 : Metastasis kelenjar limfe ipsilateral diameter ≤ 3 cm

N2 : Metastasis tunggal kelenjar limfe ipsilateral diameter 3 - 6 cm, atau 6 cm


multipel
Kelenjar limfe ipsilateral < 6 cm atau metastasis bilateral atau
kontralateral diameter ≤ 6 cm
N2a : Metastasis ≤ 6 cm tunggal kelenjar limfe ipsilateral diameter 3 - 6 cm
N2b : Metastasis multiple pada kelenjar limfe ipsilateral diameter ≤ 6cm

10
Modul VII.10 - Neoplasma Hidung dan Sinus Paranasal

N2c : Metastasis pada kelenjar limfe bilateral atau kontralateral,diameter ≤ 6cm


N3 : Metastasis kelenjar limfe diameter lebih dari 6 cm

Metastasis jauh (M)


MO : Tidak ada metastasis jauh
MI : Ada metastasis jauh

Stadium karsinoma sinus maksila dan sinus ethmoid


Stadium I : T1 N0 M0
Stadium II : T2 N0 M0
Stadium III : T3 N0 M0
T1 N1 M0
T2 N1 M0
T3 N1 M0
Stadium IV : T4a N0 M0
T4a N1 M0
T1 N2 M0
T2 N2 M0
T3 N2 M0
T4a N2 M0
Stadium IVB : Setiap T N3 M0
T4a setiap N M0
Stadium IVC : Setiap T setiap N M1

DIAGNOSIS BANDING
Diagnosis banding pada tumor ganas sinusparanasal yang paling tinggi adalah
karsinoma sel skuamous, diikuti oleh adenokarsinoma, adenoid kista karsinoma,
olfaktori estesioneuroblastoma, maligna mukosa melanoma dan karsinoma
undifferentiated sinonasal.

PENATALAKSANAAN

Pembedahan atau lebih sering bersama dengan modalitas terapi lainnya


seperti radiasi dan kemoterapi sebagai adjuvant sampai saat ini masih merupakan
pengobatan utama untuk keganasan hidung dan sinus paranasal, penyakit stadium
lanjut jika diobati, membutuhkan multimodalitas terapi, yaitu operasi dengan
radiasi sebelum atau setelah operasi. Katz et al, mencatat angka harapan hidup 5
tahun bagi pasien yang menerima radiasi setelah operasi adalah 79%
dibandingkan dengan pasien yang diobati dengan radioterapi saja adalah 49%.
Kemoterapi sebagai tambahan radioterapi dan pembedahan telah menunjukkan
peningkatan hasil pengobatan pada satadium III/IV.
Pembedahan masih diindikasikan walaupun menyebabkan morbiditas yang
tinggi bila terbukti dapat mengangkat tumor secara lengkap. Pembedahan
dikontraindikasikan pada kasus yang telah bermetastasis jauh, sudah meluas
kesinus kavernosus bilateral atau tumor sudah mengenai kedua orbita. Untuk
tumor ganas, tindakan operasi seradikal mungkin. Biasanya dilakukan

11
Modul VII.10 - Neoplasma Hidung dan Sinus Paranasal

maksilektomi, dapat berupa maksilektomi medial, total atau radikal. Maksilektomi


radikal dilakukan misalnya pada tumor yang sudah mengenai seluruh dinding
sinus maksila dan sering juga masuk kerongga orbita, sehingga pengangkatan
maksila dilakukan secara en bloc disertai eksenterasi orbita. Jika tumor sudah
masuk kerongga intrakranial dilakukan reseksi kraniofasial atau kalau perlu
kraniotomi, tindakan dilakukan dalam tim bersama dokter bedah saraf. Terdapat
selama 5 tahun kelangsungan hidup.

Penatalaksanaan tumor ganas sinonasal berdasarkan National Comprehensive


Cancer Network (NCCN) tahun 2010:

a. Sinus maksilaris

12
Modul VII.10 - Neoplasma Hidung dan Sinus Paranasal

Diagram 1. Penatalaksanaan tumor ganas sinus maksilaris

b. Sinus etmoid

Diagram 2. Penatalaksanaan tumor ganas sinus etmoidalis

13
Modul VII.10 - Neoplasma Hidung dan Sinus Paranasal

INDIKASI OPERASI
1. Reseksi bedah biasanya dianjurkan dengan maksud penyembuhan (kuratif)
2. Eksisi paliatif dapat dimaksudkan untuk meredakan nyeri yang tidak
tertahankan, untuk dekompresi struktur vital atau mengurangi besarnya lesi
masif.

PROSEDUR OPERASI
Persiapan pre operasi :
1. Penjelasan kepada penderita dan atau orang tua / keluarga mengenai
tindakan operasi yang akan dijalani serta risiko / komplikasi. Meminta
tandatangan persetujuan untuk dilakukan operasi dari penderita dan atau orang
tua / keluarga (informed consent)
2. Pemeriksaan laboratorium
3. Pemeriksaan tambahan
4. Cairan
5. Dalam keadaan diperlukan kontrol jalan nafas, atau ragu-ragu akan
kemungkinan terjadinya sumbatan jalan nafas, perlu dilakukan tindakan
trakeostomi elektif
6. Memeriksa dan melengkapi persiapan alat dan kelengkapan operasi
7. Penderita puasa minimal 6 jam sebelum operasi.

TINDAKAN OPERASI
1. Maksilektomi Medial - Rinotomi Lateral
a. Insisi kulit dimulai dibawah sisi medial alis, sepanjang 4 - 5 mm
kantus medial anterior melalui tulang hidung sepanjang bagian terdalam
celah nasomaksila dan menelusuri lipatan ala nasi. Perluasan insisi dengan
membelah bibir tidak diperlukan. Untuk memperjelas area operasi, flap
pipi dielevasi dari maksila secara subperiosteal dan mengelilingi saraf
infra orbita. Periorbita dielevasi dari lamina papirasea, kemudian sutura
frontoetmoid diidentifikasi dan diteruskan ke arah belakang sampai arteri
etmoid posterior teridentifikasi. Dinding anterior antrum tepatnya pada
fosa kanina ditembus dengan pahat ukuran 4 mm. Antrostomi diperluas
dengan rongeur Kerrison mengelilingi saraf infraorbita dan ke arah atas
menuju tepi orbita.
b. Tulang diangkat melalui tepi orbita termasuk fosa lakrimalis.
c. Duktus nasolakrimalis dipisahkan dan sakus lakrimalis dibuka dan
dimarsupialisasi
d. Selanjutnya dilakukan osteotomi dan pengangkatan jaringan.
Osteotomi diperluas melalui apertura piriformis pada level dasar rongga
hidung, diarahkan ke belakang sampai dinding belakang antrum. Orbita
diretraksi ke arah lateral, kemudian dilakukan osteotomi pada sutura
frontoetmoid, meluas ke belakang sampai pada jarak 2 - 3 mm di belakang
arteri etmoid posterior (yaitu di depan foramen optikum).
e. Tulang tipis lantai orbita bagian medial dipotong mengikuti garis yang
menghubungkan fosa lakrimalis dan osteotomi superior. Pemotongan
tulang terdiri dari 3 langkah. Pertama, osteotom dimasukkan melalui

14
Modul VII.10 - Neoplasma Hidung dan Sinus Paranasal

antrostomi anterior dan diarahkan melalui dinding antrum medioposterior.


Osteotomi diperluas ke atas untuk mencapai level osteotomi superior dan
didorong ke arah medial. Kedua, osteotom yang lebih lebar dimasukkan
melalui hidung, kemudian diarahkan ke dalam dinding depan sinus sfenoid
dan selanjutnya didorong ke lateral. Ketiga, gunting lurus dimasukkan
melalui osteotomi inferior dengan satu sisi di dalam hidung dan sisi
lainnya di dalam antrum untuk memulai pemotongan belakang di belakang
konka.
f. Gunting bengkok kemudian dimasukkan dengan satu sisi pada kavum
nasi dan sisi yang lainnya pada daerah osteotomi superior sepanjang
perlekatan superior dari konka. Jaringan diangkat dengan tarikan ke depan
dan ke bawah. Hemostasis dilakukan dengan klem atau kauterisasi. Tepi
tulang dihaluskan dengan rongeur. Sisa mukosa etmoid diangkat dengan
forsep etmoid dan dilakukan sfenoidotomi dengan rongeur Kerrison.
Rongga ditutup tampon pita dengan salep antibiotik. Luka dijahit lapis
demi lapis.

Kontraindikasi
a. Paparan dari reseksi tumor yang meluas ke palatum, fossa infratemporal,
nasofaring atau fossa kranial anterior
b. Paparan lateral dari foramen infraorbital
c. Pembedahan setelah gagal dengan radiasi dosis tinggi pada daerah hidung
dan sinus paranasal pada kasus-kasus dimana insisi wajah harus
dihindarkan.

2. Reseksi Radikal Maksila dengan Eksenterasi Orbita dan


Sebagian Etmoid
a. Insisi Weber - Dieffenbach (Fergusson) dilakukan
dengan perluasan ke dalam dasar hidung. Insisi bibir atas dilakukan untuk
meminimalkan kontraktur pasca operasi. Garis vertikal tepat di sebelah
medial filtrum dan garis horisontal mengikuti batas vermilion. Kelopak
mata dijahit satu sama lain dan dibiarkan menyatu pada flap kulit atau
mata. Jika direncanakan akan dilakukan pemasangan prostesis mata, akan
lebih menguntungkan untuk mengangkat kelopak mata beserta flap kulit.
Diskusikan pilihan ini dengan prostodontis maksilofasial. Insisi pada dasar
nares merupakan pilihan lain, karena transeksi dasar hidung dapat
dilakukan tanpa insisi ini. Sudut yang sempit saat insisi kulit harus
dihindari pada daerah dekat kantus medial. Reseksi kulit pipi dapat
dilakukan jika daerah tersebut terlibat.
b. Daerah tulang yang direseksi termasuk seluruh
antrum dengan palatum durum dan dasar orbita, rima orbita lateral, korpus
zigoma (tulang malar) dan sebagian arkus zigomatikus. Arteri maksila
interna terletak di superfisial atau lebih dalam dari otot pterigoideus
eksternus atau berjalan diantara kedua pangkal otot tersebut. Labirin
etmoid, dinding anterior sinus etmoid dan seluruh dinding lateral kavum
nasi beserta ketiga konka juga ikut direseksi. Septum nasi dibiarkan tetap

15
Modul VII.10 - Neoplasma Hidung dan Sinus Paranasal

intak kecuali bila septum juga terlibat. Jika septum nasi terlibat, maka
dilakukan reseksi melalui dasar hidung di sisi kontralateral. Insisi melalui
tepi alveolar lebih disukai melalui soket gigi untuk mempertahankan
viabilitas gigi yang bersebelahan.
c. Flap kulit didiseksi dengan mempertahankan otot
orbikularis oris dan businator di flap lateral. Bagian yang tersisa dari otot
wajah dibiarkan tetap melekat pada dinding depan antrum. Insisi dari bibir
dilanjutkan sepanjang sulkus gingivobukal ke arah posterolateral hingga
melewati tuberositas maksila. Perlekatan otot businator pada tepi bawah
maksila yang meluas hingga tuberositas ditranseksi. Prosesus nasal
maksila kemudian direseksi dengan pahat atau sagittal plane saw hingga
mencapai kantus medial mata. Daerah ini sesuai dengan garis sutura
maksila dengan tulang frontal dan berperan sebagai penanda level lamina
kribriformis etmoid / dasar fossa kranial anterior. Ini merupakan level atas
reseksi di bagian medial.
d. Gigi insisivus atas pada sisi yang direseksi diangkat.
Dibuat luka tembus ke dalam kavum nasi pada tepi posterior palatum
durum. Melalui luka tersebut klem bengkok diselipkan ke dalam rongga
hidung dan digunakan untuk menjepit ujung gergaji gigli, yang
dimasukkan ke dalam nares. Jika terdapat fragmen gigi tertahan pada tepi
potongan gergaji, maka harus diangkat.
e. Palatum durum ditranseksi secara longitudinal
melalui dasar kavum nasi dengan gergaji gigli. Kemudian insisi dilakukan
melalui tepi posterior palatum durum, memisahkannya dari palatum mole.
Palatum mole dibiarkan intak.
f. Perlekatan anterior otot masseter harus diangkat dari
bagian anterior arkus zigomatikus. Sepanjang 2 cm potongan arkus
zigomatikus dieksisi dengan gergaji gigli. Pembukaan ini memungkinkan
akses ke dalam fosa pterigomaksila dan terlihatnya sebagian arteri maksila
interna yang kemudian ditranseksi diantara dua penjepit perak.
g. Perios diinsisi sepanjang bagian superior, medial
dan lateral mengelilingi orbita (bagian inferior akan dieksisi bersama
reseksi en bloc). Dengan resparatorium perios, periorbita dielevasi hingga
apeks orbita. Dengan bola mata diretraksi ke arah bawah dan medial suatu
penjepit melengkung diselipkan melalui fisura orbita inferior untuk
memegang gergaji gigli. Kadang-kadang diperlukan pematahan sedikit
tulang tipis untuk memasukkan penjepit. Jika menyelipkan penjepit tidak
memungkinkan, tepi orbita lateral direseksi menggunakan sagittal plane
saw.
h. Dengan mengarahkan gergaji gigli ke atas dan ke
depan tepi lateral orbita dipotong. Saraf optikus dipotong di pertengahan
antara bola mata dan foramen optikus atau sejauh mungkin ke arah
belakang sesuai indikasi. Hindari tarikan berlebihan pada saraf optikus
karena hal ini dapat mengakibatkan kerusakan pada chiasma optikum dan
defek lapangan penglihatan pada mata kontralateral. Arteri optalmika yang

16
Modul VII.10 - Neoplasma Hidung dan Sinus Paranasal

terletak medial dari saraf optikus diligasi. Dalam bantalan lemak mata
terdapat pembuluh-pembuluh darah kecil yang harus diligasi.
i. Pemotongan dilakukan dengan pahat atau sagittal
plane saw, dimulai dari bagian atas osteotomi yang telah dilakukan pada
tahap c. Ini akan memisahkan maksila dari tulang frontal. Pahat diarahkan
sedikit ke arah bawah dan ke arah dalam, mengenai bagian dalam lamina
kribriformis. Ini harus dilakukan secara perlahan dan hati-hati untuk
menghindari trauma terhadap lamina kribriformis. Pemotongan diperluas
melalui tepi atas tulang lakrimalis dan melalui sepertiga atas lamina
papirasea tulang etmoid ke perluasan anterolateral sinus sfenoid. Dengan
cara ini sebanyak mungkin labirin etmoid diangkat secara en bloc dengan
maksila.
j. Perlekatan posterolateral maksila dapat dibebaskan
dengan salah satu dari dua cara. Prosesus pterigoideus ditranseksi dekat
origonya dari corpus dan ala mayor tulang sfenoid. Ini dapat dicapai
dengan pertama-tama mereseksi otot pterigoid eksternus dan internus dari
lamina pterigoid lateral dan medial dan kemudian melakukan transeksi
terhadap prosesus pterigoid dengan rongeurs menyudut. Lamina pterigoid
lateral dan medial merupakan perluasan dari prosesus pterigoid. Kedua
lamina bersatu di anterior dan superior dan membuka ke arah posterior dan
inferior. Di atas otot pterigoid terdapat pembuluh darah utama dan
beberapa cabang arteri maksila interna. Arteri ini bervariasi dan dapat
berjalan lebih dalam dari otot pterigoid eksternus atau diantara kedua
pangkal otot. Pembuluh-pembuluh darah ini merupakan sumber
perdarahan yang signifikan, jika tidak satu persatu diligasi atau ditutup
dengan penjepit perak. Tindakan ini dilakukan pada awal operasi dengan
mengangkat sebagian kecil arkus zigomatikus, dengan mengingat variasi
lokasi arteri. Arteri karotis interna dapat cedera pada saat pemotongan
prosesus pterigoid. Jarak antara arteri karotis interna dengan tepi posterior
lamina pterigoid lateral sekitar 1,5 cm atau kurang. Prosesus stiloid
terletak di atas arteri karotis interna. Foramen laserum terletak di dasar
lamina pterigoid medial. Bagian bawah foramen laserum terisi dengan
lapisan fibrokartilago yang di atasnya berjalan arteri karotis interna,
setelah melalui orifisium kanal karotis. Orifisium ini terletak lebih
posterior dari foramen laserum.
k. Metode lain yang dapat digunakan untuk
membebaskan perlekatan posterolateral maksila adalah dengan
mengarahkan pahat diantara prosesus pterigoid dan maksila. Pemotongan
ini meluas ke dalam fisura pterigomaksila. Cabang arteri maksila interna
memerlukan ligasi. Metode ini tidak dianjurkan pada keadaan dimana
dicurigai telah terjadi erosi tulang dinding belakang antrum.
l. Keseluruhan jaringan biasanya pada tahap ini telah cukup bebas sehingga
sisa perlekatan yang lemah dari maksila pada bagian medial orbita akan
terputus dengan cara menggoyangkan jaringan ke arah belakang dan
depan. Jika diperlukan sebuah pahat dapat digunakan secara perlahan
untuk memotong perlekatan ini. Garis transeksi meluas ke arah belakang

17
Modul VII.10 - Neoplasma Hidung dan Sinus Paranasal

sampai mencapai sel udara etmoid posterior, biasanya dengan mengangkat


dinding anterior sinus sfenoid. Pada tahap ini arteri maksila interna dan
cabang-cabangnya terlihat. Penjepit perak digunakan untuk menyumbat
pembuluh darah. Arteri maksila interna terletak superfisial dari otot
pterigoid eksternus tetapi dapat lebih dalam atau terletak diantara kedua
pangkal otot. Upaya memaparkan pembuluh darah difasilitasi dengan
retraktor panjang Langenbeck. Kadang-kadang manuver ini
gagal. Pendekatan ini juga memungkinkan evaluasi perluasan penyakit di
daerah pterigomaksila. Pemaparan tambahan daerah ini dapat dilakukan
dengan melakukan transeksi dasar prosesus koronoid mandibula, namun
hal ini jarang diperlukan.
m. Sisa sel sinus etmoid anterior dan posterior dibersihkan dengan
kuret. Kuret digunakan dengan gerakan ke arah bawah dan bukan ke atas
untuk menghindari cedera lamina kribriformis etmoid. Dinding depan
sinus sfenoid jika masih intak, diangkat dengan menggunakan forsep
penjepit depan (Jansen - Middleton) atau forsep penjepit belakang (Hajek
atau Kerrison). Jika identitas sinus diragukan (sinus etmoid posterior atau
sfenoid), letakkan probe metal pada daerah tersebut dan dicek
menggunakan radiografi intraoperatif. Sel etmoid posterior yang besar
dapat menyerupai sinus sfenoid. Arteri karotis interna terletak tepat di
lateral sinus etmoid posterior dan sfenoid.
n. Setelah perdarahan berhasil dikontrol, permukaan terbuka yang jauh di
dalam defek tulang maupun di bawah flap kulit ditutup dengan kulit split
thickness. Jika memungkinkan graft dijahit menggunakan catgut kromik
nomor 4. Daerah sisanya ditutup dengan kasa absorben yang dibasahi
cairan povidone - iodine atau salep klortetrasiklin. Kapas tersebut harus
diperas hingga hampir kering untuk menghindari cairan betadin menetes
ke dalam laring kemudian masuk ke paru-paru dan dapat terjadi
pneumonia akibat betadin.
o. Defek orbita diisi dengan tampon.
p. Dilakukan penjahitan dengan menggunakan nilon 3-0 melalui palatum,
defek berfungsi sebagai penahan untuk menahan tampon pada tempatnya.
Flap kulit didekatkan dengan jahitan 2 lapis.

3. Reseksi Maksila Termasuk Dasar Orbita dengan Mempertahankan Bola


Mata
a. Eksplorasi dasar orbita dilakukan dengan
melakukan insisi sepanjang sisi atas tepi infraorbita. Dengan elevasi perios
secara hati-hati pada titik ini, dapat dilakukan palpasi isi orbita. Jika tidak
didapatkan tanda adanya perluasan penyakit di dalam orbita, jika dasar
orbita masih intak dan jika CT scan preoperatif menunjukkan tidak adanya
erosi tulang maka dasar rongga orbita (atap antrum) direseksi dan bola
mata tetap dipertahankan.
b. Prosesus frontal dan arkus zigomatikus ditranseksi
dengan gergaji gigli. Perlekatan medial tepi infraorbita ditranseksi dengan
menggunakan sagittal plane saw tepat di bagian bawah ligamen kantus

18
Modul VII.10 - Neoplasma Hidung dan Sinus Paranasal

medial. Gigi insisivus tengah pada sisi yang terlibat diekstraksi. Transeksi
tulang dilakukan melalui soket gigi.
c. Dengan menggunakan retraktor melengkung, bola
mata beserta otot orbikularis okuli dan perios secara halus ditarik ke arah
atas. Dasar orbita bagian belakang dan bawah ditranseksi dengan
menggunakan osteotom melengkung. Insisi tulang dapat dilakukan jauh ke
belakang hingga 4 cm dari tepi orbita bawah dengan hati-hati agar tidak
mencederai saraf optik dan tanpa memasuki antrum. Bahaya kerusakan
saraf optik lebih besar pada sisi medial saat melakukan diseksi lamina
papirasea.
d. Tahap berikutnya pada prosedur ini sama dengan
operasi yang lebih radikal, dengan pengecualian bahwa bola mata
dipertahankan. Flap otot temporal kemudian dimobilisasi dengan cara
memisahkan 1 cm otot dari insersinya dan melekatkan ujung distal bebas
ini di dekat kantus medial mata. Perlekatan ini dapat dilakukan ke fasia di
daerah atau melalui sebuah lubang kecil yang dibuat dengan bor ke dalam
sisa tulang pada sisi medial orbita. Flap otot temporal dengan demikian
membentuk suatu penahan untuk menopang bola mata. Ligamen kantus
medial membutuhkan reseksi jika reseksi tulang yang dilakukan lebih
tinggi. Kemudian bagian lateral dari ligamen kantus medial diamankan ke
lubang yang dibuat dengan bor pada tulang hidung. Lubang-lubang ini
terletak pada lokasi yang sama dimana otot temporal penopang dilekatkan.
Harus diperhatikan bahwa sakus lakrimalis di bagian medial ligamen
kantus medial tidak rusak.

Kontraindikasi
1. Isi orbita tidak dapat dipertahankan oleh karena erosi dasar tulang atau
dinding medial orbita, oleh karena invasi periorbita, apex orbita atau saraf
intraorbita, atau kebutuhan penyinaran pasca operasi dekat dengan orbita
atau positif margin
2. Tumor dengan perluasan ke intrakranial.

4. Maksilektomi Parsial
Maksilektomi Infrastruktur
Teknik ini mengikuti prinsip dasar maksilektomi radikal kecuali orbita
dibiarkan intak dan labirin etmoid tidak diangkat secara en bloc namun hanya
dikuret.
a. Setelah kelopak mata didekatkan (tarsorafi temporer), insisi
Weber - Dieffenbach (Fergusson) dimulai menyilang bagian tengah bibir
atas seperti tangga untuk mengurangi terjadinya kontraktur jaringan parut.
Insisi diteruskan ke atas di sulkus nasolabial sampai setinggi kantus medial
dan kemudian terus secara horisontal di bawah bulu mata dari kelopak
mata bawah dan melewati kantus lateral. Otot orbikularis okuli dibiarkan
intak dan dipertahankan di tempatnya. Sebuah insisi dibuat dalam sulkus
ginggivobukal dan flap pipi, termasuk otot businator dan direfleksi ke
belakang ke tuberositas maksila.

19
Modul VII.10 - Neoplasma Hidung dan Sinus Paranasal

b. Area direseksi secara sistematis. Ini termasuk dua pertiga


bawah maksila termasuk palatum durum yang bersebelahan. Sebuah
gergaji gigli digunakan untuk memotong palatum durum. Prosesus nasal
maksila dipotong dengan pahat sejauh 1 - 1,5 cm ke level infraorbita.
Dengan demikian konka inferior (tulang terpisah) termasuk dalam
spesimen yang direseksi, sementara konka superior dan medial, yang
merupakan bagian etmoid, dieksisi sebagai fragmen terpisah setelah
spesimen utama diangkat.
Jika tumor mengenai dinding medial antrum, maka konka media dan
superior diangkat en bloc bersama spesimen utama. Bila tumor mengenai
septum, maka dasar hidung ditranseksi pada sisi kontralateral. Septum
akhirnya diangkat bersama spesimen utama. Jika memungkinkan,
kolumela dipertahankan; jika tidak, sebuah graft anterior diselipkan
sebagai penopang.
c. Otot orbikularis okuli diretraksi ke atas. Sebuah gergaji
stryker memotong sepertiga atas maksila, sambil mempertahankan
sebagian besar tepi infraorbita dan dasar orbita. Pemotongan ini diperluas
ke lateral menyilang badan zigoma. Perlekatan posterolateral maksila
dipisahkan dari prosesus pterigoid tulang sfenoid dengan pahat. Dinding
posterior maksila biasanya cukup bebas untuk pengangkatan spesimen
dengan menggoyang maksila. Cabang-cabang arteri maksila interna,
khususnya yang berada di dalam fosa pterigomaksila perlu diligasi.
Sinus etmoidalis anterior dan posterior dikuret, dengan kehati-hatian yang
sama seperti melakukan etmoidektomi. Graft kulit split thickness
digunakan untuk menutupi semua area yang terbuka.
d. Povidone - iodine digunakan sebagai tampon, yang akan
diangkat dalam 7 sampai 10 hari dan sebuah prostesa sementara
diselipkan. Dalam 2 minggu tarsorafi sementara dilepaskan.

Kontraindikasi
1. Tumor yang meluas ke tulang orbita dan pterigoid
2. Tumor dengan perluasan ke intrakranial (dural)
3. Tumor yang menyebar ke daerah lateral atau palatum
4. Tumor yang menyebar ke lantai orbital atau malar.

Catatan :
Maksilektomi suprastruktur
Maksilektomi suprastruktur dilakukan dengan prosedur yang sama dengan
maksilektomi radikal, tetapi tidak dilakukan pemotongan tulang untuk
mengeluarkan maksila bagian bawah (lihat prosedur maksilektomi radikal dan
maksilektomi medial).

KOMPLIKASI OPERASI
1. Obstruksi jalan nafas kecuali telah dilakukan trakeostomi
2. Kecacatan pada tulang maksila
3. Kelainan fungsional akibat trauma tindakan reseksi tumor :

20
Modul VII.10 - Neoplasma Hidung dan Sinus Paranasal

a. Kolaps pada bibir


b. Gangguan bicara
c. Sulit menelan
4. Komplikasi orbita :
a. Terpotongnya duktus nasolakrimalis
b. Stenosis muara sakus lakrimalis, dapat mengakibatkan epifora
c. Terbatasnya pergerakan otot ekstra okuler
d. Tertekannya saraf optik selama mobilisasi spesimen atau reseksi
kraniofasial
e. Enoptalmos atau hipoptalmos

5. Komplikasi luka operasi :


a. Perdarahan
b. Infeksi
c. Hilangnya flap rekonstruktif atau graft kulit.

6. Komplikasi dasar tengkorak :


a. Keluarnya cairan serebrospinal
b. Meningitis, abses intrakranial
c. Pneumosefalus
d. Osteomielitis.

KOMPLIKASI LANJUT
1. Mukokel sinonasal
2. Rinitis kronik
3. Tumor residif
4. Osteoradionekrosis

PERAWATAN PASCABEDAH
1. Penderita dirawat inap
 Posisi tidur dengan kepala ditinggikan
2. Antibiotik
 Lokal
 Sistemik
3. Perawatan luka
4. Kontrol 3 - 4 minggu setelah tindakan operasi.

INSTRUMEN YANG DIPERLUKAN


1. Rongeur Kerrison
2. Forsep etmoid
3. Pahat ukuran 4 mm
4. Osteotom ukuran 2 mm
5. Klem
6. Kauterisasi
7. Gel foam
8. Gergaji gigli

21
Modul VII.10 - Neoplasma Hidung dan Sinus Paranasal

9. Penjepit perak
10. Pahat atau sagittal plane saw
11. Resparatorium perios
12. Penjepit melengkung
13. Kuret
14. Rongeur menyudut
15. Forsep penjepit depan (Jansen - Middleton)
16. Forsep penjepit belakang (Hajek atau Kerrison)
17. Probe metal
18. Retraktor panjang Langenbeck
19. Bor
20. Gergaji stryker
21. Benang catgut kromik nomor 4
22. Cairan povidone - iodine
23. Salep klortetrasiklin
24. Benang nilon 3-0
25. Retraktor melengkung
26. Kasa absorben
27. Tampon
28. Gunting bengkok.

PROGNOSIS
Pada umumnya prognosis kurang baik. Banyak sekali faktor yang
mempengaruhi prognosis keganasan hidung dan sinus paranasal,cara tepat dan
akurat. Faktor- faktor tersebut seperti, perbedaan diagnosis histologi, asal tumor,
pengobatan yang diberikan sebelumnya, status batas sayatan, terapi ajuvan yang
diberikan, status immunologis, lamanya follow up dan banyak lagi faktor lain
yang dapat berpengaruh terhadap agresifitas penyakit dan hasil pengobatan yang
tentunya berpengaruh juga terhadap prognosis penyakit ini. Walaupun demikian
pengobatan yang agresif secara multimodalitas akan memberikan hasil yang
terbaik dalam mengontrol tumor primer dan akan meningkatkan angka bertahan
hidup selama 5 tahun sebesar 75% untuk seluruh stadium tumor.

22

Anda mungkin juga menyukai