Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
TINJAUAN PUSTAKA
A. Kerangka Model
Pendekatan pengkajian yang digunakan menggunakan teori Health Promotion
Model Nola J Pender. Health Promotion Models merupakan model pendidikan
kesehatan yang telah dimodifikasi, karakteristik, pengalaman, status kognisi dan
afeksi seseorang dapat menjelaskan perilaku kesehatannya.
Karakteristik individu terkait dengan usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan,
status psikologis dan suku bangsa. Karakteristik individu bersama-sama dengan
pengalaman individu sebelumnya mempengaruhi perilaku sehat dengan terlebih
dahulu membentuk perilaku spesifik kognisi dan afeksi. Perilaku spesifik kognisi
terdiri dari pemahaman terhadap manfaat tindakan, pemahaman terhadap upaya
pencegahan, pemahaman terhadap efektifitas tindakan dan pengaruhnya terhadap
tindakan. Perilaku spesifik afeksi bersumber dari interaksi seseorang dengan faktor
interpersonal (dukungan sosial termasuk dukungan keluarga, norma dan model
perilaku) dan faktor sosial (pilihan, karakter dan estetika).
B. Strategi Intervensi Keperawatan Komunitas
Strategi intervensi merupakan suatu bentuk tindakan keperawatan untuk
mencapai tujuan dalam praktek keperawatan komunitas. Strategi intervensi yang
efektif meliputi proses kelompok, kemitraan, pemberdayaan masyarakat dan
pendidikan kesehatan. Strategi intervensi komunitas ini sangat mendukung upaya
peningkatan kesehatan masyarakat (Stanhope & Lancaster, 2004).
Strategi intervensi keperawatan komunitas adalah (1) kemitraan (partnership),
(2) pemberdayaan (empowerment), (3) pendidikan kesehatan, dan (4) proses
kelompok (Hitchcock, Schubert, & Thomas 1999; Helvie, 1998). Adapun
penjelasannya sebagai berikut:
1. Kemitraan (Partnership)
merupakan strategi keperawatan yang dilaksanakan melalui hubungan
kerjasama antara dua pihak atau lebih, berdasarkan kesetaraan, keterbukaan
dan saling menguntungkan atau memberikan manfaat untuk mencapai
tujuan bersama berdasarkan atas kesepakatan, prinsip dan peran masing-
masing (Helvie, 1998; Anderson & McFarlane, 2000; Depkes, 2003).
Hubungan kerjasama antara dua pihak atau lebih, berdasarkan kesetaraan,
keterbukaan, dan saling menguntungkan untuk mencapai tujuan bersama
berdasarkan atas kesepakatan, prinsip, dan peran masing-masing (Depkes,
2003). Terdapat 3 prinsip membangun sebuah kemitraan menurut
Notoatmojo, 2007 yaitu: persamaan, keterbukaan, dan saling
menguntungkan. Prinsip dalam membangun kemitraan dalam keperawatan
komunitas adalah 1) Equity, adanya kesetaraan dalam mengambil
keputusan untuk mencapai tujuan bersama, masing-masing anggota atau
mitra mempunyai hak yang sama, 2) Transparency, adanya keterbukaan
sehingga dapat saling melengkapi dan saling membantu diantara mitra, 3)
Mutual benefit, adanya saling menguntungkan yang terwujud dari
kebersamaan dalam mencapai tujuan kemitraan (Anderson & McFarlane,
2000; Notoadmojo, 2005).
Dalam mengembangkan kemitraan dalam bidang kesehatan terdapat 3
institusi kunci organisasi yang terlibat didalamnya yaitu unsur pemerintaha,
dunia usaha atau swasta dan unsur non pemerintahan. Secara konsep terdiri
dari 3 tahap yaitu kemitraan lintas program, lintas sektor dan kemitraan
lebih luas.
2. Pemberdayaan (Empowerment)
Merupakan strategi intervensi dalam meningkatkan kecenderungan
masyarakat untuk menciptakan perubahan (Pender et.al, 2001).
Pemberdayaan keluarga dan komunitas merupakan suatu jalan bagi
komunitas untuk memperoleh kontrol terhadap sumber dan mengubah
perbedaan kekuatan melalui perubahan sosial.
Suatu upaya atau proses untuk menumbuhkan kesadaran, kemauan dan
kemampuan masyarakat dalam mengenali, mengatasi, memelihara,
melindungi dan meningkatkan kesejahteraan mereka sendiri. Dalam bidang
kesehatan, pemberdayaan masyarakat adalah upaya untuk menumbuhkan
kesadaran, kemauan dan kemampuan dalam memelihara dan meningkatkan
kesehatan (Notoatmojo, 2007). Tujuan pemberdayaan yaitu (1) untuk
menumbuhkan kesadaran, pengetahuan dan pemahaman tentang kesehatan
bagi individu, kelompok atau masyarakat, (2) timbulnya kemauan atau
kehendak dalam bidang kesehatan, (3) timbulnya kemampuan di bidang
kesehatan.
Keluarga adalah sistem yang paling efektif sebagai kontrol untuk
memberi dukungan dan perubahan dalam proses penyembuhan dan
pemutusan mata rantai suatu penyakit. Masyarakat merupakan sistem
pendukung yang dapat merubah kondisi terjadinya peningkatan penyakit
yang lebih luas.
Peran perawat komunitas dalam pemberdayaan keluarga dan
masyarakat adalah membangun kemitraan yang efektif melalui peran serta
masyarakat (Pender et.al, 2001 ; Clark , 2003).
3. Pendidikan kesehatan
Merupakan strategi intervensi keperawatan melalui proses pemberian
informasi sebagai tindakan sosial dengan cara mengarahkan masyarakat
untuk memperoleh kemampuan dalam mengontrol kehidupannya dan
sumber komunitas (Anderson & McFarlane, 2000). Tujuan
pendidikan kesehatan dalam keperawatan komunitas adalah:
1) Merubah perilaku dari perilaku negatif ke perilaku positif,
2) Mempertahankan perilaku, perilaku yang sudah baik dipertahankan
dan merubah perilaku yang tidak menguntungkan,
3) Membentuk perilaku, dengan mengembangkan dan menanamkan
perilaku yg mendukung kesehatan,
4) Menghilangkan perilaku dan kebiasaan tradisi yang tidak baik atau
merugikan kesehatan (Green, 1980 ; Pender, 2001; Ervin, 2002 ;
Notoadmojo, 2005)
4. Proses kelompok
Suatu bentuk intervensi keperawatan komunitas yang dilakukan
bersamaan dengan masyarakat melalui pembentukan peer atau dukungan
sosial berdasar kondisi dan kebutuhan masyarakat. Pengaruh proses
kelompok yaitu membangun harapan ketika anggota kelompok menyadari
bahwa ada orang lain yang telah berhasil menghadapi atau mengatasi
masalah yang sama, universalitas diwujudkan dengan menyadari bahwa
dirinya tidak sendirian menghadapi masalah yang sama, sarana berbagai
informasi dengan anggota kelompok lain, altruisme diwujudkan dengan
saling membantu sesama anggota kelompok, sarana koreksi berantai antar
sesama anggota kelompok, sarana pengembangan teknik sosialisasi dan
ketrampilan sosial yang dibituhkan, perilaku imitatis anggota kelompok
terhadap pemimpin kelompok, pembelajaran interpersonal, chatarsis
ditunjukkan dengan masing-masing anggota kelompok belajar untuk
mengekspresikan perasaan dengan tepat, faktpr eksistensi yaitu ketika
anggota kelompok menyadari bahwa setiap orang harus bertanggung jawab
terhadap cara hidup yang telah ditempuh.
Proses kelompok juga dapat dilakukan dengan memanfaatkan
kelompok masyarakat yang sudah ada seperti pos pelayanan terpadu
(Posyandu) dan pos binaan terpadu (Posbindu) maupun membentuk
kelompok baru di masyarakat seperti kelompok swabantu (self Help group)
dan kelompok pendukung (support group).
C. Konsep Agregat Lanjut Usia dengan Resiko Hipertensi
1. Pengertian Lansia
Lanjut usia adalah bagian dari proses tumbuh kembang. Manusia tidak
secara tiba-tiba menjadi tua, tetapi pekembangan menjadi bayi, dewasa dan
akhirnya menjadi tua. Semua ini bisa dikatakan normal, dengan berbagai
perubahan fisik dan tingkah laku yang dapat diramalkan pada usia lanjut.
Lansia merupakan proses alami yang ditentukan oleh Tuhan Yang Maha
Esa. Semua orang akan mengalami menjadi tua, dimana akan terjadi
kemunduran fisik, mental dan sosial secara bertahap. (Azizah, 2011).
Masa dewasa tua (lansia) merupakan masa dimana seseorang telah
pensiun, biasanya diantara usia 65 dan 75 tahun. Seseorang akan menjadi
lanjut usia seiring bertambahnya usia (Potter & Perry, 2005).
Lanjut usia adalah seseorang yang memiliki tiga macam usia yaitu usia
kronologis dimana seseorang berusia 60 tahun keatas, usia biologis dimana
seseorang dalam kondisi pematangan jaringan, dan usia psikologis dimana
kemampuan seseorang untuk dapat menyesuaikan terhadap setiap situasi
yang dihadapi (Noorkasiani, 2009).
2. Batasan Lansia
WHO (1999), dalam Azizah (2011), menggolongkan lansia menjadi 4
golongan berdasarkan usia kronologi, yaitu Usia pertengahan (middle age),
yaitu kelompok lansia dengan usia antara 45-59 tahun. Lanjut usia (elderly)
yaitu usia 60-74 tahun, Lanjut usia tua (old) yaitu antara 75-90 tahun, Usia
sangat tua (very old) yaitu usia lebih dari 90 tahun, Sedangkan Nugroho
(2000), menurut beberapa ahli, bahwasanya lanjut usia yaitu orang yang
telah berumur 65 tahun keatas.
Menurut UU No. 4 Tahun 1965 pasal ,1 seorang dapat dikatakan jompo
atau lanjut usia apabila yang bersangkutan telah berumur 55 tahun, tidak
mempunyai atau tidak berdaya mencari nafkah sendiri untuk keperluan
hidupnya sehari-hari dan menerima nafkah dari orang lain. Sedangkan
menurut UU No. 13 tahun 1998, tentang kesejahteraan lansia bahwa lansia
adalah seseorang yang telah berumur 65 tahun keatas (Azizah,2011).
3. Lanjut Usia Sebagai Populasi Berisiko (Population At Risk) dan Populasi
Rentan (Vulnerable at Risk)
Konsep ini menjelaskan tentang populasi berisiko berkaitan dengan
kondisi biologic risk, social risk, economic risk, lifestyle risk dan life-event
risk dan populasi rentan meliputi status sosial ekonomi, usia, kesehatan, dan
pengalaman hidup.
a. Lansia Sebagai Populasi Beresiko (Population At Risk)
Proses menua (aging) adalah proses alami pada manusia yang
disertai dengan penurunan kondisi fisik, psikologis maupun sosial yang
saling berinteraksi satu sama lain (Wold, 2004; Stanhope & Lancaster,
2010; Mauk, 2010). Perubahan fisik merupakan bentuk nyata dari
proses menua yang dapat diamati secara langsung, dan terjadi pada
semua sistem dan terjadinya penurunan berbagai fungsi tubuh (Wold,
2004). Dampak proses menua yang dialami menjadikan lanjut usia
digolongkan sebagai kelompok berisiko.
Risiko adalah kondisi yang mempengaruhi kondisi seseorang
atau populasi untuk menjadi sakit atau sehat (Kaakinen, Hanson,
Birenbaum dalam Stanhope & Lancaster, 2010). Lansia sebagai
populasi berisiko memiliki beberapa faktor yang berpotensi
meningkatkan risiko penyakit kronis seperti penyakit hipertensi.
Populasi berisiko adalah populasi yang melakukan aktifitas atau
mempunyai karakteristik tertentu yang meningkatkan potensi mereka
menjadi sakit, cedera atau mendapatkan masalah kesehatan (Clement-
Stone, McGuire & Eigsti, 2009). Menurut Stanhope dan Lancaster
(2010), secara umum berisiko dikaitkan dengan kondisi biologis
(biologic risk), sosial (social risk), ekonomi (economic risk), gaya hidup
(lifestyle risk) dan peristiwa kehidupan (life-event risk) sebagai berikut:
1) Biologic risk
Risiko biologi merupakan faktor genetika atau kondisi
fisik tertentu yang berpeluang untuk terjadi risiko kesehatan.
Risiko ini adalah faktor yang berkontribusi terjadinya risiko
penyakit yang berasal dari faktor genetika atau fisik, misalnya
riwayat penyakit kardiovaskuler dalam keluarga. Proses menua
akan berakibat akan mengalami kemunduran kemampuan dan
perubahan fisik termasuk pada sistem kardiovaskuler yang akan
mengakibatkan terjadinya hipertensi. Hipertensi pada lansia
lebih banyak disebabkan oleh proses penuaan dan terjadinya
perubahan sistem kardiovaskuler baik struktur maupun
fungsinya.
2) Social risk
Risiko sosial seperti ketidakharmonisan dalam keluarga,
kriminalitas tinggi, lingkungan yang tercemar, kebisingan dan
tercemar zat kimia, kurang rekreasi dan tingginya tingkat stress
lingkungan serta sulitnya akses sumber kesehatan juga
berkontribusi terjadinya masalah kesehatan mempengaruhi dan
berkontribusi dalam stress pada lansia sehingga meningkatkan
tekanan darah (Black & Hawks, 2009).
3) Economic risk
Kemiskinan menyebabkan tidak seimbangnya antara
kebutuhan dan penghasilan sehingga menjadi faktor risiko untuk
terjadinya masalah kesehatan. Risiko ekonomi merupakan
hubungan antara sumber keuangan dengan kebutuhan.
Kebutuhan yang berhubungan dengan pemenuhan tempat
tinggal yang layak, pakaian, sandang, makanan dan pendidikan
serta perawatan kesehatan dapat dilakukan bila memiliki sumber
penghasilan yang baik. Umumnya lansia sudah mengalami
pengurangan sumber keuangan karena pensiun sehingga
memiliki risiko masalah ekonomi yang dapat mempengaruhi
status kesehatannya.
4) Life style risk
Gaya hidup yang berdampak terjadinya risiko adalah
keyakinan terhadap kesehatan, kebiasaan hidup sehat, pesepsi
sehat, pengaturan pola tidur, rencana aktivitas keluarga dan
norma perilaku berisiko. Lansia yang memiliki gaya hidup
kurang sehat misalnya kurang olahraga, merokok, pola diet yang
kurang sehat, mengkonsumsi alkohol berisiko mengalami
gangguan kesehatan seperti hipertensi.
5) Life event risk
Kejadian dalam kehidupan seperti kematian anggota
keluarga, kelahiran anak, tambah anggota keluarga/adopsi, dan
anggota keluarga yang meninggalkan keluarga inti (pendidikan,
bekerja, menikah) memiliki risiko terjadinya masalah kesehatan
pada lansia.
b. Lansia Sebagai Populasi Rentan (Vulnerable at Risk)
Flaskerud dan Winslow (1998, dalam Stanhope &
Lancaster, 2010) mengatakan bahwa kerentanan merupakan
hasil gabungan efek dari keterbatasan sumber keadaan tidak
sehat dan tingginya faktor risiko. Kerentanan juga menunjukkan
interaksi antara keterbatasan fisik dan sumber lingkungan,
sumber personal, dan sumber biopsikososial (Aday, 2001 dalam
Stanhope & Lancaster, 2010). Populasi rentan adalah populassi
yang lebih besar kemungkinannya untuk mengalami masalah
kesehatan akibat papran berbagai risiko daripada populasi yang
lainnya (Stanhope & Lancaster, 2010).
Penurunan fungsi pada lansia akibat proses menua
menempatkan lansia sebagai populasi rentan. Ada beberapa
faktor predisposisi yang menjadikan seseorang meningkat
kerentanannya. Bila lansia yang menderita hipertensi
mengalami PTSD, maka tekanan darahnya akan meningkat
karena stres emosional dapat menstimulasi sistem saraf
simpatis, yang menyebabkan konstriksi pebuluh darah dan
berakibat tekanan darah meningkat (Christensen, 2006).
Hipertensi pada lansia tidak dapat dipandang sebagai proses
yang normal, karena lanjut usia dengan penyakit kronis
hipertensi termasuk dalam populasi vulnerable (Stanhope &
Lancaster, 2010).
Penuaan yang menjadikan lansia rentan merupakan
faktor yang tidak dapat dihindari. Kerentanan juga berdampak
terhadap kondisi psikososial lansia, dimana dapat
mempengaruhi sikap atau kepribadian lansia. Menurut Stanhope
dan Lancaster (2010), faktor predisposisi yang membuat lansia
menjadi rentan meliputi status sosial ekonomi, usia, kesehatan,
dan pengalaman hidup, yang akan dijelaskan dalam uraian
berikut ini :
1) Status sosial ekonomi
Lansia biasanya telah mengalami masa pensiun,
produtifitasnya menurun, sehingga penghasilannya berkurang
atau tidak ada sama sekali. Bila lansia menjadi semakin miskin,
maka kerentanan akan meningkat yang membuatnya semakin
tidak berfungsi dimsyarakat. Lansia dengan status sosial
menengah keatas mempunyai status kesehatan yang lebih baik
dari pada lansia dengan status sosial ekonomi menengah ke
bawah. Penyakit yang diderita juga menunjukkan adanya
hubungan dengan status hubungan dengan status sosial
ekonomi. Misalnya penyakit jantung dan hipertensi banyak
diderita dari kalangan lansia menegah keatas, sedangkan TB
paru banyak diderira oleh lansia dengan status ekonomi
menengah ke bawah.
2) Usia
Beberapa indidvidu tertentu menjadi rentan pada usia
khusus karena interaksi antaras karakteristk perkembangan
kritis dan tekanan sosial ekonomi. Bertambahnya usia seseorang
maka kemungkinan terjadinya penurunan fungsi anatomi dan
fisiologi organ semakin besar. Oleh karena itu akibat proses
menua perawatan pada lansia jug mengalami perubahan yang
disebabkan oleh perubahan anatomi dan fisiologi, berbagai
penyakit dan kelainan patologis dan pengaruh psiko-sosio pada
fungsi organ (Darmojo & martno, 2001). Beberapa penyakit
akibat proses menua adalah alzheimer, parkinson, demensia,
stroke dan osteoporosis. Selain itu, lansia juga berisiko
mengalami penyakit kronis, seperti peyakit kardiovaskuler,
kanker, artirtis, reumatik, diabetes, dan sebagainya, yang
semunya dikaitkan dengan proes penuaan (Lueckenotte, 2005).
3) Kesehatan
Gangguan pada status fisiologis menjadikan individu
menjadi rentan. Lansia mengalami kerentanan karena
bertambahnya usia dan berbagai penyakit kronis yang
dialaminya. Gaya hidup juga berpengaruh terhadap kesehatan
lansia. Salah satu gaya hidup yang umum pada lansia adalah
jarang braktifitas fisik karen penurunan fungsi utuh dan adanya
berbagai masalah kesehatan. Padahal aktifitas fisik merupakan
salah satu kebutuhan dalam rutinitas kehidupan sehari-hari
lansia yang dapat memperlambat turunnya densitas tulang dan
meningkatkan ukuran dan kekuatan otot, termasuk jantung
(Kressing & Echt, 2002 dalam Allender & Spardley, 2005).
4) Pengalaman hidup
Pengalaman hidup mempengaruhi perkembangan
kerentanan psikologis. Populasi rentan sering megalami external
locus of control. Mereka percaya bahwa semua yang dialami
adalah diluar kontrol mereka dan akibat dari nasib buruk.
Kondisi ini membuat mereka sulit untuk berinisiatif mencari
bantuan perawatan masalah kesehatannya.
Berbagai faktor predisposisi dan dampak dari
kerentanan membentuk suatu cycle of vulnerability, yang
membuat lansia semakin mengalami dampak buruk (Stanhope
& Lancaster, 2010). Jika siklus ini tidak diputus akan sulit bagi
lansia untuk memperbaiki status esehatannya. Menurut Mars
(2007), juga menyatakan adanya peningkatan kebutuhan
ditujukan pada munculnya masalah struktural dihubungkan
dengan kerentanan lansia, dan untuk mencegah onset masalah
yang terkait dimaa yang akan datang. Oleh karena itu, lansia
memerlukan asuhan keperawatan komunitas yang berkelanjutan
melalui upaya preventif, kuratif dan rehabilitatif (Swanson &
Nies, 1997: Stanhope & Lancaster, 2010).
4. Konsep Menua
Menua didefinisikan sebagai perubahan progresif pada
organisme yang telah mencapai kematangan intrinsik dan bersifat
irreversibel serta menunjukkan adanya kemunduran sejalan dengan
waktu. Proses alami yang disertai dengan adanya penurunan kondisi
fisik, psikologis maupun sosial akan saling berinteraksi satu sama lain.
Proses menua yang terjadi pada lansia secara linier dapat digambarkan
melalui tiga tahap yaitu, kelemahan (impairment), keterbatasan
fungsional (functional limitations), ketidakmampuan (disability) dan
keterhambatan (handicap) yang akan dialami bersamaan dengan proses
kemunduran (Santi, 2009).
5. Proses Menua
Proses menua (aging) adalah proses alami pada manusia yang
disertai dengan penurunan kondisi fisik, psikologis ataupun sosial yang
saling berinteraksi satu sama lain. Keadaan tersebut berisiko
menimbulkan masalah kesehatan secara umum dan kesehatan mental
secara khusus, serta masalah lain pada lansia. Selain masalah fisik,
secara umum lansia juga banyak mengalami masalah ekonomi maupun
masalah psikologis terkait hubungan dengan keluarganya. Bahkan
beberapa lansia mengalami depresi karena ketidaksiapan mental
memasuki masa lansia. Penyakit kronis yang biasanya diderita oleh
lansia juga meningkatkan kerentanan (Hitchock, Schubert, & Thomas,
2007).
Pada hakekatnya menjadi tua merupakan proses alamiah yang
berarti seseorang telah melalui tiga tahap kehidupannya yaitu masa
anak, masa dewasa dan masa tua (Nugroho, 2006). Tiga tahap ini
berbeda baik secara biologis maupun psikologis. Memasuki masa tua
berarti mengalami kemuduran secara fisik maupun psikis. Kemunduran
fisik ditandai dengan kulit yang mengendor, rambut memutih,
penurunan pendengaran, penglihatan memburuk, gerakan lambat,
kelainan berbagai fungsi organ vital, sensitivitas emosional meningkat
dan kurang gairah.
Meskipun secara alamiah terjadi penurunan fungsi berbagai
organ, tetapi tidak harus menimbulkan penyakit oleh karenanya usia
lanjut harus sehat. Sehat dalam hal ini diartikan: bebas dari penyakit
fisik, mental dan sosial, mampu melakukan aktivitas untuk memenuhi
kebutuhan sehari – hari, dan mendapat dukungan secara sosial dari
keluarga dan masyarakat (Rahardjo, 2007). Akibat perkembangan usia,
lanjut usia mengalami perubahan – perubahan yang menuntut dirinya
untuk menyesuakan diri secara terus – menerus. Apabila proses
penyesuaian diri dengan lingkungannya kurang berhasil maka timbul
lah berbagai masalah.
Lanjut usia juga mengalami perubahan dalam minat. Pertama
minat terhadap diri makin bertambah. Kedua minat terhadap
penampilan semakin berkurang. Ketiga minat terhadap uang semakin
meningkat, terakhir minta terhadap kegiatan – kegiatan rekreasi tak
berubah hanya cenderung menyempit. Untuk itu diperlukan motivasi
yang tinggi pada diri usia lanjut untuk selalu menjaga kebugaran
fisiknya agar tetap sehat secara fisik. Motivasi tersebut diperlukan untuk
melakukan latihan fisik secara benar dan teratur untuk meningkatkan
kebugaran fisiknya.
6. Perubahan Proses Menua
Pada usia lanjut terjadi proses penuaan secara alami dan setiap
individu mengalami proses tersebut secara berbeda-beda. Walaupun
idividu memiliki usia kronologi yang sama, namun setiap individu
memiliki proses menua yang tidak sama dalam level fungsi organ.
Semakin bertambahnya umur seorang manusia, akan terjadi proses
penuaan secara degenerative yang akan terjadi perubahan-perubahan
pada diri manusia (Azizah, 2011).
a. Perubahan fisik
Meliputi perubahan dari tingkat sel sampai ke semua
sistem organ tubuh diantaranya sistem pernafasan, pendengaran,
penglihatan, kardiovaskuler, sistem pengaturan temperatur
tubuh, sistem respirasi, muskuloskletal, gastrointestinal,
genitourinaria, endokrin dan integumen. Kemunduran fisik
ditandai dengan kulit yang mengendor, rambut memutih,
penurunan pendengaran, penglihatan memburuk, gerakan
lambat, kelainan berbagai fungsi organ vital, sensitivitas
emosional meningkat dan kurang gairah.
Penyakit kardiovaskuler sangat rentan menyerang pada
lanjut usia, walaupun penyakit tersebut biasanya terjadi karena
gaya hidup yang tidak sehat dan faktor keturunan. Penyakit
kardiovaskuler biasanya karena serangan pada pembuluh darah
jantung. Penyakit kardiovaskuler yang sering dijumpai pada
lansia yaitu penyakit jantung koroner, hipertensi, serangan
jantung, dan nyeri dada (Wahyunita, 2010).
Pada orang lanjut usia, umumnya besar jantung akan
mengalami perubahan yaitu mengecil, biasanya rongga balik
kiri yang pertama kali akan mengalami penurunan fungsinya ini
disebabkan karena kurangnya aktivitas atau penurunan aktivitas.
Tidak hanya itu otot-otot jantung juga mengalami penurunan.
Pada lanjut usia tekanan darah akan naik secara bertingkat
dimana elastisitas jantung akan menurun (Nugroho, 2000). Pada
lanjut usia sering dijumpai penyakit tekanan darah tinggi atau
yang disebut hipertensi (Setiawan, Tarwoto, & Wartonah,
2009).
b. Perubahan mental
Perubahan kepribadian pada lansia biasanya tidak
nampak secara drastis melainkan lebih sering lansia
mengungkapan secara tulus mengenai keadaannya, meskipun
kadang ada kekakuan dalam mengungkapkan perasaannya. Pada
lansia biasanya akan memiliki daya ingat yang baik mengenai
masalahnya, sedangkan ingatan jangka pendeknya akan sedikit
terganggu. Lansia juga akan mengalami perubahan penampilan,
persepsi dan daya membayangkan karena tekanan-tekanan dari
faktor waktu.
c. Perubahan psikososial
Perubahan psikososial yang dialami lansia yaitu, lansia
akan mengalami yang namanya pensiun, lansia akan mulai
kehilangan pekerjaan, finansial, status, dan teman. Tidak hanya
itu lansia juga akan merasakan akan datangnya kematian,
perubahan dalam cara hidup, penyakit kronis dan
ketidakmampuan, gangguan gizi, kehilangan anggota keluarga,
serta hilanggnya kekuatan dan ketegapan fisik.
7. Pengertian Hipertensi
Hipertensi pada lansia merupakan kondisi dimana tekanan
sistolik sama dengan 160 mmHg atau lebih dan tekanan diastolik sama
dengan 90 mmHg atau lebih (Smeltzer dan Bare, 2002).
Hipertensi dicirikan dengan peningkatan tekanan darah diastolik
dan sistolik yang intermiten atau menetap. Pengukuran tekanan darah
serial 150/95 mmHg atau lebih tinggi pada orang yang berusia diatas 50
tahun memastikan hipertensi. Insiden hipertensi meningkat seiring
bertambahnya usia (Stockslager , 2008).
Hipertensi dapat didefinisikan sebagai tekanan darah persisten
dimana tekanan sistoliknya di atas 140 mmHg dan diastolik di atas 90
mmHg. Pada populasi lansia, hipertensi didefinisikan sebagai tekanan
sistolik 160 mmHg dan tekanan diastolik 90 mmHg (Rohaendi, 2008).
8. Penyebab Hipertensi
Beberapa faktor yang menyebabakan lansia menagalami
hipertensi yaitu pola nutrisi pada lansia yang tidak adekuat, penurunan
persepsi sensori rasa, fungsi psikologi pada lansia, stress adalah hal
yang sering muncul pada lansia, dengan timulnya stress akan menjadi
faktor pencetus tekanan darah tinggi. Beberapa faktor yang
mempengaruhi kejadian hipertensi yaitu riwayat keluarga, obesitas, ras,
kebiasaan merokok, stress, asupan natrium yang berlebihan, konsumsi
alkohol, pola makan yang tidak baik, kurangnya olahraga, dan akibat
dari penyakit lain seperti diabetes militus, arterisklerosis, dan gagal
ginjal akut atau kronik (Kowalak, 2011).
9. Pencegahan pada Hipertensi
Hipertensi merupakan faktor utama terjadinya penyakit
kardiovaskuler sehingga sangat berbahaya apabila tidak segera
dilakukan penanganan atau pencegahan secara dini mengenai penyakit
hipertensi. ada tiga cara pencegahan penyakit hipertensi yaitu:
a. Pencegahan primer
Pencegahan ini lebih berpusat terhadap diri sendiri yaitu
memanfaatkan potensi yang adadalam diri sendir, pencegahan
ini diantaranya mempertahankan berat badan, diet rendah
garam, pengurangan stress, melakukan terapi modalitas dan
latihan aerobik secara teratur.
b. Pencegahan sekunder
Pencegahan ini membutuhkan bantuan tenaga kesehatan
dimana tenaga kesehatan disini melakukan mengkaji riwayat
dan pengkajian fisik. Pengkajian riwayat meliputi pertanyaan
yang biasanya diderita orang hipertensi seperti rasa pusing, dada
berdebar- debar, dan sering kencing. Sementara mengenai
pengkajian fisik meliputi pengkajian perfusi jaringan ke otak
apabila tidak baik akan muncul perubahan perilaku yang dapat
diobsevasi seperti gelisah, bingung, dan jatuh, pengkajian
edema, edema yang berasal dari penyakit jantung merupakan
edema yang lembut dan pitting edema, auskultasi bunyi jantung,
apakah ada suara tambahan meskipun sulit biasanya
mendengarkan bunyi suara jantung pada lansia karena
perubahan emfisema senilis pada dinding dada, dan yang
terakhir yaitu pengukuran tekanan darah secara teratur.
c. Pencegahan tersier
Pencegahan ini dimulai dari pengkajian personal klien
dan mengkaji faktor resiko yang dapat dirubah, perawat perlu
menerima hak klien untuk memilih dengan tidak mengubah
kebiasaan tertentu yang telah dilakukan sepanjang hidupnya
seperti merokok atau makan-makan tinggi lemak perawat
memiliki tanggung jawab untuk menjelaskan dan mengajarkan
isi yang dilakukan perubahan agar muda di pahami klien.
Pengatuhan klien tentang obat-obatan, diet, dan rencana latihan
harus dikaji dan ditambahkan sesuai kebutuhan. Perawat harus
mengkaji kebutuhan klien untuk bantuan baik membutuhkan
bantuan dari keluarga, teman atau kelompok masyarakat tertentu
(Stanley & Beare, 2007).
10. Penatalaksanan Hipertensi
Penatalaksanaan keperawatan pada lansia selama situasi akut
dan situasi yang mengancam kehidupan dapt dogolongkan menjadi 2
pendekatan yaitu mengurangi beban jantung dan peningkatan fungsi
jantung (Stanley & Beare, 2007).
Mengurangi beban kerja jantung dapat dilakukan dengan cara
menyeimbangkan istirahat dan aktivitas sehingga dapat
mempertahankan tonus otot dan penggunaan oksigen secara efisien.
Mencapai keseimbangan ini aktivitas harus terjadwal sepanjang hari.
Pemberian oksigen juga dapat juga dapat mengurangi beban jantung
karena akan terjadi peningkatan oksigen yang dibawa hemoglobin ke
seluruh tubuh. Tindakan untuk mengurangi ansietas juga dapat
mengurangi kerja beban jantung. Pembatasan cairan dan natrium atau
pemberian deuretik sehingga volume darah yang dipompa jantung
berkurang.
Upaya keperawatan untuk meningkatkan kontraktilitas
termasuk memantau keseimbangan elektrolit dan memberikan
suplemen yang diperlukan, memastikan keadekuatan aliran balik darah
vena melalui pemantauan tekanan darah dan keseimbangan cairan
secara hati-hati dan memberikan obat-obat kardiotonik seperti preparat
digitalis. Perawat harus hati-hati dalam memberikan obat dan efek
sampingnya. Ahli geriatik sering memberikan dosis satu kali sehari dan
dosis geriatrik untuk meminimalisir keracunan pada lansia. Obat-obat
yang mungkin diresepkan bersama digoksin yaitu Quinidin, Varapamil,
dan nifedipin.