Anda di halaman 1dari 14

BAB I

LATAR BELAKANG

Kegawatdaruratan psikiatri merupakan cabang dari Ilmu Kedokteran Jiwa dan


Kedokteran Kedaruratan, yang dibuat untuk menghadapi kasus kedaruratan yang
memerlukan intervensi psikiatrik.1 Kegawatdaruratan psikiatri telah menjadi
subspesialisasi psikiatri umum yang memerlukan keterampilan khusus untuk
menghadapi situasi yang sering memerlukan intervensi terapeutik segera. Lingkup
kegawatdaruratan psikiatri yang meluas berada di luar praktik psikiatri umum,
mencakup masalah-masalah khusus seperti penyalahgunaan zat, penganiayaan anak
dan pasangan: kekerasan bunuh diri, pembunuhan, dan perkosaan; dan masalah-
masalah social seperti gelandangan, penuaan, kompetensi, dan acquired immune
deficiency syndrome (AIDS). Psikiater dawat darurat harus selalu up-to-date
mengenai masalah medikolegal dan perawatan yang baik.2
Potensi kesalahan terbesar di dalam psikiatri ruang kegawatdaruratan adalah
mengabaikan penyakit fisik sebagai penyebab penyakit emosional. Trauma kepala,
penyakit medis, penyalahgunaan zat (termasuk alcohol, penyakit serebrovaskular,
kelainan metabolic, dan obat-obatan semuanya dapat menyebabkan perilaku
abnormal, dan psikiater harus membuat riwayat medis yang berpusat pada area-area
ini.2
Suatu kisaran luas keadaan menyebabkan kunjungan ke ruang
kegawatdarutan. Keluhan yang paling lazim adalah depresi (terutama dengan gagasan
bunuh diri) dan ansietas. Pola perilaku yang paling lazim adalah tindakan menyerang
atau kekerasan, percobaan bunuh diri, dan perilaku kacau yang biasanya terkait
dengan skizofrenia, gangguan bipolar, atau penyalahgunaan zat.2
Emergensi psikiatri dapat terjadi di rumah, di jalan, di kantor, di Unit Jiwa, di
Unit Penyakit medis umum, Unit Bedah, di RSU, atau bahkan di unit emergensi
sekalipun. Situasi kedaruratan dapat berupa ancaman segera terhadap kehidupan,
kesehatan, harta benda atau lingkungan; kehilangan kehidupan, gangguan kesehatan,

1
kerusakan harta benda dan lingkungan; dan cenderung peningkatan bahaya yang
tinggi dan segera terhadap kehidupan, kesehatan, harta benda atau lingkungan.3
Pedoman Penatalaksaan Kegawat daruratan psikiatrik untuk RSU kelas (1999)
Direktur jendral pelayanan medis kondisi kegawatdaruratan psikiatrik antara lain
gaduh gelisah dan tindak kekerasan; percobaan bunuh diri; gawat darurat akibat
gangguan penggunaan zat; delirium; sindrom neuroleptik maligna; gangguan stres
pasca trauma; korban pemerkosaan dan kekerasan seksual; penganiayaan
anak/remaja; dan lain-lain.3

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

1. KEGAWATDARURATAN PSIKIATRI

Kegawatdaruratan psikiatrik merupakan aplikasi penanganan klinis terkait


dengan penanganan darurat pada pasien dengan gangguan jiwa. Para professional
yang bekerja pada pelayanan kegawatdaruratan psikiatrik umumnya beresiko tinggi
mendapatkan kekerasan akibat keadaan mental pasien mereka.4

Tempat pelayanan kedaruratan psikiatri antara lain di rumah sakit umum,


rumah sakit jiwa, klinik dan sentra primer. Kasus kedaruratan psikiatrik meliputi
gangguan pikiran, perasaan dan perilaku yang memerlukan intervensi terapeutik
segera, antara lain:1

- Kondisi gaduh gelisah


- Tindak kekerasan (violence)
- Tentamen Suicidum/percobaan bunuh diri
- Gejala ekstra piramidal akibat penggunaan obat
- Delirium

2. EPIDEMIOLOGI

Ruang kegawatdaruratan psikiatri sama-sama digunakan oleh laki-laki dan


perempuan dan lebih banyak digunakan oleh lajang dibandingkan dengan orang yang
telah menikah. Kira-kira 20% pasien ini melakukan bunuh diri dan kira-kira 10%
melakukan kekerasan.2

Pada laki-laki prevalensi bunuh diri tiga kali lebih sering dibandingkan
dengan wanita, karena lakilaki lebih sering menggunakan alat yang lebih efektif
untuk bunuh diri seperti pistol, menggantung diri, atau lompat dari gedung yang
tinggi. Sedangkan wanita lebih sering menggunakan zat psikoaktif overdosis atau
racun. Selain itu wanita lebih sering memilih cara menyelamatkan dirinya sendiri atau

3
diselamatkan orang lain. Berdasarkan data dari WHO (2003), didapatkan bahwa satu
juta orang bunuh diri dalam setiap tahunnya atau setiap detik 40. Bunuh diri juga satu
dari penyebab utama kematian pada usia 15-34 tahun selain faktor kecelakaan.5

A. Keadaan Gaduh Gelisah


Keadaan gaduh gelisah bukanlah diagnosis dalam arti kata sebenarnya, tetapi
hanya menunjuk pada suatu keadaan tertentu, suatu sindrom dengan sekelompok
gejala tertentu. Keadaan gaduh gelisah dipakai sebagai sebutan sementara untuk suatu
gambaran psikopatologis dengan ciri-ciri utama gaduh dan gelisah.1

 Etiologi
Keadaan gaduh gelisah merupakan manifestasi klinis salah satu jenis psikosis:
delirium, skizofrenia katatonik, gangguan skizotipal, gangguan psikotik akut dan
sementara, gangguan afektif bipolar, episode kini manik dengan gejala psikotik,
amok.1

 Tatalaksana
Bila seorang dalam keadaan gaduh gelisah dibawa kepada kita, penting sekali
kita harus bersikap tenang. Bila pasien masih diikat, sebaiknya ikatan itu disuruh
dibuka sambil tetap berbicara dengan pasien dengan beberapa orang memegangnya
agar ia tidak mengamuk lagi. Biarpun pasien masih tetap dipegang dan dikekang, kita
berusaha memeriksanya secara fisik. Sedapat-dapatnya tentu perlu ditentukan
penyebab keadaan gaduh gelisah itu dan mengobatinya secara etiologis bila mungkin.
Suntikan intramuskular suatu neuroleptikum yang mempunyai dosis terapeutik tinggi
(misalnya chlorpromazine HCL), pada umumnya sangat berguna untuk
mengendalikan psikomotorik yang meningkat. Bila tidak terdapat, maka suntikan
neuroleptikum yang mempunyai dosis terapeurik rendah, misalnya trifluoperazine,
haloperidol (5 – 10 mg), atau fluophenazine dapat juga dipakai. Bila tidak ada juga,
maka suatu tranquailaizer pun dapat dipakai, misalnya diazepam (5 – 10 mg),
disuntik secara intravena, dengan mengingat bahwa tranquilaizer bukan suatu

4
antipsikotikum seperti neuroleptika, meskipun kedua-duanya mempunyai efek
antitegang, anticemas dan antiagitasi.1
Penjagaan dan perawatan yang baik tentu juga perlu, mula-mula agar ia
jangan mengalami kecelakaan, melukai diri sendiri, menyerang orang lain atau
merusak barang-barang. Bila pasien sudah tenang dan mulai kooperatif, maka
pengobatan dengan neuroleptika dilanjutkan per oral (bila perlu suntikan juga dapat
diteruskan). Pemberian makanan dan cairan juga harus memadai sambil mencari
penyebabnya, bila belum diketahui, terutama bila diduga suatu sindrom otak organik
yang akut. Bila ditemukan, tentu diusahakan untuk mengobatinya secara etiologis.1

B. Tindak Kekerasan
Violence atau tindak kekerasan adalah agresi fisik yang dilakukan oleh
seseorang terhadap orang lain. Jika hal itu diarahkan kepada dirinya sendiri, disebut
mutilasi diri atau tingkah laku bunuh diri.2
 Gambaran klinis dan diagnosis
Gangguan psikiatrik yang sering berkaitan dengan tindak kekerasan mencakup:2
- gangguan psikotik yaitu skizofrenia dan mania (terutama jika pasien paranoid
atau mengalami halusinasi yang bersifat perintah),
- intoksikasi alkohol dan obat-obatan,
- putus alkohol dan hipnotik sedatif,
- kegairahan katatonik,
- depresi teragitasi,
- gangguan kepribadian ditandai dengan kemarahan atau pengendalian impuls
yang buruk, dan
- gangguan organik.

Faktor resiko lainnya adalah pernyataan rencana, rencana yang spesifik,


ketersediaan alat kekerasan, jenis kelamin laki-laki, usia muda (15 sampai 24
tahun),stasus sosioekonomi rendah, sistem dukungan sosial yang buruk, riwayat

5
kekerasan, tindakan antisosial lainnya, pengendalian impuls yang buruk, riwayat
percobaan bunuh diri, dan stresor baru-baru ini.2

 Panduan wawancara dan psikoterapi1


- Bersikaplah suportif dan tidak mengancam, tegas dan berikan batasan yang
jelas bahwa kalau perlu pasien dapat diikat (physical restraints). Tentukan
batasan itu dengan memberikan pilihan (misalnya pilih obat atau diikat), dan
bukan dengan menyuruh pasien secara provokatif: “minum tablet ini
sekarang”
- Katakan langsung kepada pasien bahwa tindak kekerasan tidak dapat
diterima,
- Tenangkan pasien bahwa ia aman di sini. Tunjukkan dan tularkan sikap
tenang dan penuh kontrol.
- Tawarkan obat kepada pasien untuk membantunya lebih tenang.

 Evaluasi dan terapi


Klinisi harus mewaspadai tanda-tanda akan terjadinya kekerasan seperti:2
- menggemeretakkan gigi dan mengepalkan tangan, ancaman verbal
(mengancam),
- ketersediaan senjata atau objek yang berpotensi digunakan untuk senjata,
- agitasi psikomotor,
- intoksikasi alkohol atau obat,
- waham paranoid, dan
- halusinasi perintah.

Terapi obat tergantung diagnosisnya. Biasanya untuk menenagkan pasien


diberikan obat antipsikotik atau benzodiazepin:1
- Flufenazine, trifluoperazine atau haloperidol 5mg per oral atau IM,
- Olanzapine 2,5-10 mg per IM, maksimal 4 injeksi per hari, dengan dosis
rata-rata per hari 13-14mg,

6
- Atau lorazepam 2-4 mg, diazepam 5-10mg per IV secara pelahan (dalam 2
menit).

Obat antispikotik dapat diberikan dengan cepat pada interval 30 hingga 60 menit
untuk memperoleh hasil terapeutik yang paling cepat. Prosedur ini berguna untuk
pasien dengan agitasi dan berada dalam keadaan tereksitasi.2

C. Bunuh diri (suicide)/ Tentamen Suicidum


Bunuh diri merupakan suatu kegawatdaruratan psikiatri yang merupakan
tindakan destruktif yang dapat merusak intergritas diri. Bunuh diri yakni suatu upaya
yang disadari dan bertujuan untuk mengakhiri kehidupan individu secara sadar
berhasrat dan berupaya melaksanakan hasratnya untuk mati. Perilaku-perilaku bunuh
diri dapat berupa isyarat-isyarat, percobaan atau ancaman verbal yang mengakibatkan
kematian, luka atau menyakiti diri sendiri. Bunuh diri (dalam bahasa Inggris: suicide;
dalam budaya Jepang dikenal istilah harakiri). Alasan atau motif bunuh diri
bermacam-macam namun biasanya didasari oleh rasa bersalah yang sangat besar
karena merasa gagal untuk mencapai suatu harapan.5

Terdapat beberapa istilah bunuh diri yaitu:5


- Suicide idea yaitu pikiran/ide untuk menghabisi nyawanya sendiri,
- Tentamen suicidium yaitu upaya untuk menghabisi nyawa sendiri tetapi tidak
mengakibatkan kematian,
- Suicidal behavioral yaitu perilaku yang membahaykan diri sendiri, contoh
mutilasi diri,
- Masced suice yaitu bunuh diri tidak langsung/ terselubung.

 Etiologi
- Faktor genetik: Faktor genetik mempengaruhi terjadinya resiko bunuh diri
pada keturunannya. Lebih sering terjadi pada kembar monozygot dari pada

7
kembar dizygot. Disamping itu ada penurunan serotonin yang dapat
menyebabkan depresi yang berkontribusi terjadinya resiko bunuh diri.5
- Faktor biologis: Biasanya berhubungan dengan keadaan-keadaan tertentu
seperti penyakit kronis/kondisi medis tertentu, misalnya stroke, gangguan
kerusakan kognitif (dimensia), diabetes, penyakit arteri koronaria, kanker,
HIV/AIDS, dan lain-lain.5
- Faktor psikososial dan lingkungan: (a) Teori psikoanalitik/psikodinamika:
Dalam teori Freud, Sigmund Freud dan Karl Menninger meyakini bahwa
bunuh diri merupakan hasil dari marah yang diarahkan pada diri sendiri,
yaitu bahwa kehilangan objek berkaitan dengan agresi dan kemarahan,
perasaan negative terhadap diri sendiri dan terakhir depresi, (b) Teori
perilaku kognitif: Beck menyatakan bahwa adanya pola kognitif negative
yang berkembang, memandang rendah diri sendiri.5
- Stressor lingkungan: Kehilangan anggota keluarga, penipuan, kuranganya
system dukungan sosial.5

 Faktor Risiko
Berikut ini faktor-faktor resiko untuk bunuh diri:2
- Jenis kelamin
Perempuan lebih banyak melakukan percobaan bunuh diri dibanding laki-
laki. Akan tetapi, keberhasilan bunuh diri lebih tinggi pada laki-laki. Hal ini
berkaitan dengan metode bunuh diri yang dipilih.
- Usia
Kasus bunuh diri meningkat seiring dengan bertambahnya usia. Pada laki-
laki, angka bunuh diri tertinggi pada usia di atas 45 tahun sedangkan pada
perempuan angka bunuh diri tertinggi pada usia di atas 55 tahun. Orang yang
lebih tua lebih jarang melakukan percobaan bunuh diri, tetapi lebih sering
berhasil.

8
- Ras
Di Amerika Serikat ras kulit putih lebih banyak melakukan bunuh diri
dibanding ras kulit hitam.
- Status perkawinan
Pernikahan menurunkan angka bunuh diri, terutama jika terdapat anak di
rumah. Orang yang tidak pernah menikah dua kali lebih beresiko untuk
bunuh diri. Perceraian meningkatkan resiko bunuh diri. Janda atau duda
yang pasangannya telah meninggal juga memiliki angka bunuh diri yang
tinggi.
- Pekerjaan
Semakin tinggi status sosial semakin tinggi resiko bunuh diri, tetapi status
sosial yang rendah juga meningkatkan resiko bunuh diri. Pekerjaan sebagai
dokter memiliki resiko bunuh diri tertinggi dibanding pekerjaan lain.
Spesialisasi psikiatri memiliki resiko tertinggi, disusul spesialis mata dan
spesialis anestesi. Pekerjaan lain yang memiliki resiko tinggi untuk bunuh
diri adalah pengacara, artis, dokter gigi, polisi, montir, agen asuransi. Orang
yang tidak memiliki pekerjaan memiliki resiko lebih tinggi untuk bunuh diri.
- Kesehatan fisik
Satu dari tiga orang yang melakukan bunuh diri memiliki masalah kesehatan
dalam 6 bulan sebelum bunuh diri. Hilangnya mobilitas fisik, nyeri hebat
yang kronik, pasien hemodialisis meningkatkan resiko bunuh diri.
- Gangguan mental
Sekitar 95% dari semua orang yang mencoba atau melakukan bunuh diri
memiliki gangguan mental. Gangguan mental tersebut terdiri dari depresi
80%, skizofrenia 10%, dan demensia atau delirium 5%. Di antara semua
pasien dengan gangguan mental, 25% kecanduan juga kepada alkohol.
- Kecanduan alkohol
Sekitar 15% pasien kecanduan alkohol melakukan bunuh diri. Sekitar 80%
pasien bunuh diri akibat kecanduan alkohol adalah laki-laki. Sekitar 50%

9
dari pasien kecanduan alkohol yang bunuh diri mengalami kehilangan
anggota keluarga atau pasangan dalam satu tahun terakhir.
- Gangguan kepribadian
Sebagian besar orang yang bunuh diri memiliki gangguan kepribadian.
Gangguan kepribadian merupakan faktor predisposisi untuk gangguan
depresi. Selain itu juga merupakan faktor predisposisi untuk kecanduan
alkohol. Gangguan kepribadian juga dapat menyebabkan konflik dengan
keluarga dan orang lain.

Berdasarkan Stuart dan Sundeen, etiologi bunuh diri dapat digolongkan dalam faktor
predisposisi dan presipitasi:5
- Faktor predisposisi: Diagnostik lebih dari 90% orang dewasa yang mengakhiri
hidupnya dengan bunuh diri mempunyai hubungan dengan gangguan jiwa.
Faktor predisposisi meliputi sifat kepribadian (impulsive, bermusuhan dan
depresi), lingkungan psikososial, riwayat keluarga dan factor biokomia.
- Faktor presipitasi: Beberapa factor presipitasi yang berkaitan dengan buuh diri
adalah perasaan terisolasi karena kehilangan hubungan interpersonal/gagal
melakukan hubungan yang berarti, kegagalan beradaptasi, perasaan
marah/bermusuhan, dan cara mengakhiri keputusasaan.

Ada macam-macam pembagian bunuh-diri dan percobaan bunuh-diri. Pembagian


Emile Durkheim masih dapat dipakai karena praktis, yaitu:1

- Bunuh diri egoistik

Individu ini tidak mampu berintegrasi dengan masyarakat. Hal ini disebabkan
oleh kondisi kebudayaan atau karena masyarakat yang menjadi individu itu
seolah-olah tidak berkepribadian. Kegagalan integrasi dalam keluarga dapat
menerangkan mengapa mereka tidak menikah lebih rentan untuk melakukan
percobaan bunuh diri dibandingkan dengan mereka yang menikah. Masyarakat

10
daerah pedesaan mempunyai integrasi social yang lebih baik dari pada daerah
perkotaan, sehingga angka suiside juga lebih sedikit.

- Bunuh diri altruistik

Individu itu terikat pada tuntutan tradisi khusus ataupun ia cenderung untuk
bunuh diri karena identifikasi terlalu kuat dengan suatu kelompok, ia merasa
bahwa kelompok tersebut sangat mengharapkannya. Contoh: “Hara-kiri: di
Jepang, “puputan” di Bali beberapa ratus tahun yang lalu, dan di beberapa
masyarakat primitive yang lain. Suiside macam ini dalam jaman sekarang jarang
terjadi, seperti misalnya seorang kapten yang menolak meninggalkan kapalnya
yang sedang tenggelam.

- Bunuh diri anomik

Hal ini terjadi bila tedapat gangguan keseimbangan integrasi antara individu
dengan masyarakat, sehingga individu tersebut meningglakan norma-norma
kelakuan yang biasa. Individu itu kehilangan pegangan dan tujuan. Masyarakat
atau kelompoknya tidak dapat memberikan kepuasan kepadanya karena tidak ada
pengaturan dan pengawasan terhadap kebutuhan-kebutuhannya. Hal ini
menerangkan mengapa percobaan bunuh diri pada orang cerai pernikahan lebih
banyak dari pada mereka yang tetap dalam pernikahan. Golongan manusia yang
mengalami perubahan ekonomi yang drastis juga lebih mudah melakukan
percobaan bunuh diri.

 Manifestasi Klinis
Mood/efek depresi yang persisten, merasa hopelessness, helplessness,
isolation, sedih, merasa menjauh dari orang lain, efek datar, sering mendengar atau
melihat bunyi yang sedih, membenci diri sendiri, merasa dihina, mengharapkan untuk
dihukum.5
Perilaku/behavior. Perubahan pada penampilan fisik, kehilangan fungsi, tak
berdaya seperti tidak intrest, kurang mendengarkan, gangguan tidur, sensitive,

11
mengeluh sakit perut, kepala sakit, perilaku anti sosial: menolak untuk minum,
menggunakan obat-obatan, berkelahi, lari dari rumah.5
Sekolah, lingkungan kerja dan hubungan interpersonal. Menolak untuk ke
sekolah, bolos dari sekolah, kegiatan-kegiatan sekolah. Begitu juga dengan orang
dewasa dalam lingkungan kerjanya.5
Keterampilan koping. Kehilangan batas realita, menarik dan mengisolasikan
diri, tidak menggunakan support sistem, melihat diri sebagai orang yang secara total
tidak berdaya/tidak mampu.5

Tabel 1. Perbedaan antara percobaan bunuh diri dan bunuh diri5


Percobaan Bunuh Diri Bunuh Diri
Umumnya terjadi pada semua kelompok usia Terjadi pada usia dewasa dan usia lanjut
Lebih umum terjadi pada wanita muda yang Lebih umum terjadi pada pria (lebih banyak
tidak menikah pada bujangan, bercerai atau duda)
Bersifat ambivalen (mendua) Bersifat tegas

Menggunakan metode yang tidak mematikan Menggunakan metode yang lebih mematikan
Berkaitan dengan perilaku untuk menarik Menggunakan metode yang lebih mematikan
perhatian
Cara yang sering dipakai adalah dengan Cara yang sering dipakai adalah
meminum racun menggantung diri, minum racun, atau
membakar diri
Stressor sering kali berupa konflik Stressor bervariasi meliputi sakit stadium
interpersonal atau konflik dalam keluarga terminal dan faktor ekonomi

 Panduan Wawancara dan Psikoterapi1


- Pada waktu wawancaa, pasien mungkin secara spontan menjelaskan adanya
ide bunuh diri. Bila tidak, tanyakan langsung.
- Mulailah dengan menanyakan:
“Apakah anda pernah merasa ingin menyerah saja?”
“Apakah anda pernah merasa bahwa lebih baik kalau anda mati saja?”
- Tanyakan isi pikiran pasien:
“Berapa sering pikiran ini muncul?”
“Apakah pikiran tentang bunuh diri ini meningkat?”

12
- Selidiki :
“Apakah pasien bisa mendapatkan alat dan cara untuk melaukan rencana
bunuh dirinya?”
“Apakah mereka sudah mengambil langkah aktif, misalnya mengumpulkan
obat?”
“Seberapa pesimiskah mereka?”
“Apakah mereka bisa memikirkan bahwa kehidupannya akan membaik?”

Tabel 2. Instrument yang biasa dipakai untuk menentukan resiko klien melakukan
bunuh diri diantaranya dengan SAD PERSONS:5

No SAD PERSONS Keterangan


1 Sex (jenis kelamin) Laki-laki lebih komit melakukan suicide 3 kali lebih
tinggi dibanding wanita, meskipun wanita lebih
sering 3 kali dibanding laki-laki melakukan
percobaan bunuh diri
2 Age (umur) Kelompok resiko tinggi : 19 tahun atau lebih muda,
45 tahun atau lebih tua dan khususnya umur 65 tahun
lebih.
3 Depression 35–79 % orang yang melakukan bunuh diri
mengalami sindrome depresi.
4 Previous attempts (percobaan 65–70 % orang yang melakukan bunuh diri sudah
bunuh diri pernah melukukan percobaan sebelumnya
5 ETOH (alcohol) 65 % orang yang suicide adalah orang yang
menyalahgunakan alkohol.
6 Rational Thinking Loss Orang skizofrenia dan dementia lebih sering
(Kehilangan berfikir rasional) melakukan bunuh diri disbanding general populasi.
7 Sosial Support Lacking Orang yang melakukan bunuh diri biasanya
(Kurang dukungan sosial) kurangnya dukungan dari teman dan saudara,
pekerjaan yang bermakna serta dukungan spiritual
keagamaan.
8 Organized Plan (Perencanaan Adanya perencanaan yang spesifik terhadap bunuh
yang terorganisasi) diri merupakan resiko tinggi.
9 No Spouse (Tidak memiliki Orang duda, janda, single adalah lebih rentan
pasangan dibandingkan menikah.
10 Sickness Orang yang berpenyakit kronik dan terminal berisiko
tinggi melakukan bunuh diri.

13
DAFTAR PUSTAKA

1. Bahan proposal
2. Buku jiwa
3. Mukarromah I. Rancangan video pembelajaran penatalaksanaan
kegawatdaruratan psikiatri metode restraint safety. Fakultas Ilmu Kesehatan,
Universitas Pesantren Tinggi Darul Ulum Jombang; 2017.
4. Astuti RT. Peningkatan kemampuan manajemen kedaruratan psikiatrik: panik
bagi Perawat Jiwa di RS Jiwa Gracia Yogyakarta. Prosiding Konferensi Nasional
PPNI Jawa Tengah; 2013.
5. Jannah SR. Tinjauan penatalaksanaan kegawatdaruratan pada pasien dengan
bunuh diri. Fakultas Kedokteran, Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh.
6.

14

Anda mungkin juga menyukai