SKIZOFRENIA
Disusun oleh:
Pembimbing:
PENDAHULUAN
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1 SKIZOFRENIA
1.1.DEFINISI
1.2.EPIDEMIOLOGI
3
1.3.ETIOLOGI DAN FAKTOR RISIKO
1. Umur
Umur 25-35 tahun kemungkinan berisiko 1.8 kali lebih besar menderita
skizofrenia dibandingkan umur 17-24 tahun.
2. Jenis Kelamin
3. Pekerjaan
4
lebih memiliki semangat hidup yang lebih besar dibandingkan dengan
yang tidak bekerja.
4. Status Perkawinan
5. Konflik Keluarga
6. Status Ekonomi
7. Faktor Genetik
5
8. Faktor Psikososial
1.4.KLASIFIKASI
6
9. Skizofrenia yang tak tergolongkan.
1.5.PSIKOPATOLOGI
1.6.PATOFISIOLOGI
1. Abnormalitas Anatomi
7
diucapkan seperti pasien yang diobati), secara eksklusif pada nukleus
kaudat dan thalamus.10
2. Hipotesis Dopamin
Ada bukti logis dari literatur farmakologis dan pencitraan otak yang
menghubungkan disfungsi neurotransmisi dopaminergik pada awal gejala
psikotik seperti delusi dan halusinasi.10 Rumusan paling sederhana hipotesis
dopamin tentang skizofrenia menyatakan bahwa skizofrenia timbul akibat
aktivitas dopaminergik yang berlebihan. Teori ini berkembang berdasarkan
dua pengamatan. Pertama, kemanjuran serta potensi sebagian besar obat
antipsikotik, (yaitu, antagonis reseptor dopamin) berkorelasi dengan
kemampuannya bertindak sebagai antagonis reseptor dopamin D2. Kedua,
obat yang meningkatkan aktivitas dopaminergik, yang terkenal adalah
amfetamin, bersifat psikotomimetik. Teori dasar ini tidak menguraikan
apakah hiperaktivitas dopaminergik disebabkan pelepasan dopamin yang
berlebihan, reseptor dopamin yang terlalu banyak, hipersensitivitas reseptor
dopamin terhadap dopamin, atau kombinasi mekanisme tersebut.2
8
3. Hipotesis Serotonin
4. Hipotesis GABA
5. Hipotesis Glutamat
9
6. Neuropatologi
Pada akhir abad ke-20, para peneliti membuat suatu langkah signifikan
dalam mengungkap dasar neuropatologi potensial skizofrenia, terutama di
sistem limbik dan ganglia basalis, termasuk abnormalitas neuropatologi
atau neurokimiawi di korteks cerebri, thalamus, dan batang otak.
Berkurangnya volume otak yang dilaporkan secara luas terdapat pada otak
skizofrenik tampaknya merupakan akibat berkurangnya kepadatan akson,
dendrit, dan sinaps yang memerantari fungsi asosiatif otak.2
10
1.7.MANIFESTASI KLINIS
1. Gangguan Proses Pikir: Asosiasi longgar, intrusi berlebihan, terhambat,
klang asosiasi, ekolalia, alogia, neologisme.
2 Gangguan Isi Pikir: Waham, adalah suatu kepercayaan yang salah yang
menetap yang tidak sesuai dengan fakta dan tidak bisa dikoreksi. Jenis-jenis
waham antara lain:
a. Waham kejar
b. Waham kebesaran
c. Waham rujukan
d. Waham penyiaran pikiran
e. Waham penyisipan pikiran
f. Waham aneh
3 Gangguan Persepsi; Halusinasi, ilusi, depersonalisasi, dan derealisasi.
4 Gangguan Emosi; ada tiga afek dasar yang sering diperlihatkan oleh
penderita skizofrenia (tetapi tidak patognomonik):
a. Afek tumpul atau datar
b. Afek tak serasi
c. Afek labil
5 Gangguan Perilaku; Berbagai perilaku tak sesuai atau aneh dapat terlihat
seperti gerakan tubuh yang aneh dan menyeringai, perilaku ritual, sangat
ketolol-tololan, dan agresif serta perilaku seksual yang tak pantas.
6 Gangguan Motivasi; aktivitas yang disadari seringkali menurun atau
hilang pada orang dengan skizofrenia. Misalnya, kehilangan kehendak dan
tidak ada aktivitas.
7 Gangguan Neurokognitif; terdapat gangguan atensi, menurunnya
kemampuan untuk menyelesaikan masalah, gangguan memori (misalnya,
memori kerja, spasial dan verbal) serta fungsi eksekutif.11
11
1.8.DIAGNOSIS
Kriteria Diagnosis
1. Skizofrenia
Harus ada sedikitnya satu gejala berikut ini yang amat jelas (dan
biasanya dua gejala atau lebih bila gejala-gejala itu kurang tajam atau
kurang jelas):
a. “thought echo” = isi pikiran dirinya sendiri yang berulang atau
bergema dalam kepalanya (tidak keras), dan isi pikiran ulangan,
walaupun isinya sama, namun kualitasnya berbeda, atau “thought
insertion or withdrawal” = isi pikiran yang asing dari luar masuk ke
dalam pikirannya (insertion) atau isi pikirannya diambil keluar oleh
sesuatu dari luar dirinya (withdrawal); dan “thought broadcasting”
= isi pikirannya tersiar keluar sehingga orang lain atau umum
mengetahuinya.
b. “delusion of control” = waham tentang dirinya dikendalikan oleh
suatu kekuatan tertentu dari luar; atau “delusion of influence” =
waham tentang dirinya dipengaruhi oleh suatu kekuatan tertentu dari
luar; atau “delusion of passivity” = waham tentang dirinya tidak
berdaya dan pasrah terhadap suatu kekuatan dari luar; dan
“delusional perception” = pengalaman inderawi yang tak wajar,
12
yang bermakna sangat khas bagi dirinya, biasanya bersifat mistik
atau mukjizat.
c. Halusinasi auditorik:
– Suara halusinasi yang berkomentar secara terus menerus
terhadap perilaku pasien, atau
– Mendiskusikan perihal pasien di antara mereka sendiri (diantara
berbagai suara yang berbicara), atau
– Jenis suara halusinasi lain yang berasal dari salah satu bagian
tubuh.
d. Waham-waham menetap jenis lainnya, yang menurut budaya
setempat dianggap tidak wajar dan sesuatu yang mustahil, misalnya
perihal keyakinan agama atau politik tertentu, atau kekuatan dan
kemampuan di atas manusia biasa (misalnya mampu mengendalikan
cuaca, atau berkomunikasi dengan makhluk asing dari duia lain).
Atau paling sedikit dua gejala di bawah ini yang harus selalu ada secara
jelas:
e. Halusinasi yang menetap dari panca indera apa saja, apabila disertai
baik oleh waham yang mengambang maupun yang setengah
berbentuk tanpa kandungan afektif yang jelas, ataupun disertai oleh
ide-ide berlebihan (over-valued ideas) yang menetap, atau apabila
terjadi setiap hari selama berminggu-minggu atau berbulan-bulan
terus menerus;
f. Arus pikiran yang terputus (break) atau yang mengalami sisipan
(interpolation), yang berakibat inkoherensi atau pembicaraan yang
tidak relevan, atau neologisme;
g. Perilaku katatonik, seperti keadaan gaduh-gelisah (excitement),
posisi tubuh tertentu (posturing), atau fleksibilitas cerea,
negativisme, mutisme, dan stupor;
h. Gejala-gejala “negatif”, seperti sikap sangat apatis, bicara yang
jarang, dan respons emosional yang menumpul atau tidak wajar,
13
biasanya yang mengakibatkan penarikan diri dari pergaulan sosial
dan menurunnya kinerja sosial; tetapi harus jelas bahwa semua hal
tersebut tidak disebabkan oleh depresi atau medikasi neuroleptika;
Adanya gejala-gejala khas tersebut di atas telah berlangsung selama
kurun waktu satu bulan atau lebih (tidak berlaku untuk setiap fase
nonpsikotik prodromal);
Harus ada suatu perubahan yang konsisten dan bermakna dalam mutu
keseluruhan (overall quality) dari beberapa aspek perilaku pribadi
(personal behaviour), bermanifestasi sebagai hilangnya minat, hidup
tak bertujuan, tidak berbuat sesuatu, sikap larut dalam diri sendiri (self-
absorbed attitude), dan penarikan diri secara sosial.
2. Skizofrenia Paranoid
Memenuhi kriteria umum diagnosis skizofrenia.
Sebagai tambahan:
– Halusinasi dan/atau waham harus menonjol;
a. Suara-suara halusinasi yang mengancam pasien atau memberi
perintah, atau halusinasi auditorik tanpa bentuk verbal berupa
bunyi pluit (whistling), mendengung (humming), atau bunyi
tawa (laughing);
b. Halusinasi pembauan atau pengecapan rasa, atau bersifat
seksual, atau lain-lain perasaan tubuh; halusinasi visual mungkin
ada tetapi jarang menonjol;
c. Waham dapat berupa hampir setiap jenis, tetapi waham
dikendalikan (delusion of control), dipengaruhi (delusion of
influence), atau “passivity” (delusion of passivity), dan
keyakinan dikejar-kejar yang beraneka ragam, adalah yang
paling khas;
– Gangguan afektif, dorongan kehendak dan pembicaraan, serta gejala
katatonik secara relatif tidak nyata/tidak menonjol.
14
3. Skizofrenia Hebefrenik
Memenuhi kriteria umum diagnosis skizofrenia.
Diagnosis hebefrenia untuk pertama kalinya hanya ditegakkan pada usia
remaja atau dewasa muda (onset biasanya mulai 15 – 25 tahun).
Kepribadian premorbid menunjukkan ciri khas: pemalu dan senang
menyendiri (solitary), namun tidak harus demikian untuk menentukan
diagnosis.
Untuk diagnosis hebefrenik yang meyakinkan umumnya diperlukan
pengamatan kontinu selama 2 atau 3 bulan lamanya, untuk memastikan
bahwa gambaran yang khas berikut ini memang benar bertahan:
a. Perilaku yang tidak bertanggung jawab dan tidak dapat diramalkan,
serta mannerisme; ada kecenderungan untuk selalu menyendiri
(solitary), dan perilaku menunjukkan hampa tujuan atau hampa
perasaan;
b. Afek pasien dangkal (shallow) dan tidak wajar (inappropiate),
sering disertai oleh cekikikan (giggling) atau perasaan puas diri
(self-satisfied), senyum sendiri (self-absorbed smilling) atau oleh
sikap, tinggi hati (lofty manner), tertawa menyeringai (grimaces),
mannerisme, mengibuli secara bersenda gurau (pranks), keluhan
hipokondriakal, dan ungkapan kata yang diulang-ulang (reiterated
phrase);
c. Proses pikir mengalami disorganisasi dan pembicaraan tak menentu
(rambling) serta inkoheren.
Gangguan afektif dan dorongan kehendak, serta gangguan proses pikir
umumnya menonjol halusinasi atau waham mungkin ada tetapi biasanya
tidak menonjol (fleeting and fragmentary delusions and hallucinations).
Dorongan kehendak (drive) dan yang bertujuan (determination) hilang
serta sasaran ditinggalkan, sehingga perilaku penderita memperlihatkan
ciri khas, yaitu perilaku tanpa tujuan (aimless) dan tanpa maksud (empty
of puspose). Adanya suatu preokupasi yang dangkal dan bersifat dibuat-
15
buat terhadap agama, filsafat dan tema abstrak lainnya, makin
mempersukar orang memahami jalan pikiran pasien.
4. Skizofrenia Katatonik
Memenuhi kriteria umum diagnosis skizofenia
Satu atau lebih perilaku berikut ini harus mendominasi gambaran
klinisnya:
a. Stupor (amat berkurangnya dalam reaktifitas terhadap lingkungan
dan dalam gerakan serta aktifitas spontan) atau mutisme (tidak
berbicara);
b. Gaduh gelisah (tampak jelas aktifitas motorik yang tak bertujuan,
yang tidak dipengaruhi oleh stimuli eksternal);
c. Menampilkan posisi tubuh tertentu (secara sukarela mengambil dan
mempertahankan anggota gerak dan tubuh dalam posisi tubuh
tertentu yang tidak wajar atau aneh);
d. Negativisme (tampak jelas perlawanan yang tidak bermotif terhadap
semua perintah atau upaya untuk menggerakkan, atau pergerakan
kearah yang berlawanan);
e. Rigiditas (mempertahankan posisi tubuhyang kaku untuk melawan
upaya menggerakan dirinya);
f. Fleksibilitas cerea/“waxy flexibility” (mempertahankan anggota
gerak dan tubuh dalam posisi yang dapat dibentuk dari luar); dan
g. Gejala-gejala lain seperti “command automatism” (kepatuhan secara
otomatis terhadap perintah), dan pengulangan kata - kata serta
kalimat – kalimat.
Pada pasien yang tidak komunikatif dengan manifestasi perilaku dan
gangguan katatonik, diagnosis skizofrenia mungkin harus ditunda
sampai diperoleh bukti yang memadai tentang adanya gejala – gejala
lain. Penting untuk diperhatikan bahwa gejala –gejala katatonik bukan
petunjuk untuk diagnosis skizofrenia. Gejala katatonik dapat dicetuskan
oleh penyakit otak, gangguan metabolik, atau alkohol dan obat – obatan,
serta dapat juga terjadi pada gangguan afektif.
16
5. Skizofrenia Tak Terinci (Undifferentiated)
Memenuhi kriteria umum untuk diagnosis skizofrenia.
Tidak memenuhi kriteria untuk diagnosis skizofrenia paranoid,
hebefrenik, atau katatonik.
Tidak memenuhi kriteria untuk skizofrenia residual atau depresi pasca
skizofrenia.
6. Depresi Pasca Skizofrenia
Diagnosis harus ditegakan hanya kalau:
a. Pasien telah menderita skizofrenia (yang memenuhi kriteria umum
skizofrenia) selama 12 bulan terakhir ini;
b. Beberapa gejala skizofrenia masih tetap ada (tetapi tidak lagi
mendominasi gambaran klinisnya) dan;
c. Gejala-gejala depresif menonjol dan mengganggu, memenuhi paling
sedikit kriteria untuk episode depresif (F32.-), dan telah ada dalam
kurun waktu paling sedikit 2 minggu.
Apabila pasien tidak menunjukkan lagi gejala skizofrenia, diagnosis
menjadi episode depresif (F32.-). Bila gejala skizofrenia masih jelas dan
menonjol, diagnosis harus tetap salah satu dari subtipe skizofrenia yang
sesuai (F20.0-F20.3).
7. Skizofrenia Residual
Untuk suatu diagnosis yang meyakinkan, persyaratan berikut ini harus
dipenuhi semua:
a. Gejala “negatif” dari skizofrenia yang menonjol, misalnya
perlambatan psikomotorik, aktifitas yang menurun, afek yang
menumpul, sikap pasif dan ketiadaan inisiatif, kemiskinan dalam
kuantitas atau isi pembicaraan, komunikasi non verbal yang buruk
seperti dalam ekspresi muka, kontak mata, modulasi suara dan posisi
tubuh, perawatan diri dan kinerja sosial yang buruk;
b. Sedikitnya ada riwayat satu episode psikotik yang jelas di masa
lampau yang memenuhi kriteria untuk diagnosis skizofrenia;
17
c. Sedikitnya sudah melewati kurun waktu satu tahun di mana
intensitas dan frekuensi gejala yang nyata seperti waham dan
halusinasi telah sangat berkurang (minimal) dan telah timbul
sindrom “negatif” dari skizofrenia;
d. Tidak terdapat dementia atau penyakit/gangguan otak organik lain,
depresi kronis atau institusionalisasi yang dapat menjelaskan
disabilitas negatif tersebut.
8. Skizofrenia Simpleks
Diagnosis skizofrenia simpleks sulit dibuat secara meyakinkan karena
tergantung pada pemantapan perkembangan yang berjalan perlahan dan
progresif dari:
– Gejala “negatif” yang khas dari skizofrenia residual tanpa didahului
riwayat halusinasi, waham, atau manifestasi lain dari episode
psikotik; dan
– Disertai dengan perubahan-perubahan perilaku pribadi yang
bermakna, bermanifestasi sebagai kehilangan minat yang mencolok,
tidak berbuat sesuatu, tanpa tujuan hidup, dan penarikan diri secara
sosial.
Gangguan ini kurang jelas gejala psikotiknya dibandingkan subtipe
skizofrenia lainnya.
1.9.DIAGNOSIS BANDING
1. Gangguan Kondisi Medis Umum misalnya epilepsi lobus temporalis, tumor
lobus temporalis atau frontalis, stadium awal sklerosis multipel dan sindrom
lupus eritematosus
2. Penyalahgunaan alkohol dan zat psikoaktif
3. Gangguan Skizoafektif
4. Gangguan afektif berat
5. Gangguan Waham
6. Gangguan Perkembangan Pervasif
7. Gangguan Kepribadian Skizotipal
18
8. Gangguan Kepribadian Skizoid
9. Gangguan Kepribadian Paranoid.11
1.10. TATALAKSANA
1. Fase Akut
Gaduh gelisah dapat dikontrol dengan obat oral atau injeksi. Pasien
yang takut diinjeksi dapat ditawarkan obat oral. Instrumen PANSS–EC
(Positive and Negative Symptoms Scale–Excited Component) digunakan
untuk mengukur derajat beratnya gaduh gelisah. PANSS–EC merupakan
suatu subskala yang telah divalidasi dari PANSS yang digunakan untuk
mengukur gejala-gejala agitasi, dan menilai lima gejala, antara lain
buruknya kontrol terhadap impuls, ketegangan, permusuhan,
ketidakkooperatifan dan gaduh gelisah. Dikatakan pasien gaduh gelisah bila
total PANSS–EC lebih dari 15.13
Obat yang dapat digunakan untuk mengatasi gaduh gelisah, antara lain:11,13
19
a. Olanzapine, dosis 10 mg/injeksi, intramuskulus, dapat diulang setiap 2
jam, dosis maksimum 30mg/hari.
b. Aripriprazol, dosis 9,75 mg/injeksi (dosis maksimal 29,25 mg/hari),
intramuskulus.
c. Haloperidol, dosis 5 mg/injeksi, intramuskulus, dapat diulang setiap
setengah jam, dosis maksimum 20 mg/hari.
d. Diazepam 10 mg/injeksi, intravena/intramuskulus, dosis maksimum 30
mg/hari.
2. Fase Stabilisasi
Fase stabilisasi yaitu fase akut sudah terkontrol tetapi pasien masih
berisiko terjadinya episode baru bila ia mengalami stressor atau bila obat
dihentikan. Fase ini berlangsung selama 6 bulan setelah pulih dari simtom
akut.13 Tujuan fase stabilisasi adalah mempertahankan remisi gejala atau
untuk mengontrol, meminimalisasi risiko atau konsekuensi kekambuhan
dan mengoptimalkan fungsi dan proses kesembuhan (recovery). Setelah
diperoleh dosis optimal, dosis tersebut dipertahankan selama lebih kurang
8 – 10 minggu sebelum masuk ke tahap rumatan. Pada fase ini dapat juga
diberikan obat anti psikotika jangka panjang (long acting injectable), setiap
2-4 minggu.11
20
3. Fase Rumatan
Fase stabil atau rumatan yaitu fase pasien berada dalam stadium remisi.
Tujuan terapi fase ini adalah untuk mencegah kekambuhan dan membantu
pasien kembali ke fungsi semulanya. Dosis mulai diturunkan secara
bertahap sampai diperoleh dosis minimal yang masih mampu mencegah
kekambuhan. Bila kondisi akut, pertama kali, terapi diberikan sampai dua
tahun, bila sudah berjalan kronis dengan beberapa kali kekambuhan, terapi
diberikan sampai lima tahun bahkan seumur hidup.
Obat Antipsikotika
Antipsikotika efektif untuk skizofrenia baik pada fase akut maupun pada fase
yang sudah stabil. Ia dapat mengurangi risiko kambuhnya psikotik.
Tertundanya pengobatan dengan antipsikotika dapat memberikan dampak
buruk jangka panjang misalnya buruknya luaran simtom dan fungsi. Pemberian
antipsikotika pada fase prodromal dapat mencegah atau menunda awitan
skizofrenia.13
21
mayor, demensia, zat yang menginduksi gejala psikosis, psikosis Huntington
dan psikosis lainnya akibat kondisi medik.13
Obat ini dibagi dalam dua kelompok, berdasarkan mekanisme kerjanya, yaitu
dopamine receptor antagonist (DRA) atau antipsikotika generasi I (APG–I) dan
serotonine-dopamine antagonist (SDA) atau antipsikotika generasi II (APG–II).
Obat APG–I disebut juga antipsikotika konvensional atau tipik sedangkan
APG–II disebut juga antipsikotika baru atau atipik.13
22
Tabel 3. Daftar Obat Antipsikotika, Sediaan, dan Dosis Anjuran16
23
3. Gangguan ekstrapiramidal (distonia akut, akathisia, sindrom parkinson:
tremor, bradikinesia, rigiditas).
4. Gangguan endokrin (amenorrhoe, gynaecomastia), metabolik (Jaundice),
hematologik (agranulocytosis), biasanya pada pemakaian jangka panjang.
Bila terjadi efek samping, misalnya sindrom ekstrapiramidal (distonia akut atau
parkinsonisme), langkah pertama yaitu menurunkan dosis antipsikotika. Bila
tidak dapat ditanggulangi, berikan obat-obat antikolinergik, misalnya
triheksilfenidil, benztropin, sulfas atropin atau difenhidramin injeksi IM atau
IV.11
Tabel 4. Daftar Obat yang Digunakan Untuk Mengatasi Efek Samping Anti
Psikotik11
Waktu Paruh
Dosis Target Efek Samping
Nama Generik Eliminasi
(mg/hari) Ekstrapiramidal
(jam)
Triheksilfenidil 1-15 4 Akatisia, distonia,
parkinsonisme
Amantadin 100-300 10-14 Akatisia, parkinsonisme
Propranolol 30-90 3-4 Akatisia
Lorazepam 1-6 12 Akatisia
24
Difenhidramin 25-50 4-8 Akatisia, distonia,
parkinsonisme
Sulfas Atropin 0.5-0.75 12-24 Distonia akut
Interaksi Obat16
Antipsikosis + Antipsikosis lain = potensial efek samping obat dan tidak ada
bukti lebih efektif (tidak ada efek sinergis antara 2 obat anti-psikosis).
Misalnya, Chlorpromazine + Reserpine potensial efek hipotensif.
Antipsikosis + Antidepresan trisiklik efek samping antikolinergik
meningkat (hatihati pada pasien dengan hipertrofi prostat, glaukoma, ileus,
penyakit jantung).
Antipsikosis + ECT= dianjurkan tidak memberikan obat anti-psikosis pada
pagi hari sebelum dilakukan ECT (Electro Convulsive Therapy) oleh karena
angka mortalitas yang tinggi.
Antipsikosis + antikonvulsan = ambang konvulsi menurun, kemungkinan
serangan kejang meningkat, oleh karena itu dosis antikonvulsan harus lebih
besar (dose-related). Yang paling minimal menurunkan ambang kejang
adalah obat anti-psikosis Haloperidol.
Antipsikosis + Antasida = efektivitas obat antipsikosis menurun disebabkan
gangguan absorbsi.
Pemilihan Obat
Pada dasarnya semua obat anti-psikosis mempunyai efek primer (efek klinis)
yang sama pada dosis ekivalen, perbedaan terutama pada efek sekunder (efek
samping : sedasi, otonomik, ekstrapiramidal).16
25
Tabel 5. Obat Antipsikotika dan Efek Sekundernya16
26
Indikasi16
27
generasi pertama. Antipsikotik generasi pertama memiliki efek yang rendah
terhadap gejala negatif.8
28
1.11.KOMPLIKASI
1.12.PROGNOSIS
1. Usia pertama kali timbul (onset): makin muda maka makin buruk.
2. Mula timbulnya akut atau kronik: bila akut maka lebih baik.
3. Tipe skizofrenia: episode skizofrenia dan katatonik lebih baik.
4. Kecepatan, ketepatan, dan keteraturan pengobatan yang didapat.
5. Ada atau tidaknya faktor pencetus: jika ada maka lebih buruk.
6. Ada atau tidaknya faktor keturunan: jika ada maka lebih buruk.
7. Kepribadian prepsikotik: jika skizoid, skizotin, atau introvert maka lebih
jelek.
8. Keadaan sosial ekonomi: jika rendah maka lebih jelek.
29
BAB III
PENUTUP
30
DAFTAR PUSTAKA
1. Thorson RT, Matson JL, Rojahn J, dan Dixon DR. 2008. Behavior problems in
institutionalized people with intellectual disability and schizophrenia spectrum
disorders. Journal of Intellectual & Developmental Disability, 33, 316–322.
Accessed from: Sari SP & Wijayanti DY. 2014. Keperawatan Spiritualitas
Pasien Skizofrenia. E-Journal Unair, Vol. 9, No. 1, April 2014.
2. Sadock BJ & Sadock VA. 2004. Skizofrenia. In: Kaplan & Sadock Buku Ajar
Psikiatri Klinis Edisi Ke-2. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. Pp. 147–
68.
3. Walker E, Kestler L, Bollini A & Hochman KM. 2004. Schizophrenia: Etiology
and Course. Annu. Rev. Psychol. 2004. 55:401–30. doi:
10.1146/annurev.psych.55. 090902.141950.
4. Domininguez M, et al. 2009. Are psychotic psychopathology and
neurocognition orthogonal? A systematic review of their association.
Psychology Bulletin. 135, 157-171.
5. Katona C, Cooper C & Robertson M. 2012. Skizofrenia: fenomena dan etiologi.
In: At a Glance Psikiatri Edisi Ke-4. Jakarta: Penerbit Erlangga. Pp. 18-21.
6. Zahnia S & Sumekar DW. 2016. Kajian Epidemiologis Skizofrenia.
MAJORITY, Vol. 5, No. 4, Oktober 2016: 160–6.
7. Patel KR, Cherian J, Gohil K & Atkinson D. Schzophrenia: Overview and
Treatment Options. P T. 2014 Sep; 39(9): 638–645. Available in:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC4159061/ Accessed on 8
October 2019.
8. Hafifah A, Puspitasari IM & Sinuraya RK. 2018. Review Artikel:
Farmakoterapi dan Rehabilitasi Psikososial pada Skizofrenia. Farmaka,
Supplemen Vol. 16, No. 2, pp. 210–32.
9. Maslim R. 2013. Buku Saku Diagnosis Gangguan Jiwa: Rujukan Ringkas dari
PPDGJ–III dan DSM–5. Jakarta: Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK Unika
Atmajaya.
31
10. Fatani BZ, Aldawod R, Alhawaj FA, et al. 2017. Schizophrenia: Etiology,
Pathophysiology and Management - A Review. The Egyptian Journal of
Hospital Medicine (October 2017) Vol. 69 (6), Page 2640–46. Doi:
10.12816/0042241.
11. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
HK.02.02/MENKES/73/2015. PEDOMAN NASIONAL PELAYANAN
KEDOKTERAN JIWA. Available from:
http://hukor.kemkes.go.id/uploads/produk_hukum/KMK_No._HK_.02_.02-
MENKES-73-
2015_ttg_Pedoman_Nasional_Pelayanan_Kedokteran_Jiwa_.pdf Accessed on
9 October 2019.
12. Hendarsyah F.2016. Diagnosis dan Tatalaksana Skizofrenia Paranoid dengan
Gejala-Gejala Positif dan Negatif. J Medula Unila, Vol. 4, No. 3, Januari 2016,
pp. 57–62.
13. Amir N. 2017. Bab 12: Skizofrenia. In: Elvira SD & Hadisukanto G. Buku Ajar
Psikiatri Edisi Ke-3, Cetakan Ke-1. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia.
14. Purwandityo AG, Febrianti Y, Sari CP, Ningrum VDA & Sugiyarto OP. 2018.
Pengaruh Antipsikotik terhadap Penurunan Skor The Positive and Negative
Syndrome Scale-Excited Component. Jurnal Farmasi Klinik Indonesia, Maret
2018, Vol. 7 No. 1, pp. 19–29. ISSN: 2252–6218. DOI:
10.15416/ijcp.2018.7.1.19.
15. Supriyanto I, dr. Cara Menggunakan PANSS-EC Untuk Pasien Agitasi.
Available from: https://www.alomedika.com/cara-menggunakan-panss-ec-
pasien-agitasi Accessed in 9 October 2019.
16. Maslim R. 2007. Panduan Praktis Penggunaan Klinis Obat Psikotoprik
(Psychotropic Medication) Edisi Ke-3. Jakarta: Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa
FK Unika Atmajaya.
17. Internet. Available from http://digilib.unimus.ac.id/files/disk1/133/jtptunimus-
gdl-muntiarohn-6617-3-babii.pdf. Accessed on 14 October 2019.
32