Anda di halaman 1dari 14

LAPORAN PENDAHULUAN

I. KONSEP MEDIS
A. DEFINISI
Traumatic brain injury (TBI) adalah bentuk cedera kepala yang mengkhusus kepada otak
yang disebabkan oleh kerusakan mendadak pada otak. Sifatnya nondegenerative dan non
congenital. TBI merupakan akibat dari adanya kekuatan mekanik eksternal mungkin dapat
mengubah kemampuan otak dalam menghasilkan keseimbangan fisik, intelektual, emosional,
gangguan traumatik yang dapat menimbulkan perubahan-perubahan fungsi otak.

TBI terbagi menjadi 2, yaitu Open Head Injuries dan Closed Head Injuries.

 Open Head Injuries: disebut juga dengan penetrating Injuries, cedera ini terjadi ketika

suatu objek masuk ke otak dan menyebabkan kerusakan pada bagian otak tertentu.

Gejala bervariasi tergantung pada bagian otak yang rusak.

 Closed Head Injuries: Cedera ini akibat dari benturan dikepaladan tidak menimbulkan

luka pada bagian luar kepala.


B. KLASIFIKASI DAN MANIFESTASI KLINIK
Klasifikasi trauma kepala berdasarkan nilai Glasgow Coma Scale (GCS) :
1. Minor
 GCS 13-15
 Dapat terjadi kehilangan kesadaran atau amnesia tetapi kurang dari 30 menit.
 Tidak ada kontusio tengkorak, tidak ada fraktur
 Cerebral, hematoma.
2. Sedang
 GCS 9-12
 Dapat terjadi kehilangan kesadaran atau amnesia lebih dari 30 menit tetapi kurang dari
24 jam.
 Dapat mengalami fraktur tengkorak.
3. Berat
 GCS 3-8
 Kehilangan kesadaran atau amnesia lebih dari 24 jam.
 Juga meliputi kontusio serebral, laserasi, atau hematoma intrakranial.
Klasifikasi berdasarkan morfologinya:
a. Trauma kepala terbuka
Kerusakan otak dapat terjadi bila tulang tengkorak masuk kedalam jaringan otak dan
melukai durameter, saraf otak, jaringan otak dan terdapat tanda dan gejala dari fraktur
basis trauma kepala terbuka yaitu :
 Battle sign (warna biru dibelakang telinga di atas os mastoid)
 Hemotimpanum (perdahan didaerah gendang telinga).
 Periorbital ecchymosis (mata warna hitam tanpa trauma langsung).
 Rinhorrhoe (liquor keluar dari hidung).
 Othorrhoe (liquor keluar dari telinga).
b. Trauma kepala tertutup.
a. Komosio
 Cedera kepala ringan.
 Disfungsi neurologis sementara dan dapat pulih kembali.
 Hilang kesadaran sementara, kurang dari 10-20 menit.
 Tanpa kerusakan otak permanen.
 Muncul gejala nyeri kepala, pusing, muntah.
 Disorientasi sementara.
 Tidak ada gejala sisa
b. Konkusio.
 Ada memar otak.
 Perdarahan kecil lokal/difusi.
 Perdarahan
Gejalanya :
 Gangguan kesadaran lebih lama.
 Kelainan neurologis positif, reflek patologik positif, lumpuh, konvulsiv.
 Gejala TIK meningkat.
 Amnesia lebih nyata
c. Hematoma epidural
 Pedarahan antara tulang-tulang tengkorak dan durameter.
 Lokasi tersering temporal dan frontale.
 Pecahnya pembuluh darah meningen dan sinus venosus
Gejalanya :
 Adanya desak ruang.
 Penurunan kesadaran ringan saat kejadian.
 Penurunan kesadaran hebat.
 Koma.
 Nyeri kepala hebat.
 Reflek patologik positif
d. Hematoma subdural
 Perdarahan antara durameter dan arachnoid.
 Biasanya pecah vena, akut, subakut, dan kronis.
 Akut = gejala 24-48 jam, sering berhubungan dengan cedera otak dan medula
oblongata, tekanan intrakranial meningkat, sakit kepala, mengantuk, reflek
melambat, bingung, reflek pupil lambat.
 Subakut = berkembang 7-10 hari, konkusio agak lambat, adanya gejala TIK
meningkat, kesadaran menurun.
 Kronis = perdarahan kecil terkumpul dan meluas, sakit kepala, lethargi, kacau
mental, kejang, disfagia
e. Hematoma intrakranial.
 Perdarahan intraserebral ± 25 cc atau lebih.
 Selalu diikuti oleh konkusio

C. ETIOLOGI
Adapun etiologi dari traumatic brain injury adalah sebagai berikut:
 Trauma akibat benda tajam
 Trauma akibat benda tumpul
 Kecelakaan motor/mobil
 Jatuh
 Cedera akibat kekerasan
 Kecelakaan pada saat berolahraga
D. KOMPLIKASI
Komplikasi dari traumatic brain injury meliputi:
1) Meningkatnya tekanan intrakranial (TIK).
2) Perdarahan.
3) Kejang.
4) Pasien dengan fraktur tengkorak, khususnya pada dasarnya tengkorak beresiko terhadap
bocornya cairan serebrospinal (CSS) dari hidung (rinorea) dan dari telinga (otorea).
5) Bocor CSS kemungkinan terjadi meningitis
6) Kematian.
E. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. CT-Scan (dengan atau tanpa kontras)
Mengidentifikasi luasnya lesi, perdarahan, determinan ventrikel dan perubahan jaringan
otak.
2. MRI (magnetig resonan imaging)
Digunakan sama seperti CT-Scan dengan atau tanpa kontras radioaktif.
3. Serebral angiography
Menunjukkan anomali sirkulasi serebral seperti perubahan jaringan otak sekunder
menjadi udema, perdarahan dan trauma.
4. X-Ray
Mendeteksi perubahan struktur tulang (fraktur), perubahan struktur garis
(perdarahan/edema), fragmen tulang.
5. CSF, lumbal fungsi
Jika diduga perdarahan sub arachnoid
6. Kadar elektrolit
Untuk mengoreksi keseimbangan elektrolit sebagai akibat peningkatan tekanan
intracranial.
7. Scree toxicology
Untuk mendeteksi pengaruh obat sehingga menyebabkan penurunan kesadaran.
8. AGDA (analisa gas darah arteri)
Mendeteksi ventilasi atau masalah pernafasan (oksigenasi) jika terjadi peningkatan
tekanan intracranial.

F. PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan penderita cedera kepala ditentukan atas dasar beratnya cedera dan
dilakukan menurut urutan prioritas. Yang ideal dilaksanakan oleh suatu tim yang terdiri dari
paramedis terlatih, dokter ahli saraf, bedah asraf, radiologi, anestesi dan rehabilitasi medik.
Pasien dengan cedera kepala harus ditangani dan dipantau terus sejak tempat kecelakaan,
selama perjalanan dari tempat kejadian sampai rumah sakit, diruang gawat darurat, kamar
radiologi, sampai ke ruang operasi, ruang perawatan atau ICU, sebab sewaktu-waktu bisa
memburuk akibat aspirasi, hipotensi, kejang dan sebagainya. Macam dan urutan prioritas
tindakan cedera kepala ditentukan atas dalamnya penurunan kesadaran pada saat diperiksa:
1. Pasien dalam keadaan sadar (GCS=15)
Pasien yang sadar pada saat diperiksa bisa dibagi dalam 2 jenis:
a. Simple head injury (SHI) Pasien mengalami cedera kepala tanpa diikuti gangguan
kesadaran, dari anamnesa maupun gejala serebral lain. Pasien ini hanya dilakukan
perawatan luka. Pemeriksaan radiologik hanya atas indikasi. Keluarga dilibatkan
untuk mengobservasi kesadaran.
b. Kesadaran terganggu sesaat Pasien mengalami penurunan kesadaran sesaat setelah
cedera kepala dan pada saat diperiksa sudah sadar kembali. Pemeriksaan radiologik
dibuat dan penatalaksanaan selanjutnya seperti SHI.
2. Pasien dengan kesadaran menurun
a. Cedera kepala ringan / minor head injury (GCS=13-15) Kesadaran disoriented atau
not obey command, tanpa disertai defisit fokal serebral. Setelah pemeriksaan fisik
dilakukan perawatanluka, dibuat foto kepala. CT Scan kepala, jika curiga adanya
hematom intrakranial, misalnya ada riwayat lucid interval, pada follow up kesadaran
semakinmenurun atau timbul lateralisasi. Observasi kesadaran, pupil, gejala fokal
serebral disamping tanda-tanda vital.
b. Cedera kepala sedang (GCS=9-12) Pasien dalam kategori ini bisa mengalami
gangguan kardiopulmoner, oleh karena itu urutan tindakannya sebagai berikut:
1) Periksa dan atasi gangguan jalan nafas, pernafasan dan sirkulasi
2) Periksa singkat atas kesadaran, pupil, tanda fokal serebral dan cedera organ lain.
Fiksasi leher dan patah tulang ekstrimitas
3) Foto kepala dan bila perlu bagiann tubuh lain
4) CT Scan kepala bila curiga adanya hematom intracranial
5) Observasi fungsi vital, kesadaran, pupil, defisit fokal serebral
c. Cedera kepala berat (CGS=3-8)
Penderita ini biasanya disertai oleh cedera yang multiple, oleh karena itu
disamping kelainan serebral juga disertai kelainan sistemik.
Urutan tindakan menurut prioritas adalah sebagai berikut:
1) Resusitasi jantung paru (airway, breathing, circulation=ABC)
Pasien dengan cedera kepala berat ini sering terjadi hipoksia, hipotensi
dan hiperkapnia akibat gangguan kardiopulmoner. Oleh karena itu tindakan
pertama adalah:
a) Jalan nafas (Air way). Jalan nafas dibebaskan dari lidah yang turun ke
belakang dengan posisi kepala ekstensi,kalau perlu dipasang pipa orofaring
atau pipa endotrakheal, bersihkan sisa muntahan, darah, lendir atau gigi
palsu. Isi lambung dikosongkan melalui pipa nasograstrik untuk
menghindarkan aspirasi muntahan.
b) Pernafasan (Breathing). Gangguan pernafasan dapat disebabkan oleh
kelainan sentral atau perifer. Kelainan sentral adalah depresi pernafasan pada
lesi medula oblongata, pernafasan cheyne stokes, ataksik dan central
neurogenik hyperventilation. Penyebab perifer adalah aspirasi, trauma dada,
edema paru, DIC, emboli paru, infeksi. Akibat dari gangguan pernafasan
dapat terjadi hipoksia dan hiperkapnia. Tindakan dengan pemberian oksigen
kemudian cari danatasi faktor penyebab dan kalau perlu memakai ventilator.
c) Sirkulasi (Circulation). Hipotensi menimbulkan iskemik yang dapat
mengakibatkan kerusakan sekunder. Jarang hipotensi disebabkan oleh
kelainan intrakranial, kebanyakan oleh faktor ekstrakranial yakni berupa
hipovolemi akibat perdarahan luar atau ruptur alat dalam, trauma dada
disertai tamponade jantung atau peumotoraks dan syok septik. Tindakannya
adalah menghentikan sumber perdarahan, perbaikan fungsi jantung
danmengganti darah yang hilang dengan plasma, hydroxyethyl starch atau
darah
2) Pemeriksaan fisik Setalah ABC, dilakukan pemeriksaan fisik singkat meliputi
kesadaran, pupil, defisit fokal serebral dan cedera ekstra kranial. Hasil
pemeriksaan fisik pertama ini dicatat sebagai data dasar dan ditindaklanjuti, setiap
perburukan dari salah satu komponen diatas bis adiartikan sebagai adanya
kerusakan sekunder dan harus segera dicari dan menanggulangi penyebabnya.
3) Pemeriksaan radiologi
Dibuat foto kepala dan leher, sedangkan foto anggota gerak, dada danabdomen
dibuat atas indikasi. Tekanan tinggi intrakranial (TTIK) Peninggian TIK terjadi
akibat edema serebri, vasodilatasi, hematom intrakranial atau hidrosefalus. Untuk
mengukur turun naiknya TIK sebaiknya dipasang monitor TIK. TIK yang normal
adalah berkisar 0-15 mmHg, diatas 20 mmHg sudah harus diturunkan dengan
urutan sebagai berikut:
a) Hiperventilasi Setelah resusitas ABC, dilakukan hiperventilasi dengan
ventilasi yang terkontrol, dengan sasaran tekanan CO2 (pCO2) 27-30 mmHg
dimana terjadi vasokontriksi yang diikuti berkurangnya aliran darah serebral.
Hiperventilasi dengan pCO2 sekitar 30 mmHg dipertahankan selama 48-72
jam, lalu dicoba dilepas dgnmengurangi hiperventilasi, bila TIK naik lagi
hiperventilasi diteruskan lagi selama 24-48 jam. Bila TIK tidak menurun
dengan hiperventilasi periksa gas darah dan lakukan CT scan ulang untuk
menyingkirkan hematom.
b) Drainase. Tindakan ini dilakukan bil ahiperventilasi tidak berhasil. Untuk
jangka pendek dilakukan drainase ventrikular, sedangkan untuk jangka
panjang dipasang ventrikulo peritoneal shunt, misalnya bila terjadi
hidrosefalus.
c) Terapi diuretic
 Diuretik osmotik (manitol 20%). Cairan ini menurunkan TIK dengan
menarik air dari jaringan otak normal melalui sawar otak yang masih utuh
kedalam ruang intravaskuler. Bila tidak terjadi diuresis pemberiannya
harus dihentikan.
 Loop diuretik (Furosemid). Frosemid dapat menurunkan TIK melalui efek
menghambat pembentukan cairan cerebrospinal dan menarik cairan
interstitial pada edema sebri. Pemberiannya bersamaan manitol
mempunyai efek sinergik dan memperpanjang efek osmotik serum oleh
manitol. Dosis 40 mg/hari/iv
d) Terapi barbiturat (Fenobarbital). Terapi ini diberikan pada kasus-ksus yang
tidak responsif terhadap semua jenis terapi yang tersebut diatas.
e) Steroid. Berguna untuk mengurangi edema serebri pada tumor otak. Akan
tetapi menfaatnya pada cedera kepala tidak terbukti, oleh karena itu sekarang
tidak digunakan lagi pada kasus cedera kepala.
f) Posisi Tidur. Penderita cedera kepala berat dimana TIK tinggi posisi tidurnya
ditinggikan bagian kepala sekitar 20-30, dengan kepala dan dada pada satu
bidang, jangan posisi fleksi atau leterofleksi, supaya pembuluh vena daerah
leher tidak terjepit sehingga drainase vena otak menjadi lancar.
II. KONSEP KEPERAWATAN
A. Pengkajian Keperawatan
1. Pengumpulan data klien baik subyektif maupun obyektif pada gangguan sistem
persyarafan sehubungan dengan cedera kepala tergantung pada bentuk, lokasi, jenis injuri
dan adanya komplikasi pada organ vital lainnya
2. Identitas klien dan keluarga ( penanngungjawab ) : nama, umur, jenis kelamin, agama,
suku bangsa, status perkawinan, alamat golongan darah, penghasilan, hubungan klien
dengan penanggungjawab.
3. Riwayat kesehatan
Tingkat kesadaran / GCS < 15, convulsi, muntah, takipnea, sakit kepala, wajah simetris
atau tidak, lemah, luka di kepala, paralise, akumulasi secret pada saluran pernapasan,
adanya liquor dari hidung dan telinga serta kejang.Riwayat penyakit dahulu barulah
diketahui dengan baik yang berhubungan dengan sistem persyarafan maupun penyakit
sistem – sistem lainnya, demikian pula riwayat penyakit keluarga yang mempunyai
penyakit menular.
4. Pemeriksaan Fisisk
a. Airway
 Kaji adanya benda asing, sekret, sputum, cairan pada saluran pernapasan.
 Kaji apakah lidah jatuh ke belakang sehubungan dengan penurunan kesadaran.
b. Breathing
 Kaji frekuensi pernapasan.
 Kaji suara nafas. Apakah ada suara nafas tambahan seperti wheezing, ronchi, atau
ralez.
 Kaji gerakan dada. Apakah simetris atau tidak.
 Kaji irama pernafasan. Apakah teratur atau tidak, dangkal atau dalam.
 Lakukan perkusi bila memungkinkan.
 Auskultasi suara nafas.
c. Circulation
 Kaji TTV (suhu, nadi, tekanan darah)
 Kaji apakah ada sianosis.
 Kaji apakah ada perdarahan pada daerah cedera. Kaji jumlah perdarahan.
 Kaji apakah ada mual dan muntah
d. Disability

 Pada pasien dengan trauma kepala sedang sampai berat dapat mengalami
penurunan kesadaran. Namun pada pasien dengan cedera kepala sedang
mengalami penurunan kesadaran kurang dari 24 jam (GCS 9-12), sedangkan
pada pasien cedera kepala berat dapat mengalami koma (GCS 3- 8).

 Dilatasi pupil dapat terjadi akibat peningkatan tekanan atau menyebarnya bekuan
darah pada otak sehingga mendesak otak tepatnya di korteks serebri pada lobus
oksipital.

 Kejang dapat terjadi akibat kerusakan lobus frontalis dan juga akibat dari
manifestasi klinis peningkatan TIK.

e. Exposure

 Kaji adanya luka atau jejas pada daerah cedera.


 Kaji tanda-tanda infeksi pada daerah cedera terutama cedera terbuka

B. Diagnosa Keperawatan
1. Ketidakefektifan pola nafas bd gangguan neurologis
2. Ketidakefektifan bersihan jalan nafas bd adanya jalan nafas buatan
3. Ketidakefektifan perfusi jaringan otak bd kurang pengetahuan ttg faktor pemberat
(trauma)
4. Nyeri akut bd agens cedera fisik
5. Kerusakan integritas kulit bd faktor mekanik
C. Rencana atau Intervensi Keperawatan

Diagnosa
No Tujuan/ Sasaran (NOC) Intervensi (NIC)
Keperawatan
1. Ketidakefektifan perfusi Setelah dilakukan asuhan  Monitor TTV
jaringan otak bd trauma ketidakefektifan perfusi jaringan  Monitor adanya diplopia,
cerebral teratasi dengan kriteria hasil: pandangan kabur, nyeri kepala
 Tekanan systole dan diastole  Monitor tonus otot pergerakan
dalam rentang yang diharapkan  Catat perubahan pasien dalam
merespon stimulus
 Komunikasi jelas  Tinggikan kepala 0-45 derajat
 Bebas dari aktivitas kejang tergantung pada kondisi pasien
 Tidak mengalami nyeri kepala dan order medis
2. Ketidakefektifan Setelah dilakukan tindakan  Pastikan kebutuhan oral /
bersihan jalan nafas bd keperawatan selama pasien tracheal suctioning.
sekresi yang tertahan menunjukkan keefektifan jalan nafas  Berikan O2
dibuktikan dengan kriteria hasil :
 Suara nafas yang bersih, tidak ada  Posisikan pasien untuk
sianosis dan dyspneu (mampu memaksimalkan ventilasi
mengeluarkan sputum, bernafas  Lakukan fisioterapi dada jika
dengan mudah, tidak ada pursed perlu
lips)  Keluarkan sekret dengan batuk
 Menunjukkan jalan nafas yang atau suction
paten (klien tidak merasa tercekik,
irama nafas, frekuensi pernafasan  Auskultasi suara nafas, catat
dalam rentang normal, tidak ada adanya suara tambahan
suara nafas abnormal)  Pertahankan hidrasi yang
adekuat untuk mengencerkan
sekret

3. Kerusakan integritas Setelah dilakukan tindakan  Anjurkan pasien untuk


kulit faktor mekanik keperawatan selama 3 x 24 jam menggunakan pakaian yang
kerusakan integritas kulit pasien longgar
teratasi dengan kriteria hasil:  Hindari kerutan pada tempat
 Mampu melindungi kulit dan tidur
mempertahankan kelembaban  Jaga kebersihan kulit agar tetap
kulit dan perawatan alami bersih dan lembab
 Mobilisasi pasien (ubah posisi
pasien) setiap dua jam sekali
 Oleskan lotion atau
minyak/baby oil pada derah
yang tertekan dan kering
 Monitor aktivitas dan mobilisasi
pasien
 Berikan posisi yang mengurangi
tekanan
4. Risiko Setelah dilakukan tindakan  Kaji adanya alergi makanan
ketidakseimbangan keperawatannutrisi kurang teratasi  Monitor mual dan muntah
nutrisi kurang dari dengan indikator:  Kolaborasi dengan dokter tentang
kebutuhan  Dapat makan melalui mulut kebutuhan suplemen makanan
seperti NGT/ TPN sehingga
intake cairan yang adekuat dapat
dipertahankan.
 Atur posisi semi fowler atau
fowler tinggi selama makan

5. Resiko Jatuh Setelah dilakukan tindakan  Lakukan modifikasi lingkungan


keperawatan maka masalah jatuh agar lebih aman (memasang
tidak terjadi. pengaman tempat tidur, dll)
Kriteria Hasil:  Anjurkan keluarga untuk
 Klien terbebas dari jatuh menemani pasien
 Memindahkan barang-barang
yang dapat membahayakan
DAFTAR PUSTAKA

Bulechek, G., Butcher, H., & Dochterman, J. (2013). Nursing Intervention Classification (NIC),
Sixth Edition. Mosby: Elsevier.
Chanon.et.al, (2013). A Trial of Intracranial-Pressure Monitoring in Traumatic Brain Injury. The
New England Journal of Medichine, 2471-2481.

Doenges, Marilynn E. 1999. Rencana Asuhan Keperawatan: Pedoman Untuk Perencanaan dan
Pendokumentasian Perawatan Pasien. Jakarta: EGC

Doenges, moorhouse, geissler. 2010. Rencana Asuhan Keperawatan: Pedoman Untuk


Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien.

Mansjoer, Arif, dkk. 2002. Kapita selekta Kedokteran Jilid I. Jakarta: Media Aesulapius

Moorhead, S., Johnson, M., L. Maas, M., & Swanson, E. (2013). Nursing outcomes clasification
(NOC) Measurement of Health Outcomes.Mosby: Elsevier.

Muttaqin A. & Sari K. 2011. Asuhan Keperawatan Gangguan Sistem Perkemihan.Jakarta:


Salemba Medika.

Nanda International. (2015). Nanda International Inc. Nursing Diagnoses: Definitions &
Clasifications 2015-2017. Jakarta: EGC.

Nurarif A. H. & Kusuma H. 2015. Buku Aplikasi Keperawatan Berdasarkan Diagnosa Medis
dan Nanda Nic-Noc.Jogjakarta: Mediaction.

Smeltzer, Suzanne C. & Brenda G. B. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal – Bedah Brunner
& Suddarh Vol 2. Jakarta: EGC.

Swiftet.al,. (2012). A review of magnetic resonance imaging and diffusion tensor imaging
findings in mild traumatic brain injury. Spinger Science , 137-196.
Reekum, R. v., Cohen, T., & Wong, J. (2015). Can Traumatic Brain Injury Cause Psychiatric
Disorders. Journal of Neuropsychiatry, 316-327.

Anda mungkin juga menyukai