Anda di halaman 1dari 45

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Sulawesi terletak pada pertemuan 3 Lempeng besar yaitu Eurasia Pasifik


dan Indo Australia serta sejumlah lempeng lebih kecil seperti Lempeng Filipina
yang menyebabkan kondisi tektoniknya sangat kompleks. Kumpulan batuan dari
busur kepulauan bancuh, ofiolit, dan bongkah dari mikrokontinen terbawa
bersama proses penunjaman, tubrukan, serta proses tektonik lainya.

2.1. Geologi Regional


Banggai Sula microcontinent merupakan bagian dari lempeng benua
Australia-New Guinea yang terlepas selama zaman Mesozoik akhir. Hal ini
didukung dengan adanya kesamaan dalam stratigrafi Pra-Cretaceous berada
diatas basement (batuan dasar) Paleozoic granitic dan metamorphic. Selama
periode Miosen hingga Pliosen, microcontinent bertumbukan dengan
lempeng Asiatik menghasilkan obduction kearah timur dari ophiolite di
Timurlaut Sulawesi.
2.1.1. Tatanan Tektonik
Berdasarkan penelitian Villeneuve et al (2000) mengenai proses
tektonik dan litostratigrafi daerah Sulawesi timur, diperoleh hasil
bahwa Pulau Sulawesi mengalami empat kejadian tektonik yaitu:
 Kapur Tengah, kejadian tektonik terjadi pada daerah Bantimala,
bagian selatan dari lengan barat.
 Oligosen, kejadian tektonik yang terjadi berupa tumbukan antara
tepian dari lempeng benua Asia dengan blok Australia yang
disebut sebagai Blok Kolonodale, sebelumnya bernama Blok
Banda
 Miosen Tengah, terjadi peristiwa tektonik berupa tumbukan antara
Banda Blok dengan fragmen dari Blok Lucipara yang disebut
sebagai paparan Tukang Besi.


 Pliosen tengah, terjadi peristiwa tektonik berupa tumbukan antara
Kolonodale dengan Blok Banggai Sula.
Tumbukan antara kedua lempeng ini menyebabkan aktifnya sesar
Palu-Koro, Matano, dan Malino, serta terbentuknya danau graben
Poso.

Gambar 2.1. Tektonik Setting Pulau Sulawesi, Davies (1990)

Seperti halnya Villeneuve (2000), Surono (1994), juga mencoba


mengintepretasi kejadian tektonik di lengan timur yang mengontrol
pembentukan daerah tersebut. Menurut Surono (1994) setidaknya
terjadi empat kali deformasi, sebagai berikut:
 Pada jaman Kapur terjadi pemekaran samudera di bagian barat,
kemudian pada Kapur akhir kerak samudera bergerak ke barat dan
menunjam di bawah kerak benua Eurasia dan atau busur gunung
api. Sehingga Mandala Sulawesi timur mengalami deformasi yang
pertama.
 Pada akhir Paleogen mandala (mikrolempeng) Banggai Sula
bergerak ke arah barat berbarengan dengan aktifnya sesar Sorong-


Matano, akibat pergerakan tersebut menyebabkan terjadi
deformasi yang kedua.
 Pada akhir Miosen Tengah bagian timur mandala Sulawesi timur
mencuatkan mikrolempeng benua (mandala) Banggai Sula. Kedua
lempeng tersebut saling bertemu sehingga menyebabkan terjadinya
deformasi fase ketiga. Sesar Toili dan Sesar Salodik merupakan
hasil dari kejadian tektonik pada fase ini.
 Pada kala Plio-Pleistosen terjadi deformasi pada seluruh daerah,
yang disebabkan oleh proses pengangkatan, sehingga
menghasilkan deformasi fase keempat. Deformasi pada fase ini
menyebabkan munculnya cekungan – cekungan kecil yang dangkal
dan terlingkung.
2.1.2. Struktur Geologi
Sulawesi dibagi menjadi empat zona utama struktural (Hamilton,
1979; Silver et al., 1983; Sukamto, 1990; Davies, 1990).
a. Zona bagian barat (lengan utara dan lengan barat daya) adalah
volkanik Cainozoik. Pada lengan baratdaya Sulawesi batuan ini
terletak diatas batuan dasar hasil dari colisi/tumbukan kompleks
batuan metamorf pada awal kapur, dan menujukkan hasil dari
pergerakan bagian dari Kalimantan tenggara. Selama jaman
Kapur, Kalimantan dan lengan tenggara Sulawesi termasuk dalam
lempeng Eurasia bagian paling utara dari Samudera Tethys.
b. Zona bagian tengah terbentuk dari batuan sedimen yang
termalihkan dan ofiolit yang termalihkan, termasuk fasies blue
schist. Proses metamorfisme berlangsung selama awal Kapur
(Aptian-Albian) dan Oligosen/Miosen bawah (Parkinson, 1991).
Zona bagian tengah merupakan bidang kontak antara lempeng
Eurasia dengan bagian dari lempeng Australia.
c. Zona Ofiolit (lengan timur dan tenggara) tersusun atas ofiolit
kompleks, yang secara lokal berumur Eosen atau Kapur/awal
Cainozoik (Simandjuntak, 1986; Mubroto et al., 1994) yang
terobduksi pada batuan sedimen mesozoik dan cainozoik.


d. Zona Banggai Sula (lengan timur dan tenggara) tersusun atas
batuan dasar continental yang ditumpangi dengan batuan sedimen
mesozoik dan cainozoik. Selama akhir Kapur Banggai Sula
terletak di daerah utara paparan Australia. Zona Banggai Sula dan
zona Ofiolit bertumbukan pada sepanjang Sesar Naik Batui.
selama Miosen tengah sampai awal Pliosen.

Gambar 2.2. Elemen struktur utama di daerah penelitian, Davies (1990)

Struktur geologi yang paling menonjol daerah penelitian adalah


sesar naik dengan jurus relatif melengkung dari barat-timur di Lembar
Luwuk dan berubah menjadi timurlaut-baratdaya di Lembar Batui.
Struktur Sesar Balantak pergeserannya relatif menganan memanjang
barat-timur dari Beheesiuna sampai Teku. Keberadaan sesar ini diduga
berkaitan erat dengan kehadiran sesar-sesar normal berarah timurlaut-
baratdaya yang memotong Pulau Peleng. Kelurusan sesar berarah jurus
barat-laut tengara mendominasi wilayah Batutambung ke arah
baratlaut.
Sesar-sesar mendatar merupakan unsur struktur utama di Sulawesi
dan kepulauan di sekitarnya membentuk blok-blok pegunungan.
Beberapa sesar mendatar mengiri berarah baratlaut-tenggara membagi
semenanjung Sulawesi menjadi beberapa blok pegunungan yang


didominasi oleh batuan ultrabasa. Danau Matano dan Towuti
ditafsirkan terbentuk dalam sistem sesar dan demikian juga
pembentukan pedataran di sekitar Kendari. Sistem sesar ini mencapai
Zona Patahan Batui, yang dibatasi oleh Sesar Sorong di bagian
utaranya. Zona depresi yang berarah utara-selatan pada bagian tengah
Sulawesi juga dipengaruhi oleh sistem sesar mendatar yang
membentuk Danau Poso di daerah ini. Elemen struktur geologi lain
yang penting dan mempengaruhi pembentukan morfologi di wilayah
Sulawesi bagian tengah adalah Sesar Palu yang berarah relatif
tenggara-baratdaya (Tjia, 1989; Tjia dan Zakaria, 1974; dalam
Wahyudiono, 2011).

2.1.3. Stratigrafi Regional


Daerah Luwuk-Banggai tercakup dalam lembar peta geologi skala
1 : 250.000 yang diterbitkan Pusat Survei Geologi (sebelumnya Pusat
Penelitian dan Pengembangan Geologi). Berdasarkan informasi pada
lembar tersebut (Rusmana dkk, 1993) maka dapat disusun formasi
pembentuk wilayah ini secara berurutan tua ke muda.

10 
Gambar 2.3 Kolom Stratigrafi Lembar Luwuk (Rusmana dkk, 1993)

Batuan tertua yang mengalasi wilayah ini adalah Formasi Meluhu.


Formasi Meluhu (TRJm) tersusun oleh batuan meta-hemipelagic.
Formasi Meluhu (TRJm) terdiri dari batusabak, batupasir malih, filit
dan sekis, diduga berumur Trias sampai Jura. Formasi Nanaka (Jn)
diduga menindih secara tak selaras, berupa batupasir kuarsa dengan
sisipan batubara dan konglomerat, berumur Jura (Simandjuntak, 1986).
Pada umur Jura juga terendapkan Formasi Nambo (Jnm), yang
tersusun atas batuan napal dan napal yang mengandung fosil Belemnit.

11 
Formasi Salodik (Tems) berupa batugamping berumur Eosen sampai
Miosen Akhir, menindih tak selaras Formasi Nanaka (Jn). Formasi
Nanaka terdiri dari konglomerat, batupasir dan serpih. Pada kala
Oligosen hingga Miosen Akhir terendapkan pula Formasi Poh (Tomp)
berupa napal, batugamping dan sedikit batupasir, menjemari dengan
bagian atas Formasi Salodik. Kelompok Molasa (Formasi Bongka dan
Formasi Kintom) menindih batuan yang lebih tua secara tak selaras;
berupa klastika kasar, umurnya diduga Miosen–Pliosen. Formasi
Bongka terdiri dari perselingan konglomerat, batupasir, lanau, napal
dan batugamping. Formasi Kintom tersusun atas batulempung kapuran
dan batupasir. Batuan tersebut di atas merupakan batuan yang berasal
dari mandala Banggai Sula.
Pada mandala Sulawesi timur tersusun atas batuan ultamafik yang
paling tua. Batuan ultramafik (Ku) yang terdiri dari harzburgit, dunit,
piroksenit, serpentinit, gabro, diabas, basal dan diorit. Umurnya belum
diketahui dengan pasti, diduga Kapur. Setempat juga dijumpai sekis,
amfibolit, filit dan gabro malih yang diduga merupakan bagian dari
kerak samudera. Formasi Matano (Km) berupa batugamping dengan
sisipan rijang, dan argilit berumur Kapur (Simanjuntak, dkk., 1986).
Batuan termuda berupa Aluvium (Qa) yang terdiri dari : lumpur,
lempung, pasir, kerikil dan kerakal; berupa endapan sungai, rawa dan
pantai. Satuan ini menindih tak selaras satuan yang lebih tua dan
setempat menjemari dengan batugamping terumbu, Formasi Terumbu
Koral Kuarter (Ql)

12 
Gambar 2.4. Stratigrafi Cekungan Luwuk Banggai (Ferdian dkk, 2010).

2.2. Mikrofasies
Mikrofasies merupakan bagian penting dalam analisis fasies dan
interpretasi lingkungan purba dari batuan karbonat, (Brown, 1943 dan
Cuvillier, 1952; dalam Flugel, 2010) mendefinisikan mikrofasies sebagai
studi karaksteristik batuan secara petrografi dan paleontologi melalui
sayatan tipis. Namun, saat ini pengertian mikrofasies sudah berkembang
semakin luas, Flugel (2010) mendefinisikannya sebagai seluruh data

13 
sedimentologi dan paleontologi yang dapat dideskripsi dan diklasifikasikan
dari sayatan tipis, sayatan poles, dan sampel batuan.
Keragaman data mikrofasies dipengaruhi oleh ukuran sampel, sehingga
peningkatan ukuran dari sampel yang diambil dapat menyebabkan
peningkatan keragaman data yang diperoleh. Pada kenyataannya, belum
ada aturan resmi mengenai jumlah sampel mikrofasies yang benar-benar
dapat menggambarkan batuan karbonat yang diteliti, tetapi saat ini mulai
ada kecenderungan empiris mengenai hal ini. Sebagai contoh, misalnya
dalam penelitian sikuen lapisan batuan karbonat laut dangkal, diperlukan
pengambilan sampel dengan interval yang lebih rapat, hal ini dikarenakan
tingginya keragaman data mikrofasies akibat perubahan lingkungan
subtidal dan tidal yang menghasilkan suatu pola siklus pengendapan.
Sampel dengan interval yang sangat rapat yakni 10 cm atau bahkan
kurang dari itu, sangat dianjurkan untuk mendeteksi siklus orde tinggi dari
stratigrafi sikuen (Buggisch et al, 1994; dalam Flugel, 2010). Perlapisan
dengan ketebalan yang tipis hingga menengah dari platform karbonat dan
ramp umumnya memiliki interval pengambilan sampel antara 20 cm dan 50
cm, atau hingga beberapa meter, sesuai dengan ketebalan dari tiap-tiap
lapisan. Pengambilan sampel dari tiap-tiap lapisan sangat dianjurkan jika
penelitian tersebut bertujuan untuk mengetahui perubahan lingkungan
dengan kontrol biota dan sedimentasi dalam jangka pendek.
2.2.1. Karakteristik Komponen Mikrofasies Batuan Karbonat
Menurut Tucker et al (1991) komponen penyusun batuan karbonat
dibedakan menjadi butiran bukan cangkang, butiran cangkang, matrik,
dan semen.
1). Butiran Bukan Cangkang, terdiri dari:
a. Peloid
Peloid adalah butiran karbonat yang berbentuk bulat,
elipsoid atau tidak beraturan yang tersusun oleh mikrit dan tanpa
struktur internal. Ukuran dari peloid umumnya berkisar antara 0,1
- 0,5 mm. Tabel 2.1, menjelaskan mengenai asal dan karakteristik
peloid.

14 
Tabel 2.1. Asal dan karakteristik karbonat peloid (Flugel, 2010)

Asal Pembentukan Tipe Karakteristik Gambar


Bulat memanjang, berwarna gelap,
Litifikasi kotoran umumnya homogen, ukuran <100µm
Fecal pellets
organik hingga beberapa mm, terkadang
berasosiasi dengan struktur bioturbasi
Biotik

Tidak beraturan, menunjukkan bentuk


Produk abrasi dari alga
Algal peloids gradasi dengan struktur sisa dari alga,
& calcimikroba
ukuran <20 µm -2mm
Butiran berasal dari Bioerosional Membulat tanggung dan menyudut,
-
sisa galian organisme peloids berukuran 20-100 µm

Rework sedimentasi Memiliki bentuk yang bervariasi,


Rework dari lumpur

primer & sekunder dari Mud Peloids umumnya tanpa struktur internal,
dan butiran

lumpur karbonat sortasi buruk

Berbentuk bujur telur, terkadang


Cetakan internal dari
Mold Peloids terdapat sisa cangkang yang belum
cangkang bivalvia
terlarutkan

Mikiritisasi yang
Butiran mikrit bulat, beberapa masih
Altrasi butiran

menghilangkan Bahamite
mengindikasikan mikrostruktur primer
struktur ooid & butiran Peliods
dari ooid dan skeletal grain
cangkang
Rekristalisasi yang Butiran mikrokristalin, terkadang masih
merusak struktur ooid Pelletoids menyisakan struktur internal dari ooid
& butiran cangkang dan skeletal grain
Presipitasi biochemical Butiran mikrit bulat, berasosiasi
Microbial
Pembentukan

akibat mikroba & zat dengan laminasi dan kemas tertutup,


organik
peloids
ukuran < 80 µm - > 600 µm
in-situ

Presipitasi kimia dari


Peloids dalam semen karbonat, terdiri
semen karbonat Precipitated
dari inti yang telah terkristalisasi dan
dengan atau tanpa peloids
mikrit sebagai pembatas butirannya
pengaruh organik

b. Butiran Berlapis
Butiran berlapis merupakan sebutan umum untuk butiran
karbonat yang secara fisik terlapisi oleh mikrit ataupun sparit
sehingga memperlihatkan struktur lamina. Butiran berlapis dapat
di bedakan menjadi:
1. Cortoid, merupakan butiran karbonat yang relatif bulat, bisa
berupa butiran cangkang ataupun butiran karbonat lain yang
dilapisi oleh lapisan tipis mikrit, berukuran antara < 1 mm
hingga beberapa centimeter. Cortoid (Gambar 2.5) ditemukan
melimpah pada shallow-marine shelf dan platform karbonat,

15 
sehingga banyak penulis menggunakan cortoid sebagai
indikator paleobatimetri (Flugel, 2010).

   

A B
Gambar 2.5. A. sketsa cortoid, B. kenampakan cortoid pada sayatan
tipis, panah putih menunjukkan fragmen cangkang,
panah hitam menunjukkan microboring pada
permukaan cangkang (Flugel, 2010).

2. Oncoid, merupakan butiran karbonat yang terdiri dari inti dan


laminasi tebal yang tidak beraturan, tidak konsentris, dan
saling menindih. Laminasinya terkadang menunjukkan struktur
biogenik, berukuran < 1 mm hingga beberapa desimeter.
Oncoid (Gambar 2.6) umumnya terbentuk di laut dangkal
dekat tepian platform dengan energi tinggi, ataupun pada
daerah lagoon (Peter dan Dana, 2003; dalam Flugel, 2010).

B C
Gambar 2.6. A. Oncoid berukuran besar, terbentuk dari cangkang foram
yang dilapisi oleh cyanobakteri (panah putih), B. Sketsa
oncoid, C. Oncoid porostromate yang tersusun oleh
Rothpletzella cyanobakteri (Flugel, 2010).

16 
3. Ooid adalah butiran karbonat yang berbentuk bulat atau elips,
mempunyai struktur lamina konsentris yang mengelilingi inti.
Bentuk struktur lamina dari ooid dapat mempresentasikan kondisi
lingkungan pengendapannya (Tabel 2.2).
Tabel. 2.2. Tipe struktur laminasi ooid (Flugel, 2010).
Kemas lapisan Lingkungan Gambar
Ooid konsentris Laminasi konsentris,
Laut sangat
terdiri dari kristal
dangkal, laut
tangensial dengan
hangat. Hadir
sumbu yang sejajar
pada daerah
dengan permukaan
berenergi tinggi
lamina
Ooid Radial
Laminasi terdiri dari
Laut dangkal,
kristal radial dengan
Hadir pada
sumbu yang tegak
daerah berenergi
lurus dengan
rendah
permukaan lamina

Ooid mikrit Lamina terdiri dari


mikrokristalin yang
tidak teratur, tidak
Laut dangkal
terdapat laminasi
akibat adanya
mikritisasi
Inti penyusun ooid umumnya berupa partikel karbonat atau butiran
kuarsa. Ooid memliki ukuran butir < 2 mm dan apabila memiliki
ukuran ≥ 2 mm disebut pisoid. Model mengenai hubungan antara
energi gelombang, ukuran butir maksimun dan rata-rata, serta
ketebalan dari lapisan ooid, disajikan pada Gambar 2.7.

Gambar 2.7. Model hubungan antara energi gelombang, ukuran butir


maksimum dan rata-rata, serta ketebalan lapisan ooid
(superficial ooid dibandingkan normal ooid). Lingkaran
hitam: butiran tak berlapis, lingkaran terbuka: superficial
ooid, lingkaran berarsir: Ooid normal (Carozzi, 1960;
dalam Flugel, 2010)

17 
Gambar 2.7 menjelaskan situasi yg berbeda dari intensitas
hidrodinamik yang mempengaruhi pembentukan ooid. Model situasi
1 dan 2 pada gambar tersebut mencirikan agitasi lokal lebih besar
dibanding arus maksimum yang membawa butiran, akibatnya semua
butiran yang ada akan terlingkupi oleh lapisan konsentris hingga
ukurannya sama dengan ukuran butir terbesar yang mampu dibawa
arus maksimum. Superficial dan ooid normal bergantung pada
ukuran butiran inti yang tersedia. Situasi 3, mencirikan agitasi lokal
sama dengan arus maksimum yang membawa butiran, semua butiran
berukuran kecil akan terlapisi hingga diameternya sama dengan
butiran tak berlapis (non-coated grain) terbesar. Situasi 4 mencirikan
agitasi lokal lebih rendah dibanding arus maksimum yang membawa
butiran, butiran yang tidak mampu diangkat oleh agitasi gelombang
akan tetap menjadi butiran yang tak berlapis, umumnya pada situasi
ini berkembang ooid normal. Situasi 5 mencirikan agitasi lokal yang
hanya mampu mengangkat butiran terkecil dan menghasilkan ooid
superficial, berasosiasi dengan butiran tak berlapis dengan ukuran
yang berbeda-beda. Situasi 6 mencirikan tidak adanya agitasi lokal,
sehingga tidak terbentuk ooid.

c. Agregat dan Intraklas


Agregat merupakan kumpulan dari beberapa macam
butiran karbonat yang tersemen bersama-sama oleh semen
mikrokristalin atau tergabung akibat material organik.
Sedangkan intraklas ialah partikel atau fragmen yang dihasilkan
dari proses erosi batuan yang sudah ada sebelumnya, pada
umumnya merupakan sedimen karbonat yang terkonsolidasi
lemah dari dasar laut sekitarnya (Folk, 1959).

18 
2). Butiran Cangkang
Merupakan butiran penyusun batuan karbonat yang terdiri dari
seluruh mikrofosil, butiran fosil ataupun pecahan dari fosil-fosil
makro.

3). Mikrit
Mikrit atau lumpur karbonat tersusun oleh kristal-kristal kalsit
atau aragonit yang sangat halus, dapat berperan sebagai matriks diantara
butiran karbonat atau sebagai penyusun utama batuan karbonat berbutir
halus, butirannya berukuran < 1/256 mm atau ukuran lempung
(Tucker,1991). Di bawah mikroskop mikrit mempunyai kenampakan
cloudy dan translucent, keabu-abuan sampai cokelat. Kehadiran mikrit
pada batugamping purba menunjukkan bahwa proses pencucian atau
penyaringan oleh gelombang dan arus relatif kecil sekali, sehingga
mikrit terbentuk pada kondisi air yang tenang.

4). Sparit
Sparit adalah kalsit yang jernih, memiliki ukuran butir > 4 µm,
pada umumnya terbentuk sebagai presipitasi kimia yang berfungsi
sebagai semen pengisi rongga antar butiran atau lubang hasil
pelarutan (Folk, 1959).

2.2.2. Klasifikasi Batuan Karbonat Dunham (1962)


Klasifikasi Dunham (Gambar 2.8) didasarkan pada tekstur
deposisi dari batugamping, karena menurut Dunham, dalam sayatan
tipis, tekstur deposisional merupakan aspek yang tetap. Dasar yang
dipakai oleh Dunham untuk menentukan tingkat energi adalah fabrik
batuan. Bila batuan memiliki komposisi material lumpur yang banyak
diinterpretasikan terbentuk pada energi rendah karena Dunham
beranggapan lumpur karbonat hanya terbentuk pada lingkungan yang
berarus tenang. Sebaliknya Dunham berpendapat bahwa batuan dengan
fabrik yang tersusun oleh butiran terbentuk pada energi gelombang kuat
sehingga hanya komponen butiran yang dapat mengendap.

19 
Gambar 2.8. Klasifikasi Batuan Karbonat Dunham (1962)

Klasifikasi Dunham (1962) memiliki beberapa kelebihan dan


kekurangan. Kelebihannya adalah penamaan batuan lebih objektif
karena dilakukan secara kuantitatif, penamaan batuan menggambarkan
tingkat energi pembentukan sehingga dapat menyampaikan informasi
genetis, relatif lebih mudah untuk digunakan di lapangan karena dapat
digunakan tanpa pemeriksaan mikroskop, tidak perlu menentukan jenis
butiran dengan detail karena tidak menentukan dasar nama batuan,
digunakan diseluruh dunia terutama dalam industri perminyakan. Selain
itu kelebihan yang lain dari pemakaian klasifikasi ini adalah dapat
dipakai untuk menentukan tingkat diagenesis karena apabila sparit
dideskripsi maka hal ini bertujuan untuk menentukan tingkat
diagenesis.
Kekurangan klasifikasi Dunham diantaranya adalah penamaan
batuan tidak sedetail klasifikasi Folk (1959), meskipun modifikasi Folk
dapat ditambahkan, kemas yang menjadi dasar klasifikasi kadang tidak
selalu terlihat jelas karena di dalam sayatan hanya memberi
kenampakan dua dimensi, oleh karena itu harus dibayangkan
bagaimana bentuk tiga dimensi batuannya agar tidak salah dalam
penafsirannya, dan yang terakhir adalah kurang umum digunakan dalam
dunia akademik.

20 
2.2.3. Foraminifera Dalam Sayatan Tipis
Kriteria yang dijadikan penciri dalam penentuan taksonomi dari
foraminifera dalam sayatan tipis adalah struktur dinding, jenis dan
jumlah kamar, serta posisi dari apertur. Penentuan taksonomi ini dalam
sayatan batuan karbonat bisa jadi merupakan sesuatu yang sulit karena
dalam sayatan hanya bagian tertentu saja yang terlihat dan struktur
dinding terkadang hilang akibat diagenesis. Beberapa masalah tersebut
dapat diatasi dengan langkah-langkah berikut:
 Membandingkan foraminifera yang terlarut dari batuan karbonat
dengan yang ditemukan disayatan tipis
 Membandingkan bentuk cangkang hipotetis yang sesuai dengan
bentuk cangkang di sayatan tipis

Gambar 2.9.Sayatan yang berbeda-beda yang membelah


cangkang foraminifera dengan berbagai bentuk. A. Single
chambered: 1.axial section, 2. longitudinal, 3. tangential, 4.
transversal, 5.oblique. B. Multichambered uniserial: 1. axial,
2.longitudinal, 3. transversal, 4.oblique passing through two
chambers. C. Multichambered biserial: 1. axial sagittal,
2.axial frontal, 3. longitudinal, 4.axial oblique, 5. transversal,
6.transversal oblique. D. Multichambered planspiral (a,
lateral view; b, peripheral view):1.axial, 2.transversal
equatorial. E.Multichambered triserial (a, lateral view; b,
oral view): 1.axial, 2 .longitudinal passing through two
chambers, 3. longitudinal passing through one chamber,
4.transversal. F.Multichambered trochospiral: 1.axial,
2.transversal dorsal, 3.transversal, passing through an
embryonal chamber, 4.transversal ventral, (Neumann,1967;
dalam Flugel, 2010).

21 
Gambar 2.10. (1) sayatan tipis dari bagian tengah foraminifera Deckerella
Cushman and Waters (Palaeotextulariacea, Fusulinina). (2)
residu dari spesimen Deckerella, morfologi cangkang dan
bentuk ruang terlihat lebih jelas dibanding pada sayatan tipis
(Flugel, 2010).

 Merekonstruksi sumbu sayatan yang paling sesuai hingga dapat


menghasilkan kenampakan cangkang seperti di sayatan tipis.
 Merekonstruksi cangkang pada sayatan tipis menjadi 3-dimensi
dengan bantuan komputer.
 Menggunakan sinar-X untuk menentukan taksonomi foraminifera
pada micritic limestone.

2.2.4. Zonasi Fasies Dari Rimmed Carbonate Platform Oleh Wilson (1975)
Wilson (1975) menggunakan karakteristik endapan rimmed
carbonate platform pada daerah tropis untuk membuat sebuah standar
zonasi fasies (FZ) yang diperlihatkan pada Gambar 2.11. Pola
karakteristik endapan ini terus berulang secara konsisten berdasar
catatan selama Fanerozoikum dan interpretasi dari pola-pola
sedimentasi Holosen.

Gambar 2.11. Rimmed Carbonate Platform: standar zonasi fasies, modifikasi


dari model Wilson (1975).

22 
1) FZ 1A Deep Sea
Berada di bawah wave base dan di bawah zona euphotic.
Kedalaman air beberapa ratus meter hingga beberapa ribu meter.
Tipe endapan berupa endapan laut dalam seperti pelagic clay,
siliceous dan carbonate ooze, hemipelagic  muds, turbidites.
Perlapisan sangat bervariasi, namun umumnya berupa perlapisan
tipis. Karakter fisik batuan berwarna gelap, kemerahan, dan cerah,
dipengaruhi oleh perbedaan kondisi oksidasi dan reduksi. Biota yang
melimpah adalah plangton, terkadang berasosiasi dengan
autochthonous benthic fossils. Litofasies yang umum ditemui adalah
Pelagic mudstone, wackestone, marls, allochthonous packstone,
grainstone, dan breccia.

2) FZ 1B Cratonic Deep-Water Basin


Berada di bawah wave base dan di bawah zona euphotic.
Kedalaman air 30 meter hingga 100 meter. Tipe endapan sama
dengan FZ 1A. Komposisi organik tinggi, hemipelagic  muds sangat
melimpah. Lapisan karbonat dan serpih tipis berwarna coklat gelap
dan hitam yang dipengaruhi oleh kelimpahan organik. Biota yang
melimpah adalah nekton misalnya ammonite dan plangton misalnya
radiolarians, pelagic foraminifera, calpionellids, terkadang benthos
seperti sponge spicules hadir melimpah. Litofasies yang umum
ditemui adalah mudstone, wackestone, packstone, marls, anhydrite.

3) FZ 2 Deep Shelf
Berada di bawah fair-weather wave base tetapi dalam
jangkauan extreme storm waves, serta berada tepat di bawah zona
euphotic. Berbentuk dataran tinggi antara platform dan cekungan
dengan kedalaman air berkisar anatar puluhan meter hingga ratusan
meter. Salinitas normal, kondisi cukup oksigen dengan sirkulasi arus
yang baik. Tipe endapan umumnya karbonat yang kaya fosil, saling
berselang-seling dengan lapisan napal. Matrik yang umum dijumpai

23 
adalah pelmikrit, bioturbasi ada, perlapisan baik, ketebalan lapisan
tipis hingga sedang. Batuan yang ada berwarna abu-abu, hijau,
merah, dan coklat dipengaruhi oleh kondisi reduksi dan oksidasi.
Biota yang melimpah adalah brachiopoda dan echinodermata.
Litofasies yang umum adalah wackestone, terkadang grainstone,
marls dan serpih juga hadir.

4) FZ 3 Toe-Of-Slope Apron (Deep Shelf Margin)


Berada di bawah wave base dan berada pada batas kelimpahan
oksigen. Kemiringan lereng lebih dari 1,5°, kedalaman air sama
dengan FZ 2 dengan rentang antara 200 meter hingga 300 meter.
Tipe endapan didominasi oleh karbonat berbutir halus, di beberapa
lokasi cherty. Terkadang terdapat lapisan bergradasi atau lapisan
breccia hasil turbidites yang berinterkalasi dengan batuan berbutir
halus. Biota yang ada merupakan hasil pengendapan ulang dari
benthic laut dangkal dan benthic serta plangton laut dalam.
Litofasies yang umum adalah mudstone, allochthonous packestone
dan grainstone.

5) FZ 4 Slope
Berada pada dasar laut dengan kemiringan 5° kearah
cekungan, terletak setelah platform margins. Endapan sedimen
umumnya merupakan material rework dari endapan platform.
Ukuran butir sangat bervariasi, dan pada akhir slope dapat dijumpai
slump. Karakteristik batuan berwarna gelap dan terang. Biota
umumnya hasil dari pengendapan ulang benthic laut dangkal dan
benthic serta plangton laut dalam, banyak dijumpai fosil cangkang
pada bagian ini. Litofasies yang ada adalah mudstone, allochthonous
packstone, grainstone, rudstone, floatstone dan breccia.

24 
6) FZ 5 Platform-Margin Reefs
Dicirikan dengan kehadiran mud mounds, sand shoals, dan
barrier reefs sebagai penghalang/pemecah gelombang. Kedalaman
air umumnya hanya beberapa meter, namun mud mounds sendiri
umumnya berkembang pada kedalaman ratusan meter. Tipe endapan
didominasi oleh sedimen karbonat dengan berbagai ukuran butir.
Karbonat masif, dolomit, berbagai jenis boundstone, terumbu
berongga yang terisi oleh semen karbonat, jejak galian dan hancuran
bioklastika dijumpai melimpah di daerah ini. Untuk biota yang
banyak dijumpai diantaranya adalah benthic, koloni dari
framebuilders dan bafflers, serta mikrofosil. Litofasies yang ada
adalah framestone, bafflestone, bindstone, wackestone, floatstone,
grainstone, dan rudstone.

7) FZ 6 Platform-Margin Sand Shoals


Dicirikan dengan gundukan yang memanjang, tidal bars,
pantai, dan terkadang membentuk sebuah pulau eolian. Berada diatas
fair-weather wave base dan di dalam zona euphotic. Daerah ini
sangat dipengaruhi oleh aktivitas pasang-surut. Tipe endapan berupa
calcareous, berbentuk bulat, terlapisi, dan bersortasi sangat baik,
komponen butiran berupa cangkang, ooid, dan peloid, sesekali
dijumpai pasir kuarsa. Struktur sedimen penciri adalah cross-
bedding dan bioturbasi. Biota yang umum terlihat adalah jenis
bivalvia dan gastropoda, terkadang dapat dijumpai juga beberapa
jenis dari foraminifera dan dasyclad. Litofasies yang ada berupa
grainstone dan packstone.

8) FZ 7 Platform Interior - Normal Marine (Open Marine)


Berbentuk platform datar dalam zona euphotic, berada diatas
fair-weather wave base. Daerah ini disebut lagoon jika dilindungi
oleh sand shoals, pulau, atau terumbu yang muncul dari dasar
platform. Daerah ini terhubung dengan laut terbuka sehingga

25 
salinitas dan suhunya tetap terjaga. Kedalaman air berkisar antara
beberapa meter hingga puluhan meter. Tipe endapan berupa lime
mud, muddy sand dan clean sands, tergantung pada ukuran butir dari
produksi sedimen lokal dan efisiensi pencucian (winnowing) oleh
gelombang dan arus pasang-surut. Biota terdiri dari benthic laut
dangkal, alga, foraminifera, bivalvia, gastropoda, rumput laut, dan
terumbu yang tumbuh setempat-setempat. Litofasies yang ada
berupa mudstone, wackestone, floatstone, packstone, dan
grainstone.

9) FZ 8 Platform Interior - Restricted


Kondisinya tidak jauh berbeda dengan FZ 7, tetapi kurang
terhubung dengan laut terbuka, menyebabkan salinitas dan
termperaturnya bervariasi. Kedalaman berkisar dari satu meter,
hingga beberapa puluh meter. Tipe endapan berupa lime mud, muddy
sand, terkadang clean sand. Sedimen asal darat sangat umum masuk
hingga daerah ini. Keragaman biota laut dangkal berkurang, namun
jumlah individu meningkat. Foraminifera dengan dinding porselen,
ostracoda, gastropoda, alga dan cyanobakteri dapat dijumpai di
daerah ini. Litofasies yang ada berupa mudstone, wackestone,
grainstone, bindstone, dolomite dan breccia.

10) FZ 9A Arid platform interior - evaporitic


Kondisinya tidak jauh berbeda dengan FZ 7 dan FZ 8, namun
iklim kering dengan sirkulasi dari laut terbuka yang hanya terjadi
secara berkala membuat gypsum, anhydrite dan halite dapat
terbentuk dengan baik disini. Merupakan daerah supratidal, rawa
ataupun kolam garam. Tipe endapan berupa calcareous, dolomitic,
mud, sands, gypsum, anhidrite, terkadang berinterkalasi dengan
sedimen asal darat. Warna batuan yang ada sangat bervariasi. Biota
yang ada sangat sedikit, kecuali cyanobakteri, ostracoda, moluska,
dan udang yang dapat beradaptasi dengan salinitas yang tinggi.

26 
Litofasies yang ada berupa dolomit, mudstone, bindstone, gypsum,
dan anhydrite.

11) FZ 9B Humid Platform Interior - Brackish (Humid)


Berbeda dengan FZ 9A, daerah ini hampir tidak terkoneksi
dengan laut terbuka, namun dengan iklim yang lembab
menyebabkan vegetasi rawa menyebar di dataran supratidal. Tipe
endapan berupa lumpur karbonatan dan lapisan gambut. Warna
batuan abu-abu, coklat, gelap dan cerah. Biota yang ada umumnya
adalah biota air payau dan air tawar seperti ostracoda, siput air
tawar, dan charophycean algae.

12) FZ 10 Humid and Arid often Subaerially Exposed, Meteorically


Influenced Limestones
Daerah subaerial atau subaquatic, terbentuk dibawah kontrol
lingkungan meteoric-vadose dan marine-vadose. Batugamping
mengalami proses diagenesis awal selama fase subaerial sehingga
menghasilkan endapan caliche. Biota yang ada hanya cyanobakteri
dan mikroba.

2.2.4. Standard Microfacies Types (SMF)


Standard Microfacies Types (SMF) merupakan sebuah
kategori yang mengelompokkan tiap-tiap fasies dengan kriteria yang
paling mewakili kondisi dari fasies tersebut. Kriteria ini sifatnya
sederhana, non- atau semi-kuantitatif, dan mudah untuk dikenali.
Kriteria utama yang digunakan dalam membedakan SMF terdiri dari:
1. Jenis butiran, frekuensi butiran, serta asosiasi butiran
2. Tipe matrik, misalnya mikrit dan calcisiltite.
3. Struktur pengendapan, misalnya laminasi, gradasi, burrow,
rework, dan redeposition.
4. Fosil, misalnya akumulasi cangkang dan organisme plangtonik.

27 
5. Jenis tekstur pengendapan. Beberapa dari SMF sesuai dengan satu
jenis tekstur pengendapan, sedang yang lainnya bisa jadi sesuai
dengan dua atau lebih, dari jenis tekstur pengendapan yang
didasarkan pada klasifikasi Dunham dan modifikasi dari
klasifikasi ini.
Flugel (1982) pada awalnya menyusun SMF dalam 24 tipe,
kemudian Wilson (1975) mengembangkannya menjadi 26 tipe SMF
untuk rimmed carbonate platform (Gambar 2.18), yaitu:
1. SMF 1: Spiculite wackestone or packstone, often with a
calcisiltite
Kriteria: memiliki warna gelap, berlapis, berukuran butir
halus dan kaya organisme. Terkadang dijumpai mikro pelagik
seperti radiolaria. Mikrofasies ini sangat umum dijumpai pada
cekungan karbonat (FZ 1) berumur Paleozoikum dan
Mesozoikum, serta pada daerah mid-ramp dan outer ramp.
Spiculite umum ditemukan pada laut dalam yang dingin, tetapi
terkadang juga dapat ditemukan di lingkungan laut dangkal.

SMF1-BURROWED: Burrowed bioclastic wackestone with


abundant fine pelagic and benthic biodetritus
Kriteria: bioklastika berukuran sangat kecil, umumnya
berupa puing-puing dari cangkang. Terbentuk pada cekungan
(FZ1), deep shelf (FZ 2), dan outer ramp.

2. SMF 2: Microbioclastic peloidal calcisiltite


Kriteria: batugamping dengan perlapisan tipis hingga
menengah. Berupa packstone dan grainstone berukuran butir
sangat halus yang tersusun oleh peloid, litik, dan bioklastika
(misalnya echinodermata dan moluska). Butiran yang ada
merupakan campuran dari puing-puing dan sedimen rework.
Laminasi, ripple cross-lamination, dan gradasi berskala kecil

28 
dapat ditemui pada tipe SMF ini. FZ yang memiliki
karakteristik seperti ini adalah FZ 1, 2, dan 3.

3. SMF 3: Pelagic lime mudstone and wackestone with


planktonic microfossils
Kriteria: didominasi oleh mikrit dengan mikrofosil
pelagik, misalnya foraminifera, radiolaria, calpionellid, serta
makrofosil seperti crinoid yang berlimpah. SMF dengan tipe ini
umum dijumpai pada FZ 1B dan FZ 3.

4. SMF 4. Microbreccia, bioclastic-lithoclastic packstone or


rudstone
Kriteria: endapan tubidit berkembang disini, ditunjukkan
dari butiran karbonat yang diduga berasal dari material
longsoran laut dangkal saling bercampur dengan kuarsa, rijang,
dan ekstraklas. Terdapat pula breksi berukuran butir halus. SMF
tipe ini berkembang pada FZ 1 dan FZ 3.

5. SMF 5. Allochthonous bioclastic grainstone, rudstone,


packstone and floatstone or breccia
Kriteria: kaya dengan fosil utuh maupun berupa pecahan,
serta fragment dari karang. Bioklastika terendapkan dengan
struktur pengendapan turbidit, di daerah forereef. SMF ini
berkembang pada FZ 4.

6. SMF 6. Densely packed reef rudstone


Kriteria: material organik dan pecahan batuan yang telah
ada sebelumnya yang berasal dari puncak terumbu dengan arus
tinggi tertransport ke arah lereng melalui proses longsoran.
Ukuran batuan berkisar dari beberapa milimeter hingga puluhan
sentimeter. Berkembang pada FZ 4.

29 
7. SMF 7. Organic boundstones
Kriteria: tipe ini merupakan penciri FZ 5. SMF ini
terkonsentrasi pada studi mikrofasies batugamping terumbu.
Ditandai dengan pertumbuhan dari beberapa jenis terumbu yang
diklasifikasikan sebagai framestone, bafflestone, dan bindstone.

8. SMF 8. Wackestones and floatstones with whole fossils and


well preserved infauna and epifauna
Kriteria: didominasi oleh organisme yang berakar.
Pecahan cangkang berukuran sangat kecil berkontribusi untuk
menjadi matriks bioklastika. Struktur galian (burrow) umum
dijumpai. Organisme penciri daerah ini adalah moluska, spons,
karang, dan calcareous algae. Tipe SMF ini terbentuk pada
lingkungan berenergi rendah seperti FZ 2 dan FZ 7.

9. SMF 9. Strongly burrowed bioclastic wackestone


Kriteria: bioklastika mengalami mikritisasi, fragmen fosil
berlimpah dan saling bercampur aduk pada bekas galian
(burrow). Fosil yang umum dijumpai adalah crinoid,
brachiopoda, bryozoa dan rugose corals pada batugamping
berumur Paleozoikum, sedangkan untuk batugamping berumur
Mesozoikum dan Tersier ditandai dengan melimpahnya
bivalvia, gastropoda, dan echinodermata. SMF ini berkembang
baik pada FZ 2 dan FZ 7.

10. SMF 10. Bioclastic packstones and grainstones with coated


and abraded skeletal grains
Kriteria: cangkang bioklastika yang ada telah tergantikan
(replacement) atau terlapisi (coated) material lain seperti mikrit.
Butiran yang ada merupakan hasil transportasi dari daerah
berenergi tinggi menuju ke daerah berenergi rendah, kemudian
terendapkan membentuk wackestone, packstone, dan terkadang

30 
sebagai grainstone dengan butiran yang halus. SMF ini
berkembang pada FZ 2 dan FZ 7.

11. SMF 11. Coated bioclastic grainstone with sparry cement


Kriteria: butiran yang dominan adalah bioklastika yang
terlapisi mikrit, selain itu terdapat juga butiran intraklastika,
peloid, dan ooid. Terbentuk pada FZ 5 dan FZ 6 dengan salinitas
normal dan agitasi gelombang yang konstan pada fair-weather
wave base, atau antara fair-weather wave base dengan storm
wave base. Butiran dengan lapisan mikrit akibat proses
mikritisasi oleh mikroba merupakan penciri khusus pada daerah
yang sangat dangkal.

12. SMF 12. Limestones with shell concentrations


Kriteria: bioklastika rudstone atau floatstone. Bioklastika
bisa berupa cangkang bivalvia, brachiopoda, gastropoda,
crinoid, ataupun echinodermata. Batuan ini terbentuk pada
berbagai lingkungan, dari pantai hingga laut dalam. Lapisan
dengan cangkang bivalvia yang melimpah mencirikan endapan
FZ 1, 2, 3, 4, 5, 7, dan 8, sedangkan lapisan dengan akumulasi
crinoid mencirikan endapan pada FZ 2, 3, 4, dan 5.

13. SMF 13. Oncoid rudstones and grainstones


Kriteria: batuan yang terbentuk di dominasi oleh butiran
dengan sedikit atau bahkan tanpa mikrit. Butiran penyusun
utama berupa oncoid berukuran beberapa milimeter hingga
beberapa sentimeter, selain itu terdapat pula ooid, dan
bioklastika berukuan butir halus. Oncoid rudstone dan
grainstone terbentuk di daerah dangkal berenergi tinggi yakni
FZ 5, 6, dan tepian FZ 7 dekat Platform-Margin.

31 
14. SMF 14. Lag Deposit
Kriteria: dicirikan oleh adanya abrasi, fragmentasi, dan
bioerosi. Terbentuk di lingkungan dengan akumulasi material
kasar yang lambat seperti pada wilayah pesisir yang rentan
terhadap proses pelarutan dan pengendapan ulang.

15. SMF 15. Oolite (commonly ooid grainstones but also oolitic
wackestones)
Kriteria: akumulasi pasir karbonat dengan prosentase
butiran ooid yang tinggi mencirikan lingkungan dangkal yang
dengan agitasi gelombang yang konstant. Ooid dengan laminasi
konsentris mencermikan kondisi lingkungan berenergi tinggi
seperti pada FZ 6 dan 7. Ooid dengan laminasi yang tersusun
oleh kristal radial menunjukkan kondisi lingkungan berenergi
sedang hingga rendah dengan salinitas tinggi ataupun rendah,
misalnya laguna dan perairan payau (FZ 8 dan 9B).

16. SMF 16. Non-laminated peloidal grainstone and packstone


and laminated peloidal bindstone
Kriteria: didominasi oleh butiran peloid menyudut
tanggung hingga membulat tanggung. Terdapat 2 subtipe dari
SMF ini, yaitu SMF 16-Non Laminated yang ditandai dengan
peloid berukuran seragam berasosiasi dengan foraminifera
bentonik, ostracoda dan calcispheres. Menjadi penciri dari FZ 8.
Tipe kedua adalah SMF 16-Laminated dicirikan dengan peloid
yang memiliki ukuran berbeda-beda, umumnya berupa mud
peloids, fecal pellets, dan microbial peloids. Terdistribusi secara
beraturan sesuai dengan ukuran butirnya membentuk pola
laminasi dari packstone dan grainstone. Berkembang pada FZ
4,5,7, dan 9.

32 
17. SMF 17. Aggregate-grain (grapestone) grainstone
Kriteria: grainstone dan rudstone yang ada tersusun atas
butiran agregat berukuran arenit dan rudit, terkadang berasosiasi
dengan peloid dan cangkang yang terlapisi atau termikritisasi.
Fosil jarang ditemui, kecuali beberapa foraminifera dan alga.
Tipe ini sangat berlimpah pada FZ 7 dan 8.

18. SMF 18. Bioclastic grainstones and packstones with abundant


benthic foraminifera or calcareous green algae
Kriteria: dicirikan dengan melimpahnya foraminifera
bentonik dan gangang hijau, selain itu terdapat juga peloid,
cortoid, dan agregat. Batuan yang umum adalah packstone dan
grainstone dengan keragaman biota yang rendah. Berlimpah
pada FZ 7 dan 8.

19. SMF 19. Densely laminated bindstone


Kriteria: bindstone dengan struktur laminasi tebal yang
tersusun oleh peloid berukuran sangat kecil dan sparit. Biota
jarang dijumpai kecuali ostracoda, beberapa foraminifera,
gastropoda, dan beberapa alga. Merupakan penciri endapan
dekat pantai yang terpengaruh aktivitas pasang surut seperti FZ
8 dan 9.

20. SMF 20. Laminated stromatolitic bindstones/mudstones


Kriteria: bindstone dengan laminasi yang berombak,
terkadang menunjukkan struktur mikroba dan alga. Umum
terbentuk pada zona supratidal, intertidal, dan subtidal, seperti
pada FZ 7, 8, dan 9A.

21. SMF 21-FEN. Fenestral packstones and bindstones


Kriteria: berupa bindstone yang ditandai oleh rongga
fenestral dengan berbagai ukuran yang terbentuk akibat
pelepasan udara yang terjebak selama proses lithifikasi sehingga

33 
menyisakan rongga-ronga kosong. Terbentuk pada area
supratidal dan intertidal (FZ 8) serta evaporitic lagoon (FZ
9A).

22. SMF 22 Oncoid floatstones or wackestones


Kriteria: ditandai dengan oncoid berukuran beberapa
milimeter hingga beberapa sentimeter, dengan inti berupa pecahan
cangkang atau butirn kuarsa yang terbalut oleh alga. Terbentuk
pada daerah berenergi rendah dari laguna dangkal dan zona pasang
surut (FZ 8).

23. SMF 23. Non-laminated homogeneous micrite and


microsparite without fossils
Kriteria: mudstone yang tersusun oleh butiran sangat halus
tanpa kehadiran bioklastika, terkadang dijumpai mineral
evaporit yang berkembang pada mudstone yang dipengaruhi
oleh kondisi lingkungan yang kering pada FZ 8 dan 9A.

24. SMF 24. Lithoclastic floatstones, rudstones and breccias


Kriteria: ditandai dengan litoklastika berukuran beberapa
milimeter hingga beberapa sentimeter dengan ujung menyudut
membentuk breksi. Penciri dari lingkungan pasang surut seperti
pada FZ 8.

25. SMF 25. Laminated evaporite-carbonate mudstone


Kriteria: ditandai oleh mudstone yang mengalami proses
evaporasi. Proses ini menghasilkan perselingan antara kristal
evaporit dengan mikrit sehingga membentuk struktur laminasi.
Batuan dengan kondisi seperti ini mencirikan lingkungan
supratidal yang kering (FZ 9A).

34 
26. SMF 26. Pisoid cementstones, rudstones and packstones
Kriteria: ditandai dengan pisoid berukuran beberapa
sentimeter. Terbentuk dibawah kontrol lingkungan meteoric-
vadose dan marine-vadose pada FZ 10.

Gambar 2.12. Distribusi tipe SMF pada FZ dari Rimmed Carbonate Platform (Wilson, 1975)

35 
2.3. Lingkungan Diagenesis
Lingkungan diagenesis adalah suatu zona dipermukan maupun dibawah
permukaan bumi yang secara spesifik memberikan pengaruh terhadap proses
diagenesis batuan dengan karakteristik yang berbeda-beda, terutama pada
morfologi semennya (Tabel 2.4 dan 2.5). Terdapat 3 jenis lingkungan diagenesis
yang utama, yaitu meteoric, marine, dan burial (Choquette and Pray, 1970;
dalam Flugel, 2010). Gambar 2.13 dan Tabel 2.3 menjelaskan mengenai lokasi
dan proses yang terjadi dari suatu lingkungan diagenesis.

Gambar 2.13. Lingkungan diagenesis (Choquette and Pray, 1970; dalam Flugel, 2010)

Tabel. 2.3. Proses utama yang terjadi pada masing-masing lingkungan diagenesis
(Grammer et al, 1993; dalam Flugel, 2010).
Lingkungan Pengisi Lama
Lokasi Proses
Diagenesis Pori Waktu
Diatas muka airtanah, Zona pelarutan intensif:
antara permukaan dan Air tawar penghilangan mineral aragonit, 103-105
Meteoric vadose
zona meteoric dan udara pembentukan lubang (vugs). tahun
phreatic Zona presipitasi: sementasi minor
Zona pelarutan: pelarutan
103-105
aragonit dan Mg-kalsit,
Meteoric Dibawah muka hingga
Air tawar menghasilkan cetakan dan lubang
phreatic airtanah 106-107
Zona hancuran: sementasi kecil,
tahun
stabilisasi aragonit dan Mg-kalsit
Lingkungan laut dangkal: air
jenuh dengan CaCO3, sementasi
oleh mineral aragonit dan Mg-
Pada laut dangkal 101-104
Marine phreatic Air laut kalsit, jenis semen beragam.
maupun laut dalam tahun
Lingkungan laut dalam dan air
dingin: air tidak jenuh CaCO3,
pelarutan aragonit dan kalsit
Dibawah permukaan,
Air asin Burial dangkal dan burial dalam:
tidak terjangkau oleh
dengan pemadatan secara fisik,
proses yang terjadi di 106-108
Burial berbagai pemadatan secara kimia,
permukaan, berada di tahun
tingkat sementasi, dan pengurangan
area metamorfisme
salinitas porositas
tingkat rendah

36 
Tabel. 2.4. Morfologi semen serta interpretasi lingkungan diagenesisnya (Flugel, 2010). Bagian 1.
Gambar Tipe Morfologi Semen

Acicular: Kristal berbentuk jarum, tumbuh secara normal pada


substrat. Kristal berbentuk elongate dan pararel terhadap sumbu-c.
Lebar < 10 μm, panjang sekitar 100μm atau lebih. Pada umumnya
berupa aragonite, namun tidak menutup kemungkinan Mg-kalsit.
Mengindikasikan zona marine phreatic.
Fibrous: Kristal berserat, tumbuh normal pada substrat. Kristal
menunjukkan elongasi panjang yang signifikan, biasanya pararel
terhadap sumbu-c. Bentuk kristal seperti jarum atau kolumnar (rasio
panjang dan lebar yakni 6:1, lebar > 10μm). Ukuran pada umumnya
halus sampai sedang. Sering dijumpai pada pori inter-partikel dan
intrapartikel. Aragonit atau high-Mg-kalsit. Pada umumnya terbentuk
pada zona marine phreatic, namun terkadang dijumpai pada zona
meteoric-vadose dan marine-vadose dengan bentuk lebih kolumnar).
Botryoidal: Semen pengisi pori yang dibentuk oleh kristal yang
saling menyatu dan menunjukkan horizon yang tidak menerus.
Semen ini tersusun oleh kipas individual maupun kelompok.
Aragonit. Pada umumnya terbentuk di laut dan sering dijumpai di
gua terumbu dan slope terjal ke arah laut, namun kadang juga
dijumpai pada lingkungan burial.
Radiaxial fibrous: Kristal berukuran besar dan keruh, banyak
dijumpai inklusi kristal kalsit dengan gelapan bergelombang. Ukuran
kritalnya antara sedang hingga kasar. Terkadang memanjang hingga
beberapa millimeter, biasanya antara 30μm-300μm. Rasio
panjang/lebar 1:3-1:10. Terbentuk pada zona marine phreatic atau
zona burial.
Dog tooth: Kristal kalsit yang menajam pada satu titik dengan
bentuk scalenohedral atau rhombohedral, tumbuh secara normal dan
subnormal pada substrat. Sering dijumpai pada zona meteoric dan
burial dangkal, terkadang juga dijumpai pada zona marin phreatic
dan hidrotermal.
Bladed: Kristal yang non-equidimensional dan non-fibrous.
Berkorespodensi dengan kristal elongate yang lebih lebar dari kristal
fibrous (rasio panjang:lebar 1.5:1-6:1) dan menunjukkan terminasi
seperti pyramid. Ukuran kristal mencapai lebih dari 10μm untuk
lebar dan panjang kurang dari 20μm-100μm. Kristal bertambah lebar
seiring dengan bertambahnya panjang. Berupa high-Mg kalsit namun
juga aragonite. Terbentuk pada zona marine phreatic dan marine-
vadose.
Dripstone: Semen yang dicirikan oleh perbedaan tebal dari lapisan
semen di bawah butir. Pada umumnya berupa kalsit. Terbentuk di
bawah zona kapilaritas dan di atas muka airtanah di dalam zona
meteoric-vadose, namun juga bisa terbentuk pada zona meteoric
phreatic dan secara sporadis pada zona marine vadose. Sering
berasosiasi dengan semen meniscus
Meniscus: Semen kalsit yang terpresipitasi dengan pola meniscus
pada atau dekat kontak antar butir dalam pori yang udara dan air.
Menghasilkan pori intergranular yang memiliki kenampakan
membundar akibat efek meniscus. Biasa terbentuk pada zona
meteoric vadose, namun juga hadir pada zona meteoric phreatic dan
marine vadose.

37 
Tabel. 2.4. Morfologi semen serta interpretasi lingkungan diagenesisnya (Flugel, 2010). Bagian 2.
Gambar Tipe Morfologi Semen
Drusy: Semen mengisi pori intergranular dan interkristal, cetakan
(mold) dan rekahan, dicirikan oleh bentuk equan sampai elongate,
anhedral hingga subhedral. Ukurannya >10μm. Ukuran bertambah
kearah pusat pori. Terbentuk di dekat permukaan meteoric dan juga
lingkungan burial.
Granular: Semen kalsit terdiri dari kristal kecil equidimensional
yang mengisi pori. Umum dijumpai pada pori interpartikel, pada
umumnya tanpa kontrol substrat. Terbentuk pada zona meteoric
vadose, meteoric phreatic dan lingkungan burial. Dapat juga
terbentuk sebagai hasil reksristalisasi dari semen yang ada
sebelumnya.
Blocky: Semen kalsit yang terdiri dari kristal berukuran sedang
hingga kasar tanpa menunjukkan adanya orientasi tertentu. Dicirikan
oleh ukuran kristal yang bervariasi antara puluhan micron hingga
beberapa millimeter, sering menunjukkan perbedaan bentuk batas
kristal. Berupa high-Mg kalsit dan low-Mg kalsit. Pada umumnya
terbentuk pada zona meteoric vadose dan meteoric phreatic, serta
lingkungan burial, sangat jarang ditemui pada terumbu.
Terpresipitasi setelah pelarutan semen aragonite atau butiran
karbonat. Dapat juga terbentuk sebagai hasil rekristlaisasi semen
yang sudah ada sebelumnya.
Syntaxial calcite overgrowth: Pertumbuhan kristal yang dikontrol
oleh substrat di sekitar butiran induk oleh satu kristal, biasanya
fragmen echinodermata bersifat high-Mg kalsit. Perbedaan warna
antara butiran skeletal dan semen overgrowth terkadang sulit
diidentifikasikan. Semen overgrowth yang biasa terbentuk di marine,
vadose-marine dan meteoric-phreatic kaya akan inklusi dan keabu-
abuan, kontras dengan semen overgrowth yang terbentuk pada
lingkungan burial.
Peloidal microcrystalline: Dicirikan oleh kemas peloidal yang terdiri
dari peloid-peloid mini berukuran <100μm di dalam matrix
mikrokristalin. Terbentuk di laut dangkal. Diintrepertasikan sebagai
presipitasi akibat aktivitas kimia atau mikrobial.

Microcrystaline or micrite cement: Kristal rhombic dengan ukuran


micron. Membentuk semacam selimut tipis di sekitar butir, mengisi
pori secara penuh atau membangun semacam jembatan antar butir,
terkadang berkontribusi dalam pembentukan semen meniscus. Mg-
kalsit. Seringkali berasosiasi dengan semen peloidal.

2.3.1.Diagenesis Marine Phreatic


Diagenesis marine phreatic umumnya terjadi pada lantai samudra
dangkal dan dalam, dan juga pada dataran pasang surut (tidal flat).
Proses diagenesis utama yang terjadi pada lingkungan ini adalah
mikritisasi oleh organisme yang menghasilkan micrite envelope di sekitar
bioclastic, serta pembentukan semen kalsit dan aragonit yang
mengelilingi butiran dan mengisi pori batuan dengan bentuk kristal

38 
fibrous (Gambar 2.14). Pada laut dalam, tingkat kejenuhan mineral Mg
kalsit dan aragonit semakin berkurang, sehingga dapat mengakibatkan
pelarutan dan pembentukan porositas sekunder (Peter dan Dana, 2003).

Gambar 2.14. Morfologi semen yang berkembang pada lingkungan marine


phreatic (diadaptasi dari James dan Choquette, 1983; oleh Peter
dan Dana, 2003).

2.3.2.Diagenesis Meteoric
Diagenesis meteoric terbagi menjadi 2, yaitu meteoric vadose dan
meteoric phreatic. Meteoric vadose dicirikan dengan pelarutan yang
intensif dari mineral karbonat yang tidak stabil seperti aragonit dan Mg
kalsit, sehingga porositas sekunder umumnya terbentuk pada lingkungan
ini. Lingkungan vadose berada diatas muka air tanah, sehingga air
permukaan yang meresap akan jatuh kebawah melewati butiran akibat
kontrol gravitasi, menciptakan morfologi semen yang khas, yakni
meniscus dan dripstone atau lebih dikenal dengan istilah micro stalactitic
cements. Tidak jauh berbeda dengan proses yang terjadi pada meteoric
vadose, lingkungan meteoric phreatic yang berair tawar dan tidak jenuh
dengan mineral aragonit dan Mg kalsit, dapat menyebabkan terjadinya
leaching (pencucian) yang melarutkan mineral karbonat yang tidak stabil
dan menghasilkan porositas sekunder. Namun terkadang pada zona-zona

39 
percampuran antara air tawar dengan air asin pada daerah transisi, bisa
jadi butiran karbonat yang ada akan dilingkupi oleh mineral karbonat
yang lebih stabil seperti equant calcite membentuk morfologi isopachus
dan blocky seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2.15 dan 2.16 (Peter
dan Dana, 2003).

Gambar 2.15.Morfologi semen yang berkembang pada lingkungan meteoric


(diadaptasi dari James dan Choquette, 1983; oleh Peter dan
Dana, 2003).

Gambar 2.16. Tahapan pada diagenesis meteoric phreatic (Peter dan Dana, 2003)

40 
2.3.3. Diagenesis Burial
Batuan karbonat yang telah mengalami diagenesa akibat burial
dapat diidentifikasi oleh kenampakan kriteria-kriteria mikrofasies berupa
jenis morfologi semen dan tekstur diagenetik. Proses-proses yang terjadi
pada lingkungan burial diantaranya adalah (Flugel, 2010):
a. Kompaksi fisika yang diakibatkan pembebanan, dapat mengurangi
ketebalan, porositas, permeabilitas dan deformasi butiran,
menghasilkan kemas yang tertekan (Gambar 2.17).
b. Kompaksi kimia yang terjadi pada kedalaman ratusan hingga ribuan
meter, menyebabkan berkurangnya ketebalan, porositas, dan
permeabilitas, serta menghasilkan struktur stilolit.
c. Sementasi, menghasilkan equant calcite dan coarse calcite spar.
Equant calcite umumnya berupa drusy dan granular. Sedangkan
coarse calcite spar dicirikan dengan kehadiran poikilotopic cement
serta syntaxial overgrowth cement (Gambar 2.18).
d. Dolomitisasi, yang menghasilkan kemas kristal anhedral dan
cenderung berukuran kasar.

Gambar 2.17. Kompaksi fisika dan kimia (Peter dan Dana, 2003)

41 
Gambar 2.18. Kemas semen pada diagenesis burial (Peter dan Dana, 2003)

Berdasarkan porositas sekunder yang terbentuk, fase diagenesis terbagi


menjadi 3, yaitu eogenesis, mesogenesis, dan telogenesis seperti yang telihat
pada Gambar 2.19 (Choquette dan Pray, 1970; dalam Moore, 1989).

Gambar 2.19. Fase diagenesis yang menyebabkan modifikasi porositas (Choquette dan
Pray, 1970; dalam Moore, 1989).

42 
Fase eogenesis adalah interval waktu ketika material sedimen mulai
terendapkan hingga berada pada lingkungan burial. Selama fase ini terjadi
pelarutan mineral yang tidak stabil serta modifikasi porositas baik di
lingkungan marine ataupun meteoric (Moore, 1989).
Fase mesogenesis merupakan interval waktu ketika batuan sedimen
berada pada lingkungan burial. Pada fase ini didominasi oleh proses-proses
pemadatan, pengisian pori dengan mineral karbonat stabil, pertumbuhan kristal
equant, serta neomorfisme. Neomorfisme memiliki pengertian perubahan yang
terjadi dalam pengaruh kehadiran air melaui proses pelarutan dan represipitasi
antara mineral satu dengan yang lain atau dengan mineral polimorfnya,
contohnya adalah perubahan mikrit menjadi microspar (Moore, 1989).
Fase telogenesis adalah interval waktu ketika batuan sedimen yang
telah mengalami mesogenesis terangkat kembali ke permukaan oleh pengaruh
tektonik. Proses erosi di permukaan selanjutnya menandai ketidakselarasan dan
mengendapkan material sedimen lain yang lebih muda diatasnya. Fase ini
terjadi pada lingkungan marine ataupun meteoric, menyebabkan pelarutan dan
menciptakan modifikasi porositas (Moore, 1989).

2.4 Porositas Visual


Porositas adalah perbandingan volum rongga-rongga pori terhadap volum
total seluruh batuan. Perbandingan ini biasanya dinyatakan dalam persen dan
disebut porositas (Koesomadinata, 1980)
2.4.1 Tipe – Tipe Porositas batuan karbonat
Ada beberapa ahli geologi yang memberikan klasifikasi mcngenai
tipe—tipe porositas tersebut. Salah satu diantaranya adalah Choquette
& Pray (1970). Klasifikasi ini mencoba menghubungkan ukuran pori,
bentuk dengan kemas dari batuan tersebut. Adapun klasifikasi
(Choquette & Pray, 1970) adalah sebagai berikut
1. Porositas Hasil Pemilahan Kemas (Fabric Selective)
Porositas pada batuan karbonat, sepenulmya dikontrol olch
kemas batuan yang disebut sebagai fabric selective dan dibagi
menjadi:

43 
a. Interparticle
Porositas Interpartikel yaitu porositas antara butiran atau
panikel. Porositas ini merupakan porositas primer, sebagai
contoh pembentukan bersamaan dengan proses sedimentasi.
Porositas intergranular sebagian besar dikontrol oleh ukuran
butir dan bentuk butir.
b. Intraparticle
Intraparticle yaitu porositas yang dapat terjadi sebagai
porositas primer dan sekunder. Porositas primer sebagai
contohnya adalah porositas yang dibentuk oleh cangkang
foraminifera atau moluska. Sedangkan porositas sekunder
dicontohkan dengan adanya porositas hasil pelarutan pada
cangkang fosil
c. Intercrystalline
Porositas Interkristalin yaitu porositas antara kristal,
memiliki ukuran yang relatif sama. porositas antar kristal
terjadi pada beberapa mineral diantaranya adalah dolomit,
evaporit seperti anhidrit, gypsum, dan kalsit hasil rekristalisasi.
Ini merupakan porositas sekunder.
d. Moldic
Suatu rongga porositas yang terbentuk karena proses
pelarutan fragmen dalam batuan sehingga membentuk cetakan
fragmen aslinya. Porositas ini termasuk porositas sekunder dan
termasuk dalam fabric selective. Untuk membentuk tipe
porositas ini, dibutuhkan perbedaan tingkat kelarutan antara
butiran dan struktur yang ada.
e. Fenestral
Merupakan variasi dari porositas interpartikel yang
terbentuk pada lingkungan yang khusus. Terbentuk sebagai
akibat hilangnya beberapa butir pembentuk batuan sehingga
terbentuk rongga - rongga yang besar.

44 
f. Shelter
Merupakan variasi dari porositas interparticle, dicirikan
dengan adanya butiran lempeng menjadi semacam payung bagi
area dibawahnya untuk melindungi dari pengisian sedimen
mengendap.
g. Growthfamework
Pertumbuhan kerangka seperti kerangka koral, yang
mengakibatkan rongga yang diisi oleh koral, menjadi terbuka.
2. Porositas Not-Fabric Selective
a. Fracture
Rongga yang berbentuk rekahan, yang terbentuk akibat
adanya tekanan luar, dan biasanya terjadi setelah pengendapan,
serta berasosiasi dengan proses perlipatan, pensesaran ataupun
kubah garam. Terjadi pada batuan karbonat yang relatif brittle,
biasanya homogen, sepcrti kapur dan dolomit.
b. Channel
Saluran antar rongga yang terbentuk akibat pelarutan.
c. Vug
Lubang yang terbentuk sebagai akibat proses pelarutan,
seperti gerowong.
d. Cavern
Pelarutan lubang yang bisa membesar, sehingga dapat
dimasuki oleh manusia.
3. Porositas Hasil Pemilahan Kemas ataupun Bukan (fabric selective
atau tidak). Porositas batuan karbonat yang dapat bersifat sebagai
kedua - duanya, disebut sebagai fabric selective atau tidak. Tipe
porositas ini antara lain :
a. Breccia
Terbentuk karena adanya proses retakan yang
menyebabkan batuan hancur menjadi bongkah-bongkah kecil
dan terbentuklah pori-pori yang berada diantaranya.

45 
b. Boring
Pori-pori yang terbentuk karena adanya aktivitas pemboran
oleh organisme.
c. Burrow
Porositas yang terbentuk karena penggalian organisme.
d. Shrinkage
Sedimen yang telah diendapkan menjadi kering dan
menyusut sehingga terjadi rekahan-rekahan yang dapat
menimbulkan pori.
e. Stylolite
Porositas sepanjang lapisan pelarutan yang mengalami
tekanan meskipun tidak termasuk pada klasifikasi Choquette
and Pray (1970), stilolit dapat dimasukkan sebagai porositas
dan dapat melalui jalan kecil untuk migrasi hidrokarbon.
Stylolite penting pada banyak reservoir hidrokarbon sebagai
bagiannya karena stylolite sering berasosiasi dengan retakan.
Berikut klasifikasi kualitas reservoir (Lihat Tabel 2.5) berdasarkan
tingkat porositas oleh Koesoemadinata, (1980).
Tabel 2.5 Kualitas Reservoir Berdasarkan Persentase Porositas Koesoemadinata, 1980).

Kualitas Persentase (%)


Diabaikan (negligible) 0-5
Buruk (poor) 5-10
Cukup (fair) 10-15
Baik (good) 15-20
Sangat Baik (very good) 20-25
Istimewa (excellent) > 25

2.4. Konsep Dasar Sikuenstratigrafi


Secara sederhana sikuenstratigrafi adalah urutan dari pengendapan
material-material sedimen yang dipengaruhi oleh eustasi. Eustasi adalah
perubahan sea level (muka air laut) yang diakibatkan oleh pengaruh iklim,
bukan disebabkan oleh pengaruh tektonik. Menurut Possameinter (1999),

46 
sikuenstratigrafi adalah ilmu antar batuan yang memiliki hubungan dengan
kerangka waktu pengendapan, rangkaian vertikal batuan dapat dibagi menjadi
beberapa unit stratigrafi seperti sikuen dan system tracts yang dapat dibatasi
oleh ketidakselarasan dan keselarasan menerus. Sikuen adalah rangkaian dari
lapisan-lapisan yang terkait secara genetis, pada batas atas dan batas bawah
dibatasi oleh bidang ketidakselarasan maupun kemenerusan yang selaras yang
terdiri dari rangkaian systems tracts yang diendapkan di antara perubahan
muka air laut (Walker, 1992).
Pada suatu sikuen, idealnya terdiri dari beberapa unit yang ditunjukkan
pada Gambar 2.20 yang terjadi di sekitar lingkungan alluvial, estuarin hingga
break margin yang terdiri dari sequence boundary (SB), maximum flooding
surface (MFS) dan system tracts.

Gambar 2.20. Stratigrafi sikuen dan system tracts. Keterangan gambar: bf = basin floor,
HST = highstand systems tracts, mfs = maximum flooding surface, SB1 =
type-1 sequence boundary, SB2 = type-2 sequence boundary, sf = slope
fan, SMST = shelf-margin systems tracts, ts = transgressive surface, TST
= transgressive systems tracts, (Vail, 1987; dalam Flugel, 2010)

Sequence boundary (SB) adalah batasan dari suatu lingkungan


pengendapan dapat berupa ketidakselarasan (unconformity) maupun
keselarasan yang menerus. Maximum flooding surface (MFS) adalah sebuah
permukaan yang memisahkan TST (transgressive system tracts) dengan HST
(highstand system tracts), yang pada umumnya dicirikan dengan refleksi
pengendapan lambat yang berbanding lurus dengan kenaikan relatif air laut.

47 
Kebalikan dari maximum flooding surface (MFS) adalah maximum
regressive surface (MRS) yang menunjukkan batas maksimum dari
penurunan air laut. Bentuk pergerakan muka atau garis pantai yang cenderung
bergerak ke arah laut sebagai respon dari penurunan muka air laut disebut
dengan forced regression (Possamentier, dkk 1992; dalam Myers, 1996).
Systems tracts adalah urutan satuan stratigrafi yang relatif selaras dan
mempunyai umur yang sama, yang menyusun suatu sikuen pengendapan,
terdiri dari parasequence dan parasequence set. Parasequence sendiri
memiliki pengertian urutan relatif selaras dari lapisan batuan yang saling
berhubungan secara genetis, dibatasi oleh marine flooding surface dan
permukaan korelatifnya, sedangkan parasequence set merupakan urutan
relatif selaras dari parasequence yang berhubungan secara genetis
membentuk suatu pola (stacking pattern) yang jelas, dibatasi oleh marine
flooding surface dan permukaan korelatifnya
Systems tracts pada umumnya dibedakan menjadi tiga jenis berdasarkan
level atau tingkat dari muka air lautnya, yakni lowstand system tracts (LST),
transgressive system tracts (TST) dan highstand system tracts (HST).
Lowstand system tracts terbentuk ketika muka air laut rendah (mengalami
penurunan), transgressive system tracts terjadi ketika garis pantai menuju ke
daratan sedangkan highstand system tracts terbentuk pada saat muka air laut
relatif tinggi.
Lowstand system tracts adalah system tracts yang dibatasi oleh
sequence boundary (SB) pada bagian bawah dan transgressive surface (TS)
atau flooding surface (FS) pada bagian atas. Sistem tracts ini terbentuk ketika
muka air laut mengalami penurunan hingga mengalami kenaikan secara
perlahan, yang ditunjukkan dengan pola pengendapan progradasi yakni garis
pantai bergeser kearah laut (Catuneanu, 2003).
Lowstand system tracts dibedakan menjadi tiga urutan unit, diantaranya
adalah basin floor fan (BFF), slope fan complex (SFC) dan lowstand wedge
(LSW). Basin floor fan (BFF) adalah sebuah tahapan awal dari lowstand
system tracts yang dibentuk pada saat penurunan muka air laut secara cepat
yang berkaitan dengan proses erosi. Slope fan complex dicirikan dengan

48 
endapan turbidit dan endapan debris flow pada bagian dasar dan bagian
tengah dari paparan (slope). Slope fan complex terjadi ketika muka air laut
turun secara maksimum. Batas atas dari slope fan complex memungkinkan
menjadi permukaan downlap pada bagian middle maupun upper dari
lowstand wedge.
Sedangkan untuk lowstand wedge atau lowstand prograding wedge
menurut Myers (1996) merupakan bagian akhir dari lowstand system tracts
yang merupakan sebuah topset yang terendapkan selama relatif kenaikan
muka airlaut. Jadi lowstand wedge, diendapkan ketika penurunan muka
airlaut (regresi) tahap akhir hingga kenaikan muka airlaut (transgresi) secara
perlahan.
Transgressive system tracts (TST) terbentuk ketika permukaan airlaut
relatif mengalami kenaikan berangsur secara cepat hingga mencapai titik
maksimum dari kenaikan muka air laut. Menurut Cateneanu (2003), TST
dibatasi oleh transgressive surface pada bidang dasarnya dan pada bidang
atasnya dibatasi oleh maximum flooding surface. MFS yang membatasinya
merupakan maksimum onlap dari endapan laut ke arah tepi cekungan. MFS
merupakan batas atas dari TST terhadap highstand system tracts. Batasan
maksimum dari endapan transgresi berasosiasi dengan endapan-endapan
pelagis dan hemipelagis. Selain itu endapan TST juga berasosiasi dengan
pengisian dari suatu topografi kolam atau berupa incised valley fill dengan
pola pengendapan retrogradasi yakni garis pantai bergeser kearah darat. Pada
sistem ini ditemukan banyak keterdapatan batubara, overbank deposit dan
lagoonal atau lacustrine deposit.
Highstand system tracts (HST) terbentuk pada muka air laut relatif
stabil dan cenderung mengalami penurunan kembali secara perlahan, ketika
tingkat akomodasi lebih tinggi dibandingkan dengan tingkat pengedapan
sedimen. Bagian bawah dari HST dibatasi oleh maximum flooding surface,
sedangkan pada batas atasnya dibatasi oleh sequence boundary yang meliputi
subaerial unconformity, regressive surface dari erosi laut dengan pola
agradasi yakni garis pantai relatif tidak bergeser hingga progradasi.

49 
Karakteristik fasies dari sebuah system tracts karbonat diperlihatkan pada
Gambar 2.21.

Gambar 2.21. Karakteristik endapan dari sebuah system tracts karbonat


berdasarkan pada catatan selama Holocene di Bahamas and
Florida (Schlager, 2005).

50 

Anda mungkin juga menyukai