Anda di halaman 1dari 3

Spektrum

Kesantunan Pak Menteri

Saeno M Abdi

Seorang Ibu berkeluh kesah kepada saya tentang perilaku seorang menteri yang dinilainya kurang
memperhatikan lingkungan dan kurang santun.

“Bayangkan, di tengah banyak orang yang ingin segera pulang, Menteri itu asik berbincang dengan
temannya, sampai-sampai kami tertahan tak bisa pulang karena mobil Pak Menteri itu yang berada di
depan belum juga beranjak,” ujarnya mengisahkan pengalaman dirinya saat menghadiri sebuah acara
yang juga dihadiri seorang Bapak Menteri.

Ibu ini menyebutkan, di antara orang-orang yang mengantre untuk dapat giliran pulang itu ada sejumlah
orang tua.

“Eh, itu Pak Menteri, pas mau masuk mobil malah keluar lagi, terus nyamperin seorang temannya yang
kebetulan seorang pengamat yang sering muncul di TV. Mereka berbincang-bincang dengan suara keras,
dan seakan tidak paham bahwa kami tak bisa pulang karena menanti Pak Menteri itu pulang duluan.”

Tak hanya bercakap-cakap dengan suara kencang, Pak Menteri itu pun seakan pamer kemampuan
berbicara bahasa asing. “Dia berbicara dengan temannya itu, yang juga orang Indonesia, tidak dengan
menggunakan bahasa Indonesia, tapi menggunakan bahasa Inggris,” ujar Ibu tadi dengan mimik
prihatin.

“Saking kesalnya, sampai ke rumah saya langsung menulis, mencurahkan semua unek-unek saya ke
dalam tulisan. Saya sampai enggak ganti pakaian dulu karena ingin menuliskan semua hal yang buat saya
memprihatinkan itu,” ujar Ibu tadi.

Hal itu menjadi keprihatinan mendalam bagi Ibu tadi mengingat belakangan ini isu soal menumbuhkan
budi pekerti menjadi hal yang sedang coba ditumbuhkan di negeri ini.

Ia sebetulnya berharap Pak Menteri itu cukup arif, santun, dan berbudi, untuk menepi dulu,
membiarkan yang lain lewat, dan ia bisa dengan leluasa berbincang dengan temannya itu. Bukannya
membiarkan orang lain menunggu, karena khawatir dianggap tak santun melewati seorang menteri.

Begitulah, entah ini sebuah “keharusan protokoler” atau konvensi, atau entah apa istilahnya, bila dalam
sebuah kegiatan atau acara yang dihadiri seorang pejabat tinggi semacam menteri, hadirin yang
mengikuti acara hingga selesai seakan tidak bisa meninggalkan tempat itu lebih dulu dari Sang Menteri.

Seakan ada perasaan tidak etis atau kurang santun jika hadirin meninggalkan sang Menteri di belakang
dan tidak memberinya waktu untuk pulang lebih dulu.

Mungkin, Pak Menteri yang hadir dalam acara yang sama dengan Ibu tadi, tidak bermaksud melecehkan
atau mengabaikan siapa pun. Termasuk ia juga tak bermaksud mengabaikan orang-orang dan atau
orang yang usianya lebih tua dari dia, yang semula dengan tulus memberi kehormatan pada Pak Menteri
untuk pulang duluan.

Tapi, posisi sebagai Pak Menteri juga tak enak. Jika tak jadi menghampiri orang yang mengenalnya,
berbicara sebentar, dan mungkin dengan intonasi dan tekanan suara yang tiba-tiba lepas berbicara
akrab berdua, ia bisa saja dituding sebagai menteri yang sombong dan lupa akan teman sendiri.

Soal ngomong bahasa Inggris, upf….mungkin ini bagian dari sikap Pak Menteri yang akrab dengan
temannya dan barangkali mereka terbiasa berbincang dalam bahasa Inggris pada saat saat tertentu.
Mungkin, paling tidak, saat mereka belajar membiasakan menggunakan bahasa Internasional itu.

Lah, terus apa salahnya seorang Pak Menteri berbicara lantang, juga menggunakan bahasa yang bukan
bahasa Indonesia saat berbincang di ruang publik dan dalam suasana obrolan antarteman yang bukan
berbicara di ruang formal pemerintahan?

Mungkin tidak persoalan, dan boleh boleh saja.

Tapi, yang menjadi perhatian Ibu tadi adalah bahwa Pak Menteri seakan membiarkan orang lain
menunggu di belakangnya, menyaksikan ia ngobrol dulu dengan temannya, dalam suara lantang dan
menggunakan bahasa asing pula.

Bisa jadi keprihatian Ibu tadi hanyalah sebuah keprihatinan yang terlalu subjektif dan berlebihan.

Tapi, begitulah, seorang pejabat negara termasuk seorang Menteri dituntut untuk menimbang banyak
hal dalam setiap tindak tanduknya.

Mungkin, Pak Menteri tadi ingin membiasakan bangsa ini untuk tidak terlalu terpasung struktur
kedudukan. Jadi, monggo saja kalau ada orang lain yang ingin mendahului kendaraan seorang menteri
yang kebetulan orangnya masih sedang atau harus bercengkerama dengan orang yang dikenalnya.
Walau itu berlangsung di pinggir jalan sekali pun.

Bisa jadi, buat Pak Menteri tadi, bukan persoalan besar jika orang lain lalu lalang melewati dirinya. Toh,
ia dan orang lain adalah sama-sama manusia yang tidak ada bedanya. Masing-masing punya
kepentingan dan tidak ingin diganggu atau saling mengganggu kepentingan orang lain. Jadi, silakan saja
lewat.

Tapi, ya itu tadi, hal seperti itu selama ini belum menjadi kesepakatan tak tertulis, belum menjadi
konvensi, termasuk dan barangkali khusus di kalangan warga bangsa ini yang sebaya atau di atas usia Ibu
tadi.

Dan, seorang menteri, tentu tak hanya menjadi menteri untuk generasinya. Ia pun menjadi menteri bagi
seluruh lapisan warga bangsa ini.

Mau tidak mau, ikhlas tidak ikhlas, setiap tindakan Pak Menteri akan dinilai sebagai teladan bagi warga
negeri ini. Apalagi jika ini dikaitkan dengan persoalan budi pekerti yang mensyaratkan teladan sebagai
hal yang paling utama.
Ah, andai Pak Menteri tak lupa meminta sopir pribadinya memberi tanda atau mempersilakan kepada
pengunjung dan pengendara lain untuk melewati mobil Pak Menteri, tentunya Ibu tadi akan tetap
memberi respek pada Pak Menteri.

Bojonggede, 17 Agustus 2015

Anda mungkin juga menyukai