Anda di halaman 1dari 83

BAB I

TINJAUAN PUSTAKA

1.1 Preeklampsia
A. Definisi Preeklampsia
Preeklampsia dalam kehamilan adalah apabila dijumpai tekanan darah 140/90
mmHg setelah kehamilan 20 minggu (akhir triwulan kedua sampai triwulan
ketiga) atau bisa lebih awal terjadi.
Preeklampsia merupakan suatu diagnosis klinis. Definisi klasik preeklampsia
meliputi 3 elemen, yaitu onset baru hipertensi (didefinisikan sebagai suatu tekanan
darah yang menetap ≥ 140/90 mmHg pada wanita yang sebelumnya normotensif),
onset baru proteinuria (didefinisikan sebagai protein urine > 300 mg/24 jam atau ≥
+1 pada urinalisis bersih tanpa infeksi traktus urinarius), dan onset baru edema
yang bermakna. Pada beberapa konsensus terakhir dilaporkan bahwa edema tidak
lagi dimasukkan sebagai kriteria diagnosis.(1)
B. Epidemiologi Dan Faktor Resiko Preeklampsia
Kejadian preeklampsia di Amerika Serikat berkisar antara 2-6% dari ibu hamil
nulipara yang sehat. Di negara berkembang, kejadian preeklampsia berkisar antara
4-18%. Penyakit preeklampsia ringan terjadi 75% dan preeklampsia berat terjadi
25%. Dari seluruh kejadian preeklampsia, sekitar 10% kehamilan umurnya kurang
dari 34 minggu. Kejadian preeklampsia meningkat pada wanita dengan riwayat
preeklampsia, kehamilan ganda, hipertensi kronis dan penyakit ginjal. Pada ibu
hamil primigravida terutama dengan usia muda lebih sering menderita
preeklampsia dibandingkan dengan multigravida. Faktor predisposisi lainnya
adalah usia ibu hamil dibawah 25 tahun atau diatas 35 tahun, mola hidatidosa,
polihidramnion dan diabetes.(2)
Walaupun belum ada teori yang pasti berkaitan dengan penyebab terjadinya
preeklampsia, tetapi beberapa penelitian menyimpulkan sejumlah faktor yang
mempengaruhi terjadinya preeklampsia. Faktor risiko tersebut meliputi:(3)

1
a. Usia
Insidens tinggi pada primigravida muda, meningkat pada primigravida tua.
Pada wanita hamil berusia kurang dari 25 tahun insidens > 3 kali lipat. Pada
wanita hamil berusia lebih dari 35 tahun, dapat terjadi hipertensi yang menetap.
b. Paritas
Angka kejadian tinggi pada primigravida, muda maupun tua, primigravida tua
risiko lebih tinggi untuk preeklampsia berat.
c. Faktor Genetik
Jika ada riwayat preeklampsia/eklampsia pada ibu/nenek penderita, faktor
risiko meningkat sampai 25%. Diduga adanya suatu sifat resesif (recessive
trait), yang ditentukan genotip ibu dan janin. Terdapat bukti bahwa
preeklampsia merupakan penyakit yang diturunkan, penyakit ini lebih sering
ditemukan pada anak wanita dari ibu penderita preeklampsia. Atau mempunyai
riwayat preeklampsia/eklampsia dalam keluarga.
d. Diet/gizi
Tidak ada hubungan bermakna antara menu/pola diet tertentu (WHO).
Penelitian lain : kekurangan kalsium berhubungan dengan angka kejadian yang
tinggi. Angka kejadian juga lebih tinggi pada ibu hamil yang obese/overweight.
e.Tingkah laku/sosioekonomi
Kebiasaan merokok : insidens pada ibu perokok lebih rendah, namun merokok
selama hamil memiliki risiko kematian janin dan pertumbuhan janin terhambat
yang jauh lebih tinggi. Aktifitas fisik selama hamil atau istirahat baring yang
cukup selama hamil mengurangi kemungkinan/insidens hipertensi dalam
kehamilan.
f. Hiperplasentosis
Proteinuria dan hipertensi gravidarum lebih tinggi pada kehamilan kembar,
dizigotik lebih tinggi daripada monozigotik.
g. Mola hidatidosa
Degenerasi trofoblas berlebihan berperan menyebabkan preeklampsia. Pada
kasus mola, hipertensi dan proteinuria terjadi lebih dini/pada usia kehamilan

2
muda, dan ternyata hasil pemeriksaan patologi ginjal juga sesuai dengan pada
preeklampsia.
h. Obesitas
Hubungan antara berat badan wanita hamil dengan resiko terjadinya
preeklampsia jelas ada, dimana terjadi peningkatan insiden dari 4,3% pada
wanita dengan Body Mass Index (BMI) < 20 kg/m2 manjadi 13,3% pada wanita
dengan Body Mass Index (BMI) > 35 kg/m2.
i. Kehamilan multiple
Preeklampsia dan eklampsia 3 kali lebih sering terjadi pada kehamilan ganda
dari 105 kasus kembar dua didapat 28,6% preeklampsia dan satu kematian ibu
karena eklampsia. Dari hasil pada kehamilan tunggal, dan sebagai faktor
penyebabnya ialah dislensia uterus. Dari penelitian Agung Supriandono dan
Sulchan Sofoewan menyebutkan bahwa 8 (4%) kasus preeklampsia berat
mempunyai jumlah janin lebih dari satu, sedangkan pada kelompok kontrol, 2
(1,2%) kasus mempunyai jumlah janin lebih dari satu.
C. Etiologi Preeklampsia
Apa yang menjadi penyebab terjadinya preeklampsia hingga saat ini belum
diketahui. Terdapat banyak teori yang ingin menjelaskan tentang penyebab dari
penyakit ini tetapi tidak ada yang memberikan jawaban yang memuaskan. Teori
yang dapat diterima harus dapat menjelaskan tentang mengapa preeklampsia
meningkat prevalensinya pada primigravida, hidramnion, kehamilan ganda dan
mola hidatidosa. Selain itu teori tersebut harus dapat menjelaskan penyebab
bertambahnya frekuensi preeklampsia dengan bertambahnya usia kehamilan,
penyebab terjadinya perbaikan keadaan penderita setelah janin mati dalam
kandungan, dan penyebab timbulnya gejala-gejala seperti hipertensi, edema,
proteinuria, kejang dan koma. Banyak teori-teori yang dikemukakan oleh para ahli
yang mencoba menerangkan penyebabnya, oleh karena itu disebut “penyakit
teori”. Namun belum ada yang memberikan jawaban yang memuaskan. Teori
sekarang yang dipakai sebagai penyebab preeklampsia adalah teori “iskemia
plasenta”. Teori ini pun belum dapat menerangkan semua hal yang berkaitan
dengan penyakit ini.(2,4)

3
Adapun teori-teori tersebut adalah:
1. Peran Prostasiklin dan Tromboksan
Pada preeklampsia dan eklampsia didapatkan kerusakan pada endotel
vaskuler, sehingga sekresi vasodilatator prostasiklin oleh sel-sel endotelial
plasenta berkurang, sedangkan pada kehamilan normal, prostasiklin meningkat.
Sekresi tromboksan oleh trombosit bertambah sehingga timbul vasokonstriksi
generalisata dan sekresi aldosteron menurun. Akibat perubahan ini
menyebabkan pengurangan perfusi plasenta sebanyak 50%, hipertensi dan
penurunan volume plasma.(3,4)
2. Peran Faktor Imunologis
Preeklampsia sering terjadi pada kehamilan pertama karena pada kehamilan
pertama terjadi pembentukan blocking antibodies terhadap antigen plasenta
tidak sempurna sehingga timbul respons imun yang tidak menguntungkan
terhadap Histikompatibilitas Plasenta. Pada preeklampsia terjadi kompleks
imun humoral dan aktivasi komplemen. Hal ini dapat diikuti dengan terjadinya
pembentukan proteinuria.(3,4)
3. Peran Faktor Genetik
Menurut Chesley dan Cooper (1986) bahwa Preeklampsia/eklampsia
bersifat diturunkan melalui gen resesif tunggal. Beberapa bukti yang
menunjukkan peran faktor genetik pada kejadian Preeklampsia-Eklampsia
antara lain:
a) Preeklampsia hanya terjadi pada manusia.
b)Terdapatnya kecendrungan meningkatnya frekuensi Preeklampsia-Eklampsia
pada anak-anak dari ibu yang menderita Preeklampsia-Eklampsia.
4. Iskemik dari uterus.
Sperof (1973) menyatakan bahwa dasar terjadinya Preeklampsia adalah
iskemik uteroplasentar, sehingga terjadi ketidakseimbangan antara massa
plasenta yang meningkat dengan aliran perfusi sirkulasi darah plasenta yang
berkurang. Disfungsi plasenta juga ditemukan pada preeklampsia, sehingga
terjadi penurunan kadar 1 α-25 (OH)2 dan Human Placental Lagtogen (HPL),
akibatnya terjadi penurunan absorpsi kalsium dari saluran cerna. Untuk

4
mempertahankan penyediaan kalsium pada janin, terjadi perangsangan kelenjar
paratiroid yang mengekskresi paratiroid hormon (PTH) disertai penurunan
kadar kalsitonin yang mengakibatkan peningkatan absorpsi kalsium tulang
yang dibawa melalui sirkulasi ke dalam intra sel. Peningkatan kadar kalsium
intra sel mengakibatkan peningkatan kontraksi pembuluh darah, sehingga
terjadi peningkatan tekanan darah.(3)
Pada preekslampsia terjadi perubahan arus darah di uterus, koriodesidua
dan plasenta adalah patofisiologi yang terpenting pada preeklampsia, dan
merupakan faktor yang menentukan hasil akhir kehamilan. Perubahan aliran
darah uterus dan plasenta menyebabkan terjadi iskemia uteroplasenter,
menyebabkan ketidakseimbangan antara massa plasenta yang meningkat
dengan aliran perfusi darah sirkulasi yang berkurang. Selain itu hipoperfusi
uterus menjadi rangsangan produksi renin di uteroplasenta, yang
mengakibatkan vasokonstriksi vaskular daerah itu. Renin juga meningkatkan
kepekaan vaskular terhadap zat-zat vasokonstriktor lain (angiotensin,
aldosteron) sehingga terjadi tonus pembuluh darah yang lebih tinggi. Oleh
karena gangguan sirkulasi uteroplasenter ini, terjadi penurunan suplai oksigen
dan nutrisi ke janin. Akibatnya terjadi gangguan pertumbuhan janin sampai
hipoksia dan kematian janin.(3)
5. Disfungsi dan aktivasi dari endotelial.
Kerusakan sel endotel vaskuler maternal memiliki peranan penting dalam
pathogenesis terjadinya preeklampsia. Fibronektin dilepaskan oleh sel endotel
yang mengalami kerusakan dan meningkat secara signifikan dalam darah
wanita hamil dengan preeklampsia. Kenaikan kadar fibronektin sudah dimulai
pada trimester pertama kehamilan dan kadar fibronektin akan meningkat sesuai
dengan kemajuan kehamilan.(2)
Jika endotel mengalami gangguan oleh berbagai hal seperti shear stress
hemodinamik, stress oksidatif maupun paparan dengan sitokin inflamasi dan
hiperkolesterolemia, maka fungsi pengatur menjadi abnormal dan disebut
disfungsi endotel. Pada keadaan ini terjadi ketidakseimbangan substansi
vasoaktif sehingga dapat terjadi hipertensi. Disfungsi endotel juga

5
menyebabkan permeabilitas vaskular meningkat sehingga menyebabkan edema
dan proteinuria. Jika terjadi disfungsi endotel maka pada permukaan endotel
akan diekspresikan molekul adhesi. seperti vascular cell adhesion molecule-
1(VCAM-1) dan intercellular cell adhesion molecule-1 (ICAM-1).
Peningkatan kadar soluble VCAM-1 ditemukan dalam supernatant kultur sel
endotel yang diinkubasi dengan serum penderita preeklampsia, tetapi tidak
dijumpai peningkatan molekul adhesi lain seperti ICAM-1 dan E-selektin. Oleh
karena itu diduga VCAM-1 mempunyai peranan pada preeklampsia.(2)
Namun belum diketahui apakah tingginya kadar sVCAM-1 dalam serum
mempunyai hubungan dengan beratnya penyakit. Disfungsi endotel juga
mengakibatkan permukaan non trombogenik berubah menjadi trombogenik,
sehingga bisa terjadi aktivasi koagulasi. Sebagai petanda aktivasi koagulasi
dapat diperiksa D-dimer, kompleks trombin-antitrombin, fragmen protrombin 1
dan 2 atau fibrin monomer.(5)

D. Patofisiologi Preeklampsia
Patogenesis terjadinya Preeklamsia dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Penurunan kadar angiotensin II dan peningkatan kepekaan vaskuler
Pada preeklamsia terjadi penurunan kadar angiotensin II yang menyebabkan
pembuluh darah menjadi sangat peka terhadap bahan-bahan vasoaktif
(vasopresor), sehingga pemberian vasoaktif dalam jumlah sedikit saja sudah
dapat menimbulkan vasokonstriksi pembuluh darah yang menimbulkan
hipertensi. Pada kehamilan normal kadar angiotensin II cukup tinggi. Pada
preeklamsia terjadi penurunan kadar prostacyclin dengan akibat meningkatnya
thromboksan yang mengakibatkan menurunnya sintesis angiotensin II sehingga
peka terhadap rangsangan bahan vasoaktif dan akhirnya terjadi hipertensi.(2)
2. Hipovolemia Intravaskuler
Pada kehamilan normal terjadi kenaikan volume plasma hingga mencapai
45%, sebaliknya pada preeklamsia terjadi penyusutan volume plasma hingga
mencapai 30-40% kehamilan normal. Menurunnya volume plasma
menimbulkan hemokonsentrasi dan peningkatan viskositas darah. Akibatnya

6
perfusi pada jaringan atau organ penting menjadi menurun (hipoperfusi)
sehingga terjadi gangguan pada pertukaran bahan-bahan metabolik dan
oksigenasi jaringan. Penurunan perfusi ke dalam jaringan utero-plasenta
mengakibatkan oksigenasi janin menurun sehingga sering terjadi pertumbuhan
janin yang terhambat (Intrauterine growth retardation), gawat janin, bahkan
kematian janin intrauterin.(2)
3. Vasokonstriksi pembuluh darah
Pada kehamilan normal tekanan darah dapat diatur tetap meskipun cardiac
output meningkat, karena terjadinya penurunan tahanan perifer. Pada
kehamilan dengan hipertensi terjadi peningkatan kepekaan terhadap bahan-
bahan vasokonstriktor sehingga keluarnya bahan- bahan vasoaktif dalam tubuh
dengan cepat menimbulkan vasokonstriksi. Adanya vasokonstriksi menyeluruh
pada sistem pembuluh darah arteriole dan pra kapiler pada hakekatnya
merupakan suatu sistem kompensasi terhadap terjadinya hipovolemik. Sebab
bila tidak terjadi vasokonstriksi, ibu hamil dengan hipertensi akan berada
dalam syok kronik. Perjalanan klinis dan temuan anatomis memberikan bukti
presumtif bahwa preeklampsi disebabkan oleh sirkulasi suatu zat beracun
dalam darah yang menyebabkan trombosis di banyak pembuluh darah halus,
selanjutnya membuat nekrosis berbagai organ. Gambaran patologis pada fungsi
beberapa organ dan sistem, yang kemungkinan disebabkan oleh vasospasme
dan iskemia, telah ditemukan pada kasus-kasus preeklampsia dan eklampsia
berat. Vasospasme bisa merupakan akibat dari kegagalan invasi trofoblas ke
dalam lapisan otot polos pembuluh darah, reaksi imunologi, maupun radikal
bebas. Semua ini akan menyebabkan terjadinya kerusakan/jejas endotel yang
kemudian akan mengakibatkan gangguan keseimbangan antara kadar
vasokonstriktor (endotelin, tromboksan, angiotensin, dan lain-lain) dengan
vasodilatator (nitritoksida, prostasiklin, dan lain-lain). Selain itu, jejas endotel
juga menyebabkan gangguan pada sistem pembekuan darah akibat kebocoran
endotelial berupa konstituen darah termasuk platelet dan fibrinogen.(2,6)
Vasokontriksi yang meluas akan menyebabkan terjadinya gangguan pada
fungsi normal berbagai macam organ dan sistem. Gangguan ini dibedakan atas

7
efek terhadap ibu dan janin, namun pada dasarnya keduanya berlangsung
secara simultan. Gangguan ibu secara garis besar didasarkan pada analisis
terhadap perubahan pada sistem kardiovaskular, hematologi, endokrin dan
metabolisme, serta aliran darah regional. Sedangkan gangguan pada janin
terjadi karena penurunan perfusi uteroplasenta.(6)
E. Klasifikasi Preeklampsia
Preeklampsia terbagi atas dua yaitu Preeklampsia Ringan dan Preeklampsia
Berat berdasarkan Klasifikasi menurut American College of Obstetricians and
Gynecologists, yaitu:
1) Preeklampsia ringan, bila disertai keadaan sebagai berikut:
 Tekanan darah 140/90 mmHg, atau kenaikan diastolik 15 mmHg atau lebih,
atau kenaikan sistolik 30 mmHg atau lebih setelah 20 minggu kehamilan
dengan riwayat tekanan darah normal.
 Proteinuria kuantitatif ≥ 300 mg perliter dalam 24 jam atau kualitatif 1+
atau 2+ pada urine kateter atau midstream.
2) Preeklampsia berat, bila disertai keadaan sebagai berikut:
 Tekanan darah 160/110 mmHg atau lebih.
 Proteinuria 5 gr atau lebih perliter dalam 24 jam atau kualitatif 3+ atau 4+.
 Oligouri, yaitu jumlah urine kurang dari 500 cc per 24 jam/kurang dari 0,5
cc/kgBB/jam.
 Adanya gangguan serebral, gangguan penglihatan, dan rasa nyeri di
epigastrium.
 Terdapat edema paru dan sianosis
 Hemolisis mikroangiopatik
 Trombositopeni (< 100.000 sel/mm3 atau penurunan trombosit dengan
cepat)
 Gangguan fungsi hati.
 Pertumbuhan janin terhambat.
 Sindrom HELLP.

8
F. Diagnosis Preeklampsia
Anamnesis
Pada preeklampsia didapatkan sakit kepala di daerah frontal, skotoma,
diplopia, penglihatan kabur, nyeri di daerah epigastrium, mual atau muntah-
muntah. Gejala-gejala ini sering ditemukan pada preeklampsia yang meningkat
dan merupakan petunjuk bahwa eklampsia akan timbul (impending eklampsia).
Tekanan darah pun akan meningkat lebih tinggi, edema dan proteinuria bertambah
meningkat.(7)
Pemeriksaan fisik
Pada pemeriksaan fisik didapatkan peningkatan tekanan sistolik 30mmHg
dan diastolik 15 mmHg atau tekanan darah meningkat ≥ 140/90mmHg pada
preeklampsia ringan dan≥ 160/110 mmHg pada preeklampsia berat. Selain itu kita
juga akan menemukan takikardia, takipneu, edema paru, perubahan kesadaran,
hipertensi ensefalopati, hiperefleksia,sampai tanda-tanda pendarahan otak.(7)
Penemuan Laboratorium
Penemuan yang paling penting pada pemeriksaan laboratorium penderita
preeklampsia yaitu ditemukannya protein pada urine. Pada penderita preeklampsia
ringan kadarnya secara kuantitatif yaitu ≥ 300 mg perliter dalam 24 jam atau
secara kualitatif +1 sampai +2 pada urine kateter atau midstream. Sementara pada
preeklampsia berat kadarnya mencapai ≥ 500 mg perliter dalam 24 jam atau
secara kualitatif ≥ +3.(7)
Pada pemeriksaan darah, hemoglobin dan hematokrit akan meningkat akibat
hemokonsentrasi. Trombositopenia juga biasanya terjadi. Penurunan produksi
benang fibrin dan faktor koagulasi bisa terdeksi. Asam urat biasanya meningkat
diatas 6 mg/dl. Kreatinin serum biasanya normal tetapi bisa meningkat pada
preeklampsia berat. Alkalin fosfatase meningkat hingga 2-3 kali lipat. Laktat
dehidrogenase bisa sedikit meningkat dikarenakan hemolisis. Glukosa darah dan
elektrolit pada pasien preeklampsia biasanya dalam batas normal.(2)

9
G. Penatalaksanaan Preeklampsia
Tujuan utama penanganan preeklampsia adalah mencegah terjadinya
preeklampsia berat atau eklampsia, melahirkan janin hidup dan melahirkan janin
dengan trauma sekecil-kecilnya, mencegah perdarahan intrakranial serta
mencegah gangguan fungsi organ vital.(8)
1. Preeklampsia Ringan
Istirahat di tempat tidur merupakan terapi utama dalam penanganan
preeklampsia ringan. Istirahat dengan berbaring pada sisi tubuh menyebabkan
aliran darah ke plasenta dan aliran darah ke ginjal meningkat, tekanan vena
pada ekstrimitas bawah juga menurun dan reabsorpsi cairan di daerah tersebut
juga bertambah. Selain itu dengan istirahat di tempat tidur mengurangi
kebutuhan volume darah yang beredar dan juga dapat menurunkan tekanan
darah dan kejadian edema. Penambahan aliran darah ke ginjal akan
meningkatkan filtrasi glomeruli dan meningkatkan dieresis. Diuresis dengan
sendirinya meningkatkan ekskresi natrium, menurunkan reaktivitas
kardiovaskuler, sehingga mengurangi vasospasme. Peningkatan curah jantung
akan meningkatkan pula aliran darah rahim, menambah oksigenasi plasenta,
dan memperbaiki kondisi janin dalam rahim.(2,8)
Pada preeklampsia tidak perlu dilakukan restriksi garam sepanjang fungsi
ginjal masih normal. Pada preeklampsia ibu hamil umumnya masih muda,
berarti fungsi ginjal masih bagus, sehingga tidak perlu restriksi garam. Diet
yang mengandung 2 gram natrium atau 4-6 gram NaCl (garam dapur) adalah
cukup. Kehamilan sendiri lebih banyak membuang garam lewat ginjal, tetapi
pertumbuhan janin justru membutuhkan komsumsi lebih banyak garam. Bila
komsumsi garam hendak dibatasi, hendaknya diimbangi dengan komsumsi
cairan yang banyak, berupa susu atau air buah. Diet diberikan cukup protein,
rendah karbohidrat, lemak, garam secukupnya dan roboransia prenatal. Tidak
diberikan obat-obat diuretik antihipertensi, dan sedative. Dilakukan
pemeriksaan laboratorium HB, hematokrit, fungsi hati, urin lengkap dan fungsi
ginjal. Apabila preeklampsia tersebut tidak membaik dengan penanganan

10
konservatif, maka dalam hal ini pengakhiran kehamilan dilakukan walaupun
janin masih prematur.(2,8)
Rawat inap
Keadaan dimana ibu hamil dengan preeklampsia ringan perlu dirawat di
rumah sakit ialah a) Bila tidak ada perbaikan : tekanan darah, kadar proteinuria
selama 2 minggu b) adanya satu atau lebih gejala dan tanda-tanda preeklampsia
berat. Selama di rumah sakit dilakukan anamnesis, pemeriksaan fisik dan
laboratorik. Pemeriksaan kesejahteraan janin berupa pemeriksaan USG dan
Doppler khususnya untuk evaluasi pertumbuhan janin dan jumlah cairan
amnion. Pemeriksaan nonstress test dilakukan 2 kali seminggu dan konsultasi
dengan bagian mata, jantung dan lain lain.(8)
Perawatan obstetrik yaitu sikap terhadap kehamilannya
Menurut Williams, kehamilan preterm ialah kehamilan antara 22 minggu
sampai ≤ 37 minggu. Pada kehamilan preterm (<37 minggu) bila tekanan darah
mencapai normal, selama perawatan, persalinannya ditunggu sampai aterm.
Sementara itu, pada kehamilan aterm (>37 minggu), persalinan ditunggu
sampai terjadi onset persalinan atau dipertimbangkan untuk melakukan induksi
persalinan pada taksiran tanggal persalinan. Persalinan dapat dilakukan secara
spontan, bila perlu memperpendek kala II.(8)
2. Preeklampsia Berat
Pada pasien preeklampsia berat segera harus diberi sedativa yang kuat
untuk mencegah timbulnya kejang. Apabila sesudah 12-24 jam bahaya akut
sudah diatasi, tindakan selanjutnya adalah cara terbaik untuk menghentikan
kehamilan.(2)
Preeklampsia dapat menyebabkan kelahiran awal atau komplikasi pada
neonatus berupa prematuritas. Resiko fetus diakibatkan oleh insufisiensi
plasenta baik akut maupun kronis. Pada kasus berat dapat ditemui fetal distress
baik pada saat kelahiran maupun sesudah kelahiran.(8)
Pengelolaan preeklampsia dan eklampsia mencakup pencegahan kejang,
pengobatan hipertensi, pengelolaan cairan, pelayanan supportif terhadap
penyulit organ yang terlibat, dan saat yang tepat untuk persalinan. Pemeriksaan

11
sangat teliti diikuti dengan observasi harian tentang tanda tanda klinik berupa :
nyeri kepala, gangguan visus, nyeri epigastrium dan kenaikan cepat berat
badan. Selain itu perlu dilakukan penimbangan berat badan, pengukuran
proteinuria, pengukuran tekanan darah, pemeriksaan laboratorium, dan
pemeriksaan USG dan NST.(8)
Perawatan preeklampsia berat sama halnya dengan perawatan
preeklampsia ringan, dibagi menjadi dua unsur yakni sikap terhadap
penyakitnya, yaitu pemberian obat-obat atau terapi medisinalis dan sikap
terhadap kehamilannya ialah manajemen agresif, kehamilan diakhiri
(terminasi) setiap saat bila keadaan hemodinamika sudah stabil.(8)
Medikamentosa
Penderita preeklampsia berat harus segera masuk rumah sakit untuk
rawat inap dan dianjurkan tirah baring miring ke satu sisi (kiri). Perawatan
yang penting pada preeklampsia berat ialah pengelolaan cairan karena
penderita preeklampsia dan eklampsia mempunyai resiko tinggi untuk
terjadinya edema paru dan oligouria. Sebab terjadinya kedua keadaan tersebut
belum jelas, tetapi faktor yang sangat menentukan terjadinya edema paru dan
oligouria ialah hipovolemia, vasospasme, kerusakan sel endotel, penurunan
gradient tekanan onkotik koloid/pulmonary capillary wedge pressure. Oleh
karena itu monitoring input cairan (melalui oral ataupun infuse) dan output
cairan (melalui urin) menjadi sangat penting. Artinya harus dilakukan
pengukuran secara tepat berapa jumlah cairan yang dimasukkan dan
dikeluarkan melalui urin. Bila terjadi tanda tanda edema paru, segera dilakukan
tindakan koreksi. Cairan yang diberikan dapat berupa a) 5% ringer dextrose
atau cairan garam faal jumlah tetesan:<125cc/jam atau b) infuse dekstrose 5%
yang tiap 1 liternya diselingi dengan infuse ringer laktat (60-125 cc/jam) 500
cc.(8)
Di pasang foley kateter untuk mengukur pengeluaran urin. Oligouria
terjadi bila produksi urin < 30 cc/jam dalam 2-3 jam atau < 500 cc/24 jam.
Diberikan antasida untuk menetralisir asam lambung sehingga bila mendadak

12
kejang, dapat menghindari resiko aspirasi asam lambung yang sangat asam.
Diet yang cukup protein, rendah karbohidrat, lemak dan garam.(8)
Pemberian obat antikejang(8)
MgSO4
Pemberian magnesium sulfat sebagai antikejang lebih efektif dibanding
fenitoin, berdasar Cochrane review terhadap enam uji klinik yang melibatkan
897 penderita eklampsia.
Magnesium sulfat menghambat atau menurunkan kadar asetilkolin pada
rangsangan serat saraf dengan menghambat transmisi neuromuskular.
Transmisi neuromuskular membutuhkan kalsium pada sinaps. Pada pemberian
magnesium sulfat, magnesium akan menggeser kalsium, sehingga aliran
rangsangan tidak terjadi (terjadi kompetitif inhibition antara ion kalsium dan
ion magnesium). Kadar kalsium yang tinggi dalam darah dapat menghambat
kerja magnesium sulfat. Magnesium sulfat sampai saat ini tetap menjadi
pilihan pertama untuk antikejang pada preeklampsia atau eklampsia.
Cara pemberian MgSO4
- Loading dose : initial dose 4 gram MgSO4: intravena, (40 % dalam 10 cc)
selama 15 menit
- Maintenance dose :Diberikan infuse 6 gram dalam larutan ringer/6 jam; atau
diberikan 4 atau 5 gram i.m. Selanjutnya maintenance dose diberikan 4
gram im tiap 4-6 jam
Syarat-syarat pemberian MgSO4
- Harus tersedia antidotum MgSO4, bila terjadi intoksikasi yaitu kalsium
glukonas 10% = 1 gram (10% dalam 10 cc) diberikan iv 3 menit
- Refleks patella (+) kuat
- Frekuensi pernafasan > 16x/menit, tidak ada tanda tanda distress nafas
Dosis terapeutik dan toksis MgSO4
- Dosis terapeutik : 4-7 mEq/liter atau 4,8-8,4 mg/dl
- Hilangnya reflex tendon 10 mEq/liter atau 12 mg/dl
- Terhentinya pernafasan 15 mEq/liter atau 18 mg/dl
- Terhentinya jantung >30 mEq/liter atau > 36 mg/dl

13
Magnesium sulfat dihentikan bila ada tanda tanda intoksikasi atau setelah
24 jam pascapersalinan atau 24 jam setelah kejang terakhir. Pemberian
magnesium sulfat dapat menurunkan resiko kematian ibu dan didapatkan 50 %
dari pemberiannya menimbulkan efek flushes (rasa panas)
Contoh obat-obat lain yang dipakai untuk antikejang yaitu diazepam atau
fenitoin (difenilhidantoin), thiopental sodium dan sodium amobarbital. Fenitoin
sodium mempunyai khasiat stabilisasi membrane neuron, cepat masuk jaringan
otak dan efek antikejang terjadi 3 menit setelah injeksi intravena. Fenitoin
sodium diberikan dalam dosis 15 mg/kg berat badan dengan pemberian
intravena 50 mg/menit. Hasilnya tidak lebih baik dari magnesium sulfat.
Pengalaman pemakaian fenitoin di beberapa senter di dunia masih sedikit.
Diuretikum
Diuretikum tidak diberikan secara rutin, kecuali bila ada edema paru-
paru, payah jantung kongestif atau anasarka. Diuretikum yang dipakai ialah
furosemida. Pemberian diuretikum dapat merugikan, yaitu memperberat
hipovolemia, memperburuk perfusi uteroplasenta, meningkatkan
hemokonsentrasi, menimbulkan dehidrasi pada janin, dan menurunkan berat
janin.
Antihipertensi
Masih banyak pendapat dari beberapa negara tentang penentuan batas
(cut off) tekanan darah, untuk pemberian antihipertensi. Misalnya Belfort
mengusulkan cut off yang dipakai adalah ≥ 160/110 mmhg dan MAP ≥ 126
mmHg.
Di RSU Dr. Soetomo Surabaya batas tekanan darah pemberian
antihipertensi ialah apabila tekanan sistolik ≥180 mmHg dan/atau tekanan
diastolik ≥ 110 mmHg. Tekanan darah diturunkan secara bertahap, yaitu
penurunan awal 25% dari tekanan sistolik dan tekanan darah diturunkan
mencapai < 160/105 atau MAP < 125. Jenis antihipertensi yang diberikan
sangat bervariasi. Obat antihipertensi yang harus dihindari secara mutlak yakni
pemberian diazokside, ketanserin dan nimodipin.

14
Jenis obat antihipertensi yang diberikan di Amerika adalah hidralazin
(apresoline) injeksi (di Indonesia tidak ada), suatu vasodilator langsung pada
arteriole yang menimbulkan reflex takikardia, peningkatan cardiac output,
sehingga memperbaiki perfusi uteroplasenta. Obat antihipertensi lain adalah
labetalol injeksi, suatu alfa 1 bocker, non selektif beta bloker. Obat-obat
antihipertensi yang tersedia dalam bentuk suntikan di Indonesia ialah clonidin
(catapres). Satu ampul mengandung 0,15 mg/cc. Klonidin 1 ampul dilarutkan
dalam 10 cc larutan garam faal atau larutan air untuk suntikan.
Antihipertensi lini pertama
- Nifedipin. Dosis 10-20 mg/oral, diulangi setelah 30 menit, maksimum 120
mg dalam 24 jam
Antihipertensi lini kedua
- Sodium nitroprussida : 0,25µg iv/kg/menit, infuse ditingkatkan 0,25µg
iv/kg/5 menit.
- Diazokside : 30-60 mg iv/5 menit; atau iv infuse 10 mg/menit/dititrasi.
Kortikosteroid
Pada preeklampsia berat dapat terjadi edema paru akibat kardiogenik
(payah jantung ventrikel kiri akibat peningkatan afterload) atau non
kardiogenik (akibat kerusakan sel endotel pembuluh darah paru). Prognosis
preeklampsia berat menjadi buruk bila edema paru disertai oligouria.
Pemberian glukokortikoid untuk pematangan paru janin tidak merugikan
ibu. Diberikan pada kehamilan 32-34 minggu, 2x 24 jam. Obat ini juga
diberikan pada sindrom HELLP.
Sikap terhadap kehamilannya
Berdasar William obstetrics, ditinjau dari umur kehamilan dan
perkembangan gejala-gejala preeklampsia berat selama perawatan, maka sikap
terhadap kehamilannya dibagi menjadi:
1. Aktif : berarti kehamilan segera diakhiri/diterminasi bersamaan dengan
pemberian medikamentosa.
2. Konservatif (ekspektatif): berarti kehamilan tetap dipertahankan bersamaan
dengan pemberian medikamentosa.

15
Perawatan konservatif
Indikasi perawatan konservatif ialah bila kehamilan preterm ≤ 37 minggu
tanpa disertai tanda –tanda impending eklampsia dengan keadaan janin baik.
Diberi pengobatan yang sama dengan pengobatan medikamentosa pada
pengelolaan secara aktif. Selama perawatan konservatif, sikap terhadap
kehamilannya ialah hanya observasi dan evaluasi sama seperti perawatan aktif,
kehamilan tidak diakhiri. Magnesium sulfat dihentikan bila ibu sudah mencapai
tanda-tanda preeclampsia ringan, selambat-lambatnya dalam waktu 24 jam.
Bila setelah 24 jam tidak ada perbaikan keadaan ini dianggap sebagai
kegagalan pengobatan medikamentosa dan harus diterminasi. Penderita boleh
dipulangkan bila penderita kembali ke gejala-gejala atau tanda tanda
preeklampsia ringan.
Perawatan aktif
Indikasi perawatan aktif bila didapatkan satu atau lebih keadaan di bawah
ini, yaitu:
Ibu
1. Umur kehamilan ≥ 37 minggu
2. Adanya tanda-tanda/gejala-gejala impending eklampsia
3. Kegagalan terapi pada perawatan konservatif, yaitu: keadaan klinik dan
laboratorik memburuk
4. Diduga terjadi solusio plasenta
5. Timbul onset persalinan, ketuban pecah atau perdarahan
Janin
1. Adanya tanda-tanda fetal distress
2. Adanya tanda-tanda intra uterine growth restriction
3. NST nonreaktif dengan profil biofisik abnormal
4. Terjadinya oligohidramnion
Laboratorik
1. Adanya tanda-tanda “sindroma HELLP” khususnya menurunnya trombosit
dengan cepat

16
H. Pencegahan Preeklampsia
Pemeriksaan antenatal yang teratur dan teliti dapat menemukan tanda-tanda
dini preeklampsia, dalam hal ini harus dilakukan penanganan preeklampsia
tersebut. Walaupun preeklampsia tidak dapat dicegah seutuhnya, namun frekuensi
preeklampsia dapat dikurangi dengan pemberian pengetahuan dan pengawasan
yang baik pada ibu hamil.(2)
Pengetahuan yang diberikan berupa tentang manfaat diet dan istirahat yang
berguna dalam pencegahan. Istirahat tidak selalu berarti berbaring, dalam hal ini
yaitu dengan mengurangi pekerjaan sehari-hari dan dianjurkan lebih banyak
duduk dan berbaring. Diet tinggi protein dan rendah lemak, karbohidrat, garam
dan penambahan berat badan yang tidak berlebihan sangat dianjurkan.Mengenal
secara dini preeklampsia dan merawat penderita tanpa memberikan diuretika dan
obat antihipertensi merupakan manfaat dari pencegahan melalui pemeriksaan
antenatal yang baik.(2)

1.2 Infeksi Intra Uterin


A. Definisi Infeksi Intra Uterin
Infeksi intrauterin atau korioamnionitis merupakan infeksi secara klinis pada
cairan amnion, selaput korioamnion dan atau uterus yang timbul segera sebelum
atau pada saat persalinan yang disebabkan oleh bakteri.9 Penelitian membuktikan
bahwa insiden dari infeksi intrauterin adalah 0,5-2% dari semua persalinan, dan
dihubungkan dengan 20-40% kasus sepsis neonatal dini dan pneumonia.10 Pada
kehamilan cukup bulan, insiden terjadi pada sekitar 5% kehamilan. Infeksi ini
berhubungan dengan ketuban pecah dini dan persalinan lama. Sekitar 25% infeksi
intrauterin disebabkan oleh ketuban pecah dini. Makin lama jarak antara ketuban
pecah dengan persalinan, makin tinggi pula risiko morbiditas dan mortalitas ibu
dan janin.11

B. Etiologi Infeksi Intra Uterin


Organisme penyebab dari korioamnionitis seringkali multipel. Gibbs, dkk
(1982) mengidentifikasikan mikroorganisme yang ditemukan dalam cairan

17
amnion pasien dengan korioamnionitis yaitu Bakteroides Sp (25%), Gardnerella
vaginalis (24%), grup β streptokokus (12%), streptokokus aerob jenis lain (13%),
E.coli (10%), dan gram negatif lain (10%). Hampir semua bakteri dalam
penelitian tersebut merupakan bakteri yang ditemukan pada sediaan apus wanita
dengan vaginosis bakterial. Sehingga banyak penelitian menghubungkan kejadian
korioamnionitis dengan vaginosis bakterial.12

C. Patofisiologi Infeksi Intra Uterin


Korioamnionitis terjadi akibat infeksi asenden mikroorganisme dari serviks
dan vagina setelah terjadinya ketuban pecah dan persalinan.13 Selain itu dapat pula
akibat infeksi transplasental yang merupakan penyebaran hematogen dan
bakteremia maternal dan induksi bakteri pada cairan amnion akibat iatrogenik
pada pemeriksaan amniosintesis, pasca transfusi intrauterin dan kordosintesis.
Faktor risiko terjadinya korioamnionitis adalah waktu antara ketuban pecah dan
persalinan, penggunaan monitor fetal internal, jumlah pemeriksaan dalam selama
persalinan, nulipara, dan adanya bakterial vaginosis.

18
Gambar 1. Tempat potensial infeksi bakteri di uterus14.

Korioamnionitis terjadi paling sering saat persalinan sesudah pecahnya selaput


ketuban. Walaupun sangat jarang, korioamnionitis dapat juga terjadi pada
keadaan dimana selaput ketuban masih intak15.
Sebanyak 3% dari neonatus yang lahir dari ibu dengan korioamnionitis dengan
pecahnya selaput ketuban < 24 jam sebelum persalinan, akan menderita
bakteremia. Bila pecahnya selaput ketuban terjadi >24 jam maka sebanyak 17%
neonatus akan mengalami bakteremia14.
Pada keadaan selaput ketuban yang masih intak, korioamnionitis sangat jarang
terjadi. Hal ini mungkin disebabkan oleh infeksi Listeria monosytogenes, yang
merupakan batang gram positif anaerob, yang menginfeksi janin secara
hematogen (infeksi transplasental) dan dapat menyebabkan kematian janin. Gejala
pada ibu dapat asimtomatis atau hanya berupa demam ringan dan jarang

19
menyebabkan sepsis pada ibu. Streptokokus grup A juga dapat menyebakan
infeksi janin dan rongga amnion pada selaput ketuban yang masih intak14.
Organisme penyebab infeksi menyebar pertama kali ke dalam ruang korio
desidua, dan pada beberapa kasus dapat melintas melalui membran korioamnion
yang masih utuh dan masuk ke dalam cairan amnion, sehingga menyebabkan
infeksi pada janin15.
Setiap kehamilan dengan korioamnionitis merupakan faktor risiko penyebab
prematuritas dan ketuban pecah dini. Banyak penelitian yang menghubungkan
antara korioamnionitis dengan persalinan prematur. Teori yang paling banyak
dipergunakan saat ini adalah teori invasi bakteri dari ruang koriodesidua, yang
memulai terjadinya proses persalinan preterm. Hal ini dikarenakan pelepasan
endotoksin dan eksotoksin oleh bakteri akan mengakitivasi desidua dan membran
fetus untuk memproduksi beberapa sitokin, yang diantaranya tumor nekrosis
factor-α (TNF- α), interleukin-1α, interleukin-1β, interleukin-6, interleukin-8, dan
granulosite coloni stimulating factor (GCsF). Kemudian seluruh sitokin,
endotoksin dan eksotoksin akan menstimulasi sintesis prostaglandin yang akan
terakumulasi dengan sintesis dan pelepasan metaloprotease dan komponen
bioaktif lainnya. Prostaglandin akan menstimulasi kontraksi uterus sementara
metaloprotease akan menyerang membran korioamnion yang akan menyebabkan
pecahnya membran. Metaloprotease akan membentuk kolagen di serviks yang
menyebabkan terjadinya perlunakan serviks15.
Persalinan prematur disebabkan akibat janin itu sendiri. Pada janin yang
terinfeksi terjadi peningkatan kadar sekresi kortikotropin akibat peningkatan dari
corticotropin releasing hormone (CRH) dari hipotalamus janin dan juga produksi
CRH dari plasenta. Hal ini akan meningkatkan kadar produksi adrenal janin
berupa peningkatan kortisol yang berhubungan dengan peningkatan kadar
prostaglandin15.

20
Gambar 2. Kolonisasi bakteri koriodesidua dapat menyebabkan persalinan
prematur15.

D. Diagnosis Infeksi Intra Uterin


Tanda dan gejala klinis korioamnionitis meliputi16 :
1. Demam (suhu intrapartum > 100.4˚ F atau > 37,8˚ C)
2. Takikardia ibu (>120x/menit)
3. Takikardia janin (>160x/menit)
4. Cairan ketuban berbau atau tampak purulen
5. Uterus teraba tegang
6. Leukositosis ibu (leukosit 15.000-18.000 sel/mm3)
Bila terdapat dua dari enam gejala diatas ditemukan pada kehamilan, maka risiko
terjadinya neonatal sepsis meningkat.
Gibbs, dkk mengemukakan gejala dan tanda infeksi intrapartum yaitu suhu ibu
≥ 37,8˚C dan 2 atau lebih dari kondisi dibawah ini: takikardia ibu (>100 x/menit),

21
takikardia janin (>160 x/menit), nyeri uterus, cairan amnion berbau dan
leukositosis ibu (>15.000 sel/mm3)9.
Korioamnionitis seringkali bukan suatu gejala akut, namun merupakan suatu
proses kronis dan tidak menunjukkan gejala sampai persalinan dimulai atau terjadi
ketuban pecah dini. Bahkan sampai setelah persalinan sekalipun pada wanita
yang terbukti memiliki korioamnionitis (melalui pemeriksaan histologis atau
kultur) dapat tidak ditemukan tanda klasik diatas selain tanda-tanda
prematuritas15.
Terdapat beberapa metode laboratorium lain yang diharapkan dapat membantu
penegakkan diagnosis, beberapa diantaranya seperti pemeriksaan serum CRP (C-
reative protein) maternal, pemeriksaan esterase leukosit cairan amnion, dan
deteksi asam organik bakterial dengan kromatografi gas-cairan16. Peningkatan
kadar CRP memiliki spesifisitas yang tinggi untuk diagnosis korioamnionitis.
Kadar CRP rata-rata pada kehamilan adalah 0,7-0,9 mg/dl. Terdapat peningkatan
sedikit selama persalinan13.
Pemeriksaan langsung dari cairan amnion dapat memberikan kriteria yang
lebih pasti dari korioamnionitis. Kombinasi pewarnaan Gram dan kultur dari hasil
amniosintesis merupakan metode diagnostik terbaik17. Ditemukannya bakteri
gram positif memiliki nilai prediktif positif (positif predictive value/PPV) 93,3%,
sedangkan ditemukannya gram negatif memiliki nilai prediktif negatif 85,4%
(negatif predictive value/NPV). Akurasi tes tergantung dari konsentrasi bakteri
saat pengambilan sampel13. Pada pasien dengan suspek korioamnionitis, kadar
glukosa cairan amnion yang rendah merupakan prediktor yang baik dari hasil
positif kultur cairan amnion namun merupakan prediktor yang buruk untuk
korioamnionitis secara klinis18. Ditemukannya leukosit esterase antigen pada
cairan amnion memiliki sensitivitas 91% dan nilai PPV 95%.
Deteksi asam organik bakteri dengan menggunakan kromatografi gas-cairan
cukup sensitif namun memerlukan alat yang rumit dan tidak praktis13.
Hasil pemeriksaan mikroskopik yang menunjang diagnosis korioamnionitis
adalah ketika terlihat set leukosit mononuclear dan polimonorfonuklear
menginfiltrasi selaput korion. Sebelum 20 minggu hampir semua sel leukosit

22
polimorfonuklear adalah sel yang berasal dari ibu, sedangkan selanjutnya
merupakan respon inflamasi dari janin19.
Dari pemeriksaan-pemeriksaan diatas tidak satupun yang cukup sensitif dan
spesifik digunakan secara tersendiri terlepas dari gejala dan tanda klinis untuk
mendiagnosis korioamnionitis.
Telah disebutkan sebelumnya bahwa terjadinya korioamnionitis berhubungan
dengan ketuban pecah dini. Untuk mendiagnosa adanya ketuban pecah dapat
dilakukan pemeriksaan inspekulo (untuk melihat adanya genangan atau rembesan
cairan amnion), nitrazin tes, tes daun pakis, tes evaporasi, USG, fluoresen
intraamnonitik, tes diamin oksidase, fibronektin janin dan pemeriksaan AFP pada
sekret vagina11.

E. Penatalaksanaan Infeksi Intra Uterin


Korioamnionitis diterapi antimikroba dan janin dilahirkan tanpa memandang
usia gestasi. Antibiotika yang diberikan adalah antibiotika intravena berspektrum
luas. Untuk sebagian besar kasus, cukup digunakan antibiotika tunggal. Terdapat
penelitian yang membuktikan bahwa pemberian antibiotika intrapartum
dibandingkan dengan postpartum akan menurunkan kejadian sepsis & pneumonia
neonatal dan morbiditas postpartum ibu. Standar baku jenis pemberian antibiotika
untuk korioamnionitis akut belum ada, banyak studi melakukan evaluasi terhadap
pemberian antibiotika. Terdapat studi yang merekomendasikan pemberian
ampisilin (2 g setiap 6 jam) ditambah dengan gentamisin (1,0-1,5mg/kg setiap 8
jam)14. Ampisilin diberikan sebagai pilihan pertama karena dapat melintasi
plasenta dengan cepat (<30 menit) dalam konsentrasi tinggi (rasio darah
maternal/darah umbilicus 0,71). Regimen intravena yang direkomendasikan
termasuk cefoxitin (4X2gr), cefotetan (2x2gr), piperasilin atau mezlocilin (4x3-
4gr), ampisilin sulbaktam (4x3gr), tikarsilin/klavulanat (4x3gr). Pada kasus yang
lebih berat misalnya pada sepsis dapat diberikan terapi kombinasi yang terdiri dari
penisilin atau ampisilin, aminoglikosida dan agen anaerob seperti klindamisin
(3x900gr). Literatur lain menganjurkan pemberian gentamisin 5mg/kgBB/hari
dosis tunggal13. Pada korioamnionitis lama pemberian antibiotika belum ada

23
standar baku. Pemberian antibiotika intravena dapat dilanjutkan hingga 48-72 jam
bebas demam, kemudian dilanjutkan dengan antibiotika oral. Kepustakaan lain
menyarankan pemberian terapi parenteral hingga 1-2 hari postpartum, tanpa
tambahan antibiotika oral sesudahnya20.
Pilihan cara persalinan pada kasus korioamnionitis sebaiknya pervaginam.
Jika persalinan tidak timbul spontan, maka dilakukan induksi persalinan, baik
dengan medikamentosa atau mekanik20. Persalinan perabdominam meningkatkan
risiko demam postpartum akibat infeksi (endometritis) pada ibu. Endometritis
dapat terjadi pada 30% pasien dengan persalinan perabdominam, dibandingkan
risiko pada persalinan pervaginam hanya 10%. Morbiditas ibu meningkat 5x lipat
pada persalinan perabdominam jika dibandingkan dengan persalinan
pervaginam11. Namun persalinan perabdominam dapat dipertimbangkan bila
persalinan diperkirakan belum selesai dalam interval 12 jam setelah diagnosis
ditegakkan. Hal ini didasarkan dari suatu penelitian yang mengemukakan tidak
terdapatnya perbedaan peningkatan infeksi neonatus jika jarak antara diagnosis
korioamnionitis dan persalinan < 12 jam, namun peningkatan kejadian infeksi
neonatus setelah interval 12 jam belum dapat dipastikan. Pada suatu penelitian
persalinan perabdominam berhubungan dengan meningkatnya kejadian atonia
uteri, perawatan ibu di ICU dan skor apgar yang rendah20.

F. Morbiditas Dan Mortalitas Akibat Korioamnionitis


Korioamnionitis mengakibatkan mortalitas perinatal yang signifikan, terutama
pada neonatus dengan berat badan lahir rendah, dimana terjadi peningkatan 3-4x
lipat kematian perinatal diantara neonatus dengan berat lahir yang rendah yang
dilahirkan dari ibu yang menderita korioamnionitis. Selain itu terjadi juga
kejadian respiratory distress syndrome (RDS), perdarahan intraventrikular, dan
sepsis neonatal atau meningitis7,10. Janin memiliki risiko tinggi terhadap kejadian
pneumonia neonatal ataupun kongenital akibat aspirasi cairan amion yang
terinfeksi. Korioamnionitis dihubungkan dengan 20-40% kasus sepsis neonatal
dan pneumonia.

24
Korioamnionitis merupakan penyebab nyata terjadinya morbiditas maternal,
namun jarang mengakibatkan mortalitas maternal. Bakteremia dapat terjadi pada
2-5% kasus. Infeksi intrapartum meningkatkan risiko infeksi puerpuralis pada
persalinan pervaginam menjadi 13%, dibandingkan dengan persalinan yang tidak
disertai dengan infeksi intrapartum hanya 6%13. Pada ibu korioamnionitis dapat
mengakibatkan metritis, peritonitis, sepsis hingga kematian ibu.

1.3 Ketuban Pecah Dini (KPD)


A. Definisi KPD21
Ketuban Pecah Dini( amniorrhexis – premature rupture of the membrane
PROM ) adalah pecahnya selaput korioamniotik sebelum terjadi proses
persalinan. Secara klinis diagnosa KPD ditegakkan bila seorang ibu hamil
mengalami pecah selaput ketuban dan dalam waktu satu jam kemudian tidak
terdapat tanda awal persalinan, dengan demikian untuk kepentingan klinis waktu 1
jam tersebut merupakan waktu yang disediakan untuk melakukan pengamatan
adanya tanda-tanda awal persalinan.

B. Etiologi KPD21
Walaupun banyak publikasi tentang KPD namun penyebabnya masih belum
diketahui dan tidak dapat ditentukan secara pasti. Kemungkinan yang menjadi
faktor predisposisi adalah:
a. Infeksi yang terjadi secara langsung pada selaput ketuban maupun
asenden dari vagina atau infeksi pada cairan ketuban bisa menyebabkan
terjadinya KPD.
b. Serviks yang inkompetensia, kanalis sevikalis yang selalu terbuka karena
kelainan pada serviks uteri (akibat persalinan ataupun kuretase).
c. Tekanan intrauterin yang meningkat secara berlebihan (overdistensi
uterus) misalnya trauma, hidramnion, gemelli. Trauma oleh beberapa ahli
disepakati sebagai faktor predisposisi atau penyebab terjadinya KPD.
Trauma yang didapat misalnya akibat hubungan seksual, pemeriksaan

25
dalam, maupun amniosintesis menyebabkan terjadinya KPD karena
biasanya disertai dengan infeksi.
d. Kelainan letak, misalnya sungsang, sehingga tidak ada bagian terendah
yang menutupi pintu atas panggul (PAP) yang dapat menghalangi
tekanan terhadap membran bagian bawah.
e. Keadaan sosial ekonomi
f. Faktor lain
 Akibat golongan darah ibu dan anak yang tidak sesuai dapat
menimbulkan kelemahan bawaan termasuk kelemahan jaringan kulit
ketuban.
 Faktor disproporsi antar kepala janin dan panggul ibu (cephalo-pelvic
disproportion).
 Faktor multi graviditas, merokok dan perdarahan antepartum.
 Defisiesnsi gizi dari tembaga atau asam askorbat (Vitamin C).
C. Patofisiologi KPD22
Ketuban pecah dalam persalinan secara umum disebabkan oleh kontraksi
uterus dan peregangan berulang. Selaput ketuban pecah karena pada daerah
tertentu terjadi perubahan biokimia yang menyebabkan selaput ketuban inferior
rapuh, bukan karena seluruh selaput ketuban rapuh. Terdapat keseimbangan antara
sintesis dan degenerasi ekstraseluelr matriks. Perubahan struktur, jumlah sel, dan
katabolisme kolagen menyebabkan aktivasi kolagen berubah dan menyebabkan
selaput ketuban pecah.
Dua belas hari setelah ovum dibuahi , terrbentuk suatu celah yang dikelilingi
amnion primitif yang terbentuk dekat embryonic plate. Celah tersebut melebar dan
amnion disekelilingnya menyatu dengan mula-mula dengan body stalk kemudian
dengan korion yang akhirnya menbentuk kantung amnion yang berisi cairan
amnion. Cairan amnion , normalnya berwarna putih , agak keruh serta mempunyai
bau yang khas agak amis dan manis. Cairan ini mempunyai berat jenis 1,008 yang
seiring dengan tuannya kehamilan akan menurun dari 1,025 menjadi 1,010. Asal
dari cairan amnion belum diketahui dengan pasti , dan masih membutuhkan
penelitian lebih lanjut. Diduga cairan ini berasal dari lapisan amnion sementara

26
teori lain menyebutkan berasal dari plasenta. Dalam satu jam didapatkan
perputaran cairan lebih kurang 500 ml.
Amnion atau selaput ketuban merupakan membran internal yang membungkus
janin dan cairan ketuban. Selaput ini licin, tipis, dan transparan. Selaput amnion
melekat erat pada korion (sekalipun dapat dikupas dengan mudah). Selaput ini
menutupi permukaan fetal pada plasenta sampai pada insertio tali pusat dan
kemudian berlanjut sebagai pembungkus tali pusat yang tegak lurus hingga
umbilikus janin. Sedangkan korion merupakan membran eksternal berwarna putih
dan terbentuk dari vili – vili sel telur yang berhubungan dengan desidua
kapsularis. Selaput ini berlanjut dengan tepi plasenta dan melekat pada lapisan
uterus.
Dalam keadaan normal jumlah cairan amnion pada kehamilan cukup bulan
sekitar 1000 – 1500 cc, keadaan jernih agak keruh, steril, bau khas, agak manis,
terdiri dari 98% - 99% air, 1- 2 % garam anorganik dan bahan organik (protein
terutama albumin), runtuhan rambut lanugo, verniks kaseosa, dan sel – sel epitel
dan sirkulasi sekitar 500cc/jam
Minggu Janin Plasenta Cairan amnion Persen Cairan
gestasi
16 100 100 200 50
28 1000 200 1000 45
36 2500 400 900 24
40 3300 500 800 17

Fungsi cairan amnion


1. Proteksi : Melindungi janin terhadap trauma dari luar
2. Mobilisasi : Memungkinkan ruang gerak bagi bayi
3. Hemostatis : Menjaga keseimbangan suhu dan lingkungan asam basa (Ph)
4. Mekanik : Menjaga keseimbangan tekanan dalam seluruh ruang intrauteri
5. Pada persalinan, membersihkan atau melicinkan jalan lahir dengan cairan
steril sehingga melindungi bayi dari kemungkinan infeksi jalan lahir

27
Mekanisme KPD menurut Manuaba 2009 antara lain :
1. Terjadinya premature serviks.
2. Membran terkait dengan pembukaan terjadi
a. Devaskularisasi
b. Nekrosis dan dapat diikuti pecah spontan
c. Jaringan ikat yang menyangga membran ketuban makin berkurang
d. Melemahnya daya tahan ketuban dipercepat dengan adanya infeksi
yang mencegah enzim proteolitik dan enzim kolagenase.
D. Patogenesis KPD22
Penelitian terbaru mengatakan KPD terjadi karena meningkatnya apoptosis dari
komponen sel dari membran fetal dan juga peningkatan dari enzim protease
tertentu. Kekuatan membran fetal adalah dari matriks ekstraselular amnion.
Kolagen interstitial terutama tipe I dan tipe III yang dihasilan dari sel mesenkim
juga penting dalam mempertahankan kekuatan membran fetal.
Matriks metalloprotease (MMP) adalah kumpulan proteinase yang terlibat
dalam remodeling tissue dan degenerasi kolagen. MMP – 2, MMP – 3, dan MMP
– 9 ditemukan dengan konsentrasi tinggi pada kehamilan dengan ketuban pecah
dini. Aktivasi protease ini diregulasi oleh tissue inhibitor of matrix
metalloprotease (TIMPs). TIMPs ini pula rendah dalam cairan amnion pada
wanita dengan ketuban pecah dini. Peningkatan enzim protease dan penurunan
inhibitor mendukung bahwa enzim ini mempengaruhi kekuatan membran fetal.

28
Selain itu terdapat teori yang mengatakan meningkatnya marker – marker
apoptosis dimembran fetal pada ketuban pecah dini berbanding dengan membran
pada kehamilan normal. Banyak penelitian yang mengatakan aktivasi aktivitas
degenerasi kolagen dan kematian sel yang membawa kelemahan pada dinding
membran fetal.
Faktor Ibu

Faktor Janin  Serviks Inkopeten


 Multipara
 Gemeli
 Hidramnion
 Malposisi
 CPD, usia
 Berat Janin  Riwayat KPD
berlebih
 Merokok

KELEMAHAN
DINDING
MEMBRAN JANIN

RUPTURNYA MEMBRAN
AMNION DAN KHORION
SEBELUM TANDA – TANDA
PERSALINAN

KETUBAN PECAH
DINI
29
INFEKSI PADA
IBU
E. Diagnosis KPD23
Menegakkan diagnosis KPD secara tepat sangat penting. Karena
diagnosis positif palsu berarti melakukan intervensi seperti melahirkan bayi
terlalu awal atau melakukan seksio yang sebetulnya tidak ada indikasinya.
Sebaliknya diagnosis negatif palsu berarti akan membiarkan ibu dan janin
mempunyai resiko infeksi yang akan mengancam kehidupan janin, ibu atau
keduanya. Oleh karena itu diperlukan diagnosis yang cepat dan tepat.
Diagnosis KPD ditegakkan dengan cara :
a) Anamnesa
Penderita merasa basah pada vagina, atau mengeluarkan cairan yang
banyak secara tiba-tiba dari jalan lahir. Cairan berbau khas dan perlu juga
diperhatikan warna, keluanya cairan tersebut, his belum teratur atau
belum ada dan belum ada pengeluaran lendir darah.
b) Inspeksi
Pengamatan dengan mata biasa akan tampak keluarnya cairan dari
vagina, bila ketuban baru pecah dan jumlah air ketuban masih banyak,
pemeriksaan ini akan lebih jelas.
c) Pemeriksaan dengan spekulum.
Pemeriksaan dengan spekulum pada KPD akan tampak keluar cairan
dari orifisium uteri eksternum (OUE), kalau belum juga tampak keluar,
fundus uteri ditekan dan penderita diminta untuk batuk, mengejan atau
mengadakan manuver valsava, atau bagian terendah digoyangkan,
sehingga akan tampak keluar cairan dari ostium uteri dan terkumpul pada
forniks anterior.
d) Pemeriksaan dalam
Didapat cairan di dalam vagina dan selaput ketuban sudah tidak ada
lagi. Mengenai pemeriksaan dalam vagina dengan tocher perlu
dipertimbangkan, pada kehamilan yang kurang bulan yang belum dalam
persalinan tidak perlu diadakan pemeriksaan dalam. Karena pada waktu
pemeriksaan dalam, jari pemeriksa akan mengakumulasi segmen bawah
rahim dengan flora vagina yang normal. Dimana mikroorganisme

30
tersebut bisa dengan cepat menjadi patogen. Pemeriksaan dalam vagina
hanya dilakukan kalau KPD yang sudah dalam persalinan atau yang
dilakukan induksi persalinan dan dibatasi sedikit mungkin.
e) Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk membantu
dalam melakukan diagnosis KPD pada seseorang adalah seperti :
 Pemeriksaan laboratorium
Cairan yang keluar dari vagina perlu diperiksa : warna,
konsentrasi, bau dan pH. Cairan yang keluar dari vagina ini kecuali
air ketuban mungkin juga urin atau sekret vagina. Sekret vagina ibu
hamil ( pH : 4-5 ).
a. Tes Lakmus (tes Nitrazin), jika kertas lakmus merah berubah
menjadi biru menunjukkan adanya air ketuban (bersifat alkalis).
pH air ketuban 7 – 7,5 tetapi harus diperhatikan karena darah
dan infeksi vagina dapat menghasilkan positif palsu pada tes.
b. Mikroskopik (tes pakis), dengan meneteskan air ketuban pada
gelas objek dan dibiarkan kering. Pemeriksaan mikroskopik
akan menunjukkan gambaran daun pakis.
 Pemeriksaan ultrasonografi (USG)
Pemeriksaan ini bertujuan melihat jumlah cairan ketuban
dalam kavum uteri. Pada kasus KPD terlihat jumlah cairan ketuban
yang sedikit. Namun sering terjadi kesalahan pada penderita
oligohidramnion.

31
F. Penatalaksanaan KPD21
Ketuban pecah dini termasuk dalam kehamilan beresiko tinggi.
Kesalahan dalam mengelola KPD akan meningkatkan angka morbiditas dan
mortalitas ibu maupun bayinya.
Kasus KPD yang cukup bulan, kalau segera mengakhiri kehamilan akan
menaikkan insidensi bedah sesar dan kalau menunggu persalinan spontan
akan menaikkan insidensi korioamnionitis. Kasus KPD yang kurang bulan
kalau menempuh cara-cara aktif harus dipastikan bahwa tidak akan terjadi
RDS dan kalau menempuh cara konservatif dengan maksud untuk memberi
waktu pematangan paru, harus bisa memantau keadaan janin dan infeksi
yang akan memperburuk prognosis janin.
Penatalaksanaan KPD tergantung usia kehamilan. Kalau usia kehamilan
tidak diketahui secara pasti segera dilakukan pemeriksaann ultrasonografi
(USG) untuk mengetahui umur kehamilan dan letak janin. Resiko yang
lebih sering pada KPD dengan janin kurang bulan adalah RDS
dibandingkan dengan sepsis. Oleh karena itu pada kehamilan kurang bulan
perlu evaluasi hati-hati untuk menentukan waktu yang optimal untuk
persalinan. Pada umur kehamilan 34 minggu atau lebih biasanya paru-paru
sudah matang.
Korioamnionitis yang diikuti dengan sepsis pada janin merupakan
sebab utama meningkatnya morbiditas dan mortalitas janin. Pada kehamilan
cukup bulan, infeksi janin langsung berhubungan dengan lama pecahnya
selaput ketuban atau lamanya periode laten.
 Penatalaksanaan KPD pada kehamilan aterm (> 37 Minggu)
Beberapa penelitian menyebutkan lama periode laten dan durasi KPD
keduanya mempunyai hubungan yang bermakna dengan peningkatan
kejadian infeksi dan komplikasi lain dari KPD. Jarak antara pecahnya
ketuban dan permulaan dari persalinan disebut periode laten = L.P = “lag”
period. Makin muda umur kehamilan makin memanjang L.P-nya.
Pada hakekatnya selaput ketuban yang pecah akan menginduksi
persalinan dengan sendirinya. Sekitar 70-80% kehamilan genap bulan akan

32
melahirkan dalam waktu 24 jam setelah selaput ketuban pecah,bila dalam
24 jam setelah selaput ketuban pecah belum ada tanda-tanda persalinan
maka dilakukan induksi persalinandan bila gagal dilakukan bedah sesar.
Pemberian antibiotik profilaksis dapat menurunkan infeksi pada ibu.
Walaupun antibiotik tidak berfaedah terhadap janin dalam uterus namun
pencegahan terhadap
Korioamnionitis lebih penting dari pada pengobatannya, sehingga
pemberian antibiotik profilaksis perlu dilakukan. Waktu pemberian
antibiotik hendaknya diberikan segera setelah diagnosis KPD.
Beberapa penulis menyarankan bersikap aktif (induksi persalinan)
segera diberikan atau ditunggu sampai 6-8 jam dengan alasan penderita
akan menjadi inpartu dengan sendirinya. Dengan mempersingkat periode
laten durasi KPD dapat diperpendek sehingga resiko infeksi dan trauma
obstetrik karena partus tindakan dapat dikurangi.
Pelaksanaan induksi persalinan perlu pengawasan yang sangat ketat
terhadap keadaan janin, ibu dan jalannya proses persalinan berhubungan
dengan komplikasinya. Pengawasan yang kurang baik dapat menimbulkan
komplikasi yang fatal bagi bayi dan ibunya atau proses persalinan menjadi
semakin kepanjangan. Induksi dilakukan dengan mempehatikan bishop
score, jika > 5 induksi dapat dilakukan, sebaliknya < 5 dilakukan
pematangan serviks, jika tidak berhasil akhiri persalinan dengan seksio
sesarea.

 Penatalaksanaan KPD pada kehamilan preterm (< 37 minggu)


Pada kasus-kasus KPD dengan umur kehamilan yang kurang bulan
tidak dijumpai tanda-tanda infeksi pengelolaanya bersifat konservatif
disertai pemberian antibiotik yang adekuat sebagai profilaksis.
Penderita perlu dirawat di rumah sakit,ditidurkan dalam posisi
trendelenberg,tidak perlu dilakukan pemeriksaan dalam untuk mencegah
terjadinya infeksi dan kehamilan diusahakan bisa mencapai 37 minggu,

33
obat-obatan uteronelaksen atau tokolitik agent diberikan juga untuk
menunda proses persalinan.
Tujuan dari pengelolaan konservatif dengan pemberian kortikosteroid
pada penderita KPD kehamilan kurang bulan adalah agar tercapainya
pematangan paru,jika selama menunggu atau melakukan pengelolaan
konservatif tersebut muncul tanda-tanda infeksi, maka segera dilakukan
induksi persalinan tanpa memandang umur kehamilan.
Induksi persalinan sebagai usaha agar persalinan mulai berlangsung
dengan jalan merangsang timbulnya his ternyata dapat menimbulkan
komplikasi-komplikasi yang kadang-kadang tidak ringan. Komplikasi-
komplikasi yang dapat terjadi gawat janin sampai mati, tetani uteri, ruptura
uteri, emboli air ketuban dan juga mungkin terjadi intoksikasi.
Kegagalan dari induksi persalinan biasanya diselesaikan dengan
tindakan bedah sesar. Seperti halnya pada pengelolaan KPD yang cukup
bulan, tindakan bedah sesar hendaknya dikerjakan bukan semata-mata
karena infeksi intrauterin tetapi ada indikasi obstetrik yang lain, misalnya
kelainan letak, gawat janin, partus tak maju, dan lain-lain.
Selain komplikasi-kompilkasi yang dapat terjadi akibat tindakan aktif.
Ternyata pengelolaan konservatif juga dapat menyebabkan komplikasi
yang berbahaya, maka perlu dilakukan pengawasan yang ketat. Sehingga
dikatakan pengelolaan konservatif adalah menunggu dengan penuh
kewaspadaan terhadap kemungkinan infeksi intrauterin.
Sikap konservatif meliputi pemeriksaan leukosit darah tepi setiap hari,
pemeriksaan tanda-tanda vital terutama temperatur setiap 4 jam,
pengawasan denyut jamtung janin, pemberian antibiotik mulai saat
diagnosis ditegakkan dan selanjutnya setiap 6 jam.
Pemberian kortikosteroid antenatal pada preterm KPD telah dilaporkan
secara pasti dapat menurunkan kejadian RDS. The National Institutes of
Health (NIH) telah merekomendasikan penggunaan kortikosteroid pada
preterm KPD pada kehamilan 30-32 minggu yang tidak ada infeksi
intramnion. Sediaan terdiri atas betametason 2 dosis masing-masing 12 mg

34
i.m tiap 24 jam atau dexametason 4 dosis masing-masing 6 mg tiap 12
jam.

Gambar. Penanganan KPD Pada Kehamilan Preterm

35
Gambar. Penanganan KPD Pada Kehamilan Aterm
G. Prognosis KPD23
Prognosis pada ketuban pecah dini sangat bervariatif tergantung pada :
 Usia kehamilan
 Adanya infeksi / sepsis
 Factor resiko / penyebab
 Ketepatan Diagnosis awal dan penatalaksanaan
Prognosis dari KPD tergantung pada waktu terjadinya, lebih cepat kehamilan,
lebih sedikit bayi yang dapat bertahan. Bagaimanapun, umumnya bayi yang lahir

36
antara 34 dan 37 minggu mempunyai komplikasi yang tidak serius dari kelahiran
premature.

1.4 Fetal Distress


A. Definisi Fetal Distress22
Fetal distress (gawat janin) adalah keadaan hipoksia janin yang disebabkan
oleh berbagai macam faktor yang menurunkan aliran darah uteroplasenta sehingga
bila dibiarkan dapat menyebabkan kerusakan jaringan yang permanen atau
kematian janin.
B. Etiologi dan Faktor Risiko Fetal Distress22
Secara umum etiologi dan faktor risiko dapat berasal dari kondisi maternal,
kondisi uterus, kondisi plasenta dan cairan ketuban, kondisi tali pusat, dan kondisi
janin.
Kondisi maternal: hipertensi, hipotensi, anemia berat, penyakit kardiovaskular,
penyakit paru, epilepsi, pendarahan antepartum, dan syok
Kondisi uterus: kontraksi tetanik, hiperstimulasi
Kondisi plasenta dan cairan ketuban: inflamasi dan infark plasenta, abruptio
placenta, postmature placenta, resistensi leptin, ketuban pecah dini,
oligohidramnion
Kondisi tali pusat: kompresi, satu arteri, vasa previa, hematoma, tali pusat
pendek, simpul sejati, prolaps nuchal cord
Kondisi janin: anemia, infeksi, twin-twin transfusion syndrome (TTTS),
prematuritas, kelainan jantung, pertumbuhan janin terhambat
C. Patofisiologi Fetal Distress22
Secara fisiologis kontrol atas denyut jantung janin melibatkan beberapa
mekanisme yang bergantung pada aliran darah dan oksigenasi janin. Faktor yang
penting adalah tali pusat, di mana aliran darah sangat rawan mengalami ancaman
hambatan. Selain itu, persalinan normal adalah suatu proses asidemia yang
progresif. Tahapan dalam persalinan normal berisiko menimbulkan kondisi
hipoksia pada janin, yang akan berujung pada kondisi asidemia.

37
Pada kondisi normal, denyut jantung janin ditentukan oleh pacemaker
pada atrium. Modulasi denyut jantung secara fisiologis diatur oleh n.vagus
(deselerator) dan persarafan simpatis (akselerator). Pada kondisi hipoksia,
kemoreseptor dan baroreseptor pada sirkulasi arteri perifer akan bereaksi
sehingga dapat memengaruhi denyut jantung janin. Hipoksia berat juga
menimbulkan terjadinya metabolisme anaerobik, yang berakibat akumulasi
asam piruvat dan laktat sehingga menyebabkan asidosis. Derajat asidosis janin
dapat diukur dengan mengukur darah dari bagian presentasi janin. Darah yang
diambil dari scalp janin memiliki pH normal sekitar 7.25-7.30. Nilai pH di
bawah 7.20 dianggap abnormal.
Jalur oksigenasi janin dapat terganggu pada beberapa lokasi di dalam
sirkulasi uteroplasenta-janin. Hipertensi atau anemia pada ibu dapat
mengganggu transpor oksigen pada intervillous space. Difusi oksigen pada
plasenta dapat terganggu akibat kondisi infark atau abruptio placenta, yang
dapat menimbulkan reaksi kompensasi dari janin berupa takikardia. Konten
oksigen pada darah janin dapat terganggu akibat kondisi thalassemia ibu atau
anemia hemolitik.
Para ahli berpendapat bahwa indikator penentu kondisi janin tidak hanya
tergantung pada derajat hipoksia dan asidosis janin. Penelitian terkini berfokus
pada peranan defisiensi vitamin D serta marker proinflamasi seperti IL-6 dan
CRP dalam perjalanan penyakit.
D. Gejala Klinik Fetal Distress23
Keluhan utama yang dikemukakan oleh ibu adalah berkurangnya gerak
janin. Pada pemeriksaan non-stress test, ditemukan pola denyut jantung janin
yang abnormal. Tanda-tanda fetal distress lain yang dapat ditemukan adalah
takikardia dan adanya mekonium pada ketuban.
1. Mekonium dalam Cairan Amnion
Keluarnya cairan mekonium merupakan tanda nyata asfiksia janin.
Keluarnya mekonium dengan relaksasi otot sfingter ani dipicu oleh kegagalan
oksigen pada darah (janin) (J. Whitridge Williams 1903). Sekitar 12-22 persen
persalinan dipersulit oleh mekonium, hanya beberapa yang menyebabkan

38
kematian bayi (Katz dan Bowes, 1992). Parkland Hospital menyatakan bahwa
mekonium merupakan bahaya obstetri “beresiko rendah” karena angka
kematian perinatal akibat mekonium adalah 1 kematian per 1.000 kelahiran
hidup (Nathan dkk., 1994).
Tiga teori untuk menjelaskan keluarnya mekonium janin adalah (1) janin
mengeluarkan mekonium sebagai respon terhadap hipoksia sehingga
mekonium adalah tanda gangguan janin; (2) keluarnya mekonium dapat
menggambarkan pematangan saluran pencernaan normal; (3) keluarnya
mekonium mungkin terjadi setelah stimulasi vagal akibat lilitan tali pusat yang
umumnya terjadi bersifat sementara.
Tingginya insidensi mekonium dalam cairan amnion yang diamati selama
persalinan sering menggambarkan keluarnya isi bagian gastrointestinal janin
terkait dengan proses-proses fisiologi yang normal. Meskipun normal,
mekonium tersebut menjadi bahaya bagi lingkungan janin ketika terjadi
asidemia janin. Asidemia terjadi secara akut, dan karenanya aspirasi
mekonium tidak dapat diprediksi dan tidak dapat dicegah. Dalam studi
prospektif terhadap 8.394 perempuan dengan cairan jernih bukanlah penanda
yang dapat diandalkan sebagai tanda kesejahteraan janin.
Banyak bayi dengan sindrom aspirasi mekonium telah menderita hipoksisa
kronis sebelum kelahiran, Sebagai contoh, 60% bayi yang didiagnosis
mengalami sindrom aspirasi mekonium memiliki Ph darah arteri umbilicalis
≥7,20, menunjukkan bahwa sindrom init idak terkait dengan kondisi pada saat
kelahiran bayi, Tanda-tanda hipoksia kronik, seperti kadar eritropoietin janin
dan jumlah sel darah merah berinti pada bayi baru lahir, menunjukkan bahwa
hipoksia kronik terlibat banyak kasus sindrom aspirasi mekonium.
Penatalaksanaan obstetris rutin pada neonatus dengan cairan ketuban
tercemar mekonium umumnya meliputi pengisapan orofaring dan nasofaring
intrapartum diperineum setelah melahirkan kepala, American College of
Obstetricians and Gynecologist menyarankan agar bayi tidak secara rutin
menerima pengisapan intrapartum karena tidak mencegah sinrom aspirasi
meconium, Jika bayi mengalami depresi, trakea diintubasi, mekonium diisap

39
dari bawah glotis, Jika neonatus kuat, yang ditandai dengan memiliki usaha
napas yang kuat, tonus otot baik, dan denyut jantung > 100 dpm, penghisapan
trakea tidak diperlukan dan mungkin dapt mencederai pita suara.
E. Pemantauan Denyut Jantung Janin22
Kombinasi karakteristik denyut jantung janin dapat digunakan secara
bermakna untuk mengidentifikasi janin normal dan severely abnormal.
Banyak asumsi yang keliru, salah satunya distress janin merupakan
fenomena perlahanlahan berkembang dengan pemantauan elektronik
memungkinkan deteksi dini pada janin, asumsi ini tidak logis, bagaimana
mungkin janin mati perlahan-lahan. Asumsi lain menyatakan cedera janin
terjadi di rumah sakit, tetapi kenyataanya sebagian besar janin mengalami
cedera sebelum datang ke unit persalinan. Istilah monitoring janin
mengisyaratkan pemantauan Asumsi yang dibuat jika janin cedera atau mati
dilahirkan, gulungan pita rekaman dapat memeberikan petunjuk penyebab
kematian karena alat ini dapat memantau kondisi janin. Semua asumsi ini
menimbulkan harapan yang besar dan memupuk keyakinan bahwa semua
kematian atau cedera pada neonatus dapat dicegah. Pengalaman Parkland
Hospital yang menyelidiki selama 3 tahun dalam 17.410 persalinan yang
dikelola dengan menggunakan pemantauan elektronik, tidak meningkatkan
kondisi perinatal tetapi meningkatkan frekuensi kelahiran sesar pada distress
janin. National Institutes of Child Health and Human Development telah
mengembangkan suatu standardisasi pada tahun 1997 dan direevaluasi pada
tahun 2008 untuk menajamkan interpretasi denyut jantung janin berdasarkan
pemeriksaan nonstress test dan memperjelas terminologi, sehingga penilaian
klinisi menjadi lebih objektif dan tidak ambigu. Sistem interpretasi ini terdiri
dari tiga kategori, yakni normal, meragukan (indeterminate), dan abnormal.
American College of Obstetricians and Gynecologists pada tahun 2013
merekomendasikan penggunaan sistem interpretasi tersebut.
Metode paling sering digunakan untuk pemantauan denyut jantung janin
intrapartum meliputi auskultasi dengan stetoskop janin atau perangkat
ultrasound Doppler, atau pemantauan elektronik denyut jantung dan kontraksi

40
uterus secara kontinu. Tidak ada bukti ilmiah yang dapat identifikasi metode
yang paling efektif, termasuk durasi atau frekuensi pengawasan janin yang
menjamin hasil yang optimal. Auskultasi intermitten atau pemantauan
elektronik secara kontinu dianggap metode yang dapat diterapkan pada kedua
pengawasan intrapartum baik pada kehamilan berisiko tinggi dan rendah.
Interval yang disarankan dari waktu ke waktu pemeriksaan denyut jantung
lebih panjang pada kehamilan tanpa kompilkasi. Jika menggunakan auskultasi
disarankan bahwa auskultasi dilakukan setelah satu kontraksi dan selama 60
detik.

Three-Tier Fetal Heart Interpretation System Recommended by the 2008


NICHD Workshop on Electronic Fetal Monitoring

Kategori I — Normal
• Baseline rate: 110–160 bpm
• Variabel FHR Baseline: sedang
• Deselerasi lambat atau variabel: tidak ada
• Deselerasi dini: ada atau tidak ada
• Akselerasi: ada atau tidak ada

Kategori II — Indeterminate
Semua penelusuran FHR yang tidak dikategorikan sebagai Kategori I atau III.
Baseline:
• Bradikardia tidak disertai oleh ketiadaan variabilitas baseline
• Takikardia Variabel FHR Baseline:
• Variabilitas baseline minimal
• Ketiadaan variabilitas baseline tidak disertai deselerasi berulang
• Variabilitas baseline yang ditandai
Akselerasi:
• Tidak adanya akselerasi yang diinduksi setelah stimulasi janin Deselerasi
periodik atau episodik:

41
• Deselerasi variabel berulang disertai variabilitas baseline minimal atau
sedang • Deselerasi berkepanjangan 2 - 10 menit
• Deselerasi lanjut berulang dengan variabilitas baseline yang moderat
• Deselerasi variabel dengan karakteristik lain, seperti lambat kembali ke
baseline, "overshoot", atau “shoulders”

Kategori III — Abnormal


• Variabilitas baseline FHR tidak ada dan salah satu dari yang berikut:
Deselerasi lanjut berulang
Deselerasi variabel berulang
Bradikardia
• Pola sinusoid

42
F. Diagnosis Fetal Distress24
Diagnosis fetal distress sangat bergantung pada penilaian denyut jantung
janin oleh klinisi. Diagnosis umumnya ditegakkan apabila pemeriksaan non-
stress test menunjukkan gambaran non-reaktif, atau sesuai dengan kategori II
atau III menurut Three-Tier Fetal Heart Interpretation System oleh NICHD.
G. Penatalaksanaan Fetal Distress24
Prinsip manajemen utama untuk pola jantung janin secara signifikan
adalah bervariasi terdiri dari mengkoreksi setiap gangguan janin jika
memungkinkan. Tindakan yang disarankan oleh American College of
Obstetricians and Gynecologists (2013) adalah memposisikan ibu ke lateral,
mengoreksi hipotensi maternal yang disebabkan oleh analgesia regional, dan
menghentikan oksitosin untuk meningkatkan perfusi uteroplasenta.
Pemeriksaan dilakukan untuk menyingkirkan prolaps tali pusat atau kelahiran
yang akan datang. Simpson dan James (2005) menilai manfaat dari tiga
manuver pada 52 wanita dengan sensor saturasi oksigen janin yang sudah ada.
Mereka menggunakan hidrasi intravena 500-1000 mL larutan Ringer laktat
yang diberikan selama 20 menit; posisi lateral versus supine; dan
menggunakan masker nonrebreathing yang memberikan oksigen tambahan 10
L / menit. Masing-masing manuver ini secara signifikan meningkatkan
saturasi oksigen janin, meskipun pertambahannya kecil.
1. Tokolitik
Injeksi intravena atau subkutan terbutalin sulfat tunggal 0,25 mg yang
diberikan untuk merelaksasi uterus telah dideskripsikan sebagai manuver
temporer dalam penatalaksanaan pola denyut jantung janin yang tidak pasti
selama persalinan. Alasannya adalah bahwa penghambatan kontraksi uterus
dapat meningkatkan oksigenasi janin, sehingga mendapatkan resusitasi uterus.
Cook and Spinnato (1994) menggambarkan pengalaman mereka selama 10
tahun, dengan tokolitik terbutaline untuk resusitasi janin pada 368 kehamilan.
Resusitasi meningkatkan nilai Ph fetal scalp blood , meskipun semua janin
menjalani sesar. Peneliti ini menyimpulkan bahwa meskipun penelitiannya
kecil dan jarang diacak, sebagian besar melaporkan hasil yang

43
menguntungkan dengan tokolitik terbutaline untuk pola yang tidak pasti.
Dosis nitrogliserin intravena kecil — 60 hingga 180 ug — juga telah
dilaporkan bermanfaat (Mercier, 1997). American College of Obstetricians
and Gynecologists (2013b) menyimpulkan bahwa tidak ada bukti yang cukup
untuk merekomendasikan tokolitik untuk pola denyut jantung janin yang tidak
pasti.
2. Fusi Amnion (Amnionfusion)
Gabbe dan rekan (1976) menunjukkan pada monyet bahwa penghilangan
cairan amnion menghasilkan deselerasi variabel dan pengisian kembali cairan
dengan saline mengurangi deselerasi. Miyazaki dan Taylor (1983)
memasukkan saline melalui kateter tekanan intrauterin pada wanita yang
bekerja yang mengalami deselerasi variabel atau deselerasi berkepanjangan
yang dikaitkan dengan entrapment tali pusat. Terapi seperti ini meningkatkan
pola denyut jantung pada setengah dari wanita yang diteliti. Kemudian,
Miyazaki dan Nevarez (1985) secara acak assigned 96 wanita nulipara dalam
persalinan dengan pola kompresi tali pusat dan menemukan bahwa mereka
yang diobati dengan amnioinfusion memerlukan kelahiran sesar untuk fetal
distress yang lebih jarang. Berdasarkan banyak laporan awal ini,
amnioinfusion transvaginal telah diperpanjang menjadi tiga bidang klinis. Ini
termasuk: (1) pengobatan deselerasi variabel atau berkepanjangan, (2)
profilaksis untuk wanita dengan oligohidramnion, seperti dengan ketuban
pecah yang berkepanjangan, dan (3) upaya untuk mencairkan atau mencuci
mekonium yang tebal. Banyak protokol amnioinfusion yang berbeda telah
dilaporkan, tetapi kebanyakan mencakup 500- hingga 800-mL bolus
hangat.diikuti dengan infus kontinyu sekitar 3 mL per menit (Owen, 1990;
Pressman, 1996).
Dalam penelitian lain, Rinehart dan rekan (2000) secara acak memberikan
bolus 500 mL saline normal pada suhu kamar saja atau 500 mL bolus
ditambah infus kontinu 3 mL per menit. Studi mereka termasuk 65 wanita
dengan deselerasi variabel, dan para peneliti tidak

44
menemukan metode untuk menjadi superior. Wenstrom dan rekan (1995)
meneliti penggunaan amnioinfusion di rumah sakit pendidikan di Amerika
Serikat. Prosedur ini digunakan di 96 persen dari 186 pusat yang disurvei, dan
diperkirakan bahwa 3 hingga 4 persen dari semua wanita yang dikirim di
pusat-pusat ini menerima infus semacam itu.
3. Profilaksis Amniofusion untuk Variabel Deselerasi
Hofmeyr dan Lawrie (2012) menggunakan Cochrane Database untuk secara
khusus menganalisis efek amnioinfusion dalam pengelolaan pola denyut
jantung janin yang terkait dengan kompresi tali pusat. Sembilan belas
penelitian yang sesuai diidentifikasi, sebagian besar dengan kurang dari 200
peserta. Disimpulkan bahwa amnioinfusion tampaknya berguna dalam
mengurangi terjadinya deselerasi variabel, meningkatkan hasil neonatal, dan
mengurangi tingkat kelahiran sesar.
American College of Obstetricians and Gynecologists (2013a)
merekomendasikan pertimbangan amnioinfusion dengan deselerasi variabel
persisten.
Prophylactic Amnioinfusion untuk Oligohydramnios. Amnioinfusion pada
wanita dengan oligohidramnion telah digunakan secara profilaksis untuk
menghindari pola denyut jantung janin intrapartum dari oklusi tali pusat.
Nageotte dan rekan kerja (1991) menemukan bahwa ini menghasilkan
penurunan frekuensi dan keparahan deselerasi variabel dalam persalinan.
Namun, angka kelahiran sesar atau kondisi bayi cukup bulan tidak membaik.
Dalam penyelidikan acak, Macri dan rekan (1992) mempelajari profilaksis
amnioinfusion pada 170 kehamilan jangka panjang dan postterm yang rumit
oleh mekonium tebal dan oligohidramnion. Amnioinfusion secara signifikan
mengurangi tingkat kelahiran sesar untuk gawat janin dan sindrom aspirasi
mekonium. Sebaliknya, Ogundipe dan rekan (1994) secara acak menetapkan
116 kehamilan jangka dengan indeks cairan amnion <5 cm untuk menerima
amnioinfusion profilaksis atau perawatan standar kebidanan. Tidak ada
perbedaan signifikan dalam tingkat kelahiran sesar secara keseluruhan, tingkat
persalinan untuk gawat janin, atau penelitian asam basa tali pusat.

45
4. Amnioinfusion untuk Cairan Amnion Bermenton Mekonium
Pierce dan rekan (2000) meringkas hasil dari 13 percobaan prospektif
intrapartum amnioinfusion pada 1924 wanita dengan cairan bernoda
mekonium sedang sampai tebal. Bayi yang lahir dari wanita yang diobati
dengan amnioinfusion secara signifikan kurang mungkin memiliki mekonium
di bawah pita suara dan cenderung kurang mengembangkan sindrom
Aspirasi mekonium daripada bayi yang lahir dari wanita yang tidak
menjalani amnioinfusion. Angka kelahiran sesar juga lebih rendah pada
kelompok amnioinfusion. Hasil serupa dilaporkan oleh Rathore dan rekan
kerja (2002). Sebaliknya, beberapa peneliti tidak mendukung amnioinfusion
untuk pewarnaan mekonium. Sebagai contoh, Usta dan rekan (1995)
melaporkan bahwa amnioinfusion tidak layak dilakukan pada setengah wanita
dengan mekonium sedang atau tebal yang diacak untuk pengobatan ini. Para
peneliti ini tidak dapat menunjukkan perbaikan dalam hasil neonatal. Spong
dan rekan kerja (1994) juga menyimpulkan bahwa meskipun profilaksis
amnioinfusion tidak mengencerkan mekonium, tetapi tidak meningkatkan
hasil perinatal. Terakhir, Fraser dan rekan (2005) mengacak amnioinfusion
pada 1998 wanita dengan pewarnaan mekonium tebal cairan amnion dalam
persalinan dan tidak menemukan manfaat. Karena temuan ini, American
College of Obstetricians and Gynecologists (2012, 2013) tidak
merekomendasikan amnioinfusion untuk mencairkan cairan amnion bernoda
meconium. Menurut Xu dan rekan kerja (2007), dalam sebuah di daerah yang
kurang pemantauan terus menerus, amnioinfusion dapat digunakan untuk
menurunkan insidensi sindrom aspirasi mekonium.
H. Komplikasi
Berdasarkan penelitian Rosen dan Dickson yang menganalisis pola denyut
jantung janin intrapartum pada 55 kasus tidak menemukan pola spesifik yang
berkolerasi dengan cedera neurologis.
Berdasarkan penelitian Phelan dan Ahn diantara 48 janin yang ditemukan
yang kemudian mengalami gangguan neurologis, 70 % rekaman denyut
jantung janin tidak reaktif persisten telah terdeteksi saat pasien masuk rumah

46
sakit. Cedera neurologis pada janin sebagian besar terjadi sebelum tiba di
rumah sakit. Ketika mereka melihat secara retrospektif pola denyut jantung
pada 209 bayi yang mengalami kerusakan otak, mereka menyimpulkan bahwa
tidak ada satu pola unik yang menyebabkan cedera neurologis janin.
Berdasarkan penelitian William dan Galernau menemukan bayi kejang
akibat hypoxic ischemic encephalopathy berhubungan dengan pola denyut
jantung janin abnormal nonspesifik, hanya jika pola tersebut telah ada selama
rata-rata 72 menit.
Berdasarkan penelitian Graham yang meninjau literatur dunia yang
diterbitkan mulai tahun 1966 sampai 2006 tentang pemantauan denyut jantung
janin untuk mencegah cedera otak perinatal dan tidak menemukan
manfaatnya. Pola denyut jantung yang diperlukan untuk diagnosa kerusakan
otak pada perinatal telah diteliti pada percobaan binatang. Berdasarkan
peneilitian Myers yang menjelaskan asfiksia total dan parsial pada monyet
rhesus dalam penelitian kerusakan otak akibat asfiksia perinatal. Asfiksia total
disebabkan oleh oklusi total aliran darah umbilikus yang menuju pada
deselerasi memanjang. pH arteri janin tidak mencapai 7 sampai sekitar 8 menit
setelah penghentian total oksigenasi dalam aliran darah umbilikus.Setidaknya
harus terjadi 10 menit deselerasi memanjang seperti ini sebelum ada bukti
kerusakan otak pada janin yang masih bertahan hidup. Asfiksia parsial pada
monyet rhesus dengan menghambat aliran darah aorta induk monyet. Kondisi
ini mengakibatkan deselerasi melambat akibat hipoperfusi uterus dan plasenta.
Ia mengamati bahwa deselerasi lambat yang terjadi beberapa jam ini tidak
merusak otak janin kecuali pH dibawah 7.
Deselerasi lambat sebagai penanda asfiksia parsial jauh sebelum terjadi
kerusakan otak. Pola denyut jantung janin yang paling umum selama proses
persalinan akibat oklusi tali pusar membutuhkan waktu yang cukup lama
untuk mempengaruhi janin secara signifikan dalam percobaan binatang.
Berdasarkan peneliatan Clap olkusi tali pusat janin domba selama 90 detik
setiap 30 menit selama 3 sampai 5 jam sehari selama 4 hari tidak
menyebabkan cedera sel otak nekrotik. Hasil dari percobaan-percobaan seperti

47
ini menunjukkan efek lilitan tali pusat bergantung pada tingkat oklusi parsial
atau total, durasi oklusi, dan frekuensi oklusi tersebut.
Kontribusi kejadian intrapartum pada kecacatan neurologis yang terjadi
sesudahnya telah diperkirakan selalu tinggi. Berdasarkan penelitian Nelson
dan Grether yang melakukan penelitian pada anak-anak dengan kelumpuhan
cerebral palsy spastik dan membandingkan kecacatan intrapartum anak-anak
ini dengan kontrol normal yang cocok. Kelainan denyut jantung janin
intrapartum tidak membedakan anak-anak cerebral palsy dengn kontrol
normal. Berdasarkan penelitian Badawi, hanya 5 % bayi dengan kerusakan
otak memiliki faktor intrapartum, sebagian besar cerebral palsy tidak
berhubungan dengan peristiwa persalinan. Berdasarkan penelitian Low,
membagi kerusakan otak perinatal yang ditemukan setelah peristiwa asfiksia
ke dalam 3 kategori berdasarkan temuan mikroskopis yaitu dari 18-48 jam
nekrosis neural dengan piknosis atau lisisnya nukleus dalam sel eosinofilik
yang mengerut. Dari 48-72 jam nekrosis neural lebih intens dengan respon
makrofag. Lebih dari 3 hari semua temuan diatas ditambah respon astrositik
dengan gliosis. Histopatologis otak abnormal tidak ditemukan pada asfiksia
akut dan mematikan. 43 % episode kerusakan otak terjadi sebelum persalinan
dan 25 % terjadi pada periode neonatal. Berdasarkan penelitian Low,
memperkirakan bahwa hipoksia janin lebih dari 1 jam menyebabkan asidemia
metabolik berat dengan pH kurang dari 7, harus ada sebelum kelainan
neurologis dapat didiagnosis pada usia 6-12 bulan. Identifikasi 37 bayi aterm
dengan asidemia metabolik berat saat lahir, mengamati mereka selama 1 tahun
dan menemukan defisit
Neurologis mayor sebanyak 13 %, defisit minor didiagnosis pada 10 bayi
dan sisanya 60 % normal. Asfiksia janin intrapartum dengan asidemia
metabolik saat pelahiran pada janin aterm dan kurang bulan ditandai dengan
komplikasi berat tidak hanya pada sistem saraf pusat, tetapi juga sistem
pernapasan dan ginjal. Kerusakan otak terjadi pada janin yang mengalami
hipoksia kronis. Selain itu hipoksia harus menyebabkan asidemia metabolik
berat, hampir subletal.

48
Menurut American College of Obstetrician and Gynecologist, hypoxic
ischemic encephalopathy akan menunjukan tanda-tanda kerusakan lainnya
yang meliputi: 22
Asidosis metabolik dalam darah arteri tali pusat pH < 7 dan defisit basa ≥12
mmol/L
Skor APGAR 0-3 lebih dari 5 menit
Gejala neurologis: kejang, koma, hipotonia, dan satu atau lebih disfungsi pada
sistem kardiovaskuler, gastrointestinal, hematologi, paru, hati atau ginjal.

American College of Obstetrician and Gynecologist merekomendasikan gas tali


pusat diambil tiap ada:
Sesar pada kasus gangguan janin
Skor APGAR 5 menit rendah
Gangguan pertumbuhan janin berat
Rekaman denyut jantung janin tidak normal
Ibu yang memiliki penyakit tiroid Kehamilan multijanin
Cerebral palsy diskinetik merupakan satu-satunya jenis cerebral palsy yang
terkait dengan kejadian hipoksia akut intra partum. Lesi otak unilateral hemiplegia
atau diplegia bukan disebabkan oleh hipoksia intrapartum. Beberapa patologi
nonintrapartum mayor terkait cerebral palsy:
• Lahir kurang bulan
• Perdarahan plasenta-previa, abrupsio
• Kehamilan multijanin
• Kelainan genetik dan anomali
• Infeksi janin, misalnya: sitomegalovirus, toksoplasmosis, funisitis, villitis
• Pembatasan pertumbuhan janin
• Penyakit ibu, misalnya: DM, hipertensi dan penyakit virus
• Infark plasenta dan trombosis
• Lilitan tali pusat disekitar leher yang erat
• Amenia janin, misalnya: perdarahan, isoimunisasi anti-D

49
1.5 Seksio Cesarea
A. Definisi Seksio Cesarea
Seksio sesarea adalah suatu tindakan pembedahan dengan tujuan untuk
melahirkan bayi dengan membuka dinding perut (laparotomi) dan dinding uterus
(histeretomi) dengan syarat rahim dalam keadaan utuh serta berat janin di atas 500
gram6 Terdapat beberapa istilah dalam seksio sesarea yaitu :
a. Seksio sesarea primer (elektif)
Dari semula telah direncanakan bahwa janin akan dilahirkan secara seksio
sesarea, tidak diharapkan lagi kelahiran biasa, misalnya pada panggul
sempit (CV kecil dari 8 cm).
b. Seksio sesarea sekunder
Dalam hal ini kita bersikap mencoba menunggu kelahiran biasa (partus
percobaan), bila tidak ada kemajuan persalinan atau partus percobaan
gagal, baru dilakukan seksio sesarea.
c. Seksio sesarea ulang (repeat caesarean section)
Ibu pada kehamilan yang lalu mengalami seksio sesarea (previous
sesarean section) dan pada kehamilan selanjutnya dilakukan seksio
sesarea ulang.
d. Seksio sesarea histerektomi (caesarean section hysterectomy)
Adalah suatu operasi dimana setelah janin dilahirkan dengan seksio
sesarea, langsung dilakukan histerektomi, misalnya pada keadaan infeksi
rahim yang berat
B. Perkembangan dan Epidemiologi Seksio Sesarea
Pada awalnya kata sesarea (caesarean) masih belum jelas, namun ada yang
menyatakan jika Julius Caesar dilahirkan dengan cara ini sehingga tindakan
tersebut dikenal dengan nama operasi Caesar. Kemudian dari pemahaman yang
berbeda, nama operasi ini berasal dari sebuah hukum Romawi yang dibuat oleh
Numa Pompillius (abad ke-8 SM), dimana prosedur ini dilakukan pada wanita
yang sekarat di beberapa minggu terakhir kehamilan dengan tujuan untuk
menyelamatkan janin dalam perutnya. Penjelasan ini menyatakan bahwa suatu
hukum yang disebut lex regia berubah menjadi lex caesarea dibawah kekaisaran

50
dan dikenal menjadi operasi sesarea. Selain itu, kata caesarean berasal dari
bahasa latin “caedere” yang artinya memotong atau menyayat. 26
Pembedahan tersebut pertama kali dilakukan di Amerika Serikat pada tahun
1827. Sebelumnya jarang dikerjakan karena dapat bersifat fatal. Di London dan
Endiburgh pada tahun 1877, dari 35 pembedahan caesarea terdapat 33 kematian
ibu. Menjelang tahun 1877 sudah dilaksanakan 71 kali pembedahan caesarea di
Amerika Serikat. Angka mortilitasnya 52 % persen yang terutama disebabkan
oleh infeksi dan perdarahan.22
Angka kejadian seksio sesarea terus meningkat di beberapa Negara meskipun
dengan risiko yang tinggi, termasuk di Indonesia. Saat ini persalinan seksio
sesarea bukan saja karena adanya indikasi dari ibu ataupun bayinya, tetapi karena
ada permintaan pasien sendiri.27 Hasil beberapa penelitian melaporkan bahwa bayi
yang dilahirkan melalui persalinan seksio sesarea mengalami asfiksia sebesar
57,1%. Penelitian Hansen et al yang dikutip dari Pandensolang (2012),
melaporkan lebih dari 34.000 kelahiran dengan peningkatan risiko asfiksia
berbeda menurut umur kehamilan saat bersalin
Menurut data WHO, angka persalinan seksio sesarea di dunia terus meningkat.
Pada tahun 1970an sekitar 5-7% dari seluruh persalinan, dan kemudian pada tahun
1987 meningkat menjadi 24,4%. Lalu pada tahun 1996, dengan berbagai upaya
diusahakan agar persalinan seksio sesarea dapat diturunkan sehingga menjadi
22,8% dan terus ditekan hingga stabil di kisaran 15-18%. Kemudian untuk hasil
survei WHO tahun 2004-2008 di tiga benua yaitu Amerika Latin, Afrika dan Asia
diketahui angka kejadian seksio sesarea terendah di Angola yaitu 2,3% dan
tertinggi di Cina sebesar 46,2%. Demikian juga angka persalinan seksio sesarea di
Asia meningkat tajam. Hasil penelitian di Thailand memperlihatkan persalinan
seksio sesarea pada tahun 1990 sekitar 15,2% dan pada tahun 1996 menjadi
22,4%. Di Cina, angka persalinan seksio sesarea pada tahun 2003 sebesar 19,2%
dan pada tahun 2011 meningkat tajam menjadi 36,3%.28
Di Indonesia, angka persalinan seksio sesarea meningkat sangat tajam terutama
di kota-kota besar. Berdasarkan data Riskesdas 2010 menunjukkan angka kejadian
seksio sesarea sebesar 15,3%, terendah di Sulawesi Tenggara 5,5% dan tertinggi

51
di DKI Jakarta 27,2%. Angka persalinan SS di RS Sanglah Denpasar pada tahun
2001 sekitar 22,3 %, dan pada tahun 2006 meningkat sampai 34,5% (Gondo,
2006). Selain itu, menurut WHO tahun 2011 dilaporkan angka kejadian
seksio sesarea meningkat 5 kali dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Di
Indonesia berdasarkan survei demografi dan kesehatan pada tahun 2011, angka
persalinan secara seksio sesarea secara nasional rata-rata 22,5% dari seluruh
persalinan.29
Pada kasus seksio sesarea angka mortalitas dua kali angka pada persalinan
pervaginam, disamping itu angka morbiditas yang terjadi akibat infeksi,
kehilangan darah, dan kerusakan organ internal lebih tinggi pada persalinan seksio
sesarea (Kulas, 2008). Mengacu pada WHO, Indonesia mempunyai kriteria angka
seksio sesarea standar antara 15 - 20% untuk RS rujukan. Angka kejadian ruptur
uteri di Rumah Sakit Umum Provinsi NTB tahun 2012 sejumah 4 kasus (0,14%)
dari total 2.706 persalinan. Tiga diantaranya terjadi pada ibu dengan bekas
seksio sesarea.29
C. Indikasi dan Kontraindikasi SC
Indikasi seksio sesarea dilakukan apabila diambil keputusan penundaan
persalinan yang lebih lama akan menimbulkan bahaya serius bagi ibu, janin,
bahkan keduanya, atau bila tidak dimungkinkan dilakukan persalinan pervaginam
secara aman. Adapun indikasi dilakukannya seksio sesarea dibedakan menjadi
3 yaitu:
a. Indikasi Ibu
1. Usia ibu melahirkan pertama kali diatas usia 35 tahun atau wanita usia 40
tahun ke atas.
2. Adanya ancaman robekan rahim.
3. Ibu kelelahan.
4. Penyakit ibu yang berat seperti penyakit jantung, paru, demam
tinggi, pre-eklampsia berat atau eklampsia serta HIV.
5. Faktor hambatan jalan lahir, karena terdapat tumor atau mioma
yang menyebabkan persalinan terhambat atau tidak maju.

52
6. Disproporsi sefalo-pelvis, yaitu ukuran lingkar panggul ibu tidak
sesuai dengan ukuran lingkar kepala janin.
7. kegagalan melahirkan secara normal karena kurang kuatnya stimulasi
8. stenosis serviks, plasenta previa, dan ruptur uteri.
b. Indikasi Janin
1. Bayi terlalu besar atau berat bayi sekitar 4000 gram atau lebih.
2. Malpresentasi atau malposisi, yaitu letak bayi dalam rahim tidak
menguntungkan untuk persalinan pervaginam. Misalnya pada posisi
transversal dan presentasi sungsang.
3. Distress janin, terjadi perubahan kecepatan denyut jantung janin
yang dapat menunjukkan suatu masalah pada bayi. Perubahan
kecepatan denyut jantung, dapat terjadi jika tali pusat tertekan atau
berkurangnya aliran darah yang teroksigenasi ke plasenta.
4. Faktor plasenta, misalnya pada kasus plasenta previa, keadaan
dimana plasenta menutupi sebagian leher rahim. Pada saat leher rahim
melebar, plasenta terlepas dari rahim dan menyebabkan perdarahan,
yang dapat mengurangi pasokan oksigen ke janin. Tidak
dimungkinkan dilakukan persalinan pervaginam karena plasenta akan
keluar sebelum bayi lahir.
5. Kelainan tali pusat, misalnya pada prolaps tali pusat terjadi bila tali pusat
turun melalui leher rahim sebelum bayi, maka kepala atau tubuh
bayi dapat menjepit tali pusat dan mengakibatkan kurangnya pasokan
oksigen, sehingga mengharuskan dilakukannya bedah sesar dengan
segera.
6. Kehamilan ganda, pada kehamilan ganda terdapat risiko terjadinya
komplikasi kelahiran prematur dan terjadi pre-eklamsia pada ibu
sehingga memungkinkan untuk dilakukan persalinan secara seksio
sesarea.
c. Indikasi Waktu
1. Partus lama, yaitu persalinan yang berlangsung sampai 18 jam atau lebih

53
2. Partus tidak maju, yaitu tidak ada kemajuan dalam jalannya
persalinan kala I baik dalam pembukaan serviks, penurunan kepala atau
saat putaran paksi.
3. Partus macet, yaitu bayi tidak lahir setelah dipimpin mengejan (kala
II) beberapa saat.
Selain indikasi berdasarkan faktor ibu, janin dan waktu terdapat indikasi
sosial untuk dilakukannya persalinan secara seksio sesarea, yang timbul
karena permintaan pasien meskipun untuk dilakukan persalinan normal
tidak ada masalah atau kesulitan yang bermakna. Indikasi sosial biasanya
sudah direncanakan terlebih dahulu atau dapat disebut dengan seksio sesarea
elektif. Seksio sesarea dilakukan untuk kepentingan ibu dan janin, karena
takut bayinya mengalami cedera atau asfiksia selama persalinan.
Kontraindikasi dilakukan tindakan seksio sesarea yaitu janin mati, syok,
anemia berat, kelainan kongenital berat, infeksi progenik pada dinding
abdomen, minimnya fasilitas operasi sectio caesarea. Selain itu, Adanya
faktor yang menghambat berlangsungnya tindakan seksio sesarea, seperti
adanya gangguan mekanisme pembekuan darah pada ibu, lebih dianjurkan
untuk dilakukan persalinan pervaginam, oleh karena insisi yang
menyebabkan perdarahan dapat seminimal mungkin.21
D. Tehnik-Tehnik Seksio Sesarea26
a. Segmen Bawah : Insisi Melintang
Insisi melintung merupakan prosedur pilihan dengan cara abdomen
dibuka dan uterus disingkapkan. Lipatan vesicouterina peritoneum yang
terletak dekat dengan sambungan segmen atas dan bawah uterus
ditentukan dan disayat melintang, lipatan ini dilepaskan dari segmen
bawah dan bersama kandung kemih didorong ke bawah serta ditarik agak
tidak menutupi lapang pandang. Dibuat insisi melintang yang kecil
kemudian luka dilebarkan ke samping dengan jari-jari tangan dan berhenti
didekat pembuluh darah uterus.
Kepala janin yang pada sebagian besar terletak di balik insisi
diekstraksi atau didorong, diikuti oleh bagian tubuh lainnya dan kemudian

54
plasenta serta selaput ketuban. Lapisan vesicouterina kemudia dijahit
kembali pada dinding uterus sehingga seluruh luka insisi terbungkus dan
tertutup dari rongga peritoneum generalisata. Keuntungan dari insisi ini
adalah dapat mengurangi perdarahan, lapisan otot yang tipis dari segmen
bawah rahim lebih mudah dirapatkan kembali dibandingkan segmen yang
tebal sehingga keseluruhan luka insisi terbungkus oleh lipatan
vesicouterina.
b. Segmen Bawah : Insisi Membujur
Insisi membujur dibuat dengan skapel dan dilebarkan dengan gunting
tumpul untuk menghindari cedera pada bayi. Insisi membujur memiliki
keuntungan yaitu luka insisi bisa diperbesar keatas. Sedangkan untuk
kerugian utamanya yaitu perdarahan dari tepi sayatan yang lebih banyak
karena terpotongnya otot. Luka insisi tanpa dikehendaki meluas ke
segmen atas sehingga nilai penutupan retroperitoneal yang lengkap akan
hilang.
c. Seksio sesarea klasik
Seksio sesarea klasik atau corporal yaitu insisi pada segmen atas
uterus atau korpus uteri. Pembedahan ini dilakukan bila segmen bawah
rahim tidak dapat dicapai dengan aman, bayi besar dengan kelainan letak
terutama jika selaput ketuban sudah pecah. Diperlukan luka insisi ang
lebar karena bayi sering dilahirkan dengn bokong. Mula-mula dilakukan
desinfeksi pada dinding perut dan lapangan operasi dipersempit dengan
kain steril, kemudian pada dinding perut dibuat insisi mediana, mulai dari
atas simfisis sepanjang + 12 cm sampai di bawah umbilikus, lapis demi
lapis sehingga kavum peritoneal terbuka. Dalam rongga perut di sekitar
rahim dilingkari dengan kasa laparotomi. Dibuat insisi secara tajam
dengan pisau pada segmen atas rahim, kemudian diperlebar secara sagital
dengan gunting. Setelah kavum uteri terbuka, selaput ketuban dipecahkan.
Janin dilahirkan dengan meluksir kepala dan memotong fundus uteri.
Setelah janin lahir seluruhnya, tali pusat dijepit dan dipotong di antara
kedua penjepit. Plasenta dilahirkan secara manual. Disuntikkan 10 U

55
oksitosisn ke dalam rahim secara intramural. Luka insisi segmen atas
rahim dijahit kembali, berdasarkan lapisan-lapisan:
a. Lapisan I  endometrium bersama miometrium dijahit secara
jelujur dengan benang catgut kromik
b. Lapisan II  hanya miomE\etroium saja, dijahit secara simpul
(karena otot miometrium sangat tebal), dengan benang catgut
kromik
c. Lapisan III  perimetrium saja, dijahit secara simpul dengan
benang catgut biasa
Setelah dinding rahim selesai dijahit, kedua adneksa dieksplorasi. Rongga
perut dibersihkan dari sisa-sisa darah, dan akhirnya dinding perut dijahit.
d. Seksio Sesarea Transperitoneal Profunda
Suatu pembedahan dengan melakukan insisi pada segmen bawah
uterus. Hampir 99 % dari seluruh kasus seksio sesarea memilih teknik ini
karena memiliki beberapa keunggulan seperti kesembuhan lebih baik dan
tidak banyak menimbulkan perlekatan. Tekniknya yaitu mula-mula
dilakukan desinfeksi pada dinding perut dan lapangan operasi dipersempit
dengan kain steril. Pada dinding perut dibuat insisi mediana, mulai dari
atas simfisis pubis sampai ke bawah umbilikus, lapis demi lapis sehingga
kavum peritoneum terbuka. Dalam rongga perut di sekitar rahim,
dilingkari dengan kasa laparotomi. Dibuat bladder-flap, yaitu dengan
menggunting peritoneum kandung kemih (plika vesikouterina) di depan
segmen bawah rahim secara melintang. Plika vesikouterina ini disisihkan
secara tumpul ke arah samping bawah. Dan kandung kemih yang telah
disisihkan ke samping dan bawah dilindungi dengan speculum kandung
kemih. Dibuat insisi pada segmen bawah rahim 1 cm di bawah irisan plika
vesikouterina tadi secara tajam dengan pisau bedah + 2 cm, kemudian
diperlebar melintang secara tumpul dengan kedua jari telunjuk operator.
Arah insisi pada segmen bawah rahim dapat melintang (transversal) sesuai
cara Kerr, atau membujur (sagital) sesuai cara Kronig. Setelah kavum uteri
terbuka, selaput ketuban dipeahkan, janin dilahirkan dengan meluksir

56
kepalanya. Badan janin dilahirkan dengan mengait kedua ketiaknya. Tali
pusar dijepit dan dipotong, plasenta dilahirkan secara manual. Ke dalam
otot rahim intramural disuntikkan 10 U oksitosin. Luka dinding tahim
dijahit menurut lapisan-lapisan:
a. Lapisan I  dijahit jelujur, yaitu pada endometrium dan miometrium
b. Lapisan II  dijahit jelujur, yaitu pada miometrium saja
c. Lapisan III  dijahit jelujur pada plika vesikouterina

Setelah dinding rahim selesai dijahit, kedua adneksa dieksplorasi. Rongga


perut dibersihkan dari sisa-sisa darah dan akhirnnya luka dinding perut
dijahit.
e. Seksio Sesarea-Histerektomi
pengangkatan uterus setelah seksio sesarea karena atoni uteri yang
tidak dapat diatasi dengan tindakan lain, pada mioma usus yang besar dan
atau banyak atau pada ruptur uteri yang tidak dapat diatasi dengan jahitan.
Setalah janin dan plasenta dilahirkan dari rongga rahim, dilakukan
hemostasis pada insisi dinding rahim, cukup dengan jahitan jelujur atau
simpul. Untuk memudahkan histerektomi, rahim boleh dikeluarkan dari
rongga pelvis. Mula-mula ligamentum rotundum dijepit dengan cunam
Kocher dan cunam Oschner, kemudian dipotong sedekat mungkin dengan
rahim. Jaringan yang sudah dipotong diligasi dengan benang catgut
kromik no 0.
Bladder-flap yang telah dibuat pada waktu seksio sesarea
transperitoneal profunda dibebaskan lebih jauh ke bawah dan lateral. Pada
ligamentum latum belakang dibuat lubang dengan jari telunjuk tangan kiri
di bawah adneksa dari arah belakang. Dengan cara ini, ureter akan
terhindar dari kemunginan terpotong. Melalui lubang pada ligamentum
latum ini, tuba Falloppii, ligamentum utero-ovarika, dan pembuluh darah
dalam jaringan tersebut dijepit dengan 2 cunam Oschner lengkung, dan di
sisi rahim dengan cunam Kocher. Jaringan yang terpotong diikat dengan
jahitan transfiks untuk hemostasis dengan catgut no.0. Jaringan

57
ligamentum latum yang sebagian besar adalah avaskuler dipotong secara
tajam ke arah serviks. Setelah pemotongan ligamentum latum sampai di
daerah serviks, kandung kemih disisihkan jauh ke bawah dan samping.
Pada ligamentum kardinale dan jaringan paraservikal dilakukan
penjepitan dengan cunam Oschner lengkung secara ganda, dan pada
tempat yang sama di sisi rahim dijepit dengan cunam Kocher lurus.
Kemudian jaringan di antaranya diguntingn dengan gunting Mayo.
Tindakan ini dilakukan dalam beberapa tahap sehingga ligamentum
kardinale terpotong seluruhnya. Puntung ligamentum kardinale dijahit
transfiks dengan benang catgut kromik no. 0. Demikian juga ligamentum
sakro-uterina kiri dan kanan dipotong dengan cara yang sama, dan diligasi
secara transfiks dengan benang catgut kromik no. 0. Setelah mencapai di
atas dinding vagina-serviks, pada sisi depan serviks dibuat irisan sagital
dengan pisau, kemudian melalui insisi tersebut dinding vagina dijepit
dengan cunam Oschner melingkari serviks dan dinding vagina dipotong
tahap demi tahap.
Pemotongan dinding vagina dapat dilakukan dengan gunting atau
pisau. Rahim akhirnya dapat diangkat. Puntung vagina dijepit dengan
beberapa unam Kocher untuk hemostasis. Mula-mula puntung kedua
ligamentum kardinale dijahitkan pada ujung kiri dan kanan puntung
vagina, sehingga terjadi hemostasis pada kedua ujung puntung vagina.
Puntung vagina dijahit secara jelujur untuk hemostasis dengan catgut
kromik. Puntung adneksa yang telah dipotong dapat dijahitkan
digantungkan pada puntung vagina, asalkan tidak terlalu kencang.
Akhirnya, puntung vagina ditutup dengan retro-peritonealisasi dengan
menutupkan bladder flap pada sisi belakang puntung vagina. Setelah
rongga perut dibersihkan dari sisa darah, luka perut ditutp kembali lapis
demi lapis.
Selain itu, ada beberapa teknik anestesi atau penghilang rasa sakit
yang dapat dipilih untuk tindakan seksio sesarea, baik spinal maupun
general. Yang lebih umum digunakan yaitu anestesi spinal atau

58
epidural. Pada anestesi general mungkin diberikan jika diperlukan
proses persalinan yang cepat karena cara kerja yang jauh lebih cepat
dibandingkan anestesi spinal.
a. Anestesi General
Anestesi general biasanya diberikan jika anestesi spinal atau epidural
tidak mungkin diberikan, baik karena alasan teknis maupun karena
dianggap tidak aman. Pada prosedur pemberian anestesi ini, pasien
akan menghirup oksigen melalui masker wajah selama tiga sampai empat
menit sebelum obat diberikan melalui intravena. Pasien tidak sadarkan
diri dalam waktu 20 sampai 30 detik. Saat pasien tidak sadarkan diri,
disisipkan selang ke dalam tenggorokkan pasien untuk membantu
pasien bernafas dan mencegah muntah. Jika digunakan anestesi
general, pasien akan dimonitor oleh ahli anestesi secara konstan.
b. Anestesi Spinal
Berkaitan dengan risiko untuk ibu dan skor Apgar yang lebih rendah
menggunakan anestesi general, umumnya tindakan seksio sesarea
menggunakan anestesi spinal. Dengan menggunakan teknik anestesi
spinal, neonatus terpapar lebih sedikit obat anestesi dan memberikan
pengelolaan rasa sakit pasca operasi yang lebih baik. Pemasukan anestesi
lokal ke dalam ruang subarakhnoid untuk menghasilkan blok spinal
telah lama digunakan untuk seksio sesarea. Teknik ini diketahui baik
untuk pasien dengan kelainan paru, diabetes melitus, penyakit hati
yang difus, kegagalan fungsi ginjal, sehubungan dengan gangguan
metabolisme dan ekskresi obat-obatan. Keuntungan dari anestesi spinal
antara lain teknik yang sederhana, onset cepat, risiko keracunan
sistemik yang lebih rendah, blok anestesi yang baik, perubahan
fisiologi, pencegahan dan penanggulangan terhadap penyulitnya telah
diketahui dengan baik, analgesia dapat diandalkan, pasien sadar
sehingga dapat mengurangi kemungkinan terjadinya aspirasi

59
E. Komplikasi dan Penyulit Seksio Sesarea
Komplikasi pasca seksio sesarea dapat berasal dari perdarahan, sepsis,
luka pada traktus urinarius dan tromboemboli. Komplikasi pasca seksio
sesarea, meliputi:
a. Perdarahan
Perdarahan merupakan komplikasi paling serius yang memerlukan
transfusi darah dan merupakan penyebab utama kematian maternal.
Penyebab perdarahan pada tindakan operasi dapat disebabkan karena
atonia uteri, robekan jalan lahir, perdarahan karena mola hidatidosa
atau koriokarsinoma, gangguan pembekuan darah akibat kematian janin
dalam rahim lebih dari 6 minggu, solusio plasenta, emboli air
ketuban dan retensio plasenta, yaitu gangguan pelepasan plasenta
menimbulkan perdarahan dari tempat implantasi plasenta.
b. Infeksi
Setiap tindakan pembedahan hampir selalu diikuti oleh kontaminasi
bakteri, sehingga menimbulkan infeksi. Infeksi semakin meningkat
apabila didahului faktor predisposisi yang memudahkan terjadinya
infeksi, yaitu keadaan umum yang rendah misalnya terdapat anemia
saat kehamilan atau sudah terdapat infeksi sebelumnya, keadaan
malnutrisi, perlukaan operasi yang menjadi jalan masuk bakteri,
pelaksanaan operasi persalinan yang kurang legeartis seperti
rendahnya tingkat higienitas dan sterilitas alat pembedahan dan ruang
operasi, proses persalinan bermasalah seperti partus lama atau macet,
korioamnionitis, persalinan traumatik, kurang baiknya proses
pencegahan infeksi dan manipulasi yang berlebihan.
c. Trauma Tindakan Operasi Persalinan
Operasi merupakan suatu tindakan pertolongan persalinan
sehingga tidak menutup kemungkinan dapat menimbulkan trauma jalan
lahir. Trauma operasi persalinan diantaranya dapat berupa perluasan
luka episiotomi, perlukaan pada vagina, perlukaan pada serviks,
perlukaan pada forniks kolpoporeksis, terjadi ruptura uteri lengkap atau

60
tidak lengkap, terjadi fistula dan inkontinensia. Ruptura uteri dan
kolpoporeksis merupakan akibat dari trauma tindakan operasi
persalinan yang diyakini paling berat.
d. Tromboemboli
Aliran darah yang normal tergantung pada pemeliharaan
keseimbangan antara antikoagulan yang beredar, antikoagulan
endotelium serta faktor-faktor prokoagulan. Apabila keseimbangan
tersebut terganggu, dapat terjadi trombosis. Pada suatu kondisi yang
memperlambat aliran darah, misalnya pada ibu hamil yang merupakan
salah satu faktor risiko untuk mengalami kejadian tromboemboli,
sedangkan risiko tromboemboli setelah tindakan seksio sesarea
diperkirakan dialami 1-2% pasien. Faktor-faktor risiko kemungkinan
terjadinya trombosis antara lain peningkatan konsentrasi estrogen
atau progesteron dalam plasma, peningkatan konsentrasi beberapa
faktor pembekuan pada kehamilan, partus, pasca seksio sesarea
emergensi, partus dengan instrumen dan grandemultiparitas. Risiko
trombosis juga meningkat pada usia lebih dari 35 tahun atau lebih dari
30 tahun dengan riwayat melahirkan lewat pembedahan, obesitas
dengan berat badan lebih dari 80 kg, immobilitas atau tirah baring lebih
dari 4 hari, trauma dan pembedahan, dehidrasi misalnya pada keadaan
emesis atau hiperemesis, perdarahan, infeksi yang belum lama terjadi,
sepsis, kompresi pembuluh darah, merokok, stress, hipertensi, pre-
eklamsia, diet tinggi lemak dan rendah serat, varises vena,
trombofilia, sindrom antifosfolipid, lupus antikoagulan, riwayat
tromboemboli pada pasien, diabetes melitus, penyakit yang telah ada
sebelumnya misalnya pada kelainan saluran pernapasan, penyakit
kardiovaskuler, arteriosklerosis, sindrom nefrotik, dan penyakit
inflamasi usus.

61
F. Penatalaksanaan Komplikasi atau Penyulit SC
Beberapa penyebab kematian ibu pada operasi seksio sesarea adalah
perdarahan, infeksi, anesthesia, emboli paru-paru, kegagalan ginjal akibat
hipotensi yang lama, obstruksi intestinal dan ileus paralitik, decompensatio
cordis, toxemia gravidarum dan rupturaa cicatrix uterus. Hal-hal tersebut bisa
ditanggani untuk menurunkan angka mortalitas dengan :
a. Transfusi darah yang memadai, penggunaan obat-obat anti infeksi,
metodepembedahan dan teknik-teknik anesthesia yang semakin
baik dan adanya dokter ahli yang terlatih secara khusus.
b. Kenyataan bahwa pasien dengan penyakit jantung lebih baik
melahirkan pervaginam daripada dengan seksio sesarea.
c. Terapi dasar toxemia gravidarum tidak dengan cara pembedahan
tetapi dengan cara pengobatan medis.
G. Prognosis SC
Dahulu angka morbiditas dan mortalitas untuk ibu dan janin tinggi. Pada
masa sekarang, oleh karena kemajuan yang pesat dalam tehnik operasi,
anestesi, penyediaan cairan dan darah, indikasi dan antibiotika angka ini
sangat menurun. Angka kematian ibu pada rumah-rumah sakit dengan fasilias
operasi yang baik dan oleh tenaga-tenaga yang cekatan adalah kurang dari 2
per 1000. Nasib janin yang ditolong secara seksio sesarea sangat tergantung
dari keadaan janin sebelum dilakukan operasi. Menurut data dari negara-
negara dengan pengawasan antenatal yang baik dan fasilitas neonatal yang
sempurna, angka kematian perinatal sekitar 4 -7 %.

62
BAB II
STATUS PASIEN

No. Catatan Medik : 43-49-62


Tanggal masuk RSUD : 20 Juli 2019
Pukul : 22.45 Wib

I. IDENTIFIKASI
A. Identitas Pasien
Nama : Ny. S
Tanggal Lahir : 29 November 1998
Umur : 21 tahun
No. RM : 43-49-62
Jenis Kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Status Perkawinan : Kawin
Pendidikan : SMA
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Alamat : Jl. Rupat
Tanggal MRS : 20 Juli 2019 : 22.45 wib
B. Identitas Suami
Nama : Tn.M
Umur : 26 tahun
Pendidikan : SMA
Pekerjaan : Wiraswasta
Agama : Islam
II. ANAMNESA
Autoanamnesis dengan pasien pada tanggal 21 Juli 2019 pukul 17.15 wib.

Keluhan Utama :
Keluar air-air sejak ± 2 hari yang lalu

63
Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien G1P0A0H0 gravida 40-41 minggu umur 21 tahun datang ke IGD RSUD
Kota Dumai dengan keluhan keluar air-air dari jalan lahir sejak ± 2 hari yang lalu
sebelum masuk rumah sakit hilang timbul, keluar air-air jernih tidak berbau tidak
disertai rasa sakit kemudian, pasien juga mengeluhkan demam sore hari ya,
demam terus menerus dan belum minum obat penurun demam. Keesokan harinya
pasien mengeluhkan keluar air-air dari jalan lahir berwarna kehijauan dalam
jumlah sedikit dan berbau amis pasien tidak melakukan pemeriksaan lebih lanjut
dan hanya istirahat dirumah. Pada tanggal 20 Juli 2019 pukul 22.45 wib pasien
mengeluhkan nyeri menjalar ke ari-ari, nyeri semakin sering, kuat dan lama.
Terdapat lendir darah (+), Pasien merupakan rujukan dari puskesmas rupat atas
permintaan sendiri. HPHT : 05/10/2018 TP 12/07/2019.
Riwayat Hamil Muda :
Pasien mengalami mual(+), muntah (+), pusing (+), nafsu makan kurang,
mengganggu aktifitas.
Riwayat Antenatal Care :
Pasien rutin periksa kehamilan teratur dibidan dan USG dengan dokter umum
tidak pernah kedokter kandungan. USG terakhir pada tanggal 13 Juli 2019 di
praktek dr. Indra (Rupat), dikatakan bahwa kondisi janin baik dengan presentasi
kepala.
Riwayat Makan Obat :
Pasien minum vitamin dan obat yang diberikan bidan untuk mengurangi
keluhan mual muntah pada saat hamil.
Riwayat Haid :
Riwayat menarche pada usia 13 tahun, riwayat haid teratur setiap bulan lama
haid ±7hari dan 2-3x ganti pembalut dalam sehari dan merasakan nyeri saat haid.
HPHT 05 Juli 2018 dan TP : 12 Juli 2019.
Riwayat Kehamilan/Riwayat Abortus/Riwayat Persalinan :
Ini adalah kehamilan pertama
Riwayat KB :
Pasien tidak pernah menggunakan alat kontrasepsi

64
Riwayat Perkawinan :
Ini pernikahan pertama menikah pada usia 19 tahun.

Riwayat Penyakit Dahulu :


Riwayat Hipertensi : Disangkal
Riwayat DM : Disangkal
Riwayat Asma : Disangkal
Riwayat Penyakit Jantung : Disangkal
Riwayat Penyakit Keluarga :
Riwayat Hipertensi : Ada, Ibu kandung pasien
Riwayat DM : Disangkal
Riwayat Asma : Disangkal
Riwayat Penyakit Jantung : Disangkal

III. Pemeriksaan Fisik


1. Status Generalis :
Keadaan Umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos Mentis
Tekanan darah : 160/90 mmHg Keadaan gizi : baik
Nadi : 124 x/menit Tinggi badan : 160 cm
Suhu : 38,5oC Berat badan : 63 kg
Pernafasan : 20x/mnt
Kepala
Kepala : Bentuk : Normosefali
Lain-lain : -
Rambut : Warna : Hitam
Tebal/tipis : Tebal
Jarang/tidak (distribusi) : Merata
Alopesia : Tidak ada
Kulit dan wajah : Wajah pucat (-), wajah sembab (-)
Mata : Conjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), pupil isokor

65
dengan diameter 3/3 mm, Refleks cahaya (+/+), edema
palpebra (-/-).
Telinga : Bentuk : Simetris
Sekret : Tidak ada
Serumen : Minimal
Nyeri : Tidak ada
Hidung : Bentuk : Simetris
Pernafasan cuping hidung : Tidak ada
Epistaksis : Tidak ada
Sekret : Tidak ada
Mulut : Bentuk : Simetris
Bibir : Mukosa bibir kering
Gusi : Mudah berdarah, pembengkakan tidak ada
Gigi-geligi : Tidak ada gigi yg keropos
Lidah : Bentuk : Normal
Pucat/tidak : Tidak pucat
Kotor/tidak : Tidak kotor
Warna : Kemerahan
Faring : Hiperemi : Tidak ada
Edema : Tidak ada
Membran/pseudomembran : (-)
Tonsil : Warna : Kemerahan
Pembesaran : Tidak ada
Abses/tidak : Tidak ada
Membran/pseudomembran : (-)
Pemeriksaan Leher
Inspeksi : Simetris, tidak ada pembesaran kelenjar
Palpasi : Tidak ada pembesaran kelenjar tiroid
Pemeriksaan trakea : Posisi trakea normal, tidak ada deviasi
Pemeriksaan kelenjar tiroid : Tidak ada pembesaran
Pemeriksaan tekanan vena Jugularis : Tidak meningkat 5-2 cm H2O

66
Thoraks
Paru :
- Inspeksi : Bentuk dan gerakan dinding dada simetris kiri dan kanan,
tidak ada bagian yang tertinggal. Spider nevi (-).
- Palpasi : Vocal fremitus kanan sama dengan kiri.
- Perkusi : Sonor pada kedua lapangan paru.
- Auskultasi : Vesikuler kedua lapangan paru, ronkhi (-/-), wheezing (-/-)
Jantung :
- Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat
- Palpasi : Ictus cordis teraba di SIC 5 linea midclavicula sinistra
- Perkusi : Batas jantung :
Kanan atas : SIC II linea parasternalis dextra
Kanan bawah : SIC IV linea parasternalis dextra
Kiri atas : SIC II linea parasternalis sinistra
Kiri bawah : SIC IV linea midclavicula sinistra
- Auskultasi : Bunyi jantung 1 dan 2 reguler, murmur (-), gallop (-)
Abdomen :
- Inspeksi : Perut membuncit , striae (+)
- Palpasi : Nyeri tekan (-)
- Auskultasi : Bising usus (+) normal.

IV. PEMERIKSAAN OBSTETRI


Pemeriksaan Luar
Inspeksi
Wajah : Chloasma gravidarum (-)
Payudara :Pembesaran payudara (+), puting susu menonjol (+),
cairan dari payudara (-)
Abdomen : Pembesaran Abdomen (+)
Striae gravidarum (+)
Linea nigra (+)
Bekas operasi (-)

67
Palpasi
TFU : 30 cm
TBJ : 2790 gram
Leopold I : Teraba massa keras bulat tidak lenting.
Leopold II :Teraba massa tahan terbesar sebelah kanan dan bagian
kecil sebelah kiri
Leopold III : Teraba massa keras, bulat dan melenting
Leopold IV : Divergen 3/5
Auskultasi
Denyut jantung janin : 190 x/m
His : 3x/10/35
Genitalia
Vulva : Tampak lendir darah (+)
PPV : Lokhea (+)
Pemeriksaan Inspekulo
Tidak dilakukan
Pemeriksaan Dalam
Vaginal Toucher (VT) : Teraba porsio lunak, arah medial, EFFS 90% Ø 4 cm,
Ketuban (-) sisa kehijauan, berbau UUK sagitalis
melintang, Hodge I-II
Pemeriksaan Pelvimetri
Promontorium tidak teraba, linea innominata teraba 1/3 kanan depan -1/3 kiri
depan, spina ischiadica menonjol, jarak antar spina ischiadica , arcus pubis >900
os koksigis mobile.

68
V. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Tanggal 20 Juli 2019
Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Normal
HEMATOLOGI
Hemoglobin 10,4 g/dL 11,7-15,5
Leukosit 20.300 10˄3/uL 3,6-11,0
Eritrosit 3.850.000 /mm3 4.200.000 – 6.100.000
Trombosit 155.000 10˄3/uL 150-400
Hematokrit 31 % 36-46

URINE HASIL NORMAL


MAKROSKOPIS
Warna Kuning jernih Kening jernih
Berat Jenis 1.030 1.020-1.030
pH 6,0 6,8-7,4
Protein 2+ Negatif
Bilirubin Negatif Negatif
Urobilin Negatif Negatif
Nitrit Negatif Negatif
Keton Negatif Negatif
MIKROSKOPIS
Sel Eritrosit 15-30 0-2
Sel Lekosit 2-3 2-3
Sel Epithel 1-3 1-4

69
Tanggal 21 Juli 2019

Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Normal


HEMATOLOGI
Hemoglobin 11,8 g/dL 11,7-15,5
Leukosit 19.300 10˄3/uL 3,6-11,0
Eritrosit 4.680.000 /mm3 4.200.000 – 6.100.000
Trombosit 177.000 10˄3/uL 150-400
Hematokrit 37 % 36-46

Pemeriksaan USG
Tidak dilakukan

V. DIAGNOSIS KERJA
Post SC a/i P1 + PEB + Infeksi Intra Uterin + KPD + Fetal Distress

VI. TERAPI
 RL drip MgSO4 6gr/6 Jam 28 tpm
 O2 5 l/m
 PCT 1 Fls ektra
 Metronidazole /12 Jam
 Ij. Cefotaxim 1 gr/12 Jam
 Metildopa 2 tab x 500mg

VII. PROGNOSIS
Dubia at bonam

70
VIII. FOLLOW UP

Tanggal SOAP
20Juli 2019 S: Nyeri pinggang menjalar sampai ke ari-ari (+),Keluar air-air
22:45 WIB (+),lendir bercampur darah (+),sakit kepala (-), mual dan
VK Ponek muntah (-)
O: TD: 160/90 mmHg N: 124x/i RR: 20x/i T: 38,50c DJJ:
190x/i HB : 10,4 g/dl leukosit : 20.300/mm3
His : (+) 3x dalam 10 menit dengan durasi 35 detik
VT : Pembukaan 3-4 cm, penipisan 50 %, arah axial, hodge 1,
sutura sagital melintang, hodge I-II
A: G1P0A0H0 gravid 40-41 minggu+ PEB + KPD + infeksi
intra uterine +fetal distress
P:  obs. Ibu dan janin
 Pantau tanda vital, pembukaan, his dan DJJ
 Deteksi dini gawat janin
 Pasang kateter urin
 IVFD RL + regimen MgSO4 6g/kolf  28 tpm
 O2 5 l/m
 Inj Cefotaxim 1 gr/12 jam
 Metronidazole 1 Fls/12 jam
 PCT 1 Fls
 Metildopa 2 tab x 500 mg
21Juli 2019 S: Nyeri pinggang menjalar sampai ke ari-ari (+),keluar air-air
00.10 WIB (+),lendir bercampur darah (+),sakit kepala (-), mual dan
muntah (-)
O: TD: 160/80 mmHg N: 88x/i RR: 20x/i T: 36,80c DJJ:
151x/I HB : 10,0 g/dl leukosit : 12.300/mm3
His : (+) 2-3x dalam 10 menit dengan durasi 30 detik
VT: Pembukaan 3-4 cm, penipisan 50 %, arah axial, hodge 1,

71
sutura sagital melintang, hodge I-II
A: G1P0A0H0 gravid 40-41 minggu+ PEB + KPD + infeksi
intra uterine +fetal distress
P: obs. Ibu dan janin
 Pantau tanda vital, pembukaan, his dan DJJ
 Deteksi dini gawat janin : fetal distress
 Tanda-tanda inpartu
 IVFD RL + regimen MgSO4 6g/kolf  28 tpm
 O2 5l/m
 Inj cefotaxim 1 gr/12 jam
 Metronidazole 1 Fls/12 jam
 Metildopa 2 tab x 500 mg
 Rencana SC Cito pasien dipuasakan
21 Juli2019 S: Nyeri pinggang menjalar sampai ke ari-ari (+), keluar air-air
(+),lendir bercampur darah (+),sakit kepala (-), mual dan
00.55 WIB
muntah (-)
O: TD: 170/100 mmHg N: 88x/i RR: 20x/i T: 36,7co DJJ:
153x/i His : (3x10’’/30”)
VT : Pembukaan 3-4 cm, penipisan 50 %, arah axial, hodge 1,
sutura sagital melintang, hodge I-II
A: G1P0A0H0 gravid 40-41 minggu + inpartu kala 1 fase aktif +
PEB + KPD + infeksi intra uterine +fetal distress
P: SC Cito
 Nifedipin 5 mg (ektra)
 Inj. Lasix 1 amp (ektra)
21 Juli 2019 S: Selesai SC lahir bayi perempuan dengan berat badan 3490
gr.
02.30 WIB
O: TD: 130/90 mmHg N: 80x/i RR: 20x/i T: 36,2 co
PB : 50 cm, A/S 6/7
A: Post SC a/i P1+ PEB + KPD + infeksi intra uterine +fetal

72
distress
P: inj. Cefotaxim 1g/12 Jam
Metronidazole 1 flc/12 Jam
ODR 1 amp/12 Jam
Ketorolac 1 amp/12 Jam

21 Juli 2019 S: Pasien masuk ruangan


O: TD: 120/80 N: 84x RR: 18x/i T: 36,5o
03.00 WIB
A: Post SC a/i P1+ PEB + KPD + infeksi intra uterine +fetal
distress
P:- inj. Cefotaxim 1g/12 Jam
Metronidazole 1 flc/12 Jam
ODR 1 amp/12 Jam
Ketorolac 1 amp/12 Jam

22 Juli 2019 S: Air susu belum keluar (-), anak diperina, kontraksi uterus
(+) 2 jari dibawah pusat, BAK (+), BAB (-), bekas jahitan
06.30 WIB
terasa sakit.
O: TD: 110/70 N: 82x RR: 20x/i T: 36,2o
A: Post SC hari 1 a/i P1+ PEB + KPD + infeksi intra uterine
+fetal distress
P:- inj. Cefotaxim 1g/12 Jam
Metronidazole 1 flc/12 Jam
ODR 1 amp/12 Jam
Ketorolac 1 amp/12 Jam

23 Juli 2019 S: Air susu belum keluar (+), payudara terasa tegang (+), anak
diperina, kontraksi uterus (+) 2 jari dibawah pusat, BAK (+),
06.30 WIB
BAB (-), bekas jahitan terasa sakit, ganti perban.
O: TD: 110/70 N: 82x RR: 20x/i T: 36,2o
A: Post SC hari 2 a/i P1+ PEB + KPD + infeksi intra uterine
+fetal distress

73
P:- Off kateter urine
 Widroxil 2 x 1
 Analtram 3 x 1
 Proster 2 x 1
 Bionemi 1 x 1
24 Juli 2019 S: Air susu sudah keluar (+), anak diperina, kontraksi uterus
(+) 2 jari dibawah pusat, BAK (+), BAB (-), bekas jahitan
06.30 WIB
terasa sakit.
O: TD: 130/90 N: 84x RR: 20x/i T: 36,5o
A: Post SC hari 3 a/i P1+ PEB + KPD + infeksi intra uterine
+fetal distress
P:- Widroxil 2 x 1
Analtram 3 x 1
Proster 2 x 1
Bionemi 1 x 1
25 Juli 2019 S: Air susu sudah keluar (+), anak diperina, kontraksi uterus
(+) 2 jari dibawah pusat, BAK (+), BAB (+), bekas jahitan
06.30 WIB
terasa sakit.
O: TD: 130/90 N: 84x RR: 20x/i T: 36,5o
A: Post SC hari 4 a/i P1+ PEB + KPD + infeksi intra uterine
+fetal distress
P:- Widroxil 2 x 1
Analtram 3 x 1
Proster 2 x 1
Bionemi 1 x 1
PASIEN BOLEH PULANG

74
BAB III
PEMBAHASAN
Pada laporan kasus ini membahas Ny. S G1P0A0H0 gravida 40-41 minggu
umur 21 tahun datang ke IGD RSUD Kota Dumai dengan keluhan keluar air-air
dari jalan lahir sejak ± 2 hari yang lalu sebelum masuk rumah sakit hilang timbul,
keluar air-air jernih tidak berbau tidak disertai rasa sakit kemudian, pasien juga
mengeluhkan demam sore harinya, demam terus menerus dan belum minum obat
penurun demam. Keesokan harinya pasien mengeluhkan keluar air-air dari jalan
lahir berwarna kehijauan dalam jumlah sedikit dan berbau amis pasien tidak
melakukan pemeriksaan lebih lanjut dan hanya istirahat dirumah. Pada tanggal 20
Juli 2019 pukul 22.45 wib pasien mengeluhkan nyeri menjalar ke ari-ari, nyeri
semakin sering, kuat dan lama. Terdapat lendir darah (+), Pasien merupakan
rujukan dari puskesmas rupat atas permintaan sendiri. HPHT : 05/10/2018 TP
12/07/2019.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan tekanan darah:160/90 mmHg,
Nadi:124x/menit,suhu: 38,5oC,Pernafasan: 20x/mnt. Pada pemeriksaan obstetrik
pemeriksaan luar: Wajah: Chloasma gravidarum (-), Payudara :Pembesaran
payudara (+), puting susu menonjol (+),cairan dari payudara (-), Abdomen:
Pembesaran Abdomen (+),Striae gravidarum (+), Linea nigra (+), Bekas operasi (-
). TFU : 30 cm , TBJ: 2790 gram, Leopold I: Teraba massa keras bulat tidak
lenting, :Leopold II :Teraba massa tahan terbesar sebelah kanan dan bagian kecil
sebelah kiri, Leopold III: Teraba massa keras, bulat dan melenting, Leopold IV:
Divergen 3/5.Denyut jantung janin : 190 x/m, His : 3x/10/35, Pada pemeriksaan
Genitalia Vulva : Tampak lendir darah (+), PPV : Lokhea (+). Pemeriksaan Dalam
Vaginal Toucher (VT) : Teraba porsio lunak, arah medial, EFFS 90% Ø 4 cm,
Ketuban (-) sisa kehijauan, berbau UUK sagitalis melintang, Hodge I-II,
Pemeriksaan Pelvimetri : Promontorium tidak teraba, linea innominata teraba 1/3
kanan depan -1/3 kiri depan, spina ischiadica menonjol, jarak antar spina
ischiadica , arcus pubis >900 os koksigis mobile.
Pada pemeriksaan penunjang yang dilakukan pada tanggal 20 juli 2019
pemeriksaan darah didapatkan Hb : 10,4 g/dl, leukosit : 20.300 10˄3/uL,

75
pemeriksaan unine didapatkan 2+. Pemeriksaan pada tanggal 21 juli 2019
didapatkan hb : 11,8 g/dl, leukosit : 19.300 10˄3/uL.
Dari pemeriksaan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang
disimpulkan bahwa dari anamnesis keluhan keluar air-air dari jalan lahir sejak ± 2
hari yang lalu sebelum masuk rumah sakit hilang timbul, keluar air-air jernih tidak
berbau tidak disertai rasa sakit. Sesuai dengan teori yang ada bahwa keluhan
pasien kemungkinan pasien mengalami ketuban pecah dini. Dimana ketuban
pecah dini ( amniorrhexis – premature rupture of the membrane PROM ) adalah
pecahnya selaput korioamniotik sebelum terjadi proses persalinan. Secara klinis
diagnosa KPD ditegakkan bila seorang ibu hamil mengalami pecah selaput
ketuban dan dalam waktu satu jam kemudian tidak terdapat tanda awal persalinan,
dengan demikian untuk kepentingan klinis waktu 1 jam tersebut merupakan waktu
yang disediakan untuk melakukan pengamatan adanya tanda-tanda awal
persalinan.
Selain itu, pasien juga mengeluhkan demam sore harinya, demam terus
menerus dan belum minum obat penurun demam keesokaan harinya mengeluhkan
keluar air-air dari jalan lahir berwarna kehijauan dalam jumlah sedikit dan berbau
amis. Saat dibawa kerumah sakit pasien mengeluhkan nyeri menjalar ke ari-ari,
nyeri semakin sering, kuat dan lama. Terdapat lendir darah (+), dilakukan
pemeriksaan dimana suhu pasien 38,5oC, Nadi:124x/menit, leukosit : 20.300
10˄3/uL, denyut jantung janin : 190 x/m dari hasil pemeriksaan disimpulkan
bahwa pasien kemungkinan mengalami infeksi intrauterine.
Dimana infeksi intrauterin atau korioamnionitis merupakan infeksi secara klinis
pada cairan amnion, selaput korioamnion dan atau uterus yang timbul segera
sebelum atau pada saat persalinan yang disebabkan oleh bakteri. Korioamnionitis
terjadi paling sering saat persalinan sesudah pecahnya selaput ketuban. Sesuai
dengan teori yang ada bahwa Tanda dan gejala klinis korioamnionitis meliputi
Demam (suhu intrapartum > 100.4˚ F atau > 37,8˚ C), Takikardia ibu
(>120x/menit), Takikardia janin (>160x/menit), Cairan ketuban berbau atau
tampak purulen, Uterus teraba tegang, Leukositosis ibu (leukosit 15.000-18.000
sel/mm3).

76
Pada keaadaan janin disimpulkan bahwa kemungkinan mengalami fetal
distress. Sesuai teori dimana fetal distress (gawat janin) adalah keadaan hipoksia
janin yang disebabkan oleh berbagai macam faktor yang menurunkan aliran darah
uteroplasenta sehingga bila dibiarkan dapat menyebabkan kerusakan jaringan
yang permanen atau kematian janin. Etiologi dan faktor risiko dapat berasal dari
kondisi maternal, kondisi uterus, kondisi plasenta dan cairan ketuban, kondisi tali
pusat, dan kondisi janin. Keluhan utama yang dikemukakan oleh ibu adalah
berkurangnya gerak janin. Pada pemeriksaan non-stress test, ditemukan pola
denyut jantung janin yang abnormal. Tanda-tanda fetal distress lain yang dapat
ditemukan adalah takikardia dan adanya mekonium pada ketuban.
Pada pemeriksaan tekanan darah didapatkan 160/90 mmHg dan pemeriksaan
laboratorium protein urine didapatkan 2+ kemungkinan pasien mengalami
preeklamsia. Sesuai dengan teori yang ada dimana preeklampsia dalam kehamilan
adalah apabila dijumpai tekanan darah 140/90 mmHg setelah kehamilan 20
minggu (akhir triwulan kedua sampai triwulan ketiga) atau bisa lebih awal terjadi.
Preeklampsia merupakan suatu diagnosis klinis. Definisi klasik preeklampsia
meliputi 3 elemen, yaitu onset baru hipertensi (didefinisikan sebagai suatu tekanan
darah yang menetap ≥ 140/90 mmHg pada wanita yang sebelumnya normotensif),
onset baru proteinuria (didefinisikan sebagai protein urine > 300 mg/24 jam atau ≥
+1 pada urinalisis bersih tanpa infeksi traktus urinarius), dan onset baru edema
yang bermakna. Pada beberapa konsensus terakhir dilaporkan bahwa edema tidak
lagi dimasukkan sebagai kriteria diagnosis.
Penatalaksanaan yang digunakan yaitu RL drip MgSO4 6gr/6 Jam 28 tpm
dimana Magnesium sulfat menghambat atau menurunkan kadar asetilkolin pada
rangsangan serat saraf dengan menghambat transmisi neuromuskular. Magnesium
sulfat sampai saat ini tetap menjadi pilihan pertama untuk antikejang pada
preeklampsia atau eklampsia.
Pemberian Metildopa 2 tab x 500mg merupakan obat anti hipertensi untuk
mengurangi tekanan darah pada pasien.

77
Pemberian O2 5 l/m untuk prinsip manajemen utama untuk pola jantung janin
secara signifikan adalah bervariasi terdiri dari mengkoreksi setiap gangguan janin
jika memungkinkan. Tindakan yang disarankan oleh American College of
Obstetricians and Gynecologists (2013) adalah memposisikan ibu ke lateral,
mengoreksi hipotensi maternal yang disebabkan oleh analgesia regional, dan
menghentikan oksitosin untuk meningkatkan perfusi uteroplasenta.
Pemberian PCT 1 Fls ektra sebagai analgetik dan antipiretik dan pemberian
injeksi cefotaxim 1 gr/12 jam untuk mengurangi demam pada pasien akibat
infeksi intrauterine dimana sesuai dengan teori pemberian antibiotika intravena
dapat dilanjutkan hingga 48-72 jam bebas demam, kemudian dilanjutkan dengan
antibiotika oral pada infeksi intrauterine.
Pemberian metronidazole /12 Jam sebagai antimikroba untuk mengurangi
infeksi pada pasien yang disebabkan karna infeksi intrauterine.

78
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN
A. KESIMPULAN
Preeklampsia dalam kehamilan adalah apabila dijumpai tekanan darah 140/90
mmHg setelah kehamilan 20 minggu, onset baru proteinuria (didefinisikan
sebagai protein urine > 300 mg/24 jam atau ≥ +1 pada urinalisis bersih tanpa
infeksi traktus urinarius).
Infeksi intrauterin atau korioamnionitis merupakan infeksi secara klinis pada
cairan amnion, selaput korioamnion dan atau uterus yang timbul segera sebelum
atau pada saat persalinan yang disebabkan oleh bakteri.
Ketuban Pecah Dini( amniorrhexis – premature rupture of the membrane
PROM ) adalah pecahnya selaput korioamniotik sebelum terjadi proses
persalinan. Secara klinis diagnosa KPD ditegakkan bila seorang ibu hamil
mengalami pecah selaput ketuban dan dalam waktu satu jam kemudian tidak
terdapat tanda awal persalinan, dengan demikian untuk kepentingan klinis waktu 1
jam tersebut merupakan waktu yang disediakan untuk melakukan pengamatan
adanya tanda-tanda awal persalinan.
Fetal distress (gawat janin) adalah keadaan hipoksia janin yang disebabkan
oleh berbagai macam faktor yang menurunkan aliran darah uteroplasenta sehingga
bila dibiarkan dapat menyebabkan kerusakan jaringan yang permanen atau
kematian janin.
Seksio sesarea adalah sutu tindakan pembedahan dengan tujuan untuk
melahirkan bayi dengan membuka dinding perut (laparotomi) dan dinding uterus
(histeretomi) dengan syarat rahim dalam keadaan utuh serta berat janin di atas 500
gram.
B. SARAN
 Menyarankan pasien untuk KB terlebih dahulu
 Menyarankan agar anak diberi ASI ± 6 bulan
 Menyarankan kontrol ± 7hari setelah pulang dari rumah sakit
 Menyarankan ganti perban ± 3 kali setelah selesai operasi
 Menyarankan minum obat teratur sampai habis

79
 Menyarankan banyak makan sayur agar ASI banyak
 Menjaga higien bekas jahitan

80
DAFTAR PUSTAKA

1. Pangemanan Wim T. Komplikasi Akut Pada Preeklampsia. Palembang.


Universitas Sriwijaya. 2002
2. Universitas Sumatra Utara. Hubungan Antara Peeklampsia dengan BBLR.
Sumatera Utara. FK USU. 2009
3. Hartuti Agustina, dkk. Referat Preeklampsia. Purwokerto. Universitas
Jendral Sudirman. 2011
4. Simona Gabriella R. Tugas Obstetri dan Ginekologi, Patofisiologi
Preeklampsia. Maluku. Universitas Pattimura. 2009
5. Dharma Rahajuningsih, Noroyono Wibowo dan Hessyani Raranta.
Disfungsi Endotel pada Preeklampsia. Jakarta. Universitas Indonesia. 2005
6. Anonim. Hipertensi Dalam Kehamilan. (Cited at june, 25 2019). Available
From http://www.scribd.com
7. Universitas Sumatra Utara. Peeklampsia. Sumatera Utara. FK USU. 2007
8. Prawirohardjo Sarwono dkk. Ilmu Kebidanan, Hipertensi Dalam
Kehamilan. Jakarta. PT Bina Pustaka. 2010. Hal : 542-50
9. Newton, Edward R. Chorioammnionitis and Intraamniotic Infection.
Clinical Obstetrics and Gynecology Vol 36, Number 4. Lippincot Co.
1993; 795-808
10. Infeksi dalam persalinan. Dalam: Saifudin AB ed. Buku Acuan Nasional
Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal. Jakarta:Yayasan Bina
Pustaka Sarwono Prawirohardjo; 2001: 255-8
11. Arias F. Premature Rupture of Membrane. Practical Guide to: High Risk
Pregnancy and Delivery, 2nd ed. St Louis: Mosby Year Book; 1993: 100-
113
12. Gibbs RS, Sweet RL, DufWP. Maternal and Fetal Infectious Disorder.
Maternal-Fetal Medicine 5th ed. Philadelphia: WB Saunders, 2004: p 741-
99

81
13. Gravett NG, Sampson JE. Other Infectious Conditions. High Risk
Pregnancy Management Options. London: WB Saunders Co Ltd; 1996:
513-5
14. Goldenberg RL, Hauth JC, Andrews WW. Intrauterine Infection and
Preterm Delivery. New England Journal of Medicine. 2000.
15. Gibs RS. Chorioamnionitis and Infectious Morbidity Associated with
Intrauterine Monitoring. Infectious Disease in Obstetrics and Gynecology
ed 2nd. Harper & Row Publishers. Philadelphia. 1982: 363-76
16. Duff P, Gibbs RS. Progress in the pathogenesis and management of
clinical intraamniotic infection. Am J Obstet Gynecol 1991;164:1317–26.
17. Goldstein, Zimmer, Etan Z, et al. Intraamniotic Infection in The Very
Early Phase of The Second Trimester. Am J Obstet Gynecol. October
1990; 1261-1263
18. Gibbs RS, Sweet RL, DufWP. Maternal and Fetal Infectious Disorder.
Maternal-Fetal Medicine 5th ed. Philadelphia: WB Saunders, 2004: p 741-
99
19. Cunningham FG, et al. Chorioamnionitis. Williams Obstetrics 21st ed. NY.
McGraw Hill, 2001: p 814-5
20. Turnquest MA, et al. Chorioamnionitis: is Continuation Antibiotic
Therapy Necessary After Cesarean Section? Am J Obstet Gynecol 1998:
179: 1261-6
21. Soewarto S. Ilmu Kebidanan. edisi ke-4. Cetakan I. 2016. Jakarta:
Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. Hal 677-680.
22. Cunningham, FG, et al. Obstetri Williams. Edisi ke-21. 2014. Jakarta :
EGC Penerbit Buku Kedokteran.
23. Saifudin, Abdul Bari, et al. Buku Panduan Praktis Pelayanan Kesehatan
Maternal dan Neonatal. 2002. Jakarta : Yayasan Bina Pustaka Sarwono
Prawirohardjo
24. Hacker NF, Gambone JC, Hobel CJ. 2016. Hacker & Moore’s Essentials
of Obstetrics & Gynecology, Sixth Edition. Philadelphia: Elsevier.

82
25. Departemen/SMF Obstetri & Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas
Padjadjaran RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung. 2015. Panduan Praktik
Klinis Obstetri & Ginekologi.
26. Wiknjosastro H, (ed), 2007, Ilmu Bedah Kebidanan, YBP-SP, Jakarta.
27. Patted S. 2011. Caesarean section on maternal request (CDMR). Recent
research in science and technology ;3(2):100-101.
28. Souza JP et al. 2014. Caesarean section without medical indication
increase risk of short-term adverse outcome for mother: the 2004-2008
WHO Global survey on maternal and perinatal health. BMC Medicine
;8(1):71.
29. Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2010, Kementerian Kesehatan
Republik Indonesia: Jakarta.

83

Anda mungkin juga menyukai