Uraikan dan jelaskan pengertian etos dan contoh praktinya yang pernah dikerjakan
oleh Sri Mangkunegara IV
2. Uraikan dan jelaskan 3 karakteristik nilai-nilai moral budaya jawa dan contoh
praktenya yang pernah dikerjakan oleh Sri Mangkunegara IV
Menurut Driyarkara, “nilai” bukan suatu “substansi” atau segala sesuatu yang bisa berdiri
sendiri, juga bukan ide (konsep) ia adalah perjumpaan pengalaman manusia ddengan apa
yang dirasakan dengan arti yang positif baginya. Pengalaman yang positif dihayati dalam
perasaan, bukan pada rasio saja melainkan sebagai kepribadiannya (cipta, rasa, dan karsa).
Dalam proses pengembangannya, kedua pihak ini memiliki pola yang berbeda. Dimana pihak
pertama ini bersifat realistis dan rasional, dan pihak kedua bersifat revivalisme, perang suci,
dan magico-religious practice.
Tiga pola karakteristik dua pihak tersebut juga merupakan dasar sumber identitas bagi
objektivitas etos dan transformasi sosial Sri Mangkunegara IV sesuai dengan pembentukan
dan perkembangan struktur nilai-nilai moral budaya Jawa pada masanya. Analisis dan
pemahamannya masing-masing anatara lain sebagai berikut:
1. Harmonis
Inti dari karakteristik ini adalah menciptakan dan menjaga kesesuaian atau keselarasan
hubungan antar sesama manusia, masyarakat dan dengan alam. Ketiganya merupakan satu
sistem yang bisa disebut sebagai “pandangan dunia Jawa” yang digunakan sebagai tolak
ukur adalah nilai pigmentasinya agar tercapainya suatu keadaan psikis tertentu.
Niels Mulder menjelaskan kejawen pada dasarnya merupakan sikap khas terhadap
kehidupan sebagai sikap mental untuk mengatasi perbedaan agama. Sikap mental kejawen
yang lebih condong ke sikap sinkretis dan toleran. Akibat adanya pertemuan percampuran
berbagai macam sosial budaya ideologi kolonial antara orang Jawa dan Belanda dimana
orang Jawa merasa wajib memikirkan jati dirinya sebagai sebuah identitas budaya Jawa
yang sesuai pada masanya.
Menurut Anderson salah satu cara mengungkapkan sinkretis adalah dengan melalui
mitologi dalam pementasan wayang. Penjelasan tentang wayang menjadi acuan analisis
untuk mengkaji sikap hormat Sri Mangkunegara IV terhadap apa saja tradisi ritual Jawa
yang diungkapkan dalam pertunjukkan wayang dan juga sebagai objektivikasi
transformasi tindakan sosial. Tujuan dalam sikap hormat dan sikap rukun adalah agar
tercipta suasana atau keadaan hubungan yang harmonis, yaitu bersikap saling menghargai
dan saling kasih kepada sesama. Analisis dan pemahaman pemikiran Sri Mangkunegara
IV tentang 2 sikap tersebut menurut S. Margana didalam Tripama ada tiga tokoh wayang
yang sangat digemari oleh masyarakat Jawa karena pengabdin dan perjungannya. Menurut
F.M. Suseno 3 tokoh tersebut beasal dari India dimana tokoh yang dimaksud adalah
Sumantri (awal kisah dari Ramayana), Kumbakarno (dalam kisah Ramayana), dan
Adipati Karno (dalam kisah Mahabarata).
Asal usul keluarga Sumantri dan Adipati Karno adalah dari golongan rakyat keci atau
masyarakat desa, sedangkan Kumbakarno adalah seorang raksasa yang hidup di kerajaan
Alengka. Sri Mangkunegara IV menjelaskan: Sanadyan tekaning buta, tan prabeda ngudi
pangudi dumadi, marsudi ing kotaman” artinya walaupun Kombakarno seorang raksasa
namun kesuciannya sama dengan manusia, yakni bercita-cita menyelamatkan kehidupan
sesama dan dia berusaha menjadi manusia utama yang berbudi luhur. Sumantri adalah
gambaran tokoh dengan kemandirian moral dan keberanian moral yang cenderung pada
guit societies. Karena sikap moralnya lebih condong ke individualisme. Adipati Karno
dan Kumbakarna merupakan gambaran tokoh yang sikap moralnya lebih condong kearah
kolektivisme.
Inti dari penjelasan tersebut adalah yang menjadi dasar tos berbagai pihak itu telah
berubah atau mengalami perkembangan, melainkan apa yang dilupakan atau ditinggalkan
bahkan mungkin telah disepelekan dalam etos mereka sendiri. Pembaruan pola etos Sri
Mangkunegara IV menunjukan suatu pola strateginya pada perjuangan tanpa kekerasan
dan ketahanan sosial. Nilai-nilai moral budaya Jawa, di satu sisi difungsikan sebagai tata
krama Jawa dalam pergaulan sosial, juga menyatu sebagai proses belajar bersama dengan
anggota masyarakat Jawa.
Prinsip-prinsip moral dasar etos tindakan Sri Mangkunegara IV sebagaimana telah
diuraikan pada karakteristik harmonis akan dijadikan sebagai acuan kritik negatif terhadap
berbagai kepustakaan Jawa sebagai sumber ajaran moral Jawa. Pendekatan kritik negatif
ini merupakan kelanjutan tiga sistem nilai-nilai moral budaya Jawa.
2. Struktural Fungsional
Struktur Fungsional adalah struktur sosial nilai-nilai moral Jawa. Struktur adalah
bangunan ide para pujangga tetang nilai moral, dan memfungsikan atau teknis
pemberdayaannya bagi konsep hubungan antara individu dalam dunia realitas sosial Jawa.
Konsepnya merupakan pedoman ajaran moral (norma moral) bagi tingkah lakunya
(perilaku),baik individu atau kelompok pada masanya yang hidup dalam kondisi
pascakolonial. Kepustakaan Jawa dipahami ajaran dan ungkapan sikapnya lebih
cenderung dan tidaknya pada guilt societies (individualisme) atau shame societies
(kolektivisme) ataupun campuran keduanya
Soemarsaid Moetono menjelaskan bahwa perhatian raja kepada abdi dalam bagaikan
seorang ayah atau tuan yang mengasuh anak-anaknya dalam kekluargaan. Krakteristik
etos ini adalah bersifat feodalistik. G. Moedjanto selanjutnya menambahkan konsep
kekuasaan raja searah dengan maksud paham kekuasaan absolutisme. Kebudayaan Jawa
mengimplikasi suatu tanggung jawab yang besar sebagai imbangan kekuasaan mutlak
(absolut) raja.
Etos yang dikembangkan Kesunanan Surakarta lebih cenderung ke dalam legalisme etik
atau etika deontologi sebagaimmana teori tradisional. Dua kecenderungan sikap sebagai
satu pola etos yang jiak diwujudkan sebagai satu gaya hidup dalam dunia. Karenanya pola
etos dalam sikap dan atau perilaku lahirianya kurang sesuai dengan nilai-nilai moral
budaya Jawa terhadap martabat sesama manusia sebagai identitas budaya Jawa dalam
kondisi pascakolonial. Yang dimaksud sikap dalam pembahasan ini adalah seuatu
kecenderungan yang terbentuk karena pemahaman atau latihan untuk menanggapi secara
ajek dengan suatu cara tertentu terhadap suatu hal atau keadaan sekeliling.
Menurut F.M. Suseno dunia kehidupan ini adalah tandon anggapan-anggapan, latar
belakang yang diorganisasikan dalam bahasa, yang memproduksi diri dalam bentuk tradisi
yang telah membudaya. Objektivikasi dalam karya Sri Mangkunegara IV dalama Serat
Wirawijaya dan Serat Wedhatama mengungkapkan dengan bersikap kritis terhadap
masalah kelebihan dan kekurangan. Jangan membanggakan keturunan atau murid yang
telah mengerti serta berperilaku seperti mereka terdahalu. Selain bersikap kritis hendaknya
bersikap kreatif. Didalam sikap kreatif dan kritis didalamnya terkandung sikap “mawas
diri” dan tahu diri.
Pola etos pemikiran Sri Mangkunegara diatas mrupakan perbedaan mendasar antara pola
etos Kesunanan Surakarta. Dimana Kesunanan Surakarta cenderung ke dalam legalisme
etik dan lebih mengedepankan pola etos revivalise, perang suci, dan magico-religiouse
practice.
Acuan dasar objektivikasi pola etos tindakan moral Sri Mangkunegara IV yaitu pada tata
kram Jawa: sikap hormat dan rukun demi kekeluargaan kegotong royongan. Adapun
teknis pemberdayaan sikap horamt dan rukun demi keadilan dilakukan melalui
pendekatan dialogis partisipatif. Pendekatan dialogis partisipatif yaitu masing-masing
partisipan berperan mengkoordinasikan rencana tindakan mereka. F.M. Suseno
menjelaskan masing-masing partisipan mengambil ahli peran pertisipan lainnya
3. Transendental
Transendental adalah sesuatu secara kualitas teratas, atau diluar apa yang diberikan oleh
pengalaman manusia. Kehidupa yang mengraah transendental berarti mampu
mengungkapkan seluruh realitas objektif yang sedang dikerjakan dan mengungkapkan
secara total sampai pada makna hidup yang paling akhir. Panembahan Senopati dianggap
sebagai raja Jawa telah merasakan atau memperoleh rasa sejati.
Untuk memperoleh ilmu dalam budaya Jawa biasanya masyarakat Jawa melakukan
tindakan laku (tapabrata/bertapa).
Menurut C.C.Berg dengan melakukan lau mereka memperoleh kekuatan, sehingga
mampu menaklukkan seluruh dunia. Tidak hanya laku ada beberapa tradisi yang biasanya
dilakuka oeh masyarakat Jawa yaitu: mutih (tidak makan selain nasi), pati geni (puasa
terhdap sinar matahari), ngalong (posisi seperti kelelawar), ngluwat (bertapa dikuburan),
bolot (tidak mandi), ngrambang (menyendiri di hutan) dsb.
Slametan merupan ritus religius terpenting dalam masyarakat Jawa yang dimengerti
sebagai ritus pemulihan keadaan slamet. Laku pada pemikiran Sri Mangkunegara IV bagi
proses belajar mengontrol eksistensi sendiri. Pendalaman makna rasa sejati disatu sisi,
perlu dianalisis seberapa kesesuaian praksisnya dalam struktur sosial masyarakat Jawa
yang berada dalam pascakolonial. Pertemuan Bima dengan Dewaruci membuat dia
semakin hebat dan memiliki kekuatan yang tak terkalahkan serta mendapatkan
ketentraman batin.
Pemikiran Sri Mangkunegara IV tentang ngelmu cenderung hendak mengembangkan
kesadaran untuk tidak atau jangan mengutamakan hal-hal yang nilai moralnya jelekdan
dangkal (sihir dan jimat). Identifikasi tokoh ideal sebagai pola etos pemikiran Sri
Mangkunegara IV adalah manusia nyata yang bersifat realitis dab rasional. Dorongan dan
sikap belajar bersama dan dengan sikap ilmiahyang membentuk etos tindakan moral.
3. Uraikan dan jelaskan 3 karakteristik etos dagang Jawa dan contoh praktekya dalam
bidang perkebunan
A. Bersikap Baik atau Hormat dan Peduli terhadap Apa saja
Bersikap baik atau hormat dan peduli terhadap siapa saja mempunyai perbedaan dan
persemaan dengan etiket dan etika keadilan serta etika kepedulian. Persamaan pertama
terletak pada tindakan atau perilaku manusia, dimana hewn tidak mengenalnya.
Kedua, mengatur perilaku manusia secara normatif. Sedangkan perbedaannya
pertama, berdarkan pada kesadarannya dalam rasa dengan eksistensi manusiawi
maupun makna etisnya. Kedua, dalam menentukan kualitas moral.
Berdasarkan penjelasan tersebut maka yang dimaksudkan dalam bersikap hormat
terhadap apa saja adalah merupakan tata krama Jawa modern.
B. Bersikap Baik atau Hormat dan rukun serta Peduli terhadap Sesama Manusia
Mencermati berbagai identifikasi dan implikasinya cara bersikap etis yang cenderung
kupemberdayaan melalui tata krama jawa modern demi pembangunan yang
berkelanjutan dalam struktur pemikiran manajemen stakeholder-approachnya demi
efisiensi tujuan etos dagangnya itu, diobjektivikasikan (dikonkretisasikan) melalui
empat cara bersikap etis dengan kedalaman kebaikan arti nilainya berikut ini.
Pertama, dalam tiga tahapan (sembah catur, catur upaya, dengan tri-prakara-nya: lila,
trima, dan legawa) sebagai acuan kecenderungan dasar sikap etisnya ke dalam
sikap sepi ing pamrih dengan kebaikan arti nilinya dalam batin, eksistensi sikap eling
pada Yang Ilahi. Kedua, dalam Asta Gina dengan lima dan tujuh sikap etis
kesatuannya cara bersikap etis sebagai acuan dasar kessadaran moral sebagai sikap
etisnya dalam berhubungan sosial dengan kebaikan arti nilainya seperti dimaksudkan
rame ing gawe. Ketiga, idnetifikasi dan implikasi kebaikan arti nilainya yang pertama
dan kedua itu, pada masa Sri Mangkunegara IV pernah diobjektivikasi dengan cara
bersikap baik atau hormat dan rukun serta peduli terhadap sesama manusia sama
dengan bersikap baik (etis) terhadap eksistensi manusiawinya (stakeholders) SDA
maupun SDM. Keempat, eksistensi kebaikan arti nilainya yang pertama, kedua, dan
ketiga tersebut, di satu sisi, berada dalam etos pemikiran Sri Mangkunegara IV dan
struktur pemikiran manajemen stakeholders-approach demi efisiensi tujuan etos
dagangnya yang sesuai pada masanya pada sisi lainnya.