Anda di halaman 1dari 12

1.

Uraikan dan jelaskan pengertian etos dan contoh praktinya yang pernah dikerjakan
oleh Sri Mangkunegara IV

Dalam penjelasan Mochtar Pabottingi yang menyatakan bahwa para cendekiawan


menganggap bahwa keterbelakangan bangsa Indonesia, terutama dibidang ekonomi
disebabkan oleh keterbelakangan kebudayaannya, dan yang paling banyak dituding
penyebabnya adalah kebudayaan Jawa. Pada intinya kebudayaan Jawa sering dicap sebagai
perusak kegiatan ekonomi. Yang dimaksud dalam merusak adalah budaya Jawa yang kental
dengan gotong royongnya bangsa asing menganggap kegiatan ini hanya memanjakan dan cara
ini sangat berbanding terbalik dengan budaya barat.
Seminar aktivitas dagang Jawa yang pernah diadakan di Jogja tahun 1990 menyimpulkan
bahwa budaya Jawa sama sekali tidak menentang dan tidak merendahkan keberhasilan hidup
orang melalui perdagangan. Disamping itu cara meningkatkan usaha Jawa dengan mengkaji
ulang atau memahami kembali tradisi kinerja dagangnya yang pernah dilakukan para priyayi.
Dari sudut pandang sejarah tradisi merupakan adat-istiadat, ritus-ritus, ajaran-ajaran sosial,
pandangan-pandangan, nilai-nilai, aturan-aturan perilaku dsb yang diwariska secara generasi
kegenerasi dalam kurun waktu yang panjang. Adat istiadat mengandung moralitas yang sering
disebut juga sebagai etos yang merupakan sikap manusia yang berkenaan dengan hukum
moral berdasarkan atas keputusan bebasnya. Etos kadang diartikan untuk menunjukkan
karakter tertentu.
Franz Magnis Suseno menjelaskan adanya kesamaan antara sikap moral dengan etos yang
terletak pada kemutlakkan sikapnya, sedangkan perbedaannya sendiri terletak pada
tekanannya. Karena istilah etos diungkapkan sebagai semangat dan sikap batin yang
didalamnya termuat tekanan-tekanan moral dan nilai moral tertentu. Etos dagang Indonesia
harus modern seratus persen artinya harus ditetapkan berdasarkan latar belakang masyarakat
Indonesia.
K. Bertens menjelaskan bahwa kata etos menunjukkan ciri pandangan, nilai yang menandai
suatu kelompok atau seseorang. Etos disifatkan sebagai characteristic spirit of community,
people of system. Dari penjelasan K. Bertens etos mengandung dua nilai moral sebagai satu
kesatuan kebaikan tindakan yang selalu dilakukan atau suatu tindakan yang terpuji yang
sering dilakukan pada bidang profesi tertentu.
F.M. Susono menjelaskan etos dagang Indonesia harus modern seratus persen yang artinya
harus ditetapkan berdasarkan latar belakang masyarakat Indonesia. Menurut Mubyarto sistem
ekonomi dan sistem perekonomian Indonesia adalah sistem ekonomi usaha bersama
berdasarkan asas kekeluargaan dan kegotoroyongan nasional atau sebagai ekonomi yang
dijiwai oleh ideologi Pancasila (Sistem Ekonomi Pancasila).
Pengkajian kembali etos dagang Jawa dalam pemikiran Sri Mangkunegara IV dengan
berbagai pertimbangan sebagai berikut:
a) Sri Mangkunegara IV adalah salah satu filsuf dunia dari Indonesia yang tercatat dalam
Dictionnaire des Philsophes.
b) Kerajaan Mangkunegara pada masa pemerintahan Sri Mangkunegara IV mengalami berbagai
kemajuan, khususnya pada bidang perekonimian.
c) Munculnya dugaan negatif terhadap budaya Jawa terhadap dagangnya.
Analisis terhadap pemikiran Sri Mangkunegara IV akan difokuskan pada beberapa hal
berikut:
1. Nilai moral yang terkandung didalamnya dipahami kaitannya dengan nilai-nilai moral budaya
Jawa.
2. Sikap moral akan dipahami etosnya terutama dalam bidang dagang.
3. Etos dagang Jawa disatu sisi dipahami sebagai implementasi strategi.
4. Etos dagang Jawa Sri Mangkunegara IV dipahami prespetifnya untuk budaya Jawa lainnya.
Menurut Gunawan S para ahli kebudayaan yang ada dalam maupun luar negeri pada
prinsipnya memiliki kesamaan pandangan yang bisa ditarik sebagai central concepts.
Pemikiran Sri Mangkunegara IV secara implisit mengandung keinginan dan kehendak bagi
rencananya mengadakan relasi-relasi baru. Pemikiran Sri Mangkunegara IV dapat dipahami
sebagai ungkapan etosnya yang eksistensinya baik berada pada dataran pemikiran dan
pelaksanaan sebagai wujud baru bagi tiga sistem nilai-nilai moral budaya Jawa pada masanya.
Proses menghasilkan wujud baru terkandung pada tiga hal yaitu:
1. Mengandaikan inventivitas dalam pemikiran terhadap segala babakan kebudayaan.
2. Terjadinya proses inventivitas dan kreativitas tersebut berdasar pada keinsyafan diri atau
refleksi diri.
3. Konkretisasi proses pertama dan kedua dikembangkan pada bidang dagang yang modern.
Mencermati penjelasan etos, baik bagi dunia kehidupan dan terutama dalam dagang Jawa
sebagai yang baru dan yang sesuai atau berlaku pada masanya tersebut dibedakan dengan
kata-kata atau istilah berikut Pertama, etos itu berbeda baik dengan etika dan molaritas
walaupun tidak berarti terpisah, kecuali sebatas bagi kesatuan analisis masalahnya pada dunia
kehidupan Jawa tersebut. Sony Keraf menjelaskan, harifahnya etika dan moralitas berarti
adat-kebiasaan hidup yang baik, diwariskan dan dilestarikan melalui agama atau kebudayaan
dan dianggap sebagai sumber prinsip nilai moral yang baku dan dianut masyarakat sebagai
tradisinya. K Bertens menambahkan moralitas adalah sifat moral atau keseluruhan asas dan
nilai yang berkenaan dengan baik dan buruk. Penjelasan tersebut merupakan perbedaannya.
Rincian perbedaannya dan karena untuk etos lebih sesuai bagi identitas suatu profesi
seseorang, maka bisa dipahami dengan menyamakan arah maksudnya seperti pada kata
keutamaan. Menurut F.M. Suseno keutamaan yang dimaksud dalam budaya Jawa misalnya,
kesetian, kemurahan hati, kejujuran keadilan, sing ing pamrih rame ing gawe,dsb. Kedua,
istilah modern atau baru, arah maksudnya dibedakan dengan istilah westernisasi atau sebagai
modern Barat dalam pengertian peradaban Barat. Yang dimaksudkan etos modern atau baru
pada bidang dagangnya adalah mencerminkan karakteristik budaya Jawa atau yang ditetapkan
berdasarkan latar belakang peradaban, nilai-,nilai, ciri keagamaan, pandangan dunia
masyarakat Jawa yang disesuaikan pada masanya.
Etos tidak bisa didapat hanya dengan sebatas membaca buku instruksi saja. Menurut Sony
Keraf metode reflektif kritis merupakan bagian terpeting untuk menentukan berbagai pilihan,
cara bersikap, dan bertindak benar baik secara moral.
Alasan bidang perkebunan diutamakan karena terkait dengan problem dan akibat sistem
Tanam Paksa (Cultur Stelsel). Masalah tersebut dijelskan oleh C. Gertz dalam Agricultural
Involution: The Process of Ecological Change in Indonesia bahwa eksploitasi kolonial
Belanda pada sistem Tanam Paksa menimbulkan involusi pertanian yang pada gilirannya
menciptakan kemiskinan petani Jawa.
Strategi Sri Mangkunegara IV agar maksud cita idealnya itu bisa dipahami perlu
dibandingkan dengan budaya dagag Jawa lainnya. Pilihan perbandingan dalam masalah
tersebut kiranya budaya dagang dari keturunan Cina dapat diajdikan bahan perbandingan. Ada
beberapa alasan mengapa pedagang Cina digunakan sebagai perbandingan. Alasannya
pertama karena menurut Lombard, hubungan perdagangan anatara Jawa dan Cina sudah
terjadi pada awal Masehi dan puncaknya pada abad XIII hingga XVII. Kedua, Hana
Tjandradiredja meneliti dari tahun 1994-2001, populasi masyarakat Indonesia pada saat ini
yang berjumalah lebih dari 200 juta jiwa dicirikan oleh dominannya produktivitas
ekonominya etnis Cina.
Jenis penilitian yang digunakan dalam buku ini adalah penelitian kepustakaan (library
research) yang sumber data primernya diambil dari pemikiran Sri Mangkunegara IV dalam
berbagai karyanya yang akan dipahami sebagai satu etos dagang Jawa pada masanya terutama
dibidang perkebunan. Berbagai karya Sri Mangkunegara IV banyak di museumkan di
perpustakaan Rekso Pustoko yang menjadi museum diwiliayah Surakarta.
Sebagai data sekunder dokumen atau kepustakaan yang memuat strategi atau langkah Sri
Mangkunegara IV dalam menumbuhkan berbagai usaha dagangnya terutama dibidang
perkebunan. Berikut adalah langkah-langkahnya
1. Memerika secara teliti berbagai karyanya.
Hal ini bertujuan untuk menganalisis dan memahami berbagai ungkapan, ungkapan,
tanggapan berbagai penilaian pemikiran Sri Mangkunegara IV pada tiga sistem centrak
concept niali moral budaya Jawa yang diungkapkan dalam pupuh (lagu) dan dirinci dalam
pada-nya (baitnya). Analisis yang dipergunakan adalah analisis isi (content analysis) yang
dipadukan dengan pendekatan hermeneutic. Yang berguna untuk mensistimatisir pengertian
nilai-nilai moral budaya Jawa yang sejenis atau berbeda yang disusun secara struktur
pemahalan tiga sistem central concept nilai moral budaya Jawa.
2. Menerapka metode verstehen
Penerapan metode ini bertujuan untuk mengungkapkan dan mempelajari makna murni dalam
karya Sri Mangkunegara IV sebagai acuan pemikiranya tentang ettos dagang Jawa yang
sesuai (modern atau baru pada masanya). Agar menghasilakan pemahaman metode ini tidak
terbatas pada karya buku saja melainkan berbagai dokumen dan simbol-simbol. Selain itu
pemahaman yang dihasilkan dari langkah ini adalah sebagai etos dagang Jawa yang sesuai
atau modern. Analisi dalam hal ini dilengkapi berbagai sumber para ahli dengan bobot dan
jangkauan pemikiran yang berbeda-beda serta berdasarkan penulisan sendiri, sebagai
konstruksi teoritis pemahaman etos dagang Jawa dalam pemikiran Sri Mangkunegara IV.
Kontruksi itu di satu pihak dipahami sebagai salah satu pandangan hidup Jawa terutama bagi
etika sosial dibidang dagang. Pada pihak lain dapat menjadi tipe ideal atau cita ideal bagi
acuan tantangan budaya dagang Jawa.

2. Uraikan dan jelaskan 3 karakteristik nilai-nilai moral budaya jawa dan contoh
praktenya yang pernah dikerjakan oleh Sri Mangkunegara IV
Menurut Driyarkara, “nilai” bukan suatu “substansi” atau segala sesuatu yang bisa berdiri
sendiri, juga bukan ide (konsep) ia adalah perjumpaan pengalaman manusia ddengan apa
yang dirasakan dengan arti yang positif baginya. Pengalaman yang positif dihayati dalam
perasaan, bukan pada rasio saja melainkan sebagai kepribadiannya (cipta, rasa, dan karsa).
Dalam proses pengembangannya, kedua pihak ini memiliki pola yang berbeda. Dimana pihak
pertama ini bersifat realistis dan rasional, dan pihak kedua bersifat revivalisme, perang suci,
dan magico-religious practice.
Tiga pola karakteristik dua pihak tersebut juga merupakan dasar sumber identitas bagi
objektivitas etos dan transformasi sosial Sri Mangkunegara IV sesuai dengan pembentukan
dan perkembangan struktur nilai-nilai moral budaya Jawa pada masanya. Analisis dan
pemahamannya masing-masing anatara lain sebagai berikut:
1. Harmonis
Inti dari karakteristik ini adalah menciptakan dan menjaga kesesuaian atau keselarasan
hubungan antar sesama manusia, masyarakat dan dengan alam. Ketiganya merupakan satu
sistem yang bisa disebut sebagai “pandangan dunia Jawa” yang digunakan sebagai tolak
ukur adalah nilai pigmentasinya agar tercapainya suatu keadaan psikis tertentu.
Niels Mulder menjelaskan kejawen pada dasarnya merupakan sikap khas terhadap
kehidupan sebagai sikap mental untuk mengatasi perbedaan agama. Sikap mental kejawen
yang lebih condong ke sikap sinkretis dan toleran. Akibat adanya pertemuan percampuran
berbagai macam sosial budaya ideologi kolonial antara orang Jawa dan Belanda dimana
orang Jawa merasa wajib memikirkan jati dirinya sebagai sebuah identitas budaya Jawa
yang sesuai pada masanya.
Menurut Anderson salah satu cara mengungkapkan sinkretis adalah dengan melalui
mitologi dalam pementasan wayang. Penjelasan tentang wayang menjadi acuan analisis
untuk mengkaji sikap hormat Sri Mangkunegara IV terhadap apa saja tradisi ritual Jawa
yang diungkapkan dalam pertunjukkan wayang dan juga sebagai objektivikasi
transformasi tindakan sosial. Tujuan dalam sikap hormat dan sikap rukun adalah agar
tercipta suasana atau keadaan hubungan yang harmonis, yaitu bersikap saling menghargai
dan saling kasih kepada sesama. Analisis dan pemahaman pemikiran Sri Mangkunegara
IV tentang 2 sikap tersebut menurut S. Margana didalam Tripama ada tiga tokoh wayang
yang sangat digemari oleh masyarakat Jawa karena pengabdin dan perjungannya. Menurut
F.M. Suseno 3 tokoh tersebut beasal dari India dimana tokoh yang dimaksud adalah
Sumantri (awal kisah dari Ramayana), Kumbakarno (dalam kisah Ramayana), dan
Adipati Karno (dalam kisah Mahabarata).
Asal usul keluarga Sumantri dan Adipati Karno adalah dari golongan rakyat keci atau
masyarakat desa, sedangkan Kumbakarno adalah seorang raksasa yang hidup di kerajaan
Alengka. Sri Mangkunegara IV menjelaskan: Sanadyan tekaning buta, tan prabeda ngudi
pangudi dumadi, marsudi ing kotaman” artinya walaupun Kombakarno seorang raksasa
namun kesuciannya sama dengan manusia, yakni bercita-cita menyelamatkan kehidupan
sesama dan dia berusaha menjadi manusia utama yang berbudi luhur. Sumantri adalah
gambaran tokoh dengan kemandirian moral dan keberanian moral yang cenderung pada
guit societies. Karena sikap moralnya lebih condong ke individualisme. Adipati Karno
dan Kumbakarna merupakan gambaran tokoh yang sikap moralnya lebih condong kearah
kolektivisme.
Inti dari penjelasan tersebut adalah yang menjadi dasar tos berbagai pihak itu telah
berubah atau mengalami perkembangan, melainkan apa yang dilupakan atau ditinggalkan
bahkan mungkin telah disepelekan dalam etos mereka sendiri. Pembaruan pola etos Sri
Mangkunegara IV menunjukan suatu pola strateginya pada perjuangan tanpa kekerasan
dan ketahanan sosial. Nilai-nilai moral budaya Jawa, di satu sisi difungsikan sebagai tata
krama Jawa dalam pergaulan sosial, juga menyatu sebagai proses belajar bersama dengan
anggota masyarakat Jawa.
Prinsip-prinsip moral dasar etos tindakan Sri Mangkunegara IV sebagaimana telah
diuraikan pada karakteristik harmonis akan dijadikan sebagai acuan kritik negatif terhadap
berbagai kepustakaan Jawa sebagai sumber ajaran moral Jawa. Pendekatan kritik negatif
ini merupakan kelanjutan tiga sistem nilai-nilai moral budaya Jawa.
2. Struktural Fungsional
Struktur Fungsional adalah struktur sosial nilai-nilai moral Jawa. Struktur adalah
bangunan ide para pujangga tetang nilai moral, dan memfungsikan atau teknis
pemberdayaannya bagi konsep hubungan antara individu dalam dunia realitas sosial Jawa.
Konsepnya merupakan pedoman ajaran moral (norma moral) bagi tingkah lakunya
(perilaku),baik individu atau kelompok pada masanya yang hidup dalam kondisi
pascakolonial. Kepustakaan Jawa dipahami ajaran dan ungkapan sikapnya lebih
cenderung dan tidaknya pada guilt societies (individualisme) atau shame societies
(kolektivisme) ataupun campuran keduanya
Soemarsaid Moetono menjelaskan bahwa perhatian raja kepada abdi dalam bagaikan
seorang ayah atau tuan yang mengasuh anak-anaknya dalam kekluargaan. Krakteristik
etos ini adalah bersifat feodalistik. G. Moedjanto selanjutnya menambahkan konsep
kekuasaan raja searah dengan maksud paham kekuasaan absolutisme. Kebudayaan Jawa
mengimplikasi suatu tanggung jawab yang besar sebagai imbangan kekuasaan mutlak
(absolut) raja.
Etos yang dikembangkan Kesunanan Surakarta lebih cenderung ke dalam legalisme etik
atau etika deontologi sebagaimmana teori tradisional. Dua kecenderungan sikap sebagai
satu pola etos yang jiak diwujudkan sebagai satu gaya hidup dalam dunia. Karenanya pola
etos dalam sikap dan atau perilaku lahirianya kurang sesuai dengan nilai-nilai moral
budaya Jawa terhadap martabat sesama manusia sebagai identitas budaya Jawa dalam
kondisi pascakolonial. Yang dimaksud sikap dalam pembahasan ini adalah seuatu
kecenderungan yang terbentuk karena pemahaman atau latihan untuk menanggapi secara
ajek dengan suatu cara tertentu terhadap suatu hal atau keadaan sekeliling.
Menurut F.M. Suseno dunia kehidupan ini adalah tandon anggapan-anggapan, latar
belakang yang diorganisasikan dalam bahasa, yang memproduksi diri dalam bentuk tradisi
yang telah membudaya. Objektivikasi dalam karya Sri Mangkunegara IV dalama Serat
Wirawijaya dan Serat Wedhatama mengungkapkan dengan bersikap kritis terhadap
masalah kelebihan dan kekurangan. Jangan membanggakan keturunan atau murid yang
telah mengerti serta berperilaku seperti mereka terdahalu. Selain bersikap kritis hendaknya
bersikap kreatif. Didalam sikap kreatif dan kritis didalamnya terkandung sikap “mawas
diri” dan tahu diri.
Pola etos pemikiran Sri Mangkunegara diatas mrupakan perbedaan mendasar antara pola
etos Kesunanan Surakarta. Dimana Kesunanan Surakarta cenderung ke dalam legalisme
etik dan lebih mengedepankan pola etos revivalise, perang suci, dan magico-religiouse
practice.
Acuan dasar objektivikasi pola etos tindakan moral Sri Mangkunegara IV yaitu pada tata
kram Jawa: sikap hormat dan rukun demi kekeluargaan kegotong royongan. Adapun
teknis pemberdayaan sikap horamt dan rukun demi keadilan dilakukan melalui
pendekatan dialogis partisipatif. Pendekatan dialogis partisipatif yaitu masing-masing
partisipan berperan mengkoordinasikan rencana tindakan mereka. F.M. Suseno
menjelaskan masing-masing partisipan mengambil ahli peran pertisipan lainnya

3. Transendental
Transendental adalah sesuatu secara kualitas teratas, atau diluar apa yang diberikan oleh
pengalaman manusia. Kehidupa yang mengraah transendental berarti mampu
mengungkapkan seluruh realitas objektif yang sedang dikerjakan dan mengungkapkan
secara total sampai pada makna hidup yang paling akhir. Panembahan Senopati dianggap
sebagai raja Jawa telah merasakan atau memperoleh rasa sejati.
Untuk memperoleh ilmu dalam budaya Jawa biasanya masyarakat Jawa melakukan
tindakan laku (tapabrata/bertapa).
Menurut C.C.Berg dengan melakukan lau mereka memperoleh kekuatan, sehingga
mampu menaklukkan seluruh dunia. Tidak hanya laku ada beberapa tradisi yang biasanya
dilakuka oeh masyarakat Jawa yaitu: mutih (tidak makan selain nasi), pati geni (puasa
terhdap sinar matahari), ngalong (posisi seperti kelelawar), ngluwat (bertapa dikuburan),
bolot (tidak mandi), ngrambang (menyendiri di hutan) dsb.
Slametan merupan ritus religius terpenting dalam masyarakat Jawa yang dimengerti
sebagai ritus pemulihan keadaan slamet. Laku pada pemikiran Sri Mangkunegara IV bagi
proses belajar mengontrol eksistensi sendiri. Pendalaman makna rasa sejati disatu sisi,
perlu dianalisis seberapa kesesuaian praksisnya dalam struktur sosial masyarakat Jawa
yang berada dalam pascakolonial. Pertemuan Bima dengan Dewaruci membuat dia
semakin hebat dan memiliki kekuatan yang tak terkalahkan serta mendapatkan
ketentraman batin.
Pemikiran Sri Mangkunegara IV tentang ngelmu cenderung hendak mengembangkan
kesadaran untuk tidak atau jangan mengutamakan hal-hal yang nilai moralnya jelekdan
dangkal (sihir dan jimat). Identifikasi tokoh ideal sebagai pola etos pemikiran Sri
Mangkunegara IV adalah manusia nyata yang bersifat realitis dab rasional. Dorongan dan
sikap belajar bersama dan dengan sikap ilmiahyang membentuk etos tindakan moral.
3. Uraikan dan jelaskan 3 karakteristik etos dagang Jawa dan contoh praktekya dalam
bidang perkebunan
A. Bersikap Baik atau Hormat dan Peduli terhadap Apa saja
Bersikap baik atau hormat dan peduli terhadap siapa saja mempunyai perbedaan dan
persemaan dengan etiket dan etika keadilan serta etika kepedulian. Persamaan pertama
terletak pada tindakan atau perilaku manusia, dimana hewn tidak mengenalnya.
Kedua, mengatur perilaku manusia secara normatif. Sedangkan perbedaannya
pertama, berdarkan pada kesadarannya dalam rasa dengan eksistensi manusiawi
maupun makna etisnya. Kedua, dalam menentukan kualitas moral.
Berdasarkan penjelasan tersebut maka yang dimaksudkan dalam bersikap hormat
terhadap apa saja adalah merupakan tata krama Jawa modern.

B. Bersikap Baik atau Hormat dan rukun serta Peduli terhadap Sesama Manusia
Mencermati berbagai identifikasi dan implikasinya cara bersikap etis yang cenderung
kupemberdayaan melalui tata krama jawa modern demi pembangunan yang
berkelanjutan dalam struktur pemikiran manajemen stakeholder-approachnya demi
efisiensi tujuan etos dagangnya itu, diobjektivikasikan (dikonkretisasikan) melalui
empat cara bersikap etis dengan kedalaman kebaikan arti nilainya berikut ini.
Pertama, dalam tiga tahapan (sembah catur, catur upaya, dengan tri-prakara-nya: lila,
trima, dan legawa) sebagai acuan kecenderungan dasar sikap etisnya ke dalam
sikap sepi ing pamrih dengan kebaikan arti nilinya dalam batin, eksistensi sikap eling
pada Yang Ilahi. Kedua, dalam Asta Gina dengan lima dan tujuh sikap etis
kesatuannya cara bersikap etis sebagai acuan dasar kessadaran moral sebagai sikap
etisnya dalam berhubungan sosial dengan kebaikan arti nilainya seperti dimaksudkan
rame ing gawe. Ketiga, idnetifikasi dan implikasi kebaikan arti nilainya yang pertama
dan kedua itu, pada masa Sri Mangkunegara IV pernah diobjektivikasi dengan cara
bersikap baik atau hormat dan rukun serta peduli terhadap sesama manusia sama
dengan bersikap baik (etis) terhadap eksistensi manusiawinya (stakeholders) SDA
maupun SDM. Keempat, eksistensi kebaikan arti nilainya yang pertama, kedua, dan
ketiga tersebut, di satu sisi, berada dalam etos pemikiran Sri Mangkunegara IV dan
struktur pemikiran manajemen stakeholders-approach demi efisiensi tujuan etos
dagangnya yang sesuai pada masanya pada sisi lainnya.

C. Selaras dengan Identitas Budaya atau Pengalaman Keagamaan (Islam) Jawa.

Pengalaman keagamaan (Islam) Jawa, merupakan objektivikasi atau konkretisasi cara


bersikap etis pada tata krama jawa modern bermakna spiritual internal menjadikan
seseorang merasa dalam suatu tatanan prosesnya wilayah transenden acuan
keyakinannya pada yang suci. Keyakinan itu, di satu sisi, acuan cara bersikap etisnya
baik dalam hidup beragama maupun bersosial-budaya di masyarakatnya, karenanya
pada sisi lain, objektivikasi (konkretisasi) maksud pengalaman keagamaan tersebut
sebagai kesatuan identitas bersosial-budaya melalui cara bersikap etisnya (tata krama
Jawa modern) yang bermakna spiritual internal bersifat komunal (memasyarakat) dan
individual (mempribadi).
Kedalaman etos pemikiran Sri Mangkunegara IV, di satu sisi, mengakui (pada sikap
baik atau hormat) bahwa eksistensi pengalaman keagamaan (Islam) Jawa atau bagi
pandangan dunia dan hidup Jawa beridentitas: Ilahiah, transendental, gaib, nominus,
adikodrati (realitasnya ngelmu: pengetahuan, pengalaman mistis) juga sebagai atau
berada dalam eksistensi manusiawinya (stakeholders SDA-SDM) pada masanya itu.
Namun, di sisi lain, objektivikasi atau konkretisasi acuan teoritisnya (kaum abangan)
demi memberikan pengertian eksistensi pengalaman keagamaannya (keadaan slamet
tentreming manah dengan manunggaling, pamoring kawula Gusti), menimbulkan
problem (seperti: spiral kekerasan) bagi masyarakat jawa yang dalam kondisi kolonial
atau pluralis pasca-tradisional.
Identifikasi penting dalam cara bersikap transendensinya itu terkait dengan cara
bersikap etisnya pada kedalamannya sikap sepi ing pamrih: sembah catur, catur
upaya, tri-prakara-nya: lila, trima dan legawa dengan kebaikan arti nilai-nilai yang
manusiawi (nilai-nilai dasar manusiawi) acuan dasar sikap eling dalam batin: Yang
Ilahi, transendental. Objektivikasi atau konkretisasi sebagai cara bersikap transendensi
dengan makna etisnya itu, ditunjukkan dalam pengertian bahwa sikap-sikap etisnya
itu, di satu sisi, tidak absolut dan mutlak atau bukan otonominya dalam segala dimensi
maksudnya, bukanlah otonominya untuk menentukan pada yang baik dan yang buruk,
melainkan, di sisi lainnya.
Identifikasi lima sifat cara bersikap etis itu implifikasi pembangunan yang
berkelanjutan bagi pembaruan pemberdayaannya pengembangan diri dalam cara
bersikap transendensinya dimaksud sabar demi efisiensi tujuan etos dagang jawa pada
umumnya. Sebabnya, identifikasi dimaksudkan sabar pada umumnya (audit sosial);
tidak atau belum disebutkan sikap-sikap etis apa yang sesuai (selaras) di dalamnya.
Misalnya, sabar itu tanda seorang pemimpin yang baik 9matang moralnya); ia maju
dengan hati-hati, seperi kalau ia melangkah di atas papan yang belum diketahui
kekuatannya. Sabar juga di artikan sebagai mempunyai napas panjang dalam
kesadaran bahwa pada waktunya nasib yang baikpun akan tiba.
Sikap sepi ing pamrih mesti terkait dengan rame ing gawe namun belum tentu sesuai
(selaras) dengan identitas budaya atau pengalaman keagamaan (Islam) Jawa jika acuan
teoritisnya seperti kaum abangan. Berdasarkan pada permasalahan tersebut maka
acuan teoritis eksistensi kecenderungan tetap etos dan struktur pemikiran Sri
Mangkunegara IV memiliki perbedaan dan persamaan dengan kaum abangan.
Bedanya, proses teori kritis dan kebebasan kehendaknya berada dalam kesatuan
permasalahan realitas sosialnya masyarakat Jawa pada masanya di bidang dagang
(perkebunan). Persamaannya, acuan teoritis eksistensi kecenderungan tetap etos dan
struktur pemikiran Sri Mangkunegara IV asas dan pedomannya juga bersumber dalam
pandangan dunia dan hidup Jawa pada umumnya.
Perlu diperjelas dahulu dimaksud dengan nafsu-nafsu, menurut F.M.Suseno, yang di
anggap nafsu jelek dan bahaya oleh orang Jawa. Didaftar nafsu-nafsu yang berbahaya,
antara lain yang sangat populer disebut “malima”: madal, madon, minum, main, dan
maling. Bahaya lain yang harus diperhatikan adalah pamrih. Bertindak berdasarkan
pamrih berarti hanya mengusahakan kepentingan diri sendiri saja dengan tidak
menghiraukan kondisi dan berbagai kepentingan masyarakatnya. Pamrih kelihatan
dalam tiga napsu, yaitu: nepsu menange dhewe, nepsu benere dhewe, dan nepsu
butuhe dhewe.
Efisiensi tujuan etos dagang jawa modern yang selaras bagi eksistensi manusiawi
(selaras identitas budaya ata pengalaman keagamaan islam jawa) tersebut,
objektivikasi atau konkretisasinya, pertama, berada didalam lima sifat cara bersikap
rtis dalam aktivitas dagangnya, rajin (sregep), bersungguh-sungguh (pethel), tabah-
hati (legen), tekun (wekel), dan berhati-hati (pangati-ati). Kedua, aktivitas pedagang
jawa hendaklah juga berkeutamaan beretos dalam Asta Gina, yaitu: memberdayakan
bidang-bidang usaha sebatas kemampuan maksimal, sesuai dengan kondisi zamannya,
pandai mencari jalan keluar untuk memperoleh esuatu yang di inginkan, hemat atau
berhati-hati membelanjakan, cermat dan teliti periksa semua pekerjaan agar hasilnya
jelas, pahami perhitungan biaya dan mampu merencanakan belanja berapa biaya yang
di perlukan, rajin brtanya pada para ahli dalam ilmunya dan jangan malu-malu,
mencegah atau menahan hawa nafsu, bertekad bulat (berniat teguh).
Identifikasi dan implikasi dimaksud demi efisiensi tujuan etos dagang jawa modern
tersebut mungkin, di satu sisi (dalam cita idealnya) menghendaki terciptanya keadaan
keselarasan ekonomi (economic harmonies) dengan ahli efisiensi (efficiency engineer)
yang mampu menunjukan keberhasilannya sesuai dengan dunia kehidupan atau
realitas sosial jawa terutama pada bidang dagang pada masanya dalam kondisi
pascakolonial pada sisi lain. Berdasarkan pada pemahaman objektivikasi transformasi
sosial pada karakeristik cita idealnya dalam struktur pemikira Sri Mangkunegara IV
demi efisiensi tujuan etos dagangnya yang baru (modern) pada masanya tersebut,
perlu bukti penerapannya, atau teknis pelaksanaannya (implementasinya) sebagai
konkretisasi strategi dan perspektif pemahaman etos dagangnya itu terutama dibidang
perkebunan.

Anda mungkin juga menyukai