Anda di halaman 1dari 27

18

BAB II
URAIAN PROSES

2.1. Bahan Baku


Bahan baku yang digunakan untuk pembuatan semen adalah batuan alam yang
mengandung oksida-oksida. Bahan baku tersebut terdiri dari tiga kelompok yaitu
bahan baku utama, bahan baku korektif dan bahan baku tambahan (Nopriyadi,
2017). Senyawa kimia yang terdapat dalam bahan baku dan yang diperlukan
adalah oksida kalsium (CaO), oksida silika (SiO2), oksida aluminium (Al2O3) dan
oksida besi (Fe2O3). Di samping senyawa-senyawa tersebut, terdapat juga
senyawa-senyawa lain yang keberadaannya tidak diinginkan dan harus dibatasi,
sepeti magnesium oksida (MgO), alkali, klorida, oksida sulfur (SO2), dan fosfor.
2.1.1. Bahan Baku Utama
Bahan baku utama dalam proses pembuatan semen merupakan bahan baku
yang mengandung komposisi kimia oksida-oksida kalsium, silika dan alumina.
Bahan baku utama yang digunakan yaitu batu kapur dan tanah liat.
Batu kapur (limestone) merupakan komponen yang banyak mengandung
kalsium karbonat (CaCO3) dengan sedikit oksida aluminium atau alumina,
magnesium karbonat (MgCO3), oksida silika dan senyawa oksida lainnya. Warna
batu kapur adalah putih dan akan berubah menjadi agak kecoklatan jika
terkontaminasi tanah liat. Senyawa besi dan organik menyebabkan batu kapur
berwarna abu-abu hingga kuning. Sifat-sifat fisika batu kapur dapat dilihat pada
Tabel 2.1.
Batu kapur mengalami reaksi kalsinasi pada suhu tinggi, sekitar 848 oC,
membentuk senyawa CaO, MgO dan karbondioksida (CO2). Batu kapur
merupakan sumber CaO dan sedikit MgO. Senyawa CaO merupakan senyawa
utama pembentuk oksida-oksida penyusun semen. Batu kapur yang baik dalam
penggunaan pembuatan semen memiliki kadar air kurang lebih sebesar 5%
dengan kadar CaCO3 lebih besar dari 75%. Umumnya batu kapur yang digunakan
pada pembuatan semen kurang lebih sebanyak 81% dari total massa bahan baku.
Di daerah penambangan sangat sulit untuk mendapatkan batu kapur dengan
kualitas yang seragam. Kadar CaCO3 batu kapur di tiap-tiap sektor dalam satu area
19

penambangan dapat berbeda-beda nilainya. Oleh sebab itu, untuk menghemat batu
kapur dengan kadar CaCO3 yang tinggi (high grade) perlu dilakukan
pencampuran dengan batu kapur dengan kadar CaCO3 yang rendah (low grade).
Selain itu, pencampuran ini ditujukan agar diperoleh umpan dengan kadar oksida
kalsium yang sesuai dengan kebutuhan (Deolakar, 2009).
Selain oksida kalsium, senyawa utama lain pembentuk semen adalah oksida
silika. Sumber oksida silika yang digunakan di pabrik semen adalah tanah liat,
pasir silika, dan bauksit (Deolakar, 2009). PT Semen Baturaja (Persero) Tbk
menggunakan tanah liat sebagai sumber utama oksida silika. Tanah liat
merupakan bahan baku semen yang merupakan sumber utama senyawa silika
dan alumina juga sedikit senyawa besi. Warna tanah liat adalah merah, tapi jika
mengandung besi maka akan menjadi berwarna coklat. Tanah liat menjadi keras
jika ditambah air dan berkurang sifat keliatannya jika dibakar. Untuk lebih
jelasnya mengenai sifat-sifat fisika dari tanah liat dapat dilihat pada Tabel 2.1.
Tanah liat yang baik untuk digunakan sebagai bahan baku pembuatan semen
memiliki kadar air kurang lebih sebesar 20% dan kadar SiO2 kurang lebih sebesar
46%. Umumnya tanah liat yang digunakan pada pembuatan semen kurang lebih
sebanyak 9% dari total massa bahan baku.
Tabel 2. 1 Sifat-sifat Fisika Batu Kapur dan Tanah Liat
Sifat-sifat
No. Batu Kapur Tanah Liat
Bahan
1 Rumus Kimia CaCO3 Al2O3.K2O.6SiO2.2H2O
2 Berat Molekul 100,09 g/mol 796,40 g/mol
3 Densitas 2,71 g/mL 2,9 g/mL
4 Titik Leleh 1339 °C 1450°C
5 Warna Putih keabu-abuan Coklat kemerah-merahan
6 Kelarutan Larut dalam air, asam, dan Tidak larut dalam air,
NH4Cl asam, dan pelarut lain
Sumber : Perry's Chemical Engineers' Handbook Tahun 1997

2.1.2. Bahan Baku Korektif


Bahan baku korektif adalah bahan penunjang pada bahan baku utama yang
ditambahkan apabila pada bahan baku utama komposisi dari senyawa-senyawa
oksidanya belum memenuhi persyaratan secara kualitatif dan kuantitatif. Pada
umumnya, bahan baku korektif yang digunakan mengandung oksida silika, oksida
20

alumina dan oksida besi yang diperoleh dari pasir silika (silica sand) dan pasir
besi (iron sand).
Pasir silika digunakan sebagai pengoreksi kadar SiO2 dalam tanah liat yang
tidak mencukupi. Warna pasir silika adalah abu-abu jika ada oksida logam dari
bahan organik. Pasir besi digunakan sebagai pengoreksi kadar (Fe2O3) yang
biasanya dalam bahan baku utama masih kurang. Pasir besi biasanya ditambahkan
dalam jumlah yang sedikit, yaitu berkisar pada 1-2 % (Deolakar, 2009) Sifat-sifat
fisika pasir silika dan pasir besi dapat dilihat pada Tabel 2.2.
Tabel 2. 2 Sifat-sifat Fisika Bahan Baku Penunjang
No. Sifat-sifat Bahan Pasir Silika Pasir Besi
1 Rumus Kimia SiO2 Fe2O3
2 Berat Molekul 60,06 g/mol 159,70 g/mol
3 Densitas 1,32 g/mL 5,12 g/mL
4 Titik Leleh 1710°C Terurai pada 1560°C
5 Titik Didih 2230°C −
6 Warna Coklat keputihan Hitam
7 Kelarutan Tidak larut dalam air, Tidak larut dalam air,
tetapi larut dalam HF tetapi larut dalam HCl
Sumber : Perry's Chemical Engineers' Handbook Tahun 1997

2.1.3. Bahan Baku Tambahan


Bahan baku tambahan adalah bahan baku yang ditambahkan pada terak atau
clinker untuk memperbaiki sifat-sifat tertentu dari semen yang dihasilkan. Bahan
baku tambahan yang biasa digunakan untuk mengatur waktu pengikatan semen
adalah gypsum. Gypsum (CaSO4.2H2O) berfungsi sebagai retarder atau bahan
yang dapat memperlambat proses pengerasan dari semen. Hilangnya kristal air
pada gypsum menyebabkan hilangnya atau berkurangnya sifat gypsum sebagai
retarder. Sifat-sifat fisika dari gypsum dapat dilihat pada Tabel 2.3.
Tabel 2. 3 Sifat-sifat Fisika Gypsum
No. Sifat-sifat Bahan Keterangan
1 Rumus Kimia CaSO4.2H2O
2 Berat Molekul 172,17 g/mol
3 Densitas 2,32 g/mL
4 Titik Leleh 128°C
5 Titik Didih 163°C
6 Warna Putih
7 Kelarutan Larut dalam air dan gliseril
Sumber : Perry's Chemical Engineers' Handbook Tahun 1997
21

2.2. Diskripsi Proses


Secara garis besar, proses pembuatan semen baik semen jenis OPC dan PCC
di PT Semen Baturaja (Persero) Tbk terbagi atas 5 tahap. Kelima tahap tersebut
adalah raw material preparation, raw meal preparation, coal preparation dan
clinker burning, cement grinding, dan terakhir cement packing. Penjelasan umum
setiap tahapan prosesnya akan dijelaskan pada sub bab berikut.
2.2.1. Raw Material Preparation
Aktivitas pada tahap ini terbagi menjadi tiga yaitu penambangan, pemecahan
batu kapur dan tanah liat, penyimpanan raw material ke dalam storage.
Penambangan bertujuan untuk mengambil bahan mentah untuk pembuatan semen
yaitu batu kapur, tanah liat, pasir besi, dan pasir silika. PT Semen Baturaja
(Persero) Tbk hanya melakukan penambangan batu kapur dan tanah liat. Pasir
besi didapatkan dengan membeli dari perusahaan pengembang metalurgi,
sedangkan pasir silika juga dibeli dari penambangan rakyat. Penambangan batu
kapur berlokasi di daerah Pusar sekitar 1400 m ke arah barat daya pabrik, dengan
luas area penambangan adalah 55 ha. Metode yang dipakai untuk penambangan
adalah metode terbuka, dimana deposit batu kapur yang terletak pada daerah
mendatar digali ke arah bawah, sehingga membuat cekungan kawah. Metode ini
juga dikenal dengan istilah pit type quarry.
Aktifitas penambangan batu kapur meliputi clearing, stripping, blasting,
loading, unloading, seperti yang ditunjukkan oleh Gambar 2.1. Clearing adalah
kegiatan pembersihan semak belukar maupun bongkahan batu di atas lokasi yang
menghalangi penambangan. Tanah humus pada bagian atas harus ditimbun pada
bagian tertentu dan ditanami rumput supaya tidak erosi, dan dapat dipergunakan
lagi untuk kepentingan reklamasi. Proses clearing dilaksanakan dengan alat berat
berupa bulldozer, lalu digali menggunakan excavator, dan diangkut dengan dump
truck.
22

Gambar 2. 1 Aktivitas Penambangan Batu Kapur

Stripping over burden dilakukan untuk membuang lapisan tanah tertutup agar
lapisan batu kapur dapat terbuka untuk penambangan. Drilling dilakukan untuk
menyiapkan lubang ledak pada daerah penambangan, prosesnya menggunakan
peralatan crawller rock drill ingersoll rand dengan portable compressor kapasitas
750 cfm. Setelah proses drilling selesai, dilanjutkan dengan pengisian bahan
peledak ke dalam lubang. Proses selanjutnya adalah blasting (peledakan) yang
bertujuan untuk mempermudah proses eksploitasi. Peledakan juga dilakukan bila
alat berat pengeruk tidak mampu melaksanakan tugasnya karena kerasnya batu
kapur. Batu kapur hasil peledakan dan pengerukan selanjutnya dimuat
menggunakan excavator ke dump truck untuk dibawa ke crusher untuk diproses
lebih lanjut.
Gambar 2.2 menunjukkan aktivitas penambangan tanah liat. Penambangan
tanah liat berlokasi di dekat penambangan batu kapur yang memiliki luas
penambangan sekitar 27,4 ha dengan sistem penggalian dari atas.
23

Gambar 2. 2 Aktifitas Penambangan Tanah Liat


Gambar 2.2 di atas menunjukkan aktivitas penambangan tanah liat.
Penambangan tanah liat berlokasi di dekat penambangan batu kapur yang
memiliki luas penambangan sekitar 27,4 ha dengan sistem penggalian dari atas.
Aktifitas penambangan tanah liat hampir sama dengan penambangan batu kapur,
yang membedakan adalah tidak adanya proses drilling dan blasting. Hal ini
disebabkan oleh karakteristik tanah liat yang tidak keras dan mampu dikerjakan
hanya dengan menggunakan berat.
Bahan baku dari penambangan kemudian diproses menuju tahap pemecahan
(crushing) menjadi ukuran yang lebih kecil sesuai ukuran standar untuk proses
penggilingan bahan mentah. Proses pemecahan batu kapur dan tanah liat
dilakukan secara terpisah menggunakan alat yang dinamakan single shaft hammer
crusher untuk pemecahan batu kapur dan double roller crusher untuk tanah liat.

Gambar 2. 3 Alur Penyiapan Batu Kapur

Batu kapur yang diangkut menggunakan dump truck dengan ukuran maksimal
1,2 x 1,2 m x 1,2 m dimasukkan ke dalam receiving hopper di dekat area crusher.
24

Muatan batu kapur akan di unloading perlahan ke dalam hopper dan jatuh di
apron conveyor. Kecepatan aliran material yang diangkut oleh alat tersebut diatur
agar sesuai kebutuhan crusher. Kelebihan muatan yang tidak mampu ditampung
apron conveyor akan jatuh ke drag chain, untuk dimasukan kembali ke dalam
single shaft hammer crusher berkapasitas 650 tph. Alur penyiapan batu kapur
diperlihatkan oleh Gambar 2.3.
Setelah diangkut oleh apron conveyor, material akan dijatuhkan ke atas
hammer, lalu terpelanting ke depan searah putaran hammer, membentur dinding
impak, dan disusul pukulan hammer yang kontinyu dan bergantian. Proses
pengecilan ukuran batu kapur berasal dari impak hammer ke batu kapur. Impak
dari hammer berasal dari putaran hammer rotor yang menciptakan gaya
sentrifugal dan gravitasi. Resultannya, membuat hammer berputar pada as-nya
dan menghasilkan impak besar yang akan menghancurkan limestone di depannya.
Material yang sudah pecah akan jatuh diatas saringan atau grate plate, lalu lolos
karena desakan material diatasnya. Material yang lolos tersebut dinamakan
produk dengan ukuran sekitar 80 mm, lalu diangkut menggunakan transport belt
conveyor menuju storage pile seperti pada Gambar 2.4.

Gambar 2. 4 Stockpile Batu Kapur

Produk yang akan disimpan dalam storage pile akan mengalami proses
prehomogenisasi agar tidak terjadi fluktuasi komposisi kimia dari batu kapur yang
beragam, dan didapatkan komposisi bahan baku yang homogen yang membuat
operasi menjadi lebih stabil. Mekanismenya, produk yang diangkut dari area
crusher, dijatuhkan dari belt untuk disusun dalam stock pile membentuk suatu
piramida. Setiap layer yang menyusun piramida dari bawah ke atas, mewakili
25

hasil penggilingan batu kapur per jam. Pengambilan produk dilakukan dari depan
dengan cara digaruk, dengan alat yang dinamakan rake car. Rake car bergerak
maju dan mundur dengan gerakan memotong pile. Sehingga tumpukan produk
yang tersusun atas pengilingan per-jam dari crusher, akan terkikis dan jatuh ke
bawah dan bercampur. Produk yang jatuh akan digaruk oleh oleh chain scrapper
yang membawanya menuju belt, berlanjut ke belt, lalu ditransportkan ke belt, dan
berakhir di bin limestone yang berkapasitas max 540 ton.

Gambar 2. 5 Alur Penyiapan Tanah Liat

Gambar 2.5 di atas menunjukan tahapan penyediaan tanah liat. Tanah liat dari
hasil penambangan didumping masuk ke dalam clay hopper, lalu jatuh ke apron
feeder menuju roller crusher. Roller crusher memiliki dua roller yaitu slow axle
roller dan fast axle roller, yang berputar berlawanan arah agar material dapat
masuk untuk dihancurkan. Umpan tanah liat dengan ukuran maksimum 500 mm
akan dihancurkan hingga mencapai ukuran maksimum 35 mm, menggunakan
komponen pada roller crusher yang dinamakan teeth. Teeth pada roller crusher
berjumlah 120 buah yang dipasang bersilangan supaya tidak bersentuhan saat
roller beroperasi.
Tanah liat yang sudah dihancurkan ditransportkan menggunakan belt conveyor
dan akhirnya disimpan dalam clay stockpile berkapasitas 2 x 5000 ton. Sama
halnya dengan batu kapur, saat disimpan dalam stockpile, tanah liat juga
26

dikenakan prehomogenisasi. Prehomogenisasi dimaksudkan untuk mendapatkan


bahan baku tanah liat yang homogen, agar terhindar dari fluktuasi komposisi
kimia tanah liat. Akhir yang diharapkan adalah operasi menjadi lebih stabil.
Mekanismenya produk tanah liat yang sudah dihancurkan, disusun layer per-layer
dengan metode widrow stacking seperti yang terlihat di Gambar 2.6.

Gambar 2. 6 Penyusunan Tanah Liat Berpola Widrow Stacking dan Stock Pile
Tanah Liat

Pengambilan tanah liat dilakukan dengan bucket excavator. Bucket excavator


bergerak mundur saat beroperasi sambil menggaruk tumpukan tanah liat kekiri
dan kanan. Ke dalaman galian bucket towing diatur manual dengan mengatur
kemiringan boom, atau mengatur timer transversing. Tanah liat hasil garukan
bucket excavator, lalu ditransportkan menggunakan belt discharge ke belt,
Selanjutnya diumpankan berturut-turut ke, sampai ke belt dosimat. Lain halnya
dengan batu kapur, tanah liat tidak disimpan dalam suatu bin, dikarenakan oleh
kadar airnya yang masih tinggi sehingga berpotensi menyebabkan blocking (buntu
saluran). Sebagai ganti bin, dipakailah shuttle belt yaitu belt yang panjang tempat
menampung tanah liat, yang dapat diatur seberapa banyak luaran yang
diangkutnya menggunakan sebuah kereta yang bergerak maju dan mundur.
Selanjutnya tanah liat akan digabungkan dengan batu kapur pada belt feeding dan
seterusnya masuk ke dalam mill.
27

Gambar 2. 7 Alur Penyiapan Bahan Korektif

Pada Gambar 2.7 di atas menunjukkan alur penyiapan bahan korektif . Pasir
besi dan pasir silika disimpan dalam storage tersendiri, dan diangkut ke dalam
sistem menggunakan loader. Material yang didumping akan masuk ke dalam
screening ukuran 20 x 20 cm, yang lolos akan ditransportkan menggunakan belt
seperti yang ditujukkan oleh Gambar 2.8, lalu ditransportasikan ke dalam bin
pasir silika dan bin pasir besi.

Gambar 2. 8 Transportasi Bahan Korektif

2.2.2. Raw Meal Preparation


Pada proses ini batu kapur dikeluarkan dari bin menuju apron dosimat feeder
yang mengatur proporsinya sesuai yang sudah ditentukan dari laboratorium,
menuju belt feeding. Sedangkan tanah liat tidak dikeluarkan dari bin, melainkan
langsung diumpankan dari belt menuju belt. Muatan pasir besi dan silika
dikeluarkan dari bin dengan proporsi tertentu, lalu ditimbang oleh weigher pada
28

belt dosimat pasir silika dan pasir besi. Selanjutnya muatan diantarkan
menggunakan belt menuju belt feeding. Empat komponen tersebut (mill feed)
yang sudah ditentukan porsi nya baik batu kapur, tanah liat, pasir silika, dan pasir
besi, ditransportasikan ke satu belt yaitu belt feeding . Ketika ditransportasikan,
mill feed dilewatkan pada magnet separator untuk memisahkan logam dari
material. Logam akan tertarik oleh magnet, lalu terpisah dari mill feed, dan
dibuang dari sistem. Alur prosesnya dapat dilihat pada Gambar 2.9 berikut :

Gambar 2. 9 Alur Material Mill Feed

Selanjutnya mill feed akan dilewatkan pada metal detector, yang memiliki
fungsi yang mirip dengan alat sebelumnya yaitu untuk membuang logam. Letak
perbedaan diantara kedua alat tersebut adalah, jika logam yang terdeteksi sensor,
metal detector akan mengirim sinyal untuk membuang muatan mill feed keluar
dari sistem. Sedangkan magnet separator memisahkan logam tanpa membuang
muatan mill feed dari sistem. Reject mill feed akan dilewatkan ke two way chute
damper yang mengarahkan muatan ke reject bin. Mill feed yang lolos dari metal
detector akan langsung diumpankan ke vertical raw mill masuk melalui feed gate.
29

Vertical raw mill berfungsi sebagai tempat penggilingan dan penghalusan


material dari bahan baku menjadi bahan mentah pembuatan semen. Hasil olahan
dari alat ini disebut dengan raw meal. Mill feed akan masuk mill melalui feed
gate, yang juga memiliki fungsi sebagai shut off dari udara luar agar tidak masuk
mill ketika beroperasi. Selanjutnya mill feed diumpankan ke center table melalui
chute, lalu mill feed digiling oleh roller dengan putaran table sambil dikeringkan
oleh hot gas. Mill feed yang over flow di tepi table akan jatuh melalui louvre ring
ke dasar mill, kemudian disapu via scrapper menuju vibrating feeder keluar mill.
Raw meal powder di dasar table terbawa hot gas menuju separator (classifier).
Sedangkan coarse raw meal, via reject cone, kembali ke mill untuk kembali di
grinding.
Di dalam vertical mill terjadi empat proses yang berlangsung secara simultan,
yaitu penggilingan, pengeringan, transport, dan separasi. Proses penggilingan
dimulai ketika mill feed yang masuk akan langsung jatuh di centre table yang
berputar dan bergerak ke arah luar centre table karena gaya sentrifugal table. Pada
saat itu material digiling dengan empat roller mill sembari dipanasi gas panas
yang masuk ke mill melewati nozzle ring, dan terjadilah proses pengeringan
hingga kadar air bahan baku kurang dari 1%. Hot gas berasal dari gas sisa
pendinginan clinker di grate cooler, dan mengalir secara terus menerus selama
mill beroperasi. Selain itu hot gas juga dapat dibangkitkan dari heat generator
yang dioperasikan pada awal mill beroperasi (ketika belum ada bahan baku).
Selama digiling, Sebagian material yang sudah halus sembari dipanaskan gas
panas akan terangkat karena dihisap bersamaan dengan gas panas oleh mill fan.
Terjadilah proses transport, yaitu perpindahan material dari permukaan table
menuju sistem berikutnya. Material yang terhisap mill fan akan melewati classifer
berputar. Clasifier memainkan peranan untuk menentukan final separasi material
halus dan kasar. Prinsip kerja classifier adalah menghambat aliran udara, dimana
saat kecepatan putaran classifier tinggi, daya angkat produk menjadi rendah.
Sehingga, material yang terhisap dan lolos classifier itulah yang halus. Sementara
yang tidak terhisap, (masih kasar) akan jatuh kembali ke table, dan giling kembali
bersama fresh feed. Kehalusan yang disyaratkan berkisar 200 μm. Kehalusan
produk dapat diatur dengan mengatur putaran classifier. Semakin tinggi putaran
30

classifier, material yang terseleksi akan semakin halus, begitupun sebaliknya.


Selanjutnya produk bersama gas panas ditransportkan ke multicyclone.
Cyclone yang terpasang pada multicyclone adalah empat buah, yang berfungsi
untuk memisahkan fine raw meal dengan gas panas menggunakan gaya
sentrifugal. Outlet dari multicyclone ada dua yaitu bottom dan top product.
Bottom product yang keluar dari multicyclone adalah raw meal yang kemudian
ditransportkan menuju Continous Flow Silo (CF-Silo). Di dalam CF-Silo terjadi
proses homogenisasi pada timbunan raw meal, dan disimpan sebagai umpan kiln.
Disamping itu, top product adalah uap air, gas panas, serta sebagian kecil fine raw
meal yang tidak sanggup diseparasi menggunakan multicyclone. Luaran tersebut
akan diseparasi kembali hingga hanya menyisakan uap air dan gas panas saja,
melalui alat yang dinamakan electrostatic precipitator (EP). Mekanismenya,
elektroda di dalam EP akan menangkap fine raw meal yang tersisa menggunakan
listrik statis, sehingga hanya menyisakan gas panas bercampur uap air saja. Fine
raw meal dari EP akan dikembalikan lagi ke CF-Silo, sedangkan gas panas dan
uap air ditransportkan ke cerobong (stack).
2.2.3. Coal Preparation & Clinker Burning

Gambar 2. 10 Alur Proses Penggilingan Batubara Dan Pembakaran Clinker

Seperti yang terlihat pada Gambar 2.10, garis hitam adalah diagram proses
penggilingan batubara yang dipakai untuk proses pembakaran raw meal menjadi
31

clinker. Proses diawali dengan pemanasan sistem (heating up), yang bertujuan
untuk mempersiapkan kondisi operasi coal mill dengan cara memasukkan gas
panas dari buangan kiln hingga mencapai temperatur tertentu dan harus dilakukan
dengan benar supaya tidak membahayakan sistem sebelum dimasuki bahan yang
mudah terbakar yaitu batubara. Peralatan yang dipakai, dan prinsip kerjanya sama
mirip dengan vertical raw mill, namun pada coal mill dinamakan atox mill.
Setelah kondisi panas memenuhi persyaratan, segera raw coal dimasukkan ke
dalam coal mill melalui twin paddle. Di dalam coal mill, raw coal masuk dan
digiling sembari dipanasi, di antara table dan roller sampai membentuk ketebalan
tertentu. Fine coal mill akan terangkat naik karena hisapan mill fan. Setelah itu
hasil penggilingan dari atox mill, dihisap oleh fan menuju jet pulse filter untuk
dipisahkan antara fine coal dari gas panas. Fine coal ditangkap oleh bag filter
kemudian disimpan dalam bin sebagai produk coal mill yang siap untuk
digunakan pada proses pembakaran, sedangkan gas panasnya dibuang melalui
stack. Agar sistem tetap bertekanan negatif dan tidak adanya batubara yang
berhamburan, maka digunakan jet pulse dengan ukuran kecil. Keberhasilan proses
penggilingan batubara selain dari segi kuantitas juga ditinjau dari kualitasnya,
yaitu kadar air dan kehalusan fine coal produk coal mill standar air maksimal 9%,
agar tidak merugikan proses pembakaran, sedangkan kehalusan batubara dibatasi
maksimum 20% yang lolos ayakan 90μm.
Kebutuhan batubara yang dialirkan ke kiln maupun calsiner diatur dengan
control system. Fine coal dari bin akan turun ke pfister dengan bantuan udara dari
aerasi untuk ditimbang sesuai dengan kebutuhan. Selanjutnya keluar melalui
pipa`kemudian dihembuskan oleh udara bertekanan tinggi dari blower menuju
kiln burner atau calsiner burner untuk proses pembakaran. Prinsip utama yang
paling penting adalah stabilitas suplai batubara dari pfitser ke burner sangat
berpengaruh terhadap proses pembakaran di kiln dan calsiner.
Raw meal yang telah dihomogenisasi di dalam CF Silo, dikeluarkan dan
dengan menggunakan serangkaian peralatan transport. Untuk menjadi clinker, raw
meal akan dilewatkan pada kiln system seperti yang ditunjukkan oleh Gambar
2.11. Raw meal diumpankan ke puncak peralatan yang dinamakan preheater.
Peralatan ini terdiri dari 2 unit (2 string), yang masing-masing string terdiri dari 4
32

cyclone, dan salah satu string dilengkapi dengan burner precalsiner (secondary
burner).

Gambar 2. 11 Kiln System

Mulai dari siklon di bagian paling atas hingga ke bagian bawah, raw meal di
dalam preheater terjadi beberapa proses. Pertama adalah, pemanasan awal
meliputi proses pengeringan yaitu penguapan uap air dibahan pada 200°C. hingga
raw meal bergerak turun ke siklon di bawahnya, dimana terus dipanaskan dengan
temperatur yang lebih tinggi. Kemudian pada siklon bagian bawah didekat kiln
feed, terjadi proses kalsinasi yaitu dekomposisi karbonat menjadi CaO dan MgO
serta CO2 pada suhu 600-800°C. Dengan adanya preheater dua string dan
dilengkapi dengan burner precalsiner, maka akan terjadi peningkatan atau
percepatan proses kalsinasi (sebagian besar proses kalsinasi sudah terjadi di
preheater) dan beban kalsinasi di dalam kiln menjadi lebih ringan atau berkurang.
Panas yang disuplay ke preheater untuk melakukan proses tersebut berasal dari
panas buangan kiln, yang ditarik oleh fan.
Output raw meal dari preheater diumpankan ke dalam kiln (tanur putar), untuk
dibakar hingga suhu lebih dari 1450°C. Seperti yang terlihat pada gambar 2.11,
kiln berbentuk silinder berdiameter 4,5 m, dengan panjang 76 m, mempunyai
kecepatan putar 1,5-2 rpm. Bahan bakar untuk pembakaran di dalam kiln adalah
fine coal yang disuplai dari pfister, lalu solar sebagai bahan bakar pada saat start
33

up pembakaran kiln. Selama di dalam kiln, raw meal dikenai proses: pengeringan,
dehidrasi, dekomposisi dan kalsinasi, klinkerisasi.
Pengeringan adalah proses penguapan air yang masih terkandung dalam
umpan baku. Terjadi pada saat umpan baku kontak dengan gas panas pada
temperatur sampai 200 ºC. Kemudian terjadi dehidrasi yaitu proses terjadinya
pelepasan air kristal (combined water) yang terikat secara molekuler di dalam
mineral-mineral umpan baku. Proses ini terjadi temperatur 100-400ºC . Kondisi
ini menyebabkan struktur mineral menjadi tidak stabil dan akan terurai pada
temperatur 400-900ºC. Selanjutnya dekomposisi adalah proses penguraian atau
pemecahan mineral-mineral umpan baku menjadi oksida-oksida yang relatif
terjadi pada temperatur 400-900ºC. Terakhir adalah klinkerisasi adalah proses
pembentukan senyawa–senyawa penyusun semen. Apabila dalam klinkerisasi
terdapat CaO yang belum bereaksi dengan oksida lainnya, maka akan terbentuk
CaO bebas pada clinker yang bisa dijadikan indikator apakah pembentukan
klinker berjalan baik atau tidak. Semakin banyak CaO yang bebas, maka proses
dikatakan berjalan tidak baik. Proses klinkerisasi dalam kiln terbagi dalam
beberapa zona yaitu :
 Calcining Zone
Pada zona ini raw meal dari preheater akan mengalami pemanasan hingga
1200 ºC dan proses yang terjadi adalah proses penguraian secara
maksimum dari unsur–unsur reaktif yang terkandung dalam material
masih berbentuk bubuk dan bagian dalam kiln digunakan lapisan alumina
bricks.
 Transition Zone
Pada zona ini material mengalami perubahan fase dari padat ke cair
dengan temperature operasi sekitar 1300ºC. Pada zona ini juga terjadi
reaksi antara CaO dengan senyawa SiO 2, Al203 dan Fe2O3. Daerah kiln ini
dilindungi oleh lapisan high alumina bricks.
 Sintering Zone
Pada zona ini material mendekati sumber panas yang terpancar dari burner.
Pemanasan terjadi hingga 1500 ºC. proses yang terjadi adalah pelelehan
dari semua material dan reaksi maksimum antara CaO dengan senyawa
SiO2, Al203 dan Fe2O3. Senyawa Mineral ini membentuk senyawa utama
34

klinker yaitu C3S, C2S, C3A dan C4AF. Reaksi ini disebut reaksi
klinkerisasi.
 Cooling Zone
Material yang berbentuk cair di sintering zone akan mengalir ke cooling
zone dan mengalami perubahan fase material menjauhi gun burner.
Temperature akan turun hingga mencapai 1200ºC. Karena adanya gerakan
rotasi kiln, maka sebagian besar material akan berbentuk granular atau
butiran.
Selanjutnya lelehan klinker panas (output) dari kiln, didinginkan secara
mendadak (quenching), yang prosesnya terjadi di dalam alat yang dinamakan
grate cooler. Quenching dilakukan untuk menghasilkan clinker yang rapuh
sehingga memudahkan penggilingan clinker. Kemudian untuk melindungi alat
transport dari tingginya temperature klinker, serta memanfaatkan panas untuk
disuplai ke preheater, vertical mill, coal mill. Cooler jenis ini banyak
dikembangkan di pabrik semen sekarang ini, salah satunya di PT Semen Baturaja
(Persero) Tbk karena dapat menurunkan temperatur klinker sampai 50˚C, dan
kapasitas kiln bisa ditingkatkan. Proses pendinginannya menggunakan sistem
cross current dengan beberapa buah fan, panjang dan jumlah kompartemen nya
dari grate cooler tergantung kepada kapasitas kiln. Lebih dari 50 % udara sisa
pendinginan digunakan untuk udara sekunder dari pembakaran dan sebagian lagi
dipakai untuk udara tersier pada sistem precalciner dan dikirim untuk
pengeringan di vertical raw mill yang ditransfer melalui booster fan yang telah
disaring antara debu dan udara panas melalui multicyclone. Sisa dari pemanfaatan
udara panas dibuang melalui penyaringan EP yang ditarik melalui EP fan lalu
dibuang ke stack.
Dalam konstruksinya pada masing-masing kompartemen grate cooler, di
lantainya terdapat grate plate yang berbentuk lubang-lubang untuk meniupkan
udara dari fan. Grate plate mempunyai dua tipe yaitu moving grate plate yang
berfungsi untuk mentransport atau memindahkan klinker, dan yang lainnya fixed.
Grate plate bergerak maju dan mundur agar clinker panas dapat mengalir. Setelah
keluar dari grate cooler, terdapat klinker crusher untuk memecahkan clinker yang
berukuran besar menjadi lebih kecil, sehingga memudahkan untuk diproses lebih
35

lanjut. Selanjutnya klinker diangkut menggunakan apron conveyor dan dikirim


menuju silo. Di sepanjang kiln system terjadi berbagai macam reaksi kimia dan
proses fisika yang dipengaruhi oleh suhu operasi. Tahapan proses yang terjadi
pada kiln system dapat dilihat pada Tabel 2.4.
Tabel 2. 4 Tahapan Proses yang Terjadi Pada Kiln System
No. Suhu (oC) Proses Reaksi Kimia
1 Dibawah 100 Pelepasan air bebas -
2 100-400 Pelepasan air terikat -

3 400-750 Dekomposisi tanah Al4(OH).8Si4O10→2 (Al2O3.2SiO2) +


liat 4H2O
4 600-900 Dekomposisi
metakaolin
membentuk Al2O3.2SiO2→Al2O3 + 2SiO2
campuran oksida
yang reaktif
5 600-1000 Dekomposisi
limestone dan CaCO3→CaO + CO2
pembentukan CS 3CaO + 2SiO2 + Al2O3→2CS + CA
dan CA
6 800-1300 Reaksi CaO (C)
CS + C→C2S
dengan
2C + S→C2S
CS dan CA serta
CA + 2C→C3A
pembentukan C4AF
CA + 3C + F→C4AF
dari Fe2O3 (F)
7 1250-1450 Reaksi lanjut CaO
C2S + C→C3S
dengan C2S
8 1450-100 Pendinginan terak di -
grate cooler

2.2.4. Cement Grinding


Clinker yang telah disimpan di dalam silo kemudian dikeluarkan kembali
untuk dicampur dengan gypsum, lalu digiling untuk menjadi semen. Peralatan
yang dipakai untuk menggiling clinker menjadi semen di site Baturaja ada dua.
Alat pertama adalah tube mill satu kompartemen yang dilengkapi hydraulic roller
press (HRP), dan yang kedua adalah vertical cement mill hasil dari proyek
pembangunan cement mill II dan packer pada tahun 2011. Tube mill yang
digunakan merupakan hasil modifikasi, oleh karena itu tube mill di pabrik
Baturaja dilengkapi dengan HRP dan hanya memiliki satu chamber.
36

Gambar 2. 12 Alur Penggilingan Semen Dengan Tube Mill

Alur proses material menuju cement mill I atau tube mill dapat dilihat pada
gambar 2.12 di atas. Untuk persiapan operasinya, terlebih dahulu dilakukan
pengisian bahan-bahan baku pembuatan semen, yaitu clinker, gypsum, dan bahan
ketiga. Pengisian klinker diambil dari bin clinker, yang di ambil dari silo clinker.
Pengisian bin gypsum yang di ambil dari bin utama gypsum di area loading atau
bisa juga diisikan melalui hopper, termasuk juga pengisian bin bahan ketiga yaitu
batu kapur. Kemudian klinker, gypsum dan batu kapur ditakar pada perbandingan
tertentu menggunakan dosimat feeder, dimana komposisinya diperoleh dari
analisa laboratorium. Pada tahap inilah ditentukan semen jenis apakah yang akan
dibuat. Selanjutnya seluruh material diumpankan masuk ke dalam HRP
berkapasitas 75 ton per jam, dengan tujuan untuk pre-grinding material (coarse
grinding) sebelum masuk ke dalam tube mill. Tujuan lainnya dilakukan pre-
grinding adalah memudahkan penggilingan di tube mill dan efisiensi penggilingan
menjadi lebih baik. Material yang telah tergiling (semen), kemudian akan dihisap
grit separator fan masuk ke dalam grit separator. Semen yang sudah lebih halus
akan keluar bersama udara dari grit separator menuju cyclone, sedangkan yang
masih kasar diumpankan kembali dari grit separator masuk ke HRP kembali.
Semen beserta udara akan dipisahkan di dalam cyclone, lalu bottom product dari
37

cyclone yaitu debu semen masuk ke dalam tube mill untuk dilakukan fine
grinding sampai ukuran yang distandarkan
Untuk mencapai kehalusan yang diinginkan, semen di dalam tube mill
ditumbuk dan digerus menggunakan steel ball sembari tube mill diputar. Semen
yang sudah halus akan terangkat dari tube mill lalu lolos melewati diafragma
(penyaring) di dalam tube mill, karena adanya hisapan fan. Selanjutnya semen
diumpankan ke dalam sepax separator untuk dipisahkan kembali dari partikel
yang masih kasar. Partikel yang masih kasar akan diumpankan balik ke tube mill,
dan yang halus bersama dengan udara diteruskan menuju filtax jet pulse filter.
Pada alat inilah penyaringan akhir dilakukan, semen dipisahkan dari udara, dan
semen kemudian disimpan ke dalam silo.
Peralatan kedua untuk penggilingan semen di pabrik Baturaja adalah vertical
cement mill berkapasitas 125 ton per jam. Konstruksi alat ini mirip dengan
peralatan yang dipakai untuk penggilingan bahan mentah. Penggunaan vertical
mill sendiri memiliki banyak keunggulan dibandingkan HRP dan tube mill. Salah
satu letak keunggulannya adalah power consumption-nya lebih rendah, dan
kehalusan produk lebih fleksibel untuk disetting. Untuk pabrik Panjang dan
Palembang, peralatan yang dipakai untuk menggiling klinker menjadi semen
berbeda dengan Pabrik Baturaja. Peralatannya adalah tube mill dengan dua
kompartemen berkapasitas 50 ton per jam. Penggunaan HRP di pabrik Baturaja,
menggantikan peran dari salah satu kompartemen yang terdapat di tube mill
Pabrik Panjang dan Lampung. Disamping itu kombinasi HRP dan tube mill satu
kompartemen, jauh lebih efisien, dan lebih besar kapasitasnya dibanding tube mill
dua kompartemen.
Kompartemen pertama pada tube mill berfungsi untuk coarse grinding, supaya
klinker hancur menjadi pecahan-pecahan kecil. Sedangkan kompartemen kedua
adalah fine grinding, yaitu penghalusan material hingga blaine yang ditentukan.
Antara kompartemen satu dan dua berisikan steel ball yang berbeda ukurannya.
Kompartemen pertama berisi steel ball berdiameter 60-90 mm, dan kedua
berdiameter lebih kecil dari 40 mm.
Pada cement mill II, material yang akan digiling masuk ke dalam mill melalui
air gate (rotary feeder) melalui feeding chute yang ada di clasifier. Dengan gaya
38

gravitasi, material ini jatuh di tengah table yang diputar oleh motor dan gearbox.
Gaya sentrifugasi yang bekerja pada table mengarahkan material ke roller. Roller
di Vertical Cement Mill ada dua jenis, yaitu : master roller (M roller) dan support
roller (S roller). Material yang telah mencapai kehalusan yang diinginkan keluar
dari mill bersama dengan udara melalui classifier.

Gambar 2. 13 Alur Penggilingan Semen Dengan Vertical Roller Mill

Material yang halus tadi masuk ke main filter untuk dipisahkan dengan udara
pembawanya. Material yang telah terpisah akan ditransportasikan oleh fluxo slide
menuju cement silo. Material yang masih kasar dikembalikan ke table melalui
cone pengarah untuk dihaluskan kembali. Material yang tidak tergiling oleh roller
dan tidak terbawa oleh aliran udara jatuh ke ring duct lewat louvre ring yang ada
di sekeliling table, kemudian masuk ke reject hopper untuk dimasukkan ke dalam
sistem penanganan material reject. Untuk lebih jelasnya, alur penggilingan semen
di cemen mill II dapat dilihat pada Gambar 2.13.
2.2.5. Cement Packing
Proses terakhir dari produksi semen di PT Semen Baturaja (peyaitu cement
packing. Semen dari dalam silo semen, dibawa ke unit pengantongan. Kemudian
dikemas dalam sak 50 kg, atau 1 ton (big bag), bahkan bisa juga langsung di
pasarkan melalui mobil kapsul yang biasanya permintaan seperti ini dipakai oleh
unit pengelola proyek yang sedang dibangun. Alur prosesnya ditunjukkan oleh
Gambar 2.14, semen dari dalam silo dikeluarkan, lalu dibawa menggunakan
39

peralatan transport menuju vibrating screen. Tujuannya adalah memastikan tidak


adanya benda asing yang ikut terbawa ke semen yang akan dijual.

Gambar 2. 14 Alur Pengantongan Semen

Selanjutnya semen yang sudah bebas benda asing dimasukan ke dalam bin, lalu
diumpankan ke rotary packer untuk dikemas dalam bentuk semen sak 50 kg.
Semen sak ditransportasikan menggunakan belt conveyor menuju truk pengangkut
untuk membawa semen sak ke pasaran. Untuk semen big-bag, pengisiannya
langsung dari bin khusus yang sudah disediakan untuk mengisi kantong ukuran 1
ton. Sedangkan untuk truk kapsul, pengisian semen langsung dari silo semen,
menggunakan telescopic ke dalam truk kapsul.
40

2.3. Diagram Alir Proses


2.3.1. Raw Meal Grinding & Drying Plant

2.3.2. Clinker Plant


41

2.3.3. Cement Plant


42

2.3.4. Cement Packer


43

2.3.5. Loading & Unloading


44

Anda mungkin juga menyukai