Anda di halaman 1dari 22

BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Perkembangan Sosial dan Moral


Perkembangan merupakan suatu proses perubahan ke arah yang lebih maju, lebih
dewasa. Sebagian ahli menganggap perkembangan sebagai proses yang berbeda dari
pertumbuhan. Perkembangan merupakan suatu proses perubahan kualitatif yang mengacu
pada fungsi organ-oragan fisik. Perkembangan akan terus berlanjut hingga manusia
mengakhiri hayatnya. Sementara itu pertumbuhan hanya terjadi sampai manusia mencapai
kematangan fisik (maturation). Perkembangan merupakan suatu proses pembentukan social
self (pribadi dalam masyarakat), yakni pembentukan pribadi dalam keluarga, bangsa dan
budaya.
Menurut KBBI 1999, perkembangan adalah perihal berkembang, Selanjutnya kata
perkembangan berarti mekar, terbuka atau membentang; menjadi besar, luas, dan banyak,
serta menjadi bertambah sempurna dalam hal kepribadian, pikiran, pengetahuan, dan
sebagainya[1].
Sosial adalah cara tentang bagaimana para individu saling berhubungan. Menurul
Lewis, Sosial adalah sesuatu yang dicapai, dihasilkan dan ditetapkan dalam interaksi sehari-
hari antara warga negara dan pemerintahannya. Sedangkan Moral adalah suatukebiasaan
dalam bertingkah laku yang baik.
Perkembangan sosial dan moral (social and moral development), yakni poses
perkembangan mental yang berhubungan dengan perubahan-perubahan cara anak dalam
berkomunikasi dengan objek atau orang lain, baik sebagai individu maupun sebagai
kelompok[2]. Perkembangan sosial hampir dapat dipastikan sama dengan perkembangan
moral, karena perilaku moral pada umumnya merupakan unsur yang mendasari tingkah laku
sosial. Artinya, seorang siswa akan dapat berperilaku sosial secara tepat jika ia mengetahui
norma perilaku moral yang sesuai dengan situasi sosial tersebut.

Perkembangan moral yang berhasil dapat dilihat dari perilaku moral, sedangkan yang
gagal dilihat dari perilaku amoral dan perilaku tidak bermoral. Perilaku moral adalah perilaku
yang sesuai dengan harapan masyarakat atau sosial yang berkaitan dengan tata cara,
kebiasaan atau adat-istiadat. Perilaku amoral adalah perilaku yang tidak sesuai dengan
harapan masyarakat disebabkan karena acuh atau tidak memahami aturan masyarakat.
Sedangkan perilaku tidak bermoral adalah tingkah laku yang tidak sesuai dengan harapan
masyarakat sebagai akibat dari ketidaksetujuannya terhadap aturan masyarakat atau bentuk
protes terhadap masyarakat (sengaja melanggar).

B. Tokoh Teori Perkembangan Kepribadian


1. Sigmund Freud
Freud adalah teoritisi pertama yang memusatkan perhatiannya kepada perkembangan
kepribadian dan menekankan pentingnya peran masa bayi dan masa awal pada anak dalam
membentuk karakter seseorang. Freud yakin bahwa struktur dasar kepribadian sudah
terbentuk pada usia 5 tahun dan perkembangan kepribadian sesudah usia 5 tahun sebagian
besar hanya merupakan elborasi dari struktur dasar tadi. Anehnya, Freud jarang sekali
meneliti anak secara langsung. Dia mendasari teorinya dari analisis mengeksplorasi jiwa
pasien antara lain dengan mengembalikan mereka ke pengalaman masa kanak-kanaknya.
Freud membagi perkembangan kepribadian menjadi 3 tahapan yakni tahap infatil (0 – 5
tahun), tahap laten (5 – 12 than) dan tahap genital (> 12 tahun). Tahap infatil yang paling
menentukan dalam membentuk kepribadian, terbagi menjadi 3 fase, yakni fase oral, fase anal,
dan fase falis. Perkembangan kepribadian ditentukan oleh perkembangan insting seks, yang
terkait dengan perkembangan bilogis, sehingga tahap ini disebut juga tahap seksual infatil.
Perkembangan insting seks berarti perubahan kateksis seks dan perkembangan bilogis
menyiapkan bagian tubuh untuk dipilh menjadi pusat kepuasan seksual (arogenus zone).
Pemberian nama fase-fase perkembangan infatil sesuai dengan bagian tubuh daerah erogen-
yang

menjadi kateksis seksual pada fase itu. Pada tahap laten, impuls seksual mengalami
represi, perhatian anak banyak tercurah kepada pengembangan kognitif dan keterampilan.
Baru sesudah itu, secara bilogis terjadi perkembangan puberts yang membangunkan impuls
seksual dari represinya untuk berkembang mencapai kemasakan. Pada umumnya kemasakan
kepribadian dapat dicapi pada usia 20 tahun.
2. Carl Gustav Jung
Perkembangan kepribadian menurut pandangan Carl Gustav Jung lebih lengkap
dibandingkan dengan Freud. Jung beranggapan bahwa semua peristiwa disebabkan oleh
sesuatu yang terjadi di masa lalu (mekanistik) dan kejadian sekarang ditentukan oleh tujuan
(purpose). Prinsip mekanistik akan membuat manusia menjadi sengsara karena terpenjara
oleh masa lalu. Manusia tidak bebas menentukan tujuan atau membuat rencana karena masa
lalu tidak dapat diubah. Sebaliknya, prinsip purposif memubat orang mempunyai perasan
penuh harapan, ada sesuatu yang membuat orang berjuang dan bekerja. Dari keduanya dapat
diambil sisi positifnya, kegagalan di masa lalu bukan dijadikan beban tapi dijadikan
pengalaman yang kemudian digunakan sebagai stimuli untuk belajar lebih baik dari
kegagalan tersebut. Terlepas dari kegagalan seseorang harus memiliki angan, impian dan
harapan, hal inilah yang kemudian mengarahkan pada tujuan yang akan diraih di masa
mendatang.
Tahap-tahap perkembangan menurut Jung terdiri atas 4 tahap. Hal tersebut dapat
dijelaskan sebagai berikut:
a. Usia anak (Childhood). Usia anak dibagi menjadi 3 tahap, yakni anarkis pada anak kesadaran
masaih kacau pada usia 0-6 tahun, tahap monarkis yakni anak ditandai dengan perkembangan
ego, mulai berfikir verbal dan logika pada usia 6-8 tahun, tahap dualistik yakni anak dapat
berfikir secara obyektif dan subyektif terjadi pada usia 8-12 tahun.
b. Usia Pemuda. Pemuda berjuang untuk mandiri secara fisik dan psikis dari orang tuanya.
c. Usia Pertengahan. Ditandai dengan aktualisasi diri, biasanya sudah dapat menyesuaikan diri
dengan lingkungannya, memiliki pekerjaan, kawin, punya anak dan ikut dalam kegiatan
sosial.
d. Usia Tua. Fungsi jiwa sebagian besar bekerja secara tak sadar, fikiran dan kesadaran ego
mulai tenggelam (Anonim, 2010).

3. Erik H. Erikson
Teori Erikson dikatakan sebagai salah satu teori yang sangat selektif karena didasarkan
pada tiga alasan. Alasan yang pertama, karena teorinya sangat representatif dikarenakan
memiliki kaitan atau hubungan dengan ego yang merupakan salah satu aspek yang mendekati
kepribadian manusia. Kedua, menekankan pada pentingnya perubahan yang terjadi pada
setiap tahap perkembangan dalam lingkaran kehidupan, dan yang ketiga/terakhir adalah
menggambarkan secara eksplisit mengenai usahanya dalam mengabungkan pengertian klinik
dengan sosial dan latar belakang yang dapat memberikan kekuatan/kemajuan dalam
perkembangan kepribadian didalam sebuah lingkungan.
Melalui teorinya Erikson memberikan sesuatu yang baru dalam mempelajari mengenai
perilaku manusia dan merupakan suatu pemikiran yang sangat maju guna memahami
persoalan/masalah psikologi yang dihadapi oleh manusia pada jaman modern seperti ini. Oleh
karena itu, teori Erikson banyak digunakan untuk menjelaskan kasus atau hasil penelitian
yang terkait dengan tahap perkembangan, baik anak, dewasa, maupun lansia.
Erikson dalam membentuk teorinya secara baik, sangat berkaitan erat dengan kehidupan
pribadinya dalam hal ini mengenai pertumbuhan egonya. Bagi Erikson, dinamika kepribadian
selalu diwujudkan sebagai hasil interaksi antara kebutuhan dasar biologis dan
pengungkapannya sebagai tindakan-tindakan sosial. Tampak dengan jelas bahwa yang
dimaksudkan dengan psikososial apabila istilah ini dipakai dalam kaitannya dengan
perkembangan. Secara khusus hal ini berarti bahwa tahap-tahap kehidupan seseorang dari
lahir sampai dibentuk oleh pengaruh-pengaruh sosial yang berinteraksi dengan suatu
organisme yang menjadi matang secara fisik dan psikologis. Sedangkan konsep
perkembangan yang diajukan dalam teori psikoseksual yang menyangkut tiga tahap yaitu
oral, anal, dan genital, diperluasnya menjadi delapan tahap sedemikian rupa sehingga
dimasukkannya cara-cara dalam mana hubungan sosial individu terbentuk dan sekaligus
dibentuk oleh perjuangan-perjuangan insting pada setiap tahapnya.
Pusat dari teori Erikson mengenai perkembangan ego ialah sebuah asumsi mengenai
perkembangan setiap manusia yang merupakan suatu tahap yang telah ditetapkan secara
universal dalam kehidupan setiap manusia. Proses yang terjadi dalam setiap tahap yang telah
disusun sangat berpengaruh terhadap “Epigenetic Principle” yang sudah dewasa/matang.
Dengan kata lain, Erikson mengemukakan persepsinya pada saat itu bahwa pertumbuhan
berjalan berdasarkan prinsip epigenetik. Di mana Erikson dalam teorinya mengatakan melalui
sebuah rangkaian kata yaitu:
(1) Pada dasarnya setiap perkembangan dalam kepribadian manusia mengalami keserasian dari
tahap-tahap yang telah ditetapkan sehingga pertumbuhan pada tiap individu dapat
dilihat/dibaca untuk mendorong, mengetahui, dan untuk saling mempengaruhi, dalam radius
soial yang lebih luas.
(2) Masyarakat, pada prinsipnya, juga merupakan salah satu unsur untuk memelihara saat setiap
individu yang baru memasuki lingkungan tersebut guna berinteraksi dan berusaha menjaga
serta untuk mendorong secara tepat berdasarkan dari perpindahan di dalam tahap-tahap yang
ada.

C. Tokoh Teori Perkembangan Sosial dan Moral


Terdapat aneka ragam mazhab (aliran pemikiran) yang berhubungan dengan
perkembangan sosial. Diantara yang paling menonjol dan yang layak dijadikan rujukan ialah:
aliran teori Cognitive Psychologi dengan tokoh utama Jean Piaget dan Lawrence Kohlberg
dan aliran teori Social Lerning dengan tokoh utama Albert Bandura dan R.H. Walters.
Tokoh-tokoh ini menghubungkan setiap perkembangan sosial anak dengan perilaku moral,
yakni perilaku baik dan buruk menurut norma-norma yang berlaku dalam masyarakat.

1. Jean Piaget
Perkembangan moral dapat pula dipahami melalui pendekatan kognitif. Piaget (dalam
Slavin, 2006:51) mempercayai bahwa struktur kognitif dan kemampuan kognitif anak adalah
dasar dari pengembangan moralnya. Kemampuan kognitif itulah yang kemudian akan
membantu anak untuk mengembangkan penalaran yang berkaitan dengan masalah sosial.
Ada dua metode yang di aplikasikan Piaget untuk melakukan studi mengenai
perkembangan moral anak dan remaja, yaitu:
 Melakukan observasi terhadap sejumlah anak yang bermain kelereng dan menanyai mereka
tentang aturan yang mereka ikuti.
 Melakukan tes dengan menggunakan beberapa kisah yang menceritakan perbuatan salah dan
benar yang dilakukan anak-anak, lalu meminta responden (yang teridiri atas anak dan remaja)
untuk kisah-kisah tersebut berdasarkan pertimbangan moral mereka sendiri.
Dalam permainan kelereng tersebut Piaget menemukan beberapa hal yaitu anak di bawah
usia 6 tahun pada kenyataannya belum mengenal aturan permainan, sedangkan anak mulai
usia 6 tahun sudah mengenal adanya aturan dalam permainan, meskipun mereka belum
menerapkannya dengan baik dalam permainan. Anak usia 10-12 tahun , anak-anak sudah
mampu mengikuti aturan permainan yang berlaku dan mereka sadar bahwa aturan tersebut
dibuat untuk menghindari pertikaian antar pemain.
Berdasarkan data hasil studynya, piaget menemukan dua tahap perkembangan moral
anak dan remaja yang antara tahap pertama dan kedua diselingi dengan masa transisi, yakni
usia 7-10 tahun. Seperti yang terlihat pada tabel 1, Piaget selalu mengaitkan perkembangan
moral dengan tahap perkembangan kognitif.
Tabel 1
Teori Dua Tahap Perkembangan Moral Versi Piaget[3].

Usia anak Tahap Perkembangan Ciri Khas


4 – 7 tahun Realisme moral 1. Memusatkan pada akibat-
(dalam tahap akibat perbuatan
perkembangan kognitif 2. Aturan-aturan dipandang
praoperasional) tak berubah
3. Hukkuman atas pelanggaran
dipandang bersifat otomatis
7 – 10 tahun Masa Transisi Perubahan secara bertahap
(dalam tahap ke arah pemilikan moral
perkembangan kognitif tahap kedua
konkret-operasional)
11 tahun ke atas Otonomi, realisme, dan 1. Mempertimbangkan tujuan-
resiprositas moral tujuan perilaku moral
(dalam tahap 2. Menyadari bahwa aturan
perkembangan kognitiff moral adalah kesepakatan
formal-operasional) tradisi yang dapat berubah

2. Lawrence Kohlberg
Menurut teori, Kohlberg telah menekankan bahwa perkembangan moral didasarkan
terutama pada penalaran moral dan berkembang secara bertahap. Dalam Teori Kohlberg
mendasarkan teori perkembangan moral pada prinsip-prinsip dasar hasil temuan Piaget.
Menurut Kohlberg sampai pada pandangannya setelah 20 tahun melakukan wawancara yang
unik dengan anak-anak. Dalam wawancara , anak-anak diberi serangkaian cerita dimana
tokoh-tokohnya menghadapi dilema-dilema moral. Berikut ini ialah dilema Kohlberg yang
paling populer:
” Di Eropa seorang perempuan hampir meninggal akibat sejenis kanker khusus. Ada satu
obat yang menurut dokter dapat menyelamatkannya. Obat tersebut adalah sejenis radium
yang baru-baru ini ditemukan oleh seorang apoteker di kota yang sama. Biaya membuat obat
ini sangat mahal, tetapi sang apoteker menetapkan harganya 10X lebih mahal dari biaya
pembuatan obat tersebut. Untuk pembuatan 1 dosis obat ia membayar $ 200 dan menjualnya
$2.000. Suami pasien perempuan, Heinz pergi ke setiap orang yang ia kenal untuk meminjam
uang, tetapi ia hanya dapat mengumpulkan $1.000 atau hanya setengah dari harga obat. Ia
memberitahu apoteker bahwa istrinya sedang sakit dan memohon agar apoteker bersedia
menjual obatnya lebih murah atau membolehkannya membayar setengahnya kemudian.
Tetapi sang apoteker berkata ”tidak, aku menemukan obat, dan aku harus mendapatkan uang
dari obat itu.” Heinz menjadi nekat dan membongkar toko obat itu untuk mencuri obat bagi
istrinya.”
Cerita ini adalah salah satu dari 11 cerita yang dikembangkan oleh Kohlberg untuk
menginvestigasi hakekat pemikiran moral. Setelah membaca cerita, anak-anak yang menjadi
responden menjawab serangkaian pertanyaan tentang dilema moral. Haruskah Heinz mencuri
obat? Apakah mencuri obat tersebut benar atau salah? Pataskah suami yang baik itu mencuri?
Dll. Berdasarkan penalaran-penalaran yang diberikan oleh responden dalam merespon dilema
moral ini dan dilema moral lain. Dengan adanya cerita di atas menurut Kohlberg
menyimpulkan terdapat 3 tingkat perkembangan moral, yang masing-masing ditandai oleh 2
tahap.
Konsep kunci untuk memahami perkembangan moral, khususnya teori Kohlberg , ialah
internalisasi yakni perubahan perkembangan dari perilaku yang dikendalikan secara eksternal
menjadi perilaku yang dikendalikan secara internal.

Tabel 2
Teori Enam Tahap Perkembangan Moral versi Kohlberg[4].

Tingkat Tahap Konsep Moral


Tingkat 1 Moralitas Prakonvensional 1. Anak menentukan keburukan
(usia 4-10 tahun) berdasarkan tingkat hukuman akibat
keburukan tersebut
Tahap 1: memperhatikan 2. Perilaku baik dihubungkan dengan
ketaatan dan hukum penghindraan diri dari hukuman.

Perilaku baik dihubungkan dengan


Tahap 2: memperhatikan pemuasan keinginan dan kebutuhan
pemuasan kebutuhan sendiri tanpa mempertimbangkan
kebutuhan orang lain.
Tingkat II Moralitas Kovensional 1. Anak dan remaja berperilaku sesuai
(usia 10-13 tahun) dengan aturan dan patokan moral agar
memperoleh persetujuan orang dewasa,
Tahap 3: memperhatikan citra bukan untuk menghindari hukuman
“anak baik” 2. Perbuatan baik dan buruk dinilai
berdasarkan tujuannya. Jadi, ada
perkembangan kesadaran terhadap
perlunya aturan.

1. Anak dan remaja memiliki sikap pasti


Tahap 4: memperhatikan terhadap wewenang dan peraturan
hukum dan peraturan 2. Hukum harus ditaati oleh semua.
Tingkat III Moralitas Pascakonvensional 1. Remaja dan dewasa mengartikan
(usia 13 tahun ke atas) perilaku baik sebagai hak pribadi sesuai
aturan dan patokan sosial
Tahap 5: memperhatikan hak 2. Perubahan hukum dan aturan dapat
perseorangan diterima jika diperlukan untuk
mencapai hal-hal yang baik
3. Pelanggatan hukum dan aturan dapat
terjadi karena alasan-alasan tertentu

a. Keputusan mengenai perilaku-perilaku


Tahap 6: sosial didasarkan atas prinsip-prinsip
memperhatikan prinsip-prinsip moral pribadi yang bersumber dari
etika hukum universal yang selaras dengan
kebaikan umum dan kepentingan orang
lain
b. Keyakinan terhadap moral pribadi
nilai-nilai tetap melekat meskipun
sewaktu-waktu berlawanan dengan
hukum yang dibuat untuk mengekalkan
aturan sosial.

Tiga tingkatan besar perkembangan sosial dan moral menurut Kohlberg adalah sebagai
berikut:
 Penalaran Prakonvensional, yaitu ketika manusia berada dalam fase perkembangan
prayuwana ( usia 4-10 tahun) yang belum menanggap moral sebagai kesepakatan
tradisional. Pada tingkat ini, anak tidak memperlihatkan internalisasi nilai-nilai moral ,
penalaran moral dikendalikan oleh imbalan (hadiah) dan hukuman eksternal. Dengan kata
lain aturan dikontrol oleh orang lain (eksternal) dan tingkah laku yang baik akan mendapat
hadiah dan tingkah laku yang buruk mendapatkan hukuman.
 Penalaran Konvensional, yaitu ketika manusia menjelang dan mulai memasuki fase
perkembangan yuwana (usia 10-13 tahun) yang sudah menganggap moral sebagai
kesepakatan tradisi sosial. Penalaran Konvensional merupakan suatu tingkat internalisasi
individual menengah dimana seseorang tersebut menaati stándar-stándar (Internal) tertentu,
tetapi mereka tidak menaati stándar-stándar orang lain (eksternal)seperti orang tua atau
aturan-aturan masyarakat.
 Penalaran Pascakonvensional, yaitu ketika manusia telah memasuki fase perkembangan
yuwana dan pascayuwana (usia 13 tahun ke atas) yang memandang moral lebih dari sekedar
kesepakatan sosial. Penalaran Pascakonvensionalmerupakan suatu pemikiran tingkat tinggi
dimana moralitas benar-benar diinternalisasikan dan tidak didasarkan pada standar-standar
orang lain. Seseorang mengenal tindakan-tindakan moral alternatif, menjajaki pilihan-pilihan,
dan kemudian memutuskan berdasarkan suatu kode.
3. Albert Bandura
Teori pembelajaran sosial merupakan perluasan dari teori belajar perilaku yang
tradisional (behavioristik). Teori pembelajaran sosial ini dikembangkan oleh Albert
Bandura. Bandura tidak seperti rekan-rekannya sesama penganut aliran behaviorisme,
bandura memandang tingkah laku manusia bukan semata-mata refleks otomatis atas stimulus
(S-R bond), melainkan juga merupakan reaksi yang timbul akibat interaksi antara lingkungan
dengan skema kognitif manusia itu sendiri.
Menurut Bandura seperti yang dikutip Barlow (1985), sebagian besar yang dipelajari
manusia jadi melalui peniruan (imitation) dan penyajian contoh perilaku (modeling).
Pendekatan teori belajar sosial terhadap proses perkembangan sosial dan moral siswa
ditekankan pada perlunya conditioning (pembiasaan merespon) dan imitation (peniruan) [5].
a. Conditioning, Contohnya, seorang pelajar melihat temannya dipuji atau ditegur oleh gurunya
kerena perbuatannya, maka ia kemudian meniru melakukan perbuatan lain yang tujuannya
sama ingin dipuji oleh gurunya. Kejadian ini merupakan contoh dari penguatan melalui
pujian yang dialami orang lain atau vicarious reinforcement.
Berhubungan dengan hal tersebut, komentar yang disampaikan orang tua atau guru
ketika mengajarkan siswa merupakan faktor penting untuk proses internalisasi atau
penghayatan siswa tersebut terhadap moral standards (patokan-patokan moral). Reaksi-reaksi
siswa terhadap stimulus yang ia pelajari adalah hasil dari adanya pembiasaan merespon
sesuai dengan kebutuhan. Melalui proses pembiasaan merespon (conditioning) ini, ia juga
menemukan pemahaman bahwa ia dapat menghindari hukuman dengan memohon maaf
sebaik-baiknya agar terhindar dari sanksi.
b. Imitation, contohnya mula-mula seorang siswa mengamati gurunya yang sedang melakukan
sebuah perilaku sosial, umpamanya menerima seorang tamu. Lalu perbuatan menjawab
salam, berjabat tangan, beramah tamah, dan seterusnya akan diserap oleh memori siswa.
Cepat atau lambat, siswa tersebut mampu meniru secara baik apa yang dillakukan oleh sang
guru.
Kemampuan siswa dalam meniru apa yang diamati adalah bergantung pada ketajaman
persepsinya mengenai ganjaran dan hukuman yang berkaitan dengan benar dan salahnya
perilaku yang ia tiru tadi. Selain itu, tingkat kualitas imajinasi juga bergantung pada siapa
yang menjadi model yang ditiru olehnya.

Menurut Bandura (1982), penguasaan kemampuan dan pengetahuan yang kompleks


tidak hanya bergantung pada proses perhatian, motor reproduksi dan motivasi, tetapi juga
sangat dipengaruhi oleh unsur-unsur yang berdasarkan dari diri pelajar sendiri yaitu sense of
self Efficacy dan self regulatory system. Sense of self efficacy adalah keyakinan pembelajar
bahwa ia dapat menguasai pengetahuan dan keterampilan sesuai seperti yang berlaku. Self
regulatory pula merujuk kepada:
 Struktur kognitif yang memberi gambaran tingkah laku dan hasil pembelajaran.
 Sub proses kognitif yang dirasakan, mengevaluasi, dan mengatur tingkah laku kita.
Dalam pembelajaran self -regulatory akan menentukan goal setting dan self evaluation
dan merupakan dorongan untuk meraih prestasi belajar yang tinggi atau sebaliknya. Menurut
Bandura, untuk berhasil, pelajar harus mendapatkan model yang mempunyai pengaruh yang
kuat. Seterusnya mengembangkan self of mastery, self efficacy, dan reinforcement bagi
pelajar.
Unsur utama dalam peniruan adalah sebagai berikut:
1. Attention, pemusatan perhatian yang diberikan kepada model yang ditirukan.
2. Retention, usaha mengingat apa yang telah dilakukan oleh model.
3. Reproduction, usaha mewujudkan atau menunjukkan kebolehan berdasarkan apa yang telah
dipahami.
4. Motivasi, pengerak individu dalam melakukan sesuatu.
Terdapat beberapa macam jenis peniruan yang dapat dilakukan, antara lain:
1. Peniruan langsung, yaitu peniruan dengan pemerhatian langsung. Contohnya, meniru
penyanyi yang disukai.
2. Peniruan tidak langsung, yaitu peniruan dengan mengimajinasikan. Contohnya, meniru tokoh
dalam buku cerita.
3. Peniruan gabungan, yaitu peniruan dengan menggabungkan antara pemerhatian secara
langsung dan imajnasi. Contohnya siswa meniru sang guru yang sedang melukis dan
menghayal ‘mengingat’ tentang cara-cara mewarnai yang ada dibuku bacaannya.

Tabel 3
Perbadingan antara Teori Perkembangan Sosial dan Moral Siswa
versi A. Bandura dengan dengan versi L. Kohlberg[6].

Aspek A. Bandura L. Kohlberg


(Teori Belajar Sosial) (Teori psi. Kognitif)
1. Tekanan dasar Perilaku bergantung pada orang Pemikiran sebagai perilaku
lain dan kondisi stimulus kualitatif dalam perkembangan
2. Mekanisme Hasil dari conditioning dan Berlangsung dalam tahap-tahap
perolehan modeling yang teratur dan berkaitan dengan
moralitas perkembangan kognitif moralitas
3. Usia perolehan Belajar berlangsung sepanjang Proses belajar berkesinambungan
hayat, dan ada perbedaan usia sampai masa dewasa, dan juga
perolehan dapat ditetapkan ddalam usia-usia
tertentu
4. Kenisbian Moralitas bersifat nisbi secara Nilai-nilai moral dalam taapan
kebudayaan kultural perrkembangan bersifat universal
5. Pelaku Model-model yang sangat Orang-orang yang berada pada
sosialisasi berpengaruh, orang-orang tahap perkembangan yang lebih
dewasa dan teman-teman yang tinggi dan memiliki pengaruh yang
dapat menyalurkan ganjaran dan sangat besar
hukuman
6. Implikasi Guru harus menjadi teladan yang Guru harus berussaha merangsang
pendidikan baik dan mengajar setiap siswa agar mencapai tahap
perilaku siswaa yang memadai perkembangan selanjutnya, dan
menjelaskan ciri-ciri perilaku
moral pada tahap tersebut

D. Tahap-tahap dalam Perkembangan Psikologi Sosial


Teori perkembangan psikososial oleh Erikson, adalah salah satu teori kepribadian terbaik
dalam psikologi. Hal ini dikarenakan ia menjelaskan tahap perkembangan manusia mulai dari
lahir hingga lanjut, teori Erikson membawa aspek kehidupan sosial dan fungsi budaya
dianggap lebih realistis.
Dalam bukunya “Childhood and Society” (1963), Erikson membuat sebuah bagan untuk
mengurutkan delapan tahap secara terpisah mengenai perkembangan ego dalam psikososial,
yang biasa dikenal dengan istilah “Delapan Tahap Perkembangan Manusia”.
Definisi lain dari perkembangan sosial adalah pencapaian kematangan dalam hubungan
sosial. Dapat juga diartikan sebagai proses belajar untuk menyesuaikan diri terhadap norma-
norma kelompok, moral, dan tradisi, meleburkan diri menjadi suatu kesatuan dan saling
berkomunikasi bekerja sama[7].
Ericson memaparkan teorinya melalui konsep polaritas yang bertingkat/bertahapan. Ada
8 (delapan) tingkatan perkembangan yang akan dilalui oleh manusia. Menariknya bahwa
tingkatan ini bukanlah sebuah gradualitas. Manusia dapat naik ketingkat berikutnya walau ia
tidak tuntas pada tingkat sebelumnya. Setiap tingkatan dalam teori Erikson berhubungan
dengan kemampuan dalam bidang kehidupan. Jika tingkatannya tertangani dengan baik,
orang itu akan merasa pandai. Jika tingkatan itu tidak tertangani dengan baik, orang itu akan
tampil dengan perasaan tidak selaras. (Rifai, 2009).
Tahap 1. Trust vs Mistrust (percaya vs tidak percaya)
 Terjadi pada usia 0 s/d 18 bulan
 Tingkat pertama teori perkembangan psikososial Erikson ini terjadi antara kelahiran sampai
usia satu tahun dan merupakan tingkatan paling dasar dalam hidup. Oleh karena itu
perkembangan yang terjadi pada bayi sangat bergantungpada kualitas pengasuhannya oleh
orang tua atau pengasuh, misalnya perkembangan dalam hal kepercayaan.
 Jika anak berhasil membangun kepercayaan, dia akan merasa selamat dan aman dalam dunia.
Pengasuh yang tidak konsisten, tidak tersedia secara emosional, atau menolak, dapat
mendorong perasaan tidak percaya diri pada anak yang di asuh. Kegagalan dalam
mengembangkan kepercayaan akan menghasilkan ketakutan dan kepercayaan bahwa dunia
tidak konsisten dan tidak dapat di tebak.
Tahap 2. Otonomi (Autonomy) VS malu dan ragu-ragu (shame and doubt)
 Terjadi pada usia 18 bulan s/d 3 tahun.
 Tingkat ke dua dari teori perkembangan psikososial Erikson ini terjadi selama masa awal
kanak-kanak dan berfokus pada perkembangan besar dari pengendalian diri.
Seperti Freud, Erikson percaya bahwa latihan penggunaan toilet adalah bagian yang
penting sekali dalam proses ini. Tetapi, alasan Erikson cukup berbeda dari Freud. Erikson
percaya bahwa belajar untuk mengontrol fungsi tubuh seseorang akan membawa kepada
perasaan mengendalikan dan kemandirian.Kejadian-kejadian penting lain meliputi
pemerolehan pengendalian lebih yakni atas pemilihan makanan, mainan yang disukai, dan
juga pemilihan pakaian. Anak yang berhasil melewati tingkat ini akan merasa aman dan
percaya diri, sementara yang tidak berhasil akan merasa tidak cukup dan ragu-ragu terhadap
diri sendiri.
Tahap 3. Inisiatif (Initiative) vs rasa bersalah (Guilt)s
 Terjadi pada usia 3 s/d 5 tahun.
 Selama masa usia prasekolah, anak mulai menunjukkan kekuatan dan kontrolnya akan dunia
melalui permainan langsung dan interaksi sosial lainnya. Mereka lebih tertantang karena
menghadapi dunia sosial yang lebih luas, maka dituntut perilaku aktif dan bertujuan.
Anak yang berhasil dalam tahap ini merasa mampu dan kompeten dalam memimpin
orang lain. Adanya peningkatan rasa tanggung jawab dan prakarsa.Mereka yang gagal
mencapai tahap ini akan merasakan perasaan bersalah, perasaan ragu-ragu, dan kurang
inisiatif. Perasaan bersalah yang tidak menyenangkan dapat muncul apabila anak tidak diberi
kepercayaan dan dibuat merasa sangat cemas. Erikson yakin bahwa kebanyakan rasa bersalah
dapat digantikan dengan cepat oleh rasa berhasil.
Tahap 4. Industry vs inferiority (tekun vs rasa rendah diri)
 Terjadi pada usia 6 s/d pubertas.
 Melalui interaksi sosial, anak mulai mengembangkan perasaan bangga terhadap keberhasilan
dan kemampuan mereka.
 Anak yang didukung dan diarahkan oleh orang tua dan guru membangun peasaan kompeten
dan percaya dengan ketrampilan yang dimilikinya.
 Anak yang menerima sedikit atau tidak sama sekali dukungan dari orang tua, guru, atau
teman sebaya akan merasa ragu akan kemampuannya untuk berhasil.
 Prakarsa yang dicapai sebelumnya memotivasi mereka untuk terlibat denganpengalaman-
pengalaman baru.
 Ketika beralih ke masa pertengahan dan akhir kanak-kanak, mereka mengarahkan energi
mereka menuju penguasaan pengetahuan dan keterampilan intelektual.
 Permasalahan yang dapat timbul pada tahun sekolah dasar adalah berkembangnyarasa rendah
diri, perasaan tidak berkompeten dan tidak produktif.
 Erikson yakin bahwa guru memiliki tanggung jawab khusus bagi perkembangan ketekunan
anak-anak.
Tahap 5. Identity vs identify confusion (identitas vs kebingungan identitas)
 Terjadi pada masa remaja, yakni usia 10 s/d 20 tahun.
 Selama remaja ia mengekplorasi kemandirian dan membangun kepekaan dirinya.
 Pada saat ini anak dihadapkan dengan penemuan siapa mereka, bagaimana mereka nantinya,
dan kemana mereka menuju dalam kehidupannya (menuju tahap kedewasaan). Anak juga
dihadapkan memiliki banyak peran baru dan statussebagai orang dewasa –pekerjaan dan
romantisme, misalnya, orangtua harus mengizinkan remaja menjelajahi banyak peran dan
jalan yang berbeda dalam suatu peran khusus.
 Jika remaja menjajaki peran-peran semacam itu dengan cara yang sehat dan positif untuk
diikuti dalam kehidupan, identitas positif akan dicapai.
Jika suatu identitas remaja ditolak oleh orangtua, jika remaja tidak secara memadai
menjajaki banyak peran, jika jalan masa depan positif tidak dijelaskan, maka kebingungan
identitas merajalela. Namun bagi mereka yang menerima dukungan memadai maka
eksplorasi personal, kepekaan diri, perasaan mandiri dan control dirinya akan muncul dalam
tahap ini.
 Bagi mereka yang tidak yakin terhadap kepercayaan diri dan hasratnya, akan muncul rasa
tidak aman dan bingung terhadap diri dan masa depannya.

Tahap 6. Intimacy vs isolation (keintiman vs keterkucilan)


 Terjadi selama masa dewasa awal (20an s/d 30an tahun)
 Erikson percaya tahap ini penting, yaitu tahap seseorang membangun hubungan yang dekat
dan siap berkomitmen dengan orang lain. Mereka yang berhasil di tahap ini, akan
mengembangkan hubungan yang komit dan aman.
 Erikson percaya bahwa identitas personal yang kuat penting untuk mengembangkan
hubungan yang intim. Penelitian telah menunjukkan bahwa mereka yang memiliki sedikit
kepakaan diri cenderung memiliki kekurangan komitemen dalam menjalin suatu hubungan
dan lebih sering terisolasi secara emosional, kesendirian dan depresi. Jika mengalami
kegagalan, maka akan muncul rasa keterasingan dan jarak dalam interaksi dengan orang.
Tahap 7. Generativity vs Stagnation (Bangkit vs Stagnan)
 Terjadi selama masa pertengahan dewasa (40an s/d 50an tahun).
 Selama masa ini, mereka melanjutkan membangun hidupnya berfokus terhadap karir dan
keluarga. Mereka yang berhasil dalam tahap ini, maka akan merasa bahwa mereka
berkontribusi terhadap dunia dengan partisipasinya di dalam rumah serta komunitas. Mereka
yang gagal melalui tahap ini, akan merasa tidak produktif dan tidak terlibat di dunia ini.
Tahap 8. Integrity vs depair (integritas vs putus asa)
 Tahap ini berhubungan dengan masa dewasa akhir (60an tahun).
 Orang tua merenungi kembali hidupnya, memikirkan hal-hal yang telah mereka lakukan
(masa lalu)[8]. Mereka yang tidak berhasil pada fase ini, akan merasa bahwa hidupnya
percuma dan mengalami banyak penyesalan. Individu akan merasa kepahitan hidup dan putus
asa.
Mereka yang berhasil melewati tahap ini, berarti ia dapat mencerminkan keberhasilan
dan kegagalan yang pernah dialami. Individu ini akan mencapai kebijaksaan, meskipun saat
menghadapi kematian.

E. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Sosial


proses perkembangan individu terjadi di tiga lingkungan yang sama, yaitu lingkungan
keluarga, lingkungan sekolah, dan lingkungan masyarakat. Dalam lingkungan keluarga, anak
mengembangkan pemikiran tersendiri yang merupakan pengukuhan dasar emonsional dan
optimisme sosial melalui frekuensi dan kualitas interaksi dengan orang tua dan saudara-
saudaranya. Proses sosialisasi ini turut mempenggaruhi perkembangan sosial dan gaya
hidupnya di hari-hari mendatang. Dalam lingkungan sekolah, anak belajar membina
hubungan dengan teman-teman sekolahnya yang datang dari berbagai keluarga dengan status
dan warna sosial yang berbeda. Dalam lingkungan maysarakat, anak dihadapkan dengan
berrbagai situasi dan masalah kemasyarakatan.[9]
1. Lingkungan keluaga
Seorang anak membutuhkan rasa aman, dihargai, disayangi, diterima dan kebebasan
menyatakan diri. Perasaan aman bukan hanya aman secara material tapi juga mental, yang
artinya orang tua harus benar-benar memperhatikan kebutuhan anak baik materi maupun
mental. Orang tua merupakan contoh bagi si anak. Perilaku seorang anak sangatlah
terpengaruh bagaimana orang tua mendidiknya. Seperti yang dikatakan oleh Rabiah
Tanthawie seorang psikiater RS. Dadi Makasar dikutip oleh Suparman S
“Jika anak hidup dengan kritikan, ia belajar melawan. Jika anak hidup dengan hostilitas
(perrmusuhan), ia belajar berkelahi. Jika anak hidup dengan ejekan, ia belajar merasa malu.
Jika anak hidup dengan dipermalukan, ia belajar merasa bersalah. Jika anak hidup dengan
toleransi, ia belajar bersabar. Jika anak hidup dengan dorongan, ia belajar percaya diri. Jika
anak hidup dengan pujian, ia belajar menghargai. Jika anak hidup dengan kejujuran, ia belajar
adil. Jika anak hidup dengan rasa aman, ia mbelajar mempercayai. Jika anak hidup dengan
persetujuan, ia belajar menyukai diri sendiri. Jika anak hidup dengan penerimaan dan
persahabatan, ia belajar menemukan kasih sayang di dunia.”
Suatu iklim keluarga yang kondusif sangatlah berpengaruh terhadap perkembangan
sosial seorang anak, termasuk remaja yang sedang mencari jati diri. Adapun iklim keluarga
yang kondisif tersebut mengandung tiga unsur sebagai berikut:
a. Karakteristik khas internal keluarga yang berbeda dengan keluaga lainnya.
b. Karakteristik khas yang dapat mempengaruhi perilaku individu dalam keluarga.
c. Unsur kepemimpinan dan keteladanan kepala keluarga, sikap dan harapan individu dalam
keluarga tersebut.
Harmonis atau tidaknya, intensif atau tidaknya suatu interaksi dalam keluarga sesama
anggotanya akan mempengaruhi perkembangan sosial remaja yang ada dalam keluarga
tersebut. Geder (1983) dalam penelitiannya menemukan bahwa interaksi antaranggota
keluarga yang tidak harmonis merupakan kprelat yang potensial menjadi penghambat
perkembangan sosial remaja.

2. Lingkungan sekolah
Sekolah merupakan lingkungan yang lebih luas daripada suatu keluarga dan merupakan
suatu yang menjadi tantangan bahkan menimbulkan kecemasan bagi seorang anak. Sekolah
merupakan salah satu lingkungan tempat remaja hidup dalam kesehariannya, jadi sekolah
juga memiliki potensi memudahkan atau menghambat perkembangan hubungan sosial
temaja. Iklim sekolah yang kurang positif tentu akan menghambat perkembangan hubungan
sosial remaja Iklim kehidupan sekolah yang konduksif dapat terlhat dari interaksi antara guru
dengan siswa siswa dengan siswa, keteladanan perilaku guru, etos keahlian guru yang
ditampilkan dalam melaksanakan tugas profesionalnya sehingga dapat menjadi model bagi
siswa yang tumbuh remaja.
Ada beberapa tahapan dari proses penyesuaian diri yang harus dilakukan oleh seorang
anak di lingkungan sekolah, yaitu anak dituntut untuk tidak merugikan orang lain serta
menghargai dan menghormati hak orang lain, menaati peraturan dan menyesuaikan diri
dengan norma yang berlaku, melakukan interaksi berdasarkan asas saling memberi dan
menerima serta seorang anak harus berusaha untuk memahami orang lain.

3. Lingkungan masyarakat
Masyarakat memiliki sifat tidak konsisten dalam bersikap, terhadap remaja khususnya.
Di satu sisi para remaja dianggap sudah beranjak dewasa, tetapi kenyataannya disisi lain
mereka tidak diberikan kesempatan atau peran penuh sebagaimana orang yang sudah dewasa.
Situasi seperti ini membuat para remaja jengkel dan merasa kecewa dan hal ini menyebabkan
terhambatnya perkembangan sosial remaja.
Remaja merupakan seorang yang sedang mencari jati diri, maka dari itu faktor
keteladanan dan kekonsistenan sistem nilai dan norma dalam masyarakat juga menjadi
sesuatu yang sangat penting untuk perkembangan sosial remaja. Soetjipto Wirosardjono
(1991) mengatakan bahwa bentuk-bentuk perilaku sosial merupakan hasil tiruan dan hasil
adaptasi dari pengaruh kenyataan sosial yang ada. Kebudayaan kita menyimpan potensi
melegitimasi anggota masyarakat untuk menampilkan perilaku sosial yang kurang baik
dengan berbagai dalih, yang sah maupun yang tak terelakkan. Hal ini sangatlah penting untuk
diperhatikan, apalagi remaja senantiasa selalu ingin tahu dan memiliki rasa penasaran yang
mendalam dengan trend yang berkembang dalam masyarakat agar mereka merasa dipandang
trendy.

1Muhibbin Syah, psikologi pendidikan dengan pendekatan baru, (Bandung: Remaja


Rosdakarya, 2005) h: 41
2 Muhibbin Syah, Psikologi Belajar, (Jakarta: RajaGrafindo, 2003) h: 12
[3] Muhibbin Syah, 2003. Psikologi ..., h: 39
[4] Ibid..., h: 41
[5] Ibid..., h: 43
[6] Ibid..., h: 46
[7] M. Djawad Dahlan, Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja, (Bandung: Rosda. 2005)
h:122)
[8] Rifa’i Achmad, Psikologi Pendidikan. Semarang : UNNES Press ( 2012, hal: 47-49 )
[9] Mohammad Ali. Psikologi Remaja. (Bandung: Bumi Aksara. 2012) h.93
Diposting oleh putri YS di Jumat, Januari 02, 2015
PERKEMBANGAN KEPRIBADIAN, MORAL, DAN SOSIAL
1. PERKEMBANGAN KEPRIBADIAN
Kepribadian adalah sebuah konsep yang sangat sukar dimengerti dalam psikologi, meskipun
istilah ini digunakan sehari-hari. Kepribadian yang sesungguhnya adalah abstrak sukar dilihat
atau diketahui secara nyata, yang dapat diketahui adalah penampilan atau bekasnya dalam
segala segi dan aspek kehidupan. Misalnya dalam menghadapi setiap persoalan atau masalah,
baik yang ringan maupun yang kuat. Orang awam dengan mudah mengatakan bahwa
seseorang itu punya kepribadian baik, kuat dan menyenangkan, sedangkan ada pula orang yang
mengatakan bahwa mempunyai kepribadian lemah, tidak baik atau buruk dan sebagainya.
Sehingga dengan kata lain pribadi atau kepribadian itu dipakai untuk menunjukkan adanya ciri-
ciri khas yang ada pada seseorang.

Terdapat tokoh-tokoh yang mengemukakan beberapa pengertian kepribadian yaitu sebagai


berikut :

1. G.W. Allport berpendapat “Personality is the dynamic organization within the individual of
those psychophycal sistem, that determines his unique adjusment to his environment”.
Artinya : personaliti itu adalah suatu organisasi psichophysis yang dinamis dari pada
seseorang yang menyebabkan ia dapat menyesuaikan diri dengan lingkungannya.
2. May berpendapat bahwa “kepribadian adalah suatu aktualisasi dari proses hidup dalam
seorang individu yang bebas, terintegrasi dalam masyarakat dan memiliki satu perasaan
cemas dalam batin, yang berhubungan dengan religiusitas.
3. Pengertian kepribadian menurut Withington adalah “Kepribadian adalah keseluruhan
tingkah laku seseorang yang diintegrasikan, sebagaimana yang nampak pada orang lain.
Kepribadian ini bukan hanya yang melekat dalam diri seseorang tetapi lebih merupakan
hasil dari pada suatu pertumbuhan yang lama suatu kulturil.
Proses Perkembangan Kepribadian
Proses perkembangan kepribadian anak dijelaskan sebagai berikut.

1. Pendidikan langsung yaitu melalui penanaman pengertian tentang tingkah laku sebagai
pribadi yang sudah dan benar atau baik dan buruk oleh orang tua, guru atau orang
dewasa lainnya dan hal yang penting adalah keteladanan itu sendiri.
2. Identifikasi yaitu dengan cara mengidentifikasi atau meniru penampilan atau tingkah laku
seseorang yang menjadi idolanya.
3. Proses coba-coba (trial and error) yaitu dengan cara mengembangkan tingkah laku moral
semacam coba-coba. Tingkah laku yang mendatangkan pujian atau penghargaan akan
terus dikembangkan, sementara tingkah laku yang mendatangkan hukuman atau celaan
akan dihentikan.
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Terbentuknya Kepribadian
Andi Mappiare mengatakan bahwa kepribadian terbentuk dari tiga faktor yaitu pembawaan
(hereditas), lingkungan dan citra diri (self concept).
1) Pembawaan (hereditas)
Pembawaan ialah segala sesuatu yang telah dibawa oleh anak sejak lahir, baik yang bersifat
kejiwaan maupun yang bersifat keturunan. Anak merupakan warisan dari sifat-sifat pembawaan
orang tuanya yang merupakan potensi tertentu.

2) Lingkungan

Faktor lingkungan yang ikut mempengaruhi terbentuknya kepribadian terdiri dari lingkungan
bersifat sosial dan lingkungan fisik. Lingkungan sosial ialah lingkungan yang terdiri dari
sekelompok individu (group) interaksi antara individu tersebut menimbulkan proses sosial dan
proses ini mempunyai pengaruh yang penting dalam perkembangan pribadi seseorang dengan
pendidikan lingkungan sosial yang disebut pergaulan erat dengan seseorang berupa tingkah
laku, sikap, mode pakaian atau cara berpakaian dan sebagainya.

Lingkungan fisik (alam) mempunyai pengaruh terhadap perkembangan pribadi seseorang. Yang
dimaksud lingkungan alam disini adalah segala sesuatu yang ada di sekitar anak selain individu
dan benda-benda kebudayaan antara lain keadaan geografis dan klimatologis. Anak yang
dibesarkan di daerah pantai akan lain dengan anak yang dibesarkan di daerah pegunungan.

Faktor lingkungan yang paling berperan dalam perkembangan kepribadian adalah rumah,
sekolah dan teman sebaya.

1. a) Rumah
Rumah adalah lingkungan pertama yang berperan dalam pembentukan kepribadian. Beberapa
sifat lingkungan rumah yang memungkinkan anak membentuk sifat-sifat kepribadian adalah
kesediaan orang tua menerima anak sebagai anggota keluarga, adanya sikap demokratis,
keadaaan ekonomis yang serasi, penyesuaian yang baik antara ayah dan ibu dalam pernikahan
dan penerimaan sosial para tetangga terhadap keluarga.

Keadaan rumah yang sederhana, bersih, rapi, dimana anak mendapat makanan yang sehat dan
anggota keluarga bersikap sedemikian rupa, sehingga memberi rasa aman kepada anak, inilah
yang akan membantu perkembangan kepribadian anak ke arah terbentuknya kepribadian yang
harmonis dan wajar.

1. b) Sekolah
Sekolah adalah tempat dimana anak dapat belajar dan menimba ilmu. Lingkungan sekolah yang
bersih, rapi akan membantu anak belajar dengan tenang dan nyaman. Disamping itu hubungan
antara siswa dengan guru, dan hubungan antara siswa dengan lingkungan sekolah lainnya perlu
dijaga karena hal tersebut dapat mempengaruhi perkembangan kepribadian anak.

1. c) Teman sebaya
Baik di sekolah maupun di luar sekolah kepribadian anak banyak dipengaruhi oleh teman
sebayanya. Dalam lingkungan sekolah anak belajar bermain dengan anak lain, belajar
bekerjasama dengan anak lain. Anak dan remaja berusaha mencapai realisasi diri melalui
keberhasilan, ia harus melebihi hasilnya sendiri untuk dapat maju dan harus dapat menyayangi
orang lain juga. Cara-cara yang memberikan keberhasilan dalam persaingan dalam hubungan
dengan teman sekolah, akan dipakainya dalam kompetisi selanjutnya. Kebiasaan ini akan
berlangsung terus dalam integrasi kepribadian pada masa dewasa.

Dari kedua faktor di atas, faktor lingkungan dan keturunan sangat berpengaruh bagi
perkembangan kepribadian anak. Faktor keturunan pada umumnya lebih kuat pengaruhnya
pada tingkat bayi, sedang faktor lingkungan lebih besar pengaruhnya apabila insan telah
meningkat dewasa.

3) Citra diri (self concept)


Yaitu kehidupan kejiwaan yang terdiri atas perasaan, sikap pandang, penilaian, dan anggapan
yang semuanya akan terpengaruh dalam keputusan tindakan sehari-hari.
Seseorang dengan citra dirinya menilai dirinya sendiri dan menilai lingkungan sosial. Moral
sebagian standart yang muncul dari agama dan lingkungan sosial, memberi konsep-konsep
yang baik dan buruk, patut dan tidak patut secara mutlak, akan tetapi seseorang tidak begitu
saja menerima melainkan dipertentangkan dengan citra diri yang dimilikinya.

Pengaruh lingkungan dan pembawaan dalam terbentuknya kepribadian seseorang, keduanya


saling berkait dan melengkapi satu sama lain tanpa mengabaikan self concept yakni bagaimana
seseorang menggunakan potensi yang dimiliki danlingkungannya, karena self
concept mempunyai pengaruh yang besar untuk menginterprestasikan kuatnya daya
pembawaan dan kuatnya daya lingkungan.
Terbentuknya kepribadian seseorang membutuhkan waktu yang panjang, berangsur-angsur
dan kontinue dari bayi hingga mati. Pembentukan sekaligus pembinaan kepribadian individu
haruslah terus menerus dibentuk dan dibina secara baik dan wajar menuju kepribadian yang
ideal. Untuk mencapai kepribadian yang ideal diperlukan lingkungan yang kondusif dan
menuntut adanya kesediaaan, keterbukaan individu terhadap gagasan pengalaman-pengalaman
baru
Upaya dalam Membentuk Kepribadian Peserta Didik
Upaya-upaya dalam pembentukan kepribadian peserta didik adalah dengan memberikan materi
pendidikan akhlak yang meliputi :

1) Kejujuran dan kebenaran

2) Sifat lemah lembut dan rendah hati

3) Berhati-hati dalam mengambil keputusan

4) Menjadi teladan yang baik

5) Beramal shaleh dan berlomba-lomba berbuat baik

6) Menjaga diri, sabar

7) Ikhlas

8) Hidup sederhana

2. PERKEMBANGAN MORAL
Secara etimologis, kata moral berasal dari kata mos dalam bahasa Latin, bentuk
jamaknya mores, yang artinya adalah tata-cara atau adat-istiadat. Dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia (1989), moral diartikan sebagai akhlak, budi pekerti, atau susila. Sedangkan menurut
Purwadarminto (dalam Sunarto, 2008) moral adalah ajaran tentang baik buruk perbuatan dan
kelakuan, akhlak, kewajiban, dan sebagainya. Moral berkaitan dengan kemampuan untuk
membedakan antara perbuatan yang benar dan yang salah. Dengan demikian, moral merupakan
kendali dalam bertingkah laku. Santrock mengemukakan pengertian moralitas yaitu perilaku
proporsional ditambah beberapa sifat seperti kejujuran, keadilan, dan penghormatan terhadap
hak-hak dan kebutuhan-kebutuhan orang lain. Kolhberg (dalam Santrock, 2009) menekankan
bahwa perkembangan moral didasarkan terutama pada penalaran moral dan berkembang
secara bertahap.
Bidang-bidang Perkembangan Moral
Perkembangan moral berhubungan dengan pereaturan dan ketentuan tentang interaksi yang
pantas di antara orang-orang. Peraturan ini bisa dipelajari dalam tiga bidang. Santrock (2009)
membagi bidang perkembangan moral menjadi 3 yaitu.

1) Bidang kognitif. Isu utamanya adalah bagaimana para siswa berfikir tentang peraturan-
pereaturan agar bersikap yang pantas.
2) Bidang perilaku, fokusnya ada pada pikiran dan perilaku siswa.

3) Bidang emosional, penekanannya ada pada bagaimana dapat merasa secara moral.

Teori Perkembangan Moral


1) Teori Piget

Piaget (1932) mengatakan bahwa perkembangan moral sebagian besar dapat ditingkatkan
melalui hubungan timbale balik antar sebaya. Pada kelompok teman sebaya, semua anggota
mempunyai kekuatan dan status yang sama, anak-anak menegosiasikan peraturan serta
mendiskusikan dan menyelsaikan perselisihan. Pandangan Piaget, orang tua memainkan peran
yang tidak begitu penting dalam perkembangan moral anak-anak karena orang tua memiliki jauh
lebih banyak kekuatan ketimbang anak-anak dan memberikan peraturan secara otoriter
(Santrock. 2009).

2) Teori Kohlberg

Seperti Piaget, Kohlber menekankan bahwa perkembangan moral melibatkan pertimbangan


moral dan muncul melalui tahapan-tahapan. Kohlberg menemukan teorinya setelah
mewawancarai anak-anak, remaja, dan orang-orang dewasa tentang pandangan mereka
mengenai serangakaian dilemma moral (Santrock, 2009).

Faktor – faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Moral


Menurut Latipah (2012) ada 4 faktor yang mempengaruhi perkembangan moral dijelaskan
sebagai berikut.

1) Perkembangan Kognitif Umum

Penalaran moral tinggi yaitu penalaran yang dalam mengenai hukum moral dan nilai-nilai luhur
seperti kesetaraan, keadilan, hak-hak asasi manusia, memerlukan refleksi yang mendalam
mengenai ide-ide abstrak. Dengan demikian dalam batas-batas tertentu, perkembangan moral
bergantung pada perkembangan kognitif.

2) Penggunaan Rasio

Seseorang lebih cenderung memperleh manfaat dalam perkembangan moral ketika memikirkan
kerugan fisik dan emosional yang ditimbulkan perilaku-perilaku tertentu terhadap orang lain.

3) Isu dan Dilema Moral

Kolhberg dalam teorinya mengenai teori perkembangan moral menyatakan bahwa disekuilibrium
adalah anak-anak berkembang secara moral ketika mereka menghadapi suatu dilemma moral
yang idak dapat ditangani secara memadai dengan menggunakan tingkat penalaran moralnya
saat itu. Dalam upaya membantu anak-anak yang mengahdapi dilema semacam itu Kulhborg
menyarankan agar guru menawarkan penalaran moral satu tahap di atas tahap yang dimilik
anak pada saat itu.

4) Perasaan Diri

Siswa lebih cenderung terlibat dalam perilaku moral ketika mereka berpikir bahwa mereka
sesungguhnya mampu menolong orang lain. Mereka menganggap diri mereka sebagai peribadi
bermoral dan penuh perhatian, yang peduli pada hak-hak dan kebaikan orang lain. Tindakan
alturuistik dan bela rasa yang mereka lakukan tidak terbatas hanya pada teman-teman dan
orang-orang yang mereka kenal saja, melainkan meluas ke masyarakat.

3. PERKEMBANGAN SOSIAL
Perkembangan sosial peserta didik adalah tingkatan jalinan interaksi anak dengan orang lain,
mulai dari orang tua, saudara, teman bermain, hingga masyarakat secara luas. Berikut
pengertian perkembangan sosial menurut beberapa ahli:

1. Perkembangan sosial adalah kemajuan yang progresif melalui kegiatan yang terarah dari
individu dalam pemahaman atas warisan sosial dan formasi pola tingkah lakunya yang
luwes. Hal itu disebabkan oleh adanya kesesuaian yang layak antara dirinya dengan
warisan sosial itu.
2. Menurut Elizabeth B. Hurlock, perkembangan sosial adalah kemampuan seseorang dalam
bersikap atau tata cara perilakunya dalam berinteraksi dengan unsur sosialisasi di
masyarakat.
3. Singgih D Gunarsah, perkembangan sosial merupakan kegiatan manusia sejak lahir,
dewasa, sampai akhir hidupnya akan terus melakukan penyesuaian diri dengan
lingkungan sosialnya yang menyangkut norma-norma dan sosial budaya masyarakatnya.
Proses Perkembangan Sosial
Berikut ini terori perkembangan sosial menurut Erik Erikson yang tergambar pada tahap-tahap
perkembangan anak sebagai berikut:

Umur Fase Perkembangan Perkembangan Perilaku

Tahap pertama adalah tahap


pengembangan rasa percaya diri
kepada orang lain, sehingga mereka
sangat memerlukan sentuhan dan
0–1 Trust vs Mistrust pelukan.

Tahap ini bisa dikatakan sebagai


masa pemberontakan anak atau
masa “nakalnya”. Namun
kenakalannya tidak dapat dicegah
begitu saja, karena tahap ini anak
sedang mengembangkan
kemampuan motorik dan mental,
sehingga yang diperlukan justru
mendorong dan memberikan tempat
untukmengembangkan motorik dan
mental. Pada saat ini anak sangat
terpengaruh oleh orang-orang
penting disekitarnya, misal orang tua
2–3 Autonomy vs Shame atau guru.

Mereka banyak bertanya dalam


segala hal, sehingga terkesan
cerewet. Mereka juga mengalami
perngembangan inisiatif/ide, sampai
4–5 Inisiative vs Guilt pada hal-hal yang berbau fantasi.

Mereka sudah bisa mengerjakan


tugas-tugas sekolah dan termotivasi
untuk belajar. Namun masih memiliki
6– kecenderungan untuk kurang hati-hati
11 Indusstry vs Inferiority dan menuntut perhatian.

Tahap ini manusia ingin mencari


identitas dirinya. Anak yang sudah
12 - Ego-identity vs Role on beranjak menjadi remaja mulai ingin
18/20 fusion tampil memegang peran-peran sosial
di masyarakat. Namun masih belum
bisa mengatur dan memisahkan
tugas dalam peran yang berbeda.

Memasuki tahap ini manusia sudah


mulai siap menjalani hubungan intim
dengan orang lain, membangun
18/19 bahtera rumah tangga bersama calon
– 30 Intimacy vs Isolation pilihannya

Tahap ini ditandai dengan munculnya


kepedulian yang tulus terhadap
sesama. Tahap ini terjadi saat
31 – Generation vs seseorang telah memasuki usia
60 Stagnation dewasa

Masa ini dimulai pada usia 60-an,


60 ke Ego Integrity vs putus masa dimana manusia mulai
atas asa mengembangkan integritas dirinya.
Faktor – faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Sosial
Perkembangan sosial anak dipengaruhi beberapa faktor yaitu :

1) Keluarga

Keluarga merupakan lingkungan pertama yang memberikan pengaruh terhadap berbagai aspek
perkembangan anak, termasuk perkembangan sosialnya. Kondisi dan tata cara kehidupan
keluarga merupakan lingkungan yang kondusif bagi sosialisasi anak. Proses pendidikan yang
bertujuan mengembangkan kepribadian anak lebih banyak ditentukan oleh keluarga, pola
pergaulan, etika berinteraksi dengan orang lain banyak ditentukan oleh keluarga.

2) Kematangan

Untuk dapat bersosilisasi dengan baik diperlukan kematangan fisik dan psikis sehingga mampu
mempertimbangkan proses sosial, memberi dan menerima nasehat orang lain, memerlukan
kematangan intelektual dan emosional, disamping itu kematangan dalam berbahasa juga sangat
menentukan.

3) Status Sosial Ekonomi

Kehidupan sosial banyak dipengaruhi oleh kondisi sosial ekonomi keluarga dalam masyarakat.
Perilaku anak akan banyak memperhatikan kondisi normatif yang telah ditanamkan oleh
keluarganya.

4) Pendidikan

Pendidikan merupakan proses sosialisasi anak yang terarah. Hakikat pendidikan sebagai proses
pengoperasian ilmu yang normatif, anak memberikan warna kehidupan sosial anak didalam
masyarakat dan kehidupan mereka di masa yang akan datang.

5) Kapasitas Mental : Emosi dan Intelegensi

Kemampuan berfikir dapat banyak mempengaruhi banyak hal, seperti kemampuan belajar,
memecahkan masalah, dan berbahasa. Perkembangan emosi perpengaruh sekali terhadap
perkembangan sosial anak. Anak yang berkemampuan intelek tinggi akan berkemampuan
berbahasa dengan baik. Oleh karena itu jika perkembangan ketiganya seimbang maka akan
sangat menentukan keberhasilan perkembangan sosial anak.

Anda mungkin juga menyukai