PEMBAHASAN
Perkembangan moral yang berhasil dapat dilihat dari perilaku moral, sedangkan yang
gagal dilihat dari perilaku amoral dan perilaku tidak bermoral. Perilaku moral adalah perilaku
yang sesuai dengan harapan masyarakat atau sosial yang berkaitan dengan tata cara,
kebiasaan atau adat-istiadat. Perilaku amoral adalah perilaku yang tidak sesuai dengan
harapan masyarakat disebabkan karena acuh atau tidak memahami aturan masyarakat.
Sedangkan perilaku tidak bermoral adalah tingkah laku yang tidak sesuai dengan harapan
masyarakat sebagai akibat dari ketidaksetujuannya terhadap aturan masyarakat atau bentuk
protes terhadap masyarakat (sengaja melanggar).
menjadi kateksis seksual pada fase itu. Pada tahap laten, impuls seksual mengalami
represi, perhatian anak banyak tercurah kepada pengembangan kognitif dan keterampilan.
Baru sesudah itu, secara bilogis terjadi perkembangan puberts yang membangunkan impuls
seksual dari represinya untuk berkembang mencapai kemasakan. Pada umumnya kemasakan
kepribadian dapat dicapi pada usia 20 tahun.
2. Carl Gustav Jung
Perkembangan kepribadian menurut pandangan Carl Gustav Jung lebih lengkap
dibandingkan dengan Freud. Jung beranggapan bahwa semua peristiwa disebabkan oleh
sesuatu yang terjadi di masa lalu (mekanistik) dan kejadian sekarang ditentukan oleh tujuan
(purpose). Prinsip mekanistik akan membuat manusia menjadi sengsara karena terpenjara
oleh masa lalu. Manusia tidak bebas menentukan tujuan atau membuat rencana karena masa
lalu tidak dapat diubah. Sebaliknya, prinsip purposif memubat orang mempunyai perasan
penuh harapan, ada sesuatu yang membuat orang berjuang dan bekerja. Dari keduanya dapat
diambil sisi positifnya, kegagalan di masa lalu bukan dijadikan beban tapi dijadikan
pengalaman yang kemudian digunakan sebagai stimuli untuk belajar lebih baik dari
kegagalan tersebut. Terlepas dari kegagalan seseorang harus memiliki angan, impian dan
harapan, hal inilah yang kemudian mengarahkan pada tujuan yang akan diraih di masa
mendatang.
Tahap-tahap perkembangan menurut Jung terdiri atas 4 tahap. Hal tersebut dapat
dijelaskan sebagai berikut:
a. Usia anak (Childhood). Usia anak dibagi menjadi 3 tahap, yakni anarkis pada anak kesadaran
masaih kacau pada usia 0-6 tahun, tahap monarkis yakni anak ditandai dengan perkembangan
ego, mulai berfikir verbal dan logika pada usia 6-8 tahun, tahap dualistik yakni anak dapat
berfikir secara obyektif dan subyektif terjadi pada usia 8-12 tahun.
b. Usia Pemuda. Pemuda berjuang untuk mandiri secara fisik dan psikis dari orang tuanya.
c. Usia Pertengahan. Ditandai dengan aktualisasi diri, biasanya sudah dapat menyesuaikan diri
dengan lingkungannya, memiliki pekerjaan, kawin, punya anak dan ikut dalam kegiatan
sosial.
d. Usia Tua. Fungsi jiwa sebagian besar bekerja secara tak sadar, fikiran dan kesadaran ego
mulai tenggelam (Anonim, 2010).
3. Erik H. Erikson
Teori Erikson dikatakan sebagai salah satu teori yang sangat selektif karena didasarkan
pada tiga alasan. Alasan yang pertama, karena teorinya sangat representatif dikarenakan
memiliki kaitan atau hubungan dengan ego yang merupakan salah satu aspek yang mendekati
kepribadian manusia. Kedua, menekankan pada pentingnya perubahan yang terjadi pada
setiap tahap perkembangan dalam lingkaran kehidupan, dan yang ketiga/terakhir adalah
menggambarkan secara eksplisit mengenai usahanya dalam mengabungkan pengertian klinik
dengan sosial dan latar belakang yang dapat memberikan kekuatan/kemajuan dalam
perkembangan kepribadian didalam sebuah lingkungan.
Melalui teorinya Erikson memberikan sesuatu yang baru dalam mempelajari mengenai
perilaku manusia dan merupakan suatu pemikiran yang sangat maju guna memahami
persoalan/masalah psikologi yang dihadapi oleh manusia pada jaman modern seperti ini. Oleh
karena itu, teori Erikson banyak digunakan untuk menjelaskan kasus atau hasil penelitian
yang terkait dengan tahap perkembangan, baik anak, dewasa, maupun lansia.
Erikson dalam membentuk teorinya secara baik, sangat berkaitan erat dengan kehidupan
pribadinya dalam hal ini mengenai pertumbuhan egonya. Bagi Erikson, dinamika kepribadian
selalu diwujudkan sebagai hasil interaksi antara kebutuhan dasar biologis dan
pengungkapannya sebagai tindakan-tindakan sosial. Tampak dengan jelas bahwa yang
dimaksudkan dengan psikososial apabila istilah ini dipakai dalam kaitannya dengan
perkembangan. Secara khusus hal ini berarti bahwa tahap-tahap kehidupan seseorang dari
lahir sampai dibentuk oleh pengaruh-pengaruh sosial yang berinteraksi dengan suatu
organisme yang menjadi matang secara fisik dan psikologis. Sedangkan konsep
perkembangan yang diajukan dalam teori psikoseksual yang menyangkut tiga tahap yaitu
oral, anal, dan genital, diperluasnya menjadi delapan tahap sedemikian rupa sehingga
dimasukkannya cara-cara dalam mana hubungan sosial individu terbentuk dan sekaligus
dibentuk oleh perjuangan-perjuangan insting pada setiap tahapnya.
Pusat dari teori Erikson mengenai perkembangan ego ialah sebuah asumsi mengenai
perkembangan setiap manusia yang merupakan suatu tahap yang telah ditetapkan secara
universal dalam kehidupan setiap manusia. Proses yang terjadi dalam setiap tahap yang telah
disusun sangat berpengaruh terhadap “Epigenetic Principle” yang sudah dewasa/matang.
Dengan kata lain, Erikson mengemukakan persepsinya pada saat itu bahwa pertumbuhan
berjalan berdasarkan prinsip epigenetik. Di mana Erikson dalam teorinya mengatakan melalui
sebuah rangkaian kata yaitu:
(1) Pada dasarnya setiap perkembangan dalam kepribadian manusia mengalami keserasian dari
tahap-tahap yang telah ditetapkan sehingga pertumbuhan pada tiap individu dapat
dilihat/dibaca untuk mendorong, mengetahui, dan untuk saling mempengaruhi, dalam radius
soial yang lebih luas.
(2) Masyarakat, pada prinsipnya, juga merupakan salah satu unsur untuk memelihara saat setiap
individu yang baru memasuki lingkungan tersebut guna berinteraksi dan berusaha menjaga
serta untuk mendorong secara tepat berdasarkan dari perpindahan di dalam tahap-tahap yang
ada.
1. Jean Piaget
Perkembangan moral dapat pula dipahami melalui pendekatan kognitif. Piaget (dalam
Slavin, 2006:51) mempercayai bahwa struktur kognitif dan kemampuan kognitif anak adalah
dasar dari pengembangan moralnya. Kemampuan kognitif itulah yang kemudian akan
membantu anak untuk mengembangkan penalaran yang berkaitan dengan masalah sosial.
Ada dua metode yang di aplikasikan Piaget untuk melakukan studi mengenai
perkembangan moral anak dan remaja, yaitu:
Melakukan observasi terhadap sejumlah anak yang bermain kelereng dan menanyai mereka
tentang aturan yang mereka ikuti.
Melakukan tes dengan menggunakan beberapa kisah yang menceritakan perbuatan salah dan
benar yang dilakukan anak-anak, lalu meminta responden (yang teridiri atas anak dan remaja)
untuk kisah-kisah tersebut berdasarkan pertimbangan moral mereka sendiri.
Dalam permainan kelereng tersebut Piaget menemukan beberapa hal yaitu anak di bawah
usia 6 tahun pada kenyataannya belum mengenal aturan permainan, sedangkan anak mulai
usia 6 tahun sudah mengenal adanya aturan dalam permainan, meskipun mereka belum
menerapkannya dengan baik dalam permainan. Anak usia 10-12 tahun , anak-anak sudah
mampu mengikuti aturan permainan yang berlaku dan mereka sadar bahwa aturan tersebut
dibuat untuk menghindari pertikaian antar pemain.
Berdasarkan data hasil studynya, piaget menemukan dua tahap perkembangan moral
anak dan remaja yang antara tahap pertama dan kedua diselingi dengan masa transisi, yakni
usia 7-10 tahun. Seperti yang terlihat pada tabel 1, Piaget selalu mengaitkan perkembangan
moral dengan tahap perkembangan kognitif.
Tabel 1
Teori Dua Tahap Perkembangan Moral Versi Piaget[3].
2. Lawrence Kohlberg
Menurut teori, Kohlberg telah menekankan bahwa perkembangan moral didasarkan
terutama pada penalaran moral dan berkembang secara bertahap. Dalam Teori Kohlberg
mendasarkan teori perkembangan moral pada prinsip-prinsip dasar hasil temuan Piaget.
Menurut Kohlberg sampai pada pandangannya setelah 20 tahun melakukan wawancara yang
unik dengan anak-anak. Dalam wawancara , anak-anak diberi serangkaian cerita dimana
tokoh-tokohnya menghadapi dilema-dilema moral. Berikut ini ialah dilema Kohlberg yang
paling populer:
” Di Eropa seorang perempuan hampir meninggal akibat sejenis kanker khusus. Ada satu
obat yang menurut dokter dapat menyelamatkannya. Obat tersebut adalah sejenis radium
yang baru-baru ini ditemukan oleh seorang apoteker di kota yang sama. Biaya membuat obat
ini sangat mahal, tetapi sang apoteker menetapkan harganya 10X lebih mahal dari biaya
pembuatan obat tersebut. Untuk pembuatan 1 dosis obat ia membayar $ 200 dan menjualnya
$2.000. Suami pasien perempuan, Heinz pergi ke setiap orang yang ia kenal untuk meminjam
uang, tetapi ia hanya dapat mengumpulkan $1.000 atau hanya setengah dari harga obat. Ia
memberitahu apoteker bahwa istrinya sedang sakit dan memohon agar apoteker bersedia
menjual obatnya lebih murah atau membolehkannya membayar setengahnya kemudian.
Tetapi sang apoteker berkata ”tidak, aku menemukan obat, dan aku harus mendapatkan uang
dari obat itu.” Heinz menjadi nekat dan membongkar toko obat itu untuk mencuri obat bagi
istrinya.”
Cerita ini adalah salah satu dari 11 cerita yang dikembangkan oleh Kohlberg untuk
menginvestigasi hakekat pemikiran moral. Setelah membaca cerita, anak-anak yang menjadi
responden menjawab serangkaian pertanyaan tentang dilema moral. Haruskah Heinz mencuri
obat? Apakah mencuri obat tersebut benar atau salah? Pataskah suami yang baik itu mencuri?
Dll. Berdasarkan penalaran-penalaran yang diberikan oleh responden dalam merespon dilema
moral ini dan dilema moral lain. Dengan adanya cerita di atas menurut Kohlberg
menyimpulkan terdapat 3 tingkat perkembangan moral, yang masing-masing ditandai oleh 2
tahap.
Konsep kunci untuk memahami perkembangan moral, khususnya teori Kohlberg , ialah
internalisasi yakni perubahan perkembangan dari perilaku yang dikendalikan secara eksternal
menjadi perilaku yang dikendalikan secara internal.
Tabel 2
Teori Enam Tahap Perkembangan Moral versi Kohlberg[4].
Tiga tingkatan besar perkembangan sosial dan moral menurut Kohlberg adalah sebagai
berikut:
Penalaran Prakonvensional, yaitu ketika manusia berada dalam fase perkembangan
prayuwana ( usia 4-10 tahun) yang belum menanggap moral sebagai kesepakatan
tradisional. Pada tingkat ini, anak tidak memperlihatkan internalisasi nilai-nilai moral ,
penalaran moral dikendalikan oleh imbalan (hadiah) dan hukuman eksternal. Dengan kata
lain aturan dikontrol oleh orang lain (eksternal) dan tingkah laku yang baik akan mendapat
hadiah dan tingkah laku yang buruk mendapatkan hukuman.
Penalaran Konvensional, yaitu ketika manusia menjelang dan mulai memasuki fase
perkembangan yuwana (usia 10-13 tahun) yang sudah menganggap moral sebagai
kesepakatan tradisi sosial. Penalaran Konvensional merupakan suatu tingkat internalisasi
individual menengah dimana seseorang tersebut menaati stándar-stándar (Internal) tertentu,
tetapi mereka tidak menaati stándar-stándar orang lain (eksternal)seperti orang tua atau
aturan-aturan masyarakat.
Penalaran Pascakonvensional, yaitu ketika manusia telah memasuki fase perkembangan
yuwana dan pascayuwana (usia 13 tahun ke atas) yang memandang moral lebih dari sekedar
kesepakatan sosial. Penalaran Pascakonvensionalmerupakan suatu pemikiran tingkat tinggi
dimana moralitas benar-benar diinternalisasikan dan tidak didasarkan pada standar-standar
orang lain. Seseorang mengenal tindakan-tindakan moral alternatif, menjajaki pilihan-pilihan,
dan kemudian memutuskan berdasarkan suatu kode.
3. Albert Bandura
Teori pembelajaran sosial merupakan perluasan dari teori belajar perilaku yang
tradisional (behavioristik). Teori pembelajaran sosial ini dikembangkan oleh Albert
Bandura. Bandura tidak seperti rekan-rekannya sesama penganut aliran behaviorisme,
bandura memandang tingkah laku manusia bukan semata-mata refleks otomatis atas stimulus
(S-R bond), melainkan juga merupakan reaksi yang timbul akibat interaksi antara lingkungan
dengan skema kognitif manusia itu sendiri.
Menurut Bandura seperti yang dikutip Barlow (1985), sebagian besar yang dipelajari
manusia jadi melalui peniruan (imitation) dan penyajian contoh perilaku (modeling).
Pendekatan teori belajar sosial terhadap proses perkembangan sosial dan moral siswa
ditekankan pada perlunya conditioning (pembiasaan merespon) dan imitation (peniruan) [5].
a. Conditioning, Contohnya, seorang pelajar melihat temannya dipuji atau ditegur oleh gurunya
kerena perbuatannya, maka ia kemudian meniru melakukan perbuatan lain yang tujuannya
sama ingin dipuji oleh gurunya. Kejadian ini merupakan contoh dari penguatan melalui
pujian yang dialami orang lain atau vicarious reinforcement.
Berhubungan dengan hal tersebut, komentar yang disampaikan orang tua atau guru
ketika mengajarkan siswa merupakan faktor penting untuk proses internalisasi atau
penghayatan siswa tersebut terhadap moral standards (patokan-patokan moral). Reaksi-reaksi
siswa terhadap stimulus yang ia pelajari adalah hasil dari adanya pembiasaan merespon
sesuai dengan kebutuhan. Melalui proses pembiasaan merespon (conditioning) ini, ia juga
menemukan pemahaman bahwa ia dapat menghindari hukuman dengan memohon maaf
sebaik-baiknya agar terhindar dari sanksi.
b. Imitation, contohnya mula-mula seorang siswa mengamati gurunya yang sedang melakukan
sebuah perilaku sosial, umpamanya menerima seorang tamu. Lalu perbuatan menjawab
salam, berjabat tangan, beramah tamah, dan seterusnya akan diserap oleh memori siswa.
Cepat atau lambat, siswa tersebut mampu meniru secara baik apa yang dillakukan oleh sang
guru.
Kemampuan siswa dalam meniru apa yang diamati adalah bergantung pada ketajaman
persepsinya mengenai ganjaran dan hukuman yang berkaitan dengan benar dan salahnya
perilaku yang ia tiru tadi. Selain itu, tingkat kualitas imajinasi juga bergantung pada siapa
yang menjadi model yang ditiru olehnya.
Tabel 3
Perbadingan antara Teori Perkembangan Sosial dan Moral Siswa
versi A. Bandura dengan dengan versi L. Kohlberg[6].
2. Lingkungan sekolah
Sekolah merupakan lingkungan yang lebih luas daripada suatu keluarga dan merupakan
suatu yang menjadi tantangan bahkan menimbulkan kecemasan bagi seorang anak. Sekolah
merupakan salah satu lingkungan tempat remaja hidup dalam kesehariannya, jadi sekolah
juga memiliki potensi memudahkan atau menghambat perkembangan hubungan sosial
temaja. Iklim sekolah yang kurang positif tentu akan menghambat perkembangan hubungan
sosial remaja Iklim kehidupan sekolah yang konduksif dapat terlhat dari interaksi antara guru
dengan siswa siswa dengan siswa, keteladanan perilaku guru, etos keahlian guru yang
ditampilkan dalam melaksanakan tugas profesionalnya sehingga dapat menjadi model bagi
siswa yang tumbuh remaja.
Ada beberapa tahapan dari proses penyesuaian diri yang harus dilakukan oleh seorang
anak di lingkungan sekolah, yaitu anak dituntut untuk tidak merugikan orang lain serta
menghargai dan menghormati hak orang lain, menaati peraturan dan menyesuaikan diri
dengan norma yang berlaku, melakukan interaksi berdasarkan asas saling memberi dan
menerima serta seorang anak harus berusaha untuk memahami orang lain.
3. Lingkungan masyarakat
Masyarakat memiliki sifat tidak konsisten dalam bersikap, terhadap remaja khususnya.
Di satu sisi para remaja dianggap sudah beranjak dewasa, tetapi kenyataannya disisi lain
mereka tidak diberikan kesempatan atau peran penuh sebagaimana orang yang sudah dewasa.
Situasi seperti ini membuat para remaja jengkel dan merasa kecewa dan hal ini menyebabkan
terhambatnya perkembangan sosial remaja.
Remaja merupakan seorang yang sedang mencari jati diri, maka dari itu faktor
keteladanan dan kekonsistenan sistem nilai dan norma dalam masyarakat juga menjadi
sesuatu yang sangat penting untuk perkembangan sosial remaja. Soetjipto Wirosardjono
(1991) mengatakan bahwa bentuk-bentuk perilaku sosial merupakan hasil tiruan dan hasil
adaptasi dari pengaruh kenyataan sosial yang ada. Kebudayaan kita menyimpan potensi
melegitimasi anggota masyarakat untuk menampilkan perilaku sosial yang kurang baik
dengan berbagai dalih, yang sah maupun yang tak terelakkan. Hal ini sangatlah penting untuk
diperhatikan, apalagi remaja senantiasa selalu ingin tahu dan memiliki rasa penasaran yang
mendalam dengan trend yang berkembang dalam masyarakat agar mereka merasa dipandang
trendy.
1. G.W. Allport berpendapat “Personality is the dynamic organization within the individual of
those psychophycal sistem, that determines his unique adjusment to his environment”.
Artinya : personaliti itu adalah suatu organisasi psichophysis yang dinamis dari pada
seseorang yang menyebabkan ia dapat menyesuaikan diri dengan lingkungannya.
2. May berpendapat bahwa “kepribadian adalah suatu aktualisasi dari proses hidup dalam
seorang individu yang bebas, terintegrasi dalam masyarakat dan memiliki satu perasaan
cemas dalam batin, yang berhubungan dengan religiusitas.
3. Pengertian kepribadian menurut Withington adalah “Kepribadian adalah keseluruhan
tingkah laku seseorang yang diintegrasikan, sebagaimana yang nampak pada orang lain.
Kepribadian ini bukan hanya yang melekat dalam diri seseorang tetapi lebih merupakan
hasil dari pada suatu pertumbuhan yang lama suatu kulturil.
Proses Perkembangan Kepribadian
Proses perkembangan kepribadian anak dijelaskan sebagai berikut.
1. Pendidikan langsung yaitu melalui penanaman pengertian tentang tingkah laku sebagai
pribadi yang sudah dan benar atau baik dan buruk oleh orang tua, guru atau orang
dewasa lainnya dan hal yang penting adalah keteladanan itu sendiri.
2. Identifikasi yaitu dengan cara mengidentifikasi atau meniru penampilan atau tingkah laku
seseorang yang menjadi idolanya.
3. Proses coba-coba (trial and error) yaitu dengan cara mengembangkan tingkah laku moral
semacam coba-coba. Tingkah laku yang mendatangkan pujian atau penghargaan akan
terus dikembangkan, sementara tingkah laku yang mendatangkan hukuman atau celaan
akan dihentikan.
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Terbentuknya Kepribadian
Andi Mappiare mengatakan bahwa kepribadian terbentuk dari tiga faktor yaitu pembawaan
(hereditas), lingkungan dan citra diri (self concept).
1) Pembawaan (hereditas)
Pembawaan ialah segala sesuatu yang telah dibawa oleh anak sejak lahir, baik yang bersifat
kejiwaan maupun yang bersifat keturunan. Anak merupakan warisan dari sifat-sifat pembawaan
orang tuanya yang merupakan potensi tertentu.
2) Lingkungan
Faktor lingkungan yang ikut mempengaruhi terbentuknya kepribadian terdiri dari lingkungan
bersifat sosial dan lingkungan fisik. Lingkungan sosial ialah lingkungan yang terdiri dari
sekelompok individu (group) interaksi antara individu tersebut menimbulkan proses sosial dan
proses ini mempunyai pengaruh yang penting dalam perkembangan pribadi seseorang dengan
pendidikan lingkungan sosial yang disebut pergaulan erat dengan seseorang berupa tingkah
laku, sikap, mode pakaian atau cara berpakaian dan sebagainya.
Lingkungan fisik (alam) mempunyai pengaruh terhadap perkembangan pribadi seseorang. Yang
dimaksud lingkungan alam disini adalah segala sesuatu yang ada di sekitar anak selain individu
dan benda-benda kebudayaan antara lain keadaan geografis dan klimatologis. Anak yang
dibesarkan di daerah pantai akan lain dengan anak yang dibesarkan di daerah pegunungan.
Faktor lingkungan yang paling berperan dalam perkembangan kepribadian adalah rumah,
sekolah dan teman sebaya.
1. a) Rumah
Rumah adalah lingkungan pertama yang berperan dalam pembentukan kepribadian. Beberapa
sifat lingkungan rumah yang memungkinkan anak membentuk sifat-sifat kepribadian adalah
kesediaan orang tua menerima anak sebagai anggota keluarga, adanya sikap demokratis,
keadaaan ekonomis yang serasi, penyesuaian yang baik antara ayah dan ibu dalam pernikahan
dan penerimaan sosial para tetangga terhadap keluarga.
Keadaan rumah yang sederhana, bersih, rapi, dimana anak mendapat makanan yang sehat dan
anggota keluarga bersikap sedemikian rupa, sehingga memberi rasa aman kepada anak, inilah
yang akan membantu perkembangan kepribadian anak ke arah terbentuknya kepribadian yang
harmonis dan wajar.
1. b) Sekolah
Sekolah adalah tempat dimana anak dapat belajar dan menimba ilmu. Lingkungan sekolah yang
bersih, rapi akan membantu anak belajar dengan tenang dan nyaman. Disamping itu hubungan
antara siswa dengan guru, dan hubungan antara siswa dengan lingkungan sekolah lainnya perlu
dijaga karena hal tersebut dapat mempengaruhi perkembangan kepribadian anak.
1. c) Teman sebaya
Baik di sekolah maupun di luar sekolah kepribadian anak banyak dipengaruhi oleh teman
sebayanya. Dalam lingkungan sekolah anak belajar bermain dengan anak lain, belajar
bekerjasama dengan anak lain. Anak dan remaja berusaha mencapai realisasi diri melalui
keberhasilan, ia harus melebihi hasilnya sendiri untuk dapat maju dan harus dapat menyayangi
orang lain juga. Cara-cara yang memberikan keberhasilan dalam persaingan dalam hubungan
dengan teman sekolah, akan dipakainya dalam kompetisi selanjutnya. Kebiasaan ini akan
berlangsung terus dalam integrasi kepribadian pada masa dewasa.
Dari kedua faktor di atas, faktor lingkungan dan keturunan sangat berpengaruh bagi
perkembangan kepribadian anak. Faktor keturunan pada umumnya lebih kuat pengaruhnya
pada tingkat bayi, sedang faktor lingkungan lebih besar pengaruhnya apabila insan telah
meningkat dewasa.
7) Ikhlas
8) Hidup sederhana
2. PERKEMBANGAN MORAL
Secara etimologis, kata moral berasal dari kata mos dalam bahasa Latin, bentuk
jamaknya mores, yang artinya adalah tata-cara atau adat-istiadat. Dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia (1989), moral diartikan sebagai akhlak, budi pekerti, atau susila. Sedangkan menurut
Purwadarminto (dalam Sunarto, 2008) moral adalah ajaran tentang baik buruk perbuatan dan
kelakuan, akhlak, kewajiban, dan sebagainya. Moral berkaitan dengan kemampuan untuk
membedakan antara perbuatan yang benar dan yang salah. Dengan demikian, moral merupakan
kendali dalam bertingkah laku. Santrock mengemukakan pengertian moralitas yaitu perilaku
proporsional ditambah beberapa sifat seperti kejujuran, keadilan, dan penghormatan terhadap
hak-hak dan kebutuhan-kebutuhan orang lain. Kolhberg (dalam Santrock, 2009) menekankan
bahwa perkembangan moral didasarkan terutama pada penalaran moral dan berkembang
secara bertahap.
Bidang-bidang Perkembangan Moral
Perkembangan moral berhubungan dengan pereaturan dan ketentuan tentang interaksi yang
pantas di antara orang-orang. Peraturan ini bisa dipelajari dalam tiga bidang. Santrock (2009)
membagi bidang perkembangan moral menjadi 3 yaitu.
1) Bidang kognitif. Isu utamanya adalah bagaimana para siswa berfikir tentang peraturan-
pereaturan agar bersikap yang pantas.
2) Bidang perilaku, fokusnya ada pada pikiran dan perilaku siswa.
3) Bidang emosional, penekanannya ada pada bagaimana dapat merasa secara moral.
Piaget (1932) mengatakan bahwa perkembangan moral sebagian besar dapat ditingkatkan
melalui hubungan timbale balik antar sebaya. Pada kelompok teman sebaya, semua anggota
mempunyai kekuatan dan status yang sama, anak-anak menegosiasikan peraturan serta
mendiskusikan dan menyelsaikan perselisihan. Pandangan Piaget, orang tua memainkan peran
yang tidak begitu penting dalam perkembangan moral anak-anak karena orang tua memiliki jauh
lebih banyak kekuatan ketimbang anak-anak dan memberikan peraturan secara otoriter
(Santrock. 2009).
2) Teori Kohlberg
Penalaran moral tinggi yaitu penalaran yang dalam mengenai hukum moral dan nilai-nilai luhur
seperti kesetaraan, keadilan, hak-hak asasi manusia, memerlukan refleksi yang mendalam
mengenai ide-ide abstrak. Dengan demikian dalam batas-batas tertentu, perkembangan moral
bergantung pada perkembangan kognitif.
2) Penggunaan Rasio
Seseorang lebih cenderung memperleh manfaat dalam perkembangan moral ketika memikirkan
kerugan fisik dan emosional yang ditimbulkan perilaku-perilaku tertentu terhadap orang lain.
Kolhberg dalam teorinya mengenai teori perkembangan moral menyatakan bahwa disekuilibrium
adalah anak-anak berkembang secara moral ketika mereka menghadapi suatu dilemma moral
yang idak dapat ditangani secara memadai dengan menggunakan tingkat penalaran moralnya
saat itu. Dalam upaya membantu anak-anak yang mengahdapi dilema semacam itu Kulhborg
menyarankan agar guru menawarkan penalaran moral satu tahap di atas tahap yang dimilik
anak pada saat itu.
4) Perasaan Diri
Siswa lebih cenderung terlibat dalam perilaku moral ketika mereka berpikir bahwa mereka
sesungguhnya mampu menolong orang lain. Mereka menganggap diri mereka sebagai peribadi
bermoral dan penuh perhatian, yang peduli pada hak-hak dan kebaikan orang lain. Tindakan
alturuistik dan bela rasa yang mereka lakukan tidak terbatas hanya pada teman-teman dan
orang-orang yang mereka kenal saja, melainkan meluas ke masyarakat.
3. PERKEMBANGAN SOSIAL
Perkembangan sosial peserta didik adalah tingkatan jalinan interaksi anak dengan orang lain,
mulai dari orang tua, saudara, teman bermain, hingga masyarakat secara luas. Berikut
pengertian perkembangan sosial menurut beberapa ahli:
1. Perkembangan sosial adalah kemajuan yang progresif melalui kegiatan yang terarah dari
individu dalam pemahaman atas warisan sosial dan formasi pola tingkah lakunya yang
luwes. Hal itu disebabkan oleh adanya kesesuaian yang layak antara dirinya dengan
warisan sosial itu.
2. Menurut Elizabeth B. Hurlock, perkembangan sosial adalah kemampuan seseorang dalam
bersikap atau tata cara perilakunya dalam berinteraksi dengan unsur sosialisasi di
masyarakat.
3. Singgih D Gunarsah, perkembangan sosial merupakan kegiatan manusia sejak lahir,
dewasa, sampai akhir hidupnya akan terus melakukan penyesuaian diri dengan
lingkungan sosialnya yang menyangkut norma-norma dan sosial budaya masyarakatnya.
Proses Perkembangan Sosial
Berikut ini terori perkembangan sosial menurut Erik Erikson yang tergambar pada tahap-tahap
perkembangan anak sebagai berikut:
1) Keluarga
Keluarga merupakan lingkungan pertama yang memberikan pengaruh terhadap berbagai aspek
perkembangan anak, termasuk perkembangan sosialnya. Kondisi dan tata cara kehidupan
keluarga merupakan lingkungan yang kondusif bagi sosialisasi anak. Proses pendidikan yang
bertujuan mengembangkan kepribadian anak lebih banyak ditentukan oleh keluarga, pola
pergaulan, etika berinteraksi dengan orang lain banyak ditentukan oleh keluarga.
2) Kematangan
Untuk dapat bersosilisasi dengan baik diperlukan kematangan fisik dan psikis sehingga mampu
mempertimbangkan proses sosial, memberi dan menerima nasehat orang lain, memerlukan
kematangan intelektual dan emosional, disamping itu kematangan dalam berbahasa juga sangat
menentukan.
Kehidupan sosial banyak dipengaruhi oleh kondisi sosial ekonomi keluarga dalam masyarakat.
Perilaku anak akan banyak memperhatikan kondisi normatif yang telah ditanamkan oleh
keluarganya.
4) Pendidikan
Pendidikan merupakan proses sosialisasi anak yang terarah. Hakikat pendidikan sebagai proses
pengoperasian ilmu yang normatif, anak memberikan warna kehidupan sosial anak didalam
masyarakat dan kehidupan mereka di masa yang akan datang.
Kemampuan berfikir dapat banyak mempengaruhi banyak hal, seperti kemampuan belajar,
memecahkan masalah, dan berbahasa. Perkembangan emosi perpengaruh sekali terhadap
perkembangan sosial anak. Anak yang berkemampuan intelek tinggi akan berkemampuan
berbahasa dengan baik. Oleh karena itu jika perkembangan ketiganya seimbang maka akan
sangat menentukan keberhasilan perkembangan sosial anak.