Anda di halaman 1dari 16

Makalah Pembangunan Politik

Birokrasi dan Politik

“Birokrasi dan Politik di Indonesia, Netralisasi yang Sulit ”


oleh
Febryna Mulya
1306427226

A. Latar Belakang
Birokrasi dan politik bagai dua mata uang yang tidak bisa dipisahkan satu sama lain.
Birokrasi dan politik memang merupakan dua institusi yang memiliki karakter yang erbeda,
namun saling mengisi. Dua karakter yang berbeda antara ini memerikan sisi positif terkait
dengan sinergi, namun disisi lain tidak dapat dipisahkan dengan aroma perselingkuhan.1 Syafuan
Rozi menyatakan bahwa birokrasi sebagai wewenang atau kekuasaan yang beragai departemen
pemerintahan dan cabang-cabangnya memperebutkan sesuatu untuk kepentingan diri sendiri
mereka sendiri, atau sesame warga negara.2 Ciri khas birokrasi adalah bentuk institusi yang
berjanjang, rekuitmen berdasarkan keahlian, danb ersifat impersonal.Sedangkan politik adalah
usaha untuk menentukan peraturan-peraturan yang dapat diterima baik oleh sebahagian besar
warga untuk membawa masyarakat kearh kehidupan bersama yang harmonis.3
Berdasarkan studi Guelermo O'Donnel bahwa negara telah muncul sebagai kekuatan
politik yang tidak hanya relatif mandiri berhadapan dengan faksi-faksi elit pendukungnya serta
masyaraklu sipil, tetapi ia telah menjadi kekuatan dominan yang marnpu mengatasi keduanya.
Otoritarian Birokratik memang diciptakan untuk melakukan pengawasan yang kuat terhadap
masyarakat sipil, terutama dalam upaya mencegah massa rakyat di bawah keterlibatan politik
yang terlampau aktif agar proses akselerasi industrialisasi tidak tergangggu (Guelermo O'Donnel
dalam Muhammad AS Hikam, Jurnal IImu Politik No.8, AIPI LIPI Jakarta 1991: 68).
Studi Fred W Rigg tentang Bureaucratic Polity dan GuelermO'Donnel tentang
Bureaucratic Authoritarian nampaknya menggarisbawahi bahwa dalam masyarakat tertentu

1
M. Akhyar HSB. 2010. skripsi. Relasi dan Politik (Analisa Pola Rekruitmen Kepala Biro dan Kepala
DinasPadaPemerintahan ProvinsiSumut Pasca Pil –Gub 2008). Ilmu Politik USU : Medan
2
Syafuan Rozi. 2006. Zaman Bergerak Reformasi di Rombak. Yogyakarta : PustakaPelajar . Hal 9-10.
3
Miriam Budiarjo. 2008. Dasar-dasarIlmu Politik Edisi Revisi. Jakarta : PT Gramedia.. Hal. 15.

1
posisi birokrasi sudah berada di bawah kontrol politik kekuasaan dalam rangka mendapatkan
sumber legitimasi politik melalui sarana birokrasi. Jika dalam studi Rigg birokrasi. berkolaborasi
dengan kekuasaan pemerintah, maka model O'Donnell birokrasi itu tidak hanya berkolaborasi
dengan kekuasan tetapi juga melibatkan diri hampir di semua bidang kegiatan. Keterlibatan
negara tidak hanya dalam bidang poitik formal, namun menjalar sampai kepada kegiatan
ekonomi sosial budaya termasuk juga ideologi.

B. Rumusan Masalah
Politik, kekuasaan, dan birokrasi dalam dinamika pemerintahan Indonesia bagaikan
kesatuan yang tidak terpisahkan. Hubungan ketiganya dapat dilacak dari sejarah awal
pembentukan negara ini, dari masa kerajaan, zaman kolonial hingga setelah kemerdekaan. Tarik
menarik politik dan kekuasaan berpengaruh kuat terhadap pergeseran fungsi dan peran birokrasi
selama ini. Birokrasi yang seharusnya bekerja melayani dan berpihak kepada rakyat berkembang
menjadi melayani penguasa dengan keberpihakan pada politik dan kekuasaan. Sampai saat ini,
pengaruh kuat pemerintah terhadap birokrasi membuat sulitnya mesin birokrasi member
pelayanan publik yang profesional, rentan terhadap tarik-menarik kepentingan politik, korupsi,
kolusi, nepotisme, inefisiensi, dan berbagai penyakit birokrasi lainnya.
Di Indonesia hubungan birokrasi dan politik telah melahirkan banyak studi, diantaranya,
Karl D Jackson menilai bahwa birokrasi di Indonesia adalah model bureaucratic polity di mana
terjadi akumulasi kekuasaan pada negara dan menyingkirkan peran masyarakat dari ruang politik
dan Pemerintahan. Richard Robinson dan King menyebut birokrasi di Indonesia sebagai
bureaucratic capitalism. Sementara Hans Dieter Evers melihat bahwa proses birokrasi di
Indonesiaberkembang model birokrasi ala Parkinson dan ala Orwel. Birokrasi ala Parkinson
adalah pola dimana terjadi proses pertumbuhan jumlah personil dan pemekaran structural dalam
birokrasi secara tidak terkendali. Sedang birokrasi ala Orwel adalah pola birokratisasi sebagai
proses perluasan kekuasaan Pemerintah dengan maksud mengontrol kegiatan ekonomi, politik
dan sosial dengan peraturan, regulasi dan bila perlu melalui paksaan. Dengan demikian
birokrasi di Indonesia tidak berkembang menjadi lebih efisien, tetapi justru sebaliknya
inefisiensi, berbelit-belit dan banyak aturan formal yang tidak ditaati. Birokrasi di Indonesia
ditandai pula dengan tingginya pertumbuhan pegawai dan pemekaran struktur organisasi dan

2
menjadikan birokrasi semakin besar dan membesar. Birokrasi juga semakin mengendalikan dan
mengontrol masyarakat dalam bidang politik, ekonomi dan sosial.4
Cap birokrasi Indonesia seperti itu ternyata bukan sampai di situ saja, tetapi melalui
pendekatan budaya birokrasi Indonesia masuk dalam kategori birokrasi patrimonial. Ciri-ciri dari
birokrasi patrimonial adalah (1) para pejabat disaring atas dasar kriteria pribadi; (2) jabatan
dipandang sebagai sumber kekayaan dan keuntungan; (3) para pejabat mengontrol baik fungsi
politik maupun fungsi administrasi; dan (4) setiap tindakan diarahkan oleh hubungan pribadi dan
politik. Munculnya birokrasi patrimonial di Indonesia merupakan kelanjutan dan warisan dari
system nilai tradisional yang tumbuh di masa kerajaan-kerajaan masa lampau dan bercampur
dengan birokrasi gaya kolonial. Jadi, selain tumbuh birokrasi modern tetapi warisan birokrasi
tradisional juga mewarnai dalam perkembangan birokrasi di Indonesia.
Bergulirnya roda reformasi sejak 1998 menuntut agar terjadi perubahan di segala bidang,
tidak terkecuali masalah birokrasi. Terjadinya perubahan sistem politik tentunya juga
mempengaruhi sistem birokrasi apalagi Indonesia yang menggunakan sistem Demokrasi, mau
tak mau Indonesia juga turut membuka arus globalisasi. Penulis berasumsi bahwa, dengan arus
demokrasi dan globalisasi tentu mempengaruhi birokrasi di nasional.

C. Pertanyaan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah yang telah penulis uraikan sebelumnya maka penulisan
makalah ini menitik beratkan Bagaimana hubungan birokrasi dan politik di Indonesia setelah
adanya reformasi politik 1998? Terkait dengan adanya perubahan sistem politik dan arus
globalisasi yang masuk ke Indonesia secara terbuka.

D. Landasan Teori
Birokrasi berkembang sejalan dengan perkembangan politik maupun ekonomi suatu
masyarakat. Semakin modern suatu masyarakat, dalam arti semakin demokratis dan semakin
makmur ekonomi mereka, akan semakin banyak tuntutan baru. Berkembangnya jaringan
birokrasi (bureaucratization) adalah upaya memenuhi tuntutan baru tersebut (Riswanda Imawan,
1998: 85). Dalam terminologi ilmu politik, setidaknya dikenal empat model birokrasi yang

4
Lili Romli. 2004. Masalah ReformasiBirokrasi. Jurnal Kebijakan dan Manajemen PNS. Pusat Pengkajian dan
Penelitian Kepegawain BKN.

3
umumnya ditemui dalam praktik pembangunan di beberapa negara di dunia. Keempat model
tersebut meliputi model birokrasi Weberian, Parkinsonian, Jacksonian, dan Orwellian. Secara
lebih rinci keempat model birokrasi tersebut dapat diuraikan sebagai berikut.
Model birokrasi Weberian digagas oleh Max Weber, seprang tokoh penting yang
menjelaskan konsep birokrasi modern. Weberian menunjuk pada model birokrasi yang
memfungsikan birokrasi sehingga memenuhi kriteria-kriteria ideal birokrasi Weber. Setidaknya
ada 7 (tujuh) kriteria-kriteria ideal birokrasi yang digambarkan Max Weber, yaitu: 1) adanya
pembagian kerja yang jelas; 2) hierarki kewenangan yang jelas; 3) formalisasi yang tinggi; 4)
bersifat tidak pribadi (impersonal); 5) pengambilan keputusan mengenai penempatan pegawai
yang didasarkan atas kemampuan; 6) jejak karir bagi para pegawai; dan 7) kehidupan organisasi
yang dipisahkan dengan jelas dari kehidupan pribadi (Stephen P. Robbins, 1994: 338).
Birokrasi Parkinsonian merupakan model birokrasi dengan memperbesar sosok
kuantitatif birokrasi. Parkinsonian dilakukan dengan mengembangkan jumlah anggota birokrasi
untuk meningkatkan kapabilitasnya sebagai alat pembangunan. Di satu sisi, Parkinsonian
dibutuhkan untuk mengakomodasikan perkembangan masyarakat yang semakin maju, di sisi lain
Parkinsonian dibutuhkan untuk mengatasi persolan-persoalan pembangunan yang makin
bertumpuk (Eep Saefulloh Fatah, 1998: 192). Birokrasi Jacksonian merupakan model birokrasi
yang menjadikan birokrasi sebagai akumulasi kekuasaan negara dan menyingkirkan masyarakat
di luar birokrasi dari ruang politik dan pemerintahan. Jacksonian, sebenarnya diambil dari nama
seorang jenderal militer yang tangguh dan seorang negarawan yang terkenal sebagai mantan
Presiden Amerika Serikat yang ke-7 (1824-1932) – menjabat dua kali – yaitu Andrew Jackson
(Eep Saefulloh Fatah, 1998: 194).
Birokrasi model Orwellian ini merupakan model yang menempatkan birokrasi sebagai
alat perpanjangan tangan negara dalam menjalankan kontrol terhadap masyarakat. Ruang gerak
masyarakat menjadi terbatas, sepertinya ”bernafas” saja dikontrol oleh birokrasi. Hal itu
dikarenakan dalam berbagai hal terkait dengan kehidupan masyarakat harus meminta ijin kepada
birokrasi. Orwell menggambarkan birokrasi semacam itu di Amerika Serikat. Pada waktu Ronald
Reagen menjabat presiden (1981), ia mengadakan pemangkasan terhadap birokrasi. Pada waktu
itu di Amerika Serikat untuk mengurusi hamburger saja, ada ratusan peraturannya yang
berimplikasi pada semakin banyaknya jumlah pegawai. Untuk itu diadakan pemangkasan dan
pegawainya dikurangi (Eep Saefulloh Fatah, 1998: 195).

4
E. Pembahasan dan Analisis
1. Politisasi Birokrasi di Indonesia.
Di Indonesia atau kebanyakan negara berkembang di Asia, baik karena kelemahan kelas
menengah yang produktif, atau preferensi ideologi kanan maupun kiri, birokrasi pemerintah
menjadi alat pembangunan yang utama. Sebagai alat utama pembangunan, birokrasi memiliki
posisi dan peran yang sangat strategis karena menguasai berbagai aspek hajat hidup masyarakat.
Mulai dari urusan kelahiran, pernikahan, usaha, hingga urusan kematian, masyarakat tidak bisa
menghindar dari urusan birokrasi. Birokrasi menguasai akses ke sumber daya alam, anggaran,
pegawai, proyek-proyek, serta menguasai akses pengetahuan dan informasi yang tidak dimiliki
pihak lain. Birokrasi juga memegang peranan penting dalam perumusan, pelaksanaan, dan
pengawasan berbagai kebijakan publik, termasuk evaluasi kinerjanya. Adalah logis apabila pada
setiap perkembangan politik, selalu terdapat upaya menarik birokrasi pada area permainan
politik. Birokrasi dimanfaatkan untuk mencapai, mempertahankan, atau memperkuat kekuasaan
oleh partai tertentu atau pihak pemegang kekuasaan.
Ini terjadi pada masa Demokrasi Parlementer tahun 1950-an di mana partai politik
menjadi aktor sentral dalam sistem politik Indonesia. Pemilihan umum pertama yang demokratis
berlangsung dalam periode ini. Dan birokrasi, secara massif, telah menjadi objek pertarungan
kepentingan dan arena perlombaan pengaruh oleh partai politik, sehingga menimbulkan
polarisasi dan fragmentasi birokrasi. Sementara peralihan ke masa Demokrasi Terpimpin (1959-
1966) tidak menghasilkan perubahan mendasar dalam birokrasi, kecuali perubahan peta kekuatan
politik. Pergeseran politik ke arah otoritarianisme saat itu menyebabkan peran partai mulai
termarjinalkan. Semua kehidupan politik yang sudah berkembang sebelumnya, diberangus
dengan menempatkan Presiden Soekarno sebagai patron kekuasaan. Saat itu, satu-satunya partai
yang dapat menarik keuntungan karena kedekatannya dengan Presiden Soekarno adalah Partai
Komunis Indonesia (PKI). Namun Soekarno, PKI, dan sayap militer angkatan darat yang
dimobilisir Soeharto terlibat dalam pergolakan politik yang mencapai puncaknya pada peristiwa
Gerakan 30 September (G30S). 5
Ini tentu menimbulkan fragmentasi dalam birokrasi. Peralihan ke Orde Baru (1966-1998)
ini merupakan peristiwa perubahan konfigurasi politik yang cukup drastis. Terjadi polarisasi

5
Adi Suryadi Culla, Dosen Fisip Unhas, Tantangan Reformasi Birokrasi, 15 Sep 2005.

5
politik yang diperketat menuju ke pola dominasi militer dan Golongan Karya (Golkar). Hal ini
menyebabkan kekuatan militer pada masa Orde Baru berhasil mendominasi struktur birokrasi,
termasuk memperalatnya sebagai sarana represif. Bedanya dengan masa sebelumnya, birokrasi
masa Orde Baru tidak lagi terfragmentasi oleh pertarungan kepentingan partai-partai, tetapi
terjebak dalam hegemoni kekuasaan rezim otoritarian Orde Baru yang didominasi militer.
Selama masa pemerintahan Orde Baru, birokrasi benar-benar sempurna menjadi alat politik
rezim patrimonialistik dan militeristik Presiden Soeharto. Tidak heran, setelah keruntuhan Orde
Baru 1998, berkembang tuntutan luas dari publik bagi penegakan netralitas politik birokrasi.
Tuntutan reformasi ini sebenarnya telah direspon sebagian oleh rezim pemerintahan
pascaSoeharto. Hubungan antara birokrasi dengan kekuatan politik praktis mulai dipangkas,
termasuk keterkaitan birokrasi dengan Golkar bersama kino-kino derivasinya. Sementara Korps
Pegawai Republik Indonesia (Korpri), sebagai satu-satunya wadah pegawai negeri, disingkirkan
sebagai wadah korporatik yang merantai aparat birokrasi. Pasca reformasi, ikhtiar untuk
melepaskan birokrasi dari kekuatan dan pengaruh politik gencar dilakukan. Kesadaran
pentingnya netralitas birokrasi mencuat terus-menerus. BJ Habibie, Presiden saat itu,
mengeluarkan PP Nomor 5 Tahun 1999 (PP No.5 Tahun 1999), yang menekankan kenetralan
pegawai negeri sipil (PNS) dari partai politik. Aturan ini diperkuat dengan pengesahan UU
Nomor 43 Tahun 1999 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian untuk menggantikan UU Nomor 8
Tahun 1974. Intinya membolehkan PNS berafiliasi dengan partai, namun bila menjadi anggota
partai tertentu, maka ia dilarang aktif dalam jabatannya di partai politik. Ketentuan yang sama
juga berlaku bagi unsur militer (TNI) dan kepolisian (Polri).
Meski demikian wajah birokrasi di Indonesia sepertinya tidak pernah berubah dalam hal
pelayanan terhadap publik. Dari dulu belum ada perubahan yang berarti. Birokrasi tetap diliputi
berbagai praktik penyimpangan dan inefisiensi. Birokrasi dalam banyak hal masih menunjukkan
”watak buruknya” seperti enggan terhadap perubahan (status quo), eksklusif, kaku, dan terlalu
dominan. Indikator lain yang merefleksikan potret buruk birokrasi adalah tingginya biaya yang
dibebankan untuk layanan publik baik yang berupa legal cost maupun illegal cost, seperti waktu
tunggu yang lama, banyaknya pintu layanan yang harus dilewati, atau service style yang tidak
berperspektif pelanggan. Penyebab lainnya adalah rendahnya kompetensi birokrat yang
disinyalirdisebabkan oleh renggangnya kualitas rekrutmen dan rendahnya kualitas pembinaan
kepegawaian serta dominannya kepentingan politis dalam kinerja birokrasi. Buruknya kinerja

6
birorkasi ini pada akhirnya mempengaruhi gerak pembangunan dan daya saing bisnis. Menurut
Human Development Index (HDI) yang dipaparkan United Nations Development Programme
(UNDP) pada 2004, Indonesia berada di peringkat ke-111 dari 177 negara, setingkat di atas
Vietnam dan jauh di bawah negara tetangga lainnya macam Singapura atau Malaysia. Sementara
merujuk laporan Global Competitiveness Report 2003-2004 yang meliputi aspek pertumbuhan
dan bisnis, indeks daya saing pertumbuhan Indonesia turun ke peringkat 72 dari 102 negara pada
tahun 2003, dibandingkan dengan peringkat ke-69 pada 2002.

2. Menetralisasi Birokrasi dan Politik


Wacana seputar netralitas birokrasi sebenarnya bukan pemikiran yang baru. Tema ini
sudah menjadi pembicaraan lama di antara para ahli. Kritik Karl Marx terhadap filsafat Hegel
tentang negara sedikitnya menggambarkan bahwa netralitas birokrasi itu penting, sekalipun
dalam kritiknya, Marx hanya mengubah "isi" dari teori Hegel tentang tiga kelompok dalam
masyarakat; yaitu kelompok kepentingan khusus (particular interest) yang diwakili oleh para
pengusaha dan profesi, kelompok kepentingan umum (general interest) yang diwakili oleh
negara, dan kelompok birokrasi.
Marx menyatakan bahwa birokrasi sebaiknya memposisikan dirinya sebagai kelompok
sosial tertentu yang dapat menjadi instrumen kelompok dominan/penguasa. Kalau sebatas hanya
sebagai penengah antara negara yang mewakili kelompok kepentingan umum dengan kelompok
kepentingan khusus yang diwakili oleh pengusaha dan profesi, maka birokrasi tidak akan berarti
apa-apa. Dengan konsep seperti ini, Marx menginginkan birokrasi harus memihak kepada
kelompok tertentu yang berkuasa. Sedangkan Hegel dengan konsep tiga kelompok dalam
masyarakat di atas menginginkan birokrasi harus berposisi di tengah sebagai perantara antara
kelompok kepentingan umum (negara) dengan kelompok kepentingan khusus (pengusaha dan
profesi). Birokrasi dalam hal ini, menurut Hegel, harus netral (Anshori, 2004). Sedangkan
menurut Wilson, birokrasi sebagai lembaga pelaksana kebijakan politik, dalam kaitannya dengan
netralitas birokrasi, berada di luar bagian politik. Sehingga permasalahan birokrasi/administrasi
hanya terkait dengan persoalan bisnis dan harus terlepas dari segala urusan politik (the hurry and
strife of politics).
Konsep dasar yang diletakkan Wilson kemudian diikuti para sarjana ilmu politik lainnya
seperti D. White, Willoughby dan Frank Goodnow. Menurut Goodnow, ada dua fungsi pokok

7
pemerintah yang amat berbeda satu sama lain, yaitu politik dan adiministrasi. Politik menurut
Goodnow harus membuat dan merumuskan kebijakan-kebijakan, sementara administrasi
berhubungan dengan pelaksanaan kebijakan. Konsekuensinya, birokrasi pemerintah perlu
dilibatkan dalam proses pembuatan kebijakan agar muncul tanggung jawab serta bisa
meneguhkan posisi birokrasi di hadapan . Untuk menghindari munculnya birokrasi yang
otoriter (the authoritarian bureaucracy), maka kontrol yang kuat harus benar-benar dilakukan
oleh kekuatan sosial dan politik yang ada melalui lembaga legislatif agar birokrasi pemerintah
tidak kebal kritik, dan merasa tidak pernah salah, serta arogan. Sedangkan sebagai lembaga
pelayanan publik, agar pelayananannya kepada masyarakat dan pengabdiannya kepada
pemerintah lebih fungsional, maka birokrasi perlu netral, dalam artian birokrasi tidak memihak
kepada atau berasal dari satu kekuatan politik tertentu yang dominan. Selain itu, birokrasi
pemerintah perlu dilibatkan dalam proses pembuatan kebijakan
atau pengambilan keputusan.
Di Indonesia, upaya melepas birokrasi dari pengaruh politik bukan lagi sekedar wacana.
Seperti sudah disinggung di atas, pada masa kePresidenan Habibie, telah dikeluarkan PP No. 5
Tahun 1999 yang menekankan bahwa PNS harus netral dari partai politik. Meskipun usaha itu
merupakan langkah maju, namun belum mampu mewujudkan birokrasi yang netral dan
independen mengingat birokrasi di Indonesia belum lepas dari pengaruh pemerintah (eksekutif)
yang merupakan kekuasaan politik.
Dalam konteks Indonesia, aspek kenegaraan dan pemerintah seringkali tidak jelas.
Menurut Istkantrinah (2003), dalam sistem pemerintahan Indonesia, Presiden memiliki dua
kedudukan, sebagai salah satu organ negara yang bertindak untuk dan atas nama negara, dan
sebagai penyelenggara negara/adminsitrasi negara. Pada prakteknya, seringkali terjadi
pencampuradukan antara Presiden sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan. Peran
eksekutif yang dimainkan Presiden seringkali dialamatkan kepada kepala negara, begitu
sebaliknya. Ketidakjelasan peran ini mengakibatkan birokrasi yang seharusnya menjadi institusi
negara, lalu menjadi institusi pemerintah.
Administrasi negara sebagai organ birokrasi di Indonesia tampaknya akan sulit bersikap
independen dan netral. Di Indonesia, adminisrasi negara berada di bawah kekuasaan pemerintah,
dan karenanya disebut administrasi pemerintahan. Posisi ini membuat birokrasi senantiasa dalam
bayang-bayang kuat pemerintahan, baik Presiden-Wakil Presiden, Menteri, serta Kepala Daerah

8
provinsi dan Kepala Daerah kabupaten/kota. Merujuk pada Rancangan Undang Undang (RUU)
Administrasi Pemerintahan yang dikeluarkan oleh kantor Menteri Pendayagunaan Aparatur
Negara (Menpan);
Administrasi Pemerintahan adalah semua tindakan hukum dan tindakan materiil
pemerintahan yang dilakukan oleh instansi Permerintah dan Pejabat Administrasi
Pemerintahan serta badan hukum lain yang diberi wewenang untuk melaksanakan
semua fungsi atau tugas pemerintahan, termasuk memberikan pelayanan publik
terhadap masyarakat berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Sedangkan instansi Pemerintah adalah semua lembaga pemerintah adalah semua
lembaga pemerintah yang melaksanakan fungsi administrasi pemerintahan di
lingkungan ekskutif baik di pusat maupun daerah termasuk komisi-komisi, dewan,
badan yang mendapat dana dari APBN/APBN. (RUU Administrasi Pemerintahan,
draft XI B, januari 2006)
Rumusan di atas mempertegas posisi administrasi pemerintahan yang berada di bawah
kekuasaan eksekutif (pemerintah). Pandangan itu dikukuhkan dengan sistem Presidensiil yang
dianut di Indonesia di mana Presiden dan Wakil Presiden merupakan institusi penyelenggara
kekuasaan ekskutif negara yang tertinggi di bawah konstitusi. Dalam sistem ini tidak dikenal dan
tidak perlu dibedakan adanya kepala negara dan kepala pemerintahan. Keduanya adalah Presiden
dan Wakil Presiden. Dalam menjalankan pemerintahan negara, kekuasan dan tanggung jawab
politik berada di tangan Presiden (concentration of power and responsibility upon the
President).6
Pemahaman seperti itu memunculkan kekeliruan kerangka pemikiran yang sudah jamak
dibangun, yakni;
a. Kepala pemerintah/daerah adalah penguasa dan penanggung jawab
pemerintahan.
b. Birokrasi (administrasi pemerintahan) berada di wilayah eksekutif dan
merupakan aparat pemerintah.
c. Pemerintah (Presiden-Wakil, Menteri, Kepala Daerah) memiliki kewenangan
dan tanggung jawab sepenuhnya untuk menjalankan roda administrasi
pemerintahan.

6
Jimly Asshiddiqie, Struktur Ketatanegaraan Indonesia setelah Perubahan Keempat UUD 1945, Makalah Seminar
Pembangunan Hukum Nasional VIII, Tema: Penegakan Hukum dalam Era Pembangunan Berkelanjutan,
diselenggarakan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia RI,
2003, hal. 8.

9
Pola hubungan atasan-bawahan antara administrasi negara dengan pemerintah juga
terlihat jelas dalam aturan Kewajiban, Kesetiaan dan Ketaatan Pegawai Negeri. UU No.43 Tahun
1999 Tentang Perubahan atas UU No.8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian,
menyebutkan bahwa setiap Pegawai Negeri setia dan taat kepada Pancasila, Undang-Undang
Dasar 1945, negara dan pemerintah serta wajib menjaga kesatuan bangsa dalam Negara
Kesatuan Republik Indonesia. Kata Pemerintah dalam pasal tersebut menunjukkan adanya pola
hubungan yang jelas antara pegawai negeri selaku pejabat administrasi pemerintahan dengan
pemerintah. Hubungan tersebut menunjukkan bahwa pemerintah merupakan atasan pegawai
negeri sehingga pegawai negeri harus setia terhadap pemerintah. Pola hubungan yang sama juga
terlihat pada susunan kata sumpah pegawai negeri 7yang berbunyi:
”Demi Allah, saya bersumpah/berjanji: bahwa saya, untuk diangkat menjadi
Pegawai Negeri Sipil akan setia dan taat sepenuhnya kepada Pancasila, Undang-
Undang Dasar 1945, Negara dan Pemerintah.”
Kata Pemerintah di atas menunjukkan aspek keharusan taat dan patuh pegawai negeri
terhadap pemerintah. Berbeda dengan hubungan antara pemerintah (eksekutif) dan Tentara
Nasional Indonesia (TNI) yang bukan atasan bawahan.8 Susunan sumpah kesetiaan TNI hampir
sama dengan sumpah pegawai negeri tapi tanpa kata Pemerintah, yaitu:
”Demi Allah, saya bersumpah/berjanji: bahwa saya akan setia kepada Negara
Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-undang
Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945.”
Melihat besarnya pengaruh pemerintah terhadap birokrasi yang terus berlangsung hingga
sekarang, maka penting untuk mengartikulasikan kembali tuntutan netralisasi birokrasi, bahwa
birokrasi harus lepas dari pengaruh pemerintah, birokrasi harus independen dan bekerja dalam
kaidah-kaidah profesional. Birokrasi harus lepas dari pengaruh kekuasaan dan memposisikan
dirinya sebagai abdi negara dan abdi masyarakat dan bukan abdi pemerintah. Sebagai abdi
negara, birokrasi harus fokus pada tugas-tugas kenegaraan yang dibebankan kepadanya sesuai
dengan aturan-aturan yang ditetapkan.
Sebagai alat negara, organ birokrasi negara menjalankan tugas-tugas kenegaraan dan
hanya tunduk kepada negara. Meski dalam praktek, administrasi negara menjalankan tugas
pemerintah sebagai atasan formal, namun tidak berarti pemerintah bisa semaunya menjalankan

7
UU No 43 tahun 1999 Tentang Perubahan Atas UU no 8 tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian, pasal
26.1
8
Pasal 35 dan 36 Undang-undang RI Nomor 34 tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia.

10
’mesin’ birokrasi yang bernama administrasi negara. Administrasi negara menjalankan tugas
pemerintah sejauh tugas itu telah dimandatkan UU. Administrasi negara berhak menolak
perintah pemerintah jika aturan itu tidak tertera dalam UU, apalagi melanggar ketentuan UUD.
Pada posisi ini, idealnya aministrasi negara memiliki rujukan pada konstitusi. Dengan adanya
payung hukum tertinggi, maka atasan administrasi negara yang sesungguhnya adalah UUD
sehingga posisinya sebagai alat negara sangat kuat.

3. Birokrasi dan Politik Di Indonesia Tidak Terpisahkan


Reformasi 1998, secara nyata membawa iklim politik baru bagi Indonesia yaitu lahirnya
sistem demokrsi liberal. Sistem politik baru ini memawa dampak terhadap kehidupan berpolitik
dan sekaligus birokrasi di Indonesia. Jika diawal dikatakan bahwa, Birokrasi dan politik adalah
dua stuktur yang berbeda namun tidak terpisahkan. Birokrasi memainkan peranan aktif di dalam
proses politik di kebanyakan negara dan birokrasi menggunakan banyak aktifitas-aktifitas,
diantaranya usahausaha paling penting berupa implementasi Undang-Undang, persiapan
proposal legislatif, peraturan ekonomi, lisensi dalam perekonomian dan masalah-masalah
profesional, dan membagi pelayanan kesejahteraan (Herbert M.Levine, 1.982: 241). Masyarakat
didominasi oleh para birokrat, ditulis oleh James Burnham tahun 1941 yang menekankan
pentingnya kelompok manajerial di dalam perekonomian, dan tidak ada pemisahan yang tajam
antara kelompok manajerial clan pejabat politik (Martin Albrow, 1989 : 100) Berdasarkan tulisan
tersebut James member persamaan antara kekuasaan kelas para manajer dengan kelas para
birokrasi negara.
Masyarakat yang dibentuk dan diperintah oleh para birokrat akan menjadi masyarakat -
masyarakat birokratis yang nantinya masyarakat tersebut akan menjadi\ birokrasi-birokrasi
masyarakat yang patuh dan tunduk pada pengaruh sikap-sikap dan nilai-nilai para birokrat,
karena adanya perubahan sikap dari masyarakat akan bergantung kepada pengaruh para birokrat.
Hal ini akan cepat menjerat masyarakat akan runtuhya nilai-nilai demokrasi sehingga ada suatu
pertentangan dengan nilainilai tersebut yang dianggap sebagai suatu problema yang memerlukan
pemecahan.
Kebanyakan orang menganggap bahwa konsep birokrasi sebagai administrasi yang tidak
efisien dan rasional, mencakup aplikasi kriteria evaluatif dan spesifikasi sifat nilai-nilai tersebut
(Martin Albrow,1989 : 1 07). Konsep birokrasi cendrung dianggap sebagai suatu aspek ancaman

11
terhadap demokrasi, apalagi konsep birokrasi sebagai kekuasaan yang dijalankan oleh pejabat,
konsep ini diamati secara serius karena mendiskusikan tentang pejabat-pejabat negara yang
menjalankan tujuan-tujuan demokrasi. Perlu dipertanyakan apakah tindakan tergantung pada
bagaimana nilai-nilai demokrasl Itu ditafsirkan dan mana diantara penafsiran itu yang dipandang
salah. Friedrich dan Finer prihatin terhadap masalah kesesuaian praktek-praktek administrasi
negara modem dengan nilai-nilai demokrasi, karena mereka percaya bahwa bukan kekuasaan
yang dijalankan pejabat yang menimbulkan masalah tetap cara menggunakan kekuasaan itulah
yang menjadi masalahnya, untuk itu perlu dilihat bagaimana masing-masing karakteristik antara
birokrasi dan demokrasi digunakan dalam usaha mendiagnosis dan menyembuhkan masalah
yang terjadi.
Martin Albrow membedakan tiga posisi dasar tentang fungsi-fungsi pejabat di negara
demokrasi, yaitu
1. pejabat menuntut kekuasaan terlalu besar dan perlu dikembalikan pada fungsinya
semula.
2. pejabat benar-benar merniliki kekuasaan dan tugas yang semakin besar sehingga jabatan
tersebut harus dijalankan secara bijaksana .
3. kekuaasaan perlu bagi para pejabat sehingga harus dicari metode-metode pelayanan yang
dapat disalurkan bersama-sama.
Problema yang harus dipecahkan untuk dapat menumbuh kembangkan demokrasi dengan
menempatkan birokrasi secara konsisten di dalam sistem politik. Dalam sistem politik demokrasi
liberal yang berawal dari Maklumat Wakil Presiden No.X tertanggal 3 November 1945.
terwujud konfirmasi, dimana politik yang ikut menentukan sosok administrasi pemerintah pada
waktu itu. Posisi infrastruktur politlk vis-a-vis suprastruktur politik secara relatif lebih kuat,
menciptakan suatu sosok sistem politik bureau-nomia (Moeljarto Tjokrowinoto,1996: 159).
Menurut teori, agar dapat memahami birokratisasi dalam pembangunan nasional, di
Indonesia terlebih dahulu didekatkan melalui 2 konsep yaitu :
1. konsep masyarakat politik birokratik yang dikembangkan pertama sekali oleh Fred Riggs
(1966) dan digunakan oleh Karl D.Jackson (1978) dalam konteks Indonesia.
2. konsep kapitalisme birokratik yang dirumuskan oleh Wittfogel (1957).
Berdasarkan konsep Jackson tersebut maka ciri-ciri pokok masyarakat politik birokratik
adalah :

12
1. lembaga politik yang dominan adalah aparat birokrasi
2. lembaga–lembaga politik lainnya, seperti parlamenter, partai politik, dan kelompok
kepentingan semuanya lemah dan tidak mampu melakukan kontrol terhadap birokrasi.
3. masa diluar birokrasi secara politis dan ekonomis pasif, sehingga menyebabkan
lemahnya peranan partai politik dan dampaknya semakin memperkuat peranan birokrasi.
Bertitik tolak dari ciri-ciri tersebut maka dapat kita simpulkan bahwa birokrasi di
Indonesia cendrung mendekati ke tiga ciri tersebut, sehingga perlu dipertanyakan kemampuan
masyarakat politik birokratik ini untuk melaksanakan pembangunan ,terutama pembangunan
yang mampu mengantisipasi dan menahan gejolak-gejolak eksternal sehingga bisa mencapai
tingkat pertumbuhan yang memadai, yang dapat mendistribusikan secara merata hasil dari
perjuangan masyarakat tersebut. Ada tiga kecendrungan yang dialami oleh setiap birokrasi di
Indonesia, yaitu pertama proses weberisasi, yaitu suatu proses dimana suatu biroksasi semakin
mendekati tipe ideal sebagaimana dikemukakan oleh Max Weber.Kedua, proses parkinsonisasi
yaitu proses dimana birokrasi cendrung menuju kedalam keadaan patologis sebagaimana pernah
diduga kuat oleh C.Northcote Parkinson Ketiga, proses orwelisasi, yaitu kecendrungan birokrasi
semakin menguasai masyarakat, untuk birokrasi di Indonesia agaknya cendrung ke arah
parkinsonisasi dan orwelisasi ketimbang ke arah weberisasi
Sehingga, dengan kondisi birokrasi dan politik di Indonesia yang sulit dipisahkan atau di
Netralisasi maka benar menurut bahwa birokrasi di Indonesia sedang “sakit” dengan titik
tekanannya berdasarkan hukum Parkinson, sedangkan parameter birokrasi “ sehat “ yang
dijadikan sandaran adalah konsep birokrasi weber tetapi pada kenyataanya selalu menimbulkan
masalah, karena ciri- ciri organisasi yang diharapkan terlalu ideal sehingga kadang kala belum
tentu cocok dengan kondisi atau situasi di suatu negara. Padahal Demokrasi dan birokrasi
sesungguhnya sangat diperlukan dalam proses pembangunan suatu negara , akan tetapi semakin
kuat birokrasi dalam negara maka akan semakin rendah demokrasi dan sebaliknya semakin
lemah birokrasi maka akan semakin tinggi demokrasi.

13
F. Penutup
1. Kesimpulan
Kemajuan suatu bangsa salah satunya ditentukan oleh kemampuan aparatur birokrasi
dalam menjalankan tugas dan fungsinya yaitu, sebagai pelayan publik kepada masyarakat secara
profesional dan akuntabel. Apabila publik dapat terlayani dengan baik oleh aparatur birokrasi,
maka dengan sendirinya aparatur birokrasi mampu menempatkan posisi dan kedudukannya yaitu
sebagai civil servant atau public service. Kondisi ini akan berdampak pada kinerja dari aparatur
birokrasi yang sesuai dengan harapan dari masyarakat, pada akhirnya akan timbul trust kepada
aparatur birokrasi tersebut. Hal inilah yang akan menjadikan negara yang maju dalam hal
pelayanan kepada warganya dan melahirkan pada terwujudnya birokrasi yang bersih, akuntabel
dan transparan.
Birokrasi sebagai garda terdepan dalam penyelenggaraan tata pemerintahan dituntut
untuk profesional dan tidak terkooptasi oleh kepentingan politik sehingga ia dapat menunjukkan
postur ideal yang di harapkan publik. Liberalisasi politik sebagai akibat reformasi politik, di sisi
lain memberikan godaan bagi birokrasi untuk bermain dalam ranah politik atau menciptakan
ruang bagi munculnya politisasi terhadap birokrasi. Beberapa kasus di atas membuktikan bahwa
birokrasi sulit sekali melepaskan dirinya dari ranah politik. Untuk itu diperlukan implementasi
aturan yang lebih tegas, sanksi yang berat bagi pelanggaran yang dilakukan birokrasi. Perubahan
memang tidak berlangsung cepat, namun bila dilakukan sungguh-sungguh kelak kita akan
menemukan potret birokrasi yang ideal di negara kita. Dalam artikelnya, Bowornwathana dan
Wescott (2008, p. 1) menyimpulkan bahwa pelaksanaan birokrasi di negara-negara berkembang
tidak berjalan mulus (uneven), dengan “stroke-of-the pen reforms” yang berjalan sangat cepat,
namun perubahan struktural yang seharusnya mengikuti, berjalan sangat lambat bahkan tidak
sama sekali.
Perubahan fundamental memerlukan “sustained effort, commitment and leadership over
many generations. Mistakes and setbacks are a normal and inevitable part of the process. The
big challenge is to seize upon mistakes as learning opportunities, rather than use them as
excuses for squashing reform.”(Schacter 2002: 10). Begitu juga dengan Indonesia. Sehingga
dengan demikian, reformasi birokrasi perlu dilancarkan sebagai bagian dari pembangunan
politik. Bila aparatur administrasi mampu mendukung pembangunan nasional, maka dapat

14
tercipta sistem tersebut sehingga mampu mendukung demokratisasi politik, liberalisasi dan
industrialisasi ekonomi Indonesia.

2. Implikasi Teori
Birokrasi dan politik yang terjadi dimasa reformasi ini mengarah tiga kecendrungan yaitu
pertama proses weberisasi, yaitu suatu proses dimana suatu biroksasi semakin mendekati tipe
ideal sebagaimana dikemukakan oleh Max Weber. Kedua, proses parkinsonisasi yaitu proses
dimana birokrasi cendrung menuju kedalam keadaan patologis sebagaimana pernah diduga kuat
oleh C.Northcote Parkinson Ketiga, proses orwelisasi, yaitu kecendrungan birokrasi semakin
menguasai masyarakat, untuk birokrasi di Indonesia agaknya cendrung ke arah parkinsonisasi
dan orwelisasi ketimbang ke arah weberisasi. Untuk kondisi Indonesia sendiri kondisi patologis
ini terlihat dengan susahnya menetralisasikan birokrasi dan politik sehingga kita mengenal
politik rente dan politik transaksional serta politik oligarkis pada birokrasi-biroksi.
Dengan demikian, kecendrungan ini mengharuskan Indonesia dapat mengantisipasi
perubahan dan keterbukaan adalah model birokrasi yang mentrasformasikan nilai-nilai, prinsip,
dan semangat kewirausahaan ke dalam institusi birokrasi.

Sumber Referensi
Hikam, Muhammad AS. (1991), Negara Otoriter Birokratik dan Redemokratisasi: Sebuah
Tinjauan Kritis dan Beberapa Studi Kasus, dalam Jurnal IImu Politik No 8, Jakarta: AIPI-
LIPI, hlm.68.
Jackson, Karl D and Pye, Lucian W (1987), Political Power and Comunications in Indonesia,
California: University of California Press, hlm.4.
Effendy, Muhadjir (1995), Birokrasi Pemerintahan Menyongsong Era Pasar Bebas: Dari Bossy
Attitude ke Servicer Minded (sebuah Review), dalam Jumal Bestari, lanuari-April,
Yogyakarta, hlm.27,28
Asshiddiqie, Jimly. 2006. Lembaga Negara Pasca Reformasi. Jakarta : Setjen dan Kepaniteraan
MKRI.
Martin Albrow, 1996, “Birokrasi”, Tiara Wacana,Yogyakarta,
Marx, Karl. 1999. Manifesto Komunis 1848. Jakarta: Yayasan Bintang Merah.
Robison, Richard and Vedi R. Hadiz. 2004. Reorganizing Power in Indonesia: The Politics of
Oligarchy in an Age of Markets. London: Routledge.
Sutherland, Heathert. 1983. Terbentuknya Sebuah Elite Birokrasi. Jakarta: Sinar Harapan.
Rahmatunnisa, Mudiyanti. Menyoal Kembali Reformasi Birokrasi Di Indonesia. Jurnal
Governance, Vol. 1 No. 1, November 2010
Gjafar, Wahyudi.Artikel Ilmiah. Memotang Warisan Birokrasi Masa Lalu, Menciptaan
DemarkasiBeas Korupsi.Jakarta : Elsam

15
Marzuki, Dkk. Artikel Ilmiah. Model Birokrasi Pemerintah Era Otonomi Daerah. Yogyakarta.
UNY
Eep Saefulloh Fatah. (1998). Catatan Atas Gagalnya Politik Orde Baru. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Miftah Thoha. (1991). Perspektif Perilaku Birokrasi: Dimensi-dimensi Prima Ilmu Administrasi
Negara Jilid II. Jakarta: Rajawali Press.
Miftah Thoha. 2008. Birokrasi di Era Reformasi. PT. Gramdedia Pustaka. Jakarta
Ryaas Rasyid. (1998). Kajian Awal Birokrasi Pemerintahan dan Politik Orde Baru. Jakarta:
Yarsif Watampone.
M. Akhyar HSB. 2010. skripsi. Relasi dan Politik (Analisa Pola Rekruitmen Kepala Biro dan
Kepala DinasPadaPemerintahan ProvinsiSumut Pasca Pil –Gub 2008). Ilmu Politik USU :
Medan
Kamuli, Sukarman. Birokrasi di Negara Sedang Berkembang(Telaah atas Kajian Fereel
Heady).Jurnal Inovasi Vol. 9, No. 2, Juni 2012
Syafuan Rozi. 2006. Zaman Bergerak Reformasi di Rombak. Yogyakarta : PustakaPelajar . Hal
9-10.
Miriam Budiarjo. 2008. Dasar-dasarIlmu Politik Edisi Revisi. Jakarta : PT Gramedia.
Lili Romli. 2004. Masalah ReformasiBirokrasi. Jurnal Kebijakan dan Manajemen PNS. Pusat
Pengkajian dan Penelitian Kepegawain BKN.
Adi Suryadi Culla, Dosen Fisip Unhas, Tantangan Reformasi Birokrasi, 15 Sep 2005.
Jimly Asshiddiqie, Struktur Ketatanegaraan Indonesia setelah Perubahan Keempat UUD 1945,
Makalah Seminar Pembangunan Hukum Nasional VIII, Tema: Penegakan Hukum dalam
Era Pembangunan Berkelanjutan, diselenggarakan oleh Badan Pembinaan Hukum
Nasional Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia RI, 2003, hal. 8.
UU No 43 tahun 1999 Tentang Perubahan Atas UU no 8 tahun 1974 tentang Pokok-Pokok
Kepegawaian, pasal 26.1
Pasal 35 dan 36 Undang-undang RI Nomor 34 tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia.

16

Anda mungkin juga menyukai