PENDAHULUAN
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi Malaria Berat
Malaria Berat adalah ditemukannya Plasmodium falciparum stadium aseksual
dengan minimal satu dari manifestasi klinis atau didapatkan temuan hasil
laboratorium (WHO, 2015)3 :
1. Perubahan kesadaran (GCS <11, Blantryre <3)
2. kematian otot (tidak bisa duduk atau berjalan)
3. kejang berulang-lebih dari dua episode dalam 24 jam
4. Distres pernapasan
5. Gagal sirkulasi atau syok :pengisian kapiler >3 detik, tekanan sitolik <80 mmHg
(pada anak <70 mmHg)
6. Jaundice (bilirubin >3mg/dl dan kepadatan parasit > 100.000)
7. Hemoglobinuria
8. Perdarahan spontan abnormal
9. Edema paru (radiologi, Saturasi Oksigen <92%)
Gambaran laboratorium :
1. Hipoglikemi (gula darah <40 mg%)
2. ASidosis metabolic (bikarbonat plasma <15 mmol/L).
3. Anemia berat (Hb <5 gr% untuk endemis tinggi, <7gr% atau hematokrit <15%).
4. Hiperparasitemia (parasit >2% eritrosit atau 100.000 parasit/μl di daerah endemis
tinggi)
5. Hiperlaktemia (asam laktat >5mmol/L)
6. Hemoglobinuria
7. Gangguan fungsi ginjal (kreatini serum >3 mg%).
2
Kalimantan Selatan. Plasmodium pada manusia menginfeksi sel darah merah dan
mengalami pembiakan aseksual di jaringan hati dan eritrosit. Pembiakan seksual
terjadi pada tubuh nyamuk yaitu Anopheles betina.6
Malaria Berat biasanya disebabkan oleh Plasmodium Falsiparum, jarang
disebabkan oleh Plasmodium Vivax. Di Indian tahun 2007 ditemukan 3 kasus malaria
berat yang disebabkan oleh Plasmodium Vivax dengan komplikasi kejang dan
keluhan meningoencepalitis difus, setelah 2 hari diterapi dengan Artesunat pasien
sadar dan dipindahkan keruang rawatan biasa dan dari slide darah tepi tidak
ditemukan parasit lagi, kemudian diberikan Primakuin selama 14 hari, setelah 1 bulan
follow up tidak ditemukan gejala sisa neurologi lagi.4
Di India tahun 2003 terdapat 11 kasus malaria berat yang disebabkan oleh
P.Vivax, 2 orang diantaranya ibu hamil, dari pemeriksaan mikroskopis ditemukan
P.Vivax dan tidak ditemukan P.Falsiparum. Semua pasien diterapi dengan kina intra-
vena, 8 orang dinyakan sembuh, 1 orang sembuh dengan dilakukan hemodialisa
karena terjadi gagal ginjal, 2 orang meninggal, sedangkan 2 orang ibu hamil, 1 orang
melahirkan bayi premature dan 1 orang lagi bayinya meninggal pada hari ke-14.5
3
Gambar 1. Interaksi sel dalam patogenesis malaria
4
eritrosit terinfeksi pada endotel kapiler dan venula, yang merupakan kunci dari proses
patologis malaria berat. Beberapa studi mengaitkan derajat trombositopenia dengan
tingkat keparahan malaria.
Terdapat beberapa mekanisme yang dipostulasikan sebagai penyebab
terjadinya trombositopenia, diantaranya destruksi dimediasi imun, abnormalitas pada
struktur trombosit yang diinvasi parasit, apoptosis platelet, DIC (Disseminated
Intravascular Coagulation), sekuestrasi pada limpa (splenomegali), gangguan
koagulasi, dan stress oksidatif.
Plasmodium falciparum dapat memodifikasi permukaan eritrosit sehingga
terdapat tonjolan-tonjolan, yang disebut knob,sehingga eritrosit terinfeksi parasit akan
bersifat mudah melekat, terutama pada eritrosit sekitarnya yang tidak terinfeksi,
trombosit dan endotel kapiler. Hal tersebut akan menyebabkan pembentukan roset
dan gumpalan dalam pembuluh darah yang dapat memperlambat mikrosirkulasi.
Akibatnya secara klinis dapat terjadi gangguan fungsi ginjal, otak dan syok.
Terdapat beberapa reseptor yang dapat berikatan pada protein PfEMP
(Plasmodium falciparum Erythrocyte Membrane Protein) yang terdapat pada
knobertitrosit terinfeksi parasit. Salah satunya adalah reseptor CD36 yang terdapat
pada trombosit dan endotel pembuluh darah. Penggumpalan dari eritrosit terinfeksi
parasit, yang berhubungan dengan keparahan penyakit, terutama dimediasi oleh
reseptor CD36 yang diekspresikan oleh trombosit. Penempelan dan agregasi
trombosit dapat menyebabkan kegagalan perfusi organ dan hipoksia jaringan.
Aktivasi platelet pada malaria falciparum diilustrasikan pada gambar 2.6
5
Pada malaria, IgG yang berhubungan dengan trombosit (Platelet associated
IgG, PAIgG) meningkat dan berhubungan dengan trombositopenia. Peningkatan
PAIgG juga dapat diartikan sebagai aktivasi platelet. Antibodi anti-platelet tersebut
dapat mengaktivasi membran trombosit, menyebabkan pembuangan trombosit oleh
sistem retikuloendotelial (RE), terutama pada limpa. Antibodi IgG yang ditemukan
pada membran trombosit juga menyebabkan gangguan agregasi trombosit dan
meningkatnya penghancuran trombosit oleh makrofag.
Makrofag diduga berperan dalam destruksi trombosit, dimana peningkatan
Macrophage-colony stimulating factor (M-CSF) berhubungan dengan trombosi-
topenia. Trombosit difagosit oleh makrofag teraktivasi pada hati dan limpa. Malaria
berat berhubungan dengan kadar M-CSF plasma yang lebih tinggi dari normal. Kadar
M-CSF plasma yang meningkat pada malaria, meningkatkan aktivitas makrofag dapat
memediasi destruksi trombosit.
Masa hidup trombosit pada infeksi malaria berkurang akibat dari ikatan
antigen malaria pada trombosit yang diikuti fagositosis yang dimediasi antibodi, atau
aktivasi trombosit in vivo. Masa hidup trombosit berkurang menjadi 2-3 hari
(normalnya 7-10 hari).
Infeksi malaria menginduksi pengeluaran radikal hydroxyl (OH) dari hepar
yang mana bertanggung jawab dalam induksi stress oksidatif dan apoptosis. Parasit
malaria sendiri dapat mengeluarkan sejumlah besar H2O2 dan O2. Stress oksidatif,
melalui lipid peroxidation, menyebabkan kematian trombosit prematur, dan
menimbulkan trombositopenia. Membran trombosit kurang tahan terhadap stress
oksidatif, diperkirakan peningkatan stress oksidatif dapat meningkatkan lisis
trombosit.
Penempelan dan agregasi trombosit pada malaria berhubungan dengan
peningkatan kadar faktor von Willebrand (vWF) dan defisiensi ADAMTS13. Pada
saat terjadi jejas, endotel vaskular menghasilkan vWF, yang akan mengaktivasi
sistem koagulasi dan meningkatkan penggunaan trombosit. Selain itu, vWF yang
berada di sirkulasi menjadi hipereaktif, yang dikenal sebagai konformasi aktif dari
domain vWF A1 yang dapat mengikat trombosit secara spontan. ADAMTS13
merupakan metalloprotease yang bertanggung jawab untuk proteolisis dari multimer
ultralarge and prothromnogenic vWF (UL-vWF). Pada pasien malaria, terjadi
penurunan aktivitas ADAMTS 13 yang mengakibatkan peredaran UL-vWF, yang
selanjutnya akan berikatan dengan trombosit, dan mengakibatkan trombositopenia di
perifer.
Eritrosit yang terinfeksi Plasmodium falciparum memiliki kemampuan untuk
menstimulasi sel endotel secara langsung. Hemolisis eritrosit pada infeksi malaria
menghasilkan faktor proagregasi seperti adenosine diphosphate (ADP), yang dapat
menimbulkan respon aktivasi dan agregasi trombosit.
Abnormalitas pada struktur dan fungsi trombosit digambarkan sebagai
konsekuensi infeksi malaria. Sebagian besar pasien dengan malaria berat memiliki
6
gambaran darah tepi trombositopenia, namun tranfusi konsentrat trombosit hanya
diindikasikan pada pasien dengan perdarahan sistemik.
Berkurangnya peredaran trombosit di sirkulasi pada malaria juga diasumsikan
akibat mekanisme dimediasi antibodi. Terjadi peningkatan antibodi antiplatelet IgG
pada penderita malaria (baik malaria falciparum maupun vivax) yang mengaktivasi
membran trombosit, yang menyebabkan pembuangan trombosit oleh sistem
retikuloendotelial, khususnya pada limpa. Dalam limpa, trombosit diduga difagosit
oleh makrofag teraktivasi.6
7
malaria serebral setelah penyebab lain dapat disingkirkan. Penurunan kesadaran
menetap untuk waku lebih dari 30 menit, tidak sementara panas atau hipoglikemi
membantu meyakinkan keadaan malaria serebral.Kejang, kaku kuduk dan hemiparese
dapat terjadi waklaupun cukup jarang.Pada pemeriksaan neurologic reaksi mata
divergen, pupil ukuran normal dan reaktif, funduskopi normal atau dapat terjadi
perdarahan.Papiledema jarang, reflex kornea normal pada orang dewassa, sedangkan
pada anal reflex dapat hilang. Reflex abdomen dan kremaster normal, sedangkan
Babinsky abnormal pada 50% penderita. Pada keadaan berat penderita dapat
mengalami dekortikasi (lengan flexi dan tungkai extensi), decerebrasi (lengan dan
tungkai extensi), opistotonus, deviasi mata ke atas dan lateral.Keadaan ini sering
disertai dengan hiperventilasi. Lama koma pada orang dewasa dapat 2-3 hari,
sedangkan pada anak satu hari.
Diduga pada malaria serebral terjadi sumbatan kapiler pembuluh darah otak
sehingga terjadi anoksia otak. Sumbatan tersebut terjadi karena eritrosit yang
mengandung parasit sulit melalui pembuluh kapiler karena proses sitoaderensi dan
sekuestrasi parasit. Akan tetapi penelitian Warrell DA menyatakan bahwa tidak ada
perubahan cerebral blood flow, cerebro vascular resistence, ataupun cerebral
metabolic rate for oxygen pada penderita koma dibandingkan penderita yang telah
pulih kesadarannya. Kadar laktat pada cairan Serebro-spinal (CSS) meningkat pada
malaria serebral yaitu >2.2 mmol/l (19,6 mg/dl) dan dapat dijadikan indikator
prognosis yaitu bila kadar laktat >6 mmol/l mempunyai prognosa yang fatal. Pada
pengukuran tekanan intrakranial meningkat pada anak-anak (80%), sedangkan pada
penderita dewasa biasanya normal, adanya edema serebri hanya dijumpai pada kasus-
kasus yang agonal. Pada malaria serebral biasanya dapat disertai gangguan fungsi
organ lain seperti ikterik, gagal ginjal, hipoglikemia dan edema paru. Bila terjadi
lebih dari 3 komplikasi organ, maka prognosa kematian >75%.
8
natrium urin <20mm0l/l menunjukkan keadaan dehidrasi. Beberapa faktor resiko
yang mempermudah terjadinya GGA adalah hiperparasitemia, hipotensi, ikterus,
hemoglobinuri. Penanganan penderita dengan kelainan fungsi ginjal di Minahasa
memberikan mortalitas 48%. Dialisis merupakan pilihan pengobatan untuk
menurunkan mortalitas.
Dikarenakan gagal ginjal akut yang terjadi pada penderita malaria berat sering
membaik manjadi normal,maka istilah gagal ginjal akut sudah ditinggalkan dan
digantikan dengan istilah Malaria related Acute Kidney Injury (MAKI), yang
didefinisikan sebagai perubahan mendadak (48 jam) dari fungsi ginjal yang
mempunyai karakteristik sebagai berikut :
1. Meningkatnya serum kreatinin 0,3 mg/dl atau lebih dari hasil sebelumnya.
2. Meningkatnya persentase (%) dari serum kreatinin 50% atau lebih dari nilai dasar.
3. penurunan produksi urin <0,5 ml/kgBB/jam selama lebih dari 6 jam.
MAKI dapat menjadi 2 cara yaitu sebagai bagian dari disfungsi multi organ,
atau sebagai dari AKI sendiri. Bila MAKI merupakan bagian dari disfungsi multi
organ sering terjadi pada saat didiagnosa malaria berat dan prognosanya jelek.
Dipihak lain bila hanya terjadi AKI mempunyai prognosa lebih baik. Biasanya terjadi
oliguria, ensefalopati, hiperglikemia, asidosis tanpa komplikasi organ lain. Oliguria
biasanya menetap 5-10 hari kadang-kadang produksi urin dapat normal atau bahkan
meningkat pada beberapa pasien. Karenanya oliguria sendiri sebaiknya tidak dipakai
untuk mendiagnosa AKI. Oleh karenanya diperlukan pemeriksaan urin/ BUN dan
kreatinin secara serial (setiap hari). Dehidrasi, hipotensi dan syok dapat terjadi.
Dehidrasi dapat terjadi pada lebih dari setengah jumlah pasien dan hipotensi dapat
terjadi sepertiga jumlah pasien. Hipotensi dapat disebabkan karena kekurangan intake
cairan, hilangnya cairan melalui panas dan muntah, vasodilatasi arteri dan efek dari
sitokin. Proteinuria sampai 1 gram/ 24 jam pada sepertiga pasien dengan MAKI dan
biasanya menjadi normal setelah penyembuhn dari fungsi ginjal. Adanya proteinuria
yang menetap dapat menjadi tanda adanya penyakit glomerular.
9
de Ritis 1,5. Peningkatan transaminase biasanya ringan sampai sedang dan jarang
melebihi 200 iu, ikterus yang berat sering dijumpai walaupun tanpa diikuti kegagalan
hati. Penelitian di Minahasa pada 109 penderita malaria berat, kadar bilirubin
tertinggi ialah 36,4 mg/dl, bilirubin normal (<1,2 mg/dl) dijumpai 28 penderita (25%)
mortalitasnya 11%, bilirubin 1,2 mg% - mg/dl dijumpai pada 17 penderita (16%)
mortalitasnya 17%, bilirubin > 2mg/dl – 3 mg/dl pada 13 penderita (12%) dengan
mortalitas 29% serta bilirubin >3 mg/dl dijumpai pada 51 penderita (46%) dan
mortalitasnya 33 %. Serum SGOT bervariasi dari 6-243 u/l sedangkan SGPT
bervariasi dari 4-154 u/l. alkali fosfatase bervariasi dari 5-534 u/l dan gamma-GT
bervariasi 4-603 u/l. white (1996) memakai batas bilirubin >2,5 mg/dl, SGOT/SGPT
>3 x normal menunjukkan prognosis yang jelek. Penderita malaria dengan ikterus
termasuk dalam Kriteria malaria berat.
Dalam pedoman WHO 2010, adanya ikterik pada malaria berat harus disertai
dengan tanda kegagalan fungsi organ lain.
d. Hipoglikemia
Hipoglikemi dilaporkan sebagai keadaan terminal pada binatang dengan
malaria berat. Hal ini disebabkan karena kebutuhan metabolik dari parasit telah
menghabiskan cadangan glikogen dalam hati. Hipoglikemia dapat tanpa gejala pada
penderita dengan keadaan umum yang berat ataupun penurunan kesadaraan. Pada
penderita dengan malaria serebral di Thailand dilaporkan adanya hipoglikemi
sebanyak 12,5%, sedangkan di Minahasa insiden hipoglikemia berkisar 17,4%-
21,8%. Penyebab terjadinya hipoglikemi yang paling sering ialah karena pemberian
terapi kina (dapat terjadi 3 jam setelah infuse kina). Penyebab lainnya ialah kegagalan
glukoneogenesis pada penderita dengan ikterik, hiperparasitemia oleh karena parasit
mengkonsumsi karbo-hidrat, dan pada TNF-a yang meningkat. Hipoglikemi dapat
pula terjadi pada primigravida dengan malaria tanpa komplikasi. Hipoglikemia
kadang-kadang sulit diobati dengan cara konvensionil, disebabkan hipoglikemia yang
persisten karena hiperinsulinemia akibat kina. Mungkin dengan pemberian diazoksid
dimana terjadi hambatan sekresi insulin merupakan cara pengobatan yang dapat
dipertimbangkan.
10
imun atau dengan pengobatan kina yang tidak adekuat. Akan tetapi adanya hemolisis
karena kina ataupun antibody terhadap kina belum pernah dibuktikan. Malaria
hemoglobinuria dapat terjadi pada penderita tanpa kekurangan ensim G-6-PD dan
biasanya parasit falciparum positif, ataupun pada penderita dengan kekurangan G-6-
PD yang biasanya disebabkan karena pemberian primakuin.
f. Malaria Algid
Malaria Algid adalah terjadinya syok vascular, ditandai dengan hipotensi
(tekanan sistolik kurang dari 70 mmHg), perubahan tahanan perifer dan berkurangnya
perfusi jaringan. Gambaran klinik berupa perasaan dingin dan basah pada kulit,
temperature rectal tinggi, kulit tidak elastic, pucat. Pernapasan dangkal, nadi cepat,
tekanan darah turun dan sering tekanan sistolik tak terukur dan nadi yang normal.
Keadaan ini sering dihubungkan dengan terjadinya septisemia gram negatif.
Hipotensi biasanya berespon dengan pemberian NaCl 0,9% dan obat inotropik.
g. Kecenderungan Perdarahan
Perdarahan spontan berupa perdarahan gusi, epistaksis, perdarahn dibawah
kulit berupa petekie, purpura, hematoma dapat terjadi sebagai komplikasi malaria
tropika. Perdarahan ini dapat terjadi karena trombositopenia, atau gangguan koagulasi
intravascular ataupun gangguan koagulasi karena gangguan fungsi hati.
Trombositopenia disebabkan karena pengaruh sitokin. Gangguan koagulasi
intravascular jarang terjadi kecuali pada stadium akhir dari suatu infeksi P.falciparum
yang berat.
h. Edema Paru/ARDS
Sering terjadi pada malaria dewasa dan jarang pada anak. Edema paru
merupakan komplikasi yang paling berat dari malaria tropika dan sering
menyebabkan kematian. Edema paru dapat terjadi karena kelebihan cairan atau Acute
respiratory distresss syndrome. Beberapa faktor yang memudahkan timbulnya edema
paru yaitu kelebihan cairan, kehamilan, malaria serebral, hiperparasitemi, hipotensi,
asidosis dan uremi. Adanya peningkatan respirasi merupakan gejala awal, bila
frekuwensi pernapasan > 35 kali.menit prognosanya jelek. Pada otopsi dijumpai
adanya kombinasi edema yang difus, kongestif paru, perdarahan, dan pembentukan
membrane hialin. Oleh karenanya istilah edema paru mungkin kurang tepat, bahkan
sering disebut sebagai insuffisiensi paru akut atau acute respiratory distress
syndrome.
11
Di samping bronchitis, pneumonia dan bronkopneumonia sebagai manifestasi
paru pada infeksi malaria, acute lung injury (ALI) dan acute respiratory distress
syndrome (ARDS) merupakan manifestasi klinik pada malaria berat. Keadaan ini
dapat disebabkan baik oleh plasmodium falsiparum, vivax maupun knowlesi. Baik
ALI maupun ARDS termasuk respiratory distress yang disebabkan oleh malaria
dimana WHO hanya mendefinisikan sebagai pernapasan yang dalam dan peningkatan
frekuensi respirasi. (tabel 1)1
Adanya edema paru berdasarkan pedoman WHO 2010 juga dapat dideteksi
dengan gambaran radilogik. ARDS merupakan manifestasi klinik lebih berat
dibandingkan ALI. Adapun gambaran ARDS yaitu sesak napas yang tiba-tiba, batuk
dan merasa berat didada yang progresif dalam beberapa jam dan menyebabkan
hipoksia. Terjadi pola gangguan kesadaran berupa disorientasi dan agitasi.
Pemeriksaan fisik berupa bernapas dengan mnggunakan mulut, bernapas
menggunakan otot-otot tambahan, pernapasan dengan retraksi kosta, sianosis sentral
dan perifer, krepitasi basal dan wheezing ekspirator. Pada pasien ini dapat disertai
dengan parasitemia yang tinggi, gagal ginjal akut, hipoglikemia, asidosis metabolic,
koagulasi intravascular diseminata dan sepsis bakterial. Diagnose berdasarkan
ditemukannya parasit, analisa gas darah yang menunjukkan hipoksemia dan
gambaran asidosis metabolik serta pemeriksaan toraks.
12
i. Manifestasi Gastro-intestinal
Manifestasi gastro-intestinal sering dijumpai pada malaria, gejala-gejalanya
yaitu tidak enak diperut, flatulensi, mual, muntah, diare dan konstipasi. Kadang-
kadang gejala menjadi berat berupa sindroma bilious remittent fever ialah gejala
gastro-intestinal dengan hepatomegali, ikterik (hiperbilirubinemia dan peningkatan
SGOT/SGPT) dan gagal ginjal, malaria disenteri menyerupai disentri bisiler, dan
malaria kolera yang jarang pada P.Falcifarum berupa diare cair yang banyak,
muntah, kramp otot dan dehidrasi.
j. Hiponatremia
Hiponatremia sering dijumpai pada penderita malaria falsiparum dan biasanya
bersamaan dengan penurunan osmolaritas plasma. Terjadinya hiponatremia dapat
disebabkan kehilangan cairan dan garam melalui muntah dan mencret ataupun
terjaddinya sindroma abnormalitas hormone anti-diuretik (SAHAD), akan tetapi
pengukuran hormone diuretic yang pernah dilakukan hanya dijumpai peningkatan
pada 1 diantara 17 penderita.
Dalam penelitian pengukuran serum copeptin dibuktikan bahwa pada
hiponatremia kasus malaria terjadi peningkatan AVP.
13
1. Pertahankan fungsi vital : sirkulasi, kesadaran, kebutuhan oksigen, cairan dan
nutrisi.
2. Hindarkan trauma : dekubitus, jatuh dari tempat tidur.
3. Hati-hati komplikasi dari tindakan kateterisasi, infuse yang dapat memberikan
infeksi nosokomial dan kelebihan cairan yang menyebabkan edema paru.
4. Monitoring : temperature, nadi, tekanan darah dan respirasi tiap 1-2 jam.
Perhatikan timbulnya ikterus dan perdarahan.
5. Baringkan/posisi tidur sesuai dengan kebutuhan
6. Pertahankan sirkulasi : bila hipotensi, lakukan posisi Tredenleburg’s, perhatikan
warna dan temperature kulit.
7. Cegah hiperpireksi :
Tidak pernah memakai botol panas/selimut listrik
Kompres air/air es/alcohol
Kipas dengan kipas angin/kertas
Baju yang tipis/ terbuka
Cairan cukup
8. Pemberian cairan :
Pemberian cairan merupakan bagian yang penting dalam penanganan malaria
berat. Pemberian cairan yang tidak adekuat (kurang) akan menyebabkan timbulnya
tubuler nekrosis ginjal akut. Sebaliknya pemberian cairan yang berlebihan dapat
menyebabkan edema paru. Pada sebagian penderita malaria berat suda mengalami
sakit beberapa lamanya sehingga mungkin masukan sudah kurang, penderita juga
sering muntah-muntah, dan bila panas tinggi akan memperberat keadaan dehidrasi.
Ideal bila pemberian cairan dapat diperhitungkan secara lebih tepat, dengan cara :
Maintenance cairan diperhitungkan berdasarkan BB, misalnya untuk BB 50
kg dibutuhkan cairan 1500 cc. (30 ml/kg BB). Derajat dehidrasinya :
1. Derajat ringan ditambah 10%
2. Derajat sedang ditambah 20%
3. Derajat berat ditambah 30% dari kebutuhan Maintenance.
Setiap kenaikan suhu 10 ditambah 10% kebutuhan Maintenance,
Monitoring pemberian cairan yang akurat dilakukan dengan pemasangan CVP
line, cara ini tidak selalu dapat dilakukan pada fasilitas kesehatan tingkat
puskesmas/RS Kabupaten. Sering kali pemberian cairan dengan perkiraan,
misalnya 1500-2000 cc/24 jam dapat sebagai penanganan. Mashaal
membatasi cairan 1500 cc/24 jam untuk menghindari edema paru. Cairan
yang sering dipakai yaitu 5% Dekstrose untuk menghindari hipoglikemi
14
khususnya pada pemberian kina. Bila dapat diukur kadar elektrolit (natrium)
dan natrium rendah (<120 meq/L), perlu dipertimbangkan pemberian NaCl.
9. Diet : porsi kecil dan sering, cukup kalori, karbohidrat dan garam.
10. Perhatikan kebersihan mulut.
11. Perhatikan diuresi dan defekasi, aseptic kateterisasi.
12. Kebersihan kulit : mandikan tiap hari dan keringkan.
13. Perawatan mata : hindarkan trauma, tutup dengan kain/ gaas lembab.
14. Perawatan pasien tidak sadar/ koma meliputi :
Selalu memakai prinsip ABC (Airway, Breathing, Circulation + Defibrilasi).
Airway (jalan napas) :
1. Jaga jalan napas agar selalu bersih/tanpa hambatan dengan cara bersihkan
jalan napas dari saliva, muntahan dan lainnya
2. Pasien posisi lateral
3. Tempat tidur datal/tanpa bantal
4. Mencegah aspirasi lambung masuk ke saluran pernapasan dengan jalan :
posisi lateral dan pemasangan NGT (Naso aastric Tube) untuk menyedot isi
lambung.
Breathing (pernapasan) Bila takipnea, pernapasan asidosis : berikan
penunjang pernapasan, misalnya O2 dan bila perlu pemasangan ventilator.
Circulation (Kardiovaskular) :
1. Periksa dan catat : nadi, tensi, JVP, CVP, (bila memungkinkan), turgor
kulit, dll.
2. Jaga keseimbangan cairan : lakukan pemantauan cairan dengan mencatat
asupan dan keluaran cairan secara akurat.
3. Pemasangan kateter urethra dengan drainage/bag tertutup untuk mengukur
volume urin. Bila fungsi ginjl baik, adanya dehidrasi atau overhidrasi dapat
juga diketahui dari volume urin.
4. Normal volume urin : 1 ml/Kg BB/jam. Bila volume urin < 30 ml/jam,
mungkin terjadi dehidrasi (periksa juga tanda-tanda lain dehidrasi). Bila
terbukti ada dehidrasi, tambahkan intake cairan melalui IV-line. Bila volume
urin > 90 ml/jam, kurangi intake cairan untuk mencegah overload yang
mengakibatkan udem paru. Monitoring paling tepat dengan menggunakan
CVP-line.
5. Buat grafik suhu, nadi dan pernapasan secara akurat.
6. Pasang IVFD untuk mencegah terjadinya trombophlebitis dan infeksi yang
sering terjadi melalui IV-line maka sebaiknya diganti setiap 2-3 hari.
15
7. Pasang kateter uretra dengan drainase/kantong tertutup. Pemasangan kateter
dengan memperhatikan kaidah antisepsis.
8. Mata dilindungi dengan pelindung mata untuk menghindari ulkus kornea
yang dapat terjadi karena tidak adanya reflex mengedip pada pasien tidak
sadar.
9. Menjaga kebersihan mulut untuk mencegah infeksi rongga mulut pada
pasien tidak sadar.
10. Merubah/balik posisi lateral secara teratur untuk mencegah luka dekubitus
dan pneumonia hipostatik.
11. Hal-hal yang perlu dimonitor :
Tekanan darah, nadi, suhu dan pernapasan setiap 1-2 jam.
Pemeriksaan derajat kesadaran dengan modifikasi Glasgow coma
scale (GCS) setiap 6 jam.
Hitung parasit setiap 12-24 jam.
Hb, leukosit, bilirubin dan kreatinin pada hari ke III dan VII.
Gula darah setiap 4 jam.
Parameter lain sesuai indikasi (missal : ureum, kreatinin dan kalium
darah pada komplikasi gagal ginjal).
B. Pengobatan Simptomatik
1. Pemberian antipiretik untuk mencegah hipertermia : parasetamol 15 mg/kg
bb/x, beri setiap 4 jam dan lakukan juga kompres hangat.
2. Bila kejang, beri antikonvulsan : Dewasa : Diazepam 5-10 mg IV (secara
perlahan jangan lebih dari 5 mg/menit) ulang 15 menit kemudian bila masih
kejang. Jangan diberikan lebih dari 100 mg/24 jam.
Bila tidak tersedia Diazepam, sebagai alternative dapat dipakai Phenobarbital 100
mg IM/x (dewasa) diberikan 2 x sehari.1
16
Derivat artemisinin
Derivat artemisinin merupakan obat baru yang berasal dari China (Qinghaosu)
yang memberikan efektivitas yang tinggi terhadap strain yang multi resisten.
Artemisinin mempunyai kemampuan farmakologik sebagai berikut, yaitu :
Mempunyai daya bunuh parasit yang cepat dan menetap
Efektif terhadap parasit yang resisten
Memberikan perbaikan klinis yang cepat
Menurunkan gametosit
Bekerja pada semua bentuk parasit baik pada bentuk tropozoit dan
schizont maupun bentuk-bentuk lain
Untuk pemakaian monoterapi perlu lama pengobatan 7 hari
Artemisinin juga menghambat metabolisme parasit lebih cepat dari obat anti
malaria lainnya. Ada 3 jenis artemisinin yang dipergunakan paranteral untuk malaria
berat yaitu artesunate, artemeter dan arteether. Artesunate lebih superior
dibandingkan artemeter dan artemotil. Pada studi SEQUAMAT, artesunate telah
dibandingkan dengan kina HCL, artesunate menurunkan mortalitas 34,7%.1
17
Kina HCL 1 ampul = 500mg/2ml)
1. Cara Kina 8 jam berkesinambungan : Dosis 10 mg/KgBB (500 mg untuk BB
40-50 Kg) dalam infuse 5% dekstrose 500 cc selama 8 jam secara terus
menerus sampai penderita sadar dan diganti Kina dosis oral.
2. Cara lain : Kina HCL 25% (perinfus) dilarutkan dalam 500 cc dextrose 5%
dosis 10 mg/Kg BB/dosis/4jam diberikan setiap 8 jam, diulang dengan cairan
dan dosis yang sama setiap 8 jam, diulang dengan cairan dan dosis yang sama
setiap 8 jam sampai penderita dapat minum obat dan diganti dosis oral
.
Catatan :
Dosis loading (awal/pemberian I) dapat diberikan dosis 20 mg/kg BB, asal dipastikan
tidak mendapat kina/mefloquin sebelumnya dapat ditimbang BB nya (tidak estimasi)
dan tidak usia >70 tahun atau QT interval yang panjang. Dosis ini sesuai rekomendasi
WHO dan memberikan bersihan parasit lebih cepar.
Bila penderita sadar setelah pemberian kina perinfus, kina dilanjutkan per oral
dengan dosis 3 x 10 mg/kgBB/hari sampai hari ke 7.
Kina tidak boleh diberikan secara bolus intra vena, karena dapat
menyebabkan kadar dalam plasma sangat tinggi sehingga menyebabkan
toksisitas pada jantung dan kematian.
Bila karena alas an kina tidak dapat diberikan malaria infuse, maka dapat
diberikan IM dengan dosis yang sama pada paha bagian depan masing-masing
½ dosis pada setiap paha (jangan diberikan pada bokong). Bila mungkin untuk
pemakaian IM. Kina diencerkan dengan normal saline untuk mendapatkan
konsentrasi 60-100 mg/ml.
Apabila tidak ada perbaikan klinis setelah pemberian 48 jam kina parenteral,
maka dosis maintenance kina diturunkan ½ nya dan lakukan pemeriksaan
parasitologi serta evaluasi klinik terhadap kemungkinan diagnosis lain.
Monitoring pada pengobatan kina parenteralyaitu :
Kadar gula darah tiap 8 jam
Tekanan darah dan nadi, bila nadi, bila nadi ireguler buat EKG
Serum bilirubin dan kreatinin pada hari ke-3
Hitung parasit tiap hari
18
2. Parasitemia > 10% disertai komplikasi berat seperti : serebral malaria, ARF,
ARDS, jaundice (bilirubin total > 25mg%) dan anemia berat.
3. Parasitemia > 10 % disertai prognosis buruk (lanjut usia, late stage
parasitesi/skizon pada darah perifer). Pastikan darah transfuse bebas infeksi (malaria,
HIV, Hepatitis)
19
Artemeter (1 flacon = 80 mg) Dosis : 3,2 mg/kgBB i.m sebagai dosis loading dibagi
2 dosis (tiap 12 jam) hari pertama, diikuti dengan 1,6 mg/kgBB/24 jam selama 4 hari.
Karena pemberian intramuskuler absorpsinya sering tidak menentu. Tidak
menimbulkan hipoglikemia.
Kina HCL ( 1 Ampul = 220mg) Dosis 10 mg/kgBB Kina HCL dalam 500cc cairan
5% Dextrose (atau Nacl 0,9%) selama 6-8 jam, selanjutnya diberikan dengan dosi
yang sama diberikan tiap 6-8jam. Tergantung status kebutuhan cairan 1500-2000cc.
dosis loading 20mg/kgBB dipakai bila jelas tidak memakai 24 jam sebelumnya atau
mefloquin, penderitanya tidak usia lanjut dan tidak ada Q-Tc memanjang pada
rekaman EKG. Kina HCL dapat juga diberikan intra muskuler yang dalam pada paha.
Kinidin Gluconate Dosis 10 mg/kgBB perinfuse selama 2 jam dilanjutkan 0,02
mg/kg/menit sampai parasit < 1% digantikan oral 3 x 600 mg sampai negative.
Obat-obatt suppositoria pada Malaria Berat
Artesunate ( 50mg/100mg/400mg)
Dosis 10mg/kgBB diberikan dosis tunggal 400mg pada orang dewasa
Artemisinin
Dosis 10-40 mg/kgBB diberikan pada 0 jam, 4, 12, 24, 48, dan 72 jam.
Dihydroartemisinin 40 mg, 80 mg
Dosis dewasa 80 mg dan dilanjutkan 40 mg pada jam 24 dan 48
20
2.Protein
Kebutuhan protein dibatasi 20gram/hari (bila kreatinin meningkat) dan kebutuhan
kalori diberikan dengan diet karbohidrat 200 gram/hari.
3.Diuretika
Setelah rehidrasi bila tak ada produksi urin, diberikan furosemid 40 mg. setelah 2-3
jam tak ada urin (kurang dari 60cc/jam) diberikan furosemid lagi 80 mg, ditunggu 3-4
jam, dan bila perlu furosemid 100-250 mg dapat diberikan i.v pelan.
4.Dopamin
Bila diuretika gagal memperbaiki fungsi ginjal dan terjadi hipotensi, dopamin dapat
diberikan dengan dosis 2,5-5,0 ugr/kg/menit. Penelitian di Thailand pemberian
dopamin dikombinasikan dengan furosemide mencegah memburuknya fungsi ginjal
dan memperpendek lamanya gagal ginjal akut pada penderita dengan kreatinin
<5mg%. Pada kasus dengan kreatinin >5mg% tidak bermanfaat.
5.Dialis Dini
Bila kreatinin makin meningkat atau gagal dengan pengobatan diuretika dialisis harus
segera dilakukan.Indikasi dialisis secara klinis dijumpai gejala uremia, adanya tanda
overhidrasi, asidosis dan hiperkalemia.
7.Hipokalemi
Hipokalemi terjadi 40% dari penderita malaria serebral. Bila kalium 3.0 -3,5 meq/L
diberikan KCL perinfus25 meq, kalium 2.0 - 2,9 meq/L diberikan KCL perinfus 50
meq.
8.Hiponatremi
Hiponatremi dapat menyebabkan penurunan kesadaran. Pada malaria serebral,
hiponatremi terjadi karena kehilangan elektrolit lewat muntah dan diare ataupun
kemungkinan sindroma abnormalitas hormon anti diuretik (SAHAD).
9.Asidosis
Asidosis (pH <7,15 ) merupakan komplikasi akhir dari malaria berat dan sering
bersamaan dengan kegagalan fungsi ginjal. Pengobatannya dengan pemberian
bikarbonat.
21
Tindakan terhadap malaria biliosa
Penanganan malaria biliosa/malaria dengan ikterik tidak ada yang spesifik, tindakan
yang diberikan adalah sebagai berikut :
1.Pemberian kina dosis awal 20 mg/kg boleh diberikan bila 24 sebelumnya tidak
memakai kina. Bila setelah 48 jam keadaan umum belum membaik, dosis
kininditurunkan setengahnya.
2.Bila ikterik disebabkan karena intravaskuler hemolisis, kina dihentikan dan diganti
klorokuin dengan dosis 5mg/kg BB
3.Bila anoreksi berat berikan 10% glukose Iv, untuk mencegah hipoglikemia
4.Pada hiperbilirubinemia berat sebaiknya dihindarkan suntikan intra muskuler
karena bahaya perdarahan/hematom/DIC
5.Vitamin K dapat diberikan 10mg/hari i/v selama 3 hari untuk memperbaiki faktor
koagulasi.
6.Hati-hati dengan obat yang mengganggu fungsi hati seperti parasetamol, tetrasiklin
7.Pada ikterik berat dapat diberikan colesteramin
Bila pengobatan malaria diberikan dengan adekuat maka penurunan bilirubin akan
terjadi dengan cepat pada hari ke 3 dapat turun lebih dari 50%.
Hipoglikemia
Periksa kadar gula darah secara cepat pada setiap penderita malaria berat. Bila kadar
gula darah kurang dari 40mg% maka :
1.Beri 50ml dekstrose 40% i.v dianjutkan dengan
2.Glukosa 10% per infus 4-6 jam
3.Monitor gula darah tiap 4-6 jam
4.Bila perlu obat yang menekankan produksi insulin seperti, glukagon atau
somatostatin analog 50 mg subkutan.
22
dalam 1 jam). Bila belum ada perbaikan tekanan darah dan denyut jantung, diberikan
lagi 1 L cairan isotonis (NaCl 0,9%). Hipotensi biasanya berespon terhadap cairan.
Bila tidak berhasil dapat dipakai dapat dipakai dopamine dengan dosis 2-4 ampul
dopamine (1 amp = 200 mg) dalam 500 ml dekstrose 5%, dengan tetesan infus mulai
1-2 mcg/kg/menit. Tetsan sampai 5 mcg/kg/menit dopamine menyebabkan
vasodilatasi dan memperbaiki sirulagi ginnjal.
Penanganan Anemi
Bila anemi kurang dari 5 g/dl atau hematokrit kurang dari 15 % diberikan
transfuse darah whole blood atau packed cells. Darah segar lebih baik disbanding
darah biasa. Transfuse sebaiknya pelan-pelan, kalu perlu dengan monitoring CVP line
atau dengan memberikan furosemid 20 mg sebelum transfusi.
2.6 Prognosis
Prognosa penderita malaria berat tergantung pada :1
Kecepatan / ketepatan diagnosis dan pengobatan. Makin cepat dan tepat diagnosis
dan pengobatannya makin baik prognosisnya.
Kegagalan fungsi organ. Semakin sedikit organ vital yang terganggu semakin baik
prognosisnya. Dari penelitian di Minahasa yang melibatkan 111 penderita malaria
berat, bila komplikasi hanya satu organ, mortalitasnya 10,5%, dengan 2 organ terkena
mortalitas 47,6% dan bila 3 organ terkena 88,9%.
Kepadatan Parasit. Semakin padat parasitnya semakin buruk prognosisnya.
23
BAB III
KESIMPULAN
24
DAFTAR PUSTAKA
25