Anda di halaman 1dari 25

BAB I

PENDAHULUAN

Malaria adalah suatu penyakit yang disebabkan protozoa, genus plasmodium


dan hidup intra sel, yang dapat bersifat akut atau kronik. Transmisi berlangsung di
lebih dari 100 negara dibenua Afrika, Asia Oceania, Amerika latin, Kepulauan
Karibia dan Turki. Kira-kira 1,6 miliard penduduk daerah ini berada selalu dalam
risiko terkena malaria. Tiap tahun ada 100 juta kasus dan meninggal 1 juta di daerah
Sahara Afrika.Sebagian besar yang meninggal adalah bayi dan anak-anak.P. malariae
dan P. falcifarum terbanyak di negara ini.1
Pada tahun 2010 di Indonesia terdapat 65% kabupaten endemis dimana hanya
sekitar 45% penduduk di kabupaten tersebut berisiko tertular malaria. Berdasarkan
hasil survey komunitas selama 2007-2010, prevalensi malaria di Indonesia menurun
dari 1,39% (Riskesdes 2007) menjadi 0,6% (Rikesdes 2010). Sementara itu
berdasarkan laporan yang diterima selama tahun 2000-2009, angka kesakitan malaria
cenderung menurun yaitu sebesar 3,62 per 1.000 penduduk pada tahun 2000 menjadi
1,85 per 1.000 penduduk pada tahun 2009 dan 1,96 tahun 2010. Sementara itu,
tingkat kematian akibat malaria mencapai 1,3 %.2
Prevalensi nasional malaria berdasarkan hasil Riskesdas tahun 2010 adalah
0,6% dimana provinsi dengan Annual Parasite Incidence (API) diatas angka rata-rata
national adalah Nusa Tenggara Barat, Maluku, Maluku Utara, Kalimantan Tengah,
Bangka Belitung, Kepulauan Riau, Bengkulu, Jambi, Sulewesi Tengah, Gorontalo
dan Aceh. Tingkat prevalensi tertinggi ditemukan di wilayah timur Indonesia, yaitu di
Papua Barat (10,6%), Papua (10,1%) dan Nusa Tenggara Timur (4,4%).2
Di Negara-negara maju seperti Eropa, Amerika Serikat, Kanada, Jepang,
Australia dan lain-lain, malaria telah dapat diberantas. Hanya Plasmodium falcifarum
yang dapat menyebabkan malaria berat.Selain P. falcifarum malaria berat dapat juga
disebabkan P. Vivax dan P. Knowlesi. Malaria berat terutama malaria serebral yang
merupakan komplikasi terberat yang sering menyebabkan kematian.1

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi Malaria Berat
Malaria Berat adalah ditemukannya Plasmodium falciparum stadium aseksual
dengan minimal satu dari manifestasi klinis atau didapatkan temuan hasil
laboratorium (WHO, 2015)3 :
1. Perubahan kesadaran (GCS <11, Blantryre <3)
2. kematian otot (tidak bisa duduk atau berjalan)
3. kejang berulang-lebih dari dua episode dalam 24 jam
4. Distres pernapasan
5. Gagal sirkulasi atau syok :pengisian kapiler >3 detik, tekanan sitolik <80 mmHg
(pada anak <70 mmHg)
6. Jaundice (bilirubin >3mg/dl dan kepadatan parasit > 100.000)
7. Hemoglobinuria
8. Perdarahan spontan abnormal
9. Edema paru (radiologi, Saturasi Oksigen <92%)

Gambaran laboratorium :
1. Hipoglikemi (gula darah <40 mg%)
2. ASidosis metabolic (bikarbonat plasma <15 mmol/L).
3. Anemia berat (Hb <5 gr% untuk endemis tinggi, <7gr% atau hematokrit <15%).
4. Hiperparasitemia (parasit >2% eritrosit atau 100.000 parasit/μl di daerah endemis
tinggi)
5. Hiperlaktemia (asam laktat >5mmol/L)
6. Hemoglobinuria
7. Gangguan fungsi ginjal (kreatini serum >3 mg%).

2.2 Etiologi Malaria Berat


Parasit penyebab malaria adalah spesies Plasmodium. Plasmodium adalah
parasit yang termasuk filum Protozoa, kelas sporozoa. Terdapat lima spesies
Plasmodium pada manusia yaitu: Plasmodium vivax menimbulkan malaria vivax
(malaria tertiana benigna). Plasmodium falciparum menimbulkan malaria falciparum
(malaria tropika, malaria tersiana maligna). Plasmodium malariae menimbulkan
malaria kuartana, dan Plasmodium ovale menimbulkan malaria ovale. Plasmodium
knowlesi merupakan spesies parasit malaria yang ditemukan pada kera, yang
menyerupai Plasmodium falciparum dan Plasmodium malariae, yang pada tahun
1965 di Malaysia dilaporkan spesies ini dapat menginfeksi manusia dan
menyebabkan gejala klinis. Di Indonesia, jenis ini telah ditemukan di daerah

2
Kalimantan Selatan. Plasmodium pada manusia menginfeksi sel darah merah dan
mengalami pembiakan aseksual di jaringan hati dan eritrosit. Pembiakan seksual
terjadi pada tubuh nyamuk yaitu Anopheles betina.6
Malaria Berat biasanya disebabkan oleh Plasmodium Falsiparum, jarang
disebabkan oleh Plasmodium Vivax. Di Indian tahun 2007 ditemukan 3 kasus malaria
berat yang disebabkan oleh Plasmodium Vivax dengan komplikasi kejang dan
keluhan meningoencepalitis difus, setelah 2 hari diterapi dengan Artesunat pasien
sadar dan dipindahkan keruang rawatan biasa dan dari slide darah tepi tidak
ditemukan parasit lagi, kemudian diberikan Primakuin selama 14 hari, setelah 1 bulan
follow up tidak ditemukan gejala sisa neurologi lagi.4
Di India tahun 2003 terdapat 11 kasus malaria berat yang disebabkan oleh
P.Vivax, 2 orang diantaranya ibu hamil, dari pemeriksaan mikroskopis ditemukan
P.Vivax dan tidak ditemukan P.Falsiparum. Semua pasien diterapi dengan kina intra-
vena, 8 orang dinyakan sembuh, 1 orang sembuh dengan dilakukan hemodialisa
karena terjadi gagal ginjal, 2 orang meninggal, sedangkan 2 orang ibu hamil, 1 orang
melahirkan bayi premature dan 1 orang lagi bayinya meninggal pada hari ke-14.5

2.3 Patogenesis Malaria Berat


Patogenesis malaria berat sangat kompleks, melibatkan faktor parasit, faktor
pejamu, dan faktor sosial lingkungan. Ketiga faktor tersebut saling terkait satu sama
lain, dan menentukan manifestasi klinis malaria yang bervariasi mulai dari yang
paling ringan (asimptomatik) hingga yang paling berat yakni malaria dengan
komplikasi gagal organ. Perhatian utama dalam patogenesis malaria berat adalah
sekuestrasi eritrosit berisi parasit stadium matang ke dalam mikrovaskular organ-
organ vital. Faktor lain seperti induksi sitokin TNF-α dan sitokin-sitokin lainnya oleh
toksin parasit malaria dan produksi nitrit oxide (NO) juga diduga mempunyai peranan
penting dalam patogenesis malaria berat. Perkembangan malaria berat merupakan
hasil dari kombinasi faktor-faktor spesifik parasit seperti adhesi dan sekuestrasi
dalam pembuluh darah dan dilepaskannya molekul-molekul bioaktif bersamaan
dengan respon peradangan pejamu. Interaksi sel dalam patogenesis malaria disajikan
dalam gambar 1.6

3
Gambar 1. Interaksi sel dalam patogenesis malaria

1. Peran Trombosit dalam Patogenesis Malaria


Parasit malaria berada dalam darah pada sebagian besar siklus hidupnya
sehingga menginduksi perubahan dalam darah. Malaria mempengaruhi hampir
seluruh komponen darah. Abnormalitas darah yang telah dilaporkan sehubungan
dengan infeksi malaria antara lain anemia, trombositopenia, splenomegali,
limfositosis ringan hingga berat serta (dalam kasus yang jarang) Disseminated
Intravascular Coagulation (DIC). Anemia dan trombositopenia merupakan
komplikasi malaria terkait hematologi yang paling sering, dan mendapat banyak
perhatian pada literatur ilmiah karena berhubungan dengan mortalitas.
Perubahan jumlah leukosit total tidak signifikan pada malaria. Gambaran
leukosit pada penderita malaria beragam, tergantung dari berbagai faktor seperti
lamanya infeksi (akut atau kronis), derajat parasitemia, keparahan penyakit, status
imunitas pejamu dan infeksi campuran. Kadar leukosit total biasanya normal pada
malaria akut, atau terjadi leukopenia pada malaria falciparum akut. Pada kasus anak-
anak dan dewasa dengan malaria berat dan komplikasi, dapat terjadi leukositosis.
Semua jenis parasit penyebab malaria pada manusia menginfeksi eritrosit. Eritrosit
yang terinfeksiakan pecah saat melepaskan merozoit sehingga menyebabkan
hemolisis. Kejadian ini terjadi berulang kali dan menyebabkan anemia hemolitik
hipokromik mikrositik atau normokromik mikrositik.
Meskipun malaria merupakan infeksi pada eritrosit, patofisiologi utama dalam
perkembangan malaria berat adalah interaksi antara sel terinfeksi dan endothelium
mikrovaskular. Aktivasi sel endotel vaksular dianggap sebagai suatu ciri infeksi
malaria yang umum terjadi dan memainkan peranan penting dalam patogenesis
malaria dengan meningkatkan sekuestrasi dari eritrosit terinfeksi parasit ke pembuluh
darah perifer. Trombosit dan produk aktivasinya terlibat dalam sekuestrasi dari

4
eritrosit terinfeksi pada endotel kapiler dan venula, yang merupakan kunci dari proses
patologis malaria berat. Beberapa studi mengaitkan derajat trombositopenia dengan
tingkat keparahan malaria.
Terdapat beberapa mekanisme yang dipostulasikan sebagai penyebab
terjadinya trombositopenia, diantaranya destruksi dimediasi imun, abnormalitas pada
struktur trombosit yang diinvasi parasit, apoptosis platelet, DIC (Disseminated
Intravascular Coagulation), sekuestrasi pada limpa (splenomegali), gangguan
koagulasi, dan stress oksidatif.
Plasmodium falciparum dapat memodifikasi permukaan eritrosit sehingga
terdapat tonjolan-tonjolan, yang disebut knob,sehingga eritrosit terinfeksi parasit akan
bersifat mudah melekat, terutama pada eritrosit sekitarnya yang tidak terinfeksi,
trombosit dan endotel kapiler. Hal tersebut akan menyebabkan pembentukan roset
dan gumpalan dalam pembuluh darah yang dapat memperlambat mikrosirkulasi.
Akibatnya secara klinis dapat terjadi gangguan fungsi ginjal, otak dan syok.
Terdapat beberapa reseptor yang dapat berikatan pada protein PfEMP
(Plasmodium falciparum Erythrocyte Membrane Protein) yang terdapat pada
knobertitrosit terinfeksi parasit. Salah satunya adalah reseptor CD36 yang terdapat
pada trombosit dan endotel pembuluh darah. Penggumpalan dari eritrosit terinfeksi
parasit, yang berhubungan dengan keparahan penyakit, terutama dimediasi oleh
reseptor CD36 yang diekspresikan oleh trombosit. Penempelan dan agregasi
trombosit dapat menyebabkan kegagalan perfusi organ dan hipoksia jaringan.
Aktivasi platelet pada malaria falciparum diilustrasikan pada gambar 2.6

Gambar 2. Aktivasi platelet pada malaria falciparum

Limpa memainkan peranan penting dalam respon imun terhadap parasit


malaria. Terdapat studi yang menyebutkan terjadi sekuestrasi trombosit dalam limpa
selama infeksi akut. Limpa secara normal menyimpan sepertiga trombosit yang
dihasilkan, tetapi pada keadaan splenomegali, sumber ini dapat meningkat hingga
80%, dan mengurangi jumlah trombosit yang beredar pada sirkulasi.

5
Pada malaria, IgG yang berhubungan dengan trombosit (Platelet associated
IgG, PAIgG) meningkat dan berhubungan dengan trombositopenia. Peningkatan
PAIgG juga dapat diartikan sebagai aktivasi platelet. Antibodi anti-platelet tersebut
dapat mengaktivasi membran trombosit, menyebabkan pembuangan trombosit oleh
sistem retikuloendotelial (RE), terutama pada limpa. Antibodi IgG yang ditemukan
pada membran trombosit juga menyebabkan gangguan agregasi trombosit dan
meningkatnya penghancuran trombosit oleh makrofag.
Makrofag diduga berperan dalam destruksi trombosit, dimana peningkatan
Macrophage-colony stimulating factor (M-CSF) berhubungan dengan trombosi-
topenia. Trombosit difagosit oleh makrofag teraktivasi pada hati dan limpa. Malaria
berat berhubungan dengan kadar M-CSF plasma yang lebih tinggi dari normal. Kadar
M-CSF plasma yang meningkat pada malaria, meningkatkan aktivitas makrofag dapat
memediasi destruksi trombosit.
Masa hidup trombosit pada infeksi malaria berkurang akibat dari ikatan
antigen malaria pada trombosit yang diikuti fagositosis yang dimediasi antibodi, atau
aktivasi trombosit in vivo. Masa hidup trombosit berkurang menjadi 2-3 hari
(normalnya 7-10 hari).
Infeksi malaria menginduksi pengeluaran radikal hydroxyl (OH) dari hepar
yang mana bertanggung jawab dalam induksi stress oksidatif dan apoptosis. Parasit
malaria sendiri dapat mengeluarkan sejumlah besar H2O2 dan O2. Stress oksidatif,
melalui lipid peroxidation, menyebabkan kematian trombosit prematur, dan
menimbulkan trombositopenia. Membran trombosit kurang tahan terhadap stress
oksidatif, diperkirakan peningkatan stress oksidatif dapat meningkatkan lisis
trombosit.
Penempelan dan agregasi trombosit pada malaria berhubungan dengan
peningkatan kadar faktor von Willebrand (vWF) dan defisiensi ADAMTS13. Pada
saat terjadi jejas, endotel vaskular menghasilkan vWF, yang akan mengaktivasi
sistem koagulasi dan meningkatkan penggunaan trombosit. Selain itu, vWF yang
berada di sirkulasi menjadi hipereaktif, yang dikenal sebagai konformasi aktif dari
domain vWF A1 yang dapat mengikat trombosit secara spontan. ADAMTS13
merupakan metalloprotease yang bertanggung jawab untuk proteolisis dari multimer
ultralarge and prothromnogenic vWF (UL-vWF). Pada pasien malaria, terjadi
penurunan aktivitas ADAMTS 13 yang mengakibatkan peredaran UL-vWF, yang
selanjutnya akan berikatan dengan trombosit, dan mengakibatkan trombositopenia di
perifer.
Eritrosit yang terinfeksi Plasmodium falciparum memiliki kemampuan untuk
menstimulasi sel endotel secara langsung. Hemolisis eritrosit pada infeksi malaria
menghasilkan faktor proagregasi seperti adenosine diphosphate (ADP), yang dapat
menimbulkan respon aktivasi dan agregasi trombosit.
Abnormalitas pada struktur dan fungsi trombosit digambarkan sebagai
konsekuensi infeksi malaria. Sebagian besar pasien dengan malaria berat memiliki

6
gambaran darah tepi trombositopenia, namun tranfusi konsentrat trombosit hanya
diindikasikan pada pasien dengan perdarahan sistemik.
Berkurangnya peredaran trombosit di sirkulasi pada malaria juga diasumsikan
akibat mekanisme dimediasi antibodi. Terjadi peningkatan antibodi antiplatelet IgG
pada penderita malaria (baik malaria falciparum maupun vivax) yang mengaktivasi
membran trombosit, yang menyebabkan pembuangan trombosit oleh sistem
retikuloendotelial, khususnya pada limpa. Dalam limpa, trombosit diduga difagosit
oleh makrofag teraktivasi.6

2.4 Manifestasi Klinis


Manifestasi malaria berat bervariasi : dari kelainan kesadaran sampai
gangguan organ-organ tertentu dan gangguan metabolisme. Manifestasi ini dapat
berbeda-beda menurut kategori umur pada daerah tertentu berdasarkan endemisitas
setempat. Pada daaerah hipoendemik malaria serebral dapat terjadi dari usia anak
sampai dewasa.1

Faktor predisposisi terjadinya malaria berat :1


1. anak-anak usia balita
2. wanita hamil
3. penderita dengan daya tahan tubuh yang rendah, misalnya penderita penyakit
keganasan, HIV, penderita dalam pengobatan kortikosteroid
4. penduduk dari daerah endemis malaria yang telah lama meninggalkan daerah
tersebut dan kembali ke daerah asal.
5. orang yang belum pernah/tinggal didaerah malaria.

Manifestaasi klinis meliputi :1


a. Malaria Serebral
Terjadi kira-kira 2% pada penderita non-imun, walaupun demikian masih
sering dijumpai pula didaaerah endemikseperti di Jepara (Jawa Tengah), Sulewesi
Utara, Maluku, dan Irian Jaya. Secara sporadik juga ditemui pada beberapa kota besar
di Indonesia umumnya sebagai kasus import. Merupakan komplikasi yang paling
berbahaya dan memberikan mortalitas 20-50% dengan pengobatan. Penelitian di
Indonesia mortalitas berkisar 21,5%-30,5%.
Gejala malaria serebral dapat ditandai dengan koma yang tidak bisa
dibangunkan, bila dinilai dengan GCS (Glasgow Coma Scale) yaitu dibawah 7 atau
equal dengan keadaan klinis soporous. Sebagian penderita terjadi gangguan
kesadaran yang lebih ringan seperti apati, somnolen, delirium dan perubahan tingkah
laku (penderita tidak mau bicara). Dalam praktek keadaan ini harus ditangani sebagai

7
malaria serebral setelah penyebab lain dapat disingkirkan. Penurunan kesadaran
menetap untuk waku lebih dari 30 menit, tidak sementara panas atau hipoglikemi
membantu meyakinkan keadaan malaria serebral.Kejang, kaku kuduk dan hemiparese
dapat terjadi waklaupun cukup jarang.Pada pemeriksaan neurologic reaksi mata
divergen, pupil ukuran normal dan reaktif, funduskopi normal atau dapat terjadi
perdarahan.Papiledema jarang, reflex kornea normal pada orang dewassa, sedangkan
pada anal reflex dapat hilang. Reflex abdomen dan kremaster normal, sedangkan
Babinsky abnormal pada 50% penderita. Pada keadaan berat penderita dapat
mengalami dekortikasi (lengan flexi dan tungkai extensi), decerebrasi (lengan dan
tungkai extensi), opistotonus, deviasi mata ke atas dan lateral.Keadaan ini sering
disertai dengan hiperventilasi. Lama koma pada orang dewasa dapat 2-3 hari,
sedangkan pada anak satu hari.
Diduga pada malaria serebral terjadi sumbatan kapiler pembuluh darah otak
sehingga terjadi anoksia otak. Sumbatan tersebut terjadi karena eritrosit yang
mengandung parasit sulit melalui pembuluh kapiler karena proses sitoaderensi dan
sekuestrasi parasit. Akan tetapi penelitian Warrell DA menyatakan bahwa tidak ada
perubahan cerebral blood flow, cerebro vascular resistence, ataupun cerebral
metabolic rate for oxygen pada penderita koma dibandingkan penderita yang telah
pulih kesadarannya. Kadar laktat pada cairan Serebro-spinal (CSS) meningkat pada
malaria serebral yaitu >2.2 mmol/l (19,6 mg/dl) dan dapat dijadikan indikator
prognosis yaitu bila kadar laktat >6 mmol/l mempunyai prognosa yang fatal. Pada
pengukuran tekanan intrakranial meningkat pada anak-anak (80%), sedangkan pada
penderita dewasa biasanya normal, adanya edema serebri hanya dijumpai pada kasus-
kasus yang agonal. Pada malaria serebral biasanya dapat disertai gangguan fungsi
organ lain seperti ikterik, gagal ginjal, hipoglikemia dan edema paru. Bila terjadi
lebih dari 3 komplikasi organ, maka prognosa kematian >75%.

b. Gagal Ginjal Akut (GGA)


Kelainan fungsi ginjal sering terjadi pada penderita malaria dewasa. Kelainan
fungsi ginjal dapat pre-renal karena dehidrasi (>50%) dan hanya 5-10% disebabkan
nekrosis tubulus akut. Gangguan ginjal diduga disebabkan adanya anoksia karena
penurunan aliran darah ke ginjal akibat dari sumbatan kapiler, sehingga terjadi
penurunan filtrasi pada glomerulus. Secara klinis dapat terjadi fase oliguria ataupun
poliuria. Pemeriksaan laboratorium yang diperlukan yaitu urin mikroskopik, berat
jenis urin, natrium urin, serum natrium, kalium, ureum, kreatinin, analisa gas darah
serta produksi urin. Apabila berat jenis (BJ) urin <1.010 menunjukkan dugaan
nekrosis tubulus akut, sedangkan urin pekat BJ >1.015, rasio urea urin, darah >4:1,

8
natrium urin <20mm0l/l menunjukkan keadaan dehidrasi. Beberapa faktor resiko
yang mempermudah terjadinya GGA adalah hiperparasitemia, hipotensi, ikterus,
hemoglobinuri. Penanganan penderita dengan kelainan fungsi ginjal di Minahasa
memberikan mortalitas 48%. Dialisis merupakan pilihan pengobatan untuk
menurunkan mortalitas.
Dikarenakan gagal ginjal akut yang terjadi pada penderita malaria berat sering
membaik manjadi normal,maka istilah gagal ginjal akut sudah ditinggalkan dan
digantikan dengan istilah Malaria related Acute Kidney Injury (MAKI), yang
didefinisikan sebagai perubahan mendadak (48 jam) dari fungsi ginjal yang
mempunyai karakteristik sebagai berikut :
1. Meningkatnya serum kreatinin 0,3 mg/dl atau lebih dari hasil sebelumnya.
2. Meningkatnya persentase (%) dari serum kreatinin 50% atau lebih dari nilai dasar.
3. penurunan produksi urin <0,5 ml/kgBB/jam selama lebih dari 6 jam.

MAKI dapat menjadi 2 cara yaitu sebagai bagian dari disfungsi multi organ,
atau sebagai dari AKI sendiri. Bila MAKI merupakan bagian dari disfungsi multi
organ sering terjadi pada saat didiagnosa malaria berat dan prognosanya jelek.
Dipihak lain bila hanya terjadi AKI mempunyai prognosa lebih baik. Biasanya terjadi
oliguria, ensefalopati, hiperglikemia, asidosis tanpa komplikasi organ lain. Oliguria
biasanya menetap 5-10 hari kadang-kadang produksi urin dapat normal atau bahkan
meningkat pada beberapa pasien. Karenanya oliguria sendiri sebaiknya tidak dipakai
untuk mendiagnosa AKI. Oleh karenanya diperlukan pemeriksaan urin/ BUN dan
kreatinin secara serial (setiap hari). Dehidrasi, hipotensi dan syok dapat terjadi.
Dehidrasi dapat terjadi pada lebih dari setengah jumlah pasien dan hipotensi dapat
terjadi sepertiga jumlah pasien. Hipotensi dapat disebabkan karena kekurangan intake
cairan, hilangnya cairan melalui panas dan muntah, vasodilatasi arteri dan efek dari
sitokin. Proteinuria sampai 1 gram/ 24 jam pada sepertiga pasien dengan MAKI dan
biasanya menjadi normal setelah penyembuhn dari fungsi ginjal. Adanya proteinuria
yang menetap dapat menjadi tanda adanya penyakit glomerular.

c. Kelainan Hati (Malaria Biliosa)


Jaundice atau icterus sering dijumpai pada infeksi malaria falsiparum. Pada
penelitian di Minahasa dari 836 penderita malaria, hepatomegali 15,9%,
hiperbilirubinemi 14,9% dan peningkatan serum transaminase 5,7%. Pada malaria
biliosa (malaria dengan ikterus) dijumpai ikterus hemolitik 17,2%, ikterus obstruktip
intra-hepatal 11,4% dan tipe campuran parenkimatosa, hemolitik dan obstruktip
78,6%, peningkatan SGOT rata-rata 121 mU/ml dan SGPT 80,8 mU/ml dengan ratio

9
de Ritis 1,5. Peningkatan transaminase biasanya ringan sampai sedang dan jarang
melebihi 200 iu, ikterus yang berat sering dijumpai walaupun tanpa diikuti kegagalan
hati. Penelitian di Minahasa pada 109 penderita malaria berat, kadar bilirubin
tertinggi ialah 36,4 mg/dl, bilirubin normal (<1,2 mg/dl) dijumpai 28 penderita (25%)
mortalitasnya 11%, bilirubin 1,2 mg% - mg/dl dijumpai pada 17 penderita (16%)
mortalitasnya 17%, bilirubin > 2mg/dl – 3 mg/dl pada 13 penderita (12%) dengan
mortalitas 29% serta bilirubin >3 mg/dl dijumpai pada 51 penderita (46%) dan
mortalitasnya 33 %. Serum SGOT bervariasi dari 6-243 u/l sedangkan SGPT
bervariasi dari 4-154 u/l. alkali fosfatase bervariasi dari 5-534 u/l dan gamma-GT
bervariasi 4-603 u/l. white (1996) memakai batas bilirubin >2,5 mg/dl, SGOT/SGPT
>3 x normal menunjukkan prognosis yang jelek. Penderita malaria dengan ikterus
termasuk dalam Kriteria malaria berat.
Dalam pedoman WHO 2010, adanya ikterik pada malaria berat harus disertai
dengan tanda kegagalan fungsi organ lain.

d. Hipoglikemia
Hipoglikemi dilaporkan sebagai keadaan terminal pada binatang dengan
malaria berat. Hal ini disebabkan karena kebutuhan metabolik dari parasit telah
menghabiskan cadangan glikogen dalam hati. Hipoglikemia dapat tanpa gejala pada
penderita dengan keadaan umum yang berat ataupun penurunan kesadaraan. Pada
penderita dengan malaria serebral di Thailand dilaporkan adanya hipoglikemi
sebanyak 12,5%, sedangkan di Minahasa insiden hipoglikemia berkisar 17,4%-
21,8%. Penyebab terjadinya hipoglikemi yang paling sering ialah karena pemberian
terapi kina (dapat terjadi 3 jam setelah infuse kina). Penyebab lainnya ialah kegagalan
glukoneogenesis pada penderita dengan ikterik, hiperparasitemia oleh karena parasit
mengkonsumsi karbo-hidrat, dan pada TNF-a yang meningkat. Hipoglikemi dapat
pula terjadi pada primigravida dengan malaria tanpa komplikasi. Hipoglikemia
kadang-kadang sulit diobati dengan cara konvensionil, disebabkan hipoglikemia yang
persisten karena hiperinsulinemia akibat kina. Mungkin dengan pemberian diazoksid
dimana terjadi hambatan sekresi insulin merupakan cara pengobatan yang dapat
dipertimbangkan.

e. Blackwater Fever (Malaria Haemoglobinuria)


Blackwater Fever (Malaria Haemoglobinuria) adalah suatu sindrom dengan
gejala karakteristik serangan akut, menggigil, demam, hemolisis
intravascular,hemoglobinemi,hemoglobinuri dan gagal ginjal. Biasanya terjadi
sebagai komplikasi dari infeksi P.falcifarum yang berulang-ulang pada orang non-

10
imun atau dengan pengobatan kina yang tidak adekuat. Akan tetapi adanya hemolisis
karena kina ataupun antibody terhadap kina belum pernah dibuktikan. Malaria
hemoglobinuria dapat terjadi pada penderita tanpa kekurangan ensim G-6-PD dan
biasanya parasit falciparum positif, ataupun pada penderita dengan kekurangan G-6-
PD yang biasanya disebabkan karena pemberian primakuin.

f. Malaria Algid
Malaria Algid adalah terjadinya syok vascular, ditandai dengan hipotensi
(tekanan sistolik kurang dari 70 mmHg), perubahan tahanan perifer dan berkurangnya
perfusi jaringan. Gambaran klinik berupa perasaan dingin dan basah pada kulit,
temperature rectal tinggi, kulit tidak elastic, pucat. Pernapasan dangkal, nadi cepat,
tekanan darah turun dan sering tekanan sistolik tak terukur dan nadi yang normal.
Keadaan ini sering dihubungkan dengan terjadinya septisemia gram negatif.
Hipotensi biasanya berespon dengan pemberian NaCl 0,9% dan obat inotropik.

g. Kecenderungan Perdarahan
Perdarahan spontan berupa perdarahan gusi, epistaksis, perdarahn dibawah
kulit berupa petekie, purpura, hematoma dapat terjadi sebagai komplikasi malaria
tropika. Perdarahan ini dapat terjadi karena trombositopenia, atau gangguan koagulasi
intravascular ataupun gangguan koagulasi karena gangguan fungsi hati.
Trombositopenia disebabkan karena pengaruh sitokin. Gangguan koagulasi
intravascular jarang terjadi kecuali pada stadium akhir dari suatu infeksi P.falciparum
yang berat.

h. Edema Paru/ARDS
Sering terjadi pada malaria dewasa dan jarang pada anak. Edema paru
merupakan komplikasi yang paling berat dari malaria tropika dan sering
menyebabkan kematian. Edema paru dapat terjadi karena kelebihan cairan atau Acute
respiratory distresss syndrome. Beberapa faktor yang memudahkan timbulnya edema
paru yaitu kelebihan cairan, kehamilan, malaria serebral, hiperparasitemi, hipotensi,
asidosis dan uremi. Adanya peningkatan respirasi merupakan gejala awal, bila
frekuwensi pernapasan > 35 kali.menit prognosanya jelek. Pada otopsi dijumpai
adanya kombinasi edema yang difus, kongestif paru, perdarahan, dan pembentukan
membrane hialin. Oleh karenanya istilah edema paru mungkin kurang tepat, bahkan
sering disebut sebagai insuffisiensi paru akut atau acute respiratory distress
syndrome.

11
Di samping bronchitis, pneumonia dan bronkopneumonia sebagai manifestasi
paru pada infeksi malaria, acute lung injury (ALI) dan acute respiratory distress
syndrome (ARDS) merupakan manifestasi klinik pada malaria berat. Keadaan ini
dapat disebabkan baik oleh plasmodium falsiparum, vivax maupun knowlesi. Baik
ALI maupun ARDS termasuk respiratory distress yang disebabkan oleh malaria
dimana WHO hanya mendefinisikan sebagai pernapasan yang dalam dan peningkatan
frekuensi respirasi. (tabel 1)1

Tabel 1. Kriteria Diagnosis ALI dan ARDS

Kelainan Onset PaO2/FiO2 SpO2/FiO2 Foto Tekanan Baji


Toraks PA Arteri Pulmonalis
ALI Akut ≤ 300 mmHg ≤ 315 Infiltrat ≤ 18 mmHg atau
Bilateral tidak ada bukti
terjadinya
hipertensi atrium
kiri

ARDS Akut ≤ 200 mmHg ≤ 235 Infiltrat ≤ 18 mmHg atau


Bilateral tidak ada bukti
terjadinya
hipertensi atrium
kiri

Adanya edema paru berdasarkan pedoman WHO 2010 juga dapat dideteksi
dengan gambaran radilogik. ARDS merupakan manifestasi klinik lebih berat
dibandingkan ALI. Adapun gambaran ARDS yaitu sesak napas yang tiba-tiba, batuk
dan merasa berat didada yang progresif dalam beberapa jam dan menyebabkan
hipoksia. Terjadi pola gangguan kesadaran berupa disorientasi dan agitasi.
Pemeriksaan fisik berupa bernapas dengan mnggunakan mulut, bernapas
menggunakan otot-otot tambahan, pernapasan dengan retraksi kosta, sianosis sentral
dan perifer, krepitasi basal dan wheezing ekspirator. Pada pasien ini dapat disertai
dengan parasitemia yang tinggi, gagal ginjal akut, hipoglikemia, asidosis metabolic,
koagulasi intravascular diseminata dan sepsis bakterial. Diagnose berdasarkan
ditemukannya parasit, analisa gas darah yang menunjukkan hipoksemia dan
gambaran asidosis metabolik serta pemeriksaan toraks.

12
i. Manifestasi Gastro-intestinal
Manifestasi gastro-intestinal sering dijumpai pada malaria, gejala-gejalanya
yaitu tidak enak diperut, flatulensi, mual, muntah, diare dan konstipasi. Kadang-
kadang gejala menjadi berat berupa sindroma bilious remittent fever ialah gejala
gastro-intestinal dengan hepatomegali, ikterik (hiperbilirubinemia dan peningkatan
SGOT/SGPT) dan gagal ginjal, malaria disenteri menyerupai disentri bisiler, dan
malaria kolera yang jarang pada P.Falcifarum berupa diare cair yang banyak,
muntah, kramp otot dan dehidrasi.

j. Hiponatremia
Hiponatremia sering dijumpai pada penderita malaria falsiparum dan biasanya
bersamaan dengan penurunan osmolaritas plasma. Terjadinya hiponatremia dapat
disebabkan kehilangan cairan dan garam melalui muntah dan mencret ataupun
terjaddinya sindroma abnormalitas hormone anti-diuretik (SAHAD), akan tetapi
pengukuran hormone diuretic yang pernah dilakukan hanya dijumpai peningkatan
pada 1 diantara 17 penderita.
Dalam penelitian pengukuran serum copeptin dibuktikan bahwa pada
hiponatremia kasus malaria terjadi peningkatan AVP.

k. Gangguan Metabolik Lainnya


Asidosis metabolik ditandai dengan hiperventilasi (pernapasan Kussmaul),
peningkatan asam laktat, pH turun dan peningkatan bikarbonat. Asidosis biasanya
disertai edema paru, hiperparasitemia, syok, gagal ginjal dan hipoglikemia. Gangguan
metabolik lainnya berupa :
 Hipokalsemia dan hipophosphatemia
 Hipomagnesemia
 Hiperkalemia (pada gagal ginjal)
 Hipoalbuminemia
 Hiperfosfolipedemia
 Hipertrigliseremia dan hipokolesterolemia
 T-4 rendah, TSH basal normal (sick euthyroid syndrome)

2.5 Tatalaksana Malaria Berat


A. Tindakan Umum/Suportif
Apabila fasilitas tidak/kurang memungkinkan untuk merawat penerita malaria
berat maka persiapkan penderita rujuk kerumah sakit/fasilitas pelayanan yang lebih
tinggi, yang memiliki fasilitas perawatan intensif. Tindakan tersebut antara lain :1

13
1. Pertahankan fungsi vital : sirkulasi, kesadaran, kebutuhan oksigen, cairan dan
nutrisi.
2. Hindarkan trauma : dekubitus, jatuh dari tempat tidur.
3. Hati-hati komplikasi dari tindakan kateterisasi, infuse yang dapat memberikan
infeksi nosokomial dan kelebihan cairan yang menyebabkan edema paru.
4. Monitoring : temperature, nadi, tekanan darah dan respirasi tiap 1-2 jam.
Perhatikan timbulnya ikterus dan perdarahan.
5. Baringkan/posisi tidur sesuai dengan kebutuhan
6. Pertahankan sirkulasi : bila hipotensi, lakukan posisi Tredenleburg’s, perhatikan
warna dan temperature kulit.
7. Cegah hiperpireksi :
 Tidak pernah memakai botol panas/selimut listrik
 Kompres air/air es/alcohol
 Kipas dengan kipas angin/kertas
 Baju yang tipis/ terbuka
 Cairan cukup
8. Pemberian cairan :
Pemberian cairan merupakan bagian yang penting dalam penanganan malaria
berat. Pemberian cairan yang tidak adekuat (kurang) akan menyebabkan timbulnya
tubuler nekrosis ginjal akut. Sebaliknya pemberian cairan yang berlebihan dapat
menyebabkan edema paru. Pada sebagian penderita malaria berat suda mengalami
sakit beberapa lamanya sehingga mungkin masukan sudah kurang, penderita juga
sering muntah-muntah, dan bila panas tinggi akan memperberat keadaan dehidrasi.
Ideal bila pemberian cairan dapat diperhitungkan secara lebih tepat, dengan cara :
 Maintenance cairan diperhitungkan berdasarkan BB, misalnya untuk BB 50
kg dibutuhkan cairan 1500 cc. (30 ml/kg BB). Derajat dehidrasinya :
1. Derajat ringan ditambah 10%
2. Derajat sedang ditambah 20%
3. Derajat berat ditambah 30% dari kebutuhan Maintenance.
 Setiap kenaikan suhu 10 ditambah 10% kebutuhan Maintenance,
 Monitoring pemberian cairan yang akurat dilakukan dengan pemasangan CVP
line, cara ini tidak selalu dapat dilakukan pada fasilitas kesehatan tingkat
puskesmas/RS Kabupaten. Sering kali pemberian cairan dengan perkiraan,
misalnya 1500-2000 cc/24 jam dapat sebagai penanganan. Mashaal
membatasi cairan 1500 cc/24 jam untuk menghindari edema paru. Cairan
yang sering dipakai yaitu 5% Dekstrose untuk menghindari hipoglikemi

14
khususnya pada pemberian kina. Bila dapat diukur kadar elektrolit (natrium)
dan natrium rendah (<120 meq/L), perlu dipertimbangkan pemberian NaCl.
9. Diet : porsi kecil dan sering, cukup kalori, karbohidrat dan garam.
10. Perhatikan kebersihan mulut.
11. Perhatikan diuresi dan defekasi, aseptic kateterisasi.
12. Kebersihan kulit : mandikan tiap hari dan keringkan.
13. Perawatan mata : hindarkan trauma, tutup dengan kain/ gaas lembab.
14. Perawatan pasien tidak sadar/ koma meliputi :
 Selalu memakai prinsip ABC (Airway, Breathing, Circulation + Defibrilasi).
 Airway (jalan napas) :
1. Jaga jalan napas agar selalu bersih/tanpa hambatan dengan cara bersihkan
jalan napas dari saliva, muntahan dan lainnya
2. Pasien posisi lateral
3. Tempat tidur datal/tanpa bantal
4. Mencegah aspirasi lambung masuk ke saluran pernapasan dengan jalan :
posisi lateral dan pemasangan NGT (Naso aastric Tube) untuk menyedot isi
lambung.
 Breathing (pernapasan) Bila takipnea, pernapasan asidosis : berikan
penunjang pernapasan, misalnya O2 dan bila perlu pemasangan ventilator.
 Circulation (Kardiovaskular) :
1. Periksa dan catat : nadi, tensi, JVP, CVP, (bila memungkinkan), turgor
kulit, dll.
2. Jaga keseimbangan cairan : lakukan pemantauan cairan dengan mencatat
asupan dan keluaran cairan secara akurat.
3. Pemasangan kateter urethra dengan drainage/bag tertutup untuk mengukur
volume urin. Bila fungsi ginjl baik, adanya dehidrasi atau overhidrasi dapat
juga diketahui dari volume urin.
4. Normal volume urin : 1 ml/Kg BB/jam. Bila volume urin < 30 ml/jam,
mungkin terjadi dehidrasi (periksa juga tanda-tanda lain dehidrasi). Bila
terbukti ada dehidrasi, tambahkan intake cairan melalui IV-line. Bila volume
urin > 90 ml/jam, kurangi intake cairan untuk mencegah overload yang
mengakibatkan udem paru. Monitoring paling tepat dengan menggunakan
CVP-line.
5. Buat grafik suhu, nadi dan pernapasan secara akurat.
6. Pasang IVFD untuk mencegah terjadinya trombophlebitis dan infeksi yang
sering terjadi melalui IV-line maka sebaiknya diganti setiap 2-3 hari.

15
7. Pasang kateter uretra dengan drainase/kantong tertutup. Pemasangan kateter
dengan memperhatikan kaidah antisepsis.
8. Mata dilindungi dengan pelindung mata untuk menghindari ulkus kornea
yang dapat terjadi karena tidak adanya reflex mengedip pada pasien tidak
sadar.
9. Menjaga kebersihan mulut untuk mencegah infeksi rongga mulut pada
pasien tidak sadar.
10. Merubah/balik posisi lateral secara teratur untuk mencegah luka dekubitus
dan pneumonia hipostatik.
11. Hal-hal yang perlu dimonitor :
 Tekanan darah, nadi, suhu dan pernapasan setiap 1-2 jam.
 Pemeriksaan derajat kesadaran dengan modifikasi Glasgow coma
scale (GCS) setiap 6 jam.
 Hitung parasit setiap 12-24 jam.
 Hb, leukosit, bilirubin dan kreatinin pada hari ke III dan VII.
 Gula darah setiap 4 jam.
 Parameter lain sesuai indikasi (missal : ureum, kreatinin dan kalium
darah pada komplikasi gagal ginjal).
B. Pengobatan Simptomatik
1. Pemberian antipiretik untuk mencegah hipertermia : parasetamol 15 mg/kg
bb/x, beri setiap 4 jam dan lakukan juga kompres hangat.
2. Bila kejang, beri antikonvulsan : Dewasa : Diazepam 5-10 mg IV (secara
perlahan jangan lebih dari 5 mg/menit) ulang 15 menit kemudian bila masih
kejang. Jangan diberikan lebih dari 100 mg/24 jam.
Bila tidak tersedia Diazepam, sebagai alternative dapat dipakai Phenobarbital 100
mg IM/x (dewasa) diberikan 2 x sehari.1

C. Pemberian Obat Anti Malaria


Pemberian Obat Anti Malaria (OAM) pada malaria berat berbeda dengan
malaria biasa karena pada malaria berat diperlukan daya membunuh parasit secara
cepat dan bertahan cukup lama didarah untuk segera menurunkan derajat
parasitemianya. Oleh karenanya dipilih pemakaian obat per parenteral (intravena, per
infuse/ intra muskuler) yang berefek cepat dan kurang menyebabkan terjadinya
resistensi.1

16
Derivat artemisinin
Derivat artemisinin merupakan obat baru yang berasal dari China (Qinghaosu)
yang memberikan efektivitas yang tinggi terhadap strain yang multi resisten.
Artemisinin mempunyai kemampuan farmakologik sebagai berikut, yaitu :
 Mempunyai daya bunuh parasit yang cepat dan menetap
 Efektif terhadap parasit yang resisten
 Memberikan perbaikan klinis yang cepat
 Menurunkan gametosit
 Bekerja pada semua bentuk parasit baik pada bentuk tropozoit dan
schizont maupun bentuk-bentuk lain
 Untuk pemakaian monoterapi perlu lama pengobatan 7 hari
Artemisinin juga menghambat metabolisme parasit lebih cepat dari obat anti
malaria lainnya. Ada 3 jenis artemisinin yang dipergunakan paranteral untuk malaria
berat yaitu artesunate, artemeter dan arteether. Artesunate lebih superior
dibandingkan artemeter dan artemotil. Pada studi SEQUAMAT, artesunate telah
dibandingkan dengan kina HCL, artesunate menurunkan mortalitas 34,7%.1

Pemberian OAM (Obat Anti Malaria) secara parenteral


Artesunate injeksi ( 1 flacaon = 60 mg), Dosis i.v 2,4 mg/kg BB/kali pemberian.
 Pemberian intravenous : Dilakukan pada pelarutnya 1ml 5% bikarbonat dan
diencerkan dengan 5-10 cc 5% dektrose disuntikan bolus intravena.
Pemberian pada jam 0, 12 jam, 24 jam dan seterusnya tiap 24 jam sampai
penderita sadar. Dosis tiap kali pemberian 2,4 mg/kgBB. Bila sadar diganti
dengan tablet artesunate oral 2 mg/kgBB sampai hari ke-7 mulai pemberian
parenteral. Untuk mencegah rekudensi dikombinasikan dengan doksisiklin 2 x
100 mg/hari selama 7 hari atau pada wanita hamil/ anak diberikan klindamisin
2 x 10 mg/kgBB. Pada pemakaian artesunate tidak memerlukan penyesuaian
dosis bila gagal organ berlanjut. Obat lanjutan setelah parenteral dapat
menggunakan obat ACT. Pemberian parenteral minimal 3 x pemberian.
Artemeter i.m (1 ampul 80 mg).
Diberikan atas indikasi :
1. Tidak boleh pemberian intravena/infuse
2. Tidak ada manifestasi perdarahan (purpura dsb)
3. Pada malaria berat di RS perifer/Puskesmas
4. Dosis artemeter : Hari 1 : 1,6 mg/kg BB tiap 12 jam, hari 2-5 : 1,6
mg/kgBB

17
Kina HCL 1 ampul = 500mg/2ml)
1. Cara Kina 8 jam berkesinambungan : Dosis 10 mg/KgBB (500 mg untuk BB
40-50 Kg) dalam infuse 5% dekstrose 500 cc selama 8 jam secara terus
menerus sampai penderita sadar dan diganti Kina dosis oral.
2. Cara lain : Kina HCL 25% (perinfus) dilarutkan dalam 500 cc dextrose 5%
dosis 10 mg/Kg BB/dosis/4jam diberikan setiap 8 jam, diulang dengan cairan
dan dosis yang sama setiap 8 jam, diulang dengan cairan dan dosis yang sama
setiap 8 jam sampai penderita dapat minum obat dan diganti dosis oral
.
Catatan :
Dosis loading (awal/pemberian I) dapat diberikan dosis 20 mg/kg BB, asal dipastikan
tidak mendapat kina/mefloquin sebelumnya dapat ditimbang BB nya (tidak estimasi)
dan tidak usia >70 tahun atau QT interval yang panjang. Dosis ini sesuai rekomendasi
WHO dan memberikan bersihan parasit lebih cepar.
 Bila penderita sadar setelah pemberian kina perinfus, kina dilanjutkan per oral
dengan dosis 3 x 10 mg/kgBB/hari sampai hari ke 7.
 Kina tidak boleh diberikan secara bolus intra vena, karena dapat
menyebabkan kadar dalam plasma sangat tinggi sehingga menyebabkan
toksisitas pada jantung dan kematian.
 Bila karena alas an kina tidak dapat diberikan malaria infuse, maka dapat
diberikan IM dengan dosis yang sama pada paha bagian depan masing-masing
½ dosis pada setiap paha (jangan diberikan pada bokong). Bila mungkin untuk
pemakaian IM. Kina diencerkan dengan normal saline untuk mendapatkan
konsentrasi 60-100 mg/ml.
 Apabila tidak ada perbaikan klinis setelah pemberian 48 jam kina parenteral,
maka dosis maintenance kina diturunkan ½ nya dan lakukan pemeriksaan
parasitologi serta evaluasi klinik terhadap kemungkinan diagnosis lain.
 Monitoring pada pengobatan kina parenteralyaitu :
 Kadar gula darah tiap 8 jam
 Tekanan darah dan nadi, bila nadi, bila nadi ireguler buat EKG
 Serum bilirubin dan kreatinin pada hari ke-3
 Hitung parasit tiap hari

D. Transfuse ganti (Exchange transfusion)


Indikasi traansfusi ganti ialah :1
1. Parasitemia > 30% tanpa komplikasi berat

18
2. Parasitemia > 10% disertai komplikasi berat seperti : serebral malaria, ARF,
ARDS, jaundice (bilirubin total > 25mg%) dan anemia berat.
3. Parasitemia > 10 % disertai prognosis buruk (lanjut usia, late stage
parasitesi/skizon pada darah perifer). Pastikan darah transfuse bebas infeksi (malaria,
HIV, Hepatitis)

E. Penanganan kerusakan / gangguan fungsi organ


Tindakan/ pengobatan Tambahan Pada Malaria Serebral1
Kejang merupakan salah satu komplikasi dari malaria serebral.
Penanganan/pencegahan kejang penting untuk menghindarkan aspirasi. Penanganan
kejang dapat dipilh dibawah ini :
 Diazepam : i.v 10 mg, atau intra-rektal 0,5-1,0 mg/kgBB
 Paradelhid : 0,1 mg/kgBB
 Klormetiazol (bila kejang berulang-ulang) dipaki 0,8% larutan infuse sampai
kejang hilang.
 Fenitoin : 5 mg/kgBB i.v diberikan selama 20 menit
 Fenobarbital : pemberian fenobarbital 3,5 mg/kgBB (umur di atas 6 tahun)
mengurangi terjadinya konvulsi.
Anti-TNF dan pentoksifilin dan desferioksamin, prostasiklin, asetilsistein
merupakan obat-obat yang pernah dicoba untuk malaria serebral dan tidak
terbukti manfaatnya, sedangkan heparin, dekstran, sislosporin, epinefrin dan
hiperimunglobulin tidak terbukti berpengaruh menurunkan mortalitas.
Kortikosteroid seperti deksametason baik dengan dosis sedang ataupun dosis
tinggi tidak terbukti menurunkan mortalitas pada malaria serebral, karena itu
seyogyanya tidak dipergunakan lagi. Penggunaan steroid justru memperpanjang
lamanya kome dan menimbulkan banyak efek samping seperti pneumoni dan
perdarahan gastrointestinal.

F. Obat Anti Malaria untuk Pengobatan Malaria Berat


Artesunate (1 flacon = 60 mg artesunic acid), dilarutkan dalam 1 ml 5% sodium
bicarbonate (pelarutnya) untuk menjadi larutan sodium artesunate, kemudian
dilarutkan dalam 5 ml 5% dextrose untuk siap diberikan intra-venous/intra-muscular
dosis 2,4 mg/kgBB pada hari pertama diberikan tiap 12 jam, kemudian dilanjutkan
dosis 2,4 mg/kgBB pada hari ke-2-7/24jam. Tidak diperlukan penyesuaian /
penurunan dosis pada gangguan fungsi ginjal/hati tidak menyebabkan hipo-glikemia
dan tidak menimbulkan aritmia/hipotensi.

19
Artemeter (1 flacon = 80 mg) Dosis : 3,2 mg/kgBB i.m sebagai dosis loading dibagi
2 dosis (tiap 12 jam) hari pertama, diikuti dengan 1,6 mg/kgBB/24 jam selama 4 hari.
Karena pemberian intramuskuler absorpsinya sering tidak menentu. Tidak
menimbulkan hipoglikemia.
Kina HCL ( 1 Ampul = 220mg) Dosis 10 mg/kgBB Kina HCL dalam 500cc cairan
5% Dextrose (atau Nacl 0,9%) selama 6-8 jam, selanjutnya diberikan dengan dosi
yang sama diberikan tiap 6-8jam. Tergantung status kebutuhan cairan 1500-2000cc.
dosis loading 20mg/kgBB dipakai bila jelas tidak memakai 24 jam sebelumnya atau
mefloquin, penderitanya tidak usia lanjut dan tidak ada Q-Tc memanjang pada
rekaman EKG. Kina HCL dapat juga diberikan intra muskuler yang dalam pada paha.
Kinidin Gluconate Dosis 10 mg/kgBB perinfuse selama 2 jam dilanjutkan 0,02
mg/kg/menit sampai parasit < 1% digantikan oral 3 x 600 mg sampai negative.
Obat-obatt suppositoria pada Malaria Berat
Artesunate ( 50mg/100mg/400mg)
Dosis 10mg/kgBB diberikan dosis tunggal 400mg pada orang dewasa
Artemisinin
Dosis 10-40 mg/kgBB diberikan pada 0 jam, 4, 12, 24, 48, dan 72 jam.
Dihydroartemisinin 40 mg, 80 mg
Dosis dewasa 80 mg dan dilanjutkan 40 mg pada jam 24 dan 48

G. Tindakan/Pengobatan Terhadap Komplikasi


 Pengobatan malaria serebral
1.Pemberian steroid pada malaria serebral, justru memperpanjang lamanya koma dan
menimbulkan banyak efek samping seperti pneumoni dan perdarahan gastro intestinal
2.Heparin, dextran, cyclosporine, epineprine dan hiperimunglobulin tidak terbukti
berpengaruh dengan mortalitas.
3.Anti TNF, pentoxifillin, desferioxamin, prostasiklin, asetilsistein merupakan obat-
obatan yang pernah dicoba untuk malaria serebral
4.Anti-Konvulsan (diazepam 10 mg i.v)1

 Pengobatan Pada Gagal Ginjal Akut


1.Cairan
Bila terjadi oliguri infus N.Salin untuk rehidrasi sesuai perhitungan kebutuhan cairan,
kalau produksi urin < 400 ml/24 jam, diberikan furosemid 40-80mg. bila tak ada
produksi urin (gagal ginjal) maka kebutuhan cairan dihitung dari jumlah urin +500 ml
cairan/24 jam.

20
2.Protein
Kebutuhan protein dibatasi 20gram/hari (bila kreatinin meningkat) dan kebutuhan
kalori diberikan dengan diet karbohidrat 200 gram/hari.

3.Diuretika
Setelah rehidrasi bila tak ada produksi urin, diberikan furosemid 40 mg. setelah 2-3
jam tak ada urin (kurang dari 60cc/jam) diberikan furosemid lagi 80 mg, ditunggu 3-4
jam, dan bila perlu furosemid 100-250 mg dapat diberikan i.v pelan.

4.Dopamin
Bila diuretika gagal memperbaiki fungsi ginjal dan terjadi hipotensi, dopamin dapat
diberikan dengan dosis 2,5-5,0 ugr/kg/menit. Penelitian di Thailand pemberian
dopamin dikombinasikan dengan furosemide mencegah memburuknya fungsi ginjal
dan memperpendek lamanya gagal ginjal akut pada penderita dengan kreatinin
<5mg%. Pada kasus dengan kreatinin >5mg% tidak bermanfaat.

5.Dialis Dini
Bila kreatinin makin meningkat atau gagal dengan pengobatan diuretika dialisis harus
segera dilakukan.Indikasi dialisis secara klinis dijumpai gejala uremia, adanya tanda
overhidrasi, asidosis dan hiperkalemia.

6.Tindakan terhadap hiperkalemi (serum kalium >5,5 meg/L)


Diberikan regular insulin 10 unit i.v/ i.m bersama-sama 50 ml dekstrose 40% dan
monitor gula darah dan serum kalium. Pilihan lain dapat diberikan 10-20 ml kalsium
glukonat 10% i.v pelan-pelan.

7.Hipokalemi
Hipokalemi terjadi 40% dari penderita malaria serebral. Bila kalium 3.0 -3,5 meq/L
diberikan KCL perinfus25 meq, kalium 2.0 - 2,9 meq/L diberikan KCL perinfus 50
meq.

8.Hiponatremi
Hiponatremi dapat menyebabkan penurunan kesadaran. Pada malaria serebral,
hiponatremi terjadi karena kehilangan elektrolit lewat muntah dan diare ataupun
kemungkinan sindroma abnormalitas hormon anti diuretik (SAHAD).

9.Asidosis
Asidosis (pH <7,15 ) merupakan komplikasi akhir dari malaria berat dan sering
bersamaan dengan kegagalan fungsi ginjal. Pengobatannya dengan pemberian
bikarbonat.

21
 Tindakan terhadap malaria biliosa
Penanganan malaria biliosa/malaria dengan ikterik tidak ada yang spesifik, tindakan
yang diberikan adalah sebagai berikut :

1.Pemberian kina dosis awal 20 mg/kg boleh diberikan bila 24 sebelumnya tidak
memakai kina. Bila setelah 48 jam keadaan umum belum membaik, dosis
kininditurunkan setengahnya.
2.Bila ikterik disebabkan karena intravaskuler hemolisis, kina dihentikan dan diganti
klorokuin dengan dosis 5mg/kg BB
3.Bila anoreksi berat berikan 10% glukose Iv, untuk mencegah hipoglikemia
4.Pada hiperbilirubinemia berat sebaiknya dihindarkan suntikan intra muskuler
karena bahaya perdarahan/hematom/DIC
5.Vitamin K dapat diberikan 10mg/hari i/v selama 3 hari untuk memperbaiki faktor
koagulasi.
6.Hati-hati dengan obat yang mengganggu fungsi hati seperti parasetamol, tetrasiklin
7.Pada ikterik berat dapat diberikan colesteramin
Bila pengobatan malaria diberikan dengan adekuat maka penurunan bilirubin akan
terjadi dengan cepat pada hari ke 3 dapat turun lebih dari 50%.

 Hipoglikemia
Periksa kadar gula darah secara cepat pada setiap penderita malaria berat. Bila kadar
gula darah kurang dari 40mg% maka :
1.Beri 50ml dekstrose 40% i.v dianjutkan dengan
2.Glukosa 10% per infus 4-6 jam
3.Monitor gula darah tiap 4-6 jam
4.Bila perlu obat yang menekankan produksi insulin seperti, glukagon atau
somatostatin analog 50 mg subkutan.

 Penanganan blackwater fever


1.Istirahat di tempat tidur, karena hemolisis memudahkan terjadinya kegagalan
jantung.
2.Menghentikan muntah dan sedakan.
3.Transfusi darah bila Hb < 6 gr% atau hitung eritrosit <
2 juta/mm3
4.Kina tidak dianjurkan pada blackwater fever dengan G-6PD defisiensi.
5.Monitor produksi urin, ureum dan kreatinin. Bila ureum lebih besar 200 mg%
dipertimbangkan dialisis.

 Penanganan Malaria Algid


Tujuan dalam penanganan malaria algid/malaria dengan syok yaitu memperbaiki
gangguan hemoragik. Diberikan cairan infuse plasma atau NaCl 0,9% untuk
mengembalikan volume darah (1 L cairan mengandung dektran/plasma diberikan

22
dalam 1 jam). Bila belum ada perbaikan tekanan darah dan denyut jantung, diberikan
lagi 1 L cairan isotonis (NaCl 0,9%). Hipotensi biasanya berespon terhadap cairan.
Bila tidak berhasil dapat dipakai dapat dipakai dopamine dengan dosis 2-4 ampul
dopamine (1 amp = 200 mg) dalam 500 ml dekstrose 5%, dengan tetesan infus mulai
1-2 mcg/kg/menit. Tetsan sampai 5 mcg/kg/menit dopamine menyebabkan
vasodilatasi dan memperbaiki sirulagi ginnjal.

 Penanganan Edema Paru


Edema paru merupakan komplikasi yang fatal, oleh karenanya pada malaria berat
sebaiknya dilakukan penanganan mencegah terjadinya edema paru:
1.Pemberian cairan dibatasi, sebaiknya menggunakan monitoring dengan CVP.
Pemberian cairan melebihi 1500 ml menyebabkan edema paru.
2.Bila anemi (HB<5gr%) transfusi darah diberikan perlahan-lahan
3.Mengurangi beban jantung kanan dengan diuretika.
4.Dapat dicoba pemberian vasodilator (nitro-prussid) atau nitro-gliserin
5.Perbaiki hipoksia dengan memberikan oksigen konsentrasi tinggi.

 Penanganan Anemi
Bila anemi kurang dari 5 g/dl atau hematokrit kurang dari 15 % diberikan
transfuse darah whole blood atau packed cells. Darah segar lebih baik disbanding
darah biasa. Transfuse sebaiknya pelan-pelan, kalu perlu dengan monitoring CVP line
atau dengan memberikan furosemid 20 mg sebelum transfusi.

 Penanganan terhadap infeksi sekunder/sepsis


Infeksi sekunder yang sering terjadi yaitu pneumonia karena aspirasi, sepsis yang
berasal dari infeksi paru, infeksi saluran kencing karena pemasangan kateter.
Antibiotika yang dianjurkan sebelum diperoleh hasil kultur ialah kombinasi ampisilin
dan gentamisin, atau sefalosporin generasi ke III (seftizoksim, seftriakson atau
ceftazidime) atau karbapenem.

2.6 Prognosis
Prognosa penderita malaria berat tergantung pada :1
Kecepatan / ketepatan diagnosis dan pengobatan. Makin cepat dan tepat diagnosis
dan pengobatannya makin baik prognosisnya.
Kegagalan fungsi organ. Semakin sedikit organ vital yang terganggu semakin baik
prognosisnya. Dari penelitian di Minahasa yang melibatkan 111 penderita malaria
berat, bila komplikasi hanya satu organ, mortalitasnya 10,5%, dengan 2 organ terkena
mortalitas 47,6% dan bila 3 organ terkena 88,9%.
Kepadatan Parasit. Semakin padat parasitnya semakin buruk prognosisnya.

23
BAB III
KESIMPULAN

Malaria adalah suatu penyakit yang disebabkan protozoa, genus plasmodium


dan hidup intra sel, yang dapat bersifat akut atau kronik. Transmisi berlangsung di
lebih dari 100 negara dibenua Afrika, Asia Oceania, Amerika latin, Kepulauan
Karibia dan Turki. Kira-kira 1,6 miliard penduduk daerah ini berada selalu dalam
risiko terkena malaria. Tiap tahun ada 100 juta kasus dan meninggal 1 juta di daerah
Sahara Afrika.Sebagian besar yang meninggal adalah bayi dan anak-anak.P. malariae
dan P. falcifarum terbanyak di negara ini.1
Pada tahun 2010 di Indonesia terdapat 65% kabupaten endemis dimana hanya
sekitar 45% penduduk di kabupaten tersebut berisiko tertular malaria. Berdasarkan
hasil survey komunitas selama 2007-2010, prevalensi malaria di Indonesia menurun
dari 1,39% (Riskesdes 2007) menjadi 0,6% (Rikesdes 2010). Sementara itu
berdasarkan laporan yang diterima selama tahun 2000-2009, angka kesakitan malaria
cenderung menurun yaitu sebesar 3,62 per 1.000 penduduk pada tahun 2000 menjadi
1,85 per 1.000 penduduk pada tahun 2009 dan 1,96 tahun 2010. Sementara itu,
tingkat kematian akibat malaria mencapai 1,3 %.2
Malaria Berat biasanya disebabkan oleh Plasmodium Falsiparum, jarang
disebabkan oleh Plasmodium Vivax. Di Indian tahun 2007 ditemukan 3 kasus malaria
berat yang disebabkan oleh Plasmodium Vivax dengan komplikasi kejang dan
keluhan meningoencepalitis difus, setelah 2 hari diterapi dengan Artesunat pasien
sadar dan dipindahkan keruang rawatan biasa dan dari slide darah tepi tidak
ditemukan parasit lagi, kemudian diberikan Primakuin selama 14 hari, setelah 1 bulan
follow up tidak ditemukan gejala sisa neurologi lagi. 4
Patogenesis malaria berat sangat kompleks, melibatkan faktor parasit, faktor
pejamu, dan faktor sosial lingkungan. Ketiga faktor tersebut saling terkait satu sama
lain, dan menentukan manifestasi klinis malaria yang bervariasi mulai dari yang
paling ringan (asimptomatik) hingga yang paling berat yakni malaria dengan
komplikasi gagal organ.6
Pemberian Obat Anti Malaria (OAM) pada malaria berat berbeda dengan
malaria biasa karena pada malaria berat diperlukan daya membunuh parasit secara
cepat dan bertahan cukup lama didarah untuk segera menurunkan derajat
parasitemianya. Oleh karenanya dipilih pemakaian obat per parenteral (intravena, per
infuse/ intra muskuler) yang berefek cepat dan kurang menyebabkan terjadinya
resistensi.1

24
DAFTAR PUSTAKA

1. Zulkarnain. I, et al.Malaria Berat.Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.Jilid I.ed


VI.2014:613-623.
2.Pedoman Penatalaksanaan Kasus Malaria di Indonesia.Peraturan Menteri
Kesehatan Republik Indonesia No 5.2013:5-19.
3. Buku Saku Penatalaksanaan Kasus Malaria.Kementrian Kesehatan RI.2017:3-8.
4.Sarkar S.Bhatacharya P.Cerebral Malaria Caused by Plasmodium Vivax In Adult
Subjects.Indian Journal of Critical Care Medicine.2008;12:204
5. Kochar DK, Saxena V. Plasmodium Vivax Malaria.Emerging Infections Diseases
2005;11:132-134.
6. Natalia. D. Peranan Trombosit dalam Patogenesis Malaria.2014:221-224.

25

Anda mungkin juga menyukai