Anda di halaman 1dari 2

12 alasan mengapa bercinta

sebelum menikah
Apr11

Perhatian! Yang dimaksud dengan “bercinta” di sini bukanlah berhubungan seksual,


melainkan membina hubungan percintaan.

Dalam buku Kebebasan Wanita Jilid 5 (Gema Insani Press, 1999), Abdul Halim Abu
Syuqqah (seorang ulama Ikhwanul Muslimin, sahabat Yusuf Qardhawi) membolehkan dan
bahkan menyarankan bercinta sebelum khitbah (peminangan). Alasannya antara lain:

1. Fenomena hubungan percintaan prakhitbah telah ada pada zaman Nabi Muhammad
saw. (hlm. 72-80)
2. Rasulullah saw. “menampakkan belas kasihnya kepada kedua orang yang sedang
dilanda [saling] cinta”. (hlm. 75)
3. Bila cinta didiamkan (tidak dibina), “maka dikhawatirkan akan terjatuh ke dalam hal-
hal yang terlarang.” (hlm. 73)
4. Rasa rindu dan cinta kepada lawan-jenis nonmuhrim di luar nikah tidak berdosa (tidak
tergolong “zina hati”) dan bukan sesuatu yang kotor. (hlm. 74-77)
5. Cinta kepada lawan-jenis bersifat “manusiawi, yang bersumber dari asal fitrah [suci]
yang diciptakan Allah di dalam jiwa manusia”. (hlm. 75)
6. Cinta yang suci tersebut “mengandung segala makna kasih-sayang, keharmonisan,
penghargaan, dan kerinduan, di samping mengandung persiapan-persiapan untuk
menempuh kehidupan di kala suka dan duka, lapang dan sempit.” (hlm. 75)
7. Cinta yang suci tersebut “tidak mungkin terjadi dengan sempurna antara dua orang
manusia yang berakal sehat, kecuali setelah terjadi perhubungan yang mendalam dan
pengalaman yang panjang, yang memungkinkan kedua belah pihak untuk saling
mengenal dan mengetahui unsur-unsur yang dapat menegakkan cinta ini dan
menumbuhkembangkannya.” (hlm. 75)
8. Kalau tidak melalui “perhubungan yang mendalam dan pengalaman yang panjang”
begitu, maka [taaruf] yang terjadi hanyalah “ketertarikan belaka terhadap unsur-unsur
lahiriah yang tampak memukau.” (hlm. 75)
9. Pertemuan tatap-muka dengan si dia “merupakan langkah awal, yang sesudah itu
dilanjutkan dengan langkah-langkah [PDKT atau pendekatan] berikutnya dan semakin
maju hingga mencapai puncak [di titik nikah] atau kembali lagi [ke persahabatan
biasa]” (hlm. 75-76)
10. Islam tidak mengingkari cinta yang indah, tetapi justru “menghendaki yang seindah-
indahnya”. Islam menghendaki agar cinta itu “dijaga, dirawat, dan dilindungi” dengan
harapan berujung pada titik nikah. (hlm. 76)
11. Islam “tidak datang untuk membelenggu perasaan manusia, melainkan untuk
membersihkannya dan mengarahkannya ke arah kebaikan, agar dengannya seseorang
memperoleh kebahagiaan dan dapat membahagiakan orang sekitarnya, bukan untuk
menyengsarakannya dan menyengsarakan orang sekitarnya.” (hlm. 76)
12. Jalan menuju pernikahan (dari perkenalan hingga akad nikah) yang bisa panjang atau
pun pendek tidaklah berbahaya “jika jalan itu dipenuhi dengan perasaan cinta dan
diselingi dengan perkataan-perkataan manis [mesra] yang makruf, atau ditandai
dengan tanda-tanda yang manis [mesra] dan makruf, seperti mengadakan tukar
pikiran dan bantuan untuk mempersiapkan rumah tangga yang bahagia.” Cinta di
jalan tersebut hendaknya “menjadi perasaan yang hangat, kegembiraan yang
menyenangkan, dan cita-cita yang besar”. (hlm. 77)

Begitulah selusin alasan Abu Syuqqah mengapa sebaiknya kita bercinta sebelum khitbah
(peminangan). Bagaimana dengan Anda? Punya alasan lain? Silakan menambahkan.
About these ads

Anda mungkin juga menyukai