Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH

HADIST DITINJAU DARI SEGI KUANTITAS DAN

KUALITAS PERIWAYATANNYA

Ditujukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Ulumul Hadist


Dosen Pengampu : Muhammad Idris M.Pd

Disusun oleh:

KELOMPOK 11

1. Dhea Atika Suri (1931811047)


2. Rima Nur Muliyani (1931811137)

PROGRAM STUDI PERBANKAN SYARIAH

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SAMARINDA

2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT. Yang telah memberikan
rahmat serta karunia-Nya kepada kami sehingga kami dapat menyelesaikan
makalah ini untuk memenuhi tugas Hadist Ditinjau dari Segi Kualitas dan
Kuantitas Periwayatannya.

Kami sangat menyadari bahwa dalam pembuatan makalah ini masih


banyak kekurangannya, baik dari materi maupun teknik penyajian, mengingat
kurangnya pengetahuan dan pengalaman kami. Oleh karena itu kritik dan saran
sangat di harapkan oleh pembaca. Harapan kami semoga makalah ini bermanfaat
bagi kita semua. Aamiin

Samarinda, 03 November 2019

Penyusun,

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ..............................................................................................i

DAFTAR ISI .............................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ...............................................................................................1


B. Rumusan Masalah ..........................................................................................1
C. Tujuan.............................................................................................................1

BAB II PEMBAHASAN

A. Pembagian Hadist Ditinjau dari Segi Kuantitas .............................................3


B. Pembagian Hadist Ditinjau dari Segi Kualitas ...............................................5

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan.....................................................................................................9
B. Saran ...............................................................................................................9

DAFTAR PUSTAKA ...............................................................................................10

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Seiring perkembangan ilmu pengetahuan banyak bermunculan penelitian
tentang kajian keilmuan Islam, terutama dalam ilmu hadits banyak sekali bahasan
dalam ilmu hadits yang sangat menarik dan sangat penting untuk dibahas dan
dipelajari, terutama masalah ilmu hadits.
Sebagian orang bingung melihat jumlah pembagian hadits yang banyak dan
beragam. Tetapi kemudian kebingungan itu menjadi hilang setelah melihat
pembagian hadits yang ternyata dilihat dari berbagai tinjauan dan berbagai segi
pandangan, bukan hanya segi pandangan saja. Misalnya hadits ditinjau dari segi
kuantitas jumlah perawinya, hadits ditinjau dari segi kualitas sanad dan matan.
Untuk mengungkapkan tinjauan pembagian hadits, maka pada bahasan ini,
kami kelompok ketiga, menyusun makalah ini dengan judul “Hadits Ditinjau dari
Segi Kualitas dan Kuantitas” sebagai upaya ikut serta dalam menyikapi
permasalan yang telah dipaparkan dalam lingkup dunia akademik. Tujuan
akhirnya adalah dapat memberikan manfaat kepada diri sendiri khususnya dan
orang lain pada umumnya.

B. Rumusan Masalah
1. Apa saja pembagian hadits ditinjau dari segi kuantitas
2. Apa saja pembagian hadits ditinjau dari segi kualitas

C. Tujuan Pembahasan
1. Memahami apa saja pembagian hadits ditinjau dari segi kuantitas
2. Memahami Apa saja pembagian hadits ditinjau dari segi kualitas

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pembagian Hadits Ditinjau dari Segi Kuantitas


Para ulama hadits berbeda pendapat tentang pembagian hadits ditinjau dari
aspek kuantitas atau jumlah perawi yang menjadi sumber berita. Diantara mereka
ada yang mengelompokkan menjadi tiga bagian, yakni hadits mutawatir, masyhur,
dan ahad. Ada juga yang menbaginya menjadi dua, yakni hadits mutawatir dan
hadits ahad. Ulama golongan pertama, menjadikan hadits masyhur sebagai berdiri
sendiri, tidak termasuk ke dalam hadits ahad, ini dispnsori oleh sebagian ulama
ushul seperti diantaranya, Abu Bakr Al-Jashshash (305-370 H). Sedangkan ulama
golongan kedua diikuti oleh sebagian besar ulama ushul (ushuliyyun) dan ulama
kalam (mutakallimun). Menurut mereka, hadits masyhur bukan merupakan hadits
ynag berdiri sendiri, akan tetapi hanya merupakan bagian hadits ahad. Mereka
membagi hadits ke dalam dua bagian, yaitu hadits mutawatir dan ahad 1

1. Hadits Mutawatir

A. Pengertian Hadits Mutawatir


Secara etimologi, kata mutawatir berarti : Mutatabi’ (beriringan tanpa jarak).
Dalam terminologi ilmu hadits, ia merupakan haidts yang diriwayatkan oleh orang
banyak, dan berdasarkan logika atau kebiasaan, mustahil mereka akan sepakat
untuk berdusta. Periwayatan seperti itu terus menerus berlangsung, semenjak
thabaqat yang pertama sampai thabaqat yang terakhir.
Dari redaksi lain pengertian mutawatir adalah :

‫ب‬ ُ ‫س ْو ٍس أ َ ْخ َب َر ِب ِه َجمــَا َعةً َبلـَغُ ْوا ِفى اْلكـَثْ َر ِة َم ْبلَغـًا ت ُ ِح ْي ُل اْل َعادَة َ ت ََوا‬
ِ ‫ط ُؤ ُه ْم َعلـَى اْلكـَـ ِذ‬ ُ ْ‫مـَا َكانَ َع ْن َمح‬

“Hadits yang berdasarkan pada panca indra (dilihar atau didengar) yang
diberitakan oleh segolongan orang yang mencapai jumlah banyak yang mustahil
menurut tradisi mereka sepakat berbohong.”2
Ulama mutaqaddimin berbeda pendapat dengan ulama muta’akhirin tentang
syarat-syarat hadits mutawatir. Ulama mutaqaddimin berpendapat bahwa hadits
mutawatir tidak termasuk dalam pembahasan ilmu isnad al-hadits, karena ilmu ini
membicarakan tentang shahih tidaknya suatu khabar, diamalkan atau tidak, adil
atau tidak perawinya. Sementara dalam hadits mutawatir masalah tersebut tidak
dibicarakan. Jika sudah jelas statusnya sebagai hadits mutawatir, maka wajib
diyakini dan diamalkan. 3
1
M. Noor Sulaiman PL, Antologi Ilmu Hadits, Jakarta, Gaung Persda Pres, 2008. hlm. 86.
2
Abdul Majid Khon, Ulumul Hadits, (cetakan ke 4) Jakarta: Amazon, 2010. hlm. 131.
3
M. Noor Sulaiman. Loc.cit., hlm 86.

2
B. Syarat Hadits Mutawatir

1) Hadits Mutawatir harus diriwayatkan oleh sejumlah besar perawi, dan dapat
diyakini bahwa mereka tidak mungkin sepakat untuk berdusta. Ulama berbeda
pendapat tentang jumlah minimal perawi. Al-Qadhi Al-Baqilani menetapkan
bahwa jumlah perawi hadits mutawatir sekurang-kurangnya 5 orang, alasannya
karena jumlah Nabi yang mendapat gelar Ulul Azmi sejumlah 5 orang. Al-
Istikhari menetapkan minimal 10 orang, karena 10 itu merupakan awal bilangan
banyak. Demikian seterusnya sampai ada yang menetapkan jumlah perawi hadits
mutawatir sebanyak 70 orang.
2) Adanya keseimbangan antara perawi pada thabaqat pertama dan thabaqat
berikutnya. Keseimbangan jumlah perawi pada setiap thabaqat merupakan salah
satu persyaratan.
3) Berdasarkan tanggapan pancaindra

C. Macam-macam mutawatir

1) Hadits mutawatir Lafzhi, yaitu hadits yang diriwayatkan dengan lafaz dan
makna yang sama, serta kandungan hokum yang sama, contoh :

ِ َّ‫ي فـَ ْليَتَبَ َّوأْ َم ْقعَدَهُ ِمنَ الن‬


‫ار‬ َ َ ‫سلَّ َم َم ْن َكذ‬
َّ َ‫ب َعل‬ َ ‫علَ ْي ِه َو‬
َ ‫س ْو ُل هللا‬
ُ ‫قـَا َل َر‬

Rasulullah SAW bersabda, “Barang siapa yang ini sengaja berdusta atas namaku,
maka hendaklah dia siap-siap menduduki tempatnya di atas api neraka.
Menurut Al-Bazzar, hadits ini diriwayatkan oleh 40 orang sahabat. Al-
Nawawi menyatakan bahwa hadits ini diriwayatkan oleh 200 orang sahabat.
2) Hadits Mutawatir Ma’nawi, yaitu hadits mutawatir yang berasal dari berbagai
hadits yang diriwayatkan dengan lafaz yang berbeda-beda, tetapi jika
disimpulkan, mempunyai makna yang sama tetapi lafaznya tidak. Contoh hadits
yang meriwayatkan bahwa Nabu Muhammad SAW mengangkat tangannya ketika
berdo’a.

‫قال ابو مسى م رفع رسول هللا صلى عليه وسلم يديه حتى رؤي بياض ابطه فى‬
)‫شئ من دعائه إال فى اإلستسقاء (رواه البخارى ومسلم‬

“Abu Musa Al-Asy’ari berkata bahwa Nabi Muhammad SAW, tidak pernah
mengangkat kedua tangannya dalam berdo’a hingga nampak putih kedua
ketiaknya kecuali saat melakukan do’a dalam sholat istisqo’ (HR. Bukhori dan
Muslim)”

3
3) Hadits Mutawatir ‘Amali, yakni amalan agama (ibadah) yang dikerjakan oleh
Nabi Muhammad SAW, kemudian diikuti oleh para sahabat, kemudian diikuti lagi
oleh Tabi’in, dan seterusnya, diikuti oleh generasi sampai sekarang. Contoh,
hadits-hadits nabi tentang shalat dan jumlah rakaatnya, shalat id, shalat jenazah
dan sebagainya. Segala amal ibadah yang sudah menjadi ijma’ di kalangan ulama
dikategorikan sebagai hadits mutawatir ‘amali.

2. Hadits Ahad
Kata ahad merupakan bentuk plural dari kata wahid. Kata wahid berarti
“satu” jadi, kara ahad berarti satuan, yakni angka bilangan dari satu sampai
sembilan. Menurut istilah hadits ahad berarti hadits yagn diriwayatkan oleh orang
perorangan, atau dua orang atau lebih akan tetapi belum cukup syarat untuk
dimasukkan kedalam kategori hadits mutawatir. Artinya, hadits ahad adalah hadits
yang jumlah perawinya tidak sampai pada tingkatan mutawatir.4

Ulama ahli hadits membagi hadits ahad menjadi dua, yaitu masyhur dan
ghairu masyhur. Hadits ghairu masyhur terbagi menjadi dua, yaitu aziz dan ghairu
aziz:

a. Hadits Masyhur
Menurut bahasa, masyhur berarti “sesuatu yang sudah tersebar dan
popular”. Sedangkan menurut istilah ada beberapa definisi, antara lain :

َّ ‫عدَدٌ ال َي ْبلُ ُغ َحدَّ ت ََـواتِر َب ْعدَ ال‬


‫ص َحا َب ِه َو ِم ْن َب ْع ِد ِه ْم‬ َ ‫ص َحا َب ِه‬
َّ ‫ار َواهُ ِمنَ ال‬
َ َ ‫مـ‬

“Hadits yang diriwayatkan dari sahabat tetapi bilangannya tidak sampai pada
tingkatan mutawatir, kemudian baru mutawatir setelah sahabat dan orang yang
setelah mereka.”
Hadits masyhur ada yang berstatus shahih, hasan dan dhaif. Hadits masyhur
yang berstatus shahih adalah yang memenuhi syarat-syarat hadits shahih baik
sanad maupun matannya. Seperti hadits ibnu Umar.

‫اِذَا َجا َء ُك ُم اْل ُج ْم َعهُ فَ ْل َي ْغ ِس ْل‬

“Barang siapa yang hendak pergi melaksanakan shalat jumat hendaklah ia mandi.”
Sedangkan hadits masyhur yang berstatus hasan adalah hadits yang
memenuhi ketentuan-ketentuan hadits hasan, baik mengenai sanad maupun
matannya. Seperti hadits Nabi yang berbunyi:

4
Ibid. Hlm. 90

4
َ ‫ض َر َر َوالَ ضـــِ َر‬
‫ار‬ َ َ‫ال‬

“tidak memberikan bahaya atau membalas dengan bahaya yang setimpal.”


Adapun hadits masyhur yang dhaif adalah hadits yang tidak memenuhi
syarat-syarat hadits shahih dan hasan, baik pada sanad maupun pada matannya,
seperti hadits :

َ ‫طلَبُ اْل ِع ْل ِم فَ ِر ْي‬


‫ضــهٌ عــَـلَي ُك ِل ُم ْس ِل ٍم َو ُم ْس ِل َمــــ ٍه‬ َ

“menuntut ilmu wajib bagi setiap muslim laki-laki dan perempuan.”


b. Hadits Ghairu Masyhur
Ulama ahli hadits membagi hadits ghairu masyhur menjadi dua yaitu, Aziz
dan Gharib. Aziz menurut bahasa berasal dari kata azza-yaizu, artinya “sedikit
atau jarang”. Menurut istilah hadits Aziz adalah hadits yang perawinya tidak
kurang dari dua orang dalam semua tingkatan sanad.”
Menurut Al-Thahhan menjelaskan bahwa sekalipun dalam sebagian
Thabaqat terdapat perawinya tiga orang atau lebih, tidak ada masalah, asal dari
sekian thabaqat terdapat satu thabaqat yang jumlah perawinya hanya dua orang.
Oleh karena itu, ada ulama yang mengatakan bahwa hadits ‘azaz adalah hadits
yang diriwayatkan oleh dua atau tiga orang perawi.”
Dari pengertian diatas dapat dikatakan bahwa suatu hadits dapat dikatakan
hadits Aziz bukan hanya yang diriwayatkan dua orang pada setiap tingkatnya,
tetapi selagi ada tingkatan yang diriwayatkan oleh dua rawi, contoh hadits ‘aziz :

َ‫ـاس أ َ ْج َم ِعيْن‬
ِ َّ ‫الَ يُؤْ ِمنُ أ َ َحد ُ ُك ْم َحتَّي أ َ ُك ْونَ أ َ َحبَّ إِلَ ْي ِه ِم ْن َوا ِلـ ِد ِه َو َولــ ِ ِد ِه َوالنـ‬

“tidak beriman seorang di antara kamu, sehingga aku lebih dicintainya dari pada
dirinya, orang tuanya, anaknya, dan semua manusia,” (H.R. Bukhari dan
Muslim).

B.Pembagian Hadits Ditinjau dari Segi Kualitas.


Para ulama ahli hadits membagi hadits dilihat dari segi kualitasnya, menjadi
tiga bagian, yaitu hadits shahih, hadits hasan, dan hadits dhaif.
1. Hadits Shahih
Menurut bahasa berarti “sah, benar, sempurna, tiada celanya”. Secara istilah,
beberapa ahli memberikan defenisi antara lain sebagai berikut :
 Menurut Ibn Al-Shalah, Hadits shahih adalah “hadits yang sanadnya bersambung
(muttasil) melalui periwayatan orang yang adil dan dhabith dari orang yang adil
dan dhabith, sampai akhir sanad tidak ada kejanggalan dan tidak ber’illat”.

5
 Menurut Imam Al-Nawawi, hadits shahih adalah “hadits yang bersambung
sanadnya, diriwayatkan oleh perawi yang adil lagi dhabith, tidak syaz, dan tidak
ber’illat.”
Dari defenisi diatas dapat dipahami bahwa syarat-syarat hadits shahih adalah :
1) sanadnya bersambung,
2) perawinya bersifat adil,
3) perawinya bersifat dhabith,
4) matannya tidak syaz,
5) matannya tidak mengandung ‘illat.

2. Hadits Hasan
 Pengertian
Dari segi bahasa hasan dari kata al-husnu (‫ ) الحسن‬bermakna al-jamal
(‫ )الجمال‬yang berarti “keindahan”. Menurut istilah para ulama memberikan defenisi
hadits hasan secara beragam. Namun, yang lebih kuat sebagaimana yang
dikemukan oleh Ibnu hajar Al-Asqolani dalam An-Nukbah, yaitu :

َّ ‫ فَا ِء ْن خ‬.‫ص ِحيْحِ ِلذَاتِ ِه‬


‫َف‬ ٍ ‫سنَ ِد َغ ْي ُر ُمعَلَّ ٍل َوالَ ش‬
َّ ‫َاذ ُه َو ال‬ َّ ‫ص ُل ال‬ َّ ‫َو َخبَ ُر اْآل َحادَ ِبنَ ْق ِل َعدْ ِل ت َا ُّم ال‬
ِ َّ ‫ضب ِْط ُمت‬
‫ط فَ ْل ُح ْسنُ ِلذَاتِ ِه‬
ُ ‫ض ْب‬
َ ‫ال‬

“khabar ahad yang diriwayatkan oleh orang yang adil, sempurna kedhabitannya,
bersambung sanadnya, tidak ber’illat, dan tidak ada syaz dinamakan shahih
lidztih. Jika kurang sedikit kedhabitannya disebut hasan Lidztih.”
Dengan kata lain hadits hasan adalah :

‫شذ ُ ْو ِذ َواْل ِعلَّ ِه‬ ُ ‫ض ْب‬


ُّ ‫طهُ َو َخلَّ ِمنَ ال‬ َ ‫سنَدُهُ ِب َن ْق ِل اْلعَدْ ِل الذِي قَ َّل‬ َ َّ ‫ه َُو َما ات‬
َ ‫ص َل‬

“Hadits hasana adalah hadits yang bersambung sanadnya, diriwayatkan oleh


orang adil, kurang sedikit kedhabitannya, tidak ada keganjilan (syaz) dan tidak
‘illat.”
Ciri-ciri hadits hasan hampir sama dengan hadits shahih. Perbedaannya
hanya terletak pada sisi kedhabitannya. Hadits shahih ke dhabitannya seluruh
perawinya harus zamm (sempurna), sedangkan dalam hadits hasan, kurang sedikit
kedhabitannya jika disbanding dengan hadits shahih5.
 Contoh hadits Hasan
Hadits yang diriwayatkan oleh At-Tirmidzi, Ibnu Majah, dan Ibnu Hibban
dari Al-Hasan bin Urfah Al-Maharibi dari Muhammad bin Amr dari Abu salamah
dari Abi Hurairah, bahwa Nabi SAW bersabda :

5
Loc.cit. Abdul Majid Khon, hlm. 159.

6
َ‫س ْب ِعيْنَ َوأَقَلُّ ُه ْم َم ْن يَ ُج ْو ُز ذَالِك‬ ُ ‫أ َ ْع َم‬
َ ‫ار ا ُ َّمتِي َما بَيْنَ السِتِيْنَ ا‬
َّ ‫ِلي ال‬

“Usia umatku antara 60 sampai 70 tahun dan sedikit sekali yang melebihi
demikian itu.
3. Hadits Dha’if
a. Pengertian
Hadits Dhaif bagian dari hadits mardud. Dari segi bahasa dhaif (‫)الضعيف‬
berarti lemah lawan dari Al-Qawi (‫ )القوي‬yang berarti kuat. Kelemahan hadits dhaif
ini karena sanad dan matannya tidak memenuhi criteria hadits kuat yang diterima
sebagian hujjah. Dalam istilah hadits dhaif adalah :

‫ش ُر ْو ِط ِه‬ َ ‫صفَهُ ْال َح‬


ُ ‫س ِن بِفَ ْق ِد ش َْرطٍ ِم ْن‬ ِ ‫ه َُو َما لَ ْم يَجْ َم ْع‬

“Adalah hadits yang tidak menghimpun sifat hadits hasan sebab satu dari
beberapa syarat yang tidak terpenuhi.”

Jika hadits dhaif adalah hadits yang tidak memenuhi sebagain atau semua
persyaratan hadits hasan dan shahih, misalnya sanadnya tidak bersambung
(muttasshil), Para perawinya tidak adil dan tidak dhabith, terjadi keganjilan baik
dalam sanad aau matan (syadz) dan terjadinya cacat yang tersembunyi (‘Illat)
pada sanad atau matan.
b. Contoh hadits dhaif
hadits yang diriwayatkan oleh At-Tarmidzi melalui jalan hakim Al-Atsram
dari Abu Tamimah Al-Hujaimi dari Abu Hurairah dari Nabi SAW bersabda :

‫ضا أ َ ِوا ْم َرأ َ ٍه ِم ْن دُب ُِر أ َ ْو كَا ِهنَا فَقَدْ َكفَ َر ِب َما ا ُ ْن ِز َل َعلَي ُم َح َّم ٍد‬
َ ِ‫َو َم ْن أَت َي َحائ‬

“barang siapa yang mendatang seorang wanita menstruasi (haid) atau pada dari
jalan belakang (dubur) atau pada seorang dukun, maka dia telah mengingkari
apa yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW.”
Dalam sanad hadits diatas terdapat seorang dhaif yaitu Hakim Al-Atsram
yang dinilai dhaif oleh para ulama. Al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Thariq At- Tahzib
memberikan komentar :
‫ فِ ْي ِه لَيِ ٌن‬padanya lemah.

c. Hukum periwayatan hadits dhaif


Hadits dhaif tidak identik dengan hadits mawdhu’ (hadits palsu). Diantara
hadits dhaif terdapat kecacatan para perawinya yang tidak terlalu parah, seperti
daya hapalan yang kurang kuat tetapi adil dan jujur. Sedangkan hadits mawdhu’
perawinya pendusta. Maka para ulama memperbolehkan meriwayatkan hadits
dhaif sekalipun tanpa menjelaskan kedhaifannya dengan dua syarat, yaitu :

7
1) Tidak berkaitan dengan akidah seperti sifat-sifat Allah
2) Tidak menjelaskan hokum syara’ yang berkaitan dengan halal dan haram, tetapi,
berkaitan dengan masalah maui’zhah, targhib wa tarhib (hadits-hadits tentang
ancaman dan janji), kisah-kisah, dan lain-lain.

Dalam meriwayatkan hadit dhaif, jika tanpa isnad atau sanad sebaiknya
tidak menggunakan bentuk kata aktif (mabni ma’lum) yang meyakinkan (jazam)
kebenarannya dari Rasulullah, tetapi cukup menggunakan bentuk pasif (mabni
majhul) yang meragukan (tamridh) misalnya :
َ ‫ ُر ِو‬diriwayatkan, ‫ نُ ِق َل‬dipindahkan, ‫ي‬
‫ي‬ َ ‫ي ُْر ِو‬ ‫ فِي ِْما‬pada sesuatu yang
6
diriwayatkan. Periwayatan dhaif dilakukan karena berhati-hati (ikhtiyath).

6
Ibid. hlm. 164

8
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Pembagian hadits bila ditinjau dari kuantitas perawinya dapat dibagi
menjadi dua, yaitu hadits mutawatir dan hadits ahad.
Untuk hadits mutawatir juga dibagi lagi menjadi 3 bagian yaitu :
mutawatir lahzhi, ma’nawi dan mutawatir ‘amali.
Sedangkan hadits ahad dibagi menjadi dua macam, yaitu masyhur dan
ghairu masyhur, sedangkan ghairu masyhur dibagi lagi menjadi dua bagian yaitu,
aziz dan ghairu aziz.
Sedangkan hadits bila ditinjau dari segi kualitas hadits dapat dibagi
menjadi tiga macam yaitu hadits shahih, hasan dan dha’if.

B. Saran
Dalam penyusunan makalah ini maupun dalam penyajiaanya kami selaku manusia
biasa menyadari adanya beberapa kesalahan oleh karena itu kami mengharapkan
kritk maupun saran bagi kami yang brsifat membantu agar kami tidak melakaukan
kesalahan yang sama dalam penyusunan makalah yang akan datang .

9
DAFTAR PUSTAKA

Moh. Noor Sulaiman PL, Antologi Ilmu Hadits, Jakarta : Guang Persada Press, 2008
Abdul Majid Khon, Ulumul Hadits, Jakarta: Amzah (cetakan keempat), 2010.

10

Anda mungkin juga menyukai