Makalah Hukum Acara Pidana
Makalah Hukum Acara Pidana
Buku yang berjudul, “Hukum Acara Pidana; Normatif, Teoritis, Praktik dan
Permasalahannya” ini berusaha memberikan deskripsi, analisis dan menguraikan permasalahan
serta pemecahannya dikaji dari persepktif normative dan teoretis di satu sisi dengan dimensi
praktik peradilan dari dimensi yang lain sehingga diharapkan relatif dapat dijadikan sebagai
bahan kajian baik bagi masyarakat, mahasiswa, teoretis, dan praktisi hukum. Pada hakikatnya,
Hukum Acara Pidana mempunyai dimensi penting untuk menegakkan dan mempertahankan
Hukum Pidana Materiel, tetapi ternyata kebanyakkan penulisan buku yang telah ada hanya
mengabaikan materi tentang Hukum Acara Pidana yang bersifat teoretis sehingga
menimbulkan “jurang” pemisah dengan kenyataan yang terjadi dalam praktik. Oleh karena itu,
buku ini berusaha untuk menyajikan dimensi normatif dan teoretis di satu pihak lain, sehingga
diharapkan menajadi relatif lengkap serta adanya keseimbangan antara “das seiun” dan “das
sollen” .
Kami menyadari sepenuhnya bahwasanya buku ini masih jauh dari sempurna, baik
teknis penulisan maupun materi yang dikaji. Untuk kekurangan tersebut; dengan kerendahan
hati mohon saran dan kritik para pembaca demi kesempurnaannya karena seluas-luasnya
pikiran manusia pasti lebih luas lautan ilmu pengetahuan.
Akhirnya, kepada semua pihak dan terutama kepada Prof. Dr. Eddy Damian, S.H.;
pimpinan Penerbit P.T. ALUMNI yang bersedia menerima dan menerbitkan naskah ini dalam
sebuah buku tak lupa penulis mengucapkan terima kasih.
Penulis,
Dikaji dari perspektif teoritik dan praktik sistem peradilan pidana Indonesia, Hukum
Acara Pidana (Hukum Pidana Formal) yang lazim disebut dengan terminologi bahasa Belanda
“Formeel Strafrecht” atau “Strafprocesrecht” sangat penting. Eksistensinya guna menjamin,
menegakkan dan mempertahankan Hukum Pidana Materil. Pada hakikatnya, secara teoritik
dalam kepustakaan baik dalam ruang lingkup sistem Anglo-saxon maupun Eropa Continental
Terminologi Peradilan Pidana sebagai sebuah sistem relatif masih diperdebatkan. Terlepas dari
aspek tersebut diatas, pada asasnya sistem peradilan pidana di Indonesia khususnya pada
kepolisian, kejaksaan dan pengadilan negeri mengacu kepada kitab undang-undang hukum
acara pidana (KUHAP), yaitu Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 (LNRI 1981-76 : TLNRI
3209) yang disahkan dan di undangkan pada tanggal 31 Desember 1981.
Ketentuan ini merupakan anasir umum yang telah dianut sejak lama dalam
pandangan para doktrina hukum dan hukum acara pidana. Kebenaran material ini
haruslah terdapat mulai dari tingkat penyidikan dan penyelidikan yang dilakukan
pejabat polisi Negara Republik Indonesia dan pejabat pegawai negeri sipil tertentu
yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang (Bab IV bagian ke-1 Penyelidik
dan Penyidik Pasal 4 s/d Pasal 12 jo Bab XIV bagian ke-1 Pasal 102 s/d Pasal 105
jo Bab XIV bagian ke-2 Pasal 106 s/d Pasal 136 KUHAP).
Terhadap hal ini, dapat dibedakan apabila putusan belum ”inkracht van
gewijsde” dapat dimungkinkan oleh terdakwa atau penasihat hukumnya serta jaksa/
penuntun umum melakukan banding, kemudian kasasi dan peninjauan kembali
mahkamah agung RI (bab XVIII pasal 233 sampai dengan pasal 269 KUHAP) serta
apabila putusan telah” inkracht van gewijsde” dan terpidana tidak melakukan upaya
grasi kepada presiden selaku kepala negara, putusan dapat dilaksanakan oleh jaksa
dan lembaga pemasyarakatan dengan pengawasan dan pengamatan oleh ketua
pengadilan negeri (bab XIX pasal 270 sampai dengan pasal 283) sedangkan jika
terpidana masih melakukan upaya grasi, putusan tersebut ditunda terlebih dahulu
pelaksanaannya menunggu upaya grasi tersebut turun.
Pada hakikatnya, tujuan dan fungsi hukum acara pidana erat korelasi antara 1
dengan yang lain. Aspek “tujuan “ mempunyai dimensi terhadap apa yang hendak
dituju sehingga merupakan titik akhir dari hukum acara pidana sedangkan aspek
“fungsi” tendens kepada tugas pokok yang diemban dari apa yang menjadi tujuan dan
fungsi hukum acara pidana. Tegasnya, antara tujuan dan fungsi hukum acara pidana
tidak dapat dipisahkan nuansanya antara satu dengan yang lainnya.
Berdasarkan pandangan doktrina hukum pidana, fungsi hukum acara pidana adalah:
1. Mencari dan menemukan kebenaran
2. Pemberian keputusan oleh hakim
3. Pelaksanaan keputusan
Hakikat asas ini cukup fundamental sifatnya dalam hukum acara pidana.
Ketentuan asas “praduga tidak bersalah” eksistensi tampak pada pasal 8 UU No 4
Tahun 2004 dan penjelasan umum angka 3 huruf c KUHAP yang menentukan
bahwa :
Pada dasarnya, asas ini terdapat dalam pasal 4 ayat 2 UU No 4 tahun 2004 dan
penjelasan umum angka 3 huruf e KUHAP. Terhadap penerapan asas ini dalam
praktik peradilan dapatlah diberikan nuansa bahwa peradilan cepat dan sederhana
tampak dengan adanya pembatasan waktu penanganan perkara baik perdata
maupun pidana pada tingkat yudex facti (pengadilan negeri dan pengadilan tinggi)
masing-masing selama 6 bulan dan bila dalam waktu 6 bulan belum selesai
diputus,ketua pengadilan negeri/ketua pengadilan tinggi harus melaporkan hal
tersebut beserta alasan-alasannya kepada ketua pengadilan tinggi atau ketua
Mahkamah Agung RI (surat edaran mahkamah agung RI No 6 Tahun 1992 tanggal
21 Oktober 1992). Sedangkan terhadap peradilan dengan biaya ringan,khususnya
dalam perkara pidana beroientasi kepada pembebanan biaya perkara bagi terdakwa
yang dijatuhkan pidana (Pasal 197 ayat 1 huruf I jo Pasal 222 ayat 1 KUHAP) yang
berdasarkan surat ketua MA RI kepada ketua pengadilan tinggi seluruh indonesia
No.KMA/155/X/1981 tanggal 19 Oktober 1981 jo surat edaran MA RI No.: SE-
MA/17 Tahun 1983 8 Desember 1983 dan angka 27 lampiran keputusan menteri
kehakiman RI No: M.14-PW.07.03 Tahun 1983 tanggal 10 Desember 1983 tentang
Tambahan Pedoman Pelaksanaan KUHAP ditentukan pedoman biaya perkara
minimal Rp.500,00 dan Maksimal Rp.10.000,00 dengan penjelasan bahwa
maksimal Rp.10.000,00 itu adalah 7.500,00 bagi pengadilan tingkat pertama dan
Rp 2.500,00 bagi pengadilan tingkat banding.
c. Asas Hak Ingkar
Pada asasnya “hak ingkar” diatur dalam pasal 29 UU No. 4 Tahun 2004 dan
Pasal 157 KUHAP. Menurut ketentuan pasal 29 UU No. 4 tahun 2004, “hak
ingkar” adalah hak seorang yang diadili untuk mengajukan keberatan yang di sertai
dengan alasan terhadap seorang hakim yang mengadili perkaranya. Dari aspek
teoretik dan praktik, secara lebih luas “hak ingkar” ini dapat diliat dari dua optik
pandangan yaitu :
Pada dasarnya, keterbukaan dari suatu proses peradilan (openbaarheid van het
proces) diperlukan guna menjamin objektivitas pemeriksaan. Hal ini secara
eksplisit tercermin dari ketentuan pasal 19 ayat (1) UU No. 4 tahun 2004, penjelasan
umum angka 3 huruf i dan di uraikan Pasal 153 ayat (3) KUHAP yang menetukan
bahwa :
Hal ini menyebabkan putusan batal demi hukum (Pasal 153 ayat 4
KUHAP,pasal 19 ayat 2 UU No.4/2004) karena terhadap semua perkara pidana,
putusan hanya sah dan hanya mempunyai kekuatan hukum apabila diucapkan dalam
sidang terbuka untuk umum (Pasal 20 UU No.4 Tahun 2004 Pasal 195 KUHAP).
Asas ini termasuk pada ketentuan pasal 154, 176 ayat 2, Pasal 196 ayat 1
KUHAP, pasal 18 ayat 1 UU 4/2004 khususnya terhadap perkara-perkara yang
diajukan secara biasa, dan singkat. Dengan asas kehadiran terdakwa ini,
pemeriksaan pengadilan secara in absentia sebagaimana dikenal dalam Tindak
Pidana Khusus (Ius Singulare, Ius Speciale atau Bijzonder Strafrecht) pada Tindak
Pidana Korupsi (UU 20/2001), Tindak Pidana Ekonomi (UU No.7/drt/1995),
Tindak Pidana Terorisme (UU 15/2003), Tindak Pidana Pencucian Uang (UU
15/2002 yo 25/2003) dalam konteks ini tidak diperkenankan terkecuali dalam acara
cepat khususnya acara pemeriksaan perkara pelanggaran lalu lintas jalan (Bagian
Keenam paragraf 2 Pasal 214 KUHAP). Akan tetapi, asas ketidakhadiran terdakwa
ini kenyataannya “diperlemah” dalam UU 4/2004 tentang Kekuasaan Kehakiman
yang menurut Pasal 18 ayat (2) UU 4/2004 dikatakan bahwa :
Asas ini merupakan salah satu manifestasi dari Negara Hukum (Rechtstaat)
sehingga harus ada perlakuan yang sama bagi setiap orang di depan hukum
(gelijkheid van ieder voor de wet). Dengan demikian, elemen yang melekat
mengandung makna perlindungan yang sama di depan hukum (equal protection on
the law) dan mendapatkan keadilan yang sama di depan hukum (equal justice under
the law). Tegasnya, Hukum Acara Pidana tidak mengenal adanya peraturan yang
memberi perlakuan khusus kepada terdakwa (forum prevelegiatium) sehingga
“Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan orang”
sebagaimana ditentukan Pasal 5 ayat 1 UU No.4 Tahun 2004 dan penjelasan umum
angka 3 huruf a KUHAP. Oleh karena itu, untuk menjamin eksistensi peradilan
mengadili dengan tidak membeda-bedakan orang berarti undang-undang menjamin
kepada badan peradilan agar segala campur tangan dalam urusan peradilan oleh
pihak lain diluar kekuasaan kehakiman dilarang, kecuali dalam hal sebagaimana
disebut dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
beserta perubahannya dan apabila setiap orang dengan sengaja melanggarnya
dipidana (Pasal 4 ayat (3), (4) Undang-Undang No.4 Tahun 2004).
Sedangkan asas bantuan hukum dalam Bab VII Pasal 37 UU 4/2004 dirumuskan
dengan redaksional :
Kemudian, lebih lanjut lagi asas bantuan hukum ini dapat dilihat pada KUHAP
khususnya Pasal 56, 69 sampai dengan 74 KUHAP, pada Pasal 37 sampai 40 UU
4/2004 dan imperatif sifatnya sebagaimana digariskan oleh Mahkamah Agung RI
serta beberapa Yurisprudensi Mahkamah Agung RI seperti, misalnya Putusan
Mahkamah Agung RI No. 510 K/Pid/1988 tanggal 28 April 1988 dan Putusan
Mahkamah Agung RI Nomor 1565 K/Pid/1991 tanggal 16 September 1993.
Secara limitatif asas ini diatur dalam Pasal 9 Undang-Undang No.4 Tahun 2004,
Pasal 95, 96, dan 97 KUHAP. Apabila dijabarkan, dapatlah disebutkan bahwa kalua
seseorang ditangkap, ditahan dan dituntut atau diadili tanpa alasan berdasarkan
undang-undang atau karena kekeliruan baik mengenai orangnya atau penerapan
hukum, wajib memperoleh rehabilitasi apabila pengadilan memutus bebas
(vrijspraak) atau lepas dari segala tuntutan hukum (onslag van alle
rechtsvervolging) sebagaimana dimaksud Pasal 97 ayat (1) KUHAP yang berbunyi:
(Pasal 97 ayat (1) KUHAP, Pasal 14 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 27
Tahun 1983, pendapat doktrina dan yurisprudensi Mahkamah Agung RI dan
dicantumkan sekaligus dalam ammar putusan pengadilan (Pasal 97 ayat (2) KUHAP).
Pada KUHAP secara limitatif batas waktu penahanan dalam setiap tingkat
pemeriksaan telah dibatasi jangka waktunya. Dengan demikian, asas kepastian
jangka waktu penahanan ini secara limitative seorang terdakwa selama proses
persidangan dari tingkat penyidik sampai Mahkamah Agung RI hanya dapat ditahan
paling lama 400 (empat ratus) hari dengan perincian 200 (dua ratus) hari dari tingkat
penyidik sampai Peradilan Negeri dan 200 (dua ratus) hari untuk tingkat banding
dan kasasi. Apabila asas ini pada setiap tingkat pemeriksaan dilanggar, akan
berakibat terdakwa harus “dilepaskan demi hukum”.
Menurut kajian dari aspek teoritik dan praktik peranan ilmu-ilmu pembantu Hukum
Acara Pidana penting eksistensinya. Terhadap kompleksitas tindak pidana tersebut,
dapat disebutkan secara makro bahwasannya guna menegakkan kebenaran materiel,
penegak hukum (Polisi, Jaksa, Hakim, Penasihat Hukum,/Advokat) tidaklah cukup
hanya bersandarkan kepada penguasaan hukum pidana dan hukum acara pidana saja,
tetapi dalam konteks ini diperlukan adanya pemahaman dan penguasaan terhadap ilmu-
ilmu pembantu hukum acara pidana, antara lain:
a) Kriminologi
d) Kriminalistik
Tiap daerah mempunyai ordonansi tersendiri untuk mengatur hukum acara pidana
dan hukum acara perdata, seperti :
A. Tersangka / Terdakwa
Pada hakikatnya, istilah “tersangka dan “terdakwa” merupakan terminologi dari Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) sebagaimana diintrodusir UU Nomor 8
Tahun 1981. Perbedaan istilah ”tersangka” dan “terdakwa” ini dalam terminologi
KUHAP secara definitive dapat ditemukan pada ketentuan Bab I tentang Ketentuan Umum
Pasal 1 angka 14 dan 15 KUHAP yang menentukan, bahwa:
“Terdakwa adalah seorang tersangka yang dituntut, diperiksa dan diadili di siding
pengadilan.” (Pasal 1 angka 15 KUHAP).
Pada asasnya, melalui visi KUHAP dibedakan secara limitative antara istilah
“Penyidik” atau “Opsporing/Interrogation” dan “Penyelidik”. Dengan tegas Bab I tentang
Ketentuan Umum Pasal 1 angka 1 jo Pasal 6 ayat (1) KUHAP Bab 1 Pasal 1 angka 10 dan
11 UU Nomor 2 Taahun 2002 disebutkan bahwa “Penyidik” adalah pejabat polisi Negara
Republik Indonesia atau Pegawai Negeri Sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh
undang-undang untuk melakukan penyidikan. Konkretnya, dapat dikatakan dengan tegas
bahwasanya fungsi dan ruang lingkup “penyidik” adalah untuk melakukan “penyidikan”.
Jaksa adalah pejabat yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk
bertindak sebagai penuntut umum serta melaksanakan putusan pengadilan
yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
Penuntut Umum adalah jaksa yang diberi wewenang oleh undang-undang
ini untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim.
Pada hakikatnya, tugas dan wewenang jaksa dalam proses pidana dapat meliputi
hal-hal sebagai berikut:
Secara global dan representative bahwasanya tentang syarat formal dan material
dalam melakukan penuntutan berkorelatif dengan kelengkapan berkas perkara hasil
penyidikan yang dilakukan oleh penyidik. Berdasarkan Surat Edaran Jaksa Agung
Muda Tindak Pidana Umum Nomor: B 401/E/9/93 tanggal 8 September 1993,
penelitian berkas perkara tahap pertama difokuskan kepada:
D. Penasihat Hukum/Advokat
Adapun hak-hak tersebut yang bersifat fundamental dapatlah disebut antara lain berupa:
E. Hakim (Majelis/Tunggal)
Sebagai salah satu pilar untuk menegakkan hukum dan keadilan, hakim mempunyai
peranan menentukan sehingga kedudukannya dijamin undang-undang. Untuk para hakim
dalam penanganan perkara hendaknya dapat bertindak aktif, dan bijaksana, ketangguhan
mentalitas, menjunjung tinggi nilai keadilan dan kebenaran materiel, bersifat aktif dan
dinamis, berlandaskan kepada perangkat hukum positif, melakukan penalaran logis sesuai
dan selaras dengan teori dan praktik.
Purwanto S. Gandasubrata mengemukakan kerangka landasan berpikir/dimana pada
hakikatnya hakim, hendaknya:
Harus
Sarjana Sujana-susila
Polarasi pemikiran para hakim sebagai pemegang kebijakan aplikatif haruslah melalui anasir
sebagai berikut: