Anda di halaman 1dari 35

KELOMPOK 2 (DUA) :

Mudahakhir Ramadhan - 31617022


Sultan Habbieb - 31617021
Ratih Latifa – 31617008
Yolan Dita – 31617007
HUKUM ACARA PIDANA
Normatif, Teoretis, Praktik dan
Permasalahannya

LILIK MULYADI, S.H.,MH

Penerbit P.T. ALUMNI Bandung - 2012


KATA PENGANTAR EDISI PERTAMA
CETAKAN KESATU

Buku yang berjudul, “Hukum Acara Pidana; Normatif, Teoritis, Praktik dan
Permasalahannya” ini berusaha memberikan deskripsi, analisis dan menguraikan permasalahan
serta pemecahannya dikaji dari persepktif normative dan teoretis di satu sisi dengan dimensi
praktik peradilan dari dimensi yang lain sehingga diharapkan relatif dapat dijadikan sebagai
bahan kajian baik bagi masyarakat, mahasiswa, teoretis, dan praktisi hukum. Pada hakikatnya,
Hukum Acara Pidana mempunyai dimensi penting untuk menegakkan dan mempertahankan
Hukum Pidana Materiel, tetapi ternyata kebanyakkan penulisan buku yang telah ada hanya
mengabaikan materi tentang Hukum Acara Pidana yang bersifat teoretis sehingga
menimbulkan “jurang” pemisah dengan kenyataan yang terjadi dalam praktik. Oleh karena itu,
buku ini berusaha untuk menyajikan dimensi normatif dan teoretis di satu pihak lain, sehingga
diharapkan menajadi relatif lengkap serta adanya keseimbangan antara “das seiun” dan “das
sollen” .

Kami menyadari sepenuhnya bahwasanya buku ini masih jauh dari sempurna, baik
teknis penulisan maupun materi yang dikaji. Untuk kekurangan tersebut; dengan kerendahan
hati mohon saran dan kritik para pembaca demi kesempurnaannya karena seluas-luasnya
pikiran manusia pasti lebih luas lautan ilmu pengetahuan.

Akhirnya, kepada semua pihak dan terutama kepada Prof. Dr. Eddy Damian, S.H.;
pimpinan Penerbit P.T. ALUMNI yang bersedia menerima dan menerbitkan naskah ini dalam
sebuah buku tak lupa penulis mengucapkan terima kasih.

Jakarta, 9 Juni 2006

Penulis,

Lilik Mulyadi, S.H,. M.H.


BAB I
PENDAHULUAN

A. Perihal Dimensi Hukum Acara Pidana Indonesia


1. Pengertian Hukum Acara Pidana

Dikaji dari perspektif teoritik dan praktik sistem peradilan pidana Indonesia, Hukum
Acara Pidana (Hukum Pidana Formal) yang lazim disebut dengan terminologi bahasa Belanda
“Formeel Strafrecht” atau “Strafprocesrecht” sangat penting. Eksistensinya guna menjamin,
menegakkan dan mempertahankan Hukum Pidana Materil. Pada hakikatnya, secara teoritik
dalam kepustakaan baik dalam ruang lingkup sistem Anglo-saxon maupun Eropa Continental
Terminologi Peradilan Pidana sebagai sebuah sistem relatif masih diperdebatkan. Terlepas dari
aspek tersebut diatas, pada asasnya sistem peradilan pidana di Indonesia khususnya pada
kepolisian, kejaksaan dan pengadilan negeri mengacu kepada kitab undang-undang hukum
acara pidana (KUHAP), yaitu Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 (LNRI 1981-76 : TLNRI
3209) yang disahkan dan di undangkan pada tanggal 31 Desember 1981.

a) Peraturan Hukum yang mengatur, menyelenggarakan dan


mempertahankan eksistensi ketentuan Hukum Pidana Material (Mateerial
Strafrecht) guna mencari, menemukan dan mendapatkan kebenaraan
material atau kebenaran yang sesungguhnya

Ketentuan ini merupakan anasir umum yang telah dianut sejak lama dalam
pandangan para doktrina hukum dan hukum acara pidana. Kebenaran material ini
haruslah terdapat mulai dari tingkat penyidikan dan penyelidikan yang dilakukan
pejabat polisi Negara Republik Indonesia dan pejabat pegawai negeri sipil tertentu
yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang (Bab IV bagian ke-1 Penyelidik
dan Penyidik Pasal 4 s/d Pasal 12 jo Bab XIV bagian ke-1 Pasal 102 s/d Pasal 105
jo Bab XIV bagian ke-2 Pasal 106 s/d Pasal 136 KUHAP).

b) Peraturan hukum yang mengatur bagaimana cara proses pengambilan


puitusan oleh hakim

Mengenai aspek ini dimulai melalui tahap pemeriksaan didepan persidangan


yakni mulai tahap pemeriksaan identitas terdakwa, pembacaan catatan/dakwaan
oleh jaksa/penuntut umum, kemudian diberikan kesempatan terdakwa/penasihat
hukumnya untuk mengajukan keberatan/eksepsi, dilanjutkan acara pembuktian,
acara tuntutan, pembelaan, replik dan duplik serta pemeriksaan dianggap selesai
dan dilanjutkan musyawarah dalam pengambilan keputusan oleh hakim (Majelis)
serta penjatuhan/pengucapan keputusan dalam sidang yang terbuka untuk umum
(Bab XVI Pasal 145 s/d Pasal 232 KUHAP).

c) Peraturan Hukum Yang Mengatur Tahap Pelaksanaan Terhadap Putusan


Hakim Yang Telah Diambil

Terhadap hal ini, dapat dibedakan apabila putusan belum ”inkracht van
gewijsde” dapat dimungkinkan oleh terdakwa atau penasihat hukumnya serta jaksa/
penuntun umum melakukan banding, kemudian kasasi dan peninjauan kembali
mahkamah agung RI (bab XVIII pasal 233 sampai dengan pasal 269 KUHAP) serta
apabila putusan telah” inkracht van gewijsde” dan terpidana tidak melakukan upaya
grasi kepada presiden selaku kepala negara, putusan dapat dilaksanakan oleh jaksa
dan lembaga pemasyarakatan dengan pengawasan dan pengamatan oleh ketua
pengadilan negeri (bab XIX pasal 270 sampai dengan pasal 283) sedangkan jika
terpidana masih melakukan upaya grasi, putusan tersebut ditunda terlebih dahulu
pelaksanaannya menunggu upaya grasi tersebut turun.

2. Tujuan dan Fungsi Hukum Acara Pidana

Pada hakikatnya, tujuan dan fungsi hukum acara pidana erat korelasi antara 1
dengan yang lain. Aspek “tujuan “ mempunyai dimensi terhadap apa yang hendak
dituju sehingga merupakan titik akhir dari hukum acara pidana sedangkan aspek
“fungsi” tendens kepada tugas pokok yang diemban dari apa yang menjadi tujuan dan
fungsi hukum acara pidana. Tegasnya, antara tujuan dan fungsi hukum acara pidana
tidak dapat dipisahkan nuansanya antara satu dengan yang lainnya.

Berdasarkan pandangan doktrina hukum pidana, fungsi hukum acara pidana adalah:
1. Mencari dan menemukan kebenaran
2. Pemberian keputusan oleh hakim
3. Pelaksanaan keputusan

Apabila dijabarkan, fungsi mencari dan menemukan kebenaran ini haruslah


didukung oleh adanya alat-alat bukti sesuai ketentuan hukum yang berlaku dan
selaras ketetuan pasal 183 KUHAP, kemudian pemberian putusan oleh hakim
hendaknya setelah melalui tahap prosedural dan tatacara persidangan sebagaimana
ditentukan oleh tertib hukum acara dan yurisprudensi serta pelaksanaan keputusan
mengandung arti hendaknya dilakukan dan dilaksanakan oleh aparat dan lembaga
sebagaimana digariskan hkum acara, kemudian pelaksanaan keputusan tersebut
harus sesuai dengan bunyi ammar/ diktum dari putusan hakim.

3. Sifat Hukum Acara Pidana

Sebagaimana telah di deskripsikan dimuka bahwasannya hukum acara pidana


merupakan bagian hukum publik (Public Law) dengan esensi mempertahankan hukum
pidana materiel. Konsekuensi logisnya karena merupakan bagian hukum publik, sifat
hukum acara perdana secara eksplisit mengacu pada aspek kepentingan umum
(algemene belangen). Karena esensi demikian dapatlah disebutkan bahwa sifat hukum
acara pidana itu,adalah :

Pertama, ketentuan-ketentuannya bersifat memaksa (dwingen recht). Oleh karena


itu, sifat hukum acara pidana akan melindungi kepentingan bersama guna menjaga
keamanan,ketentraman,dan kedamaian hidup masyarakat.
Kedua, sifat hukum acara pidana mempunyai dimensi perlindungan terhadap hak
asasi manusia (HAM). Hukum acara pidana bersifat melindungi kepentingan dari
hak-hak orang yang dituntut (tersangka/terdakwa).

4. Asas-asas Umum Hukum Acara Pidana


a. Asas Praduga Tidak Bersalah (Presumption Of Innocence)

Hakikat asas ini cukup fundamental sifatnya dalam hukum acara pidana.
Ketentuan asas “praduga tidak bersalah” eksistensi tampak pada pasal 8 UU No 4
Tahun 2004 dan penjelasan umum angka 3 huruf c KUHAP yang menentukan
bahwa :

“setiap orang yang disangka,ditangkap,disangka,ditahan,dituntut dan atau


dihadapkan dimuka sidang pengadilan wajib di anggap tidak bersalah sampai
adanya putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh
kekuatan hukum tetap”
Dalam praktik peradilan, manifestasi asas ini dapat diuraikan lebih lanjut,
selama proses peradilan masih berjalan (Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi dan
Mahkamah Agung RI) dan belum memperoleh kekuatan hukum tetap (inkracht van
gewijsde). Karena itu, terdakwa belum dapat dikategorisasikan bersalah sebagai
pelaku dari tindak pidana sehingga selama proses peradilan pidana tersebut haruslah
mendapatkan hak-haknya sebagaimana diatur undang-undang, yaitu : hak untuk
segera mendapatkan pemeriksaan dalam tahap penyidikan, hak segera mendapatkan
pemeriksaan oleh pengadilan dan mendapatkan putusan seadil-adilnya, hak
mendapatkan juru bahasa, hak untuk memperoleh bantuan hukum, dan lain
sebagainya.

b. Asas Peradilan Cepat, Sederhana dan Biaya Ringan

Pada dasarnya, asas ini terdapat dalam pasal 4 ayat 2 UU No 4 tahun 2004 dan
penjelasan umum angka 3 huruf e KUHAP. Terhadap penerapan asas ini dalam
praktik peradilan dapatlah diberikan nuansa bahwa peradilan cepat dan sederhana
tampak dengan adanya pembatasan waktu penanganan perkara baik perdata
maupun pidana pada tingkat yudex facti (pengadilan negeri dan pengadilan tinggi)
masing-masing selama 6 bulan dan bila dalam waktu 6 bulan belum selesai
diputus,ketua pengadilan negeri/ketua pengadilan tinggi harus melaporkan hal
tersebut beserta alasan-alasannya kepada ketua pengadilan tinggi atau ketua
Mahkamah Agung RI (surat edaran mahkamah agung RI No 6 Tahun 1992 tanggal
21 Oktober 1992). Sedangkan terhadap peradilan dengan biaya ringan,khususnya
dalam perkara pidana beroientasi kepada pembebanan biaya perkara bagi terdakwa
yang dijatuhkan pidana (Pasal 197 ayat 1 huruf I jo Pasal 222 ayat 1 KUHAP) yang
berdasarkan surat ketua MA RI kepada ketua pengadilan tinggi seluruh indonesia
No.KMA/155/X/1981 tanggal 19 Oktober 1981 jo surat edaran MA RI No.: SE-
MA/17 Tahun 1983 8 Desember 1983 dan angka 27 lampiran keputusan menteri
kehakiman RI No: M.14-PW.07.03 Tahun 1983 tanggal 10 Desember 1983 tentang
Tambahan Pedoman Pelaksanaan KUHAP ditentukan pedoman biaya perkara
minimal Rp.500,00 dan Maksimal Rp.10.000,00 dengan penjelasan bahwa
maksimal Rp.10.000,00 itu adalah 7.500,00 bagi pengadilan tingkat pertama dan
Rp 2.500,00 bagi pengadilan tingkat banding.
c. Asas Hak Ingkar

Pada asasnya “hak ingkar” diatur dalam pasal 29 UU No. 4 Tahun 2004 dan
Pasal 157 KUHAP. Menurut ketentuan pasal 29 UU No. 4 tahun 2004, “hak
ingkar” adalah hak seorang yang diadili untuk mengajukan keberatan yang di sertai
dengan alasan terhadap seorang hakim yang mengadili perkaranya. Dari aspek
teoretik dan praktik, secara lebih luas “hak ingkar” ini dapat diliat dari dua optik
pandangan yaitu :

Pertama, hak ingkar (terminologinya: kewajiban mengundurkan diri) bagi


Hakim apabila terikat hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai derajat
ketiga atau adanya hubungan suami atau istri meskipun sudah bercerai dengan
ketua, jaksa, advokat, atau panitera, serta dengan terdakwa atau penasihat
hukum (29 ayat 3, 4 UU 4/2004, pasal 157 ayat 1, 2 KUHAP) atau ada
kepentingan baik langsung maupun tidak langsung ( pasal 220 KUHAP).
Kedua, hak ingkar (terminologinya : tidak dapat didengar keterangnnya dan
dapat mengundurkan diri) sebagai saksi karena adanya hubungan keluarga
sedarah atau semenda atau dalam garis lurus keatas atau kebawah sampai derajat
ketiga dari terdakwa, saudara terdakwa, saudara ibu/bapak dan anak-anak
saudara terdakwa sampai derajat ketiga dan suami istri terdakwa meskipun
sudah bercerai atau yang bersama-sama terdakwa (Pasal 168 KUHAP).

d. Asas Pemeriksaan Pengadilan Terbuka untuk Umum

Pada dasarnya, keterbukaan dari suatu proses peradilan (openbaarheid van het
proces) diperlukan guna menjamin objektivitas pemeriksaan. Hal ini secara
eksplisit tercermin dari ketentuan pasal 19 ayat (1) UU No. 4 tahun 2004, penjelasan
umum angka 3 huruf i dan di uraikan Pasal 153 ayat (3) KUHAP yang menetukan
bahwa :

“Untuk keperluan pemeriksaan, hakim, ketua sidang, membuka sidang, dan


menyatakan terbuka untuk umum kecuali dalam perkara kesusilaan atau
terdakwa nya anak-anak.”

Hal ini menyebabkan putusan batal demi hukum (Pasal 153 ayat 4
KUHAP,pasal 19 ayat 2 UU No.4/2004) karena terhadap semua perkara pidana,
putusan hanya sah dan hanya mempunyai kekuatan hukum apabila diucapkan dalam
sidang terbuka untuk umum (Pasal 20 UU No.4 Tahun 2004 Pasal 195 KUHAP).

e. Asas Pengadilan Memeriksa Perkara Pidana dengan Adanya Kehadiran


Terdakwa

Asas ini termasuk pada ketentuan pasal 154, 176 ayat 2, Pasal 196 ayat 1
KUHAP, pasal 18 ayat 1 UU 4/2004 khususnya terhadap perkara-perkara yang
diajukan secara biasa, dan singkat. Dengan asas kehadiran terdakwa ini,
pemeriksaan pengadilan secara in absentia sebagaimana dikenal dalam Tindak
Pidana Khusus (Ius Singulare, Ius Speciale atau Bijzonder Strafrecht) pada Tindak
Pidana Korupsi (UU 20/2001), Tindak Pidana Ekonomi (UU No.7/drt/1995),
Tindak Pidana Terorisme (UU 15/2003), Tindak Pidana Pencucian Uang (UU
15/2002 yo 25/2003) dalam konteks ini tidak diperkenankan terkecuali dalam acara
cepat khususnya acara pemeriksaan perkara pelanggaran lalu lintas jalan (Bagian
Keenam paragraf 2 Pasal 214 KUHAP). Akan tetapi, asas ketidakhadiran terdakwa
ini kenyataannya “diperlemah” dalam UU 4/2004 tentang Kekuasaan Kehakiman
yang menurut Pasal 18 ayat (2) UU 4/2004 dikatakan bahwa :

“Dalam hal tidak hadirnya terdakwa, sedangkan pemeriksaan


dinyatakan telah selesai, putusan dapat diucapkan tanpa dihadiri
terdakwa.”

Dikaji dari perspektif praktik peradilan, apabila terdakwa pernah hadir


disidang pengadilan kemudian berikutnya tidak pernah hadir lagi sampai
penjatuhan putusan, putusan terhadap terdakwa tetap dijatuhkan (bukan putusan
in absentia) karena menurut Mahkamah Agung putusan tersebut adalah tidak
bertentangan dengan ketentuan Pasal 196 ayat 1 KUHAP, sesuai Pasal 16
Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 dan sesuai Putusan Mahkamah Agung RI
No. 413 K/Kr/1980 tanggal 26 Agustus 1981 tanggal 22 Januari 1981 No.
MA/Pem/006/81 yang menyatakan “tuntutan penuntut umum tidak dapat
diterima”.
f. Asas “Equal before the law”

Asas ini merupakan salah satu manifestasi dari Negara Hukum (Rechtstaat)
sehingga harus ada perlakuan yang sama bagi setiap orang di depan hukum
(gelijkheid van ieder voor de wet). Dengan demikian, elemen yang melekat
mengandung makna perlindungan yang sama di depan hukum (equal protection on
the law) dan mendapatkan keadilan yang sama di depan hukum (equal justice under
the law). Tegasnya, Hukum Acara Pidana tidak mengenal adanya peraturan yang
memberi perlakuan khusus kepada terdakwa (forum prevelegiatium) sehingga
“Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan orang”
sebagaimana ditentukan Pasal 5 ayat 1 UU No.4 Tahun 2004 dan penjelasan umum
angka 3 huruf a KUHAP. Oleh karena itu, untuk menjamin eksistensi peradilan
mengadili dengan tidak membeda-bedakan orang berarti undang-undang menjamin
kepada badan peradilan agar segala campur tangan dalam urusan peradilan oleh
pihak lain diluar kekuasaan kehakiman dilarang, kecuali dalam hal sebagaimana
disebut dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
beserta perubahannya dan apabila setiap orang dengan sengaja melanggarnya
dipidana (Pasal 4 ayat (3), (4) Undang-Undang No.4 Tahun 2004).

g. Asas Bantuan Hukum

Asas bantuan hukum ditegaskan pada penjelasan umum angka 3 huruf f


KUHAP dengan redaksional bahwa :

“Setiap orang yang tersangkut perkara wajib diberi kesempatan


memperoleh bantuan hukum yang semata-mata diberikan untuk
melaksanakan kepentingan pembelaan atas dirinya”.

Sedangkan asas bantuan hukum dalam Bab VII Pasal 37 UU 4/2004 dirumuskan
dengan redaksional :

“Setiap orang yang tersangkut perkara berhak memperoleh bantuan


hukum”.

Kemudian, lebih lanjut lagi asas bantuan hukum ini dapat dilihat pada KUHAP
khususnya Pasal 56, 69 sampai dengan 74 KUHAP, pada Pasal 37 sampai 40 UU
4/2004 dan imperatif sifatnya sebagaimana digariskan oleh Mahkamah Agung RI
serta beberapa Yurisprudensi Mahkamah Agung RI seperti, misalnya Putusan
Mahkamah Agung RI No. 510 K/Pid/1988 tanggal 28 April 1988 dan Putusan
Mahkamah Agung RI Nomor 1565 K/Pid/1991 tanggal 16 September 1993.

h. Asas Pemeriksaan Hakim yang Langsung dan Lisan

Pada asasnya, dalam praktik pemeriksaan perkara pidana di depan persidangan


dilakukan hakim secara langsung kepada terdakwa dan saksi-saksi serta
dilaksanakan dengan cara lisan dalam Bahasa Indonesia. Tegasnya, Hukum Acara
Pidana Indonesia tidak mengenal pemeriksaan secara tertulis sebagaimana halnya
dalam hukum perdata. Implementasi asas ini lebih luas dapat dilihat dari penjelasan
umum angka 3 huruf h KUHAP, Pasal 153, 154, 155 KUHAP dan seterusnya.

i. Asas Ganti Rugi dan Rehanilitasi

Secara limitatif asas ini diatur dalam Pasal 9 Undang-Undang No.4 Tahun 2004,
Pasal 95, 96, dan 97 KUHAP. Apabila dijabarkan, dapatlah disebutkan bahwa kalua
seseorang ditangkap, ditahan dan dituntut atau diadili tanpa alasan berdasarkan
undang-undang atau karena kekeliruan baik mengenai orangnya atau penerapan
hukum, wajib memperoleh rehabilitasi apabila pengadilan memutus bebas
(vrijspraak) atau lepas dari segala tuntutan hukum (onslag van alle
rechtsvervolging) sebagaimana dimaksud Pasal 97 ayat (1) KUHAP yang berbunyi:

“memulihkan hak terdakwa dalam kemampuan, kedudukan dan harkat


serta martabatnya”

(Pasal 97 ayat (1) KUHAP, Pasal 14 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 27
Tahun 1983, pendapat doktrina dan yurisprudensi Mahkamah Agung RI dan
dicantumkan sekaligus dalam ammar putusan pengadilan (Pasal 97 ayat (2) KUHAP).

j. Asas Pengawasan dan Pengamatan Pelaksanaan Putusan Pengadilan

Pada dasarnya, pelaksanaan putusan pengadilan yang telah mempunyai


kekuatan hukum tetaap (inkracht van gewijsde) dilakukan oleh Jaksa (Bab XIX,
Pasal 270 KUHAP, Pasal 36 ayat (1) Undang-Undang No.4 Tahun 2004) dan
kemudian pelaksanaan pengawasan dan pengamatan ini dilakukan oleh Ketua
Pengadilan Negeri yang didelegasikan kepada hakim yang diberi tugas khusus
untuk membantu Ketua dalam melakukan pengawasan dan pengamatan. Dalam
Pratik hakim tersebut lazim disebut sebagi “Hakim Wasmat” atau “Kimwasmat”
(Bab XX Pasal 277 ayat (1) KUHAP, Bab VI Pasal 36 ayat (2) Undang-Undang
No.4 Tahun 2004, Surat Edaran Mahkamah Agung RI No.7 Tahun 1985 tanggal 11
Februari 1985).

k. Asas Kepastian Jangka Waktu Penahanan

Pada KUHAP secara limitatif batas waktu penahanan dalam setiap tingkat
pemeriksaan telah dibatasi jangka waktunya. Dengan demikian, asas kepastian
jangka waktu penahanan ini secara limitative seorang terdakwa selama proses
persidangan dari tingkat penyidik sampai Mahkamah Agung RI hanya dapat ditahan
paling lama 400 (empat ratus) hari dengan perincian 200 (dua ratus) hari dari tingkat
penyidik sampai Peradilan Negeri dan 200 (dua ratus) hari untuk tingkat banding
dan kasasi. Apabila asas ini pada setiap tingkat pemeriksaan dilanggar, akan
berakibat terdakwa harus “dilepaskan demi hukum”.

5. Ilmu-ilmu Pembantu Hukum Acara Pidana

Menurut kajian dari aspek teoritik dan praktik peranan ilmu-ilmu pembantu Hukum
Acara Pidana penting eksistensinya. Terhadap kompleksitas tindak pidana tersebut,
dapat disebutkan secara makro bahwasannya guna menegakkan kebenaran materiel,
penegak hukum (Polisi, Jaksa, Hakim, Penasihat Hukum,/Advokat) tidaklah cukup
hanya bersandarkan kepada penguasaan hukum pidana dan hukum acara pidana saja,
tetapi dalam konteks ini diperlukan adanya pemahaman dan penguasaan terhadap ilmu-
ilmu pembantu hukum acara pidana, antara lain:

a) Kriminologi

Istilah “Kriminologi” yang dikenal sekarang ini merupakan terminology


ahli antropologi Perancis Paul Topinard dari kata crimen
(kejahatan/penjahat) dan logos (ilmu pengetahuan). Kriminologi
berorientasi kepada: Pertama, pembuatan hukum yang dapat meliputi telaah
konsep kejahatan, siapa pembuat hukum dengan factor-faktor yang harus
diperhatikan dalam pembuatan hukum. Kedua, pelanggaran hukum yang
dapat meliputi siapa pelakunya, mengapa sampai terjadi pelanggaran hukum
tersebut serta factor-faktor yang mempengaruhinya. Ketiga, reaksi terhadap
pelanggaran hukum melalui proses peradilan pidana dan reaksi masyarakat.
Menurut William III dan Marilyn Mcshane, teori ini diklasifikasikan
menjadi 3 kelompok yaitu : Pertama, golongan teori abstrak atau teori-teori
makro (macro-theories). Kedua, teori-teori mikro (microtheories) yang
bersifat lebih konkret. Ketiga, Beidging Theories yang tidak termasuk ke
dalam kategori teori makro/mikro dan mendeskripsian tentang struktur
sosial dan bagaimana seseorang menjadi jahat.

b) Psikologi dan Psikiatri

Pada dasarnya, psikologi menurut Ensiklopedi Indonesia dijabarkan


secara lugas sebagai berikut:

“Mula-mula cabang filsafat yang mempelajari psyche (Yun.


Kegiatan alam sadar; pikiran; jiwa) kemudian ilmu pengetahuan
tentang pikiran; dan sekarang, dipandang dalam konteksnya
yang lebih luas ilmu pengetahuan tentang tingkah laku baik pada
manusia maupun binatang. Erat berhubungan dengan
antropologi (ilmu pengetahuan tentang manusia) dan somatologi
(ilmu pengetahuan tentang tubuh).

Kemudian, pengertian dan dimensi Psikiatri lebih lanjut dapat


dijabarkan sebagai berikut:

“Cabang ilmu kedokteran yang memperhatikan dan mempelajari


segala segi mental manusia, baik dalam keadaan sehat maupun
dalam keadaan sakit. Dalam psikiatri dikenal berbagai metode
pendekataan dalam menelaah mental manusia, misalnya
psikoanalisis yang meninjau segi mental perkembangan
kepribadian manusia dengan mengadakan cara interprestasi;
khusus tentang berbagi tingkah laku manusia.”
c) Victimologi

Victimologi berasal dari akar kata Bahasa Latin “Victime” berarti


korban dan “logos” berarti ilmu pengetahuan. Konkretnya, Victimologi
merupakan pengetahuan yang mempelajari korban kejahatan. Konsekuensi
logis aspek demikian maka terminologi korban kejahatan dari disiplin
viktimologi berikutnya dikembangkan untuk mengkaji korban kejahatan
dalam hukum pidana dan/atau sistem peradilan pidana. Kemudian, lebih
jauh pengertian korban kini oleh Arif Gosita diartikan sebagai :

“Mereka yang menderita jasmaniah dan rohaniah sebagai akibat


tindakan orang lain yang mencari pemenuhan kepentingan diri sendiri atau
orang lain yang bertentangan dengan kepentingan dan hak asasi yang
menderita.”

Dari pengertian sebagaimana tersebut diatas, dapatlah diuraikan lebih


intens, detail dan terinci bahwasannya korban kejahatan ada yang sifatnya
individual (individual victims) dan kolektif (collective victims). Sellin dan
Wolfgang mengklasifikasi secara eksplisit jenis korban dapat berupa:

1. Primary victimization adalah korban individual. Jadi, korbannya


adalah orang perorangan atau bukan kelompok.
2. Secondary victimization, yang menjadi korban adalah kelompok
seperti badan hukum.
3. Tertiary victimization yang menjadi korban adalah masyarakat
luas.
4. Mutual victimization yang menjadi korban adalah si pelaku
sendiri. Misalnya pelacuran, perzinahan, narkotika.
5. No victimization bukan berarti tidak ada korban, melainkan
korban tidak segera dapat diketahui, misalnya konsumen yang
tertipu dalam menggunakan suatu hasil produksi.

Dengan penguasaan Victimologi, diharapkan para hakim khususnya


dalam menjatuhkan putusan juga mempertimbangkan nuansa yuridis
tentang peranan korban terhadap timbulnya kejahatan, proses rehabilitasi
yang harus dilakukan korban, kerugian materiel dan immaterial yang
diderita korban dan lain sebagainya.

d) Kriminalistik

Pada dasarnya, Kriminalistik mempelajari tentang taktik penyidikan


(opsporingstactiek), teknik penyidikan (opsporingstechniek) dan organisasi
dinas penyidikan (reserche dienst). Dengan demikian, pengetahuan
kriminalistik berguna bagi penyidik untuk mempelajari dan
mengungkapkan kasus pidana melalui pembuktian yang berupa ilmu
daktiloskopi, antropologi, fisiologi, ilmu tulisan, ilmu kimia, antonomi
potologik, sedangkan bagi Penuntut Umum dan Hakim di depan
persidangan maka fakta-fakta kriminalistik tersebut dapat dipakai sebagai
bahan pertimbangan dalam melakukan penuntutan dan menjatuhkan
putusannya.

B. SELAYANG PANDANG TERHADAP SEJARAH HUKUM ACARA


PIDANA DI INDONESIA
1. Periode Pemerintah Hindia Belanda
Dari aspek historis, sebenarnya titik awal Hukum Acara Pidana periode ini mulai
dikenal sejak tahun 1596 sewaktu kapal Belanda dibawah pimpinan Cornelis de
Houtman mendarat di Banten. Pada tahun 1602 dibentuk VOC (Vereeningde Oost-
Indische Compagnie), pada masa tersebut untuk orang-orang Belanda diterapkan
hukum kapal (Scheepsrecht) terdiri dari Hukum Belanda Kuno dengan asas-asas
Hukum Romawi (Romeinsche Recht) dan kemudian selanjutnya dibuat plakat-plakat
sedangkan untuk orang Indonesia/Pribumi diterapkan Hukum Adat (Hukum tidak
tertulis).

Perkembangan sekitar tahun 1848 di Indonesia dikenal beberapa kodifikasi


peraturan Hukum Acara Pidana, yaitu:

1) Reglement op de Rechterlijke Organisatie (R.O. Stb. 1847-23 jo Stb 1848-


57) yang mengatur mengenai susunan organisasi kehakiman dan
kebijaksanaan mengadili.
2) Inladsch Reglament (I.R. Stb 1848 no 16) yang mengatr terhadap hukum
acara perdata dan hukum acara pidana didepan persidangan “Landraad”
bagi mereka yang tergolong penduduk Indonesia dan Timur Asing, dan
hanya berlaku bagi daerah Jawa dan Madura diterapkan ketentuan
(Rechtsreglement Foor de Buitengewesten” (Rbg, Stb. 927-227).
3) Reglement Op de Strafvordering (Stb.1849 No 63) mengatur ketentuan
Hukum acara Pidana bagi golongan penduduk Eropa dan bagi mereka yang
di persamakan dan,
4) Landgrechtsreglement (Stb.1914 No 317 jo Stb. 1917 No 323) mengatur
acara didepan pengadilan Landgrecht dan mengadili perkara-perkara sumir
(kecil) untuk semua golongan penduduk.

Tiap daerah mempunyai ordonansi tersendiri untuk mengatur hukum acara pidana
dan hukum acara perdata, seperti :

a. Ordonansi tanggal 26 Maret 1874 (Stb.94 b), Gubernur Sumatra Barat.


b. Ordonansi tanggal 2 Februari 1880 (Stb.32), Residen Bengkulu.
c. Ordonansi tanggal 25 Januari 1879 (Stb.85), Residen Lampung.
d. Ordonansi tanggal 8 Januari 1878 (Stb.14), Residen Palembang.
e. Ordonansi tanggal 8 Juli 1906 (Stb.320), Residen Jambi.
f. Ordonansi tanggal 21 Februari 1887 (Stb.45), Residen Sumatra Timur.
g. Ordonansi tanggal 14 Maret 1881 (Stb.82), Residen Aceh.
h. Ordonansi tanggal 15 Maret 1882 (Stb.84), Residen Riau.
i. Ordonansi tanggal 30 Januari 1874 (Stb.33), Residen Bangka, dll.

Ordonansi di atas kemudian dihimpun menjadi satu dengan nama “Rechtsreglement


Buitengewesten” (Reglement Daerah Seberang, Stb. 1927-227) yang mulai berlaku
sejak tangga 1 Juli 1927.

2. Periode Pemerintah Penduduk Jepang


Pada zaman pemerintahan penduduk Jepang, Hukum Acara Pidana masa
sebelumnya masih dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak diatur oleh peraturan lain
(Pasal 6 UU No. 14 Tahun 1942). Dalam periode ini perlu dicatat bahwa praktik
peradilan tentang putusan peradilan pada periode pemerintahan Hindia Belanda yang
berbunyi “In naam der Koningin” dihapuskan dan berdasarkan UU ”Osamu Serei”
Nomor 1 Tahun 1942 yang berlaku mulai tanggal 7 Maret 1942, ditetapkan semua
putusan pengadilan harus memakai kepada “Atas Nama Jenderal Balatentara”.
Perubahan ini berlaku pula terhadap semua badan-badan pengadilan dari Pemerintah
Hindia Belanda, kecuali Residentiegerecht (dihapuskan dengan Osamu Serei Nomor 4
tahun 1942) dan susunan nama pengadilannya diganti, yaitu Landraad menjadi Tihoo
Hooin (Pengadilan Negeri), Landgerecht berubah menjadi Keizai Hooin (Pengadilan
Kepolisian), Regentschapsgerecht menjadi Ken Hooin (Pengadilan Kabupaten),
Districtsgerecht menjadi Gun Hooin (Pengadilan Kewedanaan). Pada periode ini
dikenal pula pemeriksaan perkara pidana (kejahatan dan pelanggaran) di luar hadirnya
terdakwa (Peradilan in absentia) dan tanpa dimungkinkan diajukan perlawanan/verzet.
Hal tersebut dengan tegas diatur pada Osamu Seihi Nomor 148 tanggal 26 Juni 1944.

3. Periode Sesudah Proklamasi RI 1945


Titik awal periode ini dimulai pada Proklamasi 17 Agustus 1945 melahirkan Negara
Republik Indonesia yang merdeka dan berdaulat dengan sendi UUD 1945 dan
Pancasila. Pada masa ini, sejarah mencatat bahwa mengenai hukum acara dikenal
lahirnya 2 (dua) Undang-Undang untuk peradilan umum, yakni Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 1947 tentang Peradilan Ulangan di Jawad an Madura serta Undang-
Undang Nomor 21 Tahun 1947 Tentang Pemeriksaan Perkara Pidana di Luar
Hadirnya Terdakwa. Selain itu, juga apabila diuraikan lebih jauh, pada periode ini
untuk hukum acara pidana yang diterapkan pada praktik peradilan cukup variatif dalam
artian diberlakukannya Het Herzeine Inlandsch Reglement (HIR, Stb 1941 Nomor 44),
Reglement op de Buitengewesten (Rbg Stb 1927 Nomor 227) dan
Landgerechtsreglement (Stb 1914 Nomor 317 jo Stb 1917 Nomor 323). Dengan
dibentuknya Republik Indonesia Serikat (RIS), istilah Hooggerechtshof diganti
menjadi Mahkamah Agung (Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1950; LN 1950 Nomor
30), kemudia Landgerecht dan Appelraad diganti menjadi Pengadilan Negeri dan
Pengadilan Tinggi (Undang-Undang Drt Nomor 18 Tahun 1950 (LN 1950 Nomor 27)
tanggal 18 Aprl 1950.

4. Periode Menurut UU Nomor 1 Drt Tahun 1951


Hukum Acara Pidana pada periode Undang-Undang Nomor 1 Drt tahun 1951 (LN
Nomor 9 Tahun 1951) mulai terbentuk sejak Negara Kesatuan eksis pada tanggal 17
Agustus 1950 dan sekaligus menghilangkan dualism struktur pengadilan dan peradilan
di Indonesia. Dengan hadirnya Undang-Undang ini, terciptalah suatu unifikasi hukum
untuk menyelenggarakan kesatuan susunan, kekuasaan dan acara semua Pengadilan
Negeri dan Pengadilan Tinggi di seluruh Indonesia dan berdasarkan Pasal 1 telah
dihapuskan dan tidak memberlakukan lagi 9 (Sembilan) buah badan peradilan yang
berlaku pada masa sebelumnya, yaitu :

1) Mahkamah Justisi di Makasar dan alat Penuntut Umum padanya;


2) Appelraad di Makasar;
3) Appelraad di Medan;
4) Segala Pengadilan Negeri dan segala Landgerecht (cara baru) dan alat
Penuntut Umum padanya;
5) Segala Peradilan Kepolisian dan alat Penuntut Umum padanya;
6) Segala Pengadilan Magistraat (Pengadilan Rendah);
7) Segala Pengadilan Kabupaten
8) Segala Raad Distrik dan
9) Segala Pengadilan Negorij di Maluku
Selain itu, dalam perkembangan selanjutnya, secara bertahap akan
dihapuskan lagi, mengenai:
 Semua Pengadilan Swapraja (Zelfbestuurrechtspraak) dalam
Negara Sumatera Timur, Keresiden Kalimantan Barat dan Negara
Indonesia Timur, kecuali Pengadilan Agama jikalau pengadilan
tersebut menurut hukum yang hidup (living law) merupakan bagian
Pengadilan Swapraja dan
 Semua Pengadilan Adat (Inheemse Rechtspraak in
Rechtstreesbestuur gebied) kecuali Pengadilan Agama jikalau
peradilan tersebut menurut hukum yang hidup (living law)
merupakan bagian Pengadilan Adat.
5. Periode Menurut UU Nomor 8 Tahun 1981
Ditinjau dari aspek historis yuridis, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 (LNRI
1981 Nomor 76, TLNRI Nomor 3209) disahkan pada tangal 31 Desember 1981 dengan
nama Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana atau lazim disingkat dengan istilah:
KUHAP. Semenjak berlakunya KUHAP, dapatlah disebutkan lebih jauh bahwasanya
mulai tanggal 31 Desember 1981 untuk ketentuan Hukum Acara Pidana berlakulah
secara tunggal Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 dan peraturan yang sebelumnya
berlaku dinyatakan telah dicabut. Hukum Acara Pidana telah ada suatu unifikasi hukum
karya bangsa Indonesia sendiri sehingga sewaktu terlahirnya KUHAP, undang-undang
ini sering disebut sebagai “Karya Agung”. Kehadiran KUHAP memberikan suatu
dimensi kepada adanya perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia dalam
keseimbangnnya dengan kepentingan umum (algemenebelangen).

C. RUANG LINGKUP DAN SUMBER-SUMBER HUKUM ACARA


PIDANA
Menurut persepsi Penulis, mengenai ruang lingkup Hukum Acara Pidana pada asasnya
berkolerasi dengan proses dan procedural pemeriksaan perkara pidana. Oleh karena itu,
melalui visi dan formulasi KUHAP sebaga Hukum Positif/Ius Constitutum atau Ius
Operatum saat ini di Indonesia, secara substansial terhadap ruang lingkup Hukum Acara
Pidana itu, meliputi hal-hal sebagai berikut :

1) Penyidikan Perkara Pidana

Proses dan procedural penyidikan merupakan tahap awal dalam


pemeriksaan perkara pidana yang dilakukan Kepolisian selaku penyidik dan
pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu diberi wewenang khusus oleh
Undang-Undang (Bab 1 Pasal 1 angka 1 KUHAP, Bab IV Bagian Kesatu
Pasal 6 sampai dengan Pasal 12 jo Bab XIV Bagian Kedua Pasal 106 sampai
dengan Pasal 136 KUHAP, Bab 1 Pasal 1 angka 10 dan 11 Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Republik Indonesia).

2) Penuntutan Perkara Pidana

Pengertian penuntutan merupakan tindakan penuntut umum untuk


melimpahkan perkara pidana ke Pengadilan Negeri yang berwenang dalam
hal dan menurut cara yang diatur dalam Undang-Undang dengan
permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh hakim di sidang Pengadilan
(Bab 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan
Republik Indonesia). Menurut undang-undang, penuntutan perkara pidana
adalah tugas dan wewenang yang dilakukan oleh Kejaksaan i.c.
Jaksa/Penuntut Umum (Bab IV Bagian Ketiga Pasal 13 sampai 15 jo Bab
XV Pasal 137 sampai dengan Pasal 144 KUHAP, Bab III Bagian Pertama
Pasal 30 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004).
3) Pemeriksaan di Sidang Pengadilan

Pemeriksaan perkara di siding pengadilan dilakukan oleh suatu Majelis


Hakim/Hakim Tunggal. Proses dan prosedural ini lazim disebut tindakan
“mengadili” yaitu serangkai tindakan hakim untuk menerima, memeriksa,
dan memutus perkara pidana berdasarkan asas bebas, jujur dan tidak
memihak di siding pengadilan dalam hal dan menurut undang-undang
(Pasal 17 ayat (1) UU 14/1970 jo UU 35/1999 jo UU 4/2004), Bab I tentang
Ketentuan Umum Pasal 1 angka 9 KUHAP, Bab XVI Pasal 145 sampai
dengan Pasal 232 KUHAP).

4) Pelaksanaan Putusan Hakim (Eksekusi)


Pelaksanaan Putusan Hakim adalah agar ammar/dictum putusan hakim
dapat dilaksanakan. Tahap pelaksanaan putusan ini dilakukan oleh
Kejaksaan/Jaksa dengan pengawasan dan pengamatan pelaksanaan putusan
pengadilan oleh Ketua Pengadilan Negeri i.c. Hakim Pengawas dan
Pengamat atau “Hakim Wasmat/Hawasmat” (Bab XIX Pasal 279 sampai
dengan Pasal 283 KUHAP, Bab VI Pasal 36 UU 4/2004).
Dengan lebih member deskripsi, mengenai sumber-sumber Hukum
Acara Pidana tersebut antara lain sebagai berikut:
A. Undang-Undang Dasar 1945 beserta dengan perubahannya
Pada Undang-Undang Dasar 1945 beserta dengan perubahannya
terdapat beberapa ketentuan pasal yang mengatur Hukum Acara
Pidana, yaitu :
 Pasal 24 dan 25 Undang-Undang Dasar 1945 Hasil
Amandemen menyebutkan, bahwa :
“Kekuasaan kehakiman merupakan kekusaan yang merdeka
untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan
hukum dan keadilan” (Pasal 24 ayat (1) Perubahan Ketiga
UUD 1945).
“Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah
Agung dan badan peradilan yang berada dibawahnya dalam
lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama,
lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata
usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.”
(Pasal 24 ayat (2) Perubahan Ketiga UUD 1945).
“Badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan
kekuasaan kehakiman diatur dalam undang-undang.” (Pasal
24 ayat (3) Perubahan Keempat UUD 1945).
“Susunan, kedudukan, keanggotaan, dan hukum acara
Mahkamah Agung serta badan peradilan dibawahnya diatur
dengan undang-undang.” (Pasal 24 A ayat (5) Perubahan
Ketiga UUD 1945).
“Syarat-syarat untuk menajdi dan untuk diberhentikan
sebagai haki ditetapkan dengan undang-undang”. (Pasal 25
UUD 1945).
 Pasal II Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar 1945
Perubahan Keempat menyebutkan bahwa:
“Semua Lembaga Negara yang ada masih tetap berfungsi
sepanjang untuk melaksanakan ketentuan Undang-
Undang Dasar dan belum diadakan yang baru menurut
Undang-Undang Dasar ini.”
B. Undang-Undang
Dalam perjalanan sejarah Hukum Acara Pidana di Indonesia
terdapat berbagai peraturan perundang-undangan yang mengatur
Hukum Acara Pidana, antara lain seperti:
 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 (LNRI 1981 Nomor
76, TLNRI Nomor 3209) tentang Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana.
 Undang-Undang Nomoe 14 Tahun 1970 (LNRI 1970 Nomor
74) jo Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999 jo Undang-
Undang Nomor 4 Tahun 2004 tenag Kekuasaan Kehakiman.
 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002 tentang Grasi, Dll.
D. Peraturan Pemerintah/PP, Keputusan/Instruksi Presiden
Republik Indonesia (Keppres/Inpres), Surat Edaran Mahkamah
Agung RI (SEMA RI) dan Peraturan Menteri Kehakiman
Republik Indonesia (Permenkeh RI).
 Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 (LN 1983
Nomor 36) tentang Pelaksanaan Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana.
 Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 1996 (LNRI 1996
Nomor 85) tentang Penyidikan Tindak Pidana di bidang
Kepabeanan dan Cukai.
 Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 73 Tahun
1967 tentang Pemberian Wewenang Kepada Jaksa Agung
Melakukan Pengusutan/Pemeriksaan Pendahuluan
Terhadap Mereka Yang Melakuakan Tindakan
Penyeludupan, Dll.
BAB II
Sekilas Tentang Hak, Tugas dan Kewenangan Para Pihak dalam
Hukum Acara Pidana Indonesia

A. Tersangka / Terdakwa

Pada hakikatnya, istilah “tersangka dan “terdakwa” merupakan terminologi dari Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) sebagaimana diintrodusir UU Nomor 8
Tahun 1981. Perbedaan istilah ”tersangka” dan “terdakwa” ini dalam terminologi
KUHAP secara definitive dapat ditemukan pada ketentuan Bab I tentang Ketentuan Umum
Pasal 1 angka 14 dan 15 KUHAP yang menentukan, bahwa:

“Tersangka adalah seorang yang karena perbuatannya atau keadaannya, berdasarkan


bukti permulaan yang pahit diduga sebagai pelaku tindak pidana.” (Pasal 1 angka 14
KUHAP).

“Terdakwa adalah seorang tersangka yang dituntut, diperiksa dan diadili di siding
pengadilan.” (Pasal 1 angka 15 KUHAP).

Dengan demikian, dapat diuraikan lebih jauh bahwasanya apabila seseorang


diduga telah melakukan suati tindak pidana kemudian dilakukan penyidikan oleh pihak
Kepolisian dan selanjutnya berkas perkara (BAP) diserahkan kepada Jaksa Penuntut
Umum dan dinyatakan telah lengkap dan sempurna (P-21), status orang tersebut masih
sebagai “tersangka”. Sedangkan apabila perkara tersebut telah dilimpahkan ke
Pengadilan Negeri sesuai locus dan tempus delictinya untuk diperiksa, dituntut dan
diadili, berubahlah status “tersangka” menjadi “terdakwa”. Berikutnya, bagi seorang
tersangka/terdakwa yang dihadapkan di depan persidangan pada dasarnya dianggap
tidak bersalah terlebih dahulu sebelum di persidangan dinyatakan telah terbukti
bersalah dan putusan hakim tersebut telah memperoleh kekuatan hukum tetap (inkracht
van gewijsde). Hal ini merupakan implementasi dari asas “praduga tak bersalah”
(Presumption of Innocence) seperti yang ditentukan oleh ketentuan Pasal 8 UU Nomor
4 Tahun 2004.
B. Penyidik Dan Penyelidik

Pada asasnya, melalui visi KUHAP dibedakan secara limitative antara istilah
“Penyidik” atau “Opsporing/Interrogation” dan “Penyelidik”. Dengan tegas Bab I tentang
Ketentuan Umum Pasal 1 angka 1 jo Pasal 6 ayat (1) KUHAP Bab 1 Pasal 1 angka 10 dan
11 UU Nomor 2 Taahun 2002 disebutkan bahwa “Penyidik” adalah pejabat polisi Negara
Republik Indonesia atau Pegawai Negeri Sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh
undang-undang untuk melakukan penyidikan. Konkretnya, dapat dikatakan dengan tegas
bahwasanya fungsi dan ruang lingkup “penyidik” adalah untuk melakukan “penyidikan”.

Pasal 1 angka 2 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) disebutkan


bahwa, “penyidikan” itu adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut
acara yang diatur dalam Undang-Undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti
yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna
menemukan tersangkanya. Sesuai konteks Pasal 1 angka 2 KUHAP, dengan konkret dan
factual dimensi penyidikan tersebut dimulai ketika terjadinya tindak pidana sehingga
melalui proses penyidikan hendaknya diperoleh keterangan tentang aspek-aspek sebagai
berikut :

 Tindak pidana yang telah dilakukan


 Tempat tindak pidana dilakukan (locus delicti)
 Waktu tindak pidana dilakukan (tempus delicti)
 Cara tindak pidana dilakukan
 Dengan ala tapa tindak pidana dilakukan
 Latar belakang sampai tindak pidana tersebut dilakukan
 Siapa pelakunya

Di dalam KUHAP, selain fungsi penyidikan dikenal pula fungsi “penyelidikan”.


Menurut ketentuan Bab 1 Pasal 1 angka 5 KUHAP, “penyelidikan” itu merupakan
serangkaian tindakan penye-lidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang
diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat tidaknya dilakukan penyidikan
menurut cara yang diatur dalam undang-undang. Adapun fungsi penyidikan yang
mendahului tindakan lain yaitu penindakan yang berupa penangkapan, penahanan,
penggeledahan, penyitaan, pemeriksaan surat, pemanggilan, tindakan pemeriksaan,
penyelesaian dan penyerahan berkas perkara kepada Penuntut Umum. Kemudian mengenai
fungsi penyelidikan antara lain sebagai perlindungan dan jaminan terhadap HAM, adanya
persyaratan dan pembatasan yang ketat dalam penggunaan alat-alat pemaksa
(dwangmiddelen), ketatnya pengawasan dan adanya lembaga ganti rugi dan rehabilitasi,
dikaitkan bahwa tidak semua peristiwa yang terjadi dan diduga sebagai tindak pidana itu
metampakkan bentuknya secara jelas sebagai tindak pidana. Karena itu, sebelum
melangkah lebih lanjut dengan melakukan penyidikan, perlu ditentukan terlebih dahulu
berdasarkan data atau keterangan yang didapat dari hasil penyelidikan bahwa peristiwa
yang terjadi dan diduga sebagai tindak pidana itu benar adanya sehingga dapat dilakukan
dengan tindakan penyidikan. Perbedan “penyidik” dan “penyelidik” yaitu “penyidik” itu
terdiri dari Polisi Negara Republik Indonesia dan Pegawai Negeri Sipil tertentu yang diberi
wewenang khusus oleh undang-undang, sedangkan “penyelidik” hanya terdiri dari Polisi
Negara saja, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 6 KUHAP.

C. Jaksa / Penuntut Umum


1. Pengertian, Tugas dan Wewenang Jaksa/Penuntut Umum dalam Proses
Pidana

Secara substansial, pada Ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana


dibedakan pengertian antara “Jaksa” dan “Penuntut Umum”. Ketentuan Bab 1 tentang
Ketentuan Umum Pasal 1 angka 6 KUHAP, Bab 1 Bagian Pertama Pasal 1 angka 1 dan
2 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 menegaskan, bahwa:

 Jaksa adalah pejabat yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk
bertindak sebagai penuntut umum serta melaksanakan putusan pengadilan
yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
 Penuntut Umum adalah jaksa yang diberi wewenang oleh undang-undang
ini untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim.

Pada hakikatnya, tugas dan wewenang jaksa dalam proses pidana dapat meliputi
hal-hal sebagai berikut:

 Melakukan permintaan pemeriksaan kembali perkara pidana karena surat


catatan pemeriksaan perkara tersebut hilang sedangkan Keputusan
Pengadilan harus terus dijalankan atau apabila terhadap surat keputusan atau
turunan sah keputusan asli maupun petikan dari keputusan asli timbul
keragu-raguan perihal macam, jumlah dan waktu berakhirnya hukuman
yang telah dijalankan tersebut, pengadilan yang bersangkutan karena
jabatannya atas permintaan jaksa, ataupun atas permintaan terhukum,
setelah mengadakan pemeriksaan dapat mengadakan penetapan resmi
tentang macam, jumlah dan waktu berakhirnya hukuman tersebut (Pasal 3
dan 4 Undang-Undang No. 22 Tahun 1952 (LN 1952 No. 85) tentang
Peraturan untuk Menghadapi Kemungkinan Hilangnya Surat Keputusan dan
Surat-surat Pemeriksaan Pengadilan.
 Wajib mengundurkan diri apabila masih terkait dalam hubungan keluarga
sedarah atau semenda sampai derajat ketiga, atau hubungan suami istri
meskipun telah bercerai dengan terdakwa (Pasal 29 ayat (4) UU No. 4 Tahun
2004 (LN 2004 No. 8, TLNRI 4358) tentang Kekuasaan Kehakiman.
 Melaksanakan penetapan dan putusan hakim dalam perkara pidana (Pasal
30 ayat (1) huruf b UU No. 16 Tahun 2004 (LNRI 2004 No.67, TLNRI No.
4401) tentang Kejaksaan Republik Indonesia, Pasal 36 ayat (1) UU No. 4
Tahun 2004, Pasal 270 UU No. 8 Tahun 1981 (LNRI 1981 No. 76, TLNRI
No. 3209) tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
 Meminta kepada Pengadilan Negeri untuk memeriksa dan kemudian
menetapkan dapat atau tidaknya seseorang diekstradisikan dan Jaksa
menghadiri siding tersebut dan memberikan pendapatnya (Pasal 27, Pasal
31 ayat (2) UU No. 1 Tahun 1979 (LN 1979 No. 2) tentang Ekstradisi.
 Menerima hasil dari Aparatur Imigrasi tentang keterangan-keterangan
kedatangan tentang orang asing terutama tentang maksud dan tujuan serta
tempat yang akan dikunjunginya (Pasal 4 Peraturan Pemerintah No. 26
Tahun 1970 (LN 1970 No. 36) tentang pengawasan Orang Asing yang
Berkunjung di Indonesia dengan Fasilitas Bebas Visa Tujuh Hari.
 Melakukan penyidikan menurut ketentuan khusus acara pidana
sebagaimana yang telah ditentukan dalam Pasal 284 ayat (2) KUHAP atau
melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan undang-
undang sebagaimana ketentuan Pasal 30 ayat (1) huruf d UU No. 16 Tahun
2004 dan melakukan permintaan secara tertulis terhadap pengeluaran
barang rampasan untuk melaksanakan putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap (Pasal 17, Pasal 28 Peraturan
Pemerintah No. 27 Tahun 1983 (LN 1983 No. 36) tentang Pelaksanaan
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
 Melakukan upaya hukum kasasi terhadap putusan bebas/vrisjpraak
berdasarkan situasi dan kondisi, demi hukum, keadilan dan kebenaran (Butir
4 Makehja – I tanggal 7 April 1983 dan butir 19 Keputusan Menteri
Kehakiman Republik Indonesia No : M.14-PW.07.03 Tahun 1983 tanggal
10 Desember 1983 tentang Tambahan Pedoman Pelaksanaan Kitab Undang-
Undang Hukum Acara Pidana.
 Melakukan pemeriksa apabila terdapat indikasi kuat telah terjadi
penyelewengan dan penyimpangan atau peyalahgunaan yang dilakukan
oleh Pejabat/Pegawai/Kepala Desa dan Perangkatnya dalam jalan
Departemen Dalam Negeri yang diduga sebagai tindak pidana khusus
seperti korupsi, penyelundupan dan subversi setelah terlebih dahulu
memberitahukan kepada Pejabat yang berwenang (Instruksi bersama
Mendagri dan Jaksa Agung RI No. 11 Tahun 1989, No: INS-007/JA/3/1989
tentang Pelaksanaan Pemanggilan, Pemeriksaan, Penangkapan/Penahanan
Pejabat/Pegawai Pemerintah Wilayah/Daerah Dalam Jajaran Departemen
Dalam Negeri RI).
 Melakukan penyelidikan dan/atau penyidikan atas hasil temuan BPKP
dalam melaksanakan tugas pengawasannya menemukan kasus yang
berindikasi korupsi (Juklak Bersama Jaksa Agung RI No.: JUKLAK-
001/JA/2/1989, No. Kep-145/k/1989 tentang Upaya Memantapkan Keja
sama Kejaksaan dan BPKP dalam Penanganan Kasus yang Beindikasi
Korupsi).

Sedangkan selaku lembaga yang menjalankan “fungsi” penuntutan,


berdasarkan ketentuan Pasal 14 KUHAP, Pasal 30 ayat (1) huruf a UU No. 16
Tahun 2004 Penuntutan Umum mempunyai tugas dan kewenangan dalam
proses pidana sebagai berikut :

 Menerima dan memeriksa berkas perkara penyidikan dari penyidik atau


penyidik pembantu;
 Mengadakan prapenuntutan apabila ada kekurangan pada penyidikan
dengan memperhatikan ketentuan Pasal 110 ayat (3) dan (4), dengan
memberi petunjuk dalam rangka peneyempurnaan penyidikan dari
penyidik;
 Memberikan perpanjangan penahanan, melakukan penahanan atau
penahanan lanjutan dana tau mengubah status tahanan setelah perkaranya
dilimpahkan ke pengadilan;
 Membuat surat dakwaan;
 Melimpahkan perkara ke pengadilan;
 Menyampaikan pemberitahuan kepada terdakwa tentang ketentuan hari dan
waktu perkara disidangkan disertai surat panggilan, baik kepada terdakwa
maupun kepada saksi, untuk datang pada siding yang telah ditentukan;
 Melakukan penuntutan
 Menutup perkara demi kepentingan hukum
 Mengadakan tindakan lain dalam lingkup tugas dan tanggung jawab sebagai
penuntut umum menurut ketentuan undang-undang ini; dan
 Melaksanakan penetapan hakim

2. Syarat Formal dan Material dalam Melakukan Penuntutan

Secara global dan representative bahwasanya tentang syarat formal dan material
dalam melakukan penuntutan berkorelatif dengan kelengkapan berkas perkara hasil
penyidikan yang dilakukan oleh penyidik. Berdasarkan Surat Edaran Jaksa Agung
Muda Tindak Pidana Umum Nomor: B 401/E/9/93 tanggal 8 September 1993,
penelitian berkas perkara tahap pertama difokuskan kepada:

A. Kelengkapan formal, yakni meliputi segala sesuatu yang berhubungan


dengan formalitas/persyaratan, tata cara penyidikan yang harus dilengkapi
dengan Surat Perintah, Berita Acara, Izin/Persetujuan Ketua Pengadilan. Di
samping penelitian kuantitas kelengkapan syarat formal, perlu diteliti pula
segi kualitas kelengkapan tersebut, yakni keabsahannya sesuai ketentuan
Undang-Undang.
B. Kelengkapan materiel, yakni kelengkapan informasi, data, fakta dan alat
bukti yang diperlukan bagi kepentingan pembuktian. Kriteria yang dapat
digunakan sebagai tolok ukur kelengkapan materiel antara lain:
 Apa yang terjadi (tindak pidana beserta kualifikasi dan pasal yang
dilanggar)
 Siapa pelaku, siapa-siapa yang melihat, mendengar, mengalami
peristiwa itu (tersangka, saksi-saksi/ahli)
 Bagaimana perbuatan itu dilakukan (modus operansi)
 Dimana perbuatan dilakukan (locus delicti)
 Bilamana perbuatan dilakukan (tempus delicti)
 Akibat apa yang ditimbulkannya (ditinjau secara viktimologis)

Kemudian dalam Instruksi Jaksa Agung RI No.: INS-006/JA/4/1995


tanggal 24 April 1995 kelengkapan materiel ini diformulasikan dengan:

 Adanya fakta perbuatan yang memenuhi unsur-unsur sebagaimana


dirumuskan dalam pasal pidana yang bersangkutan.
 Adanya fakta kesalahan tersangka baik kesengajaan maupun
kealpaan.
 Adanya alat-alat bukti yang tersedia, paling tidak harus memenuhi
minimum pembuktian (alat bukti) yang sah.
 Alat bukti yang tersedia harus diteliti mengenai keabsahan dan
kekuatan alat bukti.
 Hubungan timbal balik/korelasi antara alat bukti dengan perbuatan
dan kesalahan tersangka,
 Kejelasan tentang peran pelaku dalam melakukan tindak pidana
tersebut (modus operandi).

D. Penasihat Hukum/Advokat

Terminologi “Penasihat Hukum” merupakan terminologi yang diintrodusir oleh


KUHAP. Dengan demikian, semenjak tanggal 31 Desember 1983, sebutan resmi dalam
persidangan pidana bagi pengacara, advokat, pokrol, adalah Penasihat Hukum. Istilah
“Penasihat Hukum” dalam ketentuan Bab VII tentang Bantuan Hukum Pasal 37 sampai
dengan Pasal 40 UU No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman. Kemudian,
deangan adanya Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat, berdasarkan
ketentuan Bab 1 Pasal 1 angka 1, Advokat adalah orang yang berprofesi memberi jasa
hukum, baik di dalam maupun di luar pengadilan yang memenuhi persyaratan berdasarkan
ketentuan Undang-Undang. Berdasarkan ketentuan Pasal 22 ayat (1) UU No. 18 Tahun
2003, Advokat wajb memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma kepada pencari
keadilan yang tidak mampu. Untuk mendapatkan bantuan hukum secara Cuma-Cuma,
terdakwa itu harus membuktikan dirinya tidak mampu berdasarkan surat keterangan dari
Pamong Praja.

Adapun hak-hak tersebut yang bersifat fundamental dapatlah disebut antara lain berupa:

 Penasihat Hukum/Advokat berhak menghubungi tersangka sejak saat ditangkap


atau ditahan pada semua tingkat pemeriksaan menurut tata cara yang ditentukan
undang-undang (Pasal 69).
 Penasihat Hukum/Advokat berhak menghubungi dan berbicara dengan
tersangka pada setiap tingkat pemeriksaan dan setiap waktu untuk kepentingan
pembelaannya (Pasal 70 ayat (1)).
 Penasihat Hukum/Advokat tersangka dapat meminta turunan Berita Acara
Pemeriksaan untuk kepentingan pembelaannya (Pasal 72).
 Penasihat Hukum/Advokat berhak menerima dan mengirim surat kepada
tersangka (Pasal 73).

E. Hakim (Majelis/Tunggal)

Sebagai salah satu pilar untuk menegakkan hukum dan keadilan, hakim mempunyai
peranan menentukan sehingga kedudukannya dijamin undang-undang. Untuk para hakim
dalam penanganan perkara hendaknya dapat bertindak aktif, dan bijaksana, ketangguhan
mentalitas, menjunjung tinggi nilai keadilan dan kebenaran materiel, bersifat aktif dan
dinamis, berlandaskan kepada perangkat hukum positif, melakukan penalaran logis sesuai
dan selaras dengan teori dan praktik.
Purwanto S. Gandasubrata mengemukakan kerangka landasan berpikir/dimana pada
hakikatnya hakim, hendaknya:

Harus

Tersangka Tangguh / tanggon

a. Ketanggapan ilmu (teori) Bersifat/sikap moral/


b. Keterampilan teknis (praktik) etnik yang sesuai

Sarjana Sujana-susila

P-4 (Ekaprasetia Pancakarsa) Pancasila

Menguasai/mumpuni Panca Dharma—Sapta Prasetia


i. Ilmu hukum Hakim
ii. Hukum acara

Karya Hakim yang tepat/maton: Socrates:

4 way test ______ Putusan, Penetapan 4 Commandement


Mengenai tugas dan kewenangan hakim dalam kapasitasnya ketika sedang menangani perkara
mempunyai wewenang antara lain sebagai berikut:

 Untuk kepentingan pemeriksaan hakim di sidang pengadilan dengan penetapannya


berwenang melakukan penahanan (Pasal 20 ayat (3), Pasa; 26 ayat (1) KUHAP).
 Memberikan penangguhan penahanan dengan atau tanpa jaminan uang atau jaminan
orang, berdasarkan syarat yang ditentukan (Pasal 31 ayat (1) KUHAP).
 Menjaga agar terdakwa dapat memberi keterangan secara bebas di depan persidangan
(Pasal 52 KUHAP).
 Memberikan “Penetapan” agar terdakwa dapat didampingi Penasihat Hukum/Advokat
secara Cuma-Cuma/prodeo ketika diperiksa di depan persidangan (Pasal 56 KUHAP).
 Dll.

Polarasi pemikiran para hakim sebagai pemegang kebijakan aplikatif haruslah melalui anasir
sebagai berikut:

 Pengadilan Negeri bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan


perkara pidana dan perdata di tingkat pertama dan Pengadilan tidak boleh menolak
untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih
bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan
mengadilinya serta dalam melaksanakan tugas “mengadili” tersebut, dilaksanakan oleh
Hakim sebagai pejabat yang melakukan tugas kekuasaan kehakiman (Pasal 12 ayat (1),
Pasal 50 UU No. 4 Tahun 2004).
 Bahwa dalam ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) secara
tegas menentukan secara limitative Hakim Ketua sidang yang memimpin jalannya
persidangan dan kewenangan yang diberikan undang-undang tersebut sifatnya mutlak
dan dimensi ini dapat dilihat dan ditentukan dengan redaksional, “Hakim ketua sidang
memimpin pemeriksaan di sidang pengadilan yang dilakukan secara lisan dalam
Bahasa Indonesia yang dimengerti oleh terdakwa dan saksi”, kemudian “Hakim ketua
sidang dapat menentukan bahwa anak yang belum mencapai umur tujuh belas tahun
tidak diperkenankan menghadiri sidang,” serta “Hakim ketua sidang memimpin
pemeriksaan dan memelihara tata tertib di persidangan,” (Pasal 153 ayat (2) huruf a,
ayat (5), KUHAP, Pasal 217 ayat (1) KUHAP), berikutnya bahwa “Hakim ketua sidang
memerintahkan supaya terdakwa dipanggil masuk dan jika ia dalam tahanan, ia
dihadapkan dalam keadaan bebas”, kemudian “Hakim ketua sidang memerintahkan
agar terdakwa yang tidak hadir tanpa alasan yang sah setelah dipanggil secara sah
kedua kalinya dihadirkan dengan paksa pada sidang berikutnya,” (Pasal 154 ayat (1),
(6) KUHAP).
 Dari dimensi sebagaimana ketentuan pasal-pasal KUHAP sesuai konteks diatas,
kebijakan formulatif mempergunakan terminologi yang berbeda yaitu Hakim Ketua
Sidang, Hakim Ketua Majelis dan Hakim.
 Dari dimensi sebagaimana diuraikan diatas, ketentuan dalam KUHAP tidak mengenal
mekanisme pengambilan secara “voting” atau dengan ”suara terbanyak” dalam
mengambil tindakan ketika proses persidangan berjalan, misalnya dengan menentukan
perlu tidaknya kehadiran seorang saksi.

Anda mungkin juga menyukai