Oleh :
Pembimbing :
dr. Amiruddin Eso, M.Kes
FAKULTAS KEDOKTERAN
KENDARI
2020
DIABETES MELITUS TIPE 2
1. Pendahuluan
Diabetes melitus tipe 2 merupakan penyakit yang heterogen, di mana
banyak faktor yang berpengaruh. Penyakit ini ditandai dengaan adanya gangguan
metabolik yaitu gangguan fungsi sel beta dan resistensi insulin di jaringan perifer
seperti jaringan otot dan jaringan lemak, dan juga resistensi insulin di hati. Hal ini
mengakibatkan terjadinya hiperglikemia kronik dan dalam jangka panjangnya,
dapat terjadi komplikasi yang serius. Secara keseluruhan gangguan ini bersifat
merusak terhadap diri sendiri dan memburuk secara progresif dengan berjalannya
waktu. Resistensi insulin dianggap sebagai salah satu mekanisme yang mendasari
terjadinya diabetes melitus tipe 2. Resistensi insulin secara dramatis mengganggu
ambilan glukosa di jaringan perifer dan mengakibatkan produksi glukosa yang
berlebihan oleh hati. Hal ini berpengaruh pada terjadinya hiperglikemia pada
penderita diabetes melitus tipe 2. Keadaan awal dari diabetes melitus tipe 2 yaitu
terjadinya resistensi insulin dan hiperinsulinemia, tetapi tidak terjadi
hiperglikemia. Namun dengan berjalannya waktu, mekanisme kompensasi ini
tidak lagi dapat menahan progresifitas penyakit ini, sehingga terjadi diabetes
melitus tipe 2.1
Diabetes melitus tipe 2 merupakan golongan diabetes dengan prevalensi
tertinggi. Hal ini disebabkan karena berbagai faktor diantaranya faktor lingkungan
dan faktor keturunan. Faktor lingkungan disebabkan karena adanya urbanisasi
sehingga mengubah gaya hidup seseorang yang mulanya konsumsi makanan yang
sehat dan bergizi dari alam menjadi konsumsi makanan yang cepat saji. Makanan
cepat saji berisiko menimbulkan obesitas sehingga seseorang berisiko DM tipe 2.
Orang dengan obesitas memiliki risiko 4 kali lebih besar mengalami DM tipe 2
daripada orang dengan status gizi normal.2
Menurut National Diabetes Fact Sheet 2014, total prevalensi diabetes di
Amerika tahun 2012 adalah 29,1 juta jiwa (9,3%). Dari data tersebut 21 juta
merupakan diabetes yang terdiagnosis dan 8,1 juta jiwa atau 27,8% termasuk
kategori diabetes melitus tidak terdiagnosis. International Diabetes Federation
(IDF) tahun 2012 menyatakan bahwa prevalensi diabetes melitus di Indonesia
sekitar 4,8% dan lebih dari setengah kasus DM (58,8%) adalah diabetes melitus
tidak terdiagnosis. IDF juga menyatakan bahwa sekitar 382 juta penduduk dunia
menderita diabetes melitus pada tahun 2013 dengan kategori diabetes melitus
tidak terdiagnosis adalah 46%, diperkirakan prevalensinya akan terus meningkat
dan mencapai 592 juta jiwa pada tahun 2035.3
2. Definisi
Diabetes melitus merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan
karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja
insulin, atau kedua-duanya. Hiperglikemia kronik pada diabetes berhubungan
dengan kerusakan jangka panjang, disfungsi atau kegagalan beberapa organ
tubuh, terutama mata, ginjal, saraf, jantung dan pembuluh darah.4
3. Epidemiologi
Estimasi International Diabetes federation (IDF), terdapat 382 juta orang
yang hidup dengan diabetes didunia pada tahun 2013. Pada tahun 2035 jumlah
tersebut diperkirakan akan meningkat menjadi 592 juta orang. Diperkirakan dari
382 juta orang tersebut, 175 juta di antaranya belum terdiagnosis, sehingga
terancam berkembang progresif menjadi komplikasi tanpa disadari dan tanpa
pencegahan.5
Data dari berbagai studi global menyebutkan bahwa penyakit DM adalah
masalah kesehatan yang besar. Hal ini dikarenakan adanya peningkatan jumlah
penderita diabetes dari tahun ke tahun. Pada tahun 2015 menyebutkan sekitar 415
juta orang dewasa memiliki diabetes, kenaikan 4 kali lipat dari 108 juta di tahun
1980an. Apabila tidak ada tindakan pencegahan maka jumlah ini akan terus
meningkat tanpa ada penurunan. Diperkirakan pada tahun 2040 meningkat
menjadi 642 juta penderita.2
Menurut Riskesdas 2013 bahwa jumlah absolut penderita diabetes melitus
di Indonesia adalah sekitar 12 juta, TGT sekitar 15 juta dan GDP terganggu
sekitar 64 juta. Pada tahun 2013 jumlah DM di Indonesia dengan usia diatas 15
tahun sebesar 6,9%. Proporsi penderita diabetes melitus dan TGT lebih tinggi
pada wanita, sedangkan GDP terganggu lebih tinggi pada laki-laki. Berdasarkan
tingkat pendidikan proporsi penderita diabetes melitus, TGT dan GDP terganggu
cenderung lebih tinggi pada kelompok dengan pendidikan lebih rendah.5
4. Etiologi
Pada pasien-pasien dengan diabetes melitus tipe 2, penyakitnya
mempunyai pola familial yang kuat. Risiko berkembangnya diabetes tipe 2 pada
saudara kandung mendekati 40% dan 33% untuk anak cucunya. Jika orang tua
menderita diabetes melitus tipe 2, rasio diabetes dan nondiabetes pada anak adalah
1:1, dan sekitar 90% pasti pembawa (carrier) diabetes tipe 2. Diabetes tipe 2
ditandai dengan kelainan sekresi insulin, serta kerja insulin. Pada awalnya tampak
terdapat resistensi dari sel-sel sasaran terhadap kerja insulin. Insulin mula-mula
mengikat dirinya kepada reseptor-reseptor permukaan sel tertentu, kemudian
terjadi reaksi intraselular yang menyebabkan mobilisasi pembawa GLUT 4
glukosa dan meningkatkan transpor glukosa menembus membran sel. Pada
pasien-pasien dengan diabetes tipe 2 terdapat kelainan dalam pengikatan insulin
dengan reseptor. Kelainan ini dapat disebabkan oleh berkurangnya jumlah tempat
reseptor pada membran sel yang selnya responsif terhadap insulin atau akibat
ketidaknormalan reseptor insulin intrinsik. Akibatnya, terjadi penggabungan
abnormal antara kompleks reseptor insulin dengan sistem transpor glukosa.
Ketidaknormalan postreseptor dapat menggangu kerja insulin. Pada akhirnya,
timbul kegagalan sel beta dengan menurunnya jumlah insulin yang beredar.
Sekitar 80% pasien diabetes tipe 2 mengalami obesitas. Karena obesitas berkaitan
resistensi insulin, maka kelihatannya akan timbul kegagalan toleransi glukosa
yang menyebabkan diabetes melitus tipe 2. Pengurangan berat badan sering kali
dikaitkan dengan perbaikan dalam sensitivitas insulin dan pemulihan toleransi
glukosa. 6
5. Patofisiologi
Resistensi insulin pada otot dan liver serta kegagalan sel beta pankreas
telah dikenal sebagai patofisiologi kerusakan sentral dari DM tipe-2. Selain
otot, liver dan sel beta, organ lain seperti: jaringan lemak (meningkatnya
lipolisis), gastrointestinal (defisiensi incretin), sel alpha pancreas
(hiperglukagonemia), ginjal (peningkatan absorpsi glukosa), dan otak (resistensi
insulin), kesemuanya ikut berperan dalam menimbulkan terjadinya gangguan
toleransi glukosa pada DM tipe-2.7
Secara garis besar patogenesis DM tipe-2 disebabkan oleh delapan hal
(omnious octet) berikut :
≥23 kg/m2) yang disertai dengan satu atau lebih faktor risiko
sebagai berikut:
a) Aktivitas fisik yang kurang.
b) First-degree relative DM (terdapat faktor keturunan DM
dalam keluarga).
c) Kelompok ras/etnis tertentu.
d) Perempuan yang memiliki riwayat melahirkan bayi dengan
BBL >4 kg atau mempunyai riwayat diabetes melitus
gestasional (DMG).
e) Hipertensi (≥140/90 mmHg atau sedang mendapat terapi
untuk hipertensi).
f) HDL <35 mg/dL dan atau trigliserida >250 mg/dL.
g) Wanita dengan sindrom polikistik ovarium.
h) Riwayat prediabetes.
i) Obesitas berat, akantosis nigrikans.
j) Riwayat penyakit kardiovaskular.
2) Usia >45 tahun tanpa faktor risiko di atas.
Catatan: Kelompok risiko tinggi dengan hasil pemeriksaan glukosa
plasma normal sebaiknya diulang setiap 3 tahun , kecuali pada
kelompok prediabetes pemeriksaan diulang tiap 1 tahun.
Pemeriksaan penyaring dapat dilakukan melalui pemeriksaan kadar
glukosa darah sewaktu atau kadar glukosa darah puasa.4
Tabel 1. Kadar glukosa darah sewaktu dan puasa sebagai patokan
penyaring dan diagnosis DM (mg/dl)
Bukan DM Belum pasti DM
DM
Kadar glukosa darah Plasma <100 100-199 ≥200
sewaktu (mg/dl) vena
Darah <90 90-199 ≥200
kapiler
Kadar glukosa darah Plasma <100 100-125 ≥126
puasa (mg/dl) vena
Darah <90 90-99 ≥100
kapiler
c. Kuratif
a) Terapi Nutrisi Medis (TNM)
Komposisi makanan yang dianjurkan bagi penyandang DM terdiri
dari
a) Karbohidrat
Karbohidrat yang dianjurkan sebesar 45-65% total asupan energi.
Terutama karbohidrat yang berserat tinggi
Pembatasan karbohidrat total <130 g/hari tidak dianjurkan
Gula dalam bumbu diperbolehkan sehingga penyandang diabetes
dapat makan sama denagan makanan keluarga yang lain
Sukrosa tidak boleh lebih dari 5% total asupan energi
Pemanis alternatif dapat digunakan sebagai pengganti gula, asal
tidak melebihi batas aman konsumsi harian
Dianjurkan makan tiga kali sehari dan bila perlu dapat diberikan
makanan selingan seperti buah atau maknan lain sebagai bagian
dari kebutuhan kalori sehari
b) Lemak
Asupan lemak dianjurkan sekitar 20-25% kebutuhan kalori dan
tidak diperkenankan melebihi 30% total asupan energi
Komposisi yang dianjurkan : lemak jenuh < 7% kebutuhan kalori,
lemak tidak jenuh ganda <10%, dan selebihnya dari lemak tidak
jenuh tunggal
Bahan makanan yang perlu dibatasi adalah yang banyak
mengandung lemak jenuh dan lemak trans antara lain: daging
berlemak dan susu fullcream
Konsumsi kolesterol dianjurkan <200 mg/hari
c) Protein
Kebutuhan protein sebesar 10-20% total asupan energi
Sumber protein yang baik adalah ikan, udang, cumi, daging tanpa
lemak, ayam tanpa kulit, produk susu rendah lemak, kacang-
kacangan, tahu dan tempe
Pada pasien dengan nefropati diabetik perlu penurunan asupan
protein menjadi 0,8 g/kg BB perhai atau 10% dari kebutuhan
energi
d) Natrium
Anjuran asupan natrium untuk penyandang DM sama dengan
orang sehat yaitu <2300 mg perhari
Penyandang DM yang juga menderita hipertensi perlu dilakukan
pengurangan natrium secara individual
Sumber natrium antara lain garam dapur, vetsin, soda dan bahan
pengawet seperti natrium benzoat dan natrium nitrit
e) Serat
Penyandang DM dianjurkan mengkonsumsi serta dari kacang-
kacangan, buah dan sayuran serta sumber karbohidrat yang tinggi
serat
Anjuran konsumsi serat adalah 20-35 g/hari yang berasal dari
berbagai sumber bahan makanan
f) Pemanis Alternatif
Pemanis alternatif aman digunakan sepanjang tidak melebihi
batas aman
Fruktosa tidak dianjurkan digunakan pada penyandang DM
karena dapat meningkatkan kadar LDL, namun tidak ada alasan
menghindari makanan seperti buah dan sayuran yang
mengandung fruktosa alami.
g) Jasmani
Kegiatan jasmani sehari-hari dan latihan jasmani dilakukan
secara teratur sebanyak 3-5 kali perminggu selama sekitar 30-45
menit, dengan total 150 menit perminggu. Jeda natar latihan tidak
lebih dari 2 hari berturut-turut. Dianjurkan untuk melakukan
pemeriksaan glukosa darah sebelum latihan jasmani. Apabila kadar
glukosa darah <100 mg/dL pasien harus mengkonsumsi karbohidrat
terlebih dahulu dan bila >250 mg/dL dianjurkan untuk menunda
latihan jasmani.7
b) Terapi Farmakologis
a) Obat anti hiperglikemi Oral
Berdasarkan cara kerjanya obat antihiperglikemia oral dibagi
menjadi 5 golongan :
a. Pemacu sekresi insulin (Insulin Secretagogue)
Sulfonilurea
Mempunyai efek utama meningkatkan sekresi insulin oleh
sel beta pankreas. Efek samping utama adalah hipoglikemia
dan peningkatan berat badan. Hati-hati menggunakan
sulfonilurea pada pasien dengan risiko tinggi hipoglikemia
(orang tua, gangguan faal hati, dan ginjal).7
Glinid
Obat yang cara kerjanya sama dengan sulfonilurea, dengan
penekanan pada peningkatan sekresi insulin fase pertama.
Golongan ini terdiri dari 2 macam obat yaitu Repaglinid
(derivat asam benzoat) dan Nateglinid (derivat fenilalanin).
Obat ini diabsorpsi dengan cepat setelah pemberian secara
oral dan diekskresi secara cepat melalui hati. Obat ini dapat
mengatasi hiperglikemia post prandial. Efek samping yang
mungkin terjadi adalah hipoglikemia.7
b. Peningkat sensitivitas terhadap insulin
Metformin
Metformin mempunyai efek utama mengurangi produksi
glukosa hati (glukoneogenesis), dan memperbaiki ambilan
glukosa dijaringan perifer. Metformin merupakan pilihan
pertama pada sebagian besar kasur DMT2. Dosis
metformin diturunkan pada pasien dengan gangguan fungsi
hati. Metformin tidak boleh diberikan pada beberapa
keadaan seperti : adanya gangguan hati berat serta pasien-
pasien dengan kecenderungan hipoksemia (misalnya
penyakit cerebrovaskular, sepsis, renjatan, PPOK, gagal
jantung (NHYA FC III-IV). Efek samping berupa gangguan
saluran pencernaan seperti halnya gejala dyspepsia.7
Tiazolidindion (TZD)
Mempunyai efek menurunkan resistensi insulin dengan
meningkatkan jumlah protein pengangkut glukosa,
sehingga meningkatkan ambilan glukosa dijaringan perifer.
Tiazolidindion meningkatkan retensi cairan tubuh sehingga
dikontraindikasikan pada pasien dengan gagal jantung
(NHYA FC III-IV) karena dapat memperberat
edema/retensi cairan. Hati-hati pada gangguan faal hati, dan
bila diberikan perlu pemantauan faal hati secara berkala.7
c. Penghambat absorpsi glukosa di saluran pencernaan
Penghambat Glukosidase Alfa
Obat ini bekerja dengan memperlambat absorbs glukosa
dalam usus halus, sehingga mempunyai efek menurunkan
kadar glukosa darah sesudah makan. Efek samping yang
mungkin terjadi berupa bloating (penumpukan gas dalam
usus) sehingga sering menimbulkan flatus. Guna
mengurangi efek samping pada awalnya diberikan dengan
dosis kecil. Contoh obat golongan ini adalah Acarbose.7
Penghambat DPP-IV (Dipeptidyl Peptidase-IV)
Obat ini menghambat kerja enzim DPP-IV sehingga GLP-1
(Glukose Like Peptide-1) tetap dalam konsentrasi yang
tinggi dalam bentuk aktif. Aktivitas GLP-1 untuk
meningkatkan sekresi insulin dan menekan sekresi
glucagon bergantung kadar glukosa darah. Contoh obat
golongan ini adalah Sitagliptin dan Linagliptin.7
Penghambat SGLT-2 (Sodium Glucose Co-transporter 2)
Merupakan obat anti diabetes oral jenis baru yang
menghambat penyerapan kembali glukosa di tubuli distal
ginjal dengan cara menghambat kinerja transporter glukosa
SGLT-2. Obat yang termasuk golongan ini yaitu
Canagliflozin, Empagliflozin, Dapagliflozin, Ipragliflozin.7
b) Obat Anti Hiperglikemi Suntik
a. Insulin
Insulin diperlukan pada keadaan :
HbA1c > 9% dengan kondisi dekompensasi metabolic
Penurunan berat badan yang cepat
Hiperglikemia berat yang disertai ketosis
Krisis hiperglikemia
Stress berat (infeksi sistemik, operasi besar, infark miokard
akut, stroke)
Kehamilan dengan DM/Diabetes mellitus gestasional yang
tidak terkendali dengan perencanaan makan
Gangguan fungsi ginjal atau hati yang berat
Gagal dengan kombinasi OHO dosis optimal
Kontraindikasi dan atau alergi terhadap OHO
Kondisi perioperatif sesuai dengan indikasi
Efek samping terapi insulin :
Efek samping utama adalah terjadinya hipoglikemia
Reaksi alergi terhadap insulin
b. Agonis GLP-1/Increatin Mimetik
Obat ini dapat bekerja pada sel beta sehingga terjadi
peningkatan pelepasan insulin, mempunyai efek menurunkan
berat badan, menghabat pelepasan glucagon, dan menghambat
nafsu makan. Dapat digunakan pada pasien DM dengan
obesitas. Efek samping yang timbul pada obat ini adalah rasa
sebah dan muntah. Obat yang termasuk golongan ini adalah
Liraglutide, Exenatide, Albiglutide dan
Lixisenatide.Liraglutide telah beredar di Indonesia sejak April
2015, tiapberisi 18 mg dalam 3 ml. Dosis awal 0,6 mg perhari
yang dapat dinaikkan ke 1,2 mg setelah satu minggu untuk
mendapatkan efek glikemik yang diharapkan. Dosis bias
dinaikkan sampai dengan 1,8 mg. dosis harian lebih dari 1,8
mg tidak direkomendasikan.7
c) Terapi Kombinasi
Pemberian obat antihiperglikemia oral maupun insulin
selalu dimulai dengan dosis rendah, untuk kemudian dinaikkan
secara bertahap sesuai dengan respon kadar glukosa darah. Terapi
kombinasi obat antihiperglikemia oral, baik secara terpisah
ataupun fixed dose combination, harus menggunakan dua macam
obat dengan mekanisme kerja yang berbeda. Pada keadaan
tertentu apabila sasaran kadar glukosa darah yang belum dicapai
dengan kombinasi dua macam obat, dapat diberikan kombinasi
dua obat antihiperglikemia dengan insulin. Pada pasien yang
disertai dengan alasan klinis dimana insulin tidak memungkinkan
untuk dipakai, terapi dengan kombinasi tiga obat
antihiperglikemia oral.7
Kombinasi obat antihiperglikemia oral dengan insulin
dimulai dengan pemberian insulin basal (insulin kerja menengah
atau insulin kerja panjang). Insulin kerja menengah harus
diberikan jam 10 malam menjelang tidur, sedangkan insulin kerja
panjang dapat diberikan sejak sore sampai sebelum tidur.
Pendekatan terapi tersebut pada umumnya dapat mencapai
kendali glukosa darah yang baikdengan dosis insulin yang cukup
kecil. Dosis awal insulin basal untuk kombinasi adalah 6-10 unit.
Kemudian dilakukan evaluasi dengan mengukur kadar glukosa
darah puasa keesokan harinya. Dosis insulin dinaikkan secara
perlahan (pada umumnya 2 unit) apabila kadar glukosa darah
belum mencapai target. Pada keadaan dimana kadar glukosa
darah sepanjang hari masih tidak terkendali meskipun sudah
mendapat insulin basal, maka perlu diberikan terapi kombinasi
insulin basal dan prandial, dan pemberian obat antiglikemia oral
dihentikan dengan hati-hati.7
10. Komplikasi
DM tipe 2 yang tidak ditangani dengan baik akan menimbulkan berbagai
komplikasi yaitu komplikasi akut dan komplikasi kronik. Komplikasi kronis DM
tipe 2 dapat berupa komplikasi mikrovaskular dan makrovaskular yang dapat
menurunkan kualitas hidup penderita. Penyebab utama kematian penyandang DM
tipe 2 adalah komplikasi makrovaskular. Komplikasi makrovaskular melibatkan
pembuluh darah besar yaitu pembuluh darah koroner, pembuluh darah otak dan
pembuluh darah perifer. Mikrovaskular merupakan lesi spesifik diabetes yang
menyerang kapiler dan arteriola retina (retinopati diabetik), glomerulus ginjal
(nefropati diabetik) dan saraf-saraf perifer (neuropati diabetik).10
Komplikasi diabetes melitus dapat dibagi menjadi dua kategori yaitu
komplikasi metabolik akut dan komplikasi vaskular jangka panjang.
a. Komplikasi metabolik akut
Hiperglikemia, hiperosmolar, koma nonketotik (HHNK) adalah
komplikasi metabolik akut dari penderita diabetes melitus tipe 2 yang lebih
tua. Bukan karena defisiensi insulin absolut, namun relatif, hiperglikemia
muncul tanpa ketosis. Hiperglikemi berat dengan kadar glukosa serum lebih
besar dari 600mg/dl. Hiperglikemia meyebabkan hiperosmolalitas, diuresis
osmotik, dan dehidras berat. Pasien dapat menjadi tidak sadar dan meninggal
bila keadaan ini tidak segera ditangani. Pengobatan HHNK adalah rehidrasi,
penggantian elektrolit, dan insulin regular.6
Komplikasi metabolik lain adalah hipoglikemia. Pasien diabetes
dependen insulin mungkin suatu saat menerima insulin yang jumlahnya lebih
banyak daripada yang dibutuhkannya untuk mempertahankan kadar glukosa
normal yang mengakibatkan terjadi hipoglikemi. Gejala-gejala hipoglikemi
disebabkan oleh pelepasan epinefrin (berkeringat, gemetar, sakit kepala, dan
palpitasi), juga akibat kekurangan glukosa dalam otak (tingkah laku yang
aneh, sensorium yang tumpul, dan koma).6
b. Komplikasi kronik jangka panjang
Komplikasi vaskular jangka panjang dari diabetes melibatkan
pembuluh-pembuluh kecil (mikroangiopati) dan pembuluh-pembuluh sedang
dan besar (makroangiopati). Mikroangiopati merupakan lesi spesifik diabetes
yang menyerang kapiler dan arteriola retina (retinopati diabetik), glomerulus
ginjal (nefropati diabetik) dan saraf-saraf perifer (neuropati diabetik), otot-
otot serta kulit.6
Ada kaitan yang kuat anatar hiperglikemia dengan insiden dan
berkembangnya retinopati. Manifestasi dini retinopati berupa mikroaneurisma
dari arteriola retina. Akibatnya terjadi perdarahan, neovaskularisasi dan
jaringan parut retina dapat mengakibatkan kebutaan. Manifestasi dini
nefropati diabetik berupa protenuria dan hipertensi. Jika hilangnya fungsi
nefron terus berlanjut, pasien akan menderita insufisiensi ginjal dan uremia.
Nefropati dan katarak disebabkan oleh gangguan jalur poliol (glukosa-
sorbitol-fruktosa) akibat kekurangan insulin. Terdapat penimbunan sorbitol
dalam lensa sehingga mengakibatkan pembentukan katarak dan kebutaan.
Pada jaringan saraf, terjadi penimbunan sorbitol dan fruktosan serta
penurunan kadar mioinositol yang menimbulkan neuropati. Perubahan
biokimia dalam jaringan saraf akan mengganggu kegiatan metabolik sel-sel
Schwann dan meyebabkan hilangnya akson. Kecepatan konduksi motorik
akan berkurang pada tahap dini perjalanan neuropati. Selanjutnya timbul
nyeri, parestesi, berkurangnya sensasi getar dan proprioseptik, dan gangguan
motorik yang disertai hilangnya refleks-refleks tendon dalam, kelemahan otot
dan atrofi. Neuropati dapat menyerang saraf-saraf perifer, saraf-saraf kranial
atau sistem saraf otonom. Pasien dengan neuropati otonom diabetik dapat
menderita infark miokardial akut tanpa nyeri. Pasien ini dapat kehilangan
respons katekolamin terhadap hipoglikemia dan tidak menyadari reaksi-reaksi
hipoglikemia.6
Makroangiopati diabetik mempunyai gambaran histopatologis berupa
aterosklerosis. Gabungan dari gangguan biokimia yang disebabkan oleh
insufisiensi insulin dapat menjadi penyebab jenin penyakit vaskular ini.
Gangguan-gangguan ini berupa : (1) penimbunan sorbitol dalam intima
vaskular, (2) hiperlipoproteinemia, dan (3) kelainan pembekuan darah. Pada
akhirnya kelainan makroangiopati diabetik ini akan mengakibatkan
penyumbatan vaskular. Jika mengenai arteri-arteri perifer, maka dapat
mengakibatkan insufisiensi vaskular perifer yang disertai klaudikasio
intermiten dan gangren pada ekstremitas serta insufisiensi sebral dan stroke.
Jika yang terkena adalah arteri koronaria dan aorta maka dapat
mengakibatkan angina dan infark miokardium.6
Daftar Pustaka
1. Tjandrawinata, R.R. 2016. Patogenesis Diabetes Tipe 2 : Resistensi
Defisiensi Insulin. Dexa Laboratories of Biomolecular Sciences (DLBS).
Dexa Medica Group
2. Lathifah, N.L. 2017. Hubungan Durasi Penyakit Dan Kadar Gula Darah
Dengan Keluhan Subyektif Penderita Diabetes Melitus. Jurnal Berkala
Epidemiologi 5(2) : 232
3. Artanti,P., Masdar,H., Rosdiana,D. 2015. Angka Kejadian Diabetes Melitus
Tidak Terdiagnosis pada Masyarakat Kota Pekanbaru. Jurnal FK 2(2) : 1
4. Setiati,S dkk. 2014. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid VI. Jakarta.
Interna Publishing
5. Pusat Data dan Informasi Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. 2014.
6. Price,S.A., Wilson,L.M. 2005. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses
Penyakit. Jakarta. EGC.
7. Perkeni Perkumpulan Endokrinologi Indonesia. 2015. Konsensus
Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2 di Indonesia.
8. Fatimah,R.N. 2015. Diabetes mellitus Tipe 2. Jurnal Majority 4(5) : 95-96
9. Putri,R.I. 2015. Faktor Determinan Nefropati Diabetik Pada Penderita
Diabetes Mellitus Di Rsud Dr. M. Soewandhie Surabaya. Jurnal Berkala
Epidemiologi 3(1) : 110
10. Edwina,D.A., Manaf,A., Efrida. 2015. Pola Komplikasi Kronis Penderita
Diabetes Melitus Tipe 2 Rawat Inap di Bagian Penyakit Dalam RS. Dr. M.
Djamil Padang Januari 2011 - Desember 2012. Jurnal Kesehatan Andalas
4(1) : 103