Anda di halaman 1dari 11

Research Methodology for Marketing

Effect of Apparel Brands’ Sustainability Efforts on Brand Attitude,


Word of Mouth and CBI (Consumer Brand Identification)

Alstroemeria Audri Elseno (2001919180)


Baiq Nindiastuty Fitrimaghfira (2001919382)
Farhannurmaris Karel Saputra (2001919205)
1. INTRODUCTION

Menurut survei yang dilakukan oleh Price Waterhouse Coopersin (2013), 45% rantai
pasokan yang sangat efisien tidak hanya menerapkan teknologi baru tetapi juga menekankan
strategi ​sustainability​. Setiap perusahaan bertanggung jawab terhadap berbagai aspek antara
lain, ekonomi, sosial, lingkungan beserta dampaknya yang disebut dengan CSR (​Corporate
Social Responsibility​) dalam literatur (Johnson, Lee, Choi, Mun, & Yoo, 2013). Terdapat
banyak pengertian mengenai CSR (​Corporate Social Responsibility​) dan semua pengertian
mengatakan bahwa CSR merupakan komitmen dalam bisnis untuk berkontribusi terhadap
perkembangan ekonomi untuk tidak hanya meningkatkan kualitas kehidupan tenaga kerja dan
keluarga mereka tetapi juga masyarakat lokal dan masyarakat luas dalam bentuk berbagai
kegiatan.
CSR atau sederhananya disebut SR dalam penerapan bisnis erat hubungannya dengan
dunia bisnis pakaian dan tekstil. Dickson, Loker, dan Eckman (2009) mengatakan bahwa
terdapat tanggung jawab sosial terhadap standar ketenagakerjaan, hak asasi manusia, dan
lingkungan Hidup, karena saling berkesinambungan. Crowther David (2008 : 201) mengurai
prinsip-prinsip tanggung jawab CSR menjadi tiga, antara lain yaitu ​Sustainability ​(sustainability),
Accountability, dan Transparency.
​ erkaitan dengan bagaimana perusahaan dalam melakukan aktivitas
Sustainability b
(​action)​ tetap memperhitungkan sustainability sumber daya di masa depan. Para ahli maupun
pebisnis besar memilih kata CSR ketika kita mengambil keputusan ataupun gagasan dan
bertanggung jawab penuh secara sosial terkait dengan istilah ​sustainability​. Dalam buku karya
Brundtland yang berjudul komisi dunia untuk lingkungan hidup dan pembangunan, ia
mengatakan “kebutuhan saat ini harus terpenuhi tanpa mengurangi kebutuhan generasi
mendatang" bukan hanya kebutuhan saat ini saja yang harus kita pikirkan, kebutuhan untuk
generasi mendatang pun tentu menjadi topik yang penting dalam pembahasan CSR.
Sustainability bukan hanya digunakan sebagai istilah, tetapi praktik yang harus diterapkan
dalam suatu perusahaan. (Komisi Dunia untuk Lingkungan dan Pembangunan, 1987, hal. 8).
Terdapat banyak pertimbangan mengenai upaya apa saja yang akan dilakukan
terhadap ​sustainability dalam berbagai industri salah satunya industri fashion, industri fashion
memiliki alur yang kompleks, dimulai dengan tahapan-tahapan yang terdapat didalamnya
hingga sampai kepada konsumen (misalnya produksi, distribusi, ritel hingga pembuangannya).
Praktek berkelanjutan yang biasa dilakukan memiliki tahapan-tahapan yang bervariasi,
misalnya pada tingkat ritel, salah satu contoh brand H&M yang menitikberatkan tindakan
sustainability terhadap masalah lingkungan seperti efek karbon, penawaran produk ramah
lingkungan, membuat sumbangan produk atau menawarkan pakaian bekas kepada
konsumen. (H&M, Zara) Dengan demikian, kegiatan apapun yang membentuk “​Sustainability”​
memiliki banyak segi. Memahami pengaruh sistem sustainability pada konsumen adalah suatu
hal yang penting karena sistem ini dapat berdampak pada reputasi bisnis fashion, karena
banyak konsumen yang sudah ​aware ​terhadap ​Sustainability Development dan akibatnya akan
menghasilkan keputusan pembelian konsumen (Seuring & Muller, 2008). ​Sustainability System
memiliki pengaruh yang kuat terhadap konsumen dalam memilih dan membeli produk ​fashion​.
Beberapa perusahaan pakaian mengkomunikasikan upaya ​Sustainability System
melalui situs web atau aplikasinya. Beberapa perusahaan pakaian lainnya mempromosikan
secara langsung ​sustainability system yang mereka lakukan kepada ​customer.​ Misalnya,
konsumen dapat memilih produk pakaian dengan bahan yang mudah terurai terbuat dari bahan
natural namun berkualitas lebih rendah dibandingkan dengan memilih produk pakaian tahan
lama tetapi tidak mudah terurai. Hal ini disebabkan masyarakat sekarang sadar dan peduli
terhadap masalah ​sustainability yang sedang dihadapi oleh seluruh masyarakat di dunia.
Sebagai individu yang memandang sistem ​sustainability sebagai hal yang penting, kita dapat
memilih perusahaan pakaian dan beberapa merek pakaian, dalam hal ini kategori ​fast fashion
menjadi moderator variabel yang akan diukur.
Terdapat beberapa ahli yang melakukan penelitian terhadap pengaruh kegiatan
sustainability dengan hubungannya terhadap ​Brand Attitude,​ dan CBI (Consumer Brand
Identification). Menguji dan membuktikan sejauh mana pengaruh upaya sustainability
(dibandingkan jika tidak ada upaya ​sustainability)​ terhadap hubungan ​Brand Attitude​, dan ​CBI
(Customer Brand Identification). Kami mengaitkannya dengan ​WOM sebagai hasil dari
hubungan dengan merek. Model ini dibangun berdasarkan studi Carroll dan Ahuvia (2006) yang
telah mengidentifikasi beberapa anteseden dan konsekuensi dari ​love brand atau brand loyalty​.
Namun dalam penelitian ini, kami mengidentifikasi pengaruh ​sustainability effort terhadap ​word
of mouth ​suatu​ ​merek karena belum ada yang melakukan hubungan ini sebelumnya.
Makalah ini disusun sebagai berikut. Bagian selanjutnya memberikan model konseptual
​ erpengaruh terhadap ​brand
tentang bagaimana konsep ​Sustainability Effort pada ​Fast Fashion b
identit​y ​(CBI),​ ​brand attitude dan ​word of mouth , dan mengembangkan hipotesis terkait.
Metode yang dilakukan untuk menguji hubungan antara konsep kemudian dijelaskan kembali.
Hasil dari dari penelitian ini kemudian disajikan, diikuti oleh kesimpulan. Akhirnya, arah
penelitian di masa depan dan beberapa keterbatasan penelitian disajikan sebagai kesimpulan.
2. LITERATURE REVIEW

2.1 Konsep ​Sustainability Effort​ di bidang Industri

Banyak Industri ​Fashion​, ​Technology,​ dan industri lainnya secara global telah membuat
komitmen besar untuk sustainability pada produk-produk yang mereka jual, terutama dalam
beberapa tahun terakhir.
Kendaraan beremisi rendah dan listrik telah memasuki pasar mobil, dan produsen
peralatan berusaha keras untuk menghasilkan lebih banyak barang rumah tangga hemat
energi. Industri tertentu telah menemukan banyak peluang untuk meningkatkan ​sustainability
atau menambah manfaat ramah lingkungan lainnya. Dalam industri konstruksi, misalnya,
produk baru atau yang akan datang termasuk urinal tanpa air, pompa panas berbahan bakar
karbon, ​power-over-the-ethernet untuk penerangan rumah, dan ​hybrid​, pengering efisiensi
tinggi (Peiffer, 2015).
Kemasan ramah lingkungan juga menjadi peluang matang untuk inovasi sustainability.
Sasaran dalam beberapa tahun terakhir adalah yang menghasilkan limbah substansial, banyak
yang tidak dapat didaur ulang, dan juga menghabiskan sumber daya alam dalam
pembuatannya. Dalam proses mengembangkan cara untuk menghasilkan pengemasan sekali
pakai yang mengurangi jejak karbon hingga 31 persen. Ini dicapai dengan menilai dampak
lingkungan dari kemasan ini selama proses produksi, dari bahan baku yang digunakan melalui
distribusi dan pasca penggunaan (Hardcastle, 2016). Dalam industri ​fashion perusahaan seperti
Zara, Mango, Zara, Disney, H&M, Adidas, dan Nike telah melakukan pengurangan signifikan
dalam jejak karbon mereka dalam beberapa tahun terakhir (Castro, 2016; Hardcastle, 2016).

​ engan ​Brand Attitudes


2.2 Hubungan ​Sustainability Effort d
Menurut Keller (dalam Sitinjak 2003:38), ​Brand Attitude sebagai evaluasi konsumen terhadap
merek, kemudian sebagai reaksi konsumen terhadap objek, asosiasi merek, dan hasilnya
berupa perasaan menyukai atau tidak menyukai terhadap merek. Simon dan Ruth (dalam
Sitinjak 2005:173) mencatat bahwa sikap terhadap merek tertentu dipengaruhi terhadap
persepsi yang muncul dari merek itu sendiri.
Iklan maupun kampanye-kampanye besar yang dilakukan oleh perusahaan-perusahan
besar fashion di dunia seperti H&M, Zara, Zara, memberikan efek yang positif. Oleh karena itu,
untuk mempelajari usaha apa yang dilakukan oleh brand-brand besar yang fokus terjun dalam
usaha mereka (Brand) dalam melakukan ​sustainability fashion,​ kita harus mempertimbangkan
efek yang tidak hanya terjadi pada sikap konsumen terhadap kampanye ​sustainability yang
mereka brand-brand fast fashion itu lakukan, namun juga pada niat perilaku yang mereka
upayakan mengenai masalah lingkungan. Respons yang menguntungkan atau tidak
menguntungkan terhadap subjek tertentu membentuk ​attitude (Kim & Ko, 2012; Kim & Ma,
2014). Periklanan mempengaruhi ​attitude dan persepsi konsumen terhadap produk, yang
kemudian membentuk ​attitude dan ​brand ​attitude mereka terhadap kampanye yang akan ia
lakukan dalam media sosial (Reich & Soule, 2016).
Niat perilaku adalah anteseden langsung untuk perilaku (Ajzen & Fishbein, 1975). Ini
bisa sangat efektif untuk konsumen yang sadar lingkungan yang sangat ingin berpartisipasi
dalam perilaku ramah lingkungan seperti daur ulang dan penggunaan kembali (White,
MacDonnell, & Dahl, 2011). Selain itu, kampanye ataupun usaha-usaha yang mensupport
sustainability fashion gencar dilakukan oleh para perusahaan fashion, iklan kampanye yang
banyak mereka pilih sebagai usaha menginformasikan kepada konsumen bahwa mereka
bergerak dalam usaha sustainability diketahui memiliki efek yang lebih besar.

2.3 Hubungan antara ​Sustainability Efforts​ dengan ​C-B Identification


Berdasarkan hasil dari penelitian yang dilakukan mengenai ​Sustainability Effort suatu
perusahaan akan memiliki dampak yang kuat terhadap “​consumer decision” dalam memilih
produk atau merek yang akan mereka beli, salah satu contoh penelitiannya yaitu US ​consumer
reported stronger purchase intention untuk sepatu mahal yang dibuat oleh perusahaan dengan
CSR yang tinggi dan dibandingkan dengan sepatu murah yang dibuat oleh perusahaan dengan
CSR yg rendah.
Beberapa perusahan tekstil yang berkembang saat ini sedang menitikberatkan
hubungan jangka panjang dengan pelanggan mereka. Pebisnis pakaian saat ini tidak hanya
memiliki pelanggan yang sangat loyal tetapi juga pelanggan yang bersedia untuk secara aktif
mempromosikan bisnis ke orang lain. Banyak faktor yang mempengaruhi itu pada kenyataanya.
Tetapi mayoritas pelanggan melakukannya. (Bhattacharya & Sen, 2003).
Memiliki tema yang menarik, tentu ini menjadi topik yang sangat menarik tertarik untuk
memahami hubungan jangka panjang konsumen dengan bisnis, Bhattacharya dan Sen (2003)
tengah mengusulkan model yang akan dirancang mengenai proses dimana perusahaan
membangun hubungan yang kuat dan bermakna dengan pelanggan mereka. Mereka
mengusulkan konsep identifikasi ​Customer-​ ​Company (C-C) yang dimana menjadi komponen
penting dan sangat vital dari hubungan ​Customer​-​Company yang kuat dan berpendapat bahwa
membangun identifikasi C-C menghasilkan hasil perusahaan yang positif termasuk loyalitas.
Dalam penelitian yang sudah ada, banyak upaya dan cara sudah dilakukan dalam
proses mencari dampak apa yang secara langsung sebuah brand lakukan sebagai upaya
system ​sustainability.​ Sebagai contoh konsumen di Negara maju seperti Eropa dan Amerika
memberikan laporan kuat bahwa perusahaan yang menjual barangnya dengan harga yang
mahal memiliki tanggung jawab sosial yang cenderung lebih besar, dibandingkan dengan
perusahaan yang menjual barangnya cenderung dengan harga yang cukup rendah.

2.4 Hubungan antara ​Sustainability Efforts​ dengan ​Word of Mouth


Konsumen memiliki kebiasaan meniru dan mengikuti orang lain dalam kelompok sosial
atau belajar dari paradigma sosial (Hawkins et al., 2004), tetapi hal yang lebih penting yaitu
mereka saling memberitahukan suatu hal kepada yang lain. WOM dideskripsikan sebagai
proses ketika konsumen membagikan informasi dan opini yang mengarahkan pembeli untuk
mendekati dan menjauh dari produk, merek dan layanan tertentu (Hawkins et al, 2004).
Komunikasi WOM mencakup informasi tentang objek target (mis. Perusahaan, merek) yang
ditransfer dari satu individu ke individu lain baik secara langsung atau melalui media komunikasi
(Brown et al., 2005). Lebih khusus lagi, Harrison-Walker (2001) mendefinisikan WOM sebagai
"komunikasi informal, orang-ke-orang antara yang dianggap sebagai komunikator
non-komersial dan penerima mengenai merek, produk, organisasi atau layanan" (hal. 63).
Merek-merek ​fashion ​menyampaikan identitas mereka secara langsung melalui produk
pakaian itu sendiri, atau secara tidak langsung melalui iklan, desain toko, pusat perbelanjaan,
dll. Misalnya, Levi Jeans dan Victoria's Secret menimbulkan perasaan kegembiraan, modis,
awet muda dan ramah.
Sepanjang artikel ini, ​word of mouth mengacu pada komunikasi informal antara pihak
pribadi mengenai evaluasi barang dan jasa (Dichter 1966; Fornell dan Bookstein 1982; Singh
1988; Westbrook 1987) daripada keluhan formal kepada perusahaan dan / atau personel.
Word of mouth bisa bermacam-macam mungkin positif, netral, atau negatif. Contoh dari
word of mouth yang positif, dapat didefinisikan secara luas, termasuk menghubungkan
pengalaman yang menyenangkan, jelas, atau baru; rekomendasi kepada orang lain; dan
bahkan tampilan yang mencolok. Kata-kata negatif dari mulut ke mulut meliputi perilaku seperti
pencemaran produk, mengaitkan pengalaman yang tidak menyenangkan dengan produk
tersebut , rumor, dan keluhan pribadi. (Eugene W. Anderson 1998)
2.5 Hubungan antara ​apparel Brand Type (Fast Fashion) ​ dengan ​Sustainability Efforts

Merek pakaian berbeda pada berbagai atribut (mis. Harga, kualitas, model, style) dan
telah diklasifikasikan menurut atribut mana yang ditampilkan (mis. Dengan Type Fashion Luxury
dan Fast Fashion, Modest). Sebagai contoh, merek-merek luxury menyediakan pelanggan
dengan langka, produk berkualitas tinggi, dan mungkin abadi, tingkat layanan yang tinggi, dan
luar biasa pengalaman berbelanja (Fionda & Moore, 2009). Produk merek luxury dapat dilihat
sebagai investasi yang harus disimpan dan digunakan untuk jangka waktu yang lama. Guercini
dan Ranfagni (2013), dari pemeriksaan mereka terhadap perusahaan wol Italia, berpendapat
bahwa beberapa komponen sustainability (yaitu daya tahan) melekat pada merek-merek
mewah, dengan demikian, di pada tingkat tertentu, merek-merek mewah secara inheren
berkelanjutan.
Sebaliknya, merek pakaian ​Fast fashion (mis. H&M, Bershka, Mango) menyediakan bagi
pelanggan produk murah dan berkualitas rendah (Joy, Sherry, Venkatesh, Wang, & Chan,
2012). Merek-merek ​Fast fashion telah dikritik karena sifat sekali pakai dari barang-barang
mereka bawa ke pasar (Cline, 2012). H&M adalah salah satu contohnya. Meskipun H&M
memiliki berkomitmen pada konsep ​sustainability sebagai salah satu strategi bisnis yang
mereka lakukan, seperti yang mereka report dalam website-websitenya dan telah melaporkan
proses ​sustainability melalui situs product mereka (​How we report,​ 2014), perusahaan telah
dikritik sebagai tidak ​sustainability karena kurangnya inheren umur panjang produk (mis. Joy et
al.).
Sebagai contoh, Park dan Kim (2016) menemukan ​sustainability konsumen
pengetahuan melemahkan pengaruh nilai yang dirasakan merek-merek mode cepat (mis. H&M,
Forever 21, Zara) pada kepercayaan merek konsumen yang pada gilirannya mempengaruhi
merek mereka loyalitas. Sebaliknya, Levi's, merek pakaian AS, telah diakui sebagai
Berkelanjutan Merek Pakaian Koalisi (SAC) yang mengembangkan standar industri yang luas
untuk berkelanjutan produk dan proses dan dipandang sebagai menarik oleh konsumen (Kunz,
Karpova, & Garner, 2016). Dengan demikian, sangat layak bahwa pengaruh upaya
sustainability hidup loyalitas merek konsumen mungkin berbeda berdasarkan jenis merek dan
dengan demikian, jenis pakaian merek dapat memoderasi hubungan antara upaya sustainability
dan loyalitas merek.
2.6 Hyphothesis Development

Bagan 2.1 ​Model Penelitian

H1 : Dampak Positif ​Brand Attitude ​bagi konsumen pada ​Brand Type (Fast Fashion)
akan lebih kuat ketika terdapat ​sustainability effort dibandingkan jika tidak ada
sustainability effort.

H2 : Dampak Positif ​Word of Mouth ​bagi konsumen pada ​Brand Type (Fast Fashion)
akan lebih kuat ketika terdapat ​sustainability effort dibandingkan jika tidak ada
sustainability.

H3 : Dampak Positif ​C-B Identification bagi konsumen pada Brand Type (Fast Fashion)
akan lebih kuat ketika terdapat ​sustainability effort dibandingkan jika tidak ada
sustainability.
3. RISET METODOLOGI

3.1. Experimental Design


Untuk menilai adanya pengaruh ​Sustainability Effort terhadap B​rand Attitude,​ ​WOM
​ an C-B Identification​, kami melakukan percobaan 2x1 dengan menggunakan
(Word of Mouth) d
Brand Type (Fast Fashion) yaitu 2 level keadaan, ketika ​Brand Type Fast Fashion melakukan
​ an tidak melakukan ​Sustainability Effort.
Sustainability Effort d
Kami menggunakan 3 brand y​ ang merupakan kategori fast fashion d
​ iantaranya Zara,
Mango dan H&M. Brand ​tersebut memiliki karakter ​style fashion y​ ang cenderung sama dengan
karakter pada explorasi, bahan dan model yang serupa. Berdasarkan ketiga brand tersebut,
dibuat skenario pada kondisi yang masing masing brand ketika mendapatkan perlakuan
sustainability effort dan ketika (tidak ada) ​sustainability effort.​ Untuk memanipulasi kedua
kondisi itu, kami menggunakan dua skenario yang dikembangkan dari ​Carter dan Jennings
(2002)​. Skenario tersebut dimasukkan kedalam kuisioner untuk menilai perilaku partisipan
dalam proses pembelian yang kemudian digunakan untuk pengumpulan data. Terdapat 6
skenario yaitu skenario pertama ( Brand Zara dengan sustainability effort), skenario kedua
(brand Zara tanpa sustainability effort), skenario ketiga ( Brand Mango dengan sustainability
effort), skenario keempat (Brand Mango tanpa sustainability effort), skenario kelima (brand H&M
dengan sustainability effort), dan terakhir skenario keenam ( H&M tanpa sustainability effort).
Salah satu contoh skenario pada produk ​fast fashion tanpa adanya ​sustainability effort
yaitu : Zara didirikan pada tahun 1963 oleh Armancio Ortega (78), yang memiliki sekitar 60%
saham dan saat ini adalah orang terkaya di Spanyol. Zara telah menjadi pemimpin dalam
pengembangan mode fast fashion. Rahasia dari ritel fast fashion adalah kemampuan untuk
menghasilkan pergantian barang secara cepat di toko-toko. Desain produk fashion yang baru
akan dikirimkan dengan cepat (Zara leads in fast fashion, forbes, 2015). Sedangkan salah
contoh skenario fast fashion yang mendapatkan perlakuan sustainability yaitu : Zara
menggunakan kampanye ‘Join Life’. Mereka memastikan bahwa semua produk Zara
sustainability di semua aspek mulai dari bahan baku hingga desain dan proses produksi.
3.2 Kuisioner
Kuisioner akan dikelola sendiri dan diposting secara online. Semua item pertanyaan
dalam kuisioner akan menggunakan skala Likert dengan 5 poin (1 = sangat tidak setuju, 5 =
sangat setuju). Delapan item pertanyaan mengukur C-B Identification (Hildebrand , Fernandes,
Veloso, & Slongo, 2010), lima item pertanyaan (Aaker, 1996) mengukur Brand Attitude, dan
empat item pertanyaan untuk WOM in this study modified based on a scale developed by
Gremler and Gwinner (2000). Teknik sampling yang kami pilih untuk penelitian ini ialah
perempuan dengan rentan usia generasi - Z, yang pernah membeli dan meggunakan
brand-brand (seperti, Mango, Zara, dan HnM) sebagai sample untuk brand type yang akan kami
jadikan bahan produk dalam kuisioner kami. Mengapa kami menggunakan perempuan sebagai
teknik sampling dalam riset ini, karena perempuan cenderung lebih kongklisif saat berbelanja
dibanding dengan pria. Lokasi yang kami pilih sebagai responden untuk mengisi kuisioner
adalah dikota Jakarta dikarenakan Jakarta sebagai pusat ibu kota, dimana tingkat konsumtif
konsumen pada pembelanjaan pakaian terutama perempuan sangat besar.

Tabel 3.1 ​reliability measures of measurement scale items.

Construct Sample Scale Items

Brand Attitude Saya memiliki nilai positif kepada merek tersebut.


Secara keseluruhan, saya mendukung merek tersebut.
Merek tersebut bagus.
Saya suka dengan merek tersebut.
Merek tersebut membuat uang menjadi memiliki nilai baik.

Word of Mouth Saya mengajak teman dan keluarga untuk membeli merek ini
Saya merekomendasikan merek ini setiap kali ada yang meminta saran saya.
Jika merek tersebut disebutkan dalam sebuah percakapan, saya akan
merekomendasikan merek ini
Saya sebenarnya sudah merekomendasikan merek ini kepada teman dan / keluarga
saya.

CB- Identification Membeli produk fashion dari brand ini, dapat meningkatkan karakter saya
Ketika seseorang memuji merek ini, rasanya seperti saya yang mendapatkan pujian.
-saya percaya bahwa produk / layanan dari merek pakaian jenis ini membantu saya
menentukan siapa saya.
-Saya percaya bahwa merek pakaian jenis ini menumbuhkan nilai-nilai yang saya hargai.
-Dalam bertindak sebagai konsumen saya lebih kepada tipikal konsumen untuk brand ini.
REFERENCES

Ahmed Rageh Ismail, Gabriella Spinelli. (2018). ​Effects of brand love, personality and image on
word of mouth: The case of fashion brands among young consumers

Bhattacharya, C. B., Rao, H., & Glynn, M. A. (1995). Understanding the bond of identification:
An investigation of its correlates among art museum members. Journal of Marketing, 59,
46–57.

Bhattacharya, C. B., & Sen, S. (2003). Consumer-company identification: A framework for


understanding consumers’ relationships with companies. Journal of Marketing, 67(2),
76–88.

Byun, S., & Sternquist, B. (2008). The antecedents of in-store hoarding: Measurement and
application in the fast fashion retail environment. The International Review of Retail,
Distribution and Consumer Research, 18(2), 133–147.

Eugene W. Anderson (1998). ​Customer satisfaction and word of mouth.


Journal of service research, volume 1, no. 1, August 1998 5-17

How we report. (2014). Retrieved from ​http://sustainability.hm.com/en/sustainability/down


loads-resources/about-our-reporting/how-we-report.html

Johnson, K. K. P., Lee, M., Choi, D., Mun, J. M., & Yoo, N. (2013). Trends in research
addressing fashion and social responsibility. Journal of Global Fashion Marketing, 4(3),
145–157.

Kim K. P. Johnson, Mijeong Noh (2019) ​Effect of apparel brands’ sustainability efforts on
consumers’ brand loyalty.

Kim, J. (2015). ​Sustainability on social brand communities: Influences on customer equity.​


Journal of Global Scholars of Marketing Science, 25(3), 246–258.
Keller, K. L. (1993). Conceptualizing, measuring, and managing customer-based brand equity.
Journal of Marketing, 57, 1–22.
World Commission on Environment and Development. (1987). Our common future. Oxford:
Oxford University Press.

Anda mungkin juga menyukai