Anda di halaman 1dari 7

PROYEK BUKU PH 2002

Pandangan Sosial Budaya dalam Praktik Pemberian Makanan Bayi


dan Anak: Teori dan Realita
Oleh : Firlia Ayu Arini

Sebagai orang tua, menjamin tumbuh kembang anak adalah prioritas utama, apalagi untuk
yang memiliki latar belakang bidang kesehatan masyarakat seperti saya. Segala teori mengenai
kesehatan dan gizi untuk mendukung pertumbuhan dan perkembangan anak sudah pernah
diajarkan dan diujikan, namun sesampainya di masyarakat bahkan dalam lingkup kelompok
terkecil masyarakat yaitu keluarga, tidak semua teori itu dapat diterapkan sebagaimana keinginan
dan harapan.

Indonesia yang memiliki banyak suku, memiliki beragam praktik pemberian makanan bayi dan
anak yang sudah menjadi budaya di masyarakat.meskipun pedoman pemberian makanan yang
tepat telah ditetapkan oleh pemerintah dan diinformasikan melalui buku Kesehatan Ibu dan Anak
(KIA), pada praktiknya, tidak semua dapat melakukan sesuai dengan pedoman
tersebut. Pemerintah dalam Undang Undang Kesehatan No 36 tahun 2009 telah mengatur standar
Pemberian Makanan Bayi dan Anak (PMBA) yaitu memberikan ASI eksklusif selama 6 bulan
pertama, diawali dengan inisiasi menyusu dini (IMD) sesaat setelah bayi dilahirkan, lalu setelah
bayi berusia 6 bulan dilanjutkan dengan memberikan Makanan Pendamping ASI (MPASI) dan
terus memberikan ASI sampai usia 2 tahun. Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar
(RISKESDAS) tahun 2018, angka cakupan IMD dan ASI eksklusif di Indonesia cenderung rendah,
hanya berkisar 30-40% sementara target pemerintah, paling tidak angkanya mencapai 80%(1).
Kegagalan ASI eksklusif antara lain adalah karena pemberian makanan prelakteal yaitu
makanan yang diberikan setelah bayi baru lahir dan belum menerima ASI, susu formula pengganti
ASI dan MPASI dini. Setelah menikah, saya tinggal mengikuti suami yang sebenarnya lokasinya
tidak jauh dari rumah orang tua dan masih di wilayah Jakarta, tetapi lingkungan tempat tinggal
kami bukan komplek perumahan melainkan kampung yang masih kuat sekali adat betawinya.
Beberapa praktik pemberian MPASI dini yang sering dilakukan di masyarakat termasuk juga di
lingkungan sekitar dan keluarga suami yang berdarah betawi yaitu pemberian madu, air tajin,
pisang dan nasi yang ditumbuk dengan pisang. Selama masa pemberian ASI sampai selesai
menyusui di usia anak pertama saya dua tahun lebih, beberapa kendala dalam pemberian IMD,
ASI eksklusif dan MPASI juga saya alami. Berbagai kepercayaan dari segi agama dan budaya
mendasari pemberian makanan untuk bayi,termasuk pantangan dan anjuran memakan jenis pangan
tertentu untuk saya selama menyusui.

Saat kehamilan anak pertama, saya sudah merencanakan untuk mengikuti pedoman PMBA
yang sudah ditetapkan namun ternyata saya gagal. Waktu itu,saya memeriksakan kehamilan dan
bersalin di klinik swasta yang dokter spesialis kandungannya perempuan dan menurut keluarga
suami, cukup terkenal serta telah berpengalaman, maka saya yakin untuk kontrol ke klinik tersebut.
Memasuki trimester ketiga, saya sudah menyampaikan keinginan untuk melakukan IMD setelah
bersalin dan dokter sudah bersedia. Ternyata saat melahirkan, dokter tidak memperbolehkan saya
untuk IMD, dengan alasan anak saya cukup lama terjebak di jalan lahir dan harus dipasang
tambahan oksigen. Karena anjuran tersebut saya lalu ingat ,bahwa meski tidak disusui selama 3
hari pertama,bayi masih memiliki cadangan makanan, jadi saya tidak terlalu khawatir dan tetap
optimis mampu memberikan ASI eksklusif. Klinik bersalin tersebut tidak menyatukan ruangan
ibu dengan bayi (roomin in), saat saya mengambil anak untuk disusui, ternyata sudah ada sebotol
susu formula yang kemungkinan sudah diberikan ke anak saya. Jujur saya kecewa, kalau
mengingat undang-undang, saya berhak menuntut klinik tersebut karena memberikan susu formula
tanpa meminta izin terlebih dahulu, tapi akhirnya saya mengambil sikap diam dan selanjutnya
setiap satu jam, mengambil bayi saya dari ruang bayi untuk disusui.
Kala itu sedih sekali sebetulnya tidak bisa IMD dan anak saya sudah mendapatkan susu
formula. Memang di negara kita sudah ada aturan mengenai pelayanan kesehatan yang
mewajibkan agar ibu dapat memberikan ASI eksklulsif kecuali kondisi ibu dan bayi tidak
memungkinkan karena kondisi medis. Tapi ternyata tidak semua pelayanan klinik pro dengan ASI
eksklusif, masih ada klinik yang entah dokternya atau kliniknya mendapat sponsor dari susu
formula merk tertentu agar menjadi distributor produk tersebut.
Setelah dua hari pasca melahirkan, saya pulang dari klinik, saya melahirkan secara normal
sehingga masa pemulihan lebih cepat. Saya sudah mulai menyusui sejak hari kedua di klinik,
dengan asumsi, anak saya sudah menerima kolostrum dan masih terus belajar menyusui dengan
beberapa posisi. Yang namanya awal menyusui, dan baru pertama kali punya anak, maka butuh
penyesuaian dan bayi pun juga belajar menyusu, sehingga masih sering rewel, menangis, dan hal
tersebut sebenarnya wajar. Akan tetapi dari pihak keluarga, menganggap kalau bayi rewel maka
ASI saya dianggap belum cukup banyak , jadi perlu tambahan susu botol. Selain itu, selama
seminggu pertama, bayi saya dimandikan oleh nenek dari suami saya, setiap setelah mandi, anak
saya diberi dot yang sebelumnya telah dicelupkan madu, supaya kalau nangis, lebih cepat diam,
Batin saya sebenarnya menolak, tapi saya hanya bisa diam, rasa enggan dan kondisi pasca
melahirkan, dengan emosi belum stabil , fisik masih lemah, membuat saya pasrah saja melihat
kondisi tersebut. Setelah hari ketiga di rumah, saya akhirnya mencoba untuk memandikan sendiri
anak saya, bersyukur ASI saya sudah keluar lancar, maka saya stop pemberian susu formula,
seterusnya hanya memberikan ASI saja kurang lebih 8-12 kali sehari.

Dalam budaya Betawi (juga budaya Jawa saya kira), selama 40 hari pasca melahirkan, ibu
dan bayi harus diam di rumah, terdapat pantangan untuk keluar rumah agar menghindari bahaya,
penyakit dan menurut kepercayaan, untuk menghindari gangguan setan. Saya mengikuti anjuran
tersebut termasuk berpantang makanan. Budaya pantang yang diterapkan adalah selama seminggu
setelah melahirkan merupakan masa Mapas yaitu ibu bebas makan apapun selama seminggu tanpa
berpantang. Sesudah satu minggu, sampai dengan 40 hari atau bisa sampai 3 bulan pertama, ibu
pantang makan segala sesuatu yang digoreng dan berlemak atau diolah santan, jadi semua
makanan hanya rebus atau kukus seperti sayur bening, ayam disayur, ikan dibuat sop, tempe dan
tahu disayur, atau kukus.

Selain berpantang, saya juga dibelikan jamu dan tapis untuk perawatan selama 40 hari.
Ada beberapa makanan yang disarankan untuk memperlancar ASI selama masa menyusui, antara
lain daun katuk dan bayam, namun yang unik adalah, saya juga dianjurkan untuk makan kacang
beserta kulitnya yang katanya dapat memperlancar ASI. Sempat juga saya mencari informasi
mengenai makan kacang dengan kulitnya itu mitos atau fakta, sampai sekarang saya belum
menemukan bukti ilmiah mengenai ASI booster kacang dengan kulitnya, tapi saya tetap
memakannya. Menurut teori, untuk melancarkan ASI bukan hanya memerlukan asupan gizi yang
seimbang, selama menyusui, ibu harus merasa nyaman sehingga hormon oksitosin yang
meningkatkan produksi ASI bisa bekerja dan jumlah ASI menjadi lebih banyak. Supaya produksi
ASI tetap lancar, sebenarnya tidak perlu mengikuti pantangan apalagi jika yang dipantang sumber
energi dan protein, karena selama menyusui kebutuhan gizi ibu dari sumber energi, vitamin dan
mineral cukup banyak dan bisa dipenuhi dari makan beraneka ragam pangan namun seimbang.
Selama kebutuhan gizi ibu terpenuhi maka ASI akan lancar dan tumbuh kembang anak optimal.
Setelah anak saya berusia 3 bulan lebih, saya masih terus memberikan ASI saja tanpa
tambahan susu formula, hingga satu hari yaitu waktu lebaran, ia sangat rewel, kebetulan saat itu
hari pertama lebaran, kami mengikuti acara silaturahmi ke beberapa rumah kerabat dan itu cukup
melelahkan. Sampai malam meski sudah disusui, anak saya masih terus menangis, sampai
akhirnya mertua menyarankan untuk memberikan pisang, tidak lama, anak saya sudah disuapi
pisang kerok dan lalu terdiam, karena itu keluarga, termasuk suami saya menyimpulkan bahwa
sudah waktunya anak saya makan karena sudah disusui masih belum kenyang sehingga rewel.
Saya kembali was-was, lagi-lagi saya tidak berani menolak, saya khawatir sekali anak saya
mengalami gangguan pencernaan. Menurut WHO, pemberian makanan pendamping ASI sebelum
bayi berusia 6 bulan memiliki risiko 17 kali lebih besar mengalami diare dan 3 kali lebih besar
lebih rentan mengalami infeksi saluran pernapasan atas (ISPA) yaitu batuk dan pilek, daripada
bayi yang ASI eksklusif(2).

Saya tetap masih memberikan ASI namun sesekali kalau saya sedang bekerja atau tidak di
rumah, suami memberikan pisang kerok, jumlahnya sebenarnya tidak terlalu banyak, tapi selama
saya ada di rumah, saya melarang memberikan pisang kerok. Dampaknya setelah beberapa kali
diberi pisang, anak saya konstipasi berat, selanjutnya saya melarang pemberian pisang dan
memberi penjelasan ke suami dan pengasuh supaya tidak lagi melakukannya. Setelah itu, sesuai
hasil diskusi dengan dokter spesialis anak di klinik, saya mengganti pisang dengan memberikan
biskuit susu atau buah selain pisang seperti pepaya, itupun saya lakukan saat usia anak mendekati
6 bulan. Pelan-pelan saya menjelaskan kepada keluarga terutama suami, alasan untuk menunda
pemberian makanan tambahan, karena menurut mereka, praktik memberikan madu, pisang kerok,
nasi ditumbuk pisang, sudah menjadi tradisi turun temurun, dan menurut orang tua,atau neneknya,
selama ini memberikan makan pisang, nasi ditumbuk pisang lebih cepat membuat anak cepat besar
dan sehat.

Praktik pemberian MPASI dini serupa juga terjadi di daerah lain. Pada penelitian oleh
Azzah, 2018, masyarakat Cirebon memiliki tradisi memberikan air tajin, pisang kerok dan bubur
susu yang dilakukan dalam beberapa ritual adat yaitu upacara ngarani, upacara slametan dan
budaya pemberian cekok. Menurut kebudayaan di Cirebon, tradisi tersebut sudah dilakukan secara
turun temurun, dengan melakukan budaya tersebut maka bayi akan lebih sehat, cerdas dan tidak
mudah sakit(3). Beberapa waktu lalu di Jakarta, seorang bayi usia 40 hari meninggal akibat
tersedak pisang, berdasarkan hasil visum, terdapat potongan pisang yang menyangkut di saluran
pernapasannya. Pada bayi di bawah 6 bulan, pemberian makanan dan minuman selain ASI atau
pengganti ASI belum diperbolehkan karena alat pencernaan bayi belum sempurna. Jika bayi sakit,
maka nafsu makannya akan menurun dan dapat menyebabkan gangguan pertumbuhan dan
perkembangan(4). Dari kasus di atas dapat disimpulkan bahwa pengetahuan mengenai pemberian
makanan bayi dan anak belum banyak dimengerti dan diterapkan oleh masyarakat secara tepat.
sehingga masih banyak yang mengikuti tradisi dan budaya adat yang kebenarannya tidak semua
dapat dibuktikan secara ilmiah.

Selain pisang, makanan lain yang biasa diberikan untuk bayi di masyarakat adalah
pemberian madu, di acara akikah atau upacara Tahniah dalam budaya Islam dan Betawi,
harapannya jika dicicipkan madu dan kurma, anak akan menjadi orang yang bertuturkata manis
dan lembut hati. Menurut Badan Kesehatan Dunia (World Health Organization/ WHO),
pemberian madu untuk anak di bawah usia 1 tahun tidak dianjurkan karena mengandung bakteri
Clostridium Botulinum yang dapat menyebabkan mual, muntah, diare, kejang dan juga lumpuh
sehingga berbahaya bila diberikan pada bayi(5).

Jenis pangan berikutnya yang dianjurkan dalam budaya Betawi untuk diberikan pada anak
adalah pemberian air tajin. Air tajin mengandung beberapa vitamin B vitamin E , mineral selenium
dan antioksidan, namun kandungan gizinya lebih rendah daripada ASI maupun susu pengganti
ASI. Dahulu air tajin dijadikan pengganti susu bagi masyarakat miskin, namun di keluarga saya,
pemberian air tajin .dipercaya membuat badan anak lebih berisi, sehat dan wajib diberikan setiap
hari. Beberapa artikel oleh dokter menuliskan manfaat air tajin bagi kesehatan, antara lain dapat
mengatasi dehidrasi pada anak yang diare karena merupakan cairan, selain itu juga dapat
meningkatkan berat badan serta daya tahan tubuh karena terdapat kandungan antioksidan, vitamin
dan mineral. Jika makanan yang dikonsumsi anak dalam sehari sudah beraneka ragam, mencukupi
kebutuhan gizinya, maka tidak wajib bagi kita untuk memberikan air tajin.

Dari uraian di atas dapat kita simpulkan bahwa selama ini di sekitar kita, dalam lingkup
masyarakat juga keluarga, pengaruh sosial budaya sangat kuat dan menentukan kebiasaan sehari
hari termasuk pola makan dan pola hidup bersih dan sehat. Berbagai upaya telah dilakukan
pemerintah untuk mendukung penerapan Pemberian Makan Bayi dan Anak yang tepat seperti
penyelenggaraan Posyandu, iklan layanan masyarakat, informasi di buku KIA dan pelatihan untuk
kader Posyandu, namun demikian, di masyarakat masih terjadi kesalahan dalam pemberian
makanan bayi dan anak karena kepercayaan terhadap adat, kepatuhan terhadap budaya dan orang
tua, sehingga banyak yang gagal memberikan IMD dan ASI eksklusif. Karena itu penting sekali
untuk kita sebagai bagian dari masyarakat, ikut serta menginformasikan, mengedukasi,
menerapkan ilmu kesehatan masyarakat yang kita miliki, untuk membantu memperbaiki dan
mengkonfirmasi mitos- mitos yang dipercaya di sekitar kita, agar keluarga kita, anak-anak kita
mendapatkan gizi terbaik untuk tumbuh kembang mereka. Saya memang gagal memberikan ASI
eksklusif pada anak saya, tapi saya mengatasinya dengan mengoptimalkan pemberian ASI sampai
usia anak mencapai 2 tahun dan memberikan MP-ASI sesuai tahapan umurnya.

Rekomendasi pemberian ASI eksklusif selama 6 bulan pertama yang ditetapkan oleh WHO
dan diberlakukan secara global sebetulnya adalah sebuah perlindungan terhadap gizi buruk dan
gizi kurang supaya tumbuh kembang anak optimal. Penetapan 6 bulan sebagai durasi didapatkan
dari hasil penelitian yang mana pada pemberian dengan durasi 6 bulan memiliki risiko terjadinya
penyakit infeksi yang paling sedikit dibandingkan pemberian ASI saja selama kurang dari 6 bulan.
Jika sebelum usia 6 bulan anak sudah mendapatkan makanan selain ASI, maka berisiko terkena
gangguan pencernaan yang akhirnya menurunkan daya tahan tubuh dan mudah sakit. Adapun jika
sudah terlanjur memberikan MPASI dini, sebaiknya dikonsultasikan ke tenaga kesehatan, bisa
bidan, ahli gizi atau dokter agar mengurangi risiko gangguan pencernaan serta sebaiknya tetap
memberikan ASI dan mengurangi frekuensi pemberian makanan selain ASI sampai anak usia 6
bulan.

Dalam sebuah diskusi yang saya pernah ikuti, ada peneliti yang mendapatkan data bahwa
di beberapa daerah yang cakupan ASI eksklusifnya tinggi, angka balita yang pendek stunting juga
tinggi, hal ini bukan berarti ASI eksklusif merupakan faktor risiko terjadinya stunting. Pemberian
ASI eksklusif harus didukung pemenuhan gizi ibu selama masa menyusui. Asupan ibu yang
kurang memenuhi kebutuhan gizi dapat mempengaruhi kualitas gizi ASI yang diproduksi. Ibu
yang selama hamil tidak mencapai kenaikan berat badan yang direkomendasikan banyak yang
berhenti memberikan ASI eksklusif karena merasa ASI yang dihasilkan tidak cukup. Oleh karena
itu penting untuk memperhatikan status gizi ibu selama masa menyusui, jika ibu kurang gizi maka
kandungan gizi dalam ASInya rendah dan jumlah ASInya lebih sedikit, hal tersebut juga dapat
mengganggu pertumbuhan dan perkembangan, kalau terjadi kondisi tersebut maka perlu
konsultasi ke tenaga kesehatan, agar mendapatkan makanan tambahan atau diberikan MP-ASI
dengan pertimbangan agar tumbuh kembang anak tetap optimal(6). Semoga kita senantiasa dapat
menjaga kesehatan dan dapat mengoptimalkan pemenuhan gizi keluarga kita dengan gizi
seimbang. Salam sehat !

Referensi

1. Balitbangkes KR. Laporan Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Indonesia tahun
2018. Riset Kesehatan Dasar 2018. 2018. p. 182–3.

2. WHO. Global strategy for infant and young child feeding. Fifthy-fourth world Heal
Assem. 2001;(1):5.

3. rt Zulfa Nur Azzah, Ermiati NNAM. Gambaran budaya pemberian mp-asi di desa mundu
pesisir kabupaten cirebon. J Sehat Masada. 2018;XII(Juli):113–22.

4. Merryana A, Vita K. POLA ASUH MAKAN PADA BALITA DENGAN STATUS GIZI
KURANG DI JAWA TIMUR, JAWA TENGAH DAN KALIMANTAN
TENGAH,TAHUN 2011 (Feeding Pattern for Under Five Children with Malnutrition
Status in East Java, West Java, and Central Kalimantan, Year 2011). Bul Penelit Sist
Kesehat. 2013;16(2):185–93.

5. Hervilia D, Munifa D. Pandangan Sosial Budaya terhadap ASI Eksklusif di Wilayah


Panarung Palangkaraya (Social and Cultural Aspect toward Exclusive Breastfeeding in
Panarung Palangkaraya). Indones J Hum Nutr. 2016;3(1):63–70.

6. Fikawati S, Syafiq A. Status Gizi Ibu dan Persepsi Ketidakcukupan Air Susu Ibu Maternal
Nutritional Status and Breast Milk Insufficiency Perception. J Kesehat Masy Nas. 2011;

Anda mungkin juga menyukai