Anda di halaman 1dari 53

1

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Diabetes mellitus (DM) di masyarakat umum di kenal sebagai penyakit

kencing manis, secara degeneratif tidak dapat disembuhkan disebabkan adanya

peningkatan kadar glukosa dalam darah. Hiperglikemia atau gula darah yang

meningkat merupakan efek umum dari diabetes tidak terkendali yang dari waktu ke

waktu menyebabkan kerusakan serius pada sistem tubuh khususnya saraf dan

pembuluh darah. Jika keadaan ini tidak dikelola dengan baik dapat mengakibatkan

berbagai komplikasi kronik seperti stroke, serangan jantung, gagal ginjal, kebutaan

dan kerusakan pada organ kaki salah satunya gangren. Penderita DM 5 kali lebih

mudah menderita gangren pada kaki yang di ikuti dengan infeksi karena masuknya

kuman atau bakteri dan adanya gula darah yang tinggi menjadi tempat yang

strategis untuk pertumbuhan kuman sehingga meningkatkan kejadian amputasi dan

bahkan kematian (Eliana, 2015). Hal-hal tersebut inilah yang menyebabkan

munculnya masalah keperawatan kerusakan integritas jaringan.

Menurut World Health Organitation (WHO) pada tahun 2017, jumlah

penderita DM mencapai 260 juta jiwa dan setengah dari angka tersebut terjadi di

negara-negara berkembang termasuk Indonesia. Menurut data International

Diabetes Foundation tahun 2017 angka kejadian DM di Indonesia menempati

urutan ke-4 tertinggi di dunia yaitu 10,4 juta jiwa. Angka penderita DM menurut

RISKESDAS (2018) didapatkan peningkatan sebesar 1,1% pada tahun 2017

1
2

menjadi 2,1% di tahun 2018. Data tersebut menunjukkan bahwa terjadi peningkatan

sebesar 1% dalam rentang satu tahun. Provinsi Jawa Timur melaporkan data

penyakit tidak menular seperti DM dengan hasil 14,24% pada tahun 2015 serta hasil

penderita DM sebesar 16,53% pada tahun 2016. Prevalensi penyakit DM

menduduki peringkat ke-2 diantara penyakit tidak menular lainnya seperti jantung,

neoplasma, PPOK dan asma bronkial. Hasil tersebut didapatkan dari jumlah kasus

DM tergantung insulin tahun 2015 sebesar 9.376 kasus dan DM tidak tergantung

insulin sebesar 142.925 kasus (Dinas Kesehatan Jawa Timur, 2016). Berdasarkan

survey data yang didapat dari RSUD Jombang pada tahun 2016 Diabetes Mellitus

tipe 2 di RSUD Jombang sebanyak 361 dan Diabetes Mellitus tipe 2 dengan

gangguan integritas kulit sebanyak 102 kasus. Sedangkan pada tahun 2017 Diabetes

Mellitus tipe 2 di RSUD Jombang meningkat menjadi 477 dan Diabetes Mellitus

tipe 2 dengan gangguan integritas kulit sebanyak 120 kasus (Magfirah, 2017).

Pada diabetes tipe 2 terdapat dua masalah yang berhubungan dengan insulin,

yaitu resistensi insulin dan gangguan sekresi insulin, sehingga insulin menjadi tidak

efektif untuk menstimulasi pengambilan glukosa oleh jaringan. Adanya gangguan

pada saraf autonom mempengaruhi terjadi perubahan tonus otot yang menyebabkan

abnormalitas aliran darah. Sehingga kebutuhan nutrisi dan oksigen maupun

pemberian antibiotik tidak mencukupi atau tidak dapat mencapai jaringan perifer,

juga tidak memenuhi kebutuhan metabolisme pada lokasi tersebut. Efek pada

autonomi neuropati ini akan menyebabkan kulit menjadi kering (antihidrosis) yang

memudahkan kulit menjadi rusak dan mengkontribusi untuk terjadinya kerusakan

integritas jaringan (Sulistyowati, 2015).


3

Masalah keperawatan tersebut dapat dicegah dengan penatalaksanaan

perawat dalam memberikan asuhan keperawatan secara menyeluruh mulai dari

pengkajian masalah, menentukan diagnosa keperawatan, membuat intervensi,

implementasi serta evaluasi asuhan keperawatan pada pasien Diabetes Mellitus. Hal

terpenting dalam asuhan keperawatan pasien Diebetes Mellitus dengan kerusakan

integritas kulit adalah perawatan secara non farmakologi dan farmakologi seperti

memberikan pendidikan kesehatan tentang perawatan luka, olahraga, pemberian

insulin rutin dan pencegahan terhadap kemungkinan terjadinya luka serta cara

perawatan luka yang telah mengalami ulkus diabetik. Luka pada Diabetes Mellitus

dapat cepat meluas jika penanganan tidak tepat. Pentingnya penanganan terhadap

luka, maka penulis akan membahas tentang terapi non farmakologi dan farmakologi

terhadap pasien DM dengan kerusakan integritas kulit. Berdasarkan uraian di atas

maka penulis tertarik mengambil kasus untuk Tugas Akhir dengan judul “Asuhan

Keperawatan Gangguan Integritas Kulit Dengan Diabetes Mellitus Tipe 2 Dengan

Gangren Di Ruang Dahlia RSUD Jombang”.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas peneliti dapat merumuskan masalah

dalam penelitian ini sebagai berikut. “Bagaimana Asuhan Keperawatan Gangguan

Integritas Kulit Dengan Diabetes Mellitus Tipe 2 Dengan Gangren Di Ruang Dahlia

RSUD Jombang?”.
4

1.3 Tujuan Tugas Akhir

1.3.1 Tujuan Umum

Berdasarkan rumusan masalah diatas tujuan umum dalam penelitian ini

adalah “Melaksanakan Asuhan Keperawatan Gangguan Integritas Kulit Dengan

Diabetes Mellitus Tipe 2 Dengan Gangren Di Ruang Dahlia RSUD Jombang”.

1.3.2 Tujuan Khusus

Berdasarkan rumusan masalah diatas tujuan umum dalam penelitian ini

adalah sebagai berikut :

1. Penulis mampu melakukan pengkajian keperawatan pada pasien dengan

masalah Gangguan Integritas Kulit Dengan Diabetes Mellitus Tipe 2

Dengan Gangren.

2. Penulis mampu menetapkan diagnosis keperawatan pada pasien dengan

masalah Gangguan Integritas Kulit Dengan Diabetes Mellitus Tipe 2

Dengan Gangren.

3. Penulis mampu menyususn perencanaan keperawatan pada pasien dengan

masalah Gangguan Integritas Kulit Dengan Diabetes Mellitus Tipe 2

Dengan Gangren.

4. Penulis mampu melaksanakan tindakan keperawatan pada pasien dengan

masalah Gangguan Integritas Kulit Dengan Diabetes Mellitus Tipe 2

Dengan Gangren

5. Penulis mampu melakukan evaluasi keperawatan pada pasien dengan

masalah Gangguan Integritas Kulit Dengan Diabetes Mellitus Tipe 2

Dengan Gangren.
5

1.4 Manfaat Tugas Akhir

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat tugas akhir sebagai

berikut :

1. Bagi Institusi Pendidikan

Sebagai bahan bacaan di perpustakaan dan sumber data bagi

penelitian yang memerlukan masukkan berupa data atau pengembangan

penelitian dengan masalah yang sama demi kesempurnaan penelitian.

2. Bagi Instansi Kesehatan

Sebagai bahan masukkan bagi rumah sakit dalam melakukan upaya

pengontrolan dan upaya preventif pada gangguan integritas kulit pada

pasien diabetes mellitus tipe 2 khususnya.

3. Bagi Pasien

Diharapkan dapat menjadi sumber informasi kepada pasien agar

dapat meningkatkan derajat kesembuhan pasien diabetes mellitus tipe 2

yang mengalami gangguan integritas kulit.

4. Bagi Peneliti

Diharapkan dapat menambah pengalaman dan mampu

mengaplikasikan asuhan keperawatan khususnya pada pasien diabetes

mellitus tipe 2 dengan masalah gangguan integritas kulit.


6

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Diabetus Mellitus Tipe 2

2.1.1 Definisi Diabetus Mellitus Tipe 2

Diabetes tipe 2 merupakan hasil dari penolakan atau kegagalan tubuh

menggunakan zat insulin, yaitu suatu kondisi dimana sel gagal untuk menggunakan

insulin dengan benar dan terkadang dikombinasikan dengan kekurangan insulin.

Diabetes mellitus tipe 2 disebut juga dengan non-insulin dependent diabetes

mellitus (NIDDM) atau diabetes yang bergantung pada insulin. Diabetes jenis ini

terjadi akibat kombinasi antara kekurangan produksi insulindan resistensi terhadap

insulin atau berkurangnya kemampuan terhadap penggunaan insulin yang

melibatkan reseptor insulin di sel. Mekanisme yang tepat yang menyebabkan

resistensi insulin dan gangguan sekresi insulin pada diabetes tipe 2 masih belum

diketahui (Padila, 2017).

2.1.2 Etiologi Diabetus Mellitus Tipe 2

Diabetes melitus tipe 2 (Non-Insulin Dependent Diabetes Mellitus/

NIDDM) disebabkan oleh gangguan sekresi insulin yang progresif karena resistensi

insulin (American Diabetes Association, 2015). Mekanisme yang tepat yang

menyebabkan resistensi insulin dan gangguan sekresi insulin pada diabetes tipe 2

masih belum di ketahui. Faktor genetik memegang peranan dalam proses terjadinya

resistensi insulin. Faktor-faktor resiko adalah usia (resistensi insulin cenderung

meningkatkan pada usia di atas 65 th), obesitas, riwayat keluarga (Padila, 2017).

6
7

Menurut Nurul, dkk (2017) faktor-faktor resiko tertentu yang berhubungan

dengan proses terjadinya diabetes mellitus tipe 2 dibagi menjadi menjadi dua, yaitu:

1. Faktor Resiko Yang Tidak Dapat Dirubah :

1) Riwayat Keluarga Diabetes

Seorang anak dapat diwarisi gen penyebab diabetes mellitus orang tua.

Biasanya, seorang yang menderita diabetes mellitus mempunyai

anggota keluarga yang juga terkena penyakit tersebut

2) Ras atau Latar Belakang Etnis

Resiko diabetes mellitus tipe 2 lebih besar hispanik, kulit hitam,

penduduk asli Amerika dan Asia

3) Riwayat Diabetes Pada Kehamilan

Mendapatkan diabetes selama kehamilan atau melahirkan bayi lebih

dari 4,5 kg dapat meningkatkan ridiko diabetes mellitus tipe 2 (Padila,

2017).

2. Faktor Resiko Yang Dapat Dirubah :

1) Usia

Resistensi insulin cenderung meningkat pada usia diatas 65 tahun, Pada

usia ini kurangnya aktivitas fisik serta proses penuaan terjadi

peningkatan intoleransi glukosa dan kemampuan jaringan mengambil

glukosa darah juga semakin menurun.


8

2) Pola Makan

Makan secara berlebihan dan melebihi jumlah kadar kalori yang

dibutuhkan oleh tubuh dapat memicu timbulnya diabetes melitus tipe 2,

hal ini pankreas mempunya kapsistas disebabkan jumlah atau kadar

insulin oleh sel maksimum untuk disekresikan. Oleh karena itu,

mengonsumsi makanan secara berlebihan dan tidak diimbangi oleh

sekresi insulin dalam jumlah memadai dapat menyebabkan kadar gula

dalam darah meningkat dan menyebabkan diabetes mellitus.

3) Gaya Hidup

Makanan cepat saji dan olahraga tidak teratur merupakan salah satu

gaya hidup di jaman sekarang yang dapat memicu terjadinya diabetes

melitus tipe 2.

4) Obesitas

Seorang dikatakan obesitas apabila indeks massa tubuh (BMI) lebih

besar dari 25. HDL (“baik” kadar kolestrol) di bawah 35 mg/dl dan /

atau tingkat trigliserida lebih dari 250 mg/dl dapat meningkatkan resiko

diabetes mellitus tipe 2.

5) Hipertensi

Tekanan darah >140/90 mmHg menimbulkan resiko diabetes mellitus

tipe 2.

6) Bahan Kimia dan Obat-obatan

7) Penyakit dan Infeksi pada Pankreas


9

8) Dislipedimia

Adalah keadaan yang ditandai dengan kenaikan kadar lemak darah

(Trigliserida > 250 mg/dl). Terdapat hubungan antara kenaikan plasma

insulin dengan rendahnya HDL (<35 mg/dl) sering didapat pasien

diabetes (Padila, 2017).

2.1.3 Gejala Klinis Diabetus Mellitus Tipe 2

Adanya Diabetes Mellitus ini pada awalnya seringkali tidak dirasakan dan

tidak tidak disadari oleh penderita, beberapa keluhan dan gejala yang perlu

mendapat perhatian adalah :

1. Keluhan Klasik

1) Banyak Kencing (Poliuria)

Karena sifatnya, kadar gula darah yang tinggi akan menyebabkan

banyak kencing. Kencing yang sering dan dalam jumlah banyak akan

sangat menganggu penderita, terutama pada waktu malam hari.

2) Banyak Minum (Polidipsia)

Rasa haus yang amat sering dialami penderita karena banyaknya cairan

yang keluar melalui kencing. Keadaan ini justru disalah

tafsirkan.Dikiranya sebab rasa haus ialah udara yang panas atau beban

kerja yang berat. Untuk menghilangkan rasa haus pasien akan banyak

minum.

3) Banyak Makan (Polifagia)

Rasa lapar yang semakin besar sering timbul pada penderita Diabetes

Mellitus karena pasien mengalami keseimbangan kalori negatif,


10

sehingga timbul rasa lapar yang sangat besar. Untuk menghilangkan

rasa lapar itu penderita banyak makan.

4) Penurunan Berat Badan dan Rasa Lemah

Penurunan berat badan yang berlangsung dalam relatif singkat harus

menimbulkan kecurigaan. Rasa lemah yang hebat menunjukan

penurunan prestasi.Hal ini disebabkan glukosa dalam darah tidak dapat

masuk kedalam sel, sehingga sel kekurangan bahan bakar untuk

menghasilkan tenaga. Untuk kelangsungan hidup, sumber tenaga

terpaksa diambil dari cadangan lain yaitu sel lemak dan otot. Akibatnya

penderita kehilangan jaringan lemak dan otot sehingga menjadi kurus

(Padila, 2017).

2. Keluhan Lain

1) Gangguan Saraf Tepi / Kesemutan

Penderita mengeluh rasa sakit atau kesemutan terutama pada kaki

diwaktu malam hari, sehingga menganggu tidur.

2) Gangguan Penglihatan

Pada fase awal Diabetes Mellitus sering dijumpai gangguan penglihatan

yang mendorong penderita untuk menganti kacamatanya berulang kali

agar dapat melihat dengan baik.

3) Gatal / Bisul

Kelainan kulit berupa gatal, biasanya terjadi didaerah kemaluan,

didaerah lipat kulit seperti ketiak, dan dibawah payudara. Sering juga

dikeluhakan timbul bisul dan luka yang lama sembuh. Luka ini dapat
11

timbul karena akibat hal yang sepele seperti luka lecet karena sepatu

atau tertusuk peniti.

4) Gangguan Ereksi

Gangguan ereksi ini menjadi masalah, tersembunyi karena sering tidak

secara terus menerus dikemukakan penderitanya. Hal ini terkait dengan

budaya masyarakat yang masih tabu membicarakan masalah seks,

apalagi menyangkut kemampuan atau kejantanan seseorang.

5) Keputihan

Pada wanita, keputihan dan rasa gatal merupakan keluhan yang sering

ditemukan dan kadang – kadang merupakan satu – satunya gejala yang

dirasakan (Padila, 2017).

2.1.4 Patofisiologi Diabetus Mellitus Tipe 2

Pengolahan bahan makanan yang dimulai dari mulut kemudian ke lambung

dan selanjutnya ke usus. Di dalam saluran pencernaan, makanan yang terdiri atas

karbohidrat dipecah menjadi glukosa, protein dipecah menjadi asam amino dan

lemak menjadi asam lemak. Ketiga zat makanan itu diedarkan ke seluruh tubuh

untuk dipergunakan oleh organ-organ di dalam tubuh sebagai bahan bakar. Supaya

berfungsi sebagai bahan bakar zat makanan itu harus diolah, dimana glukosa

dibakar melalui proses kimia yang menghasilkan energi yang disebut metabolisme

(Nurarif dan Kusuma, 2015).

Dalam proses metabolisme, insulin memegang peranan penting yaitu

memasukkan glukosa ke dalam sel yang digunakan sebagai bahan bakar. Insulin

adalah suatu zat atau hormon yang dihasilkan oleh sel beta di pankreas, bila insulin
12

tidak ada maka glukosa tidak dapat masuk sel dengan akibat glukosa tetap berada

di pembuluh darah yang artinya kadar glukosa di dalam darah meningkat (Nurarif

dan Kusuma, 2015).

Pada Diabetes Mellitus tipe 1, terjadi kelainan sekresi insulin oleh sel beta

pankreas. Pasien diabetes tipe ini mewarisi kerentanan genetik yang merupakan

predisposisi untuk kerusakan autoimun sel beta pankreas. Respons autoimun dipacu

oleh aktivitas limfosit, antibodi terhadap sel pulau langerhans dan terhadap insulin

itu sendiri. Sedangkan pada Diabetes Mellitus tipe 2, jumlah insulin normal tetapi

jumlah reseptor insulin yang terdapat pada permukaan sel yang kurang sehingga

glukosa yang masuk ke dalam sel sedikit dan glukosa dalam darah menjadi

meningkat (Nurarif dan Kusuma, 2015).


13

Gambar 2.1 Pathway Diabetes Mellitus

DM Tipe 2

Sel Tubuh Viktositas Darah


Kekurangan Glukosa Meningkat

Gangguan Glikono Tubuh Produksi


Nutrisi genesis Sorbitol
Kurang Dari
Kebutuhan
Sorbitol Sorbitol
Tubuh
Penurunan Tertimbun Tidak
Massa Otot Di Dalam Dapat
Sel Diserap

Resiko Pelisutan Gula BB Klien


Otot Sorbitol Menurun
Cedera
Menarik Klien
Air di Makin
Penumpu Intravas
kan Cairan Kurus,
Edema kuler Mudah
Di
Ekstrasel Lelah &
Intoleransi Letih
Aktivitas
Hipertensi

Kerusakan Jantung Ginjal Mata


Pembuluh Darah
Perifer

Otak Gangguan
Suplai
Darah
Delirium

Hipoksia
Luka
Jaringan
(Nurarif dan Kusuma, 2015)
14

2.1.5 Pemeriksaan Fisik

Ada beberapa pemeriksaan untuk menentukan bahwa seseorang

menderita Diabetes Mellitus, diantaranya yaitu :

1. Inspeksi : melihat pada daerah kaki bagaimana produksi keringatnya

(menurun atau tidak), kemudian bulu pada jempol kaki berkurang (-).

2. Palpasi : akral teraba dingin, kulit pecah - -pecah , pucat, kering yang tidak

normal, pada ulkus terbentuk kalus yang tebal atau bisa jugaterapa lembek.

3. Pemeriksaan pada neuropatik sangat penting untuk mencegah terjadinya

ulkus (Nurarif dan Kusuma, 2015).

2.1.6 Pemeriksaan Penunjang

Ada beberapa pemeriksaan penunjang menurut Riyadi (2018) untuk

menentukan bahwa seseorang menderita Diabetes Mellitus, diantaranya yaitu :

1. Gula Darah Puasa (GDO) 70 – 110 mg/dl

Kriteria diagnostik untuk DM > 140 paling sedikit adalam dua kali

pemeriksaan. Atau > 140 mg/dl disertai gejala klasik hiperglikemia, ata IGT

115140 mg/dl.

2. Gula Darah 2 Jam Post Prondial <140 mg/dl

Digunakan untuk skrining atau evaluasi pengobatan bukan diagnostik.

3. Gula Darah Sewaktu <140 mg/dl

Digunakan untuk skrining bukan diagnostik.

4. Tes Toleransi Glukosa Oral (TTGO)

GD<115 mg/dl ½ jam, 1 jam, 1 ½ jam < 200 mg/dl, 2 jam < 140 mg/dl.

TTGO dilakukan hanya pada pasien yang telah bebas dan diet dan
15

kreativitas fisik 3 hari sebelum tes tidak dianjurkan pada (1) hiperglikemi

yang sedang puasa, (2) orang yang mendapat thiazide, dilantin, propanolol,

lasik, thyroid, estrogen, pil KB, steroid. (3) pasien yang dirawat atau sakit

akut atau pasien inaktif.

5. Tes Toleransi Glukosa Intravena (TTGI)

Dilakukan jika TTGO merupakan kontraindikasi atau terdapat kelainan

gastrointestina yang mempengaruhi absorbsi glukosa.

6. Tes Toleransi Kortison Glukosa

Digunakan jika TTGO tidak bermakna, kortison menyebabkan peningkatan

kada gula darah abnormal dan menurunkan penggunaan gula arah perifer

pada orang yang berpredisposisi menjadi DM kadar glukosa darah 140

mg/dl pada akhir 2 jam dianggap sebagai hasil positif.

7. Glycosatet Hemoglobin

Berguna dalam memantau kadar glukosa darah rata-rata selama lebih dari 3

bulan.

8. C-Pepticle 1-2 mg/dl (Puasa) 5-6 Meningkat Setelah Pemberian Glukosa

Untuk mengukur proinsulin (produks samping yang tidak aktif secara

biologis) dari pembetukan insulin dapat membatu mengetahui sekresi

insulin (Nurarif dan Kusuma, 2015).

2.1.7 Diagnosa Banding

Adapun diagnosis banding menurut Nurarif dan Kusuma (2015) yang

diambil untuk menjadi perbandingan penyakit Diabetes Melitus Tipe 2 adalah :


16

1. Diabetes Mellitus Tipe 1

DM tipe 1 terjadi karena adanya defek sel-sel beta pancreas sehingga terjadi

defisiensi absolut dari insulin, yang mengakibatkan gangguan metabolisme

glukosa dalam tubuh dan terjadinya hiperglikemia. Prevalensi DM tipe 1

paling banyak terjadi pada laki-laki daripada perempuan. DM tipe 1

biasanya dimulai pada anak-anak usia 4 tahun atau lebih, dengan insiden

puncak onset pada usia 11-13 tahun, bertepatan dengan awal masa remaja

dan pubertas. Kejadian yang relatif tinggi ada pada usia di akhir 30-an dan

awal 40-an, dengan gejala hiperglikemia awal tanpa ketoasidosis dan

bertahap terjadinya ketosis. Gejala yang paling umum tipe 1 diabetes

mellitus (DM) adalah poliuria, polidipsia, dan polyphagia, bersama dengan

kelesuan, mual, dan penglihatan kabur, yang semuanya disebabkan oleh

hiperglikemia itu sendiri. Pasien DM tipe 1 biasanya terlihat kurus karena

terjadi penurunan berat badan yang cepat (Nurarif dan Kusuma, 2015).

2. Diabetes Mellitus Tipe Lain

Diabetes melitus tipe lain berdasarkan penyebabnya terbagi menjadi :

1) Defek genetik fungsi sel beta

a. Kromosom 12, HNF-α (dahulu MODY 3)

b. Kromosom 7, glukokinase (dahulu MODY 3)

c. Kromosom 20, HNF-α (dahulu MODY 1)

d. Kromosom 13, insulin promoter factor (IPF dahulu MODY 4)

e. Kromosom 17, HNF-1β (dahulu MODY 5)

f. Kromosom 2, Neuro D1 (dahulu MODY 6) DNA Mitokondria


17

2) Defek genetik kerja insulin: resistensi insulin tipe a, I eprechaunism,

sindrom Rabson Mendenhall diabetes lipoatrofik, lainnya.

3) Penyakit eksokrin pankreas: pankreatitis, trauma/prankreatektomi,

neoplasma, fibrosis kistik, hemokromatosis, pankreatopati fibro

kalkulus, lainnya.

4) Endokrinopati: akromegali, sindrom cushing, feokromositoma,

hipertiroidisme somatostatinoma, aldosteronoma, lainnya.

5) Karena obat/zat kimia: vacor, pentamidin, asam nikotinat,

glukokortikoid, hormon tiroid, diazoxid, aldosteronoma, lainnya.

6) Infeksi: rubella congenital, CMV, lainnya.

7) Imunologi (jarang): sindrom “stiffman”, antibodi anti reseptor insulin,

lainnya.

8) Sindroma genetik lain: sindrom Down, sindrom Klinefelter, sindrom

Turner, sindrom Wolfram’s, ataksia Friedreich’s, chorea Huntington,

sindrom Laurence Moon Biedl distrofi miotonik, porfiria, sindrom

Prader Willi, lainnya (Nurarif dan Kusuma, 2015).

3. Diabetes Insipidus

Diabetes Insipidus adalah suatu kelainan dimana terdapat

kekurangan hormon antidiuretik yang menyebabkan rasa haus yang

berlebihan (polidipsi) dan pengeluaran sejumlah besar air kemih yang

sangat encer (poliuri). Diabetes insipidus terjadi akibat penurunan

pembentukan hormon antidiuretik (vasopresin), yaitu hormon yang secara

alami mencegah pembentukan air kemih yang terlalu banyak. Hormon ini
18

unik, karena dibuat di hipotalamus lalu disimpan dan dilepaskan ke dalam

aliran darah oleh hipofisa posterior. Diabetes insipidus juga bisa terjadi jika

kadar hormon antidiuretik normal tetapi ginjal tidak memberikan respon

yang normal terhadap hormon ini (keadaan ini disebut diabetes insipidus

nefrogenik). Diabetes indipidus dapat disebabkan oleh:

1) Hipotalamus mengalami kelainan fungsi dan menghasilkan terlalu

sedikit hormon antidiuretic.

2) Kelenjar hipofisa gagal melepaskan hormon antidiuretik ke dalam aliran

darah.

3) Kerusakan hipotalamus atau kelenjar hipofisa akibat pembedahan.

4) Cedera otak (terutama patah tulang di dasar tengkorak).

5) Tumor.

6) Sarkoidosis atau tuberculosis.

7) Aneurisma atau penyumbatan arteri yang menuju ke otak.

8) Beberapa bentuk ensefalitis atau meningitis.

Diabetes insipidus dapat timbul secara perlahan maupun secara tiba-tiba

pada segala usia. Seringkali satu-satunya gejala adalah rasa haus dan

pengeluaran air kemih yang berlebihan. Sebagai kompensasi hilangnya

cairan melalui air kemih, penderita bisa minum sejumlah besar cairan (3-8

L/hari). Jika kompensasi ini tidak terpenuhi, maka dengan segera akan

terjadi dehidrasi yang menyebabkan tekanan darah rendah dan syok.

Penderita terus berkemih dalam jumlah yang sangat banyak, terutama di

malam hari. Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejalanya. Untuk


19

menyingkirkan diabetes melitus (kencing manis) dilakukan pemeriksaan

gula pada air kemih. Pemeriksaan darah menunjukkan kadar berbagai

elektrolit yang abnormal. Diagnosis diabetes insipidus semakin kuat jika

sebagai respon terhadap hormon antidiuretik:

1) Pembuangan air kemih yang berlebihan berhenti

2) Tekanan darah naik

3) Denyut jantung kembali normal (Nurarif dan Kusuma, 2015).

4. Diabetes Mellitus Gestasional

Diabetes melitus gestasional (DMG) adalah intoleransi glukosa yang

pertama kali diketahui saat kehamilan. DMG diklasifikasikan tersendiri, di

samping DM tipe I. tipe 2, dan tipe lain. DMG kurang lebih mempengaruhi

4% kehamilan. lnsidens DMG diperkirakan semakin meningkat seiring

bertambahnya populasi obesitas.

Insulin memegang peran penting dalam patofisiologi DMG. Pada trimester

pertama. terjadi peningkatan hormon estrogen dan progesteron yang

menurunkan kadar glukosa puasa sebanyak kurang lebih 15 mg/dL. Namun,

pada trimester kedua, plasenta semakin banyak mensekresikan hormon anti-

insulin. Hal ini dikarenakan mulai terjadi transfer glukosa dari ibu ke janin

sehingga diperlukan glukosa darah lebih banyak. Kadar gula darah janin

adalah 80% dari kadar gula darah ibu. Dalam hal ini, hormon human

placental lactogen (hPL) merupakan hormon yang paling berperan

mengakibatkan resistensi insulin dan lipolisis. Hormon hPL menumpulkan

afinitas insulin ke reseptor insulin. Sekresi hPL meningkat stabil pada


20

trimester pertama dan kedua, serta berada pada fase plateau saat trimester

ketiga. Efek yang ditimbulkan adalah meningkatnya transfer glukosa ke

janin dan menurunkan penggunaan glukosa oleh ibu. Selain hPL, produksi

hormon kortisol serta prolactin meningkat selama kehamilan. Kedua

hormon ini meningkatkan kadar glukosa dalam darah. Oleh karena

tingginya kadar gula darah janin, produksi insulin janin juga meningkat.

Insulin berperan sebagai hormon anabolik dan meningkatkan sintesis

glikogen serta lipogenesis. Akibatnya. terjadilah bayi makrosomia pada saat

kelahiran.

Skrining risiko DMG dilakukan pada kunjungan antenatal pertama untuk

seluruh perempuan yang sebelumnya tidak memiliki diabetes. Faktor-faktor

risiko DMG:

1) Obesitas (indeks masa tubuh saat tidak hamil ≥25 Kg/m2)

2) Riwayat DMG sebelumnya;

3) Glukosuria berat (> +2 pada pemeriksaan urin):

4) Riwayat abortus spontan;

5) Riwayat bayi sebelumnya dengan malaformasi anatomi:

6) Riwayat diabetes dalam keluarga (first degree relative) (Nurarif dan

Kusuma, 2015).

2.1.8 Prognosis

Prognosis dari DM bergantung pada pola hidup yang dilakukan oleh pasien

dalam mengontrol kadar gula nya. Pasien dengan kontrol glikemik ketat (HbA1c <

7%), tanpa disertai riwayat gangguan kardiovaskuler, dan juga tidak ada gangguan
21

mikrovaskuler serta makrovaskuler akan mempunyai harapan hidup lebih lama.

Namun jika pasien memiliki riwayat penyakit kardiovaskuler dan telah menderita

diabetes lama (≥ 15 tahun) akan mempunyai harapan hidup lebih singkat, walaupun

telah melakukan kontrol glikemik ketak sekalipun (Khardori, 2017). DM dapat

menyebabkan mortalitas dan morbiditas karena dapat berkomplikasi pada penyakit

kardiovaskuler, penyakit ginjal, gangguan pembuluh darah perifer, gangguan saraf

(neuropati), dan retinopati. Pengontrolan kadar glikemik merupakan cara efektif

untuk pencegahan DM (Khardori, 2017).

2.1.9 Penatalaksanaan

Tujuan penatalaksanaan secara umum adalah meningkatkan kualitas hidup

penyandang diabetes. Penatalaksanaan DM dimulai dengan menerapkan pola hidup

sehat (terapi nutrisi medis dan aktivitas fisik) bersamaan dengan intervensi

farmakologis dengan obat anti hiperglikemia secara oral dan/atau suntikan. Obat

anti hiperglikemia oral dapat diberikan sebagai terapi tunggal atau kombinasi.

Berikut adalah penjelasan penatalaksanaan farmakologi dan non farmakologi pada

pasien DM:

1. Non Farmakologi

1) Edukasi

Edukasi dengan tujuan promosi hidup sehat, perlu selalu dilakukan

sebagai bagian dari upaya pencegahan dan merupakan bagian yang

sangatpenting dari pengelolaan DM secara holistic. Materi edukasi

terdiri dari materi edukasi tingkat awal dan materi edukasi tingkat
22

lanjutan. Perilaku hidup sehat bagi penyandang Diabetes Melitus adalah

memenuhi anjuran (Soelistijo, 2015):

a. Mengikuti pola makan sehat.

b. Meningkatkan kegiatan jasmani dan latihan jasmani yang teratur

c. Menggunakan obat DM dan obat lainya pada keadaankhusus secara

aman dan teratur.

d. Melakukan Pemantauan Glukosa Darah Mandiri (PGDM) dan

memanfaatkan hasil pemantauan untuk menilai keberhasilan

pengobatan.

e. Melakukan perawatan kaki secara berkala.

f. Memiliki kemampuan untuk mengenal dan menghadapi keadaan

sakit akut dengan tepat.

g. Mempunyai keterampilan mengatasi masalah yang sederhana, dan

mau bergabung dengan kelompok penyandang diabetes serta

mengajak keluarga untuk mengerti pengelolaan penyandang DM.

h. Mampu memanfaatkan fasilitas pelayanan kesehatan yang ada.

2) Jasmani

Latihan jasmani merupakan salah satu pilar dalam pengelolaan DM Tipe

2 apabila tidak disertai adanya nefropati. Kegiatan jasmani sehari-hari

dan latihan jasmani dilakukan secara secara teratur sebanyak 3-5 kali

perminggu selama sekitar 30-45 \menit, dengan \ total 150 menit

perminggu. Jeda antar latihan tidak lebih dari 2 hari berturut-turut.

Dianjurkan untuk melakukan pemeriksaan glukosa darah sebelum


23

latihan jasmani. Apabila kadar glukosa darah <100 mg/dL pasien harus

mengkonsumsi karbohidrat terlebih dahulu dan bila >250 mg/dL

dianjurkan untuk menunda latihan jasmani. Kegiatan sehari-hari atau

aktivitas sehari-hari bukan termasuk dalam latihan jasmani meskipun

dianjurkan untuk selalu aktif setiap hari. Latihan jasmani selain untuk

menjaga kebugaran juga dapat menurunkan berat badan dan

memperbaiki sensitivitas insulin, sehingga akan memperbaiki kendali

glukosa darah. Latihan jasmani yang dianjurkan berupa latihan jasmani

yang bersifat aerobik dengan intensitas sedang (50-70% denyut jantung

maksimal) seperti: jalan cepat, bersepeda santai, jogging, dan berenang.

Denyut jantung maksimal dihitung dengan cara mengurangi angka 220

dengan usia pasien. Pada penderita DM tanpa kontraindikasi (contoh:

osteoartritis, hipertensi yang tidak terkontrol, retinopati, nefropati)

dianjurkan juga melakukan resistance training (latihan beban) 2-3

kali/perminggu sesuai dengan petunjuk dokter. Latihan jasmani

sebaiknya disesuaikan dengan umur dan status kesegaran jasmani.

Intensitas latihan jasmani pada penyandang DM yang relative sehat bisa

ditingkatkan, sedangkan pada penyandang DM yang disertai komplikasi

intesitas latihan perlu dikurangi dan disesuaikan dengan masing-masing

individu (Soelistijo, 2015).


24

2. Terapi Nutrisi Medis (TNM)

TNM merupakan bagian penting dari penatalaksanaan DMT2 secara

komprehensif. Kunci keberhasilannya adalah keterlibatan secara

menyeluruh dari anggota tim (dokter, ahli gizi, petugas kesehatan yang lain

serta pasien dan keluarganya). Guna mencapai sasaran terapi TNM

sebaiknya diberikan sesuai dengan kebutuhan setiap penyandang DM.

Prinsip pengaturan makan pada penyandang DM hampir sama dengan

anjuran makan untuk masyarakat umum, yaitu makanan yang seimbang dan

sesuai dengan kebutuhan kalori dan zat gizi masing-masing individu.

Penyandang DM perlu diberikan penekanan mengenai pentingnya

keteraturan jadwal makan, jenis dan jumlah kandungan kalori, terutama

pada mereka yang menggunakan obat yang meningkatkan sekresi insulin

atau terapi insulin itu sendiri (Soelistijo, 2015).

1) Komposisi Makanan Yang Dianjurkan

Terdiri dari Karbohidrat, Protein, Natrium, Serat, Pemanis Alternatif.

Pemanis alternatif dikelompokkan menjadi pemanis berkalori dan

pemanis tak berkalori. Pemanis berkalori perlu diperhitungkan

kandungan kalorinya sebagai bagian dari kebutuhan kalori, seperti

glukosa alkohol dan fruktosa. Glukosa alkohol antara lain isomalt,

lactitol, maltitol, mannitol, sorbitol dan xylitol. Fruktosa tidak

dianjurkan digunakan pada penyandang DM karena dapat

meningkatkan kadar LDL, namun tidak ada alasan menghindari

makanan seperti buah dan sayuran yang mengandung fruktosa alami.


25

Pemanis tak berkalori termasuk: aspartam, sakarin, acesulfame

potassium, sukralose, neotame (Soelistijo, 2015).

2) Kebutuhan Kalori

Ada beberapa cara untuk menentukan jumlah kalori yang dibutuhkan

penyandang DM, antara lain dengan memperhitungkan kebutuhan

kalori basal yang besarnya 25-30 kal/kgBB ideal. Jumlah kebutuhan

tersebut ditambah atau dikurangi bergantung pada beberapa faktor yaitu:

jenis kelamin, umur, aktivitas, berat badan, dan lain-lain. (Soelistijo,

2015)

3. Farmakologi

Terapi farmakologis diberikan bersama dengan pengaturan makan dan

latihan jasmani (gaya hidup sehat). Terapi farmakologis terdiri dari obat oral

dan bentuk suntikan (Soelistijo, 2015).

1) Obat Antihiperglikemia Oral

Berdasarkan cara kerjanya, obat antihiperglikemia oral dibagi menjadi

5 golongan (Soelistijo, 2015):

a. Pemacu Sekresi Insulin (Insulin Secretagogue)

Contoh: Sulfonilurea, Glinid

b. Peningkat Sensitivitas terhadap Insulin

Contoh: Metformin, Tiazolidindion (TZD).

c. Penghambat Absorpsi Glukosa di saluran pencernaan:

Contoh: Penghambat Alfa Glukosidase.

d. Penghambat DPP-IV (Dipeptidyl Peptidase-IV)


26

e. Penghambat SGLT-2 (Sodium Glucose Cotransporter2)

2) Obat Antihiperglikemia Suntik

Termasuk anti hiperglikemia suntik, yaitu insulin, agonis GLP-1 dan

kombinasi insulin dan agonis GLP-1 (Soelistijo, 2015).

3) Insulin

a. HbA1c > 9% dengan kondisi dekompensasi metabolik

b. Penurunan berat badan yang cepat

c. Hiperglikemia berat yang disertai ketosis

d. Krisis Hiperglikemia

e. Gagal dengan kombinasi OHO dosis optimal

f. Stres berat (infeksi sistemik, operasi besar, infark miokard akut, stroke)

g. Kehamilan dengan DM/Diabetes mellitus gestasional yang tidak

terkendali dengan perencanaan makan

h. Gangguan fungsi ginjal atau hati yang berat

i. Kontraindikasi dan atau alergi terhadap OHO

j. Kondisi perioperatif sesuai dengan indikasi (Tim Pokja SIKI DPP

PPNI, 2018).

2.1.10 Komplikasi

Menurut Rendy & Margareth (2017), apabila Diabetes Mellitus tidak

ditangani dengan benar akan menimbulkan komplikasi terbagi menjadi tiga, yaitu:

1. Komplikasi Akut

1) Hipoglikemi dan hiperglikemi.


27

2) Penyakit Makrovaskuler: mengenai pembuluh darah besar, penyakit

jantung koroner (cerebrovaskuler, penyakit pembuluh darah kapiler).

3) Penyakit mikrovaskuler, mengenai pembuluh darah kecil, retinopati,

nefropati.

4) Neuropati saraf sensorik (berpengaruh pada ekstremitas), saraf otonom

berpengaruh pada gastro intestinal, kardiovaskuler.

2. Komplikasi Menahun

1) Neuropati

2) Retinopati

3) Nefropati

4) Proteinuria

5) Kelainan Koroner

3. Komplikasi Ulkus atau Gangren

Terdapat 5 grade ulkus yaitu :

1) Grade 0 : Tidak ada luka

2) Grade I : Kerusakan hanya sampai pada permukaan kulit

3) Grade II : Kerusakan kulit mencapai otot dan tulang

4) Grade III : Terjadi abses

5) Grade IV : Ganggren pada kaki bagian distal

6) Grade V : Ganggren pada seluruh kaki dan tungkai bawah (Tim Pokja

SIKI DPP PPNI, 2018).


28

2.1.11 Pencegahan

1. Pengelolaan Makan

Diet yang dianjurkan yaitu diet rendah kalori, rendah lemak, rendah lemak

jenuh, diet tinggi serat. Diet ini dianjurkan diberikan pada setiap orang yang

mempunyai risiko DM. Jumlah asupan kalori ditujukan untuk mencapai

berat badan ideal. Selain itu, karbohidrat kompleks merupakan pilihan dan

diberikan secara terbagi dan seimbang sehingga tidak menimbulkan puncak

glukosa darah yang tinggi setelah makan (Goldenberg dkk, 2018).

2. Aktifitas Fisik

Kegiatan jasmani seharihari dan latihan jasmani secara teratur (3-4 kali

seminggu selama kurang lebih 30 menit terdiri dari pemanasan ±15 menit

dan pendinginan ±15 menit), merupakan salah satu cara untuk mencegah

DM. Kegiatan sehari-hari seperti menyapu, mengepel, berjalan kaki ke

pasar, menggunakan tangga, berkebun harus tetap dilakukan dan

menghindari aktivitas sedenter misalnya menonton televisi, main game

komputer, dan lainnya. Latihan jasmani selain untuk menjaga kebugaran

juga dapat menurunkan berat badan dan memperbaiki sensitivitas insulin,

sehingga akan memperbaiki kendali glukosa darah. Latihan jasmani yang

dianjurkan berupa latihan jasmani yang bersifat aerobik seperti jalan kaki,

bersepeda santai, jogging, dan berenang. Latihan jasmani sebaiknya

disesuaikan dengan umur dan status kesegaran jasmani. Hindarkan

kebiasaan hidup yang kurang gerak atau bermalasmalasan (PERKENI,

2016).
29

3. Kontrol Kesehatan

Seseorang harus rutin mengontrol kadar gula darah agar diketahui nilai

kadar gula darah untuk mencegah terjadinya diabetes melitus supaya ada

penanganan yang cepat dan tepat saat terdiagnosa diabetes melitus (Sugiarto

& Suprihatin, 2017). Seseorang dapat mencari sumber informasi sebanyak

mungkin untuk mengetahui tanda dan gejala dari diabetes melitus yang

mungkin timbul, sehingga mereka mampu mengubah tingkah laku sehari-

hari supaya terhindar dari penyakit diabetes melitus.

2.2 Konsep Asuhan Keperawatan Integritas Kulit

2.2.1 Definisi

Gangguan integritas kulit adalah suatu kerusakan kulit (dermis dan/atau

epidermis) atau jaringan (mukosa, kornea, fasia, otot, tendon, tulang, kartilago dan

kapsul sendi). (Tim Pokja SDKI DPP PPNI, 2016). Kerusakan integritas jaringan

merupakan kondisi individu mengalami atau beresiko untuk mengalami perubahan

pada jaringan, kornea, atau membran mukosa tubuh. Kerusakan integritas kulit

yaitu kondisi ketika individu mengalami atau beresiko mengalami perubahan

epidermis dan atau dermis (Lynda, 2017).

Luka diabetik adalah luka yang terjadi pada pasien diabetik yang melibatkan

gangguan pada saraf peripheral dan autonimik (Wijaya & Putri, 2018). Luka

diabetik adalah luka yang terjadi karena adanya kelainan pada saraf, kelainan

pembuluh darah dan kemudian adanya infeksi. Bila infeksi tidak diatasi dengan

baik, hal itu akan berlanjut menjadi pembusukan bahkan dapat diamputasi. Ulkus

adalah luka terbuka pada permukaan kulit atau selaput lender dan ulkus adalah
30

kematian jaringan yang luas dan disertai dengan invasive kuman saprofit. Adanya

kuman sarofit tersebut menyebabkan ulkus menjadi berbau, ulkus diabetikum juga

merupakan salah satu gejala klinik dan perjalanan DM dengan neuropati perifer

(Andyagreeni, 2015). Ulkus diabetikum dikenal dengan istilah gangrene

didefinisikan sebagai jaringan nekrosis atau jaringan mati yang disebabkan oleh

adanya emboli pembuluh darah besar arteri pada bagian tubuh sehingga suplai

darah berhenti. Dapat terjadi sebagai akibat proses inflamasi yang memanjang,

perlukaan (digigit serangga, kecelakaan kerja atau terbakar), proses degeneratif

(arteriosklerosis) atau gangguan metabolik diabetes mellitus (Lynda, 2017).

Gangrendiabetik adalah nikrosis jaringan pada bagian tubuh perifer akibat diabetes

mellitus. Biasanya gangrene tersebut terjadi pada daerah tungkai. Keadaan ini

ditandai dengan pertukaran selulitis dan timbulnya vesikula atau bula yang

hemoragik kuman yang biasa menginfeksi padagangren diabetik adalah

streptococcus (Lynda, 2017).

2.2.2 Batasan Karakteristik

Batasan karakteristik gangguan integritas kulit pada paseien diabetes

mellitus tipe 2 adalah sebagai berikut :

1. Kerusakan Lapisan Kulit (Dermis)

Dermis atau korium merupakan lapisan bawah epidermis dan diatas jaringan

sukutan. Dermis terdiri dari jaringan ikat yang dilapisan atas terjalin rapat

(pars papilaris), sedangkan dibagian bawah terjalin lebih longgar (pars

reticularis). Lapisan pars tetucularis mengandung pembuluh darah, saraf,


31

rambut, kelenjar keringat dan kelenjar sebaseus (Nurarif dan Kusuma,

2015).

2. Gangguan Permukaan Kulit (Epidermis)

Epidermis terbagi dalam empat bagian yaitu lapisan basal atau stratum

germinativium, lapisan malphigi atau stratum spinosum, lapisan glanular

atau stratum gronulosum, lapisan tanduk atau stratum korneum. Epidermis

mengandung juga: kelenjar ekrin, kelenjar apokrin, kelenjar sebaseus,

rambut dan kuku. Kelenjar keringat ada dua jenis, ekrin dan apokrin.

Fungsinya mengatur suhu, menyebabkan panas dilepaskan dengan cara

penguapan. Kelenjar ekrin terdapat disemua daerah kulit, tetapi tidak

terdapat diselaput lendir. Seluruhnya berjulah antara 2 sampai 5 juta yang

terbanyak ditelapak tangan. Kelenjar apokrin adalah kelenjar keringat besar

yang bermuara ke folikel rambut, terdapat diketiak, daerah anogenital.

Puting susu dan areola. Kelenjar sebaseus terdapat diseluruh tubuh, kecuali

di telapak tangan, tapak kaki dan punggung kaki. Terdapat banyak di kulit

kepala, muka, kening, dan dagu. Sekretnya berupa sebum dan mengandung

asam lemak, kolesterol dan zat lain (Nurarif dan Kusuma, 2015).

2.2.3 Faktor Yang Berhubungan Dengan Gangguan Integritas Kulit

Faktor yang berhubungan dengan gangguan integritas kulit pada paseien

diabetes mellitus tipe 2 adalah sebagai berikut :

1. Perubahan Sirkulasi

2. Perubahan Status Nutrisi (Kelebihan atau Kekurangan)

3. Kekurangan atau Kelebihan Volume Cairan


32

4. Penurunan Mobilitas

5. Bahan Kimia Iritatif

6. Suhu Lingkungan Yang Ekstrem

7. Faktor Mekanis (Penekanan atau Gesekan)

8. Faktor Elektris (Elektrodiatermi dan Energi Listrik Tegangan Tinggi)

9. Kelembapan

10. Proses Penuaan

11. Neuropati Perifer

12. Perubahan Pigmentasi

13. Perubahan Hormonal (Nurarif dan Kusuma, 2015).

2.2.4 Tanda dan Gejala

Tanda dan gejala gangguan integritas kulit menurut Tim Pokja SDKI DPP

PPNI (2016) dibagi menjadi dua, yaitu :

1. Mayor

1) Subjektif : (Tidak Tersedia)

2) Objektif : Kerusakan jaringan dan atau lapisan kulit

2. Minor

1) Subjektif : (Tidak Tersedia)

2) Objektif : Nyeri, perdarahan, kemerahan dan hematoma

2.2.5 Pemeriksaan Diagnostik

Pemeriksaan diagnostik pada ganggun integritas kulit adalah :

1. Pemeriksaan Fisik

1) Inspeksi
33

Denervasi kulit menyebabkan produktivitas kringat menurun,

sehingga kulit kaki kering, pecah, rabut kaki/ jari (-), kalus, claw toe.

Ulkus tergantung saat ditemukan (0-5).

2) Palpasi

a. Kulit kering, pecah – pecah, tidak normal

b. Klusi arteri dingin, pulsasi (-)

c. Ulkus : kalus tebal dan keras (Tim Pokja SDKI DPP PPNI, 2018).

2. Pemeriksaan Vaskuler

Tes vaskuler non noninvasive : pengukuran oksigen transkutaneus,

ankle brachial index (ABI), absolute toe systolic pressure. ABI : tekanan

sistolik betis dengan tekanan sistolik lengan.

3. Pemeriksaan Radiologis : Gas Subkutas, Benda Asing dan Asteomielitis

4. Pemeriksaan Laboratorium yang dilakukan adalah:

1) Pemeriksaan Darah

Pemeriksaan darah meliputi : GDS >200 mg/dl, gula darah puasa

>120 mg/dl dan dua jam post prandial>200 mg/dl.

2) Urine

Pemeriksaan didapatkan adanya glukosa dalam urine. Pemeriksaan

dilakukan dengan caraBenedict (reduksi). Hasil dapat dilihat melalui

perubahan warna urine : hijau (+), kuning (++), merah(+++), dan merah

bata (++++).
34

3) Kultur Pus

Mengetahui jenis kuman pada luka dan memberikan antibiotic yang

sesuai dengan jenis kuman (Tim Pokja SDKI DPP PPNI, 2018).

2.2.6 Penatalaksanaan

1. Pengobatan

Pengobatan dari gangrene diabetik sangat dipengaruhi oleh derajat

dan dalamnya ulkus, apabila dijumpai ulkus yang dalam harus dilakukan

pemeriksaan yang seksama untuk menetukan kondisi ulkus dan besar

kecilnya debridement yang akan dilakukan. Dari penatalaksanaan

perawatan luka diabetik ada beberapa tujuan yang ingin dicapai, antara lain:

1) Mengurangi atau menghilangkan faktor penyebab

2) Optimalisasi suasana lingkungan luka dalam kondisi lembab

3) Dukungan kondisi klien atau host (nutrisi, control diabetes mellitus dan

control faktor penyerta)

4) Meningkatkan edukasi kllien dan keluarga (Tim Pokja SIKI DPP PPNI,

2018).

2. Perawatan Luka Diabetik

1) Mencuci Luka

Merupakan hal pokok untuk meningkatkan, memperbaiki dan

mempercepat proses penyembuhan luka serta menghindari

kemungkinan terjadinya infeksi. Proses pencucian luka bertujuan untuk

membuang jaringan nekrosis, cairan luka yang berlebihan, sisa balutan


35

yang digunakan dan sisa metabolik tubuh pada permukaan luka (Tim

Pokja SIKI DPP PPNI, 2018).

Cairan yang terbaik dan teraman untuk mencuci luka adalah yang

non toksik pada proses penyembuhan luka (misalnya NaCl 0,9%).

Penggunaan hydrogenperoxida, hypoclorite solution dan beberapa

cairan debridement lainnya, sebaliknya hanya digunakan pada jaringan

nekrosis / slough dan tidak digunakan pada jaringan granulasi. Cairan

aseptic seperti provine iodine sebaiknya hanya digunakan saat luka

terinfeksi atau tubuh pada keadaan penurunan imunitas, yang kemudian

dilakukan pembilasan kembali dengan saline (Tim Pokja SIKI DPP

PPNI, 2018).

2) Debridement

Debridement adalah pembuangan jaringan nekrosis atau slough

pada luka. Debridement dilakukan untuk menghindari terjadinya infeksi

atau selulitis, karena jaringan nekrosis selalu berhubungan dengan

adanya peningkatan jumlah bakteri. Setelah debridement, jumlah

bakteri akan menurun dengan sendirinya yang diikuti dengan kemapuan

tubuh akan membuang sendiri jaringan nekrosis atau slough yang

menempel pada luka (peristiwa autolysis).

Autolysis adalah peristiwa pecahnya atau rusaknya jaringan

nekrotik oleh leukosit dan enzim lyzomatik. Debridement dengan

sistemautolysis dengan menggunakan occlusive dressing merupakan


36

cara teraman dilakukan pada klien dengan luka diabetik. Terutama

untuk menghindari resiko infeksi (Tim Pokja SIKI DPP PPNI, 2018).

3) Terapi Antibiotika

Pemberian antibiotic biasanya diberi peroral yang bersifat

menghambat kuman gram positif dengan gram negatif. Apabila tidak

dijumpai perbaikan pada luka tersebut, maka terapi antibiotic dapat

diberikan perparenteral yang dengan kepekaan kuman (Tim Pokja SIKI

DPP PPNI, 2018).

4) Nutrisi

Faktor nutrisi merupakan salah satu faktor penting yang berperan

dalam penyembuhan luka. Penderita dengan gangrene diabetik biasanya

diberikan diet B1 dengan nilai gizi : yaitu 60% kalori karbohidrat, 20%

kalori lemak, 20% kalori protein (Tim Pokja SIKI DPP PPNI, 2018).

5) Pemilihan Jenis Balutan

Tujuan pemilihan jenis balutan adalah memilih jenis balutan yang

dapat mempertahankan suasana lingkungan luka dalam keadaan

lembab, mempercepat proses penyembuhan hingga 50%, absorbs

eksudat/cairan luka yang keluar berlebihan, membuang jaringan

nekrosis/slough (support autolysis), control terhadap infeksi/

menghindar dari kontaminasi, nyaman digunakan dan menurunkan rasa

sakit saat mengganti balutan dan menurunkan jumlah biaya dan waktu

perawatan (cost effective). Jenis balutan : absorbent dressing,

hydroactive gel, hydrocoloi (Tim Pokja SIKI DPP PPNI, 2018).


37

Selain pengobatan dan perawatan diatas, perlu juga pemeriksaan Hb

dan albumin minimal satu minggu sekali, karena adanya anemia dan

hipoalbumin akan sangat berpengaruh dalam penyembuhan luka.

Diusahakan agar Hb lebih dari 12 g/dldan albumin darah dipertahankan

lebih 3,5 g/dl. Dan perlu juga dilakukan monitor glukosa darah secara

ketat, karena bila didapat peningkatan glukosa darah yang sulit

dikendalikan, ini merupakan salah satu tanda memburuknya infeksi

yang ada sehingga luka sukar sembuh.

Untuk mencegah timbulnya gangrene diabetik dibutuhkan

kerjasama yang antara dokter, perawat dan penderita sehingga tindakan

pencegahan, deteksi dini beserta terapi yang rasional bisa dilaksanakan

dengan harapan biaya yang besar, morbiditas, penderita gangrene dapat

ditekan serendah – rendahnya. Upaya untuk pencegahan dapat

dilakukan dengan cara penyuluhan dimana masing – masing profesi

mempunyai peran yang saling menunjang.

6) Gunakan alas kaki yang pas dan kaos kaki yang bersih setiap saat

berjalan dan jangan bertelanjang kaki bila berjalan (Tim Pokja SIKI

DPP PPNI, 2018).

2.2.7 Pengkajian

1. Pengumpulan Data

Pengkajian merupakan langkah utama dan dasar utama dari proses

keperawatan yang mempunyai dua kegiatan pokok, yaitu :


38

Pengumpulan data yang akurat dan sistematik akan membantu

dalam menentukan status kesehatan dan pola pertahanan penderita,

mengidentifikasikan, kekuatan dan kebutuhan penderita yang diperoleh

melalui anamnese, pemeriksaan fisik, pemeriksaaan laboraturium serta

pemeriksaan penunjang lainnya.

Demografi menggambarkan Identitas klien tentang Pengkajian

mengenai nama, umur dan jenis kelamin perlu dikaji pada penyakit status

diabetes mellitus. Umumnya diabetes melitus karena factor genetik dan bisa

menyerang pada usia kurang lebih 45 tahun. Alamat menggambarkan

kondisi lingkungan tempat klien berada, dapat mengetahui mengetahui

faktor pencetus diabetes mellitus. Status perkawinan, gangguan emosional

yang timbul dalam keluarga atau lingkungan merupakan faktor pencetus

daibetes mellitus, pekerjaan serta bangsa perlu dikaji untuk mengetahui

adanya pemaparan bahan elergen. Hal ini yang perlu dikaji tentang : tanggal

MRS, Nomor Rekam Medik, dan Diagnosis Keperawatan Medis (Nurarif

dan Kusuma, 2015).

2. Keluhan Utama

1) Nutrisi : peningkatan nafsu makan, mual, muntah, penurunan atau

peningkatan berat badan, banyak minum dan perasaan haus.

2) Eliminasi : perubahan pola berkemih (poliuria), nokturia, kesulitan

berkemih, diare.

3) Neurosensori : nyeri kepala, parathesia, kesemutan, pada ekstermitas,

penglihatan kabur, gangguan penglihatan.


39

4) Integumen : gatal pada kulit, gatal pada sekitar penis dan vagina, dan

luka ganggren.

5) Muskuloskeletal : kelemahan dan keletihan.

6) Fungsi seksual : ketidakmampuane ereksi (impoten), regiditas,

penurunan libido, kesulitan orgasme pada wanita (Nurarif dan Kusuma,

2015).

3. Riwayat Penyakit Sekarang

Adanya gatal pada kulit disertai luka tidak sembuh-sembuh,

terjadinya kesemutan pada ekstermitas, menurunnya berat badan,

meningkatnya nafsu makan, sering haus, banyak kencing, dan menurunnya

ketajaman penglihatan.

4. Riwayat Penyakit Dahulu

Sebelumya pernah mengalami penyakit diabetes mellitus dan pernah

mengalami luka pada kaki.

5. Riwayat Penyakit Keluarga

Riwayat keluarga diabetes mellitus atau penyakit keturunan yang

menyebabkan terjadinya difesiensi insulin misal, hipertensi, jantung.

6. Riwayat Psikososial

Meliputi informasi mengenai perilaku, perasaan dan emosi yang

dialami penderita sambungan dengan penyakitnya serta tanggapan keluarga

terhadap penyakit penderita.

7. Pemeriksaan Fisik

1) Status Kesehatan Umum


40

Meliputi keadaan penderita, kesadaran, suara bicara, tinggi

badan, berat badan dan tanda-tanda vital.

2) Pemeriksaan Head To Toe

a. Kepala :Wajah dan kulit kepala Bentuk muka , ekspresi wajah

gelisah dan pucat, rambut, bersih/tidak dan rontok/tidak,

ada/tidak nyeri tekan.

b. Mata : Mata kanan dan kiri simetris / tidak , mata cekung/tidak,

konjungtiva anemis/ tidak, selera ikterit/tidak, ada/tidak sektet,

gerakan bola mata normal/tidak, ada benjolan/tidak, ada/tidak

nyeri tekan, fungsi penglihatan menurun/tidak.

c. Hidung : ada/Tidak polip, ada/tidak sektet, ada/ tidak radang,

ada/tidak benjolan, fungsi penghidu baik/buruk.

d. Telinga : Canalis bersih/kotor, pendengaran baik/menurun,

ada/tidak benjolan pada daun telinga, ada/ tidak memakai alat

bantu pendengaran.

e. Mulut : Gigi bersih/kotor, ada/tidak karies gigi, ada/tidak

memakai gigi palsu, gusi ada/ tidak peradangan, lidah

bersih/kotor, bibir kering/lembab.

f. Leher : ada/Tidak pembesaran kelenjar thyroid, ada/tidak nyeri

tekan, ada/tidak bendungan vena jugularis dan ada/tidak

pembesaran kelenjar limpa.

g. Thorax dan paru : Bentuk dada normal chest simetris/tidak

kanan dan kiri.Paru – paru Inspeksi : pada paru – paru


41

didapatkan data tulang iga simetris/tidak kanan dan kiri,

payudara normal/tidak, RR normal atau tidak, pola nafas

regular/tidak, bunyi vesikuler/tidak, ada/tidak sesak nafas.

Palpasi : Vocal fremitus anteria kanan dan kiri simetris/tidak,

ada/tidak nyeri tekan. Vocal fremitus posterior kanan = kiri,

gerak pernafasan kanan = kiri simetris/tidak. Auskultasi : suara

vesikuler/tidak, ada/tidak rokhi maupun wheezing.Perkusi :

suara paru – paru sonor/tidak pada paru kanan dan kiri. Jantung

Inspeksi : lokasi lotus di gic midclavikula dan denyut jantung

Nampak/tidak. Palpasi : teraba denyut jantung dengan gerakan.

Perkusi : di sic 5 mid axial dari laterat ke media bunyinya

sonor/tidak sampai dengan sternum 2 jari ke sternum

peka.Auskultasi : s1 = s2 murni regular, bunyi jantung normal,

tidak ada mur – mur dan gallop.

h. Abdomen Inspeksi : abdomen simetris/tidak, datar dan ada/tidak

luka Auskultasi : peristartik 25x/ menit Palpasi : ada/tidak nyeri

di kuadran kiri atas. Perkusi : suara hypertimpani.

i. Genitalia Data tidak terkaji, terpasang kateter/tidak.

j. Muskuluskeletal : Ekstresmitas atas : simetris/tidak, ada/tidak

odema atau lesi, ada/tidak nyeri tekan, Ekstremitas bawah : kaki

kanan dan kaki kiri simetris ada /tidak kelainan. Ada atau tidak

luka.
42

k. Integumentum : Warna kulit, turgor kulit baik/jelek/kering ada

lesi/tidak, ada/tidak pengurasan kulit, ada/tidak nyeri tekan

(Nurarif dan Kusuma, 2015).

8. Pemeriksaan Penunjang

1) Kadar Glukosa

a. Gula darah sewaktu atau random >200mg/dl.

b. 2) Gula darah puasa atau nuchter >140 mg/dl.

c. 3) Gula darah 2 jam PP (post prandial) >200 mg/dl

2) Aseton plasma jika hasil (+) mencolok.

3) Asam lemak bebas adanya peningkatan lipid dan kolesterol.

4) Osmolaritas serum (>330 osm/l) (Nurarif dan Kusuma, 2015).

2.2.8 Diagnosa Keperawatan

1. Gangguan Integritas Kulit

2. Defisiensi Pengetahuan

3. Kekurangan Volume Cairan (Tim Pokja SDKI DPP PPNI, 2018).

2.2.9 Intervensi Diagnosa Keperawatan

Tabel 2.1 Intervensi Diagnosa Keperawatan

Tujuan Dan
No. Diagnosa Intervensi Rasional
Kriteria Hasil
Gangguan NOC NIC
Integritas Kulit Penyembuhan Perawatan Luka
a. Definisi : Luka: Sekunder Intervensi:
Cidera pada Kriteria Hasil: a. Ganti balutan a. Menjaga luka
membrane a. Granulasi b. Monitor agar tetap
1.
mukosa, b. Pembentukan karakteristik bersih
kornea, bekas luka luka termasuk b. Untuk
system c. Drainase drainase, mengetahui
integument, purulen warna, ukuran keadaan luka
fascia d. Nekrosis dan bau
43

muscular, e. Lubang pada c. Ukur luas luka c. Mengetahui


otot, tendon, luka yang sesuai luas luka
tulang, berkurang d. Bersihkan d. Untuk
kartilago, f. Bau busuk dengan mengurangi
kapsul sendi, luka normal saline terjadinya
dan/atau berkurang atau infeksi
ligament. pembersihan e. Mencegah
b. Batasan yang tidak perluasan
Karakteristik: beracun dan ulkus
Integritas tepat f. Pemilihan
Kulit dan e. Berikan salep yang
Integritas perawatan tepat dapat
Jaringan. pada ulkus mempercepat
pada kulit penyembuha
yang n luka.
diperlukan. g. Menjaga agar
f. Oleskan salep luka tetap
yang sesuai steril
dengan lesi h. Agar luka
g. Pertahankan tetap bersih
teknik balutan dan steril
steril ketika i. Untuk
melakukan mencegah
perawatan adanya
luka dengan tekanan
tepat. j. Mengetahui
h. Ganti balutan Cara
sesuai dengan perawatan
jumlah k. Segera
eksudat dan melaporkan
drainase jika ada tanda
i. Reposisi – tanda
pasien infeksi
setidaknya 2 l. Sebagai bukt
jam dengan legal
tepat
j. Anjurkan
pasien dan
keluarga pada
prosedur
keperawatan
k. Anjurkan
pasien dan
keluarga
mengenal
44

tanda – tanda
infeksi
l. Dokumentasi
ukuran luka,
lokasi dan
tampilan
(Tim Pokja SIKI DPP PPNI, 2018)

2.2.10 Implementasi

No. Hari / tanggal Jam Implementasi Respon Ttd

Merupakan pengelolaan dari perwujudan intervensi meliputi kegiatan yaitu

validasi, rencana keperawatan, mendokumentasikan rencana, memberikan askep

dalam pengumpulan data, serta melaksanakan advise dokter dan ketentuan RS.

2.2.11 Evaluasi

No Hari/ Tanggal Jam Catatan Perkembangan Ttd

S
O
A
P
45

Merupakan tahap akhir dari suatu proses keperawatan yang merupakan

perbandingan yang sistematis dan rencana tentang kesehatan pasien dengan tujuan

yang telah ditetepkan, dilakukan dengan cara melibatkan pasien dan sesama tenaga

kesehatan (Wijaya & Putri, 2013).

2.2.12 Standard Operasional Prosedur (SOP) Perawatan Luka

Tabel 2.2 Standard Operasional Prosedur (SOP) Perawatan Luka

Pengertian Melakukan tindakan perawatan terhadap luka,


mengganti balutan dan membersihkan luka
Tujuan 1. Mencegah infeksi
2. Membantu penyembuhan luka
3. Meningkatkan harga diri klien
Peralatan dan Bahan 1. Bak instrumen yang berisi :
1) 2 buah pinset anatomi
2) 2 buah pinset chirugis
3) Gunting jaringan
4) Cucing 2 buah
2. Peralatan lain :
1) Trolly
2) Tromol berisi kasa steril
3) Korentang
4) 1 pasang sarung tangan bersih
5) 1 pasang sarung tangan steril
6) Hipafiks secukupnya
7) Gunting plester
8) Perlak kecil
9) NaCl 0,9 %
10) Bengkok
11) Tas kresek
12) Obat sesuai advis
Prosedur 1. Tahap Pra Interaksi
1) Melakukan verifikasi program terapi
2) Mencuci tangan
3) Memakai sarung tangan bersih
4) Menempatkan alat ke dekat pasien
2. Tahap Orientasi
1) Mengucapakan salam dan menyapa klien
2) Menjelaskan maksud dan tujuan tindakan yang
akan dilakukan pada klien
3) Menanyakan kesiapan klien sebelum kegiatan
dilakukan
46

4) Memberi kesempatan bertanya pada klien


sebelum tindakan
3. Tahap Kerja
1) Menjaga privacy klien
2) Mengatur posisi klien sehingga luka dapat
terlihat dan terjangkau oleh perawat
3) Membuka bak instrumen
4) Menuangkan NaCl 0,9% ke dalam cucing
5) Mengambil kasa steril secukupnya, kemudian
masukan ke dalam cucing yang berisi larutan
NaCl 0,9%
6) Mengambil sepasang pinset anatomis dan
cirugis
7) Memeras kasa yang sudah di tuangkan ke dalam
cucing
8) Taruh perasan kasa di dalam bak instrumen atau
tutup bak instrumen bagian dalam
9) Pasangkan perlak di bawah luka klien
10) Buka balutan luka klien, sebelumnya basahi
dulu plester atau hipafiks dengan NaCl atau
semprot dengan alkohol
11) Masukan balutan tadi ke dalam bengkok atau tas
kresek
12) Observasi keadaan luka klien, jenis luka, luas
luka, adanya pus atau tidak dan kedalaman luka
13) Buang jaringan yang sudah membusuk (jika
ada) menggunakan gunting jaringan

(Nurarif dan Kusuma, 2015)


47

BAB 3

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Rancangan Penelitian

Rancangan yang digunakan dalam karya tulis ilmiah ini adalah metode

deskriptif dengan melakukan pemaparan studi kasus melalui pendekatan asuhan

keperawatan yakni pengkajian, diagnosa keperawatan, perencanaan, implementasi,

dan evaluasi keperawatan.

3.2 Waktu dan Tempat Penelitian

Studi kasus ini dilakukan di Rumah Sakit Umum Daerah X. Penelitian ini

akan dilaksanakan pada bulan Nopember 2019 dan lama waktu penelitian selama

tiga hari. Jika sebelum waktu yang ditentukan yaitu tiga hari pasien sudah pulang,

maka perlu penggantian pasien lainnya yang sejenis.

3.3 Subyek Penelitian

Subyek studi kasus pasien diabetes mellitus tipe 2 dengan masalah

gangguan integritas kulit, yang berjumlah 1 orang dengan kasus dan masalah

keperawatan yang sama. Adapun kriteria pemilihan responden, yaitu :

1. Pasien dengan diagnosa diabetes mellitus tipe 2 dengan masalah gangguan

integritas kulit

2. Pasien laki-laki dan perempuan

3. Usia pasien diatas 40 tahun

4. Psien kooperatif

47
48

3.4 Pengumpulan Data

Pengumpulan data dibagi menjadi dua yaitu instrumen pengumpulan data

dan metode pengumpulan data.

3.4.1 Instrumen Pengumpulan Data

Instrumen pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah

sebagai berikut :

1. Lembar Pengkajian

Lembar pengkajian berisi format pengkajian asuhan keperawatan

medikal bedah yang berisi identitas pasien, riwayat kesehatan, riwayat

keehatan dahulu, riwayat kesehatan keluarga, pola fungsi kesehatan

(gordon), pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang, dan penatalaksanaan

pengobatan (Wijaya dan Putri, 2017). Lembar pengkajian akan peneliti isi

sesuai dengan hasil wawancara dengan pasien.

2. Rekam Medis

Rekam medis merupakan berkas yang berisi catatan dan dokumen yang

terdiri dari identitas pasien, pemerikasaan yang telah dilakukan, pengobatan

yang diberikan oleh dokter, dan tindakan. Peneliti dapat mencocokkan data

rekam medis dengan hasil pengkajiannya.

3.4.2 Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data yang akan digunakan dalam studi kasus ini

adalah (AIPVIKI. Tim Pendidikan dan Penelitian, 2017 dalam Guspita, 2017) :
49

1. Wawancara / Anamnesa / Kuisioner

Wawancara adalah suatu metode yang dipergunakan untuk

mengumpulkan data. Dalam studi kasus ini, peneliti akan mewawancarai

responden, kelarga responden, serta perawat ruangan sesuai dengan format

pengkajian asuhan keperawatan.

2. Observasi dan Pengukuran

Observasi atau pengamatan adalah suatu prosedur yang berencana, yang

antara lain melihat, mendengar, mencatat, dan lain sebagainya. Dalam studi

kasus ini, peneliti akan melakukan pengamatan secara langsung terhadap

responden berkaitan dengan masalah yang diamati dan dihadapi, seperti

pengukuran tanda-tanda vital (frekuensi denyut nadi, frekuensi pernapasan,

suhu tubuh, dan tekanan darah), intake output cairan dan lain sebagainya.

3. Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisik yang akan dilakukan ialah pemeriksaan seluruh tubuh

mulai dari bagian kepala sampai ekstremitas bawah dengan cara inspeksi,

palpasi, perkusi, dan auskultasi.

4. Penelusuran Data Sekunder (Rekam Medik)

Peneliti melihat catatan yang diperoleh dari status kesehatan responden

dan medical record di Rumah Sakit Umum Daerah X .

3.5 Analisa Data

Guspita (2017), mengatakan bahwa penyajian data adalah kumpulan data

yang berasal dari populasi ataupun sampel untuk keperluan laporan dan atau

analisis selanjutnya, perlu disusun, diatur, disajikan dalam bentuk yang jelas dan
50

baik. Dalam penelitian ini penyajian data berbentuk tabel distribusi frekuensi yang

berfungsi untuk memudahkan dalam membaca atau menginformasikan kumpulan

data yang lebih besar menjadi bentuk yan lebih sederhana sehingga mudah untuk

dipahami.

3.6 Etika Penelitian

Pertimbangan etika dalam penelitian ini di laksanakan dengan memenuhi

prinsip-prinsip the Five Right of Human Subjects in Research (Macnee dalam

AIPViKI, 2018).

Lima hak tersebut meliputi hak untuk self determination; hak terhadap

privacy dan digty; hak terhadap anonymity dan confidentiality; hak untuk

mendapatkan penanganan yang adil dan hak terhadap perlindungan dari

ketidaknyamanan atau kerugian (AIPViKI, 2018).

1. Hak untuk self-determination, klien memiliki otonomi dan hak untuk

membuat keputusan secara sadar dan di pahami dengan baik, bebas dari

paksaan untuk bertujuan untuk berpartisipasi atau tidak dalam penelitian ini

atau untuk mengundurkan diri dari penelitian ini.

2. Hak terhadap privacy dan dignity berarti bahwa klien memiliki hak untuk di

hargai tentang apa yang mereka lakukan dan apa yang di lakukan terhadap

mereka serta untuk mengontrol kapan dan bagaimana informasi tentang

mereka di bagi dengan orang lain.

3. Hak terhadap anonymity dan confidentiality, maka semua informasi yang di

dapat dari klien harus dijaga dengan sedemikian rupa sehingga informasi
51

individual tertentu tidak bisa langsung di kaitkan dengan klien, dan klien

juga harus di jaga kerahasiaan atas keterlibatannya dalam penelitian ini.

4. Hak untuk mendapatkan penanganan yang adil memberikan individu hak

yang sama untuk di pilih atau terlihat dalam penelitian tanpa diskriminasi

dan di berikan penanganan yang sama dengan menghormati seluruh

persetujuan yang di sepakati, dan untuk memberikan penanganan terhadap

masalah yang muncul selama partisipasi dalam penelitian.

5. Hak terhadap perlindungan dari ketidaknyamanan dan kerugian

mengharuskan agar klien di lindungi dari eksploritasi dan peneliti harus

menjamin bahwa semua usaha di lakukan untuk meminimalkan bahaya atau

kerugian dari
52

DAFTAR PUSTAKA

American Diabetes Association (ADA) (2015). Diagnosis and classification of


diabetes mellitus. American Diabetes Care, Vol.38, pp: 8-16.

Amin, N., & Doupis, J. (2016). Diabetic foot disease: From the evaluation of the
“foot at risk” to the novel diabetic ulcer treatment modalities. World
Journal of Diabetes , 7(7): 153-164.

Andyagreeni. (2015). Tanda Klinis Penyakit Diabetes Mellitus. Jakarta: CV.Trans


Info Media.

Eliana,F. 2015. “Penatalaksanaan DM sesuai konsensus perkeni 2015”. Satelit :


PDUI Press

Goldenberg, R. dan Punthakee, Z., 2018. Definition, Classification and Diagnosis


of Diabetes, Prediabetes and Metabolic Syndrome. Canadian Journal of
Diabetes, 37: S8–S11

Hastuti T D, D R Sari, and Riyadi.(2018). Student Profile with High Adversity


Quotient in Math Learning.Journal of Physics : Conf. Series L 983
012131. http://iopscience.iop.org/article/10.1088/1742-
6596/983/1/012131/pdf

International Federation Diabetes. (2015). Diabetes Atlas Seventh Edition. IDF.

Khardori, R. (2017). medscape endocrine diabetes mellitus type 2.Diunduh januari


21, 2017, dari medscape:
http://emedicine.medscape.com/article/117853-
overview?src=medscapeapp-android&ref=email#a4

Nanda. (2015). Diagnosis Keperawatan Definisi & Klasifikasi 2015-2017 Edisi 10


editor T Heather Herdman, Shigemi Kamitsuru. Jakarta: EGC.

Padila, 2017, Buku Ajar : KeperawatanMedikalBedah, Nuha Medika, Yogyakarta

PERKENI. 2016. Konsensus pengelolaan diabetes melitus tipe 2 di indonesia 2016.


Semarang: PB PERKENI.
53

Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Kementerian Kesehatan Republik Indonesia,


tahun 2018.

Sulistyowati, D. A. (2015). Efektivitas Elevasi Ektrimitas Bawah Terhadap Proses


Penyembuhan Ulkus Diabetik di Ruang Melati RSUD Dr. Moewardi
Tahun 2014. Kosala , 3(1): 83-88.

Tim Pokja SDKI DPP PPNI. (2017). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia
Definisi dan Indikator Diagnostik. Jakarta: Dewan Pengurus PPNI

Tim Pokja SIKI DPP PPNI. (2018). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia
Definisi dan Indikator Diagnostik. Jakarta: Dewan Pengurus PPNI

Tim Pokja SLKI DPP PPNI. (2018). Standar Luaran Keperawatan Indonesia
Definisi dan Indikator Diagnostik. Jakarta: Dewan Pengurus PPNI

Wijaya, A.S dan Putri, Y.M. 2018. Keperawatan Medikal Bedah 2, Keperawatan
Dewasa Teori dan Contoh Askep. Yogyakarta : Nuha Medika

World Health Organization. (2015). Global Report On Diabetes. Geneva: World


Health Organization.

World Health Organization. (2016). Global Report On Diabetes. Geneva: World


Health Organization.

Anda mungkin juga menyukai