Anda di halaman 1dari 26

PRESENTASI KASUS

INFLUENZA

Disusun oleh:
Farhan Galantino
G991908005

KEPANITERAN KLINIK BAGIAN ILMU FARMASI


FAKULTAS KEDOKTERAN UNS/RS UNS

SURAKARTA
2019
BAB I
PENDAHULUAN

Common cold merupakan bagian dari infeksi saluran pernafasan akut


(ISPA). Penyakit common cold (batuk dan pilek) adalah penyakit yang kurang
disadari oleh masyarakat. Hal ini dapat di lihat dari sebagian besar orang tua
belum familiar dengan istilah commond cold. Orang tua lebih terbiasa dengan
istilah batuk, pilek dan infeksi saluran pernapasan akut (ISPA). Padahal
common cold tidak sama dengan influenza, pharingitis, tonsillitis dan otitis.
Namun kadang tidak mudah membedakan commond cold dengan influenza,
pharingitis, tonsillitis dan otitis (Danarti, 2010).

Menurut WHO (2007) Selesma/common cold atau disingkat CC adalah


penyakit infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) bagian atas yang dapat
menimbulkan berbagai macam penyakit. Common cold merupakan penyakit
yang berkisar dari penyakit tanpa gejala atau infeksi ringan sampai penyakit
yang parah dan mematikan, tergantung pada patogen penyebabnya. Penyakit
common cold ini merupakan penyakit yang disebabkan oleh virus dan faktor
pendukung lainnya. Common cold merupakan penyakit yang sering terjadi
pada balita.

Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas), 2013 pravelensi


common cold di Indonesia sekitar 25,0% dan 13,8% kasus setelah terdiagnosis
oleh dokter. Penyakit common cold pada balita di Indonesia diperkirakan
sebesar 3 sampai 6 kali per tahun, hal ini berarti seorang balita mudah atau
rentan mendapat serangan batuk pilek sebanyak 3 sampai6 kali setahun.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. DEFINISI
Common cold adalah infeksi virus yang bersifat akut dan self-
limiting pada saluran pernapasan bagian atas yang mengenai hidung, sinus,
faring, dan laring. Virus ini menyebar melalui kontak tangan dari orang yang
terinfeksi (langsung atau tidak langsung) atau melalui udara dari sekresi dan
virus. Masa inkubasi bervariasi tetapi hanya di bawah dua hari untuk
rhinovirus. Gejala, yang umumnya berhubungan dengan mukosa yang
terinfeksi, biasanya memuncak pada 1-3 hari dan 7-10 hari terakhir,
meskipun kadang-kadang bertahan selama tiga minggu. Mereka termasuk
sakit tenggorokan, rinitis, rinore, batuk dan rasa tidak enak. Tingkat
keparahan dan jenis gejala akan bervariasi di antara individu dan dengan
agen infeksi yang berbeda (Allan et al., 2015).

B. EPIDEMIOLOGI
Common cold atau dapat juga disebut rinitis infeksiosa merupakan
penyakit peradangan pada hidung dan sinus udara yang paling sering.
Peradangan ini sebagian besar disebabkan oleh infeksi virus, seperti
adenovirus, echovirus, dan rhinovirus pada saluran pernafasan atas. Virus-
virus ini memicu pengeluaran sekret kataralis dalam jumlah besar. Sulit
untuk menentukan sindrom ini secara tepat karena besarnya variasi pada
keparahan penyakit, durasi, dan tipe gejalanya. Rhinovirus dilaporkan
menyebabkan 30-50% dari semua masuk angin, dan coronavirus merupakan
agen yang paling umum kedua menyebabkan 10-15% masuk angin. Virus
influenza menyebabkan 5-15% masuk angin dan virus masuk angin seperti
respiratory syncytial virus menyebabkan sebagian besar penyakit seperti flu.
Selama stadium akut awal, mukosa hidung menebal, edematosa, dan merah;
rongga hidung menyempit; dan turbinatus (konka) membesar (Eccles,
2005).
Acute Upper Respiratory Tract Infection (ARTI) muncul setiap
musim dengan kejadian meningkat pada musim gugur, memuncak pada
musim dingin, dan menurun pada musim semi. Anak muda umumnya
mengalami 5 sampai 7 kali masuk angin dalam setahun dan beberapa anak
lainnya sampai 12 kali. Orang dewasa biasanya terkena 2 sampai 3 kali
masuk angin dalam setahun, tetapi mereka yang sering kontak dengan anak-
anak muda mungkin dapat terkena masuk angin lebih sering. Yang termasuk
faktor resiko untuk common cold yaitu merokok, gizi buruk, padatnya
populasi, gaya hidup yang menetap, dan jaringan sosial yang kurang
beragam. (Eccles, 2005).

C. ETIOLOGI
Belum diketahui apa yang menyebabkan seseorang lebih mudah
tertular pilek.
Berbagai virus yang menyebabkan terjadinya common cold :
1. Rhinovirus
a. Virus influenza A, B, C
b. Virus Parainfluenza
c. Virus sinsisial pernafasan.
Semuanyanya mudah ditularkan melalui ludah yang dibatukkan atau
dibersinkan oleh penderita lewat udara,yang kemudian masuk melalui
saluran pernapasan orang yang ditularkan lalu menginfeksi pada bagian
tubuh yang pertahanannya melemah.
Common cold biasanya tidak berbahaya dan kebanyakan dapat
sembuh dengan sendirinya. pada suatu saat dibandingkan waktu lain.
Dalam keadaaan dingin tidak menyebabkan common cold akan
tetapi karena menghirup udara dingin tingkat produksi lendir naik secara
signifikan, dan menyebabkan beberapa lendir atau cairan keluar dari hidung
anda. Ketika udara dingin, tubuh akan memberi respon dengan
meningkatkan suplai darah ke hidung anda untuk menghangatkan area di
sekitar hidung.Meningkatnya aliran darah ke hidung ini tidak hanya
membantu untuk menghangatkan udara yang dingin, namun juga secara
tidak langsung menyebabkan efek samping dimana kelenjar yang
menghasilkan lendir di hidung anda mendapatkan suplai darah yang lebih
banyak dari biasanya.
Hal ini akan menyebabkan kelenjar-kelenjar tersebut memproduksi
lendir atau cairan lebih banyak dari keadaan normal dan sebagian cairan
yang berlebihan tersebut akan meluber keluar dari hidung.
Setelah anda kembali ke lingkungan dengan udara yang hangat,
pembuluh darah kecil di hidung anda akan kembali menyempit dan kelenjar
yang menghasilkan lendir akan kembali memproduksi lendir dalam tingkat
normal.
Kedinginan tidak menyebabkan pilek atau meningkatkan resiko
untuk tertular penyakit common cold, tetapi common cold bisa tertular jika
kondisi tubuh kurang sehat sehingga rentan terhadap penyakit (Heikkinen et
al., 2003).

D. PATOFISIOLOGI
Patogenesis flu biasa melibatkan interaksi yang kompleks antara
virus yang bereplikasi dan respons peradangan inang. Mekanisme
patogenetik terperinci dari berbagai virus pernapasan dapat sangat berbeda
satu sama lain, sebagaimana ditunjukkan oleh fakta bahwa situs utama
replikasi virus influenza adalah dalam epitel trakeobronkial, 34 sedangkan
replikasi virus rhino dimulai terutama di nasofaring.37 Bukti yang tersedia,
38 meskipun langka, tidak memberikan dukungan kepada kepercayaan
populer bahwa pilek dikaitkan dengan dingin atau paparan ke lingkungan
yang dingin.
Sebagian besar pemahaman kita tentang peristiwa patogenetik pada
flu biasa berasal dari penelitian relawan yang terinfeksi rhinovirus. Infeksi
rhinovirus dimulai dengan pengendapan virus di mukosa hidung anterior
atau di mata, dari tempat mereka sampai ke hidung. melalui saluran
lakrimal. Virus kemudian diangkut ke nasofaring posterior melalui aksi
mukosiliar. Di daerah adenoid, virus masuk ke sel epitel dengan mengikat
reseptor spesifik pada sel. Sekitar 90% serotip rhinovirus menggunakan
molekul adhesi interselular-1 (ICAM-1) sebagai reseptornya.39,40 Begitu
masuk ke dalam sel epitel, virus mulai bereplikasi dengan cepat. Virus
progeni dapat dideteksi dalam 8-10 jam setelah inokulasi rhinovirus
intranasal.41 Dosis infeksi rhinovirus kecil, 42 dan hingga 95% individu
tanpa antibodi terhadap serotipe virus spesifik terinfeksi setelah tantangan
intranasal.43 Namun, untuk alasan masih belum diketahui, semua infeksi
tidak menyebabkan penyakit klinis; pilek simptomatik berkembang hanya
pada 75% orang yang terinfeksi.43 Penumpahan rhinovirus memuncak pada
hari kedua setelah inokulasi intranasal dan menurun dengan cepat
setelahnya, tetapi sejumlah kecil virus dapat ditemukan dalam sekresi
hidung hingga 3 minggu setelah infeksi.37, 44
Infeksi virus pada mukosa hidung menyebabkan vasodilatasi dan
meningkatkan permeabilitas pembuluh darah, yang pada gilirannya
menyebabkan sumbatan hidung dan rhinorrhoea, yang merupakan gejala
klinis utama pilek biasa. Stimulasi kolinergik menyebabkan peningkatan
sekresi kelenjar lendir dan bersin. Mekanisme terperinci yang menyebabkan
infeksi virus menyebabkan perubahan pada mukosa hidung masih belum
sepenuhnya dipahami. Perbedaan yang berbeda ada dalam tingkat
kerusakan epitel antara berbagai virus pernapasan. Sedangkan virus
influenza dan adenovirus menyebabkan kerusakan luas pada epitel
pernapasan, 45,46 tidak ada perubahan histopatologis yang diamati dalam
spesimen biopsi hidung dari individu yang terinfeksi rhinovirus. Ketiadaan
kerusakan epitel selama infeksi rhinovirus telah menyebabkan gagasan
bahwa gejala klinis dari flu biasa mungkin tidak disebabkan oleh efek
sitopatik langsung dari virus, tetapi lebih disebabkan oleh respons
peradangan inang. Penelitian ekstensif tentang peran mediator inflamasi
dalam patogenesis flu biasa telah menghasilkan bukti untuk peningkatan
konsentrasi beberapa mediator, seperti kinin, leukotrien, histamin,
interleukin 1, 6, dan 8, faktor nekrosis tumor, dan RANTES (diatur oleh
aktivasi sel T normal diekspresikan dan disekresikan) dalam sekresi hidung
pasien dengan pilek. Konsentrasi interleukin 6 dan interleukin 8 dalam
sekresi hidung berkorelasi dengan keparahan gejala.53,54 Mekanisme
respon tuan rumah dipicu oleh infeksi virus Namun, saling terkait, sangat
kompleks, dan jauh dari diselesaikan. Misalnya, dalam sel epitel pernapasan
yang terinfeksi RSV, interleukin 1 'dan faktor nekrosis tumor' menginduksi
sintesis interleukin 8 pada 24 jam, tetapi sebagian menghambat sintesis
sitokin ini pada 48 jam.55
Hasil penelitian menunjukkan bahwa efek dari flu biasa pada saluran
pernapasan atas tidak terbatas pada rongga hidung, tetapi sinus paranasal
juga sering terkena. CT scan dan radiografi polos sinus yang diperoleh
selama awal penyakit pada orang dewasa dengan pilek menunjukkan
kelainan substansial yang biasanya sembuh secara spontan tanpa
pengobatan antibiotik. Temuan ini menyiratkan bahwa sebagian besar
kelainan sinus yang diamati selama pilek bukan bukti bakteri. komplikasi,
tetapi bukan bagian dari perjalanan penyakit yang normal. Temuan dari
penelitian eksperimental58 menunjukkan bahwa hembusan hidung
menciptakan tekanan intranasal yang sangat tinggi sehingga dapat
mendorong cairan dari rongga hidung ke sinus paranasal. Selain itu, RNA
rhinovirus telah terdeteksi pada aspirasi sinus bahkan tanpa adanya bakteri,
59 dan hasil penelitian60 yang menggunakan hibridisasi in-situ memberikan
bukti adanya rhinovirus dalam sel epitel sinus maksilaris pada pasien
dengan sinusitis akut.
Pada orang dewasa dan anak-anak, infeksi virus pada saluran
pernapasan bagian atas sering menyebabkan disfungsi tuba Eustachius,
yang dianggap sebagai faktor paling penting dalam patogenesis otitis media
akut.61 Tekanan negatif telinga tengah yang hebat dicatat di sebagian besar
anak usia prasekolah dan usia sekolah. anak-anak dengan pilek.62,63 Pada
sukarelawan dewasa yang ditantang dengan rhinovirus atau virus influenza
A, fungsi tuba Eustachius normal memburuk pada 50-80% individu.64,65
Beberapa virus pernapasan — misalnya virus influenza, RSV, dan
virus parainfluenza — juga dapat menginfeksi saluran pernapasan bagian
bawah, tetapi kemampuan rhinovirus untuk bereplikasi di saluran udara
bagian bawah telah banyak diperdebatkan. Meskipun rhinovirus telah
terdeteksi dalam sekresi yang diperoleh dari saluran udara bawah dengan
bronkoskopi, 66 kontaminasi virus potensial dari saluran pernapasan atas
tidak dikesampingkan sampai saat ini, ketika para peneliti dari satu studi67
relawan dewasa yang terinfeksi rhinovirus menghindari kemungkinan
kontaminasi dari saluran udara atas oleh penggunaan hibridisasi in-situ pada
biopsi bronkial. Temuan penelitian menunjukkan secara meyakinkan bahwa
rhinovirus dapat bereplikasi di saluran udara yang lebih rendah.

E. GEJALA KLINIS
Ketika infeksi virus menyebar dengan cepat, jalur inflamasi
diaktifkan. Sel yang terinfeksi memberikan sinyal untuk memproduksi
sitokin dan kemokin (contohnya: platelet-activating factor, leukotrienes,
prosaglandins dan bradykinins) yang merupakan sel aktif penyebab radang
dan immunocompetent (Covington, et al., 2004). Gejala klinis terjadi dalam
10 sampai 12 jam setelah infeksi dan biasanya dimulai dengan gejala awal
sakit kepala, bersin-bersin, kedinginan, sakit tenggorokan dan gejala
selanjutnya yaitu hidung tersumbat, batuk dan tidak enak badan. Umumnya
keparahan gejala meningkat dengan cepat, memuncak 2-3 hari setelah
infeksi, dengan rata-rata durasi gejala 7-10 hari tetapi dengan beberapa
gejala yang masih timbul selama lebih dari 3 minggu. Gejala flu pada
dewasa jarang muncul bersamaan dengan demam, dan beberapa orang
mengalami suhu tubuh yang rendah selama fase awal masuk angin.
Penelitian pada gejala-gejalanya dilakukan dengan virus common cold yang
berbeda yang menunjukkan bahwa tidak mungkin untuk mengidentifikasi
virus berdasarkan gejalanya, sejak gejala yang sama disebabkan oleh virus
yang berbeda (Eccles, 2005).
F. PENEGAKKAN DIAGNOSIS
Standar kriteria untuk menentukan infeksi virus influenza adalah
dengan melakukan Reverse Transcription-Polymerase Chain Reaction (RT-
PCR) atau dengan kultur virus dari sekret tenggorok atau nasofaring. Kultur
virus membutuhkan waktu kurang lebih 3-7 hari. Diagnosis serologis dapat
diperoleh melalui uji fiksasi komplemen atau inhibisi hemaglutinasi. Akan
dapat ditunjukkan kenaikan titer sebanyk 4 kali antara serum pertama
dengan serum konvalesen atau titer tunggal yang tinggi. Pada saat ini anti
influenza IgM dapat digunakan di beberapa tempat. Diagnosis cepat lainnya
dapat juga diperoleh dengan pemeriksaan antibodi fluoresen yang khusus
tersedia untuk tiper virus influenza A. Rapid diagnostic test (RDT) untuk
influenza lebih banyak digunakan sekarang, dengan spesifisitas yang tinggi
namun sensitifitasnya rendah. Temuan laboratorium standar seperti darah
lengkap dan kadar leketrolit cukup membantu walaupun kurangg spesifik.
Leukopenia dan limfopenia relatif merupakan temuan yang sering didapat.
Trombositopenia juga mungkin didapatkan (Derlet, 2015). Apabila
ditemukan leukositosis di atas 15.000 per mikroliter harus dicurigai adanya
infeksi sekunder oleh bakteri (Dolin, 2012).

G. DIAGNOSIS BANDING
Dari gambaran klinis saja, kasus influenza perorangan sulit
dibedakan dari penyakit pernafasan akut yang disebabkan oleh berbagai
virus saluran nafas atau oleh Mycoplasma pneumoniae. Faringitis
streptokokus berat atau pneumonias bakteri awal dapat menyerupai
influenza akut, meskipun biasanya pneumonia bakteri tidak dapat sembuh
sendiri (Dolin, 2012).
Banyak penyakit yang memiliki gejala yang menyerupai flu (flu like
syndrome) sehingga influenza dapat didiagnosis banding :
1. Common cold (selesma) adalah suatu infeksi virus pada selaput
hidung, sinus dan saluran udara besar yang disebabkan oleh rhinovirus
(80%). Gejala-gejala penyakit ini biasanya tidak timbul demam, tetapi
demam yang ringan dapat muncul saat gejala, dan gejala-gejala yang
lain tidak sehebat influenza. Hidung mengeluarkan cairan yang encer
dan jernih dan pada hari-hari pertama jumlahnya sangat banyak
sehingga mengganggu penderita. Selanjutnya sekret hidung menjadi
lebih kental, berwarna kuning-hijau dan jumlahnya tidak terlalu
banyak.
2. Infeksi saluran pernapasan atas merupakan suatu penyakit infeksi
pada saluran pernapasan atas yang banyak disebabkan oleh virus dan
mempunyai gejala-gejala seperti flu, akan tetapi pada infeksi saluran
pernapasan atas mempunya gejala-gejala lain seperti rhinitis, sinusitis,
nasopharyngitis, pharyngitis, epiglotitis, laryngitis, laringotrakeitis
dan trakeitis.
3. Infeksi parainfluenza virus juga mempunyai gejala yang hampir sama
dengan infeksi virus influenza dimana yang terdiri dari HPIV-1,
HPIV-2, HPIV-3 dan HPIV-4 yang
4. Meningitis merupakan penyakit radang pada selaput otak. Dimana
gejala awal dari penyakit ini menyerupai flu seperti demam, sefalgia,
nausea, vomitus, photofobia sedangkan pada pemeriksaan fisik
terdapat kaku kuduk positif.
5. SARS (Severe Acute Respiratory Syndrom) adalah penyakit infeksi
saluran napas yang disebabkan oleh virus Corona dengan sekumpulan
gejala klinis yang berat. Perbedaan dengan influenza adalah cara
penularannya, yaitu dengan kontak langsung membran mukosa, serta
pada gejala pernapasan rasa sesak lebih berat dirasakan di banding
pada influenza yang tidak terdapat sesak napas
(Derlet, 2015).

H. PENATALAKSANAAN
Tujuan terapi influenza adalah mengendalikan gejala, mencegah
komplikasi dan mencegah penyebaran infeksi. Terapi influenza antara lain:
1. Non Pharmacological Treatment
Influenza termasuk dalam self limiting desease, yaitu penyakit yang
dapat diatasi oleh sistem imun tubuh. Oleh karena itu pasien yang
menderita influenza harus istirahat/tidur yang cukup dan tak banyak
beraktivitas serta tetap berada di rumah untuk mencegah penyebaran.
Pasien harus dinasihati berisitirahat dan mempertahankan hidrasi
selama penyakit akut dan sebaiknya kemabli ke aktivitas penuh secara
bertahap setelah penyakit menyembuh, terutama jika penyakitnya parah
(Dolin, 2012). Minum air yang banyak juga diperlukan. Untuk
membantu meredakan gejala batuk dan gangguan tenggorokan dapat
menggunakan lozenges, teh hangat.
2. Pharmacological Treatment
Pada kasus influenza tanpa komplikasi, terapi simptomatis untuk
sakit kepala, mialgia, dan demam, dapat dipertimbangkan, berikan
asetaminofen atau salisilat, tetapi salisilat sebaiknya dihindari untuk
anak-anak usia kurang dari 18 tahun karena kemungkinan adanya
hubungan salisilat dengan sindrom Reye. Karena batuk biasanya
sembuh sendiri,pengobatan dengan penekan batuk biasanya tidak
dianjurkan, meskipun senyawa yang mengadung kodein dapat diberikan
jika batuk sangat mengganggu (Dolin, 2012).
Terapi Farmakologi untuk pengobatan gejala
1. Antipiretik dan Analgesik
Obat yang dapat digunakan untuk mengatasi keluhan demam
yaitu: Parasetamol/Asetaminofen atau ibuprofen untuk menurunkan
demam serta mengurangi rasa sakit dan Asetosal (Aspirin) untuk
mengurangi rasa sakit, menurunkan demam, antiradang.
2. Antitusif/ekspektoran
Antitusif atau obat penekan batuk yang umumnya digunakan
adalah dekstrometorfan HBr (DMP HBr) penekan batuk cukup kuat
kecuali untuk batuk akut yang berat. Serta Difenhidramin HCl untuk
penekan batuk dan mempunyai efek antihistamin (antialergi).
3. Antihistamin.
Antihistamin dibagi menjadi 2 golongan, yaitu antihistamin
1(AH1) dan antihistamin 2(AH2). AH1 mencegah kontraksi otot
polos bronkus dan menghambat vasodilatasi yang diinduksi oleh
histamin dan peningkatan permeabilitas kapiler dengan cara
memblok reseptor H1 yang berada di otot polos bronkus dan usus
sehingga AH1 berguna untuk mengobati alergi. AH1 generasi 1
(klorfeniramin, siproheptadin, dimenhidrinat, prometazin,
triprolidin, dan lain-lain) cukup larut dalam lemak sehingga dapat
menembus sawar darah otak, dan menyebabkan sedasi. Efek sedatif
bisa menguntungkan pada pasien yang sulit tidur karena gejala
alergi. Sedangkan AH generasi 2 (astemizol, feksofenadin, dan
loratadin) kurang dapat larut dalam lemak sehingga tidak dapat
menembus sawar darah otak dan tidak menyebabkan sedasi.
4. Dekongestan Oral.
Dekongestan merupakan zat simpatomimetik yang bekerja pada
reseptor adrenergik pada mukosa hidung yang dapat menyebabkan
vasokontriksi, memperbaiki mukosa yang membengkak, dan
memperbaiki ventilasi. Dekongestan bekerja dengan baik dalam
kombinasi dengan antihistamin jika kongesti hidung menjadi salah
satu gambaran klinik. Obat dekongestan oral antara lain:
Fenilpropanolamin, Fenilefrin, Pseudoefedrin dan Efedrin. Obat
tersebut pada umumnya merupakan salah satu komponen dalam obat
flu.

Terapi antiviral digunakan sebagai pengobatan dan


kemoprofilaksis influenza adalah inhibitor neuraminidase, seperti
oseltamivir dan zanamivir. Inhibitor neurominidase bekerja langsung
pada protein virus dab nebgurangi virulensi infeksi. Adamantanes,
seperti amantadin dan rimantadin, digunakan dahulu, tetapi karena
semakin banyak yang resisten, penggunaannya tidak direkomendasikan
(Derlet, 2015).
1. Amantadine dan Rimantadine
Amantadine dan Rimantadine merupakan golongan adamantanes
yang memiliki aktivitas hanya terhadap virus Influenza tipe A
H1N1 musiman. Mekanismenya adalah memblok kanal ion M2,
yang spesifik terhadap Virus Influenza A, dan menghambat viral
uncoating. Dosis Amantadine pengobatan: dewasa dan anak usia
di atas 10 tahun 100 mg sehari selama 4-5hari. Dosis Rimantadine:
dewasa 200 mg sehari dalam dosis terbagi, geriatri 100 mg sehari.
Efek samping obat yang sering ditimbulkan: mual, muntah, nyeri
perut, diare, dan pusing. Efek samping pemakaian perlu
diperhatikan.
2. Oseltamivir dan Zanamivir
Oseltamivir dan Zanamivir merupakan golongan inhibitor
neuraminidase yang memiliki aktivitas terhadap virus Influenza A
dan B. Untuk keefektifannya, obat ini harus diberikan dalam waktu
48 jam dari onset gejala. Semakin cepat pemberian, makin baik
efeknya. Tanpa neuraminidase, pelepasan virus dari sel yang
terinfeksi tak dapat terjadi sehingga dapat mencegah
penyebarannya. Zanamivir tidak direkomendasikan sebagai
profilaksis influenza pada orang-orang dengan penyakit saluran
pernafasan seperti PPOK dan asma. Dosis Oseltamivir: dewasa dan
anak usia di atas 13 tahun, 75 mg tiap 12 jam selama 5 hari. Anak
usia di bawah 1 tahun 2mg/kg BB sehari 2 kali selama 5 hari. Anak
usia 1-13 tahun dengan BB<15kg 30 mg tiap 12 jam, BB 15-23kg
45 mg tiap 12 jam, BB 23-40kg 60 mg tiap 12 jam, BB>40kg sama
dengan dosis dewasa. Dosis Zanamivir pengobatan: dewasa dan
anak usia di atas 5 tahun 10 mg sehari 2 kali selama 5 hari. Efek
samping obat yang sering ditimbulkan: mual, muntah, nyeri perut,
diare, dan sakit kepala.
Penggunaan Antiviral pada pasien Influenza. (WHO, 2010)

I. KOMPLIKASI
Komplikasi yang dapat terjadi pada virus influenza adalah:
- Pneumonia influenza primer, ditandai dengan batuk yang progresif,
dispnea, dan sianosis pada awal infeksi. Foto rongten menunjukkan
gambaran infiltrat difus bilateral tanpa konsolidasi, dimana menyerupai
ARDS.
- Pneumonia bakterial sekunder, dimana dapat terjadi infeksi beberapa
bakteri (seperti Staphylococcus aureus, Streptococcus pneumonia,
Haemophilus influenza).
(Derlet, 2015)

J. PENCEGAHAN
Yang paling pokok dalam menghadapi influenza adalah
pencegahan. Infeksi dengan virus influenza akan memberikan kekebalan
terhadap infeksi virus yang homolog. Karena sering terjadi perubahan
akibat mutasi gen, antigen pada virus influenza akan berubah, sehingga
seseorang masih mungkin diserang berulang kali dengan galur (strain)
virus influenza yang telah mengalami perubahan ini. Kekebalan yang
diperoleh melalui vaksinasi sekitar 70%. Vaksin influenza mengandung
virus subtipe A dan B saja karena subtipe C tidak berbahaya. Diberikan 0,5
ml subkutan atau intramuskuler. Vaksin ini dapat mencegah tejadinya
mixing dengan virus yang sangat pathogen H5N1 yang dikenal sebagai
penyakit avian influenza atau flu burung. Nasal spray flu vaccine (live
attenuated influenza vaccine) dapat juga digunakan untuk pencegahan flu
pada usia 5-50 tahun dan tidak sedang hamil. Vaksinasi perlu diberikan 3-
4 minggu sebelum terserang influenza. Karena terjadi perubahan-
perubahan pada virus maka pada permulaan wabah influenza biasanya
hanya tersedia vaksin dalam jumlah terbatas dan vaksinasi dianjurkan
hanya untuk beberapa golongan masyarakan tertentu sehingga dapat
mencegah terjadinya infeksi dengan kemungkinan komplikasi yang fatal.
Berikut adalah golongan yang membutuhkan vaksin influenza menurut
rekomendasi ACIP 2015-2016:
1. Semua orang berusia > 6 bulan harus menerima vaksin influenza
setiap tahun
2. Anak-anak 2-8 tahun yang sehat yang tidak memiliki kontraindikasi
atau persyaratan tertentu, vaksin yang dilemahkan atau vaksin yang
dimatikan, keduanya dapat menjadi pilihan
3. Vaksin yang dilemahkan tidak boleh diberikan kepada: anak < 2
tahun, orang > 49 tahun, anak 2-17 tahun yang mengonsumsi aspirin
atau produk mengandung aspirin, orang-orang yang memiliki irwayat
alergi vaksin terutama vaksin inflienza, wanita hamil, pasien
immunocompromised, pasien dengan alergi telur, anak 2-4 tahun
dengan asma, pasien yang sudah mengonssumsi antiviral dalam 48
jam (Grohskopf, 2015)
Pencegahan dengan kemoprofilaksis untuk mereka yang tidak
dapat diberikan vaksinasi karena menderita alergi terhadap protein dalam
telur dapat diusahakan dengan pemberian rimantadine 200 mg dua kali
sehari atau amantadine 100 mg tiap 12 jam masing-masing selam 4-6
minggu. Juga bila tidak tersedia vaksin, cara pencegahan ini juga dapat
diterapkan. Pemberian amantadine harus hati-hati pada mereka dengan
gangguan fungsi ginjal atau yang menderita penyakit konvulsif. Pada usia
lanjut cukup diberika amantadine 100 mg sekali sehari mengingat
penurunan fungsi ginjal. Juga pada bersihan kreatinin antara 40-60
ml/menit berlaku hal yang sama. Pada bersihan kreatinin antar 10-15
ml/menit dapat diberikan 200 mg amantadine sekali seminggu.
Meluasnya penyebaran penyakit ini dalam masyarakat dapat
dicegah dengan meningkatkan tingkah laku higienik perorangan.
BAB III
KASUS

A. IDENTITAS PENDERITA
Nama : Ny. D
Umur : 25 Tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Pekerjaan : Karyawati
Alamat : Serengan, Surakarta
No. RM : 0123xxxx
Tanggal Pemeriksaan : 14 Desember 2015

B. ANAMNESIS
1. Keluhan Utama : Demam
2. Keluhan Penyerta : sakit kepala, hidung meler, hidung tersumbat,
bersin dan batuk (minimal), rasa gatal dan kering di
hidung, tubuh terasa lelah
3. Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien datang ke praktek dokter swasta dengan keluhan demam sejak
tujuh hari yang lalu. Demam dirasakan terus menerus dan dirasakan
semakin memburuk apabila pasien beraktivitas berat. Selama dua minggu
terakhir pasien bekerja hingga larut malam. Keluhan hidung meler dan
hidung tersumbat dirasakan pada hidung kanan dan kiri secara bergantian
dirasakan sejak empat hari yang lalu. Hidung meler dan tersumbat dirasakan
terus menerus semakin berat pada saat pagi atau malam hari dan berkurang
saat pasien berstirahat. Keluhan bersin dirasakan sejak dua hari yang lalu
hilang timbul. Sekret yang keluar dari hidung berwarna jernih dan encer.
Pasien juga mengeluhkan hidungya terasa gatal dan kering. Keluhan sakit
kepala dan badan lelah dirasakan sejak empat hari yang lalu dan dirasakan
terus menerus hingga mengganggu aktivitas pasien. Pasien juga mengeluh
batuk hanya kadang-kadang sejak empat hari yang lalu dan saat ini sudah
membaik. Pasien belum mengonsumsi obat untuk mengurangi keluhan,
pasien hanya istirahat dan saat ini pasien tidak pergi ke tempat kerja
dikarenakan keluhan yang dirasakan.
Pasien tidak memiliki riwayat alergi, asma, penyakit jantung,
hipertensi, diabetes mellitus. Pasien pernah merasakan keluhan yang sama
kurang lebih 8 bulan yang lalu saat pasien kelelahan dan bekerja hingga
larut malam. Pasien tinggal bersama keluarganya (suami dan kedua
anaknya), 2 minggu yang lalu anak pasien juga mengalami keluhan yang
sama namun saat ini keluhan dirasakan sudah membaik.

4. Riwayat Penyakit Dahulu :


 Riwayat keluhan sama : (+)
 Riwayat trauma : disangkal
 Riwayat penyakit jantung : disangkal
 Riwayat sakit darah tinggi : disangkal
 Riwayat mondok : disangkal
 Riwayat sakit gula : disangkal
 Riwayat alergi : disangkal

5. Riwayat Penyakit Keluarga :


 Riwayat keluhan serupa : (+) anak pasien
 Riwayat sakit darah tinggi : disangkal
 Riwayat sakit gula : disangkal
 Riwayat sakit jantung : disangkal

C. PEMERIKSAAN FISIK
11. Keadaan Umum : CM Gizi cukup (GCS=E4V5M6),
2 Tanda Vital : Tensi : 110/80 mmHg
Nadi : 84 x/ menit
Frekuensi Respirasi : 22 x/menit
Suhu : 38,30C
3 Kepala : Bentuk kepala normal, luka (-), rambut warna hitam dan
tidak mudah dicabut
Mata cekung (-/-), conjungtica pucat(-/-), sklera
ikterik (-/-), reflek cahaya (+/+), pupil
isokor (3mm/3mm), oedem palpebra (-/-)
Hidung Pernafasan cuping hidung (-/-), sekret (+/+)
jernih, epistaksis (-/-). deformitas hidung (-
/-)
Telinga Nyeritekan mastoid (-/-), sekret (-/-)
pendengaranberkurang (-/-), pina (+/+),
helix (+/+)
Mulut Bibir kering (-), bibir sianosis (-), gusi
berdarah (-) lidah kotor(-) tepi hiperemi(-)
Tenggorokan Tonsil ukuran T1/T1, hiperemis (-/-) , DPP
tenang
4 Leher : simetris, trachea di tengah , JVP tidak meningkat (R+2),
pembesaran KGB (-), tiroid membesar (-), nyeri tekan (-)
5 Jantung :
Inspeksi : Iktus kordis tidak tampak, pulsasi tidak tampak
Palpasi : Iktus kordis tidak kuat angkat
Perkusi : Kesan batas jantung tidak melebar
Auskultasi : BJ I-II intensitas normal, regular, bising (-)
6 Pulmo :
Inspeksi : Pengembangan dada simetris kanan=kiri
Palpasi : Fremitus raba kanan=kiri
Perkusi : Sonor/sonor
Auskultasi : Suara dasar vesikuler (+/+), suara tambahan
(-/-)
7 Abdomen
Inspeksi : Distended (-), sikatrik (-), striae (-), caput medusae (-)
Auskultasi : Bising usus (+) normal
Perkusi : Pekak alih (-), pekak sisi (-), undulasi (-)
Palpasi : supel, hepar lien tak teraba

D. DIAGNOSA
Diagnosa Klinik : Influenza

E. TUJUAN PENGOBATAN
1. Mengurangi keluhan yang dirasakan
2. Mencegah komplikasi
3. Mencegah penyebaran infeksi

F. PENGOBATAN
Non Medikamentosa:
KIE
1. Istirahat cukup, makan cukup, teratur dan minum banyak air putih.
2. Menjaga kondisi tubuh tetap hangat.
3. Mengkonsumsi buah-buahan yang meningkatkan kekebalan tubuh.
Untuk mencegah penularan:
1. Menggunakan kertas tisu atau lengan untuk menutup hidung atau mulut
saat bersin atau batuk.
2. Mencuci tangan menggunakan sabun dan air atau menggunakan
alcohol-based hand rub.
Medikamentosa:
R/ Paracetamol tab mg 500 No. X
∫ p.r.n (1-3) dd tab 1
R/ Tremenza® tab No. X sive simile
∫ 3 dd tab 1
Pro : Ny. D (25 th)
BAB IV
PEMBAHASAN OBAT

Influenza termasuk dalam self limiting desease, yaitu penyakit yang dapat
diatasi oleh sistem imun tubuh. Oleh karena itu pasien yang menderita influenza
harus istirahat/tidur yang cukup dan tak banyak beraktivitas serta tetap berada di
rumah untuk mencegah penyebaran. Obat simptomatis untuk keluhan influenza
antara lain antipiretik dan analgesik, antitusif, ekspektoran, antihistamin dan
dekongestan oral.
Parasetamol/Asetaminofen atau ibuprofen untuk menurunkan demam serta
mengurangi rasa sakit dan Asetosal (Aspirin) untuk mengurangi rasa sakit,
menurunkan demam, antiradang. Efek analgesik parasetamol serupa dengan
salisilat, keduanya menurunkan suhu tubuh dengan mekanisme yang diduga dari
sentral. Efek antiinflamasinya minimal. Parasetamol merupakan penghambat
biosintesis PG2 yang lemah. Konsentrasi tertinggi dalam plasma dicapai dalam
waktu ½-1 jam dengan waktu paruh (t½) sekitar 2 jam. Sekitar 20-50% obat akan
diikat oleh albumin dan globulin. Metabolisme terjadi di hepar sebagai konjugat
glukoronida (55%) dan konjugat asam belerang (35%). Parasetamol akan
dieksresikan oleh ginjal dalam bentuk konjugat dengan kadar sekitar 3%.
Parasetamol diindikasikan sebagai antipiretik, dosis untuk dewasa adalah 375-
1000mg, diberikan secara oral 3-4 kali sehari. Untuk anak 15-20 kg/BB maksimal
dosis diberikan 5 dosis dalam 24 jam. Efek samping berupa reaksi alergi terhadap
derivate para–aminofenol jarang terjadi. Manifestasinya berupa eritema atau
urtikaria dan gejala yang lebih berat berupa demam dan lesi pada mukosa.
Dekongestan oral merupakan zat simpatomimetik yang bekerja pada
reseptor adrenergik pada mukosa hidung yang dapat menyebabkan vasokontriksi,
memperbaiki mukosa yang membengkak, dan memperbaiki ventilasi. Dekongestan
bekerja dengan baik dalam kombinasi dengan antihistamin jika kongesti hidung
menjadi salah satu gambaran klinik. Obat dekongestan oral antara lain:
Fenilpropanolamin, Fenilefrin, Pseudoefedrin dan Efedrin. Obat tersebut pada
umumnya merupakan salah satu komponen dalam obat flu.
Antihistamin merupakan zat yang menghambat kerja histamin dengan cara
kompetisi pada reseptor-reseptor khas histamin itu sendiri. Dalam kasus ini
digunakan triprolidin yang merupakan antagonis histamin H1. Triprolidin
menghambat secara bersaing kerja histamin pada reseptor H1 yang menyebabkan
berkurangnya efek asetilkolin yang diinduksi sel mast pada pasien. Penekanan efek
dari asetilkolin pada sistem parasimpatis mengurangi keluhan hidung meler dan
hidung tersumbat.
Tremenza® mengandung pseudoefedrin HCl 60 mg per tablet (6 mg per
bungkus puyer), Triprolidin 2,5 mg per tablet (0,25 mg per bungkus puyer) atau
dalam bentuk sirup, per 5 ml mengandung 30 mg Pseudoefedrine HCl dan 1,25 mg
triprolidin. Tremenza® digunakan dengan indikasi untuk meringankan gejala flu
karena alergi pada saluran nafas atas yang memerlukan dekongestan dan
antihistamin. Pseudoefedrin merupakan direct and indirect acting simpatomimetis
dikombinasi dengan triprolidin yang merupakan antihistamin sedating dengan efek
antimuskarinik dan sedatif. Pseudoefedrin bekerja pada reseptor alfa dan beta
adrenergik. Pseudoefedrin dalam kasus ini akan menghasilkan efek vasokonstriksi
yang menyebabkan penyusutan selaput lendir mukosa hidung, mengurangi edema,
melapangkan saluran napas (bronkodilator) dan meningkatkan drainase sekresi
sinus paranasalis. Efek ini akan melegakan keluhan hidung tersumbat. Triprolidin
sebagai antihistamin menekan histamin yang menimbulkan kongesti nasal.
Triprolidin juga menembus sawar darah otak yang menimbulkan efek sedasi bagi
pasien sehingga pasien dapat beristirahat. Dosis obat adalah 3-4xsehari, dewasa dan
anak 12 th atau lebih: 1 tablet atau 2 sdt; anak 6-12 th: 1/2 tablet atau 1 sdt; 2-5 th:
1/2 sdt. Seluruh dosis diberikan 3-4x/hari.
Selain pengobatan secara secara simtomatik, pasien dapat diberi pengobatan
antivirus. Obat oseltamivir 2x75 mg sehari selama 5 hari akan memperpendek masa
sakit dan mengurangi kemungkinan infeksi bakteri sekunder. Zanamivir dapat
diberikan secara lokal secara inhalasi, makin cepat obat diberikan makin baik.
Untuk kasus dengan komplikasi yang sebelumnya mungkin menderita bronkitis
kronik, gangguan jantung atau penyakit ginjal dapat diberikan antibiotik. Pasien
dengan bronkopneumonia sekunder memerlukan oksigen. Pneumonia stafilokok
sekunder harus diatasi dengan antibiotik yang tahan betalaktamase dan
kortikosteroid dosis tinggi.
Obat antivirus lain yang dapat diberikan antara lain amantadin dan
rimantadin. Amantadin dan Rimantadin memiliki mekanisme kerja yang sama.
Efikasi keduanya hanya terbatas pada influenza A saja. Amantadin dan rimantadin
merupakan antivirus yang bekerja pada protein M2 virus, suatu kanal ion
transmembran yang diaktivasi oleh pH. Kanal M2 merupakan pintu masuk ke virion
selama proses uncoating. Hal ini menyebabkan destabilisasi ikatan-ikatan DNA
virus ke nukleus. Selain itu influks kanal ion M2 mengatur pH ke kompartemen
intraseluler, terutama apparatus Golgi. Perubahan kompartemen pada pH ini
menstabilkan hemagglutinin virus influenza A (HA) selama transport intrasel.
Indikasi obat ini adalah terapi awal influenza A (Amantadin juga diindikasikan
untuk terapi penyakit Parkinson). Amanadin dan rimantadin tersedia dalam bentuk
tablet dan sirup untuk penggunaan oral. Amandtadin diberikan dalam dosis 200 mg
per hari (2x100mg) kapsul. Sedangkan rimantadin diberikan dalam dosis 300 mg
per hari (2 x150mg) tablet. Dosis amantadin harus diturunkan pada pasien
insufisiensi renal. Efek samping yang dapat terjadi akibat penggunaan kedua obat
ini antara lain efek gastrointestinal yang ringan. Efek samping SSP seerti
kegelisahan, insomnia, kesulitan berkonsentrasi dan kehilangan nafsu makan terjadi
pada 5-33% pasien.
Inhibitor neuromidase (oseltamivir dan zanamivir) merupakan obat antivirus
dengan mekanisme yang sama terhadap virus influenza A dan B yang serupa.
Keduanya merupakan inhibitor neurominidase, yaitu analog asam N-
asetilneuraminat (reseptor permukaan sel virun influenza), dan desain struktur
keduanya didasarkan pada struktur neuraminidase virion. Asam N-asetilnuraminat
merupakan komponen mukoprotein pada sekresi respirasi; virus berikatan pada
mucus, namun yang menyebabkan penetrasi virus ke permukaan sel adalah aktivitas
enzim neuraminidase. Hambatan terhadap neuraminidase mencegah terjadinya
infeksi. Neuraminidase juga penting untuk pelepasan virus yang optimal dari sel
yang terinfeksi. Hambatan neuraminidase menurunkan kemungkinan
berkembangnya influenza dan menurunkan tingkat keparahan, jika penyakitnya
kemudian berkembang. Obat ini diindikasikan untuk terapi pencegahan influenza
A dan B. Dosis zanamivir diberikan per inhalasi dengan dosis 20 mg per hari (2 kali
5 mg, setiap 12 jam) selama 5 hari.oseltamivir diberikan per oral dengan dosis 150
mg per hari (2 kali 75 mg kapsul, setiap 12 jam). Terapi dengan oseltamivir dan
zanamivir dapat diberikan seawall mungkin. Efek samping obat ini umumnya
zanamivir dapat ditoleransi dengan baik. Efek samping yang relative ringan
dilaporkan pada zanamivir adalah gejala saluran nafas atas dan gejala saluran cerna.
Laporan terakhir menyebutkan bahwa zanamivir juga dapat menyababkan batuk,
bronkospasme, dan penurunan fungsi paru reversible pada beberapa pasien. Jika
pasien dengan disfungsi paru juga harus mendapatkan terapi zanamivir,
direkomendasikan untuk diberi bronkodilator dan menghentikan zanamivir jika
terjadi kesulitan bernafas.
DAFTAR PUSTAKA

Belsche BR (2005) The origins of pandemic influenza-Lesson from the 1918 virus.
N Engl J Med; 353: 2209-10.

Brooks GF. Orthomiksovirus (virus influenza). Dalam : Brooks GF, Butel JS,
Ornston NL. JAWETZ Mikrobiologi Kedokteran. Edisi 20, EGC, 2000.
h.517-30.

CDC (2013). Key Facts About Seasonal Influenza (Flu). Centers for Disease
Control and Prevention. Available at http://www.cdc.gov/flu/keyfacts.htm.
- Diakses tanggal 14 Desember 2015

CDC (2014). Treating Influenza. www.cdc.gov/flu. -Diakses tanggal 14 Desember


2015

Derlet RW (2015). Influenza. http://emedicine.medscape.com/article/219557-


overview. - Diakses tanggal 14 Desember 2015

Dolin R (2012). Influenza. Dalam: Isselbacher K, Braunwald E, Wilson JD, Martin


JB, Fauci AS, Kasper DL (ed.) (2012). Harrison Prinsip-prinsip Ilmu
Penyakit Dalam. Singapura:Mc Graw Hill

Grohskopf LA, Sokolow LZ, Olsen SJ, Bresee JS, Broder KR, Karron RA.
Prevention and Control of Influenza with Vaccines: Recommendations of
the Advisory Committee on Immunization Practices, United States, 2015-
16 Influenza Season. MMWR Morb Mortal Wkly Rep. 2015 Aug 7. 64
(30):818-25

Matsuzaki Y, Abiko C, Mizuta K, et al (2007). A nationwide epidemic of influenza


C virus infection in Japan in 2004. J Clin Microbiol. 45(3):783-8.

Nainggolan L., dkk., 2006. Influenza Burung. Buku Ajar Penyakit Dalam. FKUI:
Jakarta.

Program Pendidikan Profesi Apoteker. 2015. Care plan influenza.


https://www.academia.edu/8499746/Care_Plan_Influenza- diakses 14
Desember 2015.

WHO (2010). WHO Guidelines for Pharmacological Management of Pandemic


Influenza A(H1N1) 2009 and other Influenza Viruses.
http://www.who.int/csr/resources/publications/swineflu/h1n1_guidelines_p
harm aceutical_mngt.pdf-diakses 10 Oktober 2015

WHO (2014). Fact Sheet: Influenza (Seasonal).


http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs211/en/ -Diakses
tanggal 14 Desember 2015

WHO (2015). Influenza. http://www.who.int/topics/influenza/en/ - Diakses tanggal


14 Desember 2015

Anda mungkin juga menyukai